Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

novel


Naskah Novel

*Jendela *
Rahasia
***
Karya:
Siti Nur Azizah
(Penghuni Rumah Ajaib,
Komunitas Penulis dan Peneliti Cerita dan Dunia anak
di Purwokerto



















Prolog


      Matahari tinggal separuh menyeruakkan warna merah temaram. Secercah sinarnya membayang dalam debur ombak Pantai Kuta.  Fahita masih duduk termangu-mangu di tepi jendela, memandangi pantai yang terbentang luas di depan wajahnya itu, sambil mengamati detik-demi detik percik ombak yang pecah di tepian pantai. Seakan ia tak ingin kehilangan momentum indah yang terjadi di batas cakrawala sana. Sambil memandangi selembar foto yang sudah lusuh. Gambar yang tak berlatar dalam foto itu menyimpan beribu kenangan, bahkan tak mampu ia lupakan.
            Ia menelusuri permukaan foto itu dengan ujung jemarinya, mengingat-ingat kembali segala sesuatu yang pernah terangkai bersama sosok yang tengah berfose di depan layar kamera.
            Garra, sosok pendiam yang sangat menghindari kamera, tersipu malu dengan senyum dikulum. Wajahnya yang begitu teduh tertera dari tatapian mata yang begitu mempesona; tajam dan sangat membetahkan. Tak heran jika semasa SMA dulu ia menjadi pujaan para gadis.
            Berawal dari tatapian matanya itulah, ia mengerti makna taqdir dan cinta. Bahwa  Taqdir yang akan membawanya pada kehidupan yang harus dijalani penuh dengan langkah pasti serta penuh perjuangan untuk suatu pertahanan yang diinginkan. Dan satu lagi, bahwa taqdir adalah satu hal yang tidak dapat dipesan. Sedangkan cinta adalah suatu yang mengajak pada kebahagiaan dan kemesraan dalam bentuk pertengkaran sekalipun yang berujung pada penyatuan. Dan ternyata ia harus mengalami, bahwa taqdir lebih cinta padanya. Bukan cinta yang menjadi taqdirnya. Hingga ia harus terkapar dalam tepian bersama batu-batu karang yang hampir pecah berserakan.
            Selembar foto bersama kisah saat SMA dengan baju putih abu-abu mendominasi dengan balutan jaket hitam. Hari-hari yang dimulai dari kejamnya saat orientasi, lalu perkenalan persahabatan dan berujung pada keyakinan hati, lalu membalut kenangan.
            Fahita menyimpan kembali foto itu bersama buku merah jambu saksi perjalanannya. Pikirannya kembali pada hari-hari dimana ia mengenal dunia yang berasa pahit, manis itu beberapa tahun silam.





1

*Pada Suatu Senja

        Kebumen, Juli 2005,…..

            Apapun yang kau katakan dan bagaimanapun kau berkilah untuk menolaknya, cinta akan tetapi menyapamu dan bersemayam dalam kalbu, tanpa lelah menunggumu mengakui keberadaannya.
###


            Hari senin yang selalu melelahkan menyambut pagi gadis cantik yang biasa dipanggil Fahita. Lelah yang masih menggerayangi kaki dan sebagian tubuhnya, membuatnya ingin bersembunyi dibalik selimut untuk beberapa menit saja tidur lagi.  Namun hal itu segera ia tepis, mengingat ia harus segera mandi dan pergi ke sekolah. Mengikuti upacara bendera dan bermandikan cahaya pukul tujuh pagi yang menyengat. Membuat para pecinta make-up harus kelabakan. Tapi itu memang harus diikuti, sebagai penghormatan dan perenungan atas kemerdekaan yang telah dimiliki bangsa ini. Lalu, diikuti dengan pelajaran pancasila dan kewarganegaraan yang super membosankan. Ujung-ujungnya membahas teori persatuan dan kesatuan, serta keadilan. Huft hanya semu saja. Lalu, sorenya harus mengikuti ekstrakulikuler pramuka yang menguras tenanga. 
            Hari ini benar-benar hari yang sangat membosankan sekaligus melelahkan. Hari yang menekuk wajah bagi para siswa. Tanpa terkecuali Fahita. Yang sudah memasang wajah bete dan sedikit puising di senin pagi yang menjengkelkan. Tapi memang tak ada alasan meninggalkan upacara yang bagi sekolah terutama di Indonesia adalah hal yang sakral.
            Selesai mengikuti upacara, Fahita segera bergegas menuju loker untuk mengambil tas dan buku-bukunya. Bertambah bete mukanya ketika membawa buku pancasila yang berat. 
            “Fahita, sekalian ambilkan bukuku” teriak salah satu kawannya yang bernama Rey, Reyhan tepatnya. Karena ia memang terpaksa berbagi loker dengannya,  sekolahnya memang sangat sederhana, ya mungkin tepatnya fasilitas yang sangat minim. Itu artinya ia harus berbagi loker dengan cowok yang sok coll di sekolah ini. Laki-laki yang sering membuatnya jengkel. Karena sifat soknya itulah, Rey sering merasa sok kaya, sok ganteng, sok tenar dan masih banyak sok-sok yang lain. Huft, berarti juga Fahita harus rela sesekali mendengarkan ocehan tak bermutunya itu. Namun, okelah itu masih ia terima.
            Tapi terkadang yang membuatnya tidak tahan dengan sikapnya adalah sikap tidak rajinnya. Seringkali ia risih dengan keadaan lokernya yang berisi tumpah ruah amplop berwarna pink yang berisi surat cinta, tepatnya gombalan-gombalan busuk untuk para gadis yang rela menjadi korbannya, atau kadang-kadang ia membawa dus yang dibungkus dengan kertas kado warna-warni bentuk yang sangat menyesakkan loker mereka yang sempit dan memuntahkan segala isinya begitu pintu dibuka.
            “Huft cape dweh, Rey kamu kebiasaan loker isinya gak jelas” Fahita sudah mulai garang.
            “Hehehehe, santai dong cewe galak” jawab Rey setengah tertawa. Sebutan cewe galak memang sudah menjadi Trade-marknya di sekolah MAS, atau biasa disebut dengan Madrasah Aliyah Swasata.
            Fahita berlalu begitu saja. Mencoba tidak mendengarkan ocehan-ocehan yang menurutnya seperti burung beo di pagi hari. Terlalu biasa bagi Fahita untuk memperhatikannya, sehingga ia memilih untuk acuh dan diam saja. Rey memang bintang di sekolahnya. Banyak sekali siswi yang tergila-gila padanya, menyimpan debaran hati setiap dia lewat, mencoba-coba caper ketika ada dia, huft terlalu bodoh mereka. Batin Fahita, ketika mendengar dan melihat beberapa siswi baik temannya maupun kebanyakan adik kelasnya membicarakan sang bintang itu. Dia memang jago basket dan tampangnya lumayan ganteng, huft tapi tidak melebihi gantengnya Rain sebagai artis idolanya dari korea sana. Yah walau bagaimanapun ia memang ganteng, Fahita sedikit mengakuinya.
            Sejak kelas satu, semenjak melihat ia memasukan bola basket dengan begitu gesitnya, Fahita memang sempat merasa kagum, bahkan seringkali mencuri-curi pandang ketika Rey sedang main basket. Tapi hanya sebatas itu. Selanjutnya, menilai Rey secara objektif, bahwa dia adalah salah satu kategori cowok yang baik pada semua orang, sehingga ia tidak bisa secara pasti dapat melihat kepribadian asli di Balik senyum permanen yang nempel di bibir merahnya. Selebihnya, Fahita mencoba untuk tidak banyak berkomentar tentangnya.
            “Hai Fahita, buset mukamu kok udah cemberut gitu to, masih pagi kali bu” Sambut sahabatnya yang bernama Jihan. Ketika Fahita baru sampai di kelas.
            “Huft sebel dweh pagi-pagi kepanasan, eh malah kupingku kerasukan ocehan burung beo, mana aku gak sebel” umpat Fahita pada sahabatnya.
            “Eh hati-hati kalau ngomong, pamali nanti kamu bisa jatuh cinta sama si cakep itu” hiki-hik-hik. Jihan meledeknya. Terlihat muka Fahita bertambah merah padam. Garang.
            “Hah, Cinta? Ngelihatin dia aja aku ogah”
            “Ha-ha-ha-ha” makin asik Jihan meledeknya. Fahita hanya diam. Lalu ia mengeluarkan peralatan sekolahnya dan mengernyitkan keningnya ke arah Jihan. Malas membantah ucapannya, karena pasti Jihan lebih pandai menjawabnya. Itulah tidak enaknya berteman dengan orang yang pandai berbicara.
            “Wek, dasar cerewet” hik-hik, mereka tertawa bersama. Mereka memang begitu dekat semenjak kelas satu. Merasa mempunyai penderitaan yang sama; keterpaksaan. Yah, keterpaksaan untuk mengikuti kehendak orang tua masuk sekolah berbasis agama.
###


            Kata orang atau kebanyakan anak muda atau remaja, cokelat dan bunga mawar adalah simbol cinta. Dimulai dari sejarah ditemukannya cokelat pada zamannya suku Maya dan Aztect, cokelat lalu dijadikan komoditas berharga. Awalnya, cokelat hanya dibuat minuman dan hanya mampu dikonsumsi oleh keluarga kaya dan keluarga kerajaan, hingga seiring waktu cokelat sudah merakyat dan dikonsumsi oleh rakyat jelata. Dan hingga saat ini cokelat sudah makin trend hingga menjadi tanda cinta bagi para remaja, seperti saat Valenthine day dan White day.
            Itu semua Fahita baca dari majalah dan pernah ia membacanya dari buku yang berjudul Chocholate. Ia sering kali membaca buku atau majalah di balik buku pelajarnnya ketika guru di depan menjelaskan materi yang membuatnya tiba-tiba sakit kepala atau materi yang sangat membosankan seperti matematika dan sejarah. Pernah sekali kawan sebangkunya, Leni memergokinya, saat itu, di ruang kelas hening hanya suara Paki Rudi guru matematika tengah menjelaskan rumus Phitagoras untuk bahan ulangan minggu depan. Sesekali terasa hembusan angin yang menelusup lewat jendela yang meniupkan lembaran buku hingga terBalik dari halaman ke halaman selanjutnya. Fahita tak sadar kalau seseorang di sampingnya tengah memperhatikannya. Lalu menuliskan secarik kata-kata di secuil kertas dan menyodorkannya pada Fahita.
            “Kamu sedang baca apah? Kok serius banget”
            Fahita menoleh. Leni tengah menatapi lurus ke depan sehingga ia tidak dapat melihat ekspresinya. Mungkin takut akan ketahuan Pak Rudi yang wajahnya sudah mirip rumus-rumus phitagoras itu. Lalu, Fahita menuliskan jawaban di Balik coretan Leni, lalu menyodorkan kertas itu kembali ke hadapan Leni.
            “Buku tentang cokelat” _
            Ia membalasnya dengan cepat.
            “Kamu suka cokelat”
            Ada sesuatu yang aneh dengan Leni. Sangat jarang ia antusias dengan apa yang dilakukan dan disukainya. Namun, entah mengapa ia tiba-tiba jadi seperti itu. Huft, lalu, Fahita hanya menarik nafas panjang saja. Mungkin sekarang Leni tengah mengamati hobi teman-temannya atau mungkin akan memberii kejutan pada apa yang disukai teman-temannya. Semoga saja begitu, batin Fahita.
            “Suka banget”_adalah jawaban Fahita. Lalu mereka bertukar coretan obrolan sampai jam pelajaran hampir berakhir, dan akhirnya Fahita meminjamkan buku tentang cokelatnya itu pada Leni, barangkali ia tertarik.
            Hari ini pelajaran berlangsung sangat membosankan. Setelah melewati pelajaran Matematika, kini Fahita harus berhadapan dengan pelajaran agama. Huft sangat membosankan. Sebenarnya, sudah hampir mencapai kelas akhir kelas tiga. Namu, Fahita belum bisa menerima keputusuan orang tuannya menyekolahkan Fahita di Madrasah Aliyah. Keinginannya masuk SMA Negri masih bergelayut begitu besar. Hanya satu kini harapannya yang tersisa, setelah lulus mengikuti SMPTN dan masuk kuliah di Universitas umum.
            Entah sudah berapa menit bahkan mungkin hampir hitungan jam Fahita larut dengan Novelnya. Setelah ia membaca buku tentang cokelat kini ia membaca novel untuk menghilangkan penat dan bosan yang luar biasa karena evek pelajaran yang kini sedang berlangsung diajarkan. Sebenarnya, Fahita adalah salah satu murid yang cerdas, nilai yang berjajar di rapotnya saja tidak pernah berkurang dari tujuh, tapi nilai itu ia cetak dengan rasa tidak ikhlas.
            “Fahita, kenapa kamu sibuk sendiri?” kali ini bukan Leni yang menegurnya, melainkan Rey. Ternyata, ia juga dari tadi memperhatikannya.
            “Aku bosan” jawabnya singkat. Sebenarnya bukannya Fahita sengaja mengacuhkan atau tidak menghormati guru yang sedang menjelaskan, tapi ia sebenarnya sudah terbiasa membaca buku atau lebih rincinya bab yang akan di pelajari sehari sebelumnya sehingga terkadang apa yang di ajarkan di kelas terasa repetitif. Ia lalu kembali tenggelam dalam novelnya. Novel kesukannya milik Danbrown, walau ia sudah lebih dari empat kali membacanya, namun ia tetapi saja tidak bosan karena menurutnya jalan cerita yang dikemas sangat menarik dan memacu andrenalin. Menegangkan dan membuat pembaca penasaran.
            Entah berapa lama ia larut dalam bacaanya, hingga akhirnya ia mengangkat wajahnya ketika kepala sekolah memasuki ruang kelasnya dan mengucapkan salam.
            “Selamat siang anak-anak, bapak ingin memperkenalkan siswa baru yang akan menjadi kawan kalian di kelas 3 A”
            Untuk beberapa saat anak-anak rame, terlihat Fahita hanya diam saja.
            “Perkenalkan, nama saya Garra Ganinda Rahmawan. Biasa dipanggil dengan Garra, saya pindahan dari MAN 1 Purworejo” perkenalan singkat dari siswa baru membuat anak-anak sedikit tertarik, ternyata karena faktor tampang yang ia punya, kegantengannya hampir menyamai Rey. Lalu, ia duduk di belakang Fahita, dan Fahita pun sedikit berbosa-basi dengannya. Sedikit menyapa dan sedikit tersenyum dengannya. Dan laki-laki baru dalam kelasnya pun menyambutnya dengan ramah. Laki-laki yang ternyata akan menjadi taqdirnya dan mengisi hari-hari selanjutnya.
###

Reyhan

Pagi-pagi sekali, Leni tengah sampai diparkiran sekolah. Matanya melirik kanan-kiri seperti mencari-cari sesuatu. Akhirnya, selang beberapa menit, yang ia cari ketemu juga.
“Rey, sini” panggilnya begitu melihat si tampan bintang sekolah itu.
“Sudah lama?”
“Baru beberapa menit, tapi ya hampir satu jam” heheeheh,
“Ah bisa saja kamu?” balasnya
Akhirnya mereka berbincang-bincang di taman sekolah yang masih terlihat sepi, hanya beberapa siswa yang lalu lalang dengan wajah segarnya. Sesegar aneka bunga yang ada di belakang mereka.
“Ada berita apah?” tanya Rey.
“Hem, mengenai hobinya, makanan faforitnya dan kegiatannya ssehari-hari, memang kamu serius akan menjadikannya sebagai taruhan”
“Iyah, aku dan Andre sudah sepakat siapa yang lebih dulu memikat hatinya ia yang akan memenangkan kompetisi ini”
“Tapi aku takut, kamu akan benar-benar suka padanya”
“Aduh Leni sayang, tenang saja, wanita di hatiku hanya kamu. Ini hanyalah masalah prectice antara aku dan si blagu Andre itu”
Leni lalu tersenyum, mereka lalu berpisah seiring bertambah ramainnya siswa dan siswi yang mulai berdatangan.
###
           

            Setelah  pelajaran olahraga, Fahita dengan segera menuju lokernya, ia tidak ingin keduluan si jail Rey dan harus mendengar ocehan-ocehan tidak jelasnya. Walau ia harus lebih dulu membuka loker yang berantakan dan siap dengan tumpahan-tumpahan warna-warni kado atau bahkan harus rela sesekali mencium aroma tak sedap kaus kaki atau kaus yang biasa ia kenakan untuk latihan basket minggu lalu yang lupa di bawa pulang. Tapi, tidak apalah, ia masih bisa tahan dari pada bertemu dengannnya dan mendengarkan ocehannya. Toh ia sudah terbiasa dengan lokernya yang berantakan.
            Tapi, pagi ini ada hal yang tidak seperti biasanya. Loker kosong begitu Fahita membukannya. Hanya ada beberapa kuntum bunga Mawar yang masih segar yang harumnya samar dan sebungkus cokelat Silverquen.
            Sisa-sisa makanan yang biasa ditinggalkan Rey, baju olahraga kotor yang malas dibawanya pulang. Kaus kaki menjijihkan yang dua minggu baru di cucinya dan buku pelajaran mereka yang biasanya berjejalan, semua hilang jejaknya. Hanya ada bunga itu dan cokelat serta rasa manis dan cinta yang mungkin di janjikannya lewat warna merah mudanya.
            Dengan malas Fahita menutup loker itu kembali. Pasti ada salah satu siswi yang dengan senang hati memberieskan loker mereka dan meletakan sebuket bunga untuk Reyhan. Akhir-akhir ini para penggemarnya memang menggila. Mungkin penggemar rahasiannya yang meletakan itu. Begitu fikir Fahita.
            Akhirnya, Fahita melangkah gontai menuju ruang kelas, melewati lapangan basket tempat biasa Rey dan teman-teman masih  bermain basket dengan asyiknya dan tanpa peduli walaupun bel telah meraung-raung. Dasar penggila basket, pelajaran sekolah di nomor duakan.
            “Rey, ada kejutan apa di loker pagi ini?” Fahita mencoba menyindirnya,
            “Mana Kutahu” Rey menjawab dengan cuek atau menurut Fahita pura-pura tidak tahu. Lalu, Fahita melangkah dengan gontai meninggalkan lapangan basket tanpa menoleh. Rey menjatuhkan bola basketnya dan berlari menghampiri Fahita.
            “Eh jutek, emang ada apa pagi ini?”
            “Penggemar rahasia kamu ngasih bunga lagi, tuh” Fahita menjawab dengan enggan,
            “Siapa?” Rey mengernyit
            Lagi-lagi Fahita menjawabnya dengan enggan, keli ini di barengi dengan mukanya yang cemberut.
            Tiba-tiba ia Rey tertawa begitu lepas hingga membuat Fahita kebingungan. Dengan sebelah tangan, Rey mencubit pipi Fahita, membuat Fahita merah padam dan lebih jengkel.
            “Ya ampun, Andre yang bener dong kalu ngasih bunga” reaksinya membuat Fahita kebingungan, dan bertanya-tanya. Lalu, Rey menarik pergelangan tangan Fahita ke arah barisan loker.
            “Tuh, lihat” dia menunjuk seikat bunga itu,
            “Ambil kartunya, dan baca yang benar”
            Fahita menuruti kata-kata Rey, lalu membaca huruf demi huruf yang ditulis dengan tulisan yang lebih mirip ceker ayam, khas tulisan cowok.
            Mawar dengan merah jambu warna yang melekat, terlalu sederhana untuk wajahmu yang terlampau cantik. Aku selalu berharap mampu menembus pagar di hatimu. Andrea.
            Wajah Fahita seketika memerah, campur antara malu dan senang. Berbeda dengan Rey, dia justru tersenyum sinis. Ternyata Andre telah menabuh genderang perang. Dan pagi inipun sebagai pertanda bahwa ia harus mulai mengatur siasat untuk mengambil hati si jutek dan sekaligus orang yang terpandai di antara siswa-siswi kelas 3.
            “Lihat saja nanti, pasti kamu akan bertepuk lutut di hatiku” batin Rey dengan pedenya.
###



Oketober, 2005

Tiga bulan berlalu, Fahita semakin resah.
Minggu depan adalah minggu yang puising. Midh semester telah datang menjemput dan mengajak para siswa untuk memutar isi kepalanya sampai 360 derajat. Fahita masih terlelap dalam bukunya. Sedikit tidak bisa konsentrasi, kepalanya terlalu sempit untuk menampung beberapa peristiwa yang akhir-akhir ini bermunculan dengan keanehan-kenahan tersendiri. Diawali dengan sikap Rey yang semakin mendramatisir dan tidak jail lagi seperti biasanya, belum lagi Andre yang selalu menggiringnya keranah perasaan. Huft memusingkan memang menghadapi dua mahluk aneh itu. Belum lagi sikap Leni yang akhir-akhir ini selalu ingin tahu hari-harinya. Ada apa sebenarnya dengan mereka, pernyataan itu masih menggantung dalam benak Fahita.
Keanehan-keanehan itu tidak lebih dari 60% menggerus pikiran Fahita, namun ada satu hal lagi yang lebih membuatnya puising dan menjalani harinya semakin tidak nyaman. Nilai-nilai pelajaranannya kini ada yang menyaingi dan ia tak lagi menjadi siswa yang number one seperti sebelum kedatangan sang Rival itu. Yah, yang membuatnya semakin menciut adalah ia dikalahkan oleh siswa yang tiga bulan lalu baru menginjakan kakinya di sekolah ini. Salah satu siswa yang juga meresahkan Rey, karena ia juga merasa tersaingi akan ketampanannya.
Garra sosok laki-laki pendiam yang sangat sulit ditebak ternyata adalah orang yang extra ordinari, gagasan-gagasannya dapat begitu saja mampu diterima oleh siapapun yang mendengarnya, rasional, berbobot dan mudah dicerna oleh kalangan siapa saja. Sedikit bicara namun mengena adalah salah satu prinsip yang diagungkannya. Oh lengkap sudah sempurna baginya.
Sudah lebih dari 20menit Fahita mondar-mandir di kamarnya, sambil memegang pena dan sessekali memegang kepalanya. Tanda ia puising tujuh keliling. Sambil berkacak pinggang ia bertekad untuk lebih extra lagi belajarnya dan membuang virus-virus yang akhir-akhir ini mulai merayapi tubuhnya. Belajar-dan belajar yang hanya akan ia lakukan, seperti hari ini, tumpukan buku telah memenuhhi kamarnya, satu persatu mulai di bacanya, sampai-sampai majalah fashion yang nangkring di mejanya terpaksa ia lempar ke atas lemari. Agar tak tergoda dan beralih pikiran. Begitu pikirnya. Berkali-kali hpnya berderingpun ia biarkan, ia benar-benar tak ingin di ganggu oleh siapapun. Sampai-sampai di pintu kamarnya ia tempel tulisan,
_Diamkan aku dan jangan ganggu konsentrasiku_
Ibunya yang sudah terbiasa melihat tingkah laku aneh anaknya ketika belajar hanya geleng-geleng kepala dan sesekali tersenyum. Walau Fahita dulu menolak mentah-mentahan untuk di sekolahkan di Madrasah Aliyah, namun akhirnya ia masih mampu bertanggung jawab. Walau sebenarnya tujuan utama Fahita bukanlah itu. Lulus dengan nilai yang terbaik dan mampu menembus UMPTN di Universitas Negeri.
“Fahita, jangan lupa makan sayang” suara ibunya di Balik pintu mengingatkannya. Namun, yang dipanggil tetapi tak bergeming tetapi saja konsentrasi melahap buku-bukunya. Sebenarnya, ia sudah sangat puising, tapi seketika mengingat wajah cakep dan otak jenius seorang Garra, semangat kembali meletup mengalahkan rasa puising dan ngantuknya. Anak baru itu telah benar-benar mampu menyihirnya hingga sedemikian rupa.
###
Jika di sudut kamarnya Fahita masih harus bermenit-menit bahka berjam-jam bahkan menghabiskan waktunya dengan menekuri buku yang masih lebih dari dua tumpuk, Garra justru tengah bersantai di kamarnya. Bermain game dan sesekali chating dengan kawan-kawan di Porong dulu. Kawan-kawan semasa di pesantrennya yang kini sangat ia rindukan. Sebelum Garra pindah ke Purworejo dan akhirnya ke Kebumen dan  mendarat di sekolah Swasta yang menurut Fahita sangat membosankan,  ia pernah tinggal di Porong. Dan lebih ekstrim lagi, ternyata semasa di Porong Garra bersetatus menjadi santri dan otomatis tinggal di Pesantren.
Bukannya Garra tidak betah tinggal di rumah atau tidak disayang oleh orang tuannya, sehingga melarikan diri ke Pesantren. Namun, justru orang tuannya terlalu menyayanginya sehingga menyuruh anaknya untuk mencari ilmu di Pesantren. Garra adalah anak yag menurut Bu Laras sangat berbeda dengan anak-anak yang lain seusiannya. Dulu, waktu berumur baru 10 tahun ke dua orang tuannya sering di buat terbelalak kagum olehnya, kejeniusan bahkan pantas disebut ekstra ordinary membuat Bu Laras justru khawatir. Takut anaknya tidak bisa menikmati masa-masa kecilnya seperti anak seusiannya, atau bahkan merasa tertekan.
Teringat beberapa kisah masa kecil Garra 10 tahun lalu, saat Garra masih kelas 4 SD, saat Garra masih begitu hoby bermain Magic Box, ia pernah di tantang oleh kakanya yang bernama Rian untuk menyusun enam bidang sewarna dengan mata terpejam.
“Gimana Ra, bisa gak neh?” tantang kakanya,
“Pasti doong” jawab adiknya.
Rian mengacak kubus Magic box yang oleh sebagian orang dinamai Rubic, yang barangkali mainan itu diciptakan oleh orang yang bernama Rubic pula.  Rian mengacak maina itu berulang-ulang sampai warnanya kacau. Melihat itu, Ibunya yang berada di sampingnya ngeri terbayang betapia sangat sulit ia mencoba menyusun sebidang. Enam bidang sewarna saja sudah sangat luar biasa eh ini anaknya yang baru berumur sepuluh tahun menyusunnya dengan mata terpejam.  Benar-benar luar biasa.
Rian menyerahkan kubus itu pada adik semata wayangnya.  Butuh waktu tak lebih dari semenit Garra mengamati kubus magic bok warna-warni yang ada di depannya itu, otaknya yang cerdas mengamati dengan seksama kedudukan semua warna dan mungkin tengah menanam ke dalam memori virtual yang ada di otaknya. Ibunya akhirnya turun tangan untuk membantu mengikatkan sapu tangan untuk menutupi matanya.
“Paling gak bisa” kakanya mulai menggodanya.
Tetapi Garra hanya cuek saja.
Dengan penuh keyakinan, Garra memutar mainan pengasah  kecedasan otak itu berulang kali. Dengan mata yang terpejam, Garra mencoba mengikuti kemana gerak setiap warna yang diputar, direkonstruksi dan ditata ulang, yang sekali lagi, hal itu di lakukan dengan mata terpejam.
“Yess” Garra meletup.
Bu Laras benar-benar dibuatnya terbelalak ketika anak bungsunya menyelesaikan permainannya tidak kurag dari dari lima menit. Semua bidang menjadi sewarna pada masing-masing sisinya. Kak Riyan yang memungut Magic box itu mengalami kesulitan menerka cara kerja otak adiknya itu, sampai-sampai pekerjaan serumit itu bisa diselesaikanya dengan sempurna. Dipandanginnya permainan magic box yang kini berada digenggaman tangannya. Akhirnya kak Rian melepas senyum kagum yang semula ditelan.
Rian yang sangat merasa bangga segera mengangkat tubuh adiknya dan dipanggulnya di atas pundak.
Bukan hanya sekedar itu, kebanggaan mereka terus berlanjut pada Garra. Saat baru lulus SD Garra memberiikan kejutan yang sangat luar biasa. Saat itu, kakanya Rian tengah kebingungan mencari ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan pernikahan karena ia memang mendapat tugas membaca Qira’ah di tempat Om Ridho tetangga selang empat rumah dari rumahnya. Tiba-tiba adiknya menyeletuk dengan entengnya,
“Ada diantara lain surat Ar-Rum ayat 21” kontan kakanya terbelalak kaget. Mengingat kejeniusan adiknya itu, Rian langsung membuka Al-Qur’an dan memastikan benar atau tidaknya. Dan hasilnya sangat memuaskan. Ternyata benar.
“Kalau di kitab itu, Ar-Rum itu ada di halaman tujuh ratus sembilan puluh dua ayat dua puluh satu” jawab adiknya sekali lagi tanpa menoleh.
“Ya Alloh” desis Riyan.
Ternyata benar surat itu ditemuka dalam halaman yang tadi disebutkan oleh adiknya itu.
“Kalau jumlah ayatnya berapa coba?” Riyan mencoba kembali mengetesnya.
“Enam puluh” jawabnya lagi.
“Bunyinya tahu tidak?”
“Wa min aayaatihii an khalaqa lakum min anfusikum azaajal li taskuu-nuu ilaihaawa ja’aala bainakum mawaddataw wa Rahmatan inna fii dzalika la ayaatil li qaumy yatafakkarun”
Benar-benar sungguh bagai mukjizat. Kala itu Rian benar-benar terbelalak dan sampai menutup mata untuk meredam kekagetannya. Apa yang barusan diucapkan adiknya benar-benar rinci, tak sehurufpun ada yang salah.
Semenjak itulah ayahnya yang bernama BRahmana memutuskan untuk mengirim anaknya ke Pesantren untuk mendalami Al-Qur’an pada seorang guru karena sepandai apapun manusia tanpa hadirnya seorang guru sesungguhnya gurunya adalah Syaithan. Dan akhirnya pesantren Al-Ikhsan yang tepatnya berada  di Porong  jawa timur sebuah tempat tak jauh  dari Sidoarjo dan Surabaya, Pak BRahmaa banyak mengenal banyak orang yang tengah menghafal Al-Qur’an dan memang Pesantren itu dikhususkan untuk Tahfidz. Dengan seorang gurunya  yang ia kenal baik dan bernama Muhamad Mahsun yang konon berasal dari sebuah desa bernama Curahjati Banyuwangi, Jawa Timur juga. Pemuda santri yang kemudian diambil menantu oleh pemilik pondok itulah yang kemudian menjadi pelopor sebagai penghafal Al_Qur’an. Dan sebagai penghapal Al-Qur’an yang diperoleh dengan pembelajaran secara ototidak, Muhamad Makhsun membimbing para santrinya untuk menjelajah lebih jauh. Para santrinya dibimbingnya untuk menghapal al-Qur’an dan mengkajinya lembar demi lembar, di pahatkan ke benak.
“Menghapal Al-Qur’an pada dasarnya adalah pembacaan yang berkesinambungan seumur hidup. Tak ada gunanya hafal bila setelah itu berhenti mengasahnya”itulah ucapan Kyai Makshun dalam memotivasi para santrinya.
Melihat dan meninjau secara langsung kegiatan belajar di pesantren itu, Ayah Garra sangat cocok dan akhirnya memasukan Garra ke pesntren tersebut. Garra yang pada dasarnya anak yang sangat pendiam dan penurut hanya mengikuti keinginan Ayahnya. Ternyata memang benar, keinginan Ayahnya membuahkan hasil, lebih dari dua tahun Garra berada di Pesantren dan kini ia telah bisa menghapal Al-Qur’an.
###


Dua hari sebelum ujian midh semester, dan itu artinya masih dalam masa minggu tenang,  Fahita dengan sengaja datang ke sekolah dan begitu sampai di pelataran sekolah ia mengayunkan langkahnya menuju perpustakaan. Belum puas dengan beberapa tumpuk buku di rumah, akhirnya ia pergi melahap buku yang ada di perpustakaan sekolah. Obsesinya untuk menjadi number one memang begitu besar apalagi saingannya adalah anak baru.
Begitu sampai di perpus, saat Fahita masih sibuk diantara jajaran buku  fisika yang tertata rapi, tiba-tiba,,
“Fahita, sedang apa di sini? Mau minjam buku juga?” Tanya seorang laki-laki yang belum lama ini di kenalnya. Ini memang bukan kali pertama mereka saling tegur sapa namun pagi ini ada yang lain, senyumnya begitu indah dan wajahnya terlihat begitu teduh.
“Eh iya, lah kamu sedang apa?” jawab Fahita di susul dengan bertanya Balik.
“Aku sedang bosan di rumah, Ayah dan Ibuku sedang berkunjung ke tempat nenek dan kakaku sedang berada di kantornya, jadi aku kesepian dan akhirnya jalan-jalan ke sekolah” terangnya. Fahita tidak begitu mendengarkan, ia lebih tertarik untuk menikmati senyum yang kini menempel di wajahnya.
“Fahita, mengapa malah melamun?” tanyanya
“Eh-Eh engga” jawab Fahita gelagapan.
“kamu rajin sekali ke Perpus, Fahita?”
Hehehe, Fahita hanya menjawabnya dengan senyum simpul, sebenarnya ia ingin menjelaskan bahwa ia terpaksa harus belajar mati-matian demi melawannya, tapi segera Fahita urungkan karena ia merasa malu dan ternyata anak baru yang bernama Garra itu yang  juga Fahita sangat mengancam nilai-nilainya itu justru mengajaknya belajar bersama.
Kantin menjadi tempat pilihan mereka, selain santai juga dapat menikmati segarnya jus Ibu kantin yang sudah terkenal enaknya di seantero sekolah.
“Benarkan besok senin jadwalnya kita ujian Fisika?” Tanya Garra pada Fahita yang tengah menyeruput jus alpukatnya.
“Memang kamu tidak mencatat jadwalnya?”
“Tidak” jawab Garra yang membuat Fahita terheran-heran baru kali ini ia menemukan orang cerdas namun tidak rajin sungguh suatu yang tidak seperti biasanya. Orang rajin biasanya akan pintar dan orang pintar sudah pasti rajin, tapi berbeda dengan Garra. Cerdas namun malasnya juga minta ampun.  Buku fisika yang sedari tadi di tentengnya akhirnya mulai Garra buka dan mengajak Fahita berdiskusi. Hanya Fahitalah selama tiga bulan berada di sekolah barunya itu Garra bisa berkomunikasi, mungkin karena Fahita juga memiliki otak yang sama-sama cerdas walaupun berbeda versi. Dengan Fahita juga ia merasa senang berdiskusi baik masalah pelajaran maupun materi-materi di luar pelajaran seperti mengenai puisi maupun cerpen. Ternyata keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama suka pada sastra.
Memang tidak ada kompetisi tertulis diantara mereka berdua untuk menempati posisi number one atau bintang sekolah, karena selama ini, semenjak kedatangan Garra, Fahita sering belajar bersama dengannya, namun begitulah orang pintar selalu menjadikan kawannya sebagai lawannya dalam perlombaan mencari kebaikan. Seperti beberapa hari kemarin Fahita belajar dengan ekstra untuk menempati posisi yang unggul. Ia tidak ingin reputasinya sebagai bintang sekolah melorot begitu saja.
“Bagaimana, sudah bisa kita mulai diskusinya?” Tanya Garra sambil mencorat-coret selembar kertas yang ada dihadapannya.
“Ok. Sekarang juga” Jawab Fahita mantapi.
“Kita mulai dari halaman tujuh yaitu mengenai Kinematika dan Dinamika Gerak Lurus”
Lalu Garra menjelaskan ruang lingkup dari halaman tujuh tersebut, mulai dari kelajuan, kelajuan rata-rata, hingga kecepatan.
“Garra, persamaan mendasar dari kelajuan dan kecepatan, apa?” Tanya Fahita ditengah penjelasan Garra.
“Kelajuan dan kecepatan itu mempunyai persamaan, tapi kecepatan merupakan besaran vektor, sedangkan kelajuan adalah besaran skalar”
“Oyah kalau hukum kekalan momentum kamu masih ingat?”
“Kalau tidak salah, M1. V1+M2.V2 = M1 . V1’ +M2 .V2’
“Wah, ingatanmu sangat tajam ternyata, padahal itukan pelajaran kita pas semester awal” Puji Fahita pada Garra. Ternyata yang dipuji hanya tersenyum simpul.
“Nah, sekarang giliran aku yang bertanya padamu,”
“Hah, bertanya tentang apa?”
“Coba jelaskan tentang ruang lingkup gelombang”
Fahita terdiam sebentar, mencoba mengingat-ingat mata pelajaran kelas dua semester awal, begitu memori virtualnya menariknya untuk ke masa hampir setahun lalu, ia langsung menjelaskannya pada Garra,
“Gelombang adalah usikan yang merambat dalam suatu medium. Sedangkan di dalam perambatannya, gelombang tersebut akan memindahkan energi. Dan, untuk jenis serta sifat-sifatnya aku lupa” he-he-he, Fahita tersenyum malu.
“Gelombang itu terdiri dari dua jenis” Garra menyambung jawaban Fahita. “ yaitu, Gelombang Transversal, dimana gelombang tersebut arah getarannya tegak lurus dengan perambatannya, sebagai contoh gelombang elektromagnetik. Nah, sedangkan jenis yang ke dua yaitu gelombang longitudinal dimana gelombang tersebut arah getarannya berimpit atau searah dengan arah rambat gelombang, contohnya itu gelombang pegas dan gelombang bunyi”
Fahita yang berada di depan Garra masih terdiam, ia bagai tersihir dengan penjelasan Garra yang begitu runtut dan tertata. Betapia cerdas dan tajam ingatannya.
“Fahita, Fahita, kok malah melamun? Mau dilanjutkan gak neh?” Panggil Garra, Fahita yang kaget dan sepontan langsung mengiyakan dengan gelagapan.
“Jadi,” Garra melanjutkan, “sifat-sifat umum gelombang itu ada lima macam, diantaranya; refleksi, refraksi, interferensi, difraksi dan terpolarisasi
“Waow” Fahita hanya bergeming, ia bingung hendak menimpali apa, yang jelas, Garra begitu cerdas dan cekatan.
Memang ada banyak orang jenius di bumi ini, mungkin salah satunya adalah Garra. Ia ibarat Albert Einstennya sekolah kami, tidak disangka, ia yang lulusan sekolah persamaan di pesantren mampu menguasai rumus-rumus fisika terlebih ia juga pandai dengan biologi, kimia, dan yang lebih menakjubkan adalah ia pandai menulis karya tulis ilmiah misalnya.
   Huft, Fahita mengibaratkannya seperti Albert Einsten, salah satu orang jenius di bumi ini. Dari otak jeniusnya itu, kemudian tercetuslah teori relativitas yang menggegerkan, dan dari kejeniusannya pula lahir rumus E= MC kuadrat , energy sama dengan masa dikalikan cahaya dikuadratkan. Dari kecerdasan otak Albert Einsten itulah kemudian juga tercipta bom atom yang pada ujungnya beranak pinak menjadi bom nuklir yang memiliki kekuatan mengerikan.
Jenius atau kecerdasan ekstra ordinari selama ini merupakan fenomena aneh yang belum ditemukan jawabannya. Manusia dengan kemampuan luar biasa semacam itu biasanya melahirkan hal-hal yang tidak terduga.  Dari orang jenius lahir rumus-rumus fisika luar biasa, juga di bidang ilmu pengetahuan lain yang termasuk musik, seni lukis, sastra bahkan rumus-rumus ekonomi dan akuntansi.  
Ibu Garra melihat berdasarkan referensi, bahwa orang jenius seperti memiliki dunia terpisah berbeda dengan orang lain, karena kemampuannya melihat dan merenung berbeda atau bahkan melebihi kapasitas orang lain. Karena perbedaan semacam itu biasanya orang-orang berotak jenius justru tidak berhasil menjalani hidup bahagia, tercatat banyak di antaranya malah mati bunuh diri. Itu sebabnya sejak kecil, semenjak Ia mengetahui ada yang luar biasa pada anaknya ia berusaha keras untuk menjadikannya sebagai anak yang biasa saja, menyuruhnya bermain, bergaul dengan teman-teman sebayanya. Karena Garra memang harus mendapatkan haknya sebagaimana anak seusianya.
Fahita yang masih dililit pesona itu memandang Garra. Hening sejenak seiring angin yang berhembus menyapu wajah masing-masing.
 “Garra, Aku kagum padamu, kagum pada pengetahuanmu yang luas. Kagum pada kelincahanmu yang ceria, dan juga pada canda tawamu yang lepas. serta pada binar matamu yang menawan. Semua yang ada pada dirimu memang pantas aku kagumi, seperti saat ini, saat kita berteman bersama, saat aku mendengar cerita dan penuturan indahmu, semua begitu terasa indah. Wawasanmu yang luas, juga sikap pengertian dan toleransimu padaku yang tinggi, kau memang sahabat yang baik,” ucap Mentari, memuji sahabatnya itu.
“kamu bisa saja,” mereka tertawa bersama,
“Ingin aku kasih tau sesuatu?” lanjut Garra,
“Apah?” Tanya Fahita penasaran.
“Fahita, sebenarnya kalau menurutku Tidaklah penting berapa lama kita
hidup! Satu hari, atau seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah  apa yang kita telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain!”
Fahita terdiam dan mengiyakan, ternyata manusia yang kini ada di hadapannya tidaklah hanya jenius namun juga sangat bijaksana dan memandang arti hidup dengan pandangan yang luas. Lalu Garra melanjutkan perkataannya bahwa kebanyakan manusia saat ini hanyalah cukup puas dengan: Lahir-hidup dan ujung-ujungnya meninggal, hingga akhirnya yang tertinggal hanya tiga baris di batu nisannya; tanggal lahir, hingga matinya.
“Sebenarnya, mayoritas manusia tidaklah mampu mengukir sejarah dengan baik dan tanpa mau menyatukan 3K”
“Apa itu 3K?” Tanya Fahita,
“Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan. Berawal dari kemauan yang sudah ada,  keilmuan sudah mumpuni maka kesempatan itu sebenarnya mampu dicari dan  diupayakan. Percayalah ketika ketiga unsur itu dipadukan dalam hidup maka sejarah kebesaran tentang hidupmu akan dimulai”
            “Satu hal lagi yang tidak pernah boleh terlupakan oleh manusia” Garra melanjutkan kata-katanya, Fahita yang berada di depannya masih menyimaknya dengan penuh konsentrasi, “Bahwa ujung dari segala kehidupan dan usaha manusia di dunia adalah mencari keridloan Tuhan”

            Fahita hanya tersenyum, senyum yang syarat akan kekaguman yang luar biasa. Bersamaan dengan dentang jarum jam yang tengah menunjukan bahwa matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun akhirnya mereka pulang ke rumah masing- masing dan dunia masing-masing. Mereka melangkah dengan senyum penuh arti, senyum bahagia dan senyum yang bermekaran di hati.
###





To: Jiwa yang kuharap mencintaiku “ Fahita, wanita terindah”

Aku mengukir garis lengkung di bibirku
Isyaratkan rona2 hati merah muda…
Begitu lembut membelai jantungku..
Seperti ketika kehidupan berikan nyaman di waktuku..
Saat ,,,,
Aku mengukir tanya di benakku..
Isyaratkan pikir yang menuntut kepastian..
Mendesak hebat menyesakkan dadaku
Seperti ketika awan gelap curahkan hujan…

Wahai kau sebuah makna..
Berikan aku setitik terang tuk langkahku…
Ketika ku ingin menggapaimu..
Dan berbisik..aku mencintaimu tanpa syarat

By: Andre yang selalu memuja hati dan jiwamu.




“Huft” Fahita melenguh panjang, di awal paginya, surat cinta sudah mendarat di lokernya, di susul dengan sikap Rey yang sok perhatian.
“Pagi Fahita, kamu terlihat segar sekali pagi ini, brosmu bagus dan ....” masih banyak lagi ocehan-ocehan yang membuatnya risih. Dan Tak ada yang dapat ia ucapkan hari ini, seperti hari kemarin,  hanya bisa cuek dengan tingkah dua manusia itu. Lalu ia pergi begitu saja ke kelas dan menemui Garra, untuk mematangkan lagi belajarnya semalaman.
“Kok matamu sembab? apa tidak tidur semalaman?” Tanya Garra yang melihat wajah Fahita tidak segar,
“Iyah, aku  masih kesusahan dengan rumus-rumus kimia”
“Jangan terlalu terfosir, belajar SKS bukanlah hal yang baik, sseharusnya di masa-masa ujian seperti ini adalah saat kita mendinginkan  kepala. Duduklah di belakangku nanti aku akan sedikit memancing ingatanmu”
Hehehe, Fahita tersenyum, betapia beruntungnya ia mendapat sahabat yang baik seperti Garra.
Dalam tiga puluh menit Garra telah menyelesaikan dua puluh soal kimia yang kini berjajar di depannya, berbeda dengan Fahita, masih tersisa lima nomor lagi yang benar-benar ia lupa rumusnya, huft ia sudah pasrah mungkin semester ini posisinya akan di gantikan oleh sosok yang kini berada di depannya. Namun, ia sudah tidak peduli, betapia ia ingat nasehat Garra tempo hari bahwa mencari ilmu bukanlah mencari posisi yang unggul namun menunaikan kewajibannya sebagai manusia yang masih bernyawa. Menang kalah adalah suatu hal yang sangat biasa, menang itu memang menjadi tolok ukur manusia dalam berusaha, tapi Tuhan tetapi melihat proses kita.
Garra lalu bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kelas sambil menarik kertas ujian Fahita dan menukar dengan lembar kertas ujiannya, yang berisi coretan tangannya, dengan tujuan agar Fahita sedikit mengingat pelajaran yang lalu,
“Rumus cobalt (III) karbonat: Co2(CO3)3, kimia untuk molekul senyawa ion merupakan rumus kimia yang dibentuk dari penggabungan antar atom yang bermuatan listrik, yaitu ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Ion positif terbentuk karena terjadinya pelepasan elektron (Na+,K+,Mg2+), sedangkan ion negatif terbentuk karena penangkapan electron (Cl-, S2-, SO42-). Dan untuk senyawa  biner non logam dengan penulisannya berdasarkan kecenderungan atom yang bermuatan positif diletakkan di depan, sedangkan kecenderungan atom bermuatan negatif diletakkan di belakang menurut urutan atom; B ? Si ? C ? S ? As ? P- N ? H ? S ? I ? Br ? Cl ? O ? F, semoga bisa mengingatkanmu pada setahun silam”
Fahita masih terdiam dan tak menyangka Garra akan membantunya membangkitkan ingatannya untuk menyelesaikan soal-soal yang kini masih tersisa. Lalu ia hanya perlu mensyukuri dan merenungi.
“Wah mengapa , kalimat yang berjejer di depanku, justru  mencoba jelaskan isi hatiku dalam tatapian matamu” Fahita sedikit bergeming. Lalu ia menghapus pikiran yang sejenak menghampirinya, ia tidak ingin terlalu jauh memikirkan kebaikan Garra.
Fahita segera menyelesaikan soal ujiannya dan tak lebih dari 15 menit akhirnya ia mampu menyelesaikannya dengan keyakinan bahwa masih ada harapan dengan nilai-nilaniya. Begitu selesai ia langsung keluar dan mencari Garra.  Enatah mengapa, semenjak akrab dengannya, hal yang paling membuatnya semangat adalah ketika belajar bersama Garra, ia benar-benar tak peduli dengan cinta yang ditawarkan Andre dan terlebih Rey, yang sebenarnya cinta mereka hanyalah sebatas taruhan. Dalam pandangan Fahita, dua manusia antik itu hanyalah manusia yang begitu bangga dengan fisikly dan popularitas, berbeda sekali dengan Garra, seorang laki-laki yang benar-benar berkualitas.
Setelah beberapa menit akhirnya sosok yang Fahita cari ketemu juga, kantin adalah tempat favoritnya, sambil menikmati jus mangga dan membaca buku atau kadang kala hanya mendengarkan musik. Itulah Garra sang jenius, lalu Fahita mendekatinya dan mereka akhirnya berbincang-bincang lalu membahas mata pelajaran untuk hari esok, begitulah seterusnya hingga ujian selesai, bahkan ketika liburanpun mereka masih sering sharing dan kadang hanya bertemu untuk berbincang tentang kegiatan dalam keseharian.
“Fahita, selamat yah, akhirnya kamu masih menjadi juara” Ucap Garra pada Fahita, yang mendapatkan peringkat ke dua umum,
“Terimakasih, sebenarnya aku sedikit marah padamu, mengapa kamu harus merebut posisiku untuk jadi number one?” jawab Fahita pura-pura cemberut, Garra merasa tidak enak, namun buru-buru Fahita menjelaskan,
“Hei tidak apa-apa, aku sudah tidak mempermasalahkan itu, sekarang yang penting adalah aku masih mampu ikhlas dan istiqomah dalam belajar” Garra hanya tersenyum, senyumnya begitu manis hingga membuat Fahita salah tingkah,
“Garra, terimakasih yah, kamu telah banyak mengajarkanku tentang kehidupan” Ucap Fahita, Garra hanya tersenyum simpul, sesimpul perasaan di hatinya yang kini terbalut tentang satu nama; Fahita.
###


Fahita, andai kau tahu, Di ujung lembayun senja kemarin mungkin hingga esok dan seterusnya lamunan berhenti di bayangmu. Bayang yang selalu menjadi mimpi Pada hati yang menunggu. Di gelapnya temaram bulan khayalanku jatuh di dirimu, Sosok yang terus melekat dalam jiwa bersama rindu yang mendera. Di terbitnya sang fajar pikiranku masih tentangmu, pada diri yang tertanam di relung yang menjadi paruhan hidup.  
Pikiran Garra terus melayang bermain bersama  perasaan di hatinya yang kini meliuk-liuk dan meronta untuk segera terbebas dari belenggu yang tertahan dan tersimpan berbatas rasa takut. Kebersamaannya bersama Fahita hampir lebih dari satu semester itu membuatnya  mempunyai pandangan lain terhadapnya; Pandangan hati.
Hari-hari yang terus berkejaran bersama matahari dan digantikan rembulan jika malam datang, terasa hampa dan sunyi tanpa suaranya, tanpa melihatnya, dan tanpa berbincang dengannya.
 Garra semakin merasakan keanehan itu, namun ia selalu berusaha untuk menutupi dan membuatnya seolah semua terlalu biasa.  Namun ternyata tak semudah itu, malam ini baginya benar-benar mencekam, melilitnya dengan kerinduan yang maha dahsyat, ia ingin sekali mendengar sayup-sayup merdu pita suaranya, ia ingin melihat wajah jelitanya, namun tiba-tiba langkah dan keinginan itu terhenti ketika  matanya melihat Mushaf syair abadi dunia dari abjad timur itu, lalu hatinya sedikit berbincang dengan kesunyian Al-Qur’an itu, hingga ia tertunduk dan berfikir sejenak; harus hati-hati dan berdasarkan syariat. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk mengambil handpone langkahnya ia gantikan menuju kamar mandi dan mensucikan anggota wudlhunya.
Di sela-sela terdiamnya mendekati Tuhan, ia sedikit bergeming dalam hati, merintih meminta petunjuk,
“Ya Tuhan, Dimatanya, Aku mungkin saja hanya ilusi atau bahkan mimpi belaka. Tapi aku tak peduli karena bagiku, kangen dan rindu ini begitu jelas untuknya. Aku merasakan sesuatu saat ini, rindu akan dirinya, rindu melihat dirinya, rindu dengan senyuman dirinya. Malam ini bulan bersinar cerah, ku berharap diriku akan secerah bulan  itu. Yang akan terus menyinari dirinya lewat ridlo dan petunjuk_Mu ya Robbi. Ya Alloh berilah petunjuk kepada diriku ini. Apakah aku salah seperti ini? Salahkan diriku mencintai ciptaanmu?” Garra lalu tertunduk, terdiam dan mencoba berkomunikasi dengan batinnya sendiri.
Ia seolah merasa sangat bersalah kepada Tuhannya, namun sesekali jiwa kemanusiaannya mendebat, betapia hak seseorang untuk mencintai, bukankah hak adam untuk mencintai wanita, bukankah memang sudah sewajarnya laki-laki tertarik dengan keindahan, keindahan ciptaannya. Ataukah karena ia Hafidz jadi tak boleh mengagumi wanita, atau bahkan karena ia adalah seorang pemuda yang pernah mengenyam pendidikan pondok pesantren, sehingga suatu perasaan cinta menjadi hal yang sangat tabu?
Baginya, tak ada sekat bagi hati manusia untuk menerima kiriman cinta dari Tuhannya, walau ia dalam posisi apapun, baik seorang hafidz al-Qur’an bahkan seorang anak pondok sekalipun, cinta tetapilah cinta suatu rasa yang akan tetapi menjamah manusia lewat sudut-sudut nuraninya, betapia ia tiba-tiba mengingat kata-kata seorang sastrawan pujaannya; Khalil Gibran.
“Cinta yang lahir dari kesucian hati, akan kekal abadi. Ia tidak bisa ditundukan oleh siapapun kecuali oleh Tuhan, karena cinta kepada Tuhan adalah cinta yang hakiki dan tak tertandingi,”
Betapia malam ini bernyawa seperti malaikat, yang menjelma dalam titian rasa, Garra masih tersungkur dalam sujudnya, seolah memohon ampunan yang tiada tara. Sedang di luar gelap masih merajai malam. Kabut masih menyelimuti tipis. Bayang-bayang daun pohon mangga menghitam tersaput, kabut samar bersisian dengan pohon pisang yang sesekali melambai,  sesekali terdengar hembusan angin timur yang menggesekan dedaunan, saat itu Garra pun menuntaskan do’a malamnya, memohon ampun atas hari yang dijalaninya, atas kebodohannya menjalani kehidupan dan atas kurangnnya bermunajat kepada Tuhannya terlebih terhadap perasaan yang kini tengah mengkikis perhatiannya. Ia hanya berharap bersama malam yang semakin dingin, semoga ia tetapi di jalan_Nya.
Sambil mengusap wajahnya, direnunginya kegelapan malam di Balik pintu rumahnya, ia tak ingin hidupnya dalam kegelapan, ia tak ingin jauh darinya. Lalu ia mengambil Mushaf tercintanya, dan mentadzaburi dengan penuh cinta.
Memang sungguh indah, jika semua diserahkan kepada Tuhan termasuk perasaan cinta terhadap hawa.
###





Hari selasa; hari saat Andre dan Rey meminta jawaban Fahita atas perasaannya. Dengan membawa satu boks cokelat, Rey siap dengan gagahnya menghampiri Fahita. Dengan penuh rasa percaya diri, bahwa ia akan menjadi pemenang dan membuat Andre malu atas keberaniannya mengajaknya taruhan. Dan ia akan tertawa menang.
Begitu pula dengan Andre, yang sudah berstrategi dengan caranya sendiri. Ia sudah membawa sebuket bunga yang sudah dipetiknya pagi-pagi dari kebun kecil di rumahnya, mencuri start dengan meletakannya di loker sebelum Fahita dan Rey datang, sebelum para siswa lalu lalang. Bersama sebuket bunga ia selipkan kata-kata manis untuk Fahita, kata manis yang semanis wajah Fahita.
Aku mengerti, aku tak pantas seperti ini. Hanya waktu yang bisa menjawabnya dan juga hatimu,  wahai bidadariku, hatiku yang terbelenggu tidak bisa dibohongi oleh perasaan ini. Jika kau tidak ada mengapa mata ini selalu ingin mencari untuk melihatnya. Jika kau bicara mengapa telinga ini ingin selalu mendengarnya. Aku hanya butuh satu syair dari dalam hidupmu untuk hidupku, syair cinta yang tulus yang hanya tercipta untukku. Aku menunggumu di sudut hatiku”
Jika Andre begitu percaya diri dengan sebuket bunganya, Rey juga begitu yakin dengan cokelat bawaannya. Cokelat yang sengaja ia buat sendiri. Sudah semalaman ia berKutat di dapur, membuat serangkaian cokelat berbagai rasa dan bentuk begitu jadi ia menata barisan cokelat dengan bentuk daun waru, dan akan  meletakannya  pagi-pagi sekali   di loker sebelum Fahita datang.
Ia teringat kata-kata Leni, kalau Fahita begitu menyukai cokelat, Leni memang sengaja membantunya melancarkan aksi pertaruhannya dengan Andre, Leni mencari tahu makanan kesukaannya bahkan tentang hobinya, kebetulan saat itu Fahita tengah membaca buku yang berjudul cokelat. Buku mungil kira-kira seratus halaman, dengan gambar yang menarik.
Sejak hari itu, Rey menarik kesimpulan orang yang suka membaca tentang cokelat tentunya sangat menyukai makanan tersebut. Dengan cara itu pula, Rey mencoba menarik hatinya. Entah apa rasa cokelat buatannya, ia tak peduli, namun ia tetapi merasa percaya diri untuk melanjutkan rencana ini. Ia merasa tidak bisa mundur dan menyerah tanpa dicoba. Rey juga tak ketinggalan sama halnya dengan Andre, menyelipkan sebait puisi yang cukup romantis;
“Teruntuk Gadisku yang Jenius dan menarik jiwaku untuk memeluk jiwamu”
Setiap mataku terpana padamu
Saat itu pula rasaku tak menentu
Detak nadiku ...
Goncangan dadaku ...
Menghanyutkan ketenangan kalbuku
Kadang kusentak diriku
Kutarik pandangan yang terpaku
Kusadarkan jiwaku yang menggebu
Dan kukurung dalam terali hatiku
Karena bimbang dan ragu
Seribu tanya yang masih menghalau
Adakah kau seperti aku ... ?
Namun aku tetapi tak peduli, karena aku berharap kau sepertiku.

Sekitar setengah tujuh Fahita sampai di gerbang sekolah, masih terlihat sepi, siswa-siswi belum banyak yang berlalu lalang. Ia langsung menuju lokernya, terasa puising seketika ia membuka lokernya, sebuket bunga dan seboks cokelat telah nangkring dengan indahnya, ia sudah yakin itu pasti dari manusia terjail yang tak punya kerjaan selain mengejar popularitas. Ia tak sedikitpun berminat membuka hadiah yang teruntuk dirinya dengan penuh cinta yang sebenarnya palsu. Semenjak ia mengenal Garra dan terlebih dekat dengannya, seolah hati dan jiwanya hanya menyerukan namanya. Andai ia boleh mengibaratkan, di lembayun senja harapannya terhenti atas namannya, hingga temaram bulan khayalannya pun jatuh pada bayangannya, hingga sampai di terbitnya sang fajar, pikirannya masih saja tentangnya, andaikan ia mampu menjadi paruhan hidupnya, betapia dunia ini akan terangkum dalam keindahan.
Fahita segera menghapus pikirannya, ketika sosok yang ia bayangkan datang dengan membawa senyum surga yang begitu menjanjikan akan pengangkatannya menjadi permaisuri abadi serta bidadari penghias kastil yang sempurna tanpa adanya kematian lagi, senyuman yang begitu indah dan menyimpan seribu makna pada kehidupan yang tertata.
“Asalamualaikum, selamat pagi nona manis”
“Walaikum salam,” jawab Fahita singkat disertai senyum manis juga. Betapia sempurna paginya, kini khayalannya bukanlah lagi sebatas khayalan belaka, fajar yang tadi sempat mengisi pikirannya dengan sebait namanya kini telah merekah menjadi mentari timur yang menghangatkan jiwanya.
Lalu, mereka berjalan beriringan menuju kelas. Langkah pasti menjadi milik mereka, hingga mereka tidak tahu, di persimpangan tangga yang menghubungkan lantai 1 yang dihuni kelas satu dan kelas dua dan lantai dua yang di huni kelas tiga, Andre dan Rey tengah memperhatikan mereka. Setiap langkah Fahita dan Garra seolah mengisyaratkan bahwa taruhan mereka harus berhenti  dan tidak ada pihak yang menang atau terkalahkan. Yang ada hanyalah kecewa dalam hati, terutama hati terdalam Rey. Yang sebenarnya telah lama ia memendam perasaan padanya, serta menikmati semua perbincangan serta mengindahkan pertemanan yang terjalin selama tiga tahun ini dengan rangkaian harapan semoga berakhir dengan penyatuan hati. Namun, tampak jelas semuanya pagi ini bahwa tampang cakepnya tak membuat Fahita sedikitpun bergeming. Terasa sia-sia semua usahanya selama ini, termasuk menjadikan Leni sebagai batu loncatan mendapatkannya.
“Kita kalah sebelum berperang Rey,” ungkap Andre meratapi nasib, namun tak terlalu dalam.
“Cerdas ternyata menjadi prioritasnya,” jawab Rey lirih mengakui kekurangannya.
Fahita,  hanya dirimu belahan jiwa diriku, hanya dirimu jantung hatiku, hanya dirimu cahaya hati diriku, hanya dirimu segala bagi diriku. Rey masih meratapi nasib cintanya yang porak poranda bersama langkah kaki yang mengungkapkan senyuman diantara siswa the best di sekolah ini.
Mata pelajaran pertama di hari selasa  adalah fisiska, Garra yang duduk tidak terlalu jauh dari Fahita, sedikit mencuri pandang namun sesekali menundukan kepala. Ia tidak ingin pandangan matanya berlanjut menjadi kebahagiaan syaitan yang selalu mengintainya dan berharap ia lengah. Ia tiba-tiba teringat nasehat gurunya ketika di Porong dulu.
“Awal maksiat adalah bersumber dari mata, lalu di produksi oleh otak dan di cerna oleh hati. Wanita adalah salah satu yang melemahkan pertahanan laki-laki begitu pula seBalikanya, jadi janganlah sesekali memanjakan mata dengan kenikmatan yang berujung dosa, hanya akan memperkeruh hati” Nasehat Gurunnya ketika mengajar kitab Ta’limul muta’alim.
Garra sama sekali tak bisa konsentrasi dengan penjelasan gurunya, justru ia iseng menulis kata-kata dengan ungkapan yang sangat konyol, menghubungkan fisika dengan sebait kata-katanya dan segera melemparkannya ke meja Fahita. Fahita yang sedang serius terhenyak kaget, lalu tertawa sama sekali tak menduga bahwa Garra bisa sekonyol itu, walau kekonyolannya itu adalah ungkapan hatinya yang bersekat aturan-aturan agama yang mengajarinya memelihara jasad serta jiwa dari sesutu yang harus dihindari termasuk urusan cinta dalam umur yang masih labil, seperti umur mereka yang baru menginjak 17 tahun.
Lihatlah…
Setiap ku memandangmu,:
Amperemeter dan voltmeter cintaku selalu menunjukan skala penuh,
dan gelombang di osiloskop hatiku bergerak tak karuan
Setiap ku mendekatimu,
hatiku bergetar lebih dahsyat dari getaran turbin yang membangkitkan
arus AC tiga fasa 220 volt 50 hertz.
            “He-he, siap-siap menjadi korban kejailanku, ketika aku sedang tidak minat mengikuti pelajaran yah” hehehe, pesan Garra di sesobek kertasnya. Fahita mengerling, seolah menerima dengan senang hati. Semenjak kejahilan itu, mereka sering kali saling berkirim puisi. Dan saling terbuka untuk menceritakan hari-hari mereka bahkan kesulitan-kesulitan yang terkadang membuat mereka penat.
            Pernah sesekali di suatu senja yang hampir menguning, Garra mengajak Fahita berkeliling-keliling taman kota kebumen. Kala itu, senja bagi mereka terasa sempurna, walau tak ada niatan menggenapkan warnanya, beriringan dengan tawa dan canda yang akan membalut kenangan di suatu senja berikutnya, serta kenangan yang takan membingkai takdir walau dengan senja yang masih sewarna.
            Sore memang menyimpan cerita sendiri; indah. Lalu, di saat Garra mentapi mata Fahita dengan tatapian cinta dan kasih sayang, ia merasa senja tak lagi absurd namun, seperti menguning sejengkal dari langit hidupnya. Terlabih saat Garra menyatukan bahasa hatinya dengan bahasa lisannya, hingga terangkai kata-kata yang taklagi ambigu dalam pemaknaannya namun hanya kepastian yang berujung masa depan. Hanya satu harapan Fahita terhadapnya, ia tetapi berada dalam cerita nyata dalam senja yang sewarna hingga esok, lusa bahkan hari-hari yang tak bisa di hitung lagi.
***









2
*Lembaran Hidup

                                                        Tidak ada alasan meninggalkan Bandung pada musim dingin. Inilah musim yang paling tepat untuk mendinginkan suasana hati. Tapi apa boleh buat, niatnya sudah bulat untuk segera pulang ke desa tercintannya dan hendak melanjutkan study ke negara impiannya; Rusia.
            Walau sebenarnya sangat berat baginya untuk menutup semua halaman kenangan bersama semua yang ada di Bandung. Ia masih ingin menikmati hujan sore yang membuatnya harus bercinta dengan bantal dan selimut, ia masih ingin sekali menikmati hawa yang menyejukan.
            Sambil mengosngkan baris terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalannya: Umurku baru berjalan 22 tahun, tetapi kenapa aku merasa terlalu lelah untukmenjalani semua ini?
            Pintu di Balik punggungnya berderit pelan.
            “waow, Zein. Jangan bebani kopermu dengan buku atuh. Biar nanti aku saja yang mengirimkan semua barang dan bukumu lewat paket ke Porong”
            Zein tersenyum tipis, urung memberieskan buku-bukunya tadi. Hatinya sedikit terusik mendengar kata-kata Iryawan, sahabat satu kostnya. Ia merasa seolah-olah takan pernah kembali ke kota ini.
            Zein tahu hari ini sebenarnya akan hadir dan tak terlelakan, namun ia yakin kepergiannya akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik. Kuliah sarjanannya telah selesai, kini saatnya ia melanjutkannya ke jenjang  magister. Lagipula, kisah hidupnya akhir-akhir ini membuatnya bertambah yakin bahwa ia harus segera membuka lembaran hidup yang baru, walau ia sebenarnya tidak ingin meninggalkan kota sejuk ini dengan berbagai ceritannya yang unik.
            “Kok malah melamun?” masih memikirkan Neng Gelis itu?” Tanya Iryawan meledek,
            “Huft ngawur kamu” jawabnya sembari melempar bantal yang ada di tempat tidur. Iryawan segera menghindar. Zein sebenarnya tak ingin membohongi hatinya dah juga Iryawan, sahabatnya. Ia masih begitu berat meningalkan gadis cantiknya yang telah empat tahun ini mengisi hari-harinya, namun ia pun tak kuasa jika jarak dan mimpi yang terangkai harus memisahkan mereka. Amsterdam adalah impiannya untuk melanjutkan study, dan meneruskan hobinya: melukis.
            Zein seringkali mendengar keinginan Widya untuk pergi ke amsterdam menikmati keindahan serta merasakan iklim belajar yang begitu membangkitkan semangatnya, selain itu hal yang ingin segera ia lakukan adalah melukis di salah satu bangku Vondelpark, dan menekuni hobinya agar ia tumbuh besar  menjadi seniman-seniman yang ia kagumi dan banyak bersliweran di kota itu.
            “Widya, semoga kita menapaki setiap jengkal jarak yang memisahkan kita” rintih Zein dalam hati.
Widya, mungkin aku hanya mampu,
mengeja namamu di Balik kalender yang semaki menua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim yang selalumeninggalkan
ranting-ranting patah, disana pasti tak ada lagi
senyum dan tawamu yang renyah
namun, aku akan tetapi setia bersama-sama
membuka jendela purba, menebarkan wangi
di halaman cinta kita.

            “Sudahlah, jangan mengelak, aku tahu walau bagaimanapun berpisah dengan kekasih tercinta memang sangat sulit, apalagi antara kamu dan Widya bukan lagi terbentang kota namun lautan yang menjadi batas suatu negara” lanjut Iryawan. Zein hanya terdiam, mencoba menimbang berat rasa yabng ada di hatinya.
            “Sudahlah, jangan terlalu mendramatisir, aku hanya akan menyerahkan semua itu pada Tuhan. Jika Widya memang jodohku ia pasti akan kembali ke dalam pelukan jiwaku” jawab Zein mencoba menghibur dirinya sendiri.
            “jam berapa pesawatnya?”
            “Selepas ashar, jadi masih hampir 8 jam aku bisa menikmati kota Bandung ini,”
            “Sudah bertemu keluarga Widya?”
            “Aku sudah berpamitan dengan semua keluarganya, bahkan Widya esok pagi akan berangkat ke Amsterdam”
            “Semoga kalian sama-sama mampu menjaga hati yang telah lama terjalin” sambil bangkit dari duduknya ia duduknya dan melangkah keluar dari kamar Zein.
            “Doakan saja yah, aku dan dia mampu menjagannya” ucap Zein menguatkan hatinya sendiri, betapia ia ingat beberapa hari kemarin, ketika ia mengeluh pada Widya tentang hatinya yang merasa sangat kesulitan untuk jauh darinya, Widya dengan wajah cerianya dan senyum simpul yang menghiasinya mencoba berkata pelan pada Zein,
Sang Kuasa selalu punya rencana indah untuk kita umat_Nya. Sesekali langsung membahagiakan hati, terkadang sejenak bertentangan dengan harap. Kita hanya perlu mensyukuri dan merenungi. Usah kau terus mempertanyakan, buang semua logika Berdoalah senantiasa dan syukuri baik buruk yang kita rasa Saat kita berniat baik dan meminta yang terbaik, itulah yang kan Dia beri Terkadang seketika seringkali harus lalui hari yang menguji hati Selalu ada rencana indah untuk kita Walau seringkali kita melupakan_Nya. Selalu ada rencana indah bagi ki.ta Jika kita terus meminta padaNya. jadi kita harus yakin dengan hari esok dan selanjutnya.
Kata-kata itulah yang selalu membuatnya tegar untuk jauh darinya, wajah cerianyalah yang selalu membuatnya ingin bertahan menjalani hubungan hingga sejauh ini.
Zein sedikit mengingat kenakalannya sebelum mengenal Widya. Ia adalah seorang yang playboy dan awut-awutan. Susah sekali dalam menata penampilan. Sifat playboynya itulah yang membuat Widya tertarik untuk mendekatinya. Widya sungguh penasaran dengan keadaan hatinya. Mengapa seorang laki-laki mempunyai sifat playboy, filosofis apa yang tersembunyi sebenarnya. Akhirnya, setelah lebih dari empat bulan mendekatinya Widya berhasil menaklukan hatinya. Akhirnya merekapun menjalin hubungan hingga selesai kuliah. Kesabaran dan ketulusan Widyalah yang membuat Zein merasa paripurna menjadi laki-laki, ia merasa dihargai.
Tiba-tiba hpnya berdering tanda message masuk. Ia langsung membukannya dan ternyata itu adalah Widya, bidadari kalbunya.
Pagi puisi terindahku. Pagiku terasa indah ketika aku menyebut namamu, jiwaku  terasa sunyi dari kesedihan ketika ku mengingat indahnya bola matamu yang menyiratkan tatapian cinta buatku. Aku akan tetapi menggantung ruh cintaku diantara langit-langit hatiku. Wahai hiasan surgaku, aku yakin, ruh rasa cintamu padaku akan kau gantung bersama janji di langit-langit hatimu. Kita sama-sama manusia yang membutuhkan penyempurnaan cinta, karena memang cinta belum pernah tegak seperti alif dalam kalbu kita. Namun cinta dan harapan kita akan mencoba untuk menyusunnya. Tetapilah menjadi hiasan surga ku yang teragung seperti namamu Zein Dya Ulhaq. Tunggulah aku di Balik pintu, aku akan datang sekitar 30 menit lagi, pasang senyum penyempurna pagiku”
Zein  tersenyum membaca bait-bait smsnya, begitulah Widya yang selalu membuat kejutan paginya. Romantismenya yang tidak pernah membuatnya bosan dan membuatnya seperti wanita tak seperti  pada umumnya.
Belum usai Zein melukis kenangan kisahnya lewat memori virtualnya, Mentari paginya telah datang dengan senyum manisnya. Mereka memang berjanji akan bertemu sebelum pesawat memisahkan dan menerbangkan hati dan jiwa cintanya. Lalu, Zein melangkahkan kaki membukakan pintu untuk mengizinkan aroma cintanya masuk memenuhi ruangannya.
“Asalamulaikum,” sapa Widya,
‘Waaalaikum salam, kamu cantik sekali, bidadariku” puji Zein ketika usia menjawab salamnya.
“Bagaimana persiapanmu? Apa semua barang sudah di packing?” Tanya Widya.
Mendengar pertanyaan itu, betapia hatinya merasakan perih yang luar biasa, seolah ia takan kembali lagi ke Bandung, seolah Widya begitu mengikhlaskannya. Tanpa rona kesedihan sedikitpun. Apakah ini sebuah pertanda ya Tuhanku. Keluh Zein diam-diam di dalam hati.
“E,e, sudah” jawab Zein dengan sedikit berat mengucapkannya. Widya tahu, Zein benar-benar perih dengan perpisahan ini, namun ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua, demi pendidikan demi masa depan yang gemilang. Walau ia tahu, masa depan tak harus ia khawatirkan, karena memang masa depan terlalu mengejutkan, tapi tak ada salahnya jika ia mencoba merencanakan untuk lebih baik. Ia tidak ingin hanya menuruti perasaan saja, terkadang memang harus ada yang dikorbankan.
“Zein, tatapilah mataku, lihatlah di dalamnya, berapa kesedihan yang menumpuk, berapa besar air mata yang siap tumpah atas perpisahan denganmu jika aku tak mencoba membendungnya” bibir Widya bergetar, wajahnya tiba-tiba pasi, perih hatinya tiba-tiba menyeruak. Ia semakin merasakan pilu. Degup jantungnya masih terdengar kencang, tak beraturan. Dadanya sedikit sesak, udara begitu sukar melewati hidungnya.ia hampir menangis namun air mata yang dengan lincah hendak menerobos sekuat mungkin ia tahan, ia tak ingin membuat Zein lebih tersisksa.
‘Ya sudahlah, kali ini kita memang harus bersahabat dengan taqdir” ucap Zein sambil melangkahkan kakinya mengambilkan air minum untuk Widya.
Widya akan menemani Zein hingga keberangkatannya, sambil berbincang dan berjanji untuk berjumpa dengan senyum dan cinta yang masih sama, di altar cinta yang juga masih sama. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hingga mengantarkan mereka pada gerbang matahari barat. Zein telah bersiap-siap untuk cek-out ke bandara. Di sampingnya Widya masih dengan senyum yang semanis tadi pagi. Kali ini, keluarga Widya tak bisa mengantarnya selain ada acara di luar kota, mereka juga memberiikan kelonggaran untuk saling melepas untuk keduanya.
Waktu bersama tinggal 30menit lagi. benar-benar menit yang menyesakan.
“Selamat jalan, belahan jiwaku. Sudah kupatikan hidupku pasti sunyi tanpamu. Semoga kamun dan aku sama-sama bahagia di akhir cerita dengan perpisahan ini. perpisahan yang sama-sama kita harapkan akan berujung percintaan pada pertemuan. Aku akan berusaha lebih dari kesetiaanku sselama ini, agar tak menjadi kesia-siaan bagi kamu dan aku dalam menunggu. Buatlah aku kekasihmu yang paling beruntung diantara para kekasih laki-laki di seluruh dunia ini.  aku akan tetapi menunggumu menuangkan cinta di cawan pagi dan menangkan lagi di malam hari hingga aku terbawa mimpi” ucap Widya menguatkan hatinya yang sebenarnya pertahanannya telah runtuh sejak awal rencana masing-masing untuk melanjutkan study di negara yang berbeda.
Zein masih menatapi Widya dengan tatapian perih, matanya tak lagi menyiratkan bara cinta namun lebih dari itu, cinta yang bercampur dengan beribu kesedihan.
“Kuatkanlah hatiku dengan setiamu, maka akupun akan menguatkan hatimu dengan cintaku. Aku tak mampu menjanjikan banyak, aku hanya kan berusaha menjadikanmu pelabuhan terakhir cintaku yang akan membuatku paripurna menjadi hamba Tuhan. Hanya kamu yang aku harapkan menjadi pendamping perjuanganku menyempurnakan separuh agamaku” ucap Zein, terlihat setitik air mata mulai berjatuhan. Saat suara sirine terdengar dan pemberitahuan dari salah satu bagian informasi, bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat, terasa begitu berat Widya melepasnya. Terasa begitu kehilangan. Tak ada lagi kini yang akan menemani harinya, ia akan hidup sendiri di Amsterdam dan Zein pun akan hidup sendiri di Rusia.
“Doaku menyertaimu, sayang”
“Cintaku terbang bersama do’amu ke pangkuan Tuhan” lalu, Widya melepas genggaman tangannya, dan melambaikan tangan pada Zein. Selamat jalan dan kita semoga mengindahkan semua langkah kita. Aku takan pernah memaiki dunia karena ia tak menyetujui kita untuk bersama kali ini dan akupun tidak akan menuding awan yang tak memayungi kebersamaan kita, hingga kita harus berteduh pada sunyi. Aku masih percaya dengan pepatah yang mengatakan jodoh takan kemana.
Oh cinta sebegini rumitkah cara kerjamu, sampai-sampai untuk sekedar mengatakan “aku perih jauh darimu” atau serupa hal itu saja aku tak punya nyali, gumam Widya di sela nafas yang terhela. Oh, benar-benar mimpi dalam hidup kita begitu teragungkan. Ah semua sudah terlambat, nasi telah menjadi bubur, pun demikian keterlanjuran titimangsa toh takan pernah bersempat dua, hanya keyakinanku akan lebih dari sekedar indah dalam masa yang pertama cinta kita. Seperti garis yang tak hanya lurus untuk menapaki jalan yang teramat masih panjang: jalan kehidupan.
Widya melangkahkan kakinya, tak terasa senja telah memerah, maghribpun telah mengintai. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju parkiran dan segera mengmbil mobilnya, pulang ke rumah lalu mengurung diri di kamar menangis bersama boneka-boneka tercintanya adalah hal yang segera ingin ia lakukan. Selamat jalan Zein, aku menantimu untuk senyum kita di masa depan, lusa aku akan terbang ke Amsterdam menebus mimpi yang sempat tertunda.
Hatinya merintih sekejap, betapia ia begitu mencintai Zein, laki-laki yang begitu dekat dengannya selama empat tahun terakhir.
Zein aku begitu menyayangimu. Walau kadang aku hanya diam tanpa mampu mengucapkannya padamu. Aku cinta kamu,  walau aku tak bisa berbuat hal yang dapat menunjukkan cintaku padamu. Aku ingin memilikimu, walau aku tak bisa mengekang hidupmu tuk selamanya hanya agar ada di sisi ku. Aku bahagia, jika terus memikirkan dirimu di malam sebelum tidurku. Jika terus berdiri di sampingmu dan memeluk erat lenganmu. Senyummu membuat indah duniaku, dikala kau terus tersenyum dan memandangiku. Aku bahagia bersamamu karena kau adalah segalanya buatku, buat terus aku dalam pelukan hatimu, buat terus aku tersenyum karenamu walau hanya sesimpul, sesimpul jarak yang membentang, aku sayang kamu. Aku cinta kamu.

***





        Porong, 2005…

            Zein terdiam dalam hening. Matanya menatapi kerlip di sepanjang jalan yang ia lalui dalam pekat malam itu. Setelah tadi ia sampai bandara ternyata utusan ayahnya telah ada yang menjemput di ruang tunggu. Begitu ia turun dari pesawat dan menuju ruang tunggu ia menangkap Avanza silver milik ayahnya.
            Zein masih menatapi lekat malam dengan  sedikit bintang yang mengintainya di langit luas, jasadnya memang hendak sampai di pelataran rumahnya namun hati dan jiwanya masih tertinggal di bandung dan hatinya masih ada dalam hati Widya.
Rasa ini menjerit, hati ini sakit perih tak tampak. Batin ini bingung tak menentu. Namun semua tertahan tak dapat menyeruak.Tak ada yang tau, tak ada yang peduli.Tak ada yang mendengar jeritan hampa ini. Disini, senja tak menyapa Gunung dan hamparan airpun tak mendengar Jeritan nada yang terkalahkan oleh deburan teriakan ombak menghempas karang-karang hatiku, Aku ternada  dalam kekalutan.  Aku terenyuh diam tak menatapi.Tatapian hamparan lautanrinduyang kosong dengan patahan harapan.Aku terdiam membisu hanya dengan air mata. Batin Zein menyeruak kesakitan. Matanya tak henti-hentinya meneriakan tatapian hampa. 
“Ayah sehat kang?” Tanya Zein pada utusan Ayahnya. Sebutan kang adalah sebutan yang telah menjadi adat bagi orang-orang yang tinggaln di gedung besar di sekitar rumah Zein. Dan orang-orang menyebutnya pesantren, dan kakang yang disebut tadi adalah salah satu santri yang mondok di sana. Namun Zein dan keluargannya tidak ingin diagungkan dengan sebutan keluarga kiyai. Mereka ingin seperti biasa saja. Berbaur dengan masyarakat sekitar dan belajar mengkaji ilmu Alloh secara bersama, hanya saja umur yang lebih mendominasi sehingga Ayah Zein harus mengajar mereka dan mereka para santri dikatakan belajar dengan Ayah Zein.
“Alhamdulilah sehat Gus” jawab kang Ilham, ia adalah santri kepercayaan Ayahnya, sudah lebih dari delapan tahun tinggal di pesantren ayahnya dengan menghafal Al-Qur’an.
Mbok ampun ngoten to kang, biasa mawon. Namaku kan Zein panggil ajah Zein, lagiyan kita kan kawan sejak aku berimir 15 tahunkita sering bermain bersama” jawab Zein, tidak suka dengan sebutan Gus. Begitulah ia sejak kecil berbaur dengan para santri sehingga tidak ada gap yang memisahkan mereka. Itupula tidak membuat para santri berkurang rasa hormatnya terhadap keluarga gurunya. Justru dengan kerendahan hati gusnya itu mereka lebih menghormati.
Aku inginkan dirimu, datang dan temui aku. Kan Kutakan padamu aku sangatmencintai dirimu. Lagu Dadali di saat aku mencintaimu tiba-tiba terdengar dan itu tandanya ada message masuk. Zein segera membukannya dan ternyata itu adalah sms yang beberapa menit lalu sangat ditunggu-tunggu. Widya pujaan kalbunya.
Matahari hidupku, Sejauh mana engkau telah melangkah? Sudah kau jamah pelataran rumahmu? Doa dan cintaku mengiringimu hingga kau tergolek dalam pangkuan Bunda dan Ayah. Salam hormatku padanya, hingga saatnya tiba akan kucium tangannya dan kepeluk wangi tubuhnya seperti nanti kau akan meluapkan rindumu padanya yang terkasih dalam hidupmu.
Tanpa menunggu detik melangkah begitu lama, ialangsung membalasnya,
Jalan masih menahanku untuk memeluknya hingga tiga puluh menit lagi. baru saja aku keluar dari bandara. Kecupku untuk hatimu selalu. Dan izinkanlah aku memelukmu dalam mimpi lelahku dalam apitan malam. Aku menunggumu bersama untuk memeluk orang terkasihku dan akan menjadi surga kita bersama kelak. Salam cinta teruntuk kasihku yang tengah menahan hawa dingin bandung seperti hatiku yang tengah menggigil karena baru saja lekang tanpamu.
Message sent tertera dalam hpnya. Zein kembali menatapi keremangan kerlip lampu jalanan malam. Ia sudah tak sabar ingin memeluk Bunda dan Ayahnya. Hampir setahun ia tak berjumpa, alasan sibuk dan terbentur dengan semua kegiatan adalah alasan yang membuatnya berlama-lama di Bandung. Walau ia tahu, Ayahnya telah membutuhkannya untuk menggantikannya di Pondok Pesantren. Namun ia rasa-rasanya belum siap mungkin sampai kapanpun ia merasa tak siap. Walau ia pun hafal Al-Qur’an tapi ia merasa santri-santri yang mendapat pengajaran dari Ayahnya  lebih pandai dari dirinya, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan magisternya di Rusia. Dan masalah pondok pesantren akan ia serahkan pada kaka iparnya yang memang sudah mumpuni. Kakanya  telah menyelesaikan kuliahnya di Timur Tengah ia pun hafidz sehingga ia sangat pantas membantu Ayahnya di pesantren.
Mobil yang Kang Ilham kemudikan kini mem,asuki pelataran dengan gerbang megah di depannya. Terteraadi gapura depan Gerbang ukiran seperti khot dari tulisan arab; Pondok Pesantren Al-Ikhsan porong. Rasa rindu di hati Zein semakin tak tertahankan, begitu mobil berhenti di depan garasi, begitu saja Zein turun tanpa memikirkan barang bawaannya dari Bandung. Serta merta ia membuka pintu dan mengucap salam,
“Asalamualaikum,”suarnya tercekat menahan kerinduan yang sangat mendalam pada Ayah dan Bundanya.
“Waalaikum salam.”  Suara perempuan yang sangat lembut. Itu pasti adalah suara Ninda adik bungsunya yang sangat manja dan sangat cantik pula. Zein langsung mempercepat langkahnya dan begitu melihat Ninda ia langsung memeluk tubuh mungilnya namun sedikit gempal berisi.
“Kaka,”
“Iyah Nduk, kaka sudah sampai, mana Bunda dan Ayah?”
“Beliau masih mengajar santri kelas tiga yang akan khataman Al-Qur’an binadzor” jawab Ninda. Zein masih memeluk adiknya, begitulah ia begitu sanagt menyayangi dan memanjakannya. Selang beberapa menit kemudian kaka perempuannya yang bernama Hilatus shalilah datang ,menyambutnya dengan pelukan yang juiga hangat. Tidak hanya dengan adiknya Zein juga sangat akrab dengan kakanya. Pendidikan orangtuannya untuk saling menyayangi sesame saudaranya ternyata berhasil, dan putra-putrinya kini hidup rukun.
“Le, mana kekasihmu yang kemarin kamu ceritakan sama mbakmu?” Tanya Hilya pada adiknya,
“Mba, dWidya belum siap untuk datang kesini, ia lusa akan berangkan ke Amsterdam. Melanjutkan Magister di sana dan ia akan mengembangkan bakat melukisnya”
“Yo wes ra opo, seng penting kamu yo percaya lan setia Le” nasihat Kakanya dengan bahasa bandek halusnya.
“Le, anakau lanang, mulih jam piro, nga[punten Bunda lan Ayah mboten saged nyambut awakmu Le” ucap Ayahnya ketikaselesai mengajar dan bergabung di ruang tamu. Mereka langsung memeluk anak lelaki satu-satunya. Anka laki-laki yang sanagt mereka banggakan. Zein begitu menikmati pelukan hangat dari Ayah dan Bundannya terasa surga pun ikut memeluknya. Serasa mereka selalu membacakan baris-baris kasih sayang yang takan pernah putus oleh masa dan suasana. Zein begitu merasa beruntung terlahir dalam balutan keluarga yang begitu mengagungkan kasih sayang serta ketaqwaan pad Tuhannya. Ia merasa menjadi buah hati yang paling beruntung di muka bumi ini.
***

            Seminggu tengah berlalu. Zeinpun sudah siap akan melakukan pengembaraannya lagi. kali ini, bukan hanya lintas kabupaten, namun ia akan melayari samudra yang mahaluas. Seminggu memang waktu yang sangat singkat untuk membaringkan tubuhnya dalam pembariangan kasih sayang Bunda. Namun ia sadar, seberapa waktu lamapun ia akan selalu betah dalam pelukan hangat penuh cinta dari Ibundannya.
            Malam ini adalah malam terakhir ia di merasakan kehangatan dalam pelukan Bunda. Esok ia akan terbang ke Rusia. Menjemput mimpi yang selama ini masih menggantung di langit-langit fikirannya. Hati dan jiwanya telah ia persiapkan untuk sesiap mungkin menerima dan meninggalkan sesuatu yang ia senangi bahkan tak ia senangi. Ia juga tengah siap untuk memisahkan jiwanya dari pelukan jiwa kekasihnya. Ia sengaja memandang gambar yang berlatar cinta dengan lamannya. Detik bahkan bermenit hampir satu jam ia memandang wajah manis Widya dalam foto. Tiba-tiba kerinduannya memuncak seakan menyeruak dan mencoba berteriak untuk segera ia antarkan pada yang memiliki pemberhentian rindunya. Relung jiwanya tiba-tiba bergema dengan bahasa cinta yang begitu mendalam, mengisyaratkan bahwa ia begitu rindu, bahwa ia tak mampu berpisah dengan nafas-nafas cintanya.
Rinduku selalu mengalirkan namamu. Namamu selalu detakkan jantungku, Sulit kubendung naluri itu, selalu begitu, setiap waktu. Tapi, kau tak ingat dan tak tahu dan akhirnya akulah yang terpuruk dalam rasa itu, rasa yang menggebu sejak dulu, dari masa lalu dan kau tak pernah ingat dan tak pernah tahu rasa dan asaku padamu terukir begitu jelas di tulang rusukku mengalir deras di aliran darahku. Memukul keras membuat lebih cepat detak jantungku sedikitpun, kau tak ingat dan tak tahu seperti menghitung jutaan bintang di malam hari. Seperti menghitung rinai hujan yang jatuh ke bumi Seperti menghitung hamparan pasir di pantai, sampai matipun kau akan selalu ingat dan harus mengerti  bahwa di sini ada satu hati yang menunggu, di sini satu jiwa yang terbelenggu.
Ia mengakhiri perbincangan dengan hatinya, ketika terdengar suara pintu diketuk. Ternyata setelah di buka, ibundanya telah berdiri di depan pintu. Lalu, Zein menggandeng lengan Bundanya dan mengajknya masuk.
“Le, barang-barangmu sudah kamu packing semua?” Tanya Bunda sambil duduk di ranjang tempat biasa untuk tidur Zein ketika di rumah.
“Sampun Bunda” jawabnya.
“Baru saja kamar ini terasa hangat, kamu sudah akan pergi lagi”
“Bunda, Zein belum sempurna menemukan apa yang Zein cari dalam hidip ini”
“Njeh sampun, seng penting ngati-ngati. Ojo lali, al-Qur’ane dilalar, eling kalih Gusti Alloh. Ayah kalih Bunda njaga awakmu kalih do’a”
“Injeh Bu. Insa Alloh”
Lalu mereka berbincang-bincang hingga tak terasa waktu telah menunjukan separuh malam. Akhirnya Bunda beranjak dari kamar Zein.
***



                                                                                    Semua perlengkapan sudah terkemas rapi. Begitu juga dengan Zein yang tengah berdandan rapi. Hanya ada satu hal yang Zein lakukan sebelum ia pergi ke bandara sebentar lagi. Di bukanya buku merah jambu yang beriskin halaman kenangan. Ia lalu membuka handponenya dan mencari nomor cantik milik kekasihnya.
            “Hallo,”  suara remaja cewek menyambutnya.
            “Selamat pagi, Widya, aku rindu dengan suaramu. Aku sebentar lagi akan ke bandara”
            Suara di ujung sana terdengar merintih menahan rindu berlatar belakang berat kehilangan. Hampir 60detik Zein memanggil-manggilnya. Terdiam suara Widya, Zein tahu, begitu berat ia melepasnya.
            “Kita saling mendoakan yah, aku akan terbang ke Amsterdam dengan sayap cinta kita, berhati-hatilah, pulang bawa sekeranjang ilmu dan tetapilah jaga cinta kita” akhirnya Widya barkata di ujung sana.
            “Ya sudah, kita akan berjumpa liburan nanti. Setelah ini, aku akan langsung ke bandara. Salam ku untuk hatimu, kecup mesraku untuk jiwa penuh cintamu yang hanya teruntuk buatku”
            “Iyah, sampai ketemu di liburan penuh cinta” dan telepon itu ditutup dari ujung sana. Zein lalu menyimpan handponenya dalam saku. Percakapan telpon barusan tidak lebih dari tiga menit, tapi serasa waktu telah melemparkan jangkarnya dan berhenti di sana. Dan kini kembali Zein mencabut jangkar tadi, kembali bersama ayah dan bundanya yang sedari tadi menunggu anak laki-lakinya. Mereka sama-sama mengertinya dan memberi ruang untuk anak laki-lakinya yang memang sudah beranjak dewasa dan sudah waktunya memikirkan pasangan.  Dengan avanza silver  mereka mengantar Zein menuju bandara. Selang empat puluh menit mereka semua sampai di bandara dan,
            “Le, hati-hati ingat pesan kami.” pesan ayah dan bunda saat melepas kepergian putra pancuran kapit sendang itu.
            “Injeh, doakan saja nanti pulang membawa ilmu yang bermanfaat”
            “Dan,” ayahnya menambahkan, “harus membawa istri yang solihah”
            Zein hanya tertawa, nakalnya mulai kelihatan.
            “Tenang saja Ayah, Zein sudah mempersiapkan calon menantu yang tidak mengecewakan”
            Ayah dan Bundanya hanya tertawa kecil, lalu mereka meletakan barang-barang bawaan Zein di atas troli. Seiring troli berjalan, Zein juga melangkah menuju pintu lepas landas pesawat. Lambaian tangan mereka mengiringi langkah pasti Zein.
***






Rusia…

Mungkin kesunyian adalah dedaunan yang semena-mena berserakan. Hingga jalan di ziarahi oleh hening yang bersatu-padu dengan tetesan hujan. Serta angin yang menerpa dedaunan yang melambai pada langit luas di atasnya dengan awan-awan hitam yang sedikit bergumpal bergelantungan dan terkadang berlarian bersama angin-angin dan gerimis yang saling berburu menuju wajah tanah. Tapi itu adalah sunyinya Indonesia, tanah air yang begitu dibanggakan, tapi itu tidak ia temukan ketika di Rusia.
Ia hanya menemukan gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih yang terus turun perlahan lalu menempel di jalan-jalan, hingga atapi rumah bahkan menutupi daun-daun yang sebelumnya melambai dengan hijaunya. Semua bagai menyepuh kota Moskwa menjadi serba putih. Kota katerdal itu seolah diselimuti kain kafan yang serba putih. Dalam suasana serba pitih, Moskwa seolah memamerkan keindahan sihirnya dalam musim dingin.
Jalan-jalan yang serba putih, katerdal-katerdal dan bangunan berbentuk kastil yang dilumuri salju. Pucuk-pucuk cemara araucaria ya bertahtakan butir-butir putih. Taman-taan yang menjelma permadani serba putih. Air mancur yang membeku menciptakan ukiran kristal, dan pesona jelita para kaum perempuan Rusia dalam balutan rapat palto warna ungu tebal dan berkelas. Semua berpadu menjadi sihir salah satu kota Rusia itu di musim dingin. Sihir kota yang dingin di Rusia tersebut adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng.
Matahari sama sekali tak ada tanda-tanda akan menyatu dengan bumi. Pohon-pohon Bereozka di kanan-kiri jalan seolah sedang berdendang ria tertiup angin. Pohon-pohon itu terlihat pasrah kepada yang menciptannya, pasrah dalam balutan dinginnya putih salju, pasrah harus berkawan denggan dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah meranggas meninggalkan dan menyatu dengan tanah yang makin hari tertimbun pitihnya salju. Belum lagi, angin dingin yang terus berhembus walaupun perlahan dari kutub utara, namun menimbulkan suhu udara yang dinginnya maha dahsyat hingga membekukan apa saja.
Salju berterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan kecil di pinggir bandara Shemeretyevo menggigil kedinginan. Suhu minus hampir empat belas0 celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya, ruah-rumah dan gedung menutup rapat pintu dan jendelanya. Tak boleh ada sedikitpun dingin yang menelusup. Penghangat ruangan pun telah menyala hampir duapuluh empat jam tanpa henti demi menghangatkan ruangan dan badan. Karena membiarkan hawa dingin menelusup ke tengah-tengah mereka sama saja membiarkan hawa kematian yang akan menjemput berbaur dengan mereka. Sungguh tragis akibatnya.
Hawa dingin dan salju yan semakin menebal sama sekali tidak menjadi penghalang lalu-lalang aktivitas manusia-manusia di negeri tersebut. Terlihat dari semangatnya para sopir taxi yang memngangkut penumpang dan ada pula yang menurunkan penumpangnya ketika memasuki area bandara.
Zein masih terlihat tenang duduk di ruang tunggu. Kawannya yang bernama Idris akan menjemputnya dan mengantarkannya ke KBRI di Moskwa. Sesuai janji dari kampusnya, setelah Zein memberieskan administrasiya di KBRI tersebut, mereka akan mengurus semua kebutuhan Zein selama dua tahun menempuh pendidikan Magisternya di Moskwa dengan jalur beasiswa tersebut. Memang sugguh beruntung Zein memiiki otak yang cerdas sehingga begitu mudahnya ia menerima besiswa dari luar negeri.
Tidak lebih dari tiga puluh menit Zein menunggu Idris, akhirnya ia datag juga. Melambaaikan tangan dengan sebua taxi yang sudah disewanya sampai lokasi KBRI. Dan Zein begitu saja bergegas menghampiri lambaian tangan kawannya.  
“Hai kawan, bagaimana kabarmu? Lama kita tak jumpa?” sapa Idris ketika Zein mengahampirinya. Mereka memang lama tidak bertemu, mugkin hampir lebih dari tujuh tahun semenjak mereka lulus dari SMP. Dulu, ketika mereka masih sama-sama bersekolah di tingkat pertama, mereka adalah kawan akrab, mungkin mereka merasa satu nasib dan satu penderitaan, mereka juga berasal dari satu kabupaten. Zein yang berasal dari porong sedikit ndesa, sedangkan Idris bertempat tinggal di kawasan kota porong.
Bikhoiri alhamdulilah. Bagaimana denganmu, kayaknya tambah subur saja” Zein bertanya sambil bergeleng-geleng kepala melihat sahabat yang satu ini makin gemuk. Dulu, Idris adalah anak yang super kurus, dan sangat tidak rapi, berbeda sekali dengan sekarang. Tubuhnya sedikit berisi dan wajahnya sangat bersih, penampilanya juga sangat rapih. Menunjukan bahwa sekarang ia sangat mengutamkan penampilan.
“Ya, aku yang seperti kau lihat sekarang”jawabnya sambil terkekeh. Lalu mereka pergi dengan mengendarai taxi yang sudah di sewa oleh Idris untuk mengantarkannya ke KBRI.
Hari mulai gelap, salju turun perlahan. Hawa dingin semakin mencekam, Zein merasa semakin tak bisa menahan hawa dingin, tubuhnya menggigil, untung saja selang beberapa menit ia dan Idris telah sampai di KBRI. Gedung megah yang di gerbang masuknya tertera tulisan yang cukup besar; Kedutaan Besar Republik Indonesia Rusia. Gedung itu terletak tidak jauh dari Novokuznetskaya Ulitsa  no .12. kantor tersebut juga menyatu dengan kantor Sekolah Indonesia Moskwa. Atau kantor yang biasa di sebut dengan SIM. Sekolah tersebut sudah berdiri sejak tahun 1963, bisa disebut dengan sekolah Indonesia yang pertama ada di luar negeri.
Sampai di KBRI, Zein di kenalkan dengan Pak Bambang Sudibyo, yang melainkan itu adalah Ayah Idris. Ia memang tinggal di KBRI dan menjabat sebagai guru di sekolah Indonesia di luar negeri tersebut.
“Ayah, ini kawan Idris namanya Zein”
“Oh ini to, mahasiswa lulusan Bandung?” Tanya Ayah Idris sambil menjabat tangan Zein.  Zein tersenyum sedikit tersipu malu. Lalu, mereka masuk ke dalam rumah dan Idris bergegas menyiapakan kamar untuk istirahat Zein.
Hampir lima jam dalam perjalanan, selama lima jam pula matanya tetapi membeliak terjaga. Hingga Zein merasa lelah  mulai menggerogoti tubuhnya dan mengajaknya berbaring, namun ia sedikit tidak enak akhirnya duduk dengan tubuh yang sebenarnya lebih pantas di baringkan.
“Zein, bagaimana kabar pesantren?” Tanya Idris yang ikut bergabung di ruang tamu.
“Alhamdulilah makin berkembang,”
“Oyah, aku dari tadi tidak melihat adik Idris dan Ibunya?” Tanya Zein kemudian.
“Oh, mereka memang tidak ikut tinggal bersama kami, mereka menetapi bersama neneknya di Bandung” jawab Ayah Idris,
“Iyah, sebenarnya kami sudah mengajaknya, tapi katanya mereka lebih menyukai iklim Indonesia terlebih Bandung yang sejuk lagian si Dea ingin kuliah di UPI” lanjut Idris menyambung jawaban Ayahnya. Zein hanya mengangguk-angguk, mendengar kata-kata Bandung tiba-tiba ia ingat gadis pujaanya.
Entahlah, setelah begitu jauh jarak bersabda, masihkah ada sisa-sia senyuman yang dulu pernah kau tabur?
“Ya sudah Zein, wajahmu terlihat begitu lalah, di matamu sudah tergambar pulau kapuk”Idris mengomentari lelahnya mata Zein. Akhirnya Idris mengantarkan Zein ke pembaringan.
***


           
Ketika pagi tiba, bukan matahari yang mengetuk jendela kamar Zein, namun salju yang semakin memutih yang siap menghampirinya. Dulu ketika masih di Bandung, tidak ada yang lebih dahsyat dari pada gabungan gerimis hujan di luar dan selimut hangat di dalam kamar. Namun, sekarang di Rusia hanya hamparan salju yang menjadi tatapian matanya, namun tetapi saja tidak berbeda, Zein masih ingin bercinta dengan selimutnya.
            Namun, Zein tiba-tiba teringat bahwa masih ada hal yang harus dilakukannya, mendaftar di kampus dan mencari tempat untuk tinggal selama ia di Rusia. Akhirnya, dengan sangat terpaksa ia menghampiri handuknya dan memeluknya hingga ia sampai di kamar mandi dan menyalakan air panas.
            “Zein, segeralah sarapan” teriak Idris mengira kalau Zein belum bangun. Tapi selang beberapa menit Zein keluar kamar dengan dandanan yang sudah rapi.
            “Waow udah cakep sekali kamu, sudahkah siap untuk mendaftar Magisternya di MGU?” Tanya Idris.
            “Wah, jelas dong, aku sudah tidak sabar untuk merasakan iklim kampus lagi” jawab Zein dengan semangat. 
            “Ya sudah, sekarang yang penting kalian sarapan dulu dan nanti Idris akan mengantarkanmu ke MGU” sambung Ayah Idris.
            Melihat menu makanan yang sangat berbeda dengan menu makanannya di Bandung Zein sedikit bingung, satu menit dua menit hingga tiga menit Zein hanya melihat-lihat makanan yang terhidang di meja makan.
            “Zein, ayo makan malah bengong” tegur Idris,
            “Ow, apa kamu bingung dengan menu makanannya? Disini tidak ada sayur kangkung” Idris ngekek.  Memang menu sarapan yang ada di depan Zein sangat berbeda, kini di depannya hanya ada roti Pirozkhi, tidak seperti biasa ketika di Porongpun yang disediakan Bundanya adalah nasi, sayur dan lauk-pauk. Namun, akhirnya Zein memakannya dengan lahap karena ternyata enak.
            Selesai makan, mereka langsung berisap-siap dengan mengenakan palto ke ungu-unguannya.
            “Kita ke MGU naik apah?” Tanya Zein pada Idris.
            “Metro saja yang murah”
            “Memang tahu rutenya?” Tanya Zein,
            “Belum, nanti kita Tanya saja sama orang” jawab Idris, ia selama lebih dari tujuh bulan di Rusia jarang sekali kemana-mana.
 Universitas Negeri Moskwa atau Moskovskyj Gosudarstvennjy Uniersiteit, biasa disingkat dengan MGU. Universitas paling tua dan paling besar di Rusia ini juga sering disebut Imeni Lomonosova. Universitas kebanggan Rusia. Hingga membuat Zein tertarik untuk melanjutkan Magisternya di Rusia ini. Walau iapun sebenarnya tahu, tantangan apa saja yang akan melimbungkan dirinya.
            Jalan masih sepi. Angin berhembus dingin perlahan. Salju yang melumuri tanah perlahan mencair. Zein dan Idris keluar dari pintu rumah, mereka langsung menapaki trotoar panfilovsky pereulok, mereka juga melewati taman-teman kecil yang terlihat jelas dari pinggir jalan.
            Kira-kira lebih dari dua puluh menit mereka sampai di gerbang setasiun metro smolenskaya. Bangunan stasiun itu besar dan cukup megah. Bangunan yang berwarna cokelat khas Rusia. Setasiun itu juga terletak di bawah tanah, hingga mencari metro yang akan mengantarkan mereka ke MGU harus turun lagi menggunakan escalator, benar-benar bangunan yang megah dan membuat Zein terheran-heran. Berbeda sekali dengan kotanya di Indonesia, salah satunya di Jakarta. Memang megah dan interior bangunannya juga membuat mata terpana, namun di pinggiran kota Jakarta banyak sekali keprihatinan yang harus di renungkan. Rumah-rumah di pinggir jembatan, rumah-rumah yang terbangun dari kardus, dan banyak sekali orang-orang yang terlantar.  Entah karena pemberdayaan masyaraktnya yang minim atau bisa juga miss manajemen hingga semuanya terlihat tragis.
            “Idris, apakah masih jauh?” Tanya Zein. Wajahnya terlihat pucat, tanganya semakin memutih bahkan seperti tangan mati yang berkerut-kerut. Ia semakin merasa kedinginan, mungkin karena evek belum terbiasanya sehingga ia bersin-bersin terus dan hidungnya pun memerah, ia pilek.
            “Tidak sebentar lagi, kita tinggal ambil jurusan  ke Arbatskaya lalu melintas jalur merah menuju stasiun Biblioeteka Imeni Lenina, terus ke selatan” jalas Idris. Sambil membetulkan baju hangatnya. Mereka kini berjalan di pinggir Smolenskaya Pereulok. Jalan-jalan kota terlihat sangat rapih. Salju yang berjatuhkan dan menempel di aspal sudah dibersihkan. Sebagian yang mencair mengalir ke lubang-lubang drainase  yang tertata setiap seratus meter.  Gedung-gedung dengan interior kuno menghiasi kanan-kiri jalan sepanjang mata memandang.  Gedung-gedung dengan arsitektur gaya Romanesque dan Ghotic itu tersusun, tertata dan terpelihara dengan baik. Indah, nuansa klasik yang masih terasa juga sangat rapi. Zein berdecak kagum sambil terus melangkahkan kakinya.
            Orang Rusia begitu tinggi menghargai sejarah. Kalau Indonesia, negaranya tercinta begitu memprihatinkan, untuk menghargai karya-karya sastra peninggalan orang-orang terdahulu saja masih tidak becus. Justru karya-karya mereka berserakan dalam gudang, atau jika ada perpustakaan yang menyimpan buku-buku lamapun tidak terurus. Huft bagaimana akan maju dengan berkaca pada perjuangan masa lalu. pikir Zein.
            Museum-museum tempat benda-beda bersejarahpun sama sekali tak terawat. Masyarakat lebih menyukai datang ke ancol, mall atau taman hiburan lainya demi memuaskan jiwa rekreasinya. Berbeda sekali dengan budaya di Rusia ini, orang membangun dan menjaga setasiun saja seperti membangun istana.
            Selang lima belas menit mereka sampai di stasiun Arbatkaya, mereka disambut dengan interior yang sangat indah, mahligai yang melengkung-lengkung, latai yang bersih, jernih dari marmer alam cokelat tua. Belum lagi lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya meneduhkan. Semua petunjuk di stasiun tersebut ditulis dengan bahasa cyrilic, tidak dalam abjad latin. Mereka lalu menaiki metro yang menuju Biblioteka Imeni Lenina. Metro tersebut melaju sangat kencang, melewati beberapa setasiun lagi, namun Zein tidak tahu setasiun apa itu, ia masih terbengong-bengong akan keindahan Rusia.  Tidak lebih dari dua puluh menit setelah melewati stasiun Vorobyovy Gori mereka telah sampai di depan gerbang Universitet.
            “Ayo, Zein kita turun, kita akan lewat depan saja” ucap Idris. Zein hanya mengekor di belakangnya. Matanya masih menatapi takjub gedung besar yang ada di hadapannya. Ternyata benar yang dikatakan Dosen sejarahnya dulu, ketika ia masih kuliah di Bandung. Dosen yang pernah kuliah di MGU menceritakan bahwa Universitasnya dulu sangat besar. Megah dan gedung itu nampak cantik dan gagah menjulang tinggi khas bangunan keemasan rezim Stalin. Dosennya menceritakan kalau gedung MGU adalah gedung terbesar di kota Moskwa. Gedung yang menjulang hampir menyentuh atapi langit yang terletak di atas bukit Leninsky Gori.
            “Betapia beruntungnya aku bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan magisterku di sini” batin Zein, bersyukur. Ia memang salah satu dari sekian mahasiswa yang beruntung mendapat beasiswa ke luar negri. Melalui dosennya akhirnya ia mampu menyebrang samudra yang memisahkan Indonesia dengan Rusia ini. Setelah sebelumnya ia sebenarnya mendapatkan beberapa macam beasiswa diantaranya di Al-Azhar, karena selain umumnya yang bagus, ia bahasa arabnya sangat lincah selain itu juga ia adalah seorang khafidz, sehingga sangat mudah ia mendapatkan beasiswa yang berbasis agama. Selain itu ia pun pernah mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Harvad namun sekali lagi ia lebih tertarik untuk menapakan langkahnya di negara yang pernah mengalami rezim Stalin ini.
            “Kita langsung menuju lokasi administarsi saja, kau sudah melengkapi semua persyaratannya kan? TanyaIdris mengingatkan.
            “Alhamduilah sudah” jawab Zein. Lalu mereka melangkah ke gedung bagian nomor dua, sedikit kesulitan mencari jalur yang menghubungkan antara kampus satu dan gedung pusat administarsinya, namun akhirnya setelah berusaha untuk mencari petunjuk dan bertanya dengan mahasiswa yang lalu lalang mungkin habis mengikuti kelas, akhirnya ruangan yang mereka cari ketemu juga.
            “Ok, akhirnya kita sampai, silahkan urus registrasimu untuk melanjutkan cita-citamu” ucap Idris, Zein yang ada di hadapannya hanya tersenyum. Idris sendiri sebenarnya sangat kagum dengan kemegahan MGU, sebenarnya andai ia dulu bisa kuliah di MGU ia lebih memeilih MGU namun karena otak yang kurang memadai akhirnya ia manjatuhkan pilihannya di St. Petersburg mengambil jurusan bahasa inggris. Lebih dari empat puluh lima menit ia menunggu Zein, akhirnya Zein keluar dengan senyum yang sumringah.
            “Bagaimana?” tanya Idris buru-buru
            “Alhamdulilah, semua sesuai harapan, ternyata dari pihak kampusku telah melakukan kerjasama yang baik, aku tinggal melakukan tes penentuan kelas” jawab Zein dengan lega, lalu mereka menuju pintu keluar, dan pulang.
            Zein telah mempersiapkan jiwa raganya untuk bersatu dengan salju yang semakin memutih dan akhirnya meleleh. Ia melangkah menuju tempat tinggal Idris dengan rasa syukur yang luar biasa karena nikmat Tuhan yang tiada tara, akhirnya mimpi telah menyatu dengan raganya. Ia hanya tinggal menjalankan amanat Tuhan denga sebaik-baiknya. Kini ia telah siap untuk menjalankan semua demi bekal dunia akhiratnya, demi kemajuan dirinya dan bangsanya. Karena menghilangkan kebodohan sama saja telah berusaha menjalankan perintah Tuhan mencari ilmu serta mengurangi  rendahnya sumber daya manusia Indonesia.



















 3

*Jalan yang Berputar


Roda kehidupa memang selalu berputar.
Begitu pula jalan yang dilalui pun terkadang bereputar, dari mudah hingga susah dan begitupula sebaliknya. Seperti itu pula rasa di hati yang terkadang selalu meliuk-liuk bahkan meronta. Seperti yang tengah dirasakan Garra  dalam hatinya.
            Tiba-tiba Garra merasa sangat rindu dengan Fahita. Liburan selama hampir tiga hari ternyata membuat waktu fajarnya tak secerah mentari yang menyatu dengan bumi serta membuat waktu senjanya semakin menguning namun pias.
            Wahai engkau penakluk gelombang lautan hatiku, kerap kali engkau berlayar dalam mimpiku dan aku masih selalu menanti engkau benar-benar hadir dalam kesadaran malamku, inilah harapanku yanng terdalam. Ucap Garra degan kalbunya yang tengah merapat ke dermaga kerinduan. Sebenarnya ia merasakan dahsatnya rindu hanya malam ini, namun rasanya seperti hampir satu tahun. Ia sudah tak sabar menanti hari esok untuk kembali ke sekolah.
Sebenarnya ia bisa saja menemui Fahita ke rumahnya atau bahkan mengajaknya untuk sekedar diner, namun ia sadar berlama-lama dengan seorang wanita akan menimbulkan sesuatu yag sebenarnya diinginkan oleh jiwa muda. Oleh karena itu ia lebih memilih rindu tetapi terpenjara dalam hatinya, begitu jua dengan Fahita yang lebih memilih untuk memperbanyak membaca novelnya. Karena ia ingin seperti para novelis yang kini karyanya berjejeran di toko atau bahkan ditenteng-tenteng oleh para penggilanya.
            Dengan jiwa yang semakin merintih akhirnya ia beranikan untuk mengirim sebait sms untuk Fahita, demi menyampaikan sepenggal cintanya. Karena ia yakin sebenarnya Fahitapiun begitu merindukannya.
            Fahita, wanita yang selalu kuharap sebagai penyempurna agamaku, maafkan jika aku lancang mengganggu waktumu. Namun, ini bukan keinginanku semata. Hati dan jiwa rinduku telah memaksanya menemui hatimu yang juga penuh cinta untuku. Aku hanya ingin katakan pada jiwa yag kini memeluk jiwaku, bahwa hatiku berjalan diantara hati cintamu dan terus melukis bayangmu yang kini menjadi cahaya di atas parasku. Selamat malam, dan selamat bersatu dengan pemberi nafas kehidupan; Tuhan.”
            Fahita yang menerima kiriman sepenggal kerinduan dari Garra hanya tersenyum. Ia merasa begitu beruntung mendapatkan seseorang yang begitu sabar dengan gejolak jiwa mudanya. Walau ia tahu, sebenarnya Garra sangat mengharapkan kebersamaan atas nama cinta, namun  ia lebih baik mengekangnya karena agama yang telah mensyariatkan bahwa menjaga dari jalan maksiat akan lebih baik.
Baginya, Garra memang lelaki yang sangat berbeda, selain cerdas ia juga sangat taat pada agamanya sehingga ia sangat meminimalsir kebersamaan dengan wanita termasuk Fahita sendiri. Mengganggu proses pencarian ilmu. Begitu celotehnya ketika sedang belajar bersama di kantin.
            Akupun berharap lewat hadirmu, separuh agamaku akan sempurna. Jiwaku pun merasa kerinduan seperti yang engkau rasakan. Bersabarlah Tuhan menyediakan istana untuk kita, jika kita berhasil melewati ujiannya. Tidurlah dan jangan lupa bangunkan tubuhmu dalam sepertiga malam. Esok kita jumpa dalam lautan ilmu Tuhan”
            Garra sangat tenang membaca balasan sms dari Fahita. Ia juga merasa sangat beruntung mendapatkan gadis yang lain dari gadis pada umumnya. Garra memejamkan matanya dengan memeluk cinta yang kini disemayamkan Tuhan dalam hatinya. Terimakasih Tuhan Engkau telah menciptakanku menjadi manusia sehingga aku dapat merasaka cinta.
***

           



Awal februari  2006


Awal februari adalah sebuah awal bagi para siswa kelas tiga  untuk mempersiapkan pertempuran dalam ujian nasional. Berawal dari treeout untuk meniti lagkah selanjutnya setelah melewati satu semester penuh kini mereka harus benar-benar bersiap-siap untuk melakukan migrasi yang cukup singkat untuk merampungkan statusnya sebagai siswa dan merangkak pada status mahasiswa. Mereka juga harus menyelesaikan tugas-tugas yang menggunung dan mengikuti les serta bimbel dan membaca setumpuk buku dari semester paling awal ketika mereka masih duduk di bangku kelas satu.
Jika mereka berhasil lolos dari migrasi yang cukup singkat itu, mereka akan mampu terbang bebas sejauh manapun dan setinggi apapun, meraih bintang-bintang di angkasa atau menjelajahi ke seluruh penjuru dunia. Begitu juga para siswa di sekolahan Fahita di bulan februari ini.
Suasana pagi di kawasan taman sekolah masih di selimuti kabut tipis yang berwarna kebiruan, tapi selang beberap menit telah dipenuhi lalu lalang para siswa sambil membawa setumpuk buku. Ada yang buku pribadi ada yang buku perpustakaan.
 Kupu-kupu yang tengah bersandar menghiasi bunga yang mulai mekar bersama pagi beterbangan memamerkan keindahan sayapnya. Begitu pula anak-anak kelas tiga A jurusan IPA yang akan memulai treeout pertamanya sebagai bekal ujian nanti. Mereka memasuki kelas yang tidak begitu megah seperti SMA di sekitar kota Kebumen lainnya. Kursi yang sebenarnya tidak cukup nyaman. Di depan kelas sudah berdiri pengawas yang cukup killer. Seperti biasa Fahita masih setia duduk di belakang Garra.
Garra sedikit mengerlingkan mata, menyambut Gadisnya yang cantik  jelita serta aura sebagai wanita yang cukup sempurna memancar dari tatapian yang sangat meneduhkan. Fahita hanya membalasnya dengan senyuman yang menurut Garra adalah senyuman para bidadari surga untuk para penghuninya.
“Belajar apa tadi malam?” tanya Garra kemudian.
“Yah, lumayan sedikit si,” hehehe Fahita nyengir, Garra membalas senyum nakalnya dengan kedipan.
“Ra, aku masih tidak paham dengan rumus turunan” lanjut Fahita, karena memang hari itu ujiannya adalah matematika.
“Ya sudah, nanti aku akan sedikit memancing ingatanmu” jawab Garra.
Setelah soal dibagi, mereka tenggelam dalam jajaran angka yang cukup memusingkan, dari turunan hingga soal pecahan desimal. Semua soal-soal yang dulu dipelajari di kelas satupun berbondong-bondong keluar memainkan ingatan serta kecerdasan otak para siswa. Garra hanya tersenyum melihat lima belas soal yang berjajar di hadapanya. Si ektra ordinari itu mulai memainkan alat tulisnya yang bermerek 2b setandar komputer.
Tidak kurang dari tiga puluh menit ia telah merampungkan soal-soalnya. Namun ia tidak begitu saja meninggalkan kelas, namun ia sedikit memperhatikan Fahita yang tidak secepat ia menghitung, namun cukup lumayan ia termasuk jajaran anak terpandai. Garra tidak terlalu mengkhawatirkan Fahita, ia tahu ia pasti bisa, walau tidak seyakin jawaban-jawabannya yang semua rumusnya berada di luar kepalanya.
“Aku tunggu kamu di luar, kita diskusi untuk pelajaran bahasa indonesia. Rampungkan soalmu dengan yakin, masalah turunan rumusmu sudah benar hanya kamu kurang teliti” ucap Garra. Lalu ia meninggalkan ruang kelas menuju kantin faforitanya.
***

Reyhan berdiri dengan sebelah tangan menggenggam ponsel berusaha melawan statik yang sedari tadi bikin sambungan telpon terputus. Dengan waktu yang bersamaan  ketika Fahita melangkah ke arahnya. Loker tepat penyimpan barang-barang perlengkapan sekolah adalah tempat yang paling komunikatif bagi Reyhan. Sebenarnya ia sengaja menunggu Fahita. Perasaan yang hancur atas penolakannya ternyata belum hilang. Padahal, jika dihitung dengan jari rentan waktu antara peristiwa taruhan itu dengan sekarang sudah lebih dari empat bulan.
“Hai,” sapa Rey,
“Hei juga” jawab Fahita dengan malas. Sebenarnya ia ingin meminimalisir komunikasi dengan Rey tapi apa boleh buat mereka satu loker dan terlebih satu kelas jadi mau tidak mau harus tetapi bertegur sapa.
Lalu, Rey seperti biasanya berceloteh membuat telinga Fahita sangat tidak nyaman. Dengan cepat ia memberieskan barangnya yang ada di loker dan beranjak melangkah. Tapi tidak lebih dari lima langkah Rey memanggilnya dan terpaksa Fahita harus menghentikan langkahnya.
“Mengapa kau begitu drastis berubah padaku Fahita? Apa gara-gara anak baru yang sok jenius dan kegantengan itu?”
“Tolong kalau kamu ingin mengumpat sedikit halus” jawab Fahita.
“Ya soryy, aku hanya heran saja kau begitu sinis sekarang denganku, padahal aku begitu sangat menyayangimu, tidak sadarkah itu selama hampir tiga tahun ini?” Fahita yang ada di hadapannya hanya terdiam, lalu Rey melanjutkan kata-katanya,
“ mungkin begitu buruk dan playboynya aku di matamu, namun dari sekian banyak wanita yang pernah singgah di hatiku hanya tetapi aku lebih memilihmu, kamu paling berbeda dari mereka”
Fahita masih terdiam, ia sebenarnya tidak ingin mendebat ucapan Rey, namun ketika Rey masih mengungkit-ungkit perasaan yang ada di hatinya, ia sedikit geram.
“Jikalau aku boleh jujur, aku hanya meyakini satu wanita yaitu kamu, Leni yang sekalipun kini berstatus menjadi pacarku, aku tetapi tidak mencintainya, ia hanya penghibur hatiku ketika aku merindukanmu”
“Rey, dengar, Leni itu sahabatku jangan pernah kamu sakiti dia” akhirnya Fahita menggerakan lidahnya.
Fahita segera membalikan tubuhnya, dan berniat melanjutkan langkahnya menyusul Garra di kantin, tapi tiba-tiba ia tercekat ketika sosok yang cantik dan berjilbab rapih sudah berdiri di depannya.
“Fahita, kamu tidak bersalah, jangan khawatir, lanjutkan langkahmu, biar sekarang aku menyelesaikannya degan Rey” ucapnya.
“Leni, maafkan aku” Fahita meraih tangan Leni yang ternyata dingin, matanya berkaca-kaca. Fahita pun tidak tahu jika telah lebih dari lima belas menit Leni berdiri di balik pintu yang menghubungkan ruang penyimpanan barang dengan lapangan basket.
Leni hanya mengangguk, lalu Fahitapiun melangkah. Ia merasa tidak enak dengan kelakuan Rey dengan sahabatnya, ia berharap yang terjadi selanjutnya adalah yang terbaik.
***


Garaa masih duduk dan menikmati jus alpukatnya ketika Fahita datang.
            “Aslamualaikum Ra,” sapa Fahita.
            “Waalaikum salam” jawab Garra dengan senyum menawan. Lalu Garra mengeluarkan beberapa buku dari tasnya, yang ternyata salah satunya adalah buku karangan Goress Keraff yang berjudul komposisi.
            “Lho, kok malah mengeluarkan buku itu, mengapa tidak panduan pandai berbahasa Indonesia saja?” Tanya Fahita kebingungan.
            “Oh, ini hanya buku bawaanku saja, barangkali kamu tertarik, kalau buku untuk materi ujian aku sudah mempersiapkannya”
            “Oh, gitu, emang isinya seputar apah?”
            “Yah macam-macam, ada kaidah kepenulisan salah satunya”
            Fahita hanya mengangguk-angguk, ia masih belum begitu paham dengan maksud Garra mengapa membawakannya buku itu.
            “Ya, aku hanya mengamati sepertinya kamu hobi membaca dan minat terhadap dunia tulis menulis” jelas Garra,
            “Lho, kamu baik sekali, tapi aku belum berani mencoba untuk belajar menulis, kayaknya dunia yang penuh dengan pembelajaran, sedangkan aku tidak punya wawasan dan masih malas untuk membaca” jawab Fahita.
            “Semua harus dicoba, yang penting kamu mau, nah dari keinginan tersebut pasti akan menggali kemampuan. Intinya harus berani mencoba saja”
            Fahita manggut-manggut mendengar penjelasan Garra. Baginya, Garra memang seseorang yang sangat optimis dan oriented. Setelah menyimpan buku pemberian Garra di tas, lalu mereka berdiskusi untuk materi besok pagi.
            “kamu baca dulu tentang majas dan frase serta kata majemuk”
            Fahita menurut, lalu Garra mengulang materi silogisme.
            Ketika sedang asik-asiknya membaca, tiba-tiba Nandar datang. Ia adalah kawan satu kelasnya, walau tidak sering bersama namun komunikasi mereka berjalan dengan baik. Dengan muka yang kusut dan ditekuk lutut, Nandar duduk kursi sebelah Garra, dan kondisinya memancing Garra untuk bertanya,
            “Hei, siang-siang begini kok udah lesu, jangan-jangan kamu tidak mandi yah tadi pagi?”
            “Enak saja, aku lagi puising neh,”
            “Udah minum paramek atau puyer cap bintang tujuh belum? Garra mencoba meledeknya.
            “Enak ajah, aku bukan puising karena masuk angin atau kepala nut-nut, tapi ini masalah serius”
            “Apaan emang?”
            “Hehehe, biasa cewe” jawab Nandar sambil cengar-cengir. Fahita hanya diam dan medengarkan.
            Lalu, Nandar menceritakan masalahnya dengn gadis kelas 1 yang selama ini dikecenginya.
            “Kamu kok masalah cw dipuisingkan to Ndar, biarkan saja berjalan secara alami,” koment Garra, Nandar jadi tambah puising.
            “Berjalan secara alami gimana?orang aneh kok mereka para kaum wanita” jawab Nandar dengan muka sebel. Gadisnya telah menyita waktunya dan membuang energinya untuk marah-marah.
            “Sudahlah Ndar, tidak perlu puising begitu. Masih banyak hal lain yang harus kampu puisingkan.” Jawab Garra dengan sesekali melirik Fahita. Lalu ia melanjutkan kata-katanya,
“Menurutku pelajaran pertama yang harus kamu ketahui tentang seorang wanita yang identik susah ditebak adalah kamu tidak akan pernah bisa memahaminya. Dan yang kedua, berusahalah memahaminya biarpun kamu benar-benar tidak bisa mengerti apa yang wanita inginkan, dia katakan, dia rasakan, dan yang ketiga berusahalah selalu senyum walaupun kadang joke-joke yang ia keluarkan itu sebenarnya garing. Keempat kamu harus selalu menjadi pendengar yang setia atas semua keluh kesahnya, curhatannya dan keinginan-keinginannya. Kelima kamu harus sering-sering mengiyakan kemauannya apalagi ketika ia sedang marah dan akui saja kalau kamu yang salah. Dan yang keenam, kamu itu harus bisa momong atau ngalah, jangan mau menang sendiri, walaupun itu kadang menyakitkan hatimu, yah setidaknya dia tidak akan minta putus atau boring denganmu, tenang saja hati wanita itu lembut pasti lama-lama akan mengerti”jawab Garra panjang lebar, Nandar hanya manggut-manggut saja mencoba berfikir ternyata apa yang selama ini ia lakukan salah, masih sama-sama egois. Berbeda dengan Fahita yang berada di samping Garra, hanya tersenyum tersipu malu.
“Benar juga ya Ra, cewek itu emang aneh, suka marah-marah sendiri. Ini salah, itu salah, kadang semua yang kulakukan tidak berkenan di hatinya. Ngomel terus dan bisanya cuma mengeluh. Uh nyebelin banget apalagi kalau menstruasi kerjaanya marah-marah terus kadang juga tanpa sebab. Kadang neh Ra, aku sampai gak kuat meladeninya terlalu menyakitkan hati. Kalau kulayani pasti gak ada ujungnya, mentok-mentok minta bubar” keluh Nandar. Fahita hanya tersenyum melihat kedua kaum pria membicarakan wanita.
Nandar belum selelsai berbicara, hanya mengambil nafas pendek ia melanjutkan kembali,
“Untung saja yang menstruasi hanya wanita, coba kalau laki-laki bukan hanya marah-marah doing bisa-bisa mereka pada tawuran” Gara tertawa, ternyata di saat puising Nandar masih bisa berguarau.
“Eh, sudah belajar buat bahasa Indonesia belum?” kali ini Fahita yang angkat bicara,
“Iyah neh Ndar, kamu udah belajar belum? Jangan mikirin pacarmu saja, pikirin juga nilaimu”
“Agh, kau ini Garra, aku nyontek kau sajalah” jawab Nandar dengan logat bataknya.
Lalu Nandar pergi meninggalkan Fahita dan Garra, ia memang salah satu kategori siswa yang malas belajar di kelas Fahita.
“Ra, aku masih penasaran sebenarnya dalam dunia tulis-menulis”
“Hem, tadi katanya tidak mau” jawab Garra meledek, Fahita terlihat gemas sebenarnya ia ingin sekali mencubit lengan Garra namun ia ingat kalau Garra bukan muhrimnya dan ia tidak ingin menodai Al-Qur’annya.
“Ok, aku punya kawan seorang penulis dulu ia kaka angkatanku ketika di Purworejo, sudah banyak novelnya yang di terbitkan, ia sekarang kuliah di UNSOED Purwokerto”
“Lalu, hubungannya denganku apah?” jawab Fahita bingung,
“Yeh, bukankah kamu minat untuk kuliah di UNSOED dan mengambil Fakultas Biologi?”
“Iyah, memang, lalu hubungannya apa antara biologi dan orang tersebut?” Fahita semakin bingung, Garra yang di depannya hanya tertawa melihat kebingungannya ternyata ia belum paham,
“Ya, nanti kamu bisa aku kenalkan dengannya dan bisa belajar darinya”
“Wah ide yang bagus ituh,”
“Huft dari tadi ternyata baru mudeng” jawab Garra gemes.


***
Matahari telah condong ke barat, ketika Fahita membuka pintu rumahnya, begitu ia mengucap salam dan masuk suara dentang jam dinding menyambutnya, ternyata waktu telah menunjukan pukul empat sore, tak terasa hari-hari yang ia lalui bersama  Garra walaupun hanya untuk belajar dan sesekali mencuri tatapian mata indahnya berjalan begitu cepat.
Fahita langsung menuju kamarnya dan berniat untuk mandi dan istirahat, ternyata ibunya memanggilnya dari arah belakang,
“Lho, Fahita sudah pulang to?”
“Eh, Ibu, Fahita kira ibu sedang mengikuti pengajian di Masjid, makanya Fahita tidak langsung mencari Ibu,”
“Iyah sekarang jadwal pengajiannya libur karena kebanyakan jamaah sedang mengikuti ziarah walisongo” jawab Ibunya, begitulah di kota Kebumen, kota yang terkenal dengan slogan kota beriman, lingkungan masyarakatnya yang masih sangat kental dengan nuansa agamis, belum lagi di sana-sini masih banyak sekali pesantren yang berdiri kokoh dengan ribuan santrinya.
“Ya, sudah Bu, Fahita ke kamar dulu, badannya sudah gatel terkena debu” hehee, Fahita melangkah sambil tersenyum, ibunyapun hanya tersenyum melihat tingkah jail putri cantiknya.
Cukup waktu enam puluh menit untuk mandi, sholat dan bersolek. Fahita langsung merebahkan badannya di tempat tidur yang berbalut bad cover warna violet, sambil meluruskan badannya, ia membuka buku yang di kasih Garra di sekolah tadi siang.
“Bacalah buku ini Fahita, sebagai bekal awal kamu mempelajari teori, aku sangat mendukungmu untuk jadi penulis”
Garra, baginya memang tidak hanya sekedar bintang yang menyinari malam pekatnya, namun Garra juga mentarinya, yang selalu menyinari pagi, siangnya dan juga yang selalu menghantarkannya menjumpai malam, ia sungguh berarti bagi dunianya, ia sungguh berarti dalam hidupnya, ia ibarat udara yang selalu mempunyai ruang untuk kelangsungan perjalan hidupnya, Fahita tak mampu membayangkan jikalau tanpannya.
“Ah, ngapain sih aku berfikir yang macam-macm” Fahita langsung  menghapus fikirannya.
Ia mulai membaca buku pemberian Garra, yang pertama-tama ia pelajari adalah materi-materi dasar tentang menulis. Buku karangan Anwar Husain, menurut Garra cukup menjadi pijakan awal bagi seorang pemula, karena selain materinya tidak terlalu berat.
Fahita mulai membuka halamannya, buku yang kini ada di tangannya, buku itu memang mungil namun cukup lengkap. Dalam bab awal yang dijelaskan mengenai gambaran tentang menulis, dan seterusnya di jelaskan tentang menyusun karya tulis, laporan, proposal, puisi, artike, dan juga novel.
“Waow, bukunya cukup praktis seperti judulnya” lirih Fahita.
Selain buku tersebut, Garra juga memberii buku berbobot.
“Fahita, setelah kamu baca buku pengantar itu, kamu baca buku ini yah” Fahita hanya mengangguk.
“Kamu gak akan nyesel baca buku ini, dalam buku ini, dijelaskan mengenai teori-teori ilmiah” terang Garra sambil memberiikan buku yang berjudul Logika Penemuan Ilmiah karya KARL R. POPPER.
“Fahita, makan dulu belajarnya di lanjutkan nanti” panggil Ibu ketika Fahita tengah asik membaca.
“Iyah bu, sebentar” lalu Fahita melanjutkan kembali.
“Wah, ternyata buku ini sangat berat, membuatku berfikir,” Keluh Fahita lelah, ketika ia mulai membolak-balikan halaman awal, telah lebih dari tiga kali ia mengulangi dalam halaman yang sama, namun ia belum juga paham. Yang masih terngiang adalah ucapan Garra ketika sedikit menjelaskan sekilas sinopsis dari buku yang berjumlah 596 halaman itu.
Suatu ucapan atau teori belum bisa dikatakan ilmiah hanya karena sudah dibuktikan, melainkan karena sudah dapat diuji, contohnya saja untuk semua logam akan memuai jika dipanaskan, nah dari hal tersebut dapat dianggap ilmiah jikalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Kalau suatu teori setelah diuji tetapi tahan, berarti kebenarnnya semakin corroboration (kokoh, makin besar kemungkinan untuk menyangkal teori, makin kokoh pula kebenarannya. Itulah yang penulis buku ini sebut sebagai The Thesis of Refutability, suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Menurut pendapat tradisional, cara kerja ilmu didasarkan pada prinsip verifiabilitas, yakni bahwa suatu pernyataan dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris. Karl, R. Popper, dalam buku tersebut juga menjelaskan dan menawarkan persepektif yang berbeda. Dengan menunjukan prinsip falsifiabilitas yang berbeda. Lewat mengajukan prinsip tersebut, ia mengatakan bahwa segala ungkapan atau pernyataan pada dasarnya dapat dibuktikan salah. Bagi dia, prinsip ini menjadi penentu untuk membedakan suatu ungkapan ilmiah dengan ungkapan non ilmiah. Kamu bacanya pelan-pelan saja, buku ini memang berat ya kurang lebih membuatmu berfikir”
“Garra, mengapa kamu begitu cerdas, sehingga aku tergila-gila padamu” lirih Fahita. Sedang asik-asiknya membaca sambil melamun atau melamun sambil membaca, hpnya bordering,
“Fahita, aku benar-benar tak bisa melupakanmu, wajahmu selalu merona dalam hatiku” Fahita melenguh panjang membaca sms yang sebenarnya tidak diharapkannya, ia sungguh heran pada Rey, mengapa ia tak kapok juga mengejar cintanya yang sudah jelas-jelas hanya untuk Garra,
“Simpan saja di hatimu dan berikan pada orang yang lebih pantas menerimannya, aku merasakan kalau aku tak berhak, ingatlah ada salah satu sahabatku yang menantimu di sana, begitu pula dengan hatikupun telah ada yang menanti, aku seharusnya berterimakasih denganmu yang telah membuatku merasa jadi wanita yang ternyata pantas dicintai laki-laki” Fahita segera mematikan hpnya, ia tidak ingin terganggu hanya karena urusan sepele. Ia tahu betul terganggunya seseorang yang sedang belajar adalah karena lawan jenis, atau cinta yang tidak konstruktif.
***

           

Pagi datang dengan senyuman fajarnya, menyelimuti manusia dengan dinginnya. Namun rasa dingin itu bagi Garra tak menjadi penghalang untuk bangun dan menyingkap selimutnya. Telah lebih dari satu jam sebelumnya ia melebarkan matanya, dan langsung membasuh wajahnya yang ia rasa penuh kenistaan dengan air surgawi.
Sholat malam serta wiridlnya telah ia rapalkan, kini tinggal shalat fajar sebagai penghormatan dan rasa syukur terhadap Tuhannya atas nikmatnya yang telah mengizinkannya mencium aroma fajar dan menghirup wangi duniannya. Ia hanya berharap hari ini akan penuh dengan barokah_Nya.
            Setelah ritual suci ia laksanakan, ia lalu mengarungi mushafnya dan mencoba menyelaminya dengan segala bekal yang kini ia punya. Membaca ayat demi ayat dengan bilghoib ketika di pagi hari adalah waktu yang paling tepat baginya. Selain fikirannya yang masih fresh, raga dan jiwanya juga belum menyatu dengan alam liar, sehingga ia mampu menghayati taman-taman surga lewat kalam_Nya. Betapia indah.
            Setelah selesai mentadzaburi al-Qura,nnya, Garra lalu menengadahkan tangannya, bermunajat pada Tuhannya, ia tahu ia tidak sempurna ahlaknya dan belum mampu menyempurnakannya seperti tuntutan Rasululah SAW,
            Inama bu’istu liutamima makarimal ahlaq
“Sesungguhnya Aku di utus untuk menyempurnakan ahlak manusia”

            Ia menutup semua ritualnya dengan membaca hamdalah, lalu ia menatapi fajar di pagi yang masih memerah. Ia teringat pada meronanya wajah Fahita, dengan segera ia mengirimkan sebait kata-kata untuk sekedar membuka mata hatinya di subuh yang masih pekat, agar iapun menengadahkan tangannya dengan segela kerendahan hati.
            “Fajar di langit luas telah memandangmu dengan mata indahnya, tapi tiba-tiba ia datang padaku dan mengadu dengan muka redupnya, bahwa engkau masih berlindung di balik selimut dan bibir indahmu masih terkatup belum menyebut asma-Nya. Jikalau di izinkan aku akan membawamu untuk sekedar membuka pintu hatimu dan membasahi bibirmu dengan kalam cinta untuk Tuhan” message send tertera di layar hpnya.
            Selang beberapa menit dengan tubuh yang masih malas-malasan, menggeliat di atas hamparan pulau kapas ia membalas sms Garra dengan mata sedikit terkatup,
            “Terimakasih malaikat fajarku, aku akan membuka mataku untuk membalas tatapian mata fajar yang sempat redup karena tingkah nakalku tak berkawan dengan lembutnya pagi, aku akan segera bangun dan membasahi bibirku dengan menyebut nama-Nya”
            Garra hanya tersenyum  membaca balasan dari Fahita, lalu ia menutup hpnya kembali dan mengambil buku untuk sekedar mengulang apa yang kemarin sempat di ajarkan di sekolah. Ia tidak ingin jikalau ditanya Fahita tidak bisa menjawab atau jikalau ada teman-temannya ada yang membutuhkan bantuannya ia tidak bisa membantu, selain itu sebentar lagi ujian nasional akan datang.

***

           


Selasa adalah hari yang menyenangkan bagi Fahita. Karena di hari selasa ada mata pelajaran yang paling ia sukai yaitu bahasa Indonesia. Sekitar pukul 06. 15, iya sudah berdandan rapih. Baju yang telah tertata rapih dan jilbab yang ia kenakanpun sangat maching dengan asesoris bros gambar bunga. Ia terlihat begitu cantik.
            Ketika ia membuka pintu kamarnya dan turun dari tangga, ia mendengar suara yang aneh dari kamar Ibunya. Seperti suara laki-laki yang sedang marah.
            “Sepertinya Ayah sudah pulang, bukannya jadwal kepulanganya dari Surabaya minggu besok?”
            “Prang-prang-prang”
            “Ya ampun suara apa itu, seperti barang dibanting” Fahita kaget, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, ia mengendap-endap dan memasang telinga lebar-lebar di balik pintu kamar Ibunya.
            “Prank-prank” suara barang-barang yang di buang terdengar lebih jelas, tiba-tiba air mata Fahita meleleh ketika suara ibunya terdengar merintih, sesekali diiringi dengan senggukan nafasnya. Ia sedang menangis.
            “Ayah, kenapa tidak pernah adil dengan Riyanah, bukankah kita sudah sama-sama berjanji anakmu juga akan menjadi anakku, begitu juga dengan Riyanah”
            Bagai tersambar petir, tubuh Fahita lunglai seketika, ia langsung terdiam dan berjalan menjauh perlahan dari pintu depan kamar ayah dan ibunya. Ia langsung mencari Mbok Nah, pembantu yang telah lebih dari hampir 17 tahun merawatnya. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang ia dengar. Meluluh lantahkan hatinya. Mengapa ia harus mengetahui peristiwa beberapa tahun silam. Mengapa Tuhan harus memutar kembali jalan di masa lalu baru hari ini. ia terus berjalan dengan sempoyongan. Dan akhirnya terjatuh lemas di halaman.
***


















4
*Kepergian dan Kehilangan


Sang bayu terasa begitu dingin
menelusup dalam tubuh Fahita.
Tubuhnya tiba-tiba menggigil. Ia sakit.
“Non Fa, kenapa to, kok bisa jatuh?” Tanya Mbok Nah,
“Mbok, sebenarnya siapa ibu saya?”
Mbok Nah tiba-tiba kaget bukan kepalang, mukanya memerah mendengar pertanyaan Fahita. Ia telah berjanji akan mengubur semua kenangan tentang rumah tangga majikannya selama duapuluh tiga tahun silam. Semenjak  Fahita terlahir.
“Ya Tuhan, tolonglah hamba_Mu ini.” lirih Mbok Nah dalam hati. Ia benar-benar ketakutan untuk membuka kotak masa lalu yang telah ia kubur dalam-dalam.
“Mbok, tolong katakan”
“Non Fa, kok tanyanya ini kok yo aneh to, Ibunya Non Fa ya Ibu Miranda dan Riyanah ya Kakanya Non”
“Mbok bohong, mengapa Mbok memilih diam, Fa sudah tahu semuanya. Fa dengar Ibu dan Ayah sedang bertengkar di atas, mereka mengatakan kalau Fa bukan adik kandung dari Mba Riyanah, Ibu juga bilang kalau Fa ini adalah anak Ayah bukan anak Ibu” ucap Fahita sambil menangis.
Mbok Nah yang ada di depannya pun ikut menangis, ia begitu menyayangkan kalau harus Ayah dan Ibu Mirandah yang harus memutar masa silam rumah tangga mereka sendiri.
“Non, ma’afkan SiMbok yah, Mbok benar-benar tidak berani mengatakan ini semua, silahkan Non Tanya sendiri dengan Ibu atau Ayah, kalau tidak dengan Kaka Non” Fahita hanya terdiam membisu. Mbok Nah meninggalkannya dalam kebingungan.
Fahita menarik napas panjang. Putus asa. Lalu membenamnkan wajahnya ke dalam bantal. Ia ingin menangis sepuas-puasnya. Ia ingin menumpahkan semua kesedihannya. Ia begitu merasa sakit.
“Ya Tuhan, tolonglah aku dalam kesedihan ini, tolong tunjukan hamba jalan” rengek Fahita dengan nafas tersengal-sengal.
Telah lebih dari 3 jam Fahita mengurung diri dalam kamar. Berkali-kali Mbok Nah mengetuk pintunya dan berusaha membawakannya makan namun tetapi gak ada hasilnya. Fahita tetapi diam dalam kamarnya, tanpa bergeming sedikitpun. Mbok Nah begitu kebingungan. Akhirnya Mbok Nah Pasrah. Ia memutuskan untuk melangkah ke dapur dan memasak makan malam.
“Asalamualaikum,” terdengar suara seorang wanita yang sudah taka sing lagi membuka pintu dan mengucap salam.
“Walaikum salam, Non Riyanah, anu Non, itu Non Fa sedang menangis”
“Lho kenapa Bi,?” Tanya Riyanah, ia terlihat gugup, terlihat sekali kalau ia begitu menyayangi adik perempuannya.
“Non Fa, tiba-tiba tadi pagi menanyakan tentang siapa Ibu kandungnya, dan semua masa lalu keluarga ini”
“Lho, kok bisa begitu mbok, Mbok tidak keceplosan bercerita kan?”
“Tidak Non, tadi pagi sewaktu Non Fa akan berangkat sekolah ia mendengar Ibu dan Ayah Non bertengkar”
“Astaghfirullahal Adzim” tiba-tiba badan Riyanah terasa lemas. Telah lebih dari dua puluh tiga tahun rahasia kelurga ini terpendam dan kini harus mereka sendiriyang membongkarnya. Riyanah langsung berlari menuju kamar Ibu dan mencari-cari Ibunya. Tapi ternyata kamarnya sepi.
“Mbok-mbok, Ibu dan Ayah kemana?”
“Tidak tahu Non, semenjak jam delapan pagi mereka pergu belum kembali”
Riyanah merasa kebingungan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kamar Fahita.
“Asalamaulaiakum De,” Ucap Riyanah, sambil mengetuk pintu kamar Fahita.
 Kali ini Fahita tak lagi diam. Begitu mendengar suara Kakanya ia langsung berlari kearah pintu dan membukanya.
Cekrek, suara pintu terbuka, Riyanah langsung memeluk tubuh mungil Fahita. Telah lebih dari empat bulan mereka tidak bertemu. Kesibukan kuliah dan organisasi di kampusnya, membuat Riyanah jarang sekali pulang. Apalagi sekarang ia telah menginjak semester akhir.
“Mbak Yan, sebenarnya apa yang terjadi dalam keluarga ini?” Fahita kembali menangis dalam pelukan Kakanya.
“Tenang Dek, sekarang kamu makan dan mandi, setelah itu, Mbak Iyan ceritakan semuanya, tapi harus janji jangan sedih lagi”
“ janji yah Mbak,” rengek Fahita.  Kakanya begitu menyayanginya sehingga ia begitu manja. Hanya jarak yang membuat mereka bertatapi langsung, hanya bisa berkomunikasi lewat telepon, itu pun jarang. Fahita dan Mba Iyan sama-sama orang yang sibuk.
“Ya sudah, Mbak Iyan tak istirahat sebentar, capek tadi dari kampus langsung pulang karena harus mengejar bis patas”  Fahita hanya mengangguk. Wajahnya sedikit cerah.
***
Cerita terus mengalir bersama waktu yang terus berjalan tanpa henti dan tak mampu ada yang menghentikannya. Fahita hanya terdiam mendengarkan cerita kebenaran hidupnya dari mulut Mba Iyan. Ia sedikit miris dan terluka. Kehilangan.
“Yang Mba Iyan tahu hanya sebatas itu De,” ucap Mba Iyan, Fahita masih menunduk, air matanya tak mampu dibendung lagi. akhirnya meleleh.
“Jadi Mba Iyan bukan Mbak Kandung Fahita?” Tanya Fahita lirih.
“Mbak kandung atau bukan itu tidak penting! Yang terpenting adalah Mbak Iyan begitu menyayangi De Fahita. Tenang saja, tadi pagi Ayah dan Ibu mungkin sedang emosi, jadi biarkanlah mereka tenang dulu” pinta Mbak Iyan. Fahita begitu merasa sedih mendengar kenyataan hidup yang sebenarnya. Siapa keluargannya, siapa dirinya dan di mana ibu kandungnya sekarang.
“Ya sudah, Mbak Iyan tak istirahat dulu ya Dek, kamu harus belajar, sebentar lagi ujian nasional” ucap Mbak Iyan sambil membelai rambut Fahita lalu mengecup keningnya dan meninggalkannya sendirian. Mbak Iyan tahu, setelah Fahita mendengar kenyataan itu yang ia butuhkan adalah kesunyian untuk menjernihkan pikirannya.
Fahita berjalan perlahan menuju kamarnya, ia ingin segera merebahkan hatinya yang sedikit lara. Lalu ia membuka album masa kecilnya, ketika ia masih sangat senang memandangi gambar rembulan bersama ayah dan ibunya, yang begitu sangat mencintainya dan ternyata kenyataan harus lebih menyakitkan, bahwa ia bukanlah ibu kandungnya. Ia terus memandangi gambar rembulan dalam potret kenangan itu, pikirannya melayang, ia yakin ibunya sekarang berada di antara kastil rembulan. Lalu memberii senyuman pada jantungnya.  

***
Senja menutupi mega, rintik gerimis mewarnai hari. Hati yang telah patah terbasahi hujan air mata. Orang tercintanya telah pergi tiada pamit, tetes darah yang ia tinggalkan menjadi luka di hatinya. Ia hanya berharap semoga Tuhannya, menempatkannya di surga_Nya dan mempertemukannya dengan Kasih dan Ridha-Nya. Amien.
“Kini semua terasa telah hilang, semua telah pergi antara cintamu, belaianmu yang kini hanya mampu membalut rindu. Kini aku hanya mampu berharap lagi akan berjumpa denganmu, Ibu. Dalam taman firdaus penuh keabadaian. Walau  disini hanya tersisa aku sendiri, namun kasih dan cintaku takan pernah putus walau kini hanya berbentuk kiriman sepucuk surat berisikan do’a yang senantiasa kutitipkan pada Malaikat penjaga pintu malam dan siangmu agar wajahmu selalu ayu seperti dulu kau melahirkanku, hingga kini aku tak mampu menatapimu lagi”
Telah lebih dari sepertiga malam, Fahita belum juga mampu memejamkan matanya. Ia ingin segera pagi menjemput, dan pergi ke sekolah dan menemui Garra. Lalu menumpahkan segala rasa yang ada di hatinya. Namun, malam terasa begitu perlahan merangkak. Semakin menyiksa ulu hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk bermunajat pada Tuhan dan meminta petunjuk agar ia diberi kesabaran dan jalan yang tetapi lurus menuju kehadirat_Nya.

***

            Bawa aku menyambut pagi di langit timur, karena cinta terbang bebas bersamaku menggaris cakrawala yang telah usang. Bawa aku menyambut mimpi dilangit asmaramu karena cinta terbang bebas dialam mimpiku mengukir asa mengaharap hadirnya dirimu dalam dunia nyata yang abadi” sebait sms menyambut pagi Garra yang indah, angin sepoi membelai tubuhnya ketika ia membaca sms dari gadis terindahnya. Sedikit bingung dan merasa terheran-heran. Tak seperti biasa-biasanya Fahita mengirimkan sms yang sedikit mendalam. Fillingnya mengatakan, kalau ada sesuatu yang mengganjal hati peri paginya itu. Ia langsung mengetik sms untuknya,
            Hatiku masih terlalu luas untuk memeluk resah di hatimu. Berangkatlah lebih awal, kita pandangi mawar yang tengah mekar di taman sekolah, aku yakin hatimu akan lebih segar dari mawar itu. aku menunggumu sejak hari selasa tapi kau tak kunjung datang, smspun tak jua menyapa, jadi hari ini, kuharapkan kau membawakanku senyum yang paling indah agar pagiku lebih indah dari laki-laki di manapun dalam dunia ini”
            Fahita tersenyum membaca balasan dari Garra, ia paling bisa menenangkan. Begitu jam menunjukan pukul enam lebih seperempat, ia bergegas menuju jalan raya dan tanpa pamit pada Mbok Nah maupun Mbak Iyan, ia tetapi melangkah menjemput cintanya di taman sekolah.
            “Sudahkah lama menungguku?”suara merdu penuh cinta mengagetkan Garra yang tengah asik memandang bunga melati yang indah dan begitu segar.
            “Hei, Nona manis mengapa wajahmu terlihat sayu? Matamu membengkak, ada apakah gerangan dengan hatimu?” Tanya Garra, Fahita hanya menunduk.
            “Aku membawa resah dan ingin membaginya denganmu, apakah kau mau?”
            “Seberapapun keluh kesahmu, aku siap menerimannya. Hatiku masih terlalu luas untuk menampung cintamu. Resahmu adalah sebagian sayangku padamu”
            “Terimakasih Garra,” lalu, Fahita mulai bercerita tentang peristiwa yang sempat mmbuatnya terkapar tak berdaya.
“Garra,sungguh aku tak menyangka kalau Ibu Miranda bukanlah Ibu kandungku, ia hanya ibu angkatku” hujan air mata telah mulai membasahi pipi Fahita.
“Dari mana kamu tahu?”
Fahita menatapi mata Garra sebentar, lalu menghapus air matanya sendiri yang mulai berjatuhan. Kemudian menceritakan kelanjutan kelu hatinya semenjak selasa pagi kemaren, saat ia akan berangkat sekolah dengan riangnya, tiba-tiba petir bagai menyambar kepalanya dan pecah berantakan hingga tak mampu hidup lagi. Saat ia mendengar kenyataan yang memilukan bahwa Ibunya telah meninggal saat melahirkannya dan akhirnya mendonorkan jantungnya pada Ibu Miranda yang kini menjadi ibunya.
Saat itu, Fahita tersentak kaget. Resah bercampur rasa takut dan rasa semua yang berpredikat sedih menempel dan merasuk kedalam fikiran serta menyatu bersama hatinya. Hingga akhirnya ia tak sanggup lagi berfikir dan apalagi menerima kenyataan itu. Dadanya berdebar keras. Dia tidak pernah memikirkan alur hidupnya akan sedemikian menyakitkan. Kalau ibu yang selama ini memberii nilai atas keberadaannya bukanlah ibu kandungnya. Lantas harus bagaimanakah memposisikan Ibu Miranda sekarang. Dan harus bagaiamanakah memeluk epitapih Ibu kandungnya. Dua hal yang benar-benar memilukan.
Dunia kini benar-benar terasa hampa dan tanpa gravitasi. Di dalamnya, Fahita hanya hidup dalam kebingungan. Semua kini terasa hidupnya tanpa arah, semua harapanpun sirna, rencana masa depanpun kini porak poranda.
Fahita tidak hanya menyeka air matanya, kini ia harus melirihkan suara tangisnya. Kesedihan yang luar biasa membuatnya tak mampu membendung arus air mata yang kini beriringan suara. Bagai koor yang bersatu padau hendak menyanyikan lagu wajib. Garra yang ada di depannyapun berubah sendu. Ia begitu merasakan sakit dan pilunya hidup kekasihnya. Ia begitu peka terhadap tiap detak jantung Fahita. Semua rasa sakitnya adalah sebagian pilu hatinya jua. Tak tega melihat kehampaan yang menyeruak hanya dalam diri Fahita, hingga Garra berniat merebut kepiluan itu, lalu mereka tanggung bersama. Akhirnya ia memberianikan diri untuk mengelus kepala Fahita dengan lembut.
“Fahita, Alloh memberiikanmu seperti ini karena Alloh tahu, kamu adalah wanita yang solihah dan tegar. Percayalah, setiap detak jantung Ibu Mirandah adalah detak jantung Ibumu, karena di dalamnya masih tersimpan nadi ibu kandungmu, aku yakin semua kasih dan cinta Ibu Mirandah adalah kasih cinta yang ibu kandungmu titipkan dalam raga Ibu Mirandah, Ibumu percaya, lewat tangan Ibu Mirandah, kasih sayangnya takan pernah terhenti dan akan selalu tercurahkan, lewat pelukannya, kehangatan pelukan Ibumu akan tetapi menemaimu. Sabarlah, aku akan selalu menemanimu, aku akan selalu berusaha menggantikan cinta yang  kini terasa hilang dalam hatimu, dan terasa dingin dalam ragamu”
            Fahita masih tertunduk pilu, hatinya belum mampu menangkap kasih cinta dari Garra, pikirannyapun belum menentu. Lama mereka terdiam, Garrapun membiarkan Fahita  tenangg dalam diamnya, namun, selang beberapa menit Fahita mulai mengatur nafasnya dan akhirnya ia mulai berbicara walaupun lirih,
            “Fahita bingung, bagaimanakah Fahita harus memeluk uluran rindu dan kasih sayangnya sedangkan raganya saja kini telah berada dalam tempat yang jauh” kembali air matanya tumpah, tissue yang ia bawapun hampir habis untuk menampung air matanya.
            “Tuhan tidak pernah kehabisan cara untuk mentransfer cinta bagi umat_Nya”
            Fahita sedikit bingung, sebentar ia menatapi mata Garra, memohon penjelasan karena ia benar-benar tak mampu berfikir jernih apalagi berfikir keras.
            “Masih ada tiga jalan yang kamu tempuh agar hatimu dan hati ibumu kembali menyatu,”
            “Apah?” Tanya Fahita singkat.
            “Yang pertama ketika kamu ingin amal dan pahala ibumu takan pernah lepas yaitu amal jariyah, dan yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat dan yang ketiga adalah putri tercantiknya ini,” Garra memandang Fahita dengan penuh cinta, lalu ia meneruskan kata-katanya,
“Yang ketiga adalah doa darimu Fa, do dari anak yang shalih- shalihah, kalau ketiga jalan itu berhasil kamu tempuh, ibumu walau sudah berada dalam pangkuan Tuhan akan tetapi menyatu dengan cintamu yang masih berada dalam dunia fana ini”
            “Benarkah itu Ra, aku takut aku tak bisa membalas setiap tetes darahnya yang ia keluarkan hingga mempertaruhkan nyawanya demi aku”
            “Itu benar Fa, dalam al-Qur,an pun diterangkan. Jadi meskipun orang tua kita telah meninggal, masih ada kesempatan bagi anak-anaknya untuk berbakti  dan membalas kebaikan orang tua. Anak itu ibarat investasi orang tua di masa depan. Sekarang sekalah air matamu, aku rindu dengan mata beningmu dan senyum bidadarimu”
            Fahita lalu menyeka air matanya, dan sedikit tersenyum walau hatinya sebenarnya belum mampu tersenyuma
            Jazaakumulaah, Garra,” lalu mereka beriringan melangkah menuju kelas. Karena bel masuk sudah terdengar dari tadi.
            Di samping Garra, Fahita melangkah dengan sedikit senyum, ia merasa memiliki tenanga tambahan dari nasehat yang baru di dapatnya. Ia merasa Garra telah memapahnya untuk bangkit dari keterpurukan yang maha dahsyat.  Ternyata hubungannya dengan ibu belum terputus, ternyata ia masih bisa berbakti.
            Duh ibu! bakti seperti apakah yang engkau harapkan? Apakah cukup sekedar dengan do’a dan shalat?



5

*Hiruk Pikuk


        Till we meet again Garra,”
            “Ok Honey, May God bless you, n see you this night
mereka lalu berpisah di persimpangan jalan.
Garra dan Fahita sama-sama melangkah untuk pulang.  Kegiatan di hari kamis yang cukup melelahkan. Tapi itu tak menghalangi mereka untuk bersama-sama menatapi bintang di malam nanti.
 Garra sangat mengerti Fahita begitu membutuhkan dirinya untuk sekedar menemaninya dalam sendu. Ia pun takan rela membiarkan Fahita meratapi sedihnya langkah kehidupan yang sedang ia jalani hanya seorang diri. Walau sebenarnya ia yakin, Fahita mampu untuk tegar. Tapi ia tetapi memandang bahwa wanita tetapi membutuhkan sandaran.
Mengapa keindahan ini hanya berlangsung sekejap
Sebelum akhirnya lenyap di telan senyap
            Batin Fahita kembali merintih saat ia berjalan beriringan bersama senja, saat itu, senja memang telah tiba di langit hingga hamparan yang berhiaskan awan itu berubah dan berwarna merah keemasan dan berpadu dengan warna perak, maroon, lembayung seperti lukisan abstrak terindah yang pernah di tatapi oleh semua mahluk.
 Komposisi antara gelap dan terang begitu kontras dan perpaduan warnanya begitu tajam. Kadang awan yang menggumpal berbentuk seperti wajah manusia, binatang atau benda-benda aneh yang tak terjelaskan seperti goresan kuas dari Picaso, Dali, Monet dan para pelukis mahir lainnya. Burung-burung telah kembali menuju peraduannya, dan sudah pasti, puluhan bahkan ratusan kelelawar telah keluar dari tempat persembunyian di gua-gua gelap sana dan mulai memburu ribuan serangga yang beterbangan di angkasa.
Semua itu adalah keajaiban dalam sore hari, karena terjadi berulang-ulang setiap sore menjemput mata telanjang manusia dengan kesibukannya tak pernah meliriknya, tapi ketika membuka mata dan hati kita dengan selebar-lebarnya untuk sekedar melihat keajaiban Tuhan, kita pasti mampu memandangnya dengan persepektif yang berbeda. Begitu juga dengan Fahita.
            Langkahnya, ketika sore menjelang tadi ia berpisah dengan Garra untuk berpulang ke rumahnya, tapi hatinya tak ingin segera kembali menatapi mata-mata yang membuatnya sempat terluka; sangat dalam. Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk termenung dan menatapi senja di tengah taman kota.
            “Aku tak tahu mengapa waktu berlarian begitu cepat. Seperti kelinci di padang rumput lalu tiba-tiba menghilang di telan lubang. Seperti aku sejak pagi kemarin, waktu bahagiaku tiba-tiba hilang seperti ditelan matahari siang dan kini harus aku sendiri lagi menatapi serpihan peristiwa yang akan hilang tertiup angin malam. Walau aku tahu,hari ini akan menjadi masa lalu yang terlupakan walau harus meninggalkan bekas kemerahan dalam hati, namun sungguh semua itu yang terdalam bagiku” Fahita bergumam pada dirinya sendiri sambil menatapi lurus ke langit merah.
            Tak sampai disitu, hatinya terus menggunggam dalam riak yang menyakitkan, ia berharap dalam ketidak mungkinan andai ia mampu bereinkarnasi kembali, menjadi anak kecil kembali, maka ia pasti akan merasakan kebahagian itu kembali. Karena ia tahu, untuk bahagia di waktu kecilnya tak harus mempunyai seribu alasan.
 Karena anak kecil memang dapat bahagia tanpa alasan, dia biasa sangat senag ketika ia dapat bermain-main dengan kupu-kupu yang dilihatnya di taman atau bahkan bermain dengan benda-benda asing yang tak dimilikinya. Berbeda dengan sekarang, umurnya yang mulai menginjak delapan belas tahun, membuatnya harus dewasa belum pada saatnya, mengartikan kebahagiaan harus berdasarkan alasan yang logis, begitu pula dengan sedihnyapun harus berdasarkan alasan yang logis pula. Bukankah sedihku juga sangat logis dan bahkan suatu keharusan baginya untuk sedih.
Fahita semakin puising dengan argument-argumen yang ada di dalam pikirannya sendiri dan saling tarik menarik antara ia harus melepas semau ini ataukah harus  sekedar meratapi. Ia tak sadar bahwa jarum jam telah menunjukan pukul 19.45. Wib, ia juga tak sadar telah membuat orang seisi rumah menangis kebingungan.
“Iyan! mengapa kamu tidak mengatakan semua ini dengan Ibu? , kalau Fahita mendengar pertengkarang kami” Ibunya menangis, kehawatirannya memuncak, ia begitu ketakutan akan terjadi apa-apa dengan gadis kecilnya itu,
“Maafkan Ayah, Bu, ini semua gara-gara Ayah” sesal Ayah Fahita.
“Sudahlah Ayah, ini kesalahan kita berdua tak perlu disesali, kita sama-sama egois dan emosional hingga gadis kecil kita menjadi korbannya” Iyan yang ada di depannya hanya mampu menyesli kecerobohn mereka berdua, akhirnya, rahasia yang selama ini terpendam begitu saja terbongkar.
Iyan memeluk Ayah dan Ibunya, mencoba menenangkan mereka dan berkata lirih,
“Mari kita semua minta ma’af pada Fahita karena telah membohonginya selama delapan belas tahun ini, kita mencarinya bersama-sama”
“Iyah, Nduk, ayo kita segera cari Fahita, Ibu takut ada apa-apa dengannya, Ayah segera siapkan mobil”
Baru saja mereka bergegas menuju halaman, Garra menyapannya,
“Lho, Tante dan Om hendak kemana? Terlihat buru-buru?”
“Garra, apa kamu melihat Fahita? Ia belum pulang sejak tadi pagi” jawab Ibu Fahita.
“Sejak tadi siang memang bersama Garra di sekolah, tapi kita berpisah sejak pukul empat sore tadi, nah kita sekarang berjanji untuk bersama-sama ke taman kota”
“Jangan-jangan Fahita tidak pulang dan menunggumu di sana? Ayo kita ke sana sekarang” Ibu buru-buru. Akhirnya mereka pergi berempat menggunakan avanza silver milik ayah Fahita.   

 

Aku tak tahu mengapa aku merasa  melankolis malam ini

Aku menatapi lampu-lampu berubah seperti segitiga dan

Lalu lalang yang berada di depan mataku

pun berubah dengan warna-warna baru

Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan

Semuanya terasa indah tapi kosong

seolah-olah aku merasa diriku yg lepas dan tak jelas

dan bayangan-bayangan yg ada menjadi semakin buram hitam pekat

rasa resah yang begitu kuat menguasai diriku

aku ingin membuangnya dan melempar sejauh-jauhnya.

 

Fahita tengah menengadahkan wajahnya pada bintang-bintang, ketika Garra mendekatinya. Gumam lirih yang sempat membasahi bibir tipis Fahita sempat terdengar oleh telinga dan perasaan peka Garra terhadapnya.
            “Hidup ini tak seharusnya begini, aku masih sendiri dalam sunyi menunggumu dan menantikan pelukan cintamu, lihat saja sekejap fajar datang lambat malam berlalu, namun  aku terasa sepi tanpa dirimua ku lalui langkah  kebisuan  tubuhku. Aku pun semakin tidak mengerti mengapa semakin lambat jalanku seperti malam ini aku kehilanganmu, berbalik dan tempuh langkahmu seolah tak terjadi apa-apa, itulah proses meditasi untuk kedewasaanmu, melepas masalah dan yakin pasti ada hikmah” 
            Fahita membalikan tubuhnya, ia begitu kaget dengan kedatangan Garra, ia ingin sekali menumpahkan putus asanya dalam pelukan Garra, tapi ia tahu itu adalah tidak mungkin dan tidak akan mungkin terjadi selama ia belum halala untuknya.
            “Fahita, apa engkau ingin melihat air mata ayah dan ibumu tumpah di depan matamu, agar air matamu menyatu menjadi air mata ibu dan ayahmu?” Garra bertanya dengan nada yang cukup dalam.
            Fahita tidak bergeming sedikitpun hanya hatinya yang berteriak, meluapkan kelu yang begitu dahsayat, ia ingin sekali mengucapkan kalau merekalah yang mengajaknya menempuh jalan ini, karena mereka pulalah kesunyian telah menepi dalam jiwa melingkupi relung kalbunya, hingga terus membayangi  hidupnya dengan kesunyian yang menyatu dengan dinginya kasih sayang, walau dalam kehadiran mereka sekalipun. Hingga kini, yang tersisia hanyalah kehampaan.
            “Fahita, ayolah buka jiwa bidadarimu, bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau egnkau adalah bidadari tak bersayapku, aku ingin kamu buktikan semua ini sekarang” Garra kembali memohon, ayah dan ibu hanya memandangnya lewat balik jendela, begitu jua dengan Mbak Iyan. Mereka tahu, Fahita takan mema’afkan begitu saja kesalahan mereka. Kesalahan yang sungguh fatal. Hingga akhirnya mereka menyerahkan pada Garra agara berusaha mendinginkan hati Fahita terlebih dahulu.
“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku” keluh Ibu Mirandah saat melihat Fahita meneteskan air mata, selama delapan belas tahun ini ia baru sekali ini melihat air mata Fahita jatuh begitu banyak hingga wajahnya sayu dan matanya sembab, jika dulu Fahita menangis itu juga karena ia kelaparan atau ia telat memberiinya susu, atau bahkan berantem dengan kawan sebayanya, tapi kali ini air mata itu jatuh karena ulahnya. Ia sungguh merasa berdoa dengan Rahma, sahabat karibnya, yang juga Ibu kandung Fahita, ia teringat jelas janjinya dulu sebelum Rahma menghembuskan nafas terakhirnya, ia meminta satu hal dari dirinya,
“Mira, aku titipkan jantungku padamu sebagai ganti jantungmu yang telah membuatmu cukup merengek kesakitan, tapi aku mohon lewat jantung itu, rawatlah Fahita, karena aku sudah tak mampu lagi untuk menemaninya, dan jika kamu mampu rawatlah suamiku, anggaplah Fahita seperti darah dagingmu, karena jantungku yang berdetak dalam ragamu juga akan membantumu menyayanginya, karena kamu adalah  jelmaan dari jasadku. Tolong jangan pernah membuat gadisku menangis berilah ia nilai yang berharga, agar ia mampu mendoaakanku dan juga mendoakan kita semua kelak” genggaman terakhir dari Rahma masih begitu terasa, ia begitu merasa berdosa saat ini telah membuat buah hatinya menangis dalam kesedihan yang mendalam, seharusnya ini semua takan pernah terjadi, karena tanpa adanya Rahma, ia takan pernah hidup hingga sekarang, kelainan jantung sejak kecil mungkin telah merenggut nyawanya. Tapi karena Rahmalah ia kini merasakan cinta.

      Begitu saja Ibu Miranda kelur dari mobil, ia tak sanggup lagi melihat air mata bercucuran membasahi pipi Fahita.  Sejak kemarin, ia telah menebalkan kalbu kesakitan untuk Fahita, kesalahan telah ia cecap, kekalahan melawan dengan egonya telah membelenggu batin keibuannya.

      “Fahita, ayolah jangan menangis bagian  kehidupanmu ini memang  sedang sedih tapi cobalah untuk tidak membuang air matamu yang  hanya membasahi kesunyian dengan kehampaan. Kalau kamu menganggapnya hitam memang hitam dan cahaya kadang samar tapi, kehidupan tak akan menunggu kereta berikutnya, jadi jangan menangis ya,” ucap Garra lembut, tangannya mengusap kepala Fahita, mencoba menenangkannya.

            “Fahita, Ibu mohon ma’af”_ Ibu Miranda berucap lirih, ia berusaha membelai Fahita namun Fahita menolaknya. Ia menghindar dan masih menunjukan wajah merah padam.

            “Fa, Ibu mohon maafkan Ibu, Nak,” Ibu Miranda meneteskan air mata, akhirnya Fahita membuka katupan bibirnya dan merangkai kalimat pengungkapan rasa marahnya.

            “Mengapa Ibu tak mengatakan semua ini, mengapa semua yang ada di rumah membohongi Fahita? Mengapa semua memendam peristiwa yang seharusnya Fahita tahu? Mengapa kalian melakukan semua ini? sekarang kalian puas Fahita merasakan semua ini? kehilangan yang Fahita rasakan sangat dalam Bu,”

            “Fa, maafkan Ibu, tolonglah, bukan Ibu tak mau bicara, tapi Ibu benar-benar tak sanggup untuk bicara, ibu terlalu takut untuk bicara, ibu takut menyakitimu, takut kamu menangis dan terlalu khawatir hatimu terluka, ibu bukannya tak mau jujur, ibu takut tak bisa memelukmu sehangat dulu lagi”

            Fahita hanya diam membisu.

***

Rekaman-rekaman masa lalu begitu jelas berputar-putar mengisi ruang kehidupan Pak Subrata. Kehidupan delapan belas tahun silam seakan meruntuhkan sendi-sendi tulangnya, raungan-raungan kesakitan dari suara istri tercintanya begitu jelas memekakan gendang telinganya.

            “Mas, Rahma gak kuat lagi mas, sakit”

            “Tenanglah Rahma, ayolah bertahan, berjuang sebentar lagi”

            “Sakita, aowwwwwww”

            Setelah menunggu beberapa menit akhirnya buah hati yang telah Sembilan bulan masa kehaliman mereka tunggu akhirnya lahir.  Perempuan jelita, mungil dan sangat mirip dengan ibunya sungguh membuat Pak Subrata begitu bahagia, ternyata setelah menunggu empat tahun lamannya di tambah dengan masa kehamilan, hampir lima tahun. Sungguh lama dan akhirnya kini berakhir jua.

            “Rahma, lihatlah anak kita, ia cantik sekali, mirip sekai denganmu, lihat hidungnya begitu mancung seperti hidungmu”

            Rahma hanya mampu tersenyum. Ia masih terbaring lemas, wajahnya pucat pasi. Ia telah kehabisan darah, dan belum sempat ia memeluk gadis kecilnya, ia pingsan. Suster melarikannya ke ruang  ICU.

            “Bapak, istri anda koma, ia mempunyai kanker di rahimnya”

            “Rahma,!!!”

            “Mohon anda segera menemui dokter, karena sebenarnya seorang penderita kanker rahim itu tidak boleh mengandung” ucap suster lalu meninggalkan Pak Subrata dalam ketakutan dan penyesalan, ia begitu egois mengapa ia dulu harus memaksa Rahma untuk hamil tanpa memikirkan kondisi Rahma yang lemah dan akhirnya harus terkulai tak berdaya. Untuk mengatur nafas saja sudah tak mampu.

***

 

           

“Pak Subrata, harapan istri anda untuk hidup sangat tipis, tolong semua konsekuwensi di terima dengan lapang dada” belum selesai berbincang dengan dokter, suster berlari mengabarkan kalau pasien di ruang ICU telah meninggal. pak dokter langsung berlari, sedangkan Pak Subrata masih terdiam dan akhirnya terjatuh pingsan.

***

           

            “Jika kamu ingin marah, marahlah sama Ayah, Fahita, karena ayah yang menyebabkan semua ini” ucap Ayah Fahita yang tiba-tiba berdiri di belakang ibu Mirandah.

            Fahita hanya terdiam, lalu ayahnya menjelaskan bahwa ia yang menyebabkan ibunya kesakitan. Jikalau ia dulu sabar untuk menunggu masa penyembuhan kanker yang diderita Rahma, pasti sekarang ibu Fahita masih hidup, tapi semua keadaan telah memaksanya, orang tuanya terus memaksanya untuk segera punya momongan dan jika tidak maka ia takan mendapat sedikitpun warisan. Tapi semua itu justru fatal, kini ia harus kehilangan istri dan menorah luka yang dalam bagi putrinya. Penyesalan tiada artinya lagi bagi Fahita.

            “Fa, dengarkan ibu sekali ini saja,!” Ibu Mirandah memohon, Fahita tetapi tak bergeming hanya mengalihkan tatapian matanya lurus pada tatapian mata Ibu Mirandah, tanda ia mau mendengarkan.

            “Jantung yang kini berdetak dalam raga ibu adalah jantung Ibu Rahma, dan air susu yang mengalir dalam tubuhmu adalah berasal dariku yang akhirya mampu menyambung kehidupanmu dan Mbak Iyan, jadi apa artinya aku ibu kandungmu atau bukan, antara jantung dan air susu telah menyatu anatara aku dan Ibu Rahma, jadi kita tidak ada bedanya, Ibu mohon Fahita” tangan Ibu Mirandah bergetar, ia kehilangan separuh tenanganya, melihat Fahita tetapi tak bergeming hampir saja ia putus asa, tapi tiba-tiba air mata yang keluar dari dalam mata Fahita memberiinya pertanda, bahwa ia masih ada dalam hati Fahita, dan mampu menyentuh jiwa terdalamnya.

***

Fahita hanya teringat satu hal, tentang nasihat Garra di pagi yang bening, saat angin masih perawan membelainya, saat itu Garra memberiinya untaian kalimat surgawi.

            “Fa, ingatlah satu hal,menangis karena menghadapi ujian dan musibah yang berat adalah fitrah manusia. Menangis karena berbuat dosa adalah karunia. Menangis karena marah pada taqdir Tuhan adalah petaka. Jika kamu mampu meresapi tiga hal itu, aku yakin kamupun mampu mengartikan kehidupan yang kamu jalani”

            Awan kelabu yang berarak dalam hari-hari Fahita terasa memudar dan memutih, ia mencoba berfikir lebih manusiawi, bahwa suratan taqdir yang membungkusnya mampu menjadi ladang pahala dan menciptakan sebongkah kesabaran. Walau ia tahu, menciptakan keikhlasan adalah hal yang tersulit untuk dilakukan oleh manusia pada umumnya. Tapi ia ingat bahwa anak sholihah dan doanyalah yang mamapu menghangatkan cinta dan sayang dari tempat tergelap di bawah tanah sekalipun. Ia ingin Ibu Rahma yang telah mengorbankan nyawanya benar-benar beristirahat dengan tenang di alamnya.

***



          Maret 2007…

            Cerita kesedihan tidak  memiliki awalan dan akhiran, kapan kesedihan bermula? Barangkali ia bermula sejak lahirnya sang kala. Kapan sang kala bermula? Mungkin Tuhan pun akan diam seribu bahasa jika mendengar semacam itu. karena barangkali sang kala adalah hasil pemikiran_Nya sendiri. Kesedihan selalu berada di dalam sang kala. Waktu yang merentang. Ketika masa lalu dan masa depan terus meneror keinian. Tentu hanya orang pasrah dan mampu melepas yang mampu hidup dalam kekinian selalu segar-bugar dan behiasakan senyum penuh gembira, dan waktupun terasa tiada.
            Seperti itulah kata yang sering diucapkan Garra untuk kekasihnya, bahwa menjalani hidup tak harus menunggu kereta berikutnya. Yang pasti dan teragung adalah melakukan yang terbaik untuk detik ini dengan penuh cinta dan gairah. Niscaya cerita hidupnya takan membalut sejarah penyesalan dalam hati. Karena sesungguhnya, taqdir yang akhirnya meninggalkan cerita dalam hiduplah yang memilih kita, bukan kita yang memilih taqdir. Bahkan tak ada kesempatan dan waktu sekalipun, dan sebelum menerima akhir dari segalanya adalah bersabar dan terus bersabar.
           
“Kau senantiasa  kirimkan paragraf -paragraf cinta, melalui malam basah ketika di sini waktu tengah setitik bintang,  mencakar langit sesepi, kau kirimkan kamar-kamar rindu melalui tikam tatapian menelisik kisah di Balik dinding wajah menusuk labirin tanya, tentang cinta dan masa depan” sms yang baru saja ia baca, tiba-tiba membangun kubah rindu yang begitu agung di hati Garra, betapia kekasihnya selalu memberii warna baru dalam mengungkapkan rasa. Itulah salah satu alasan mengapa ia begitu betah menjalin hubungan dengan Fahita, ia begitu mengerti bagaimana dan di titik mana ia harus mengungkapkan cinta dan rindunya.
“Bulan yang selalu menerangi kalbuku, bukalah lembaran-lembaran buku pelajaranmu, telah kusisipkan cintaku dalam setiap rumus fisika dan kimia, serta aku torehkan rinduku pada setiap paragraph dan majas dalam materi bahasa Indonesia, telah kurangkai ungkapan sayangku dalam gramer English, percayalah, kau akan begitu bahagia jika dapat memahaminya. I Love u”
“Ok, Fahita akan segera belajar. Sampai berjumpa esok hari, di pagi penuh cinta”
***
Semangat belajarnya begitu  membara, hingga membuat gadis melankolis itu menghapus awan kelabu yang menutupi atapi keluarganya, semua ia usahakan untuk berlaku seperti biasa dan belum terjadi apa-apa walau masih sedikit kaku. Dan pelukan Ibupun masih terasa dingin. Namun, ia pura-pura tak merasakan semua itu, karena yang terpenting sekarang adalah lulus dengan nilai sempurna dalam ijasah dan membuktikan pada ayah dan ibu yang dulu pernah memaksanya untuk menempuh sekolah berbasis agama. Sehingga ia mampu menjadi kebanggaan dan mendapat izin melanjutkan di Universitas umum.
“Fa, segera turun untuk makan malam, semua sudah siap” suara Ibunya mengingatkan. Fahita yang sedang asik membaca buku hanya menggeliat, hanya saja suara ajakan dari ibunya tak sehangat dulu. Ia belum sepenuhnya mampu menerima kenyataan, butuh waktu dan pelan-pelan.
“Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tidak pernah menyangka bahwa mereka semualah orang-orang yang membuatku sangat tidak nyaman. Seperti sekarang!” Fahita mendengus, namun ia segera turun toh ia sudah berjanji untuk memulai semua dari awal. Garaa pernah memberiinya kata-kata indah yang mulai ia ingat ketika perasaan dendam menyeruak, karena kata-kata itu sekarang bagai mantera peredam amarahnya,

jika rumah ini kau hiasi dengan senyuman manismu
mungkin rumah ini tak perlu penerang lagi
jika  hati orang-orang terdekatmu terisi dengan cintamu
mungkin akan terasa tentram hidup ini
dan bila saja kau terus sirami
benih cinta itu
badai tak mampu tuk merobohkan
pohon cinta yang kau tanam dan mereka tanam
sejak kau masih serupa darah,
hati rendah dan penuh cintamu
adalah kuncinya untuk menerima semua itu

            “Fa, UN tinggal satu minggu lagi, sejauh mana persiapanmu?” Tanya Ayah membuka kebisuan yang tanpa sengaja tercipta,
            “Em, mungkin sudah lebih dari 70%, Ayah,” jawab Fahita singkat,
            “Ibu tertarik dengan mimpimu untuk jadi penulis Fa, karena Ibu sangat ngefans dengan salah satu penulis Indonesia yang bernama Asma Nadia dan Mira W, tulisan-tulisannya sangat bagus dan cocok dibaca kalangan kami, terutama novelnya yang berjudul Istana Kedua”
            “Hem, Ibu senengnya yang pembelaan wanita atas ketidak setujuannya poligami tuh Ayah, lebih bagus juga yang Ada Rindu Di Mata Peri” Ayahnya tertawa, suasana diantara mereka sudah mulai mencair.
Tapi berbeda dengan Ibu yang tiba-tiba merasakan kesedihan dengan pendapat Fahita tentang novel Ada Rindu di Mata Peri, karena ia pernah membacanya novel itu mengisahkan tentang seorang Ken yang begitu merindukan ibunya, karena semenjak ia lahir telah ditinggal pergi oleh ibunya, sedangkan ayahnya menikah dengan seorang tante Ayu. Oh ya Tuhan, apakah Fahita juga merasakan apa yang seperti ken rasakan. Namun, ia tidak ingin merusak suasana, akhirnya ia menyimpan gundahnya dalam hati.
            “Oyah, Fa mbak Iyan haya nitip salam kemarin ia tidak sempat berpamitan langsung karena ketika ia berangkat kamu sedang tertidur pulas”
            “Bu, boleh tidak Fahita meminta seseuatu?”
            “Boleh dong, sayang” jawab Ibunya,
            “Fahita ingin kuliah di UNSOED, Fahita tidak ingin di UIN bersama Mbak Iyan, Fahita ingin mengambil Fakultas Biologi, di sana Biologinya sangat terkenal bagus”
            “Fa, antara pilihan saat kamu akan menginkjakan kakimu di SMA dengan kamu akan kuliah itu berbeda, dulu ibu sangat menginginkanmu untuk mendapatkan bekal agama, dan suasana jiwamu juga masih labil karena kamu masih 17 tahun, berbeda untuk sekarang kamu sudah dewasa dan kamu berhak untuk menentukan pilihanmu sendiri. Ibu yakin kamu semakin matang dalam bertindak dan berfikir”
            “Yang benar Bu,?” Tanya Fahita kegirangan.
            “Lho, gak percaya dengan ibu neh,” jawab Ibu
            Heheheh, Fahita mengangguk senang. Ia membenarkan perkataan ibu, bahwa semakin kita dewasa semakin kita seharusnya diberi hak dan kebebasan untuk memeilih jalan kehidupan, dengan catatan masih dalam koridor kebaikan. Karena semakin kita dikekang maka kita akan semakin berontak, kita bukan lagi anak SD yang masih belum mampu memakai baju namun kita adalah orang yang akan menginjakan kakinya dengan predikat baru; dewasa.
***

                        UN, YANG MENDEBARKAN

            Di pagi yang sunyi, berkas-berkas cahaya jingga matahari pagi menembus lebatnya dedaunan, setitik embun masih bergulir di selembar daun hijau, dan burung kutilang berkicau riuh di tajuk-tajuk pohon. Fahita duduk sendirian di taman yang indah dan begitu terlihat segar dengan kemerahan mawar yang mulai bremekaran. Ia sedang merasakan jantungnya bekerja dua kali lipat dari biasanya. Ia mulai membolak-balikan buku pelajarannya, ujian pertama adalah bahasa indonesia. Ia sudah menghafalkan semua materinya, dari kalimat majemuk hingga silogisme, namun karena ia begitu grogi akhirnya banyak yang lupa. Ia blank mendadak.
            “Fa, sedang apa, kok wajahmu terlihat tegang?” Tanya Garra mengagetkan, karena ketika ia baru datang tak menyapanya terlebih dahulu justru memperhatikannya beberapa menit.
            “Iya neh, Ra. Aku grogi dan merasa sedikit taku,”
            “Lho, kamu sudah belajar dan shalat malam serta membaca al-Qur’an belum?”
            “He-he-he, sudah. Seperti apa yang kamu sarankan kemarin”
            “Terus apa yang kamu takutkan?”
            Fahita hanya terdiam, mencoba berfikir ternyata tak ada gunanya untuk takut, setelah ia berusaha secara maksimal bukankah ia harus mengembalikannya pada Tuhan. Menyerahkan semua hasil pada Tuhan. Ternyata itu yang menjadi penyebab blank  dan hilangnya semua hafalan. Jiwa pasrah yang masih lemah.
            “Nah, kan. Ketahuan kalau kamu masih sangat minimalis dengan Tuhanmu, jangan terlalu rasional tapi harus menyeimbangkan antara rasional dan sepiritual.”
            Fahita nyengir, membuat Garra semakin gemas untuk mencubit pipi tembemnya.
            “Ayo, kita ke kelas, waktu tinggal lima belas meint lagi”
***
Empat hari sesudahnya

          Usaha maksimal serta keyakinan, membuat hidup Fahita lebih rileks. Jantungnya kini tak lagi tersayat ketakutan akan kegagalan UN. Seiring waktu yang berlaripun, kehidupan keluarganya kini sudah mulai membaik. Rutinitas seperti makan malam dan menikmati senja bersama ibu kini mulai terangkai kembali. Semua itu tercipta karena hati yang saling memafkan dan menerima. Dan berakhir dengan indah.
            Ibu Mirandah pun begitu lega melihat perubahan sikap Fahita. Tak salah ia mengasuhnya dari kecil dan memberiinya tetes demi tetes air susunya. Walau ia bukan anak kandungnya, tapi semua masih menyatu dalam dirinya. Ia melebihi anak kandungnya sendiri. Ia begitu bahagia, setelah lebih dari tiga bulan berlalu, akhirnya Fahita mampu berhenti untuk menyalahkan Tuhan, dan menyakinkan dirinya bahwa semua ini bukan salah siapa-siapa. Dan iapun kembali menanamkan keyakinan dalam dirinya, bahwa ia pantas bahagia walau dengan kenyataan pahit sekalipun.
            “Fa, ibu sangat sayang denganmu,” ucap Ibu saat mereka tengah duduk di taman belakang rumah menikmati angin senja.
            “Fahita juga sangat menyayangi ibu,” jawabnya, ia perlahan memeluk ibunya. Betapia ibu merasakan beban yang disimpan Fahita dalam hatinya dan dalam kesendirian yang sunyi.  Pipi Fahita basah dan air matanyapun mulai mengalir membasahi lengan ibu Mirandah. Dalam hatinya berkata, bahwa ibunya pasti menginginkannya mampu sabar dan menerima dengan sabar semua yang ia terima dalam hidup ini, tanpa harus menangis. Tapi ia juga menyadari, saat kalut seperti itu, ia tak mampu untuk tidak menangis, ia hanyalah seorang gadis muda yang masih sangat tidak labil, jadi ia hanya harus bisa menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang ia mau untuk menghibur dirinya, serta merasakan apa yang harus ia rasakan. Dengan ikhlas.
            Dan air matanya belum berhenti menetes, membasahi lengan dan pundaknya. Ibu Mirandah memelukanya semakin erat, dan berjanji untuk selalu memeluknya dengan kasih dan cintanya selama nafas masih menyatu bersama raganya. Begitu dengan Fahita balas merengkuhnya hingga hatinya hangat dan tenang menyentuh jiwannya.
***

Kini suasana sudah pada puncaknya, pengumuman UN akan segera diantarkan kerumah masing-masing. Dengan hati yang berdegup kencang, Ayah, Ibu dan Fahita menunggu tukang pos datang menghantarkan surat kelulusannya. Berjalan mondar-mandir dan tak bisa diam dengan wajah yang semakin memucat, belum lagi sikapnya yang gugup. Menjadi cirri khas Fahita ketika hati dan fikirannya sedang tidak tenang. Apalagi untuk satu hal, kelulusan. Itu sebenarnya tidak begitu penting dan tidak mutlak mengukur kecerdasan otak manusia, namun semua telah tersistem bahwa kelulusan adalah hal yang sangat penting bagi pendidikan Indonesia, sehingga ada beberap cara dihalalakan demi menjaga citra nama baik sekolahnya,  sehingga lulus 100% diupayakan sedemikian rupa. Cerita yang sungguh sangat menyedihkan bagi pendidikan bangsa kita.
            Bel berbunyi, suara salam terdengar begitu segar. Fahita yakin kabar paling membahagiakan dibawa oleh tukang post. Ternyata benar setelah membuka pintu dan menerima amplop berkop Madrasah Aliyah tempatnya bersekolah, dengan tergesa-gesa ia membukannya dan lulus menjadi miliknya. Nilai delapan dan Sembilan berjajar menghiasi SKHU sementaranya. Ayah dan Ibu memberinya ciuman selamat. Mereka juga lebih bahagia. Tidak Fahita juga Riyanah, kedua anak mereka adalah anak yang sungguh cerdas.
            Satu hal yang langsung dilakukan Fahita. Menelfon Garra.
            “Garra, bagaimana dengan nilaimu,?”
            “Yah semua nilaiku Sembilan” jawab Garra,
            “Wah, aku kalah satu poin denganmu, nilai englishku delapan”
            “Berati kamu menjadi yang kedua,” hehehe Garra meledeknya. Akhirnya mereka tetapi menjadi the best student.  Hubungan mereka yang terjalin selalu konstruktif dan benar-benar bisa dikategorikan pacaran yang sehat. Hanya berdiskusi dan memberikan motifasi serta saling mengingatkan ketika mereka mulai terbuai.
***














6

*Janji Langit


“Hari ini tak adalagi Puisi yang ku tulis untukmu,
hari ini tiada lagi Kata-kata indah yang ku ungkapkan padamu,
semua terdiam dan termangu.
Hanya do’a yang aku titipkan pada setiap langkahmu” ucap Garra, di bawah rindangnya pohon beringin di pinggiran alun-alun kota.
Fahita hanya terdiam, rasa untuk jauh dari Garra begitu berat, namun ia tak mempunyai langkah yang lain lagi. Cita-cita atas hasil mimpi harus benar-benar tercapai. Walau dengan jalan yang berbeda. Seperti yang Fahita idamkan, mengambil fakultas Biologi UNSOED dan Garra mengambil langkah di kota pelajar, mengambil jurusan fisika di UGM. Jarak anatara purwokerto dan Jogjakarta yang akan membelenggu rindu.
            “Garra, aku takut tak mampu membungkus rindu yang suatu saat pasti akan menyeruak”
            “Pertemuan dan perpisahan adalah pasangan dalam kehidupan, jika terbalut rindu, itu juga suatu keharusan. Jadi, jika kau nanti merindukanku itu yang aku harapkan karena aku yakin sebesar rindumu itulah sebesar cintamu denganku”
            “Sepertinya ada kemarau panjang di hatiku, mungkin sepanjang jarak dan waktu yang mengiringi perpisahan ini” Fahita tertunduk sedih, setitik air matanya menghangatkan pipi meronanya. Baginya bulan yang akan datang adalah bulan September yang kelabu dan seterusnya akan menjadi bulan yang terus membiru.
            “Fahita, I drift in your feelings. But will not delete your light . I will still watch just for you. Sincere love is brought meaning to be a part of me. Honesty that will bring us together. grace to best achieve objectives. I will be faithful waiting for you here”
            Fahita hanya mengangguk pelan.
***


            Fahita masih sibuk menyiapkan semua perlengkapan yang harus ia bawa. Dua jam lagi ia akan berangkat menuju kota satria. Sebenarnya, semua barang dan tetek bengek perlengkapan kesehariannya termasuk perlengkapan ospek sudah ia bawa, tinggal jiwanya yang belum mampu ia bawa seutuhnya, karena separuh jiwanya masih tertinggal bersama pelukan jiwa kekasihnya. Berat benar-benar ia rasakan, ia takut kawan diskusinya tidak aka nada yang sebaik dan secerdas Garra. Ia takut hati dan jiwanya ketika ia telah membuka jendela dunia baru, ia tak mampu menahan angin dan hujan yang datang menerpanya, tanpa perlindungan cinta Garra yang selalu melindunginya. Ah, ia takut akan semuanya.
            Aku takut aku akan selalu merindukan kelembutanmu yang meredam risauku
dengn ketulusan maha karya cinta yang pukau resah dengan binar- binar indah kasih sayangmu, lalu aku terkapar dan tak berdaya.
***

           
Cinta itu anugrah, Bukan tangis dan luka, temukan bahagia dimanapun tempatnya.  Bangun kisah hidupmu dengan tatanan indah, gapai tawa cinta bersama, lalui suka duka dengan tawa dan ceria, ingat hidup tak lama, jaga cinta sampai ke syurga, aku akan selalu menjaga kisah dan cintaku bersamamu dalam tiap lembaran hidupku karena aku yakin menunggumu adalah bukan hal yang sia-sia. Melangkahlah untuk setiap nafas yang kamu cintai dan untuk Tuhan yang telah memberii nafas dan kekuasaan teragung-Nya untukmu. Fahita menyimpan sebait kata dalam book memonya. Ia ingin selalu mengabadikan semua itu dan membukanya ketika ia mulai ragu.
Jalanan sepi, mobil avanza yang mengantarnya melaju kencang. Terlihat Ayahnya menyetir mobil dengan konsentrasi. Ibunya pun terdiam, hanya tatapian matanya yang berdecak kagum melihat keindahan alam di sekitar kanan kiri jalan. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, serta perbukitan yang begitu indah dengan berbagai tanaman yang menghiasinya, betapia agung kekuasaan Tuhan yang baru sekelumit terlihat di sudut kota banyumas.
Fahita tak begitu mampu menikmati angin semilir yang menelusup lawat celah-celah jendela yang sengaja di buka sedikit. Fikirannya melayang bersama sang bayu dari timur. Mungkin Garra pun sama dengannya, tengah menikmatiperjalanan menuju Jogja dengan perasaan setengah berat. Sebenarnya, kedua orang tua mereka sedikit bingung dengan keputusan anaknya, yang justru tidak ingin memilih Universitas yang sama.
Tapi, walau berat memang harus di jalani. Fahita dan Garra sama-sama tidak ingin hanya karena ada cinta dianatara mereka, harus memutar langkah hingga memutuskan memilih universitas yang sama. Biarlah cita-cita dan keinginan harus tetapi tercapai dengan jalan yang sudah direncanakan.
Angin-angin senja yang menyapaku membawa namamu kepada lamunanku. Menguak kembali Indah pahit yang perna kita rasakan,  Mengoyak-ngoyak hingga aku dihampiri kata-kata rindu,  menggugah hati, menyentak pembuluh-pembuluh nadi, memompa detak-detak jantung hingga memburuh, tak sabar aku untuk segera jumpa denganmu Aku diburuh rindu.
Aku disiksa rasa, aku digoda kenangan yang perna ada. Teringat pesona cahaya kepribadianmu yang membuatku semakin ingin bersamam., Aku tak sabar untuk jumpa dan menyebut namamu, walau baru beberapa jam yang memisahkan, tapi telah tercipta rindu yang begitu besar.


            Fahita lebih memilih untuk hidup di pesantren. Tempat yang menurut pemaparan Garra lebih menentramkan dari pada dunia kost. Walau harus menerima resiko, tak pernah menghirup angin malam dan harus merelakan tubuhnya lelah serta pegal-pegal dengan semua kegiatan yang menumpuk. Menjadi santri sekaligus menyandang almamater UNSOED, bukanlah hal yang mudah, namun ia akan mencobanya dengan keinginan yang tak mudah di goyahkan.
            “Fahita, kamu fikirkan sekali lagi, benar akan masuk pesantren?” Tanya Ibu khawatir, karena jika lelah menyapa tubuh gadis kecilnya, ia akan terbaring sakit.
            “Ibu tenang saja, Fahita pasti bisa, Fahita ingin menjadi kebanggan Ibu dan Ayah, juga almarhumah Ibu yang jauh di sana. Fahita berharap lewat rapalan do’a-do’a yang akan Fahita pelajari di Pesantren nanti, Fahita mampu menyatukan kasih dan cinta untuk Ibu Rahma” jawabnya. Ibu Miranda hanya tersenyum.
            Pesantren di daerah Pabuaran menjadi pilihannya. Selain tempatnya setrategis, sistem pengajarannya juga cukup modern, tidak terlalu salaf namun juga memakai sistem kholaf.
            “Fa, sebelum kita ke pesantren, lebih baik kita ke makam Ibu” ajak ayah Fahita. Kontan Fahita tersentak kaget. Makam Ibu ternyata di Purwokerto.
            “Maafkan Ayah tidak menceritakannya semenjak kemarin. Ayah hanya ingin kamu setabil dulu,”
            Mobil avanza melaju kencang menuju daerah karang suci, dan menghantarkan Fahita pada kerinduannya.
***

           
Kerinduan semena-mena membuat langkahnya memburu, begitu sampai di depan makam Ibu Rahma, Fahita memeluk nisayang bertuliskan nama ndan tempat tanggla lahir.
            “Ayah, tanggal kemataian ibu sama dengan tanggal kelahiranku?”Tanya Fahita tergagap.
            “Ibu meninggal saat melahirkanmu, ia tak kuat karena kehabisan darah”
            Duhai putri lembutku! Aku merindukanmu, memiliki aku yang rindu dimanja tatapian matamu, kembalikan rebahan kepalamu dipundakku, dalam dekapan lembutku,  aku rindu kegelisahan matamu, yang biasa kau sajikan kepadaku. Aku ingin dirimu utuh kembali kepadaku, Walau aku tak lagi utuh, berkeping layu dan runtuh karena terlalu menginginkan cintamu, Aku yang tak lagi utuh menjaga sisi hatiku yang mulai dijamak lelah menanti hadirmu.
            Seolah-olah Fahita merasakan rasa rindu yang dalam akan kehadirannya untuk benar-benar memeluk nisan dan menziarahi makamnya.
            “Ibu, tenanglah, kita pasti akan selalu mencurahkan rasa rindu, Fahita akan selalu mencurahkan apa yang Fahita rasakan, Fahita akan selalu dekat dengan Ibu, di sini, di Purwokerto” ucap Fahita lirih, lalu ayah mendekat dan memimpin do’a untuk menyapa istrinya dengan cinta dan kerinduan yang dalam.
September Kelabu

          Awal bulan September adalah awal bagi musim migrasi bagi burung-burung di belahan bumi bagian selatan atau utara untuk menghindari musim dingin yang membeku menuju ke daerah tropis yang lebih hangat dan selalu di limpahi cahaya matahari abadi. Inilah awal bagi ribuan bahkan jutaan burung raptor, burung daratan, dan burung-burung air melakukan perjalanan panjang. Mereka mampu menempuh ribuan kilometer dengan terbang tiada henti mengarungi ganasnya samudra, menerjang badai, menembus pekatnya awan dan menyebrangi gusrun pasir.
            Dengan navigasi yang secanggih GPS, memanfaatkan observasi lanskap, posisi matahari, bulan dan bintang serta medan elektrommagnet bumi, mereka tidak akan pernah tersesat atau kehilangan arah. Tanpa mengenal dan bahkan amampu menembus batas perkiraan manusia, mereka terbang tanpa mengenal lelah, mereka terus mengepak sayapnya. Namun, mereka juga ciptaan Tuhan, walau sekuat apapun tetapi terkalahakan oleh batas kemampuan yang di berikan Tuhan, hingga dari segerombolan mereka ada yang berguguran dan jatuh dari atas langit dan tidak mampu meneruskan perjalanannya lagi karena terlalu lemah dan lelah, sayapnya patah atau mendadak jatuh sakit karena kekebalan tubuh menurun. Hanya yang kuat yang akan sampai di sebuah pulau impian yang diselimuti hutan hujan tropis atau lahan basah dimana mereka akan berkembang biak meneruskan keturunannya.
            Begitu juga dengan para mahasiswa, bulan September adalah bulan awal bagi mereka untuk memasuki iklim baru; bangku kuliah setelah liburan panjang telah usai. Mereka harus siap-siap melakukan sebuah migrasi panjang untuk menuntut ilmu satu semester penuh. Mereka harus berangkat di pagi hari saat langit masih berwarna semburat maroon dan pulang di sore hari saat lembayung senja mneyepuh dedaunan. Mereka juga harus begitu banyak mengerjakan tugas dan paper, membaca puluhan buku, berdiskusi dan mengikuti berbagai macam kegiatan yang mendukung kuliahnya.
Tapi sayang diantara mereka juga masih banyak yang bermalas-malasan dan meninggalkan kuliahnya, karena mereka menganggapnya terlalu berat.  Mereka tidak sepenuhnya menyadari jika mereka berhasil lolos dari migrasi ini, mereka akan mampu terbang bebas sejauh manapun dan setinggi apapun, meraih bintang-bintang di angkasa atau menjelajahi seluruh penjuru dunia. Dengan ilmu dan pengetahuan. Begitu juga dengan mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman di bulan September ini.
Suasana pagi di kawasan Boulevard UNSOED masih diselimuti kabut tipis yang berwarna kebiruan, tapi kini telah dipenuhi lalu lalang kendaraan dan para mahasiswa yang berjalan kaki sambil membawa setumpuk buku. Satu persatu burung cangak abu yang bersarang di pohon-pohon tinggi di hutan buatan fakultas Biologi mulai mengepakan sayapnya menuju hamparan langit biru.
Begitu juga mahasiswa penghuni fakultas biologi yang ingin memulai kuliahnya untuk pertama kali agar mampu mengarungi lautan ilmu yang tiada tepid an tidak mengenal batas. Mereka memasuki ruang kuliah yang cukup nyaman. Di depan kelas sudah berdiri dosen yang siap akan memberi pemaparan tentang mata kuliah ilmu pengantar biologinya.  Dia adalah dosen yang terkenal killer dan cukup di segani mahasiswa. Ia bernama Radika. Fahita hanya menatapi dosen itu dengan sedikit dag-dig-dag. Belum apa-apa dosen itupun sudah membanjiri mahasiswanya dengan berbagai pertannyaan.
Duh inikah rasanya jadi mahasiswa!!!
***


            Berbeda dengan kampus sastra, ketika Fahita mendatangi gedung yang cukup megah itu, dan tepatnya memasuki ruang AKL, atau tempat yang biasa digunakan untuk berdiskusi oleh para penulis di kampus ini, mereka tengah sibuk dengan  diskusi yang cukup menarik. Terdengar salah satu tutornya berkata cukup keras memberi motivasi. Sungguh menggugah dan mengobarkan api semangat.
            “Menulis bukanlah suatu profesi, tapi menulis adalah nafas kehidupan”
            Para penulis muda hanya menatapi dan mendengarkan.
            “Kawan-kawanku, kalian tidak usahlah berkecil hati, jika tulisan kalian belum mampu untuk di hargai masyarakat, yang perlu kalian lakukan adalah menulis dan menulis. Kalian masih ingat bukan kata-kata Wiliam Forrester saat dia mencoba mengajari muridnya yang berkulit hitam bagaimana cara menulis yang cerdas?”
            Rendra, salah satu mahasiswa sastra yang mahir dengan karya ilmiah dan puisi mengancungkan tangan dan menjawab,
            “Seingatku, ia mengatakan bahwa cara yang terbaik untuk menulis adalah dengan cara menulis”
            Aji sang tutor mengacungkan jempol,
            “Tres Bien, Rendra. Kalian tahu apa maksudnya dari kata-kata itu? artinya kalian tidak usah takut jika apa yang kalian terlalu jelek bahkan terlalu membosankan dan tidak pantas untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Yang perlu kalian lakukan adalah menulis dan terus menulis. Jika ada kesalahan kalian bisa mengeditnya nanti. Jika ada yang kalian rasa kurang baik, kalian bisa pelan-pean menggantinya dengan kalimat baru atau menambahkan cerita yang lebih menarik. Yang penting jangan pernah takut salah dan jangan sekalipun ragu untuk menumpahkan perasaan dan pikiranmu! There is first time for everyting.  Seperti jika kalian berjalan, kalian harus belajar merangkak lebih dahulu. Kadang kalian akan jatuh berkali-kali  sebelum bisa berdiri tegak dan melangkahkan kakimu lurus ke depan. Tapi jangan berharap bisa langsung berlari kencang, semuanya butuh proses yang panjang”
            Rendra dan kawan-kawan lain hanya menganggguk dan membenarkan kata-kata dari tutor yang sekaligus kawannya.
***



            Suasana kantin fakultas sastra masih sangat rame, tidak hanya anak-anak yang tergabung dalam komunitas kepenulisan, namun juga anak-anak teater, pecinta alam dan pramuka yang juga hobi nongkrong dikantin itu, selain makanannya enak tempatnya juga setrategis. Fahita dan Rendra tengah duduk, dengan ditemani jus mangga yang segar.
            “Jadi kamu, gadis yang pernah diceritakan oleh Garra?”
            “Iyah, Ka,” jawab Fahita.
            “Waduh-waduh gak usah panggil ka, aku ini belum terlalu tua hanya terpaut dua tahun denganmu, umurku kan sama dengan Garra, hanya saja aku tidak berhenti sekolah dan kepesantren seperti Garra,”
            Fahita hanya tersenyum, akhirnya orang yang pernah diceritakan Garra ketemu juga, setelah hampir dua minggu ia mencari-cari. Akhirnya.
            Lama dan lebih dari satu jam mereka berbincang-bincang tentang cerita masa lalu dan hingga sampai di universitas kebanggaan Purwokerto ini, ternyata Rendra orangnya sangat asik dan tidak membosankan. Apa karena ia seorang penulis sehingga pandai menciptakan suasana. Kata orang banyak, penulis adalah seorang aktor yang hebat, selain pandai menciptakan suasana, ia juga mampu memandang suatu permasalahan dari sudut manapun, ia juga mampu memikirkan hal kecil yang tak pernah dipikirkan oleh orang lain, imajinatif dan kreatif.
            “Garra bilang kamu juga pandai menulis”
            “Ah tidak, aku hanya senang membaca karya orang lain, termasuk novelmu” Rendra tersenyum malu, ia masih juga tidak pd walau karyanya sudah banyak yang publish.
            Menurutmu, bagaimana novelku? Sangat membosankan kah?”
            “Hem, mungkin jika orang yang tidak suka membaca akan mengatakan kalau novel Kaka berat, selain bahasanya yang terlalu meliuk-liuk di sana juga terdapat kutipan pemikiran-pemikiran ilmuwan luar negeri, huft nyastra juga ilmiah” hehehehe,,
            Rendra makin tersipu, novelnya yang berjudul Jendela Rahasia memang banyak yang menyukainya, bahkan best seler pada tahunnya, waktu itu.
            “Kalau boleh, aku ingin membaca salah satu dari karyamu” pinta Rendra.
            “Kalau puisi bagaimana?”
            “Boleh” lalu Fahita mengeluarkan selembar kertas dari bindernya,
Jika telinga telanjangku
mampu mendengar suara kesunyian,
Bagaimanakah itu?
Suara tetesan air hujan
Jatuh menimpa sumur kesunyian
Daun rebah di atas tanah
Kepak sayap satwa malam di ujung gelap
Derap langkah kaki di lorong senyap
Gema dentang jam gadang merayap
atau dentuman pintu terbanting
Saat kau melangkah tak lagi menatapiku
Tanpa seuntai kata terangkai
Bahkan untaian surgawi
yang Pernah menghiasi ikut tercerabut
***


            Fahita merebahkan lelahnya di atas ranjang, ia menyadari perasaan rindu yang mendalam yang tiada berkesudahan. Memahami cinta benar-benar membuatnya terluka dan ia kini rela mengaliri lukanya dengan kerelaan dan keihklasan serta rasa senang menahan rindu yang seakan mencekam.
            “Semoga aku mampu mengumpulkan benih-benih rindu dalam genggaman hati, dan akan kusebarkan benih-benih itu ketika aku menatapi matanya” bisiknya dalam lara kerinduan. Suasana ramai di sekililingnya pun sama sekali tak menggoyahkan luka yang ia tahan. Nama Garra dan sesungging senyumnya telah benar-benar membuatnya bersahabat dengan kesabaran.
            “Seperti pohon yang daunnya tidak akan menjadi kuning, kecuali seluruh pohon  kering, demikian pula cintaku padanya, tetapi tersembunyi dalam hati dan selalu mengaliri setiap inci tubuhku bersama aliran darahku” hatinya terus merintih, memohon untuk segera melabuhkan semua rasanya. Karena sekarang hatinya benar-benar berdarah dalam tubuhnya sendiri, karena mata yang indah yang biasa tatapi dengan keindahan tak balas menatpnya walau dalam mimpinya. Jarak benar-benar membelenggu. Ketika ia ingin mencari kemerdekaan atas jaraknya, ia tiba-tiba menjauh lagi dan menghilang kembali. Ahk, apakah pertahanan rindu ini yang akan mengantarkan sebagai tujuan dan akhir percintaan.
***


            Ada orang yang terpisah dari orang-orang yang di depannya, orang-orang yang lebih cepat langkahnya atau lebih lambat darinya, maka mereka semua akan menghindari batu kerikil yang akan menghantam setiap langkahnya. Alangkah lebih baik menjadi orang yang mampu berlari kencang dari orang-orang di sekitarnya, karena setelah berlari ia akan terbang dengan sisa tenanganya, mencari apa yang manusia disekitarnya tak mampu menggapainya bahkan sama sekali belum memikirkannya.
            Pekikan kata-kata semangat telah menyulut dan memberiikan kekuatan pada sebongkah mimpi di ruang AKL, semua kawan-kawan komunitas Rumah Ajaib begitu antusias mendengarkan dan menerima asupan ilmu pagi itu. Mas Wawan, pendiri komunitas tersebut telah berdandan rapih dan siap memagari hidup kawan-kawan penghuni Rumah Ajaib lainya dengan sebongkah mimpi yang akan membawa mereka terbang.
            “Kawan-kawan yang diperlukan dalam dunia kepenulisan sebenarnya adalah motivasi yang tinggi dan sebuah komunitas yang terjalin atas dasar tujuan yang mulia. Bukan bakat ataupun kecerdasan” Fahita yang duduk di samping Rendra masih  begitu antusias mendengarkan Mas Wawan. Dalam hati kecilnya, ia begitu sangat setuju, bahwa yang diperlukan dalam setiap langkah adalah motivasi. Menurutnya, motivasi amat penting, bukan hanya dalam dunia kepenulisan, namun motivasi juga sangat diperlukan dalam meraih prestasi dan reputasi. Bahkan sangat penting lagi demi hidup itu sendiri.
            “Ada yang ingin komentar dalam hal ini kawan-kawan? Ayo ungkapkan segala yang berputar dalam kepalamu!”
            Dengan segera Fahita mengacungkan jarinya,
            “Ow, bravo Fahita, sejauh mana peran motivasi menurutmu?”
            “Menurut saya, motivasi adalah hal yang sangat urgen, karena hidup tanpa motivasi ibarat zombie dingin nir- gairah. Sedangkan hidup separuh motivasi bagaikan kerakap yang hidup enggan matipun ogah. Akan tetapi hidup sepenuh-penuhnya motivasi dan gairah, itulah hidup sejati, itulah hidup sebenarnya. Istilah saya, living to the fullest. Jadi motivasi memang sangat sentral statusnya. Oyah mas, boleh saya memberiikan rumus motivasi yang secara iseng saya rancang?”
            “Waow, sangat diperbolehkan Fahita? Silahkan” lalu Fahita melangkah mengambil snowman dan menuliskan rumus motifasi yang menurutnya sangat membantu langkahnya.

                        Kemampuan: pengetahuan + ketrampilan (1)
                                    Motivasi : Visi + Komitmen (2)
            Kemampuan x Motivasi : Prestasi (3)
            “Kawan-kawan, perihal peran motivasi dalam meraih sukses dan prestasi saya menuliskan rumus seperti ini. walaupun sepintas lalu motivasi hanya sebuah faktor independen dalam ketiga persamaan tersebut, tetapi sebenarnya motivasi adalah jantungnya” jelas Fahita sambil menunjuk papan tulis.
            “Atas dasar apa kamu mengatakan hal tersebut Fahita?” Tanya Andi salah satu cerpenis.
            “jawabannya sangat sederhana kawan, pencapaian pengetahuan dan ketrampilan sesungguhnya adalah fungsi motivasi. Maksudnya, pengetahuan tinggi hanya bisa dicapai bila didukung oleh motivasi belajar yang tinggi pula. Demikian juga ketrampilan tinggi, hanya bisa diraih dengan motivasi latihan yang tinggi. Jadi, kemampuan pada awalnya adalah buah motivasi”  kawan-kawan bertepuk tangan ria, mereka puas dengan jawaban Fahita. Lalu Mas Wawan memperkuat jawaban Fahita,  bahwa memang yang namanya motivasi adalah hal yang sangat urgen. Uniknya, meskipun kemampuan sudah tinggi, sebagai hasil kombinasi pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi  tetapi tanpa adanya motivasi operasional kemampuan tersebut tetapi impoten, memble, tidak berdaya. Jadi, pengembangan dan maintenance motivasi merupakan sentral dari semua ikhtiar kemajuan di segala bidang.
            Diskusi mereka di pagi ini di akhiri tepat pukul 10.00 Wib. Karena sebagian mahasiswa ada yang akan mengikuti perkuliahan di kelas masing-masing.
            “Kawan, sebelum saya akhiri, untuk diskusi selanjutnya tolong kalian membuat satu bait puisi dengan tema yang bebas. Karena untuk diskusi besok akan membahas tentang puisi”
            Fahita melangkahkan menuju kantin, jadwal kuliahnya masih tiga puluh menit lagi, ia ingin duduk santai sambil menikmati juice alpukat yang segar.
            “Hai, Fa!” Sapa suara seorang laki-laki muda yang sudah tidak asing. Fahita segera menoleh, ternyata benar tebakannya, laki-laki yang menyapanya adalah laki-laki yang begitu ia kagumi kecerdasannya.
            “Eh, mas, kok di sini, memang tidak ada kuliah” Tanya Fahita,
            “Fa, aku  kan sudah semester delapan, jadi sudah tidak ada kelas”
            Fahita hanya mengangguk-angguk,
            “Fa, aku begitu tertarik dengan puisimu, sejak kapan kamu belajar puisi?”
            Fahita tersenyum, pipi lesungnya dan gigi gingsulnya terlihat begitu menawan, menambah lengkap kecantikannya.
            “Ah, mas biasa ajah neh,”
            “Eh aku serius,”
            “Aku dulu adalah orang yangsangat kaku, tapi semenjak aku mengenal seorang yang begitu lembut, kekauan itu perlahan-lahan hilang, karena ia selalu mengajarkan saya kelembutan dan kemesraan lewat ucapan, dan berawal dari sms-sms yang ia kirim serta ucapan-ucapan ketika kita sedang ngobrol bersama”ucap Fahita dengan nafas berat.
Matanya menerawang ke masa silam, ketika setiap detiknya ia mampu menatapi mata Garra, ketika setiap harinya ia mampu merasakan hembusan cinta Garra yang tak pernah lekang oleh waktu. Tapi kini, ia jauh, rindupun sellau menggerogotinya. Hpnya pun kering dari nada-nada cinta. Peraturan pesantren yang mengharuskan santrinya tanpa hp. Huft sedikit terasa berat.
“Heh, kok malah melamun”
“Ma’af-ma’af mas,” ucap Fahita merasa malu pada lelaki yang begitu ia kagumi. Ia adalah Mas Wawan, sastrawan yang mampu mendobrak Universitas Jenderal Soedirman dengan karya-karyanya yang begitu monumental.
“Kalau saranku sih, ungkapkan kegalauan yang ada di matamu itu dengan sebait puisi atau cerpen”
“Cerpen mas?”
“Iyah, ayo mulai bercerita dengan diawali perasaanmu sendiri, aku yakin ruh dalam tiap bait tulisanmu pasti akan menjelma” lanjutnya, Fahita lalu tersenyum.


Garra, walaupun tatapimu kini tak lagi menemani,
Namun, nada-nada cintamu terus berdawai bersama angin
yang menyapu tiap kedipan mataku,
lewat kenangan, jiwaku mampu menuturkan tiap kerinduan
hingga kini mengelopak dalam dada
menyeruakan sukma
yang terpadu melagukan nama-nama
mesramu bersana keheningan yang menyentuh kalbu keringku.
Di sepatuku ada namamu, di cerminku ada namamu dan
di setiap langkahku terlukis nama purbamu,
semuanya kuseduh menjadi setitik air mata kerinduanku,
yang tengah mengiba agar engkau datang membawa tangan-tangan  pelipur lara,
dan akan kubiarkan lukisan-lukisan namamu hingga ia melumut
dan merasuk bersama darahku yang memutih.




7

*Mimpi yang Terwujud

        Januari, 2009
      
       Cuaca  Purwokerto sangat cerah hari ini,
langit terlihat biru bersih,
seakan tak ternoda oleh awan putih.
Angin bertiup sejuk menyegarkan. Matahari dengan cahayanya yang kemerah-merahan mulai mengintip dari ufuk timur, padahal sang rembulan masih menampakan diri di ufuk barat dengan cahayanya yang mulai meredup. Keduanya seolah seperti musuh yang tak ingin berjumpa di medan laga, yang satu datang dan yang satu pergi. Seperti biasa, di pagi yang menyegarkan Fahita masih sibuk dengan komputernya. Membaca  ulang naskahnya, adalah hal yang selalu dilakukan Fahita ketika ia telah senggang.  Prinsip Hemingway seorang sastrawan peraih nobel telah ia terapkan. Seorang sastrawan  yang mempunyai setandar tinggi dan sangat terobsesi dengan kesempurnaan, sehingga ia merevisi naskah The Old Man and the Sea sebanyak delapan puluh kali, sebelum menyerahkan pada penerbit.
            Yang benar-benar Fahita contoh adalah kesabaran serta ketelitian yang begitu pantas diacungi jempol. Fahita mengerti, semua itu dilakukan oleh seorang Hemingway adalah adanya visi keindahan yang telah menggerakan hatinya. Itulah cita-cita yang benar-benar membebaskan energi hati, pathos, passion, yang luar biasa. Pikir Fahita.
            Sebenarnya,  dunia ini masih membutuhkan lebih banyak manusia yang bermotivasi tinggi bahkan melebihi seorang Heming way. Namun seorang yang lebih mampu berkarya dengan roh yang kuat, determinasi seratus persen, yaitu manusia-manusia yang mengagungkan motivasi. Tapi sungguh sangat disayangkan, para manusia muda harapan bangsa saat ini lebih banyak yang menyukai diam dengan segala harapan.
            Hei, Gadis jenius, bagaiamanakah caramu mengagungkan pagi ini? angin terlalu sejuk untuk kau diamkan, gerakanlah mata dan tanganmu dengan lincah. Mimpi sudah meraung untuk segera kau jemput” Nada dering hpnya yang berbunyi  menandakan sms. Fahita membacanya dengan tersenyum. Selalu begitulah Mas Wawan menyebar motivasi bersama angin di pagi hari. Sungguh beruntung Fahita mengenalnya.
***



            Semua berakhir di sini,
       Di batas kata, tampat daun-daun meneteskan air mata
       Apakah salah aku menjadi puisi
       Bahkan mendalami prosa kehidupan
       Yang selalu bermain dengan senja
       Dan mempersunting embun pagi
       Tapi, aku tak mampu apah-apah
       Ya sudah biarkan taqdir itu mengalir
       Mungkin belum saatnya menggenangi relung hatimu
       Atau mengisi celah-celah otakmu
       Yang aku tahu, pada akhirnya
       Aku harus menjadi awan
yang selalu memayungi hatimu
       Dari hujan, panas .
       “Waow, itu sangat bagus Fa. Tak kusangka kamu bisa menulis puisi sebagus itu, kamu tidak menulis puisi menurut siapa, kapan, dan apa, tapi kamu punya gaya sendiri yang sangat menarik. Itulah yang aku suka darimu, berani menciptakan gaya baru yang orisisnil dan bukan seperti yang aku perintahkan kemarin. Jangan pernah takut melakukan perubahan dan hanya menjadi pengekor belaka. Menjadi seorang penulis adalah menjadi dirimu sendiri”
            Sesuai janjinya, Mas Wawan menjelaskan apa itu puisi. Ia merasa sangat puas, belum menjelaskan tapi Fahita, telah mahir, bahkan di luar dugaannya.
            “Rin, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang puisi?” Mas Wawan m,enunjuk Ririn mahasiswa sastra yang juga tergabung dalam kommunitas Rumah Ajaib. Ririn telah lebih dari lima bulan bergabung dengan mereka, kemahiranya membuat karya tulis ilmiah terkadang membuatnya kaku jika harus menggunakan bahasa kaiasan, atau bahasa yang puitis.
            “Em, kalau menurut saya puisi adalah kata-kata yang romantis”
            “Ada opini lain?”
            Anisa, salah satu mahasiswa yang telah lebih dari tiga bulan bergabung dengan mereka menjawab,
            “Puisi adalah bentuk kesusastraan yang menggunakan sajak, rima dan irama”
            Fahita menyangkal,
            “Jawabanmu bagus An. Tapi, setelah Rimbaud menulis sajak bebas, puisi modern tidak Lgi menggunakan kaidah-kaidah seperti rima, sanjak dan irama se[erti puisi-puisi terdahulu. Saat ini, penyair bebas mengekspresikan perasaannya tanpa terpenjara lagi oleh bentuk puisi lagi, tapi walau begitu ada satu faktor yang tetapi sama dan konstan. Seperti kata Riffaterre, bahwa puisi mengekspresikan konsep dan sesuatu secara tidak langsung. Dengan kata lain puisi mengungkapkan sesuatu yang berbeda”
            Kawan-kawan lain tepuk tangan dengan jawaban Fahita. Mas Wawan menatapinya dengan dalam, ia begitu kagum dengan gadis belia yang cerdas.
            “Jawabanmu sangat memuaskan Fahita, ayo terus kembangkan dan teruskan apa yang kamu lakukan hari ini” lalu Mas Wawan mengambil buku Les Fleurs du Mal dan membacakan sebait puisi itu, ia membacakan puisi Albatros dari Budilaire,
            Le Poete est semblable au prince des nuees qui hante la tempete et se rit de l’archer, exile sur le sol au milieu des hues, ses ailes des geant lempechent de marcher
            Dari bait puisi itu ia menjelaskan bahwa ada beberapa pemaknaan yang berbeda, salah satunya bahwa penyair seperti pangeran awan, bahkan banyak lagi yang masih sepadan dengannya. Namun, maksud yang disampaiakn oleh seorang Baudelaire bukan seperti itu, melainkan ia memetaforakan penyair sebagai burung Albatros yang besar seperti raksasa dan mempunyai rentang sayap yang lebar. Itulah megapa bahasa puisi terlalu banyak interprestasi dan mempunyai banyak makna, hingga penyairnya ia umpamakan seperti burung Albatros.
            “Kamu tahu mengapa alasannya Fahita?”
            “Baudlaire mengumpamakan seperti itu karena penyair mempunyai imaginasi yang hebat, hidup di dunia yang penuh fantasi dan khayalan seperti burung Albatros yang bebas terbang kemana saja ia sukai. Ia selalu menjadi teman bagi para nelayan dan raja di langit biru, tapi sayang hidup penyair dalam kenyataannya selalu dihantui kemiskinan, penderitaan, penghinaan dan kekalahan” jawab Fahita singkat.
            “Cerdas Fahita. Ternyata kamu pernah baca bukunya. Memang benar kawan-kawan apa yang baru saja disampaikan oleh Fahita, bahwa penyair selalu hidup di dunia imaginasinya seperti burung Albatros, tapi sayang ketika ia mendarat seperti burung Albatros yang sesungguhnya ketika mendarat ke tanah. Dengan sayapnya yang lebar ia selalu terhuyung-huyung saat melangkahkan kakinya ke tanah dan hanya mengganggunya untuk berjalan normal. Jika kalian pernah melihat film dokumentar tentang Albatros, kalian akan mengerti mengapa ia di umpamakan dengan seorang penyair dan kalian mengetahui mengetahui mengapa selama ini seorang penyair selalu mengatakan sesuatu dengan symbol atau tanda yang berbeda”
            Pertemuan yang membawa mereka terbang ke langit ilmu yang luas harus terhenti karena waktu. Mereka harus kembali ke dunia mereka yang sesungguhnya sesuai fakultas da  jurusan yang diambil. Puisi Rendra menutup perjumpaan senyum mereka yang menyatu sejak pagi tadi.
                       
                        Musim cinta di Jogjakarta
              Kita berdua duduk di bangku taman
              Menikmati sepotong senja
              Yang menyepuh bunga kenanga
              Dan saling bertanya,
              “Mengapa keindahan ini
hanya berlangsung sekejap,
              Sebelum akhirnya lenyap ditelan senyap”

***



Jogjakarta, musim rindu.

Fahita, apakah aku harus bergegas memungut rindu
Yang tersebar di batu-batu itu,
sedangkan nafasmu telah berlari menjadi kabut
setelah senja datang menutup pintu
dan berlari terus dan terus
sedangkan maki jauh kumelangkah
makin banyak cahaya yang merayapi tubuhmu,
ataukah aku harus tetapi menggengam peta cintamu
agar ketika aku tersesat dalam halaman kerinduan
mampu berlari mencarimu dan akhirnya menemukanmu.
Tapi semua hanya sebatas, dan mengenal batas,
Tersiksa,,,,,
***


Tuntutan pesantren masih dijalani Garra dengan ikhlas. Itu semua karena ingin menjadi yang terbaik untuk Tuhannya juga untuk orang-orang yang mencintainnya. Hafalan Al-Qur’an yang harus selalu ia jaga dan mata kuliah yang harus ia lahap dengan sempurna, membuatnya mengabaikan rasa rindunya terhadap senyum bidadarinya. Sebenarnya bukan melupakan tapi ia mencoba menepis kerinduan itu. hampir dua tahun ia tak pulang, bukan karena ia tak menjumpai liburan yang menjanjikan indahnya pertemuan, tapi ia sengaja mengacuhkan liburan itu. Ia dan Fahita telah sama-sama berjanji akan bertemu ketika mimpi telah sama-sama mereka genggam.
Di tengah gelisahnya, ia tak mampu lagi berfikir indah, seperti yang tengah ia rasakan kali ini, rindunya semakin membuncah dan pertahanannya mulai goyah, hampir saja ia melangkahkan kakinya untuk pulang dan menemui bidadarinya, namun untung saja jiwa malaikatnya masih menahannya. Dan akhirnya, ia hanya menulis kerinduannya pada agenda biru tercintanya,

Apakabar bidadariku tercinta? Hope you well and do take care
Alloh sellau bersama kita .
Bidadariku, masihkah kau setia menungguku di sudut janji kita?
Aku tahu menunggu, menanti atau wahateverlah yang sejenis dengannya,
Yang kata orang sangat membosankan dan terkadang membuatmu ragu
Menunggu, janganlah kau ragu dengan menunggu,
Karena cinta dan rinduku akan menggantikannya
dengan madu-madu keindahan
Bidadariku, ada banyak hal yang bisa kau lakukan saat menungguku,
Membaca misalnya, agar tulisan-tulisanmu semakin bagus,
Percayalah, tak selamanya sendirimu itu perih,
Sendirimu menjanjikan cinta sayangku,
Tenanglah sayangku, aku menggunakan waktu kesendirianku
Untuk hal-hal yang lebih produktif
dan memberiikan cahaya yang lebih cerah untukmu nanti,
karena itulah bidadariku tercinta,
maklumilah aku karena belum datang menjemputmu,
Bidadariku, aku tahu engkaupun rindu sama denganku
yang menyimpannya untukmu
seperti malam ini,
yang terasa panjang dengan air mata yang mengalir
hatiku terasa kelu dengan derita rindu yang menderu
Kutahan derita mala mini sambil menghitung bintang,
yang mungkin banyaknya tak mampu melebihi rinduku padamu
Bidadariku, tunggulah aku dengan cintamu,
Dengan nada-nada kesabaranmu,
Dengan dawai-dawai kasihmu,
Penuh cinta, Garra,,,,

Ia mengingat-ingat terakhir mengirimkan email pada Fahita, ternyata dua bulan yang lalu, betapia waktu telah menyesakan. Saat itu, Fahita ingin ia membaca puisi dan novelnya, dengan alasan ia tidak pd untuk menyerahkannya pada Mas Wawan ataupun Rendra. Masih tak pantas, padahal setelah Garra membacanya, tulisannya begitu bermakna dan bahasa yang digunakan pun romantis.
Setelah malam semakin pekat, Garra metup buku agendanya lalu mengambil air wudlhu, obat pelipur yang paling jitu serta menjauhkannya dari pikiran-pikiran yang diproduksi oleh syaithan. Ia ingin memadu kasih kembali dengan yang membuat cinta di dadanya, ia ingin mengadukan betapia ia gelisah, hanya pada yang Penciptallah ia berani mengadukan semua resahnya.
***

Garra, aku ingin lalai tapi ingatan terikat. Hati dirundung rindu padahal aku tahu, kau berada diantara tulang iga. Aku mengingatmu sebanyak nafas yang berhembus, sebanyak aliran darah yang melewati garis-garis taqdir. Wahai engkau pemilik hatiku, yang bersemayam dalam rasa dan diriku, kau lebih dekat dari semua yang berdekatan, ketika aku kini hanya menatapimu lewat bayangan, aku seumpama kamboja putih yang pergi melampau alam pijakan ini. wahai engkau yang berada diantara mata dan jiwa, walau kini tak ada ruang dan waktu, namun aku akan tetapi mencurahkan rasa dan cintaku, yang akan terbang dimanapun engkau berada.
“Hei, kata-katamu bagus sekali Fa” tegur Rendra mengagetkan, Fahita langsung menutup laptopnya.
“Kenapa datang tidak bilang-bilang kak?” jawabnya dengan wajah sedikit malu.
“Aku sengaja datang tanpa memberiitahumu, karena aku ingin mengetahui apa yang kamu tulis di waktu yang masih segar ini”
Fahita terlihat lebih malu, ia bukannya menulis tapi lebih tepatnya ia mencurahkan perasaan rindu yang teramat dalam.
“Hei sudahlah, jangan sok malu gitu, aku begitu mengagumi tulisan-tulisanmu. Kalau boleh aku bilang si, selama pengamatanku beberapa waktu ini, kau lebih berkembang dari pada kawan-kawan yang lain, dalam waktu dua tahun terjun dalam dunia tulis menulis kamu udah mampu mebuat novel dan puisi-puisimu juga mengena sekali. Menurutku kamu sudah matang dan gairah menulismu juga sangat tinggi di usiamu yang masih muda”
Fahita hanya diam, matanya menatapi langit-langit. Wajahnya terlihat sangat suntuk.
“Kamu tau nggak Fa, Rimbaud menulis Saison en Efer saat ia berumur tujuh belas tahun, tapi sayang ia berhenti menulis di umr duapuluh satu tahun setelah berselisih paham dengan Paul Varliance. Aku tak ingin kamu seperti dia, gara-gara ada batu kerikil sedikit saja, gairah menulismu mengendur dan akhirnya kamu fakum. Menulis itu butuh keberanian Fad an aku percaya pasti kamu mampu”
“Aku sebenarnya mampu menulis dan membuat puisi seperti selama ini Kaka baca karena itu adalah kata hatiku, kerinduanku pada Garra, itu saja, tanpa Garra hidupku terasa sepi dan hampa. Walau pada awalnya aku memang begitu suka dan terobsesi menjadi penulis”
“No problem Fa, banyak penulis yang saat dia patah hati atau bahkan sedang tidak jelas, rindu atau jatuh cinta misalnya, ia dapat menuliskan karya master piecenya. Kedengarannya anehkan, tapi itulah kenyataanya”
“Jangan bercanda ah kak, Fahita ini sedang serius”
“Hey, aku juga serius, kamu pasti ingat dengan tokoh kesukaanmu.  Ernest Hemingway, dulu ia pernah menjadi sukarelawan untuk unit rembulan di Prancissaat perang dunia 1 berkecamuk. Di sana ia berkenalan dengan seorang perawat cantik saat dia terluka, tapi sayangnya cintanya saat itu ditolak dan perawat itu lebih memeilih seorang dokter yang jauh lebih tua darinya.  Ia begitu sedih dan patah hati, lalu ia menuliskan kisah cintanya dalam novel “A Farewell To Arms” yang sangat dramatis”
“Oh gitu, eh ia Kak Fahita juga pernah membaca kisahnya F. Scott Fitzgerald, yang jatuh cinta dengan seorang cewek yang bernama Zelda Sayre, tapi justru cewek itu meninggalkannya karena menganggap Fitzgerald hanyalah seorang laki-laki yang miskin dan tak punya masa depan yang cerah, lalu ia menuliskan kisah cintanya dalam novel yang berjudul “The Great Gatsby” novel itu sangat menarik dan mencerminkan tokoh utamanya adalah memang dirinya sendiri, ia mengatakan bahwa kesuksesan merusak karir dan cintanya. Walaupun akhirnya ia pun menikah dengan Zelda tapi rumah tangganya pun berantakan”
“Nah, itu kamu cerdas Fahita, kalau begitu mengapa sekarang masih sedih dan masih tidak pd dengan karyamu sendiri, ayolah kamu serahkan novelmu pada Mas Wawan”
“He-he, Fahita malu mas,”
“Mengapa harus malu Fa, kerinduan, kebencian bahkan patah hati itu mampu menjadi inspirasi dan akan menjadi indah jika kamu mampu mengolahnya”
Fahita hanya mengangguk-angguk, lalu Rendra mengingatkannya lagi, bahwa penderitaan bukanlah akhir segalany. Jika Fahita merasa menderita karena rindu pada Garra ia yakin Fahita mampu mengubahnya menjadi hal yang positif bukan destruktif. Itulah sebenarnya yang membedakan antara seorang pecundang dan seorang pemenang. Contoh kecil saja seperti seorang Marcel Proust, selama dua puluh tahun ia membuang hidupnya secara percuma dengan menulis buku yang orang tidak ada yang melirik hasil tulisannya. Dia tidak pernah mempunyai pekerjaan tetapi dan kesehatannya semakin hari semakin melemah, bahkan diambang ajal, kesepian, tidak pernah mendapatkan cinta sejati, karena ia seorang homo, tapi saat ia sadar bahwa itu adalah hari yang sangat pantas untuk dikenangnya, karena itulah yang membentuk dirinya saat ini. jadi nikmati penderitaan ssebagai sumber inspirasi.
“bagimana Kak cara menikmati penderitaan sebagai sumber inspirasi?” Tanya Fahita kebingungan.
“Mungkin setiap manusia akan mempunyai caranya tersendiri dalam mengekspresikan penderitaanya, mungkin juga sangat subjektif dan personal. Kamu tahu kan Eric Clapton? Saat dia terlibat skandal dengan mantan istrinyaGeorge Horison, ia sangat berdosa mengkhianati sahabat karibnya. Hidupnya menjadi hancur berantakan, lalu ia menulis lagu yang sangat dramastis “{Laila}”. Idenya diambil dari cerita Laila Majnun. Saat ia kehilangan anaknya yang jatuh dari gedung bertingkat, dia menciptakan “{Tears In Heaven}”yang liriknya begitu mendalam”
Fahita mengangguk-angguk. Ia merasa sangat malu dengan dirinya sendiri, ternyata ia selama ini merasa begitu sempit dan jarang ssekali berpikir positif. Ia tidak pernah berpikir bahwa apa yang ia rasamampu menjadi sumber inspirasi, ia tidak pernah menyadari bahwa sebuah tragedi mampu menjadi gagasan yang cerdas. Ia sedikit menyesal karena ia terlambat mengetahui bahwa semua itu mampu menjadi menjadi salah satu cara penyembuh luka.
“Aku yakin Fa, kamu pasti mampu menjadi seperti mereka. Aku sangat yakin itu! yang harus kamu lakukan sekarang adalah menuliskan kisah hidupmu dalam sebuah novel atau puisi. Di dalam dunia jurnalistik, ada yang disebut dengan “bad news is good news” berita buruk bisa menjadi berita baik karena banyak orang yang yang ingin mendengarkan seperti berita skandal, gossip atau bahkan kriminalitas. Mungkin begitu juga dengan sastra, “bad experience is good story”pengalaman pahitmu bisa menjadi cerita yang baik untuk ditulis”
Fahita tersenyum, hari ini ia merasa mendapat pencerahan dari seorang malaikat penjaga langit.
“Makasih mas, aku akan berusaha yakin dan lebih pd, InsaAlloh besok aku akan menyerahkan novelku pada Mas Wawan”
“Bagus, ayo mulai sekarang kita sama-sama berusaha mengubah pasir dan kerikil hidup kita menjadi mutiara yang akan menyilaukan” mereka tertawa bersama. Benra-benar persahabatan yang konstruktif.

Di pagi yang sunyi, berkas-berkas cahaya jingga matahari pagi menembus lebatnya dedaunan, setitik embun masih bergulirbdi selembar daun hijau, dan burung kutilang berkicau riuh di tajuk-tajuk pohon. Betapia indahnya pagim itu, betapia damainya alam menyambut manusia dengan segala kesegarannya, namun tidak bagi Fahita pagi ini. perasaanya justru bercampur aduk menjadi satu.
Fahita melangkah ragu, ruang Mas Wawan tinggal beberapa meter di hadapannya. Dadanya berdebar dua kali lipat, naskah yang di tentengnya terasa semakin berat, padahal hanya tiga ratus lembar. Pikiranya terbang tak menentu. yang jelas ia merasa takut, karyanya akan mendapat begitu banyak kritikan, ia masih merasa tidak pd. Betapia ia merasa kerdil, ia menyadari jiwa seperti itu tidak boleh dimiliki oleh seorang penulis. Ia harus mampu menulis dan terus menulis, ia harus berani menerima kritikan, karena itu adalah satu hal yang sangat membangun dan akan memperkualitas diri seorang penulis. Karena hal yang paling dasar yang dibutuhkan penulis adalah basic beliefs, kredo, bukan sikap pecundang atau penakut akan salah. Karena itu hanya akan melemahkan.
“Hei Fa, kenapa hanya berdiri di situ, ayo kemari, aku sudah melihatmu semenjak tadi sebenarnya”
Fahita merasa sedikit malu, ternyata keraguannya untuk masuk diketahui oleh Mas Wawan.
“Kemarin Rendra sudah cerita sedikit tentang novelmu, mana biar aku baca!”
“Tapi  mas,”
“Tapi apah? Kamu tidak pd atau takut ketahuan kalau hidupmu berkalang duka?”
Fahita hanya tersenyum, lalu ia menyerahkan naskah yang ia bawa pada Mas Wawan dengan tangan sedikit gemetar. Mas Wawan yang melihat rasa grogi pada diri Fahita hanya tersenyum. Ia hanya berpikir, betapia kasihan jika manusia-manusia Indonesia seperti itu, tidak punya keberanian, padahal mereka punya karya yang besar.
“Fa, kamu itu hebat dan cerdas, tapi kamu tidak mempunyai mental yang besar, jikalau kamu terus begini nantinya kamu tidak akan pernah bisa menghasilkan karya yang lebih besar dan diakui oleh masyarakat” ucap Mas Wawan, lalu ia sedikit mengingatkannya pada ilmuan yang bernama Helen Keller, yang telah berhasil menjadi penulis dan dosen terkenal.
“Kamu tahu, Hellen Keller menjadi orang besar karena ia mempunyai tujuan, tekad dan setamina mental” Fahita menunduk dan mencoba meresapi kata-kata Mas Wawan. Lalu Mas Wawan menyarankannya agar mendalami prinsip seorang  Julius Caesar yang sampai sekarang dikristalkan menjadi sebuah motto dan banyak dipakai orang sampai sekarang “Veni, Vidi, Vici! Aku datang, aku lihat, aku menang”
Fahita melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Mas Wawan dengan kredo yang besar, yang ia yakini akan membawanya terbang membawa mimpi yang masih menggantung di langit biru.

***
            Hari ini kuharap lepas
            Saat aku menggali makam kerinduanku
            Saat aku melukis garis-garis taqdir
            Yang kuharap  denganmu,
            Jagad menyaksikan hening
            Menjadi ajaran rahasia
            Bahwa aku selalu mengajakmu pulang
            Dengan sajak-sajak kerinduan.
            ***
           
“Fa, apa kamu masih terlena dengan perasaanmu?” tanya Rendra yang selalu setia menemani dikala musim lara akibat hujan rindu mengguyur setiap inci tulang dalam raganya.
            “Kak, tadi malam Fahita bermimpi Garra datang meneteskan rintik-rintik cinta dan hujan terus-terusan seakan hanya ada satu musim. Musim percintaan diantara aku dan dia”
            “Sabarlah kawan, sebentar lagi kamu kan semester akhir dan Garrapun akan segera selesai, aku yakin ia akan datang seperti dalam mimpimu”
            “Tapi yang Fahita resahkan, dalam mimpi itu, Garra datang dengan senyuman lalu ia terkulai dan menjerit kesakitan, seperti ada monster yang menyerang tulang-tulangnya, lalu ia pergi dan berjanji akan menungguku sebagai bidadarinya di surga nanti”
            “Sudahlah, kamu berdo’a saja semoga itu hanya bunga tidurmu, aku punya kabar baik untukmu”
            “Apa itu,?” Fahita penasaran,
            “Mas Wawan sangat tertarik dengan novelmu apalagi kata-kata romantis di dalamnya, sungguh menggetarkan hati”
            Rendra membaca sepenggal puisi yang ada dalam novel Fahita, sedikit malu Fahita mendengarnya,
            Sunyi batin lara masih berkawan denganku
       Rasa sesak tertutup gelapnya awan itu,
       Menususk hingga meruncing musim rinduku yang makin kemarau
       Adakah do’a-do’a yang kukirim ke alamat_Mu,
       Tak sampai?
       Ataukah aku harus mengulangi menulis dan
       Mengirim sebait suart kecil
       Hingga tak ada lagi hujan air mata
       “Fa, Mas Wawan akan mengirimkan novelmu ke Jogjakarta, di penerbitan kawannya”
            “Hah, yang bener? Jangan ngaco ah, dibaca saja oleh Mas Wawan aku sudah seneng banget, apalagi masuk penerbit” Fahita manyun, merasa di bohongi oleg Kak Rendra,
            “Aku serius”
            Fahita bengong merasatidak percaya, mimpinya sebagai novelis akan terwujud. Semua itu berkat kekasih tercintanya.
            Garra, engkau datang benar-benar untuk memberii,
       Aku tak mampu untuk membalasnya,
       Sejuta ungkapan cinta dan kasih hanya kupersembahkan untukmu
       Engkau tak pernah mengeluh
       Saat sepi mnyanyi tanpaku, tak seperti aku,
       Yang tak pernah puas untuk bersandar pada tali yang berwarna pelangi.
       Pelangi cinta darimu,
       Yang bertudung suara senja
       Berhiaskan meriaknya muka air kolam jiwamu
       Hingga terbuka pintu hidupku dan hidupmu,
       Aku berjanji akan terus mengecup jiwamu
       Dengan bibir basah cintaku,
       Untukmu, untukmu, dan untukmu.








8

*Kembali Bersama Hujan


            Porong, Juli 2009

            Kembali ke tanah kelahiran,
disambut angin yang begitu semilir,
udara yang penuh cinta ikut masuk menelisik ke dalam tubuhnya.
Dua tahun menimba ilmu di Rusia membuatnya begitu rindu pada segala yang ada di Indonesia. Terutama Porong. Tanah yang pertama kali di injaknya ketika ia mampu menghirup nafas dunia.
            Ayah dan bundanya telah lebih dari tiga puluh menit yang lalu menunggu di bandara. Tak sabar mereka mememeluk putra kebanggaannya. Kakak dan adiknya pun sama tidak sabarnya untuk segera melihat senyumnya.
            “Ibu, Ayah,” Zein langsung berlari kea rah mereka,
            “Nak, kamu makin tampan dan gemuk saja, apa kuliahnya tidak pernah berangkat neh?” canda Ayahnya, yang tak henti-henti menepuk bahunya dan memeluknya dengan bangga, Bundanya begitu saja melelehkan air mata kebahagiaan untuknya. Betapia lamanya mereka tak bertatapi senyum. Sungkem dan peluk berderai diantara mereka. Pemimpin mereka telah kembali.
            Mobil Avanza meluncur dengan cepat. Seolah ingin cepat-cepat mengantarkan rindu Zein pada halaman rumahnya. Obrolan kesana kemari mengalir begitu derasnya.
            “Bunda, sudah to Zein kan cape” tegur Ayah.
            Bunda hanya tertawa kecil,
            “He-he, Bunda masih terlalu kangen dan tidak sabar mendengar cerita Zein”
            “Lho Bunda, Zein akan selamanya di rumah mengapa harus dihabiskan mala mini ceritanya?”
            “Iyah Bunda, Zein akan tetapi berada di Indonesia kok, tenang ajah” jawab Zein dengan nada nakal menggoda ibunya. Seisi mobil hanya tertawa melihat tingkah tengil Zein yang tidak berubah.
***







            Seminggu lebih Zein berada di rumah, rasa capek dan pegalnya pun perlahan telah menghilang. Rasa rindunya pada Widya pun telah tumbuh semakin besar. Melamun dan mengharap untuk berjumpa pun telah menjadi hobinya. 
Widya, sudah berkali-kali aku berusaha untuk sedikit lupa warna matamu yang begitu indah untuk aku tatapi,  bukan berkehendak serupa buta atau amnesia, tapi sekenangan masih saja menunggu di senja pertama, sebelum malam sekali yang menghapusnya, sungguh tersiksa dan membuatku bimbang pada sebidang putih cinta yang mengungkungkudi akhir malam.
            Layar ponselnya yang berwarna tiba-tiba menyala. Wajah Zein segera berubah menjadi cerah, mentari pagi yang menyalapun terkalahkan oleh kecerahan wajah dan hatinya yang menyerukan kerinduan tanpa batas.  Sigap ia menutup pintu kamarnya yang tadi setengah terbuka, ia ingin menikmati telpon itu tanpa di ganggu, ia ingin mencurahkan belenggu rindunya, yang selama ini memenjarakannya dalam kesunyian cinta.
            “Asalamualaikum Zein,”
            “Waalaikum salam, hai sayang telah seminggu lebih menanti telpon mu,”
            “Ok, I’m Sory Honey, I miss you already”  Widya tertwa ringan.
            Kepulangan mereka memang tak berjarak lama, hanya seminggu, begitu sampai di Indonesia memang Widya berjanji akan segera menelpon Zein. Dan akhirnya pagi ini mereka memadu kasih lewat jaringan cinta yang mentransfer kerinduan selama dua tahun ini.
            “Widya, aku ingin menatapi matamu yang menenggelamkan jiwa cintaku”
            “Iyah Zein, akupun ingin segera menatapi senyumu yang mampu membawaku ke langit cinta”
            “Minggu depan aku akan menemui tatapimu yang menggetarkan seluruh jiwaku, tunggu aku di taman kenangan kita, taman yang menyatukan rasa kita, hingga tumbuh mawar-mawar di hati kita dan kita semaikan hingga kini”
            “Ok. Aku menunggumu di sini”
            “Pakailah gaun ungu pink yang paling aku sukai, aku ingin melihatmu lebih indah”
            “Bukan hanya gaun ungu pink yang akan aku kenakan, tapi seluruh tat arias bidadadari surga akan aku kerahkan, agar aku terlihat semakin cantik untuk kalbumu yang haus dengan semua yang ada pada kalbuku”
            Zein menutup telphonnya dengan nada-nada kangen yang begitu mendalam, sebenarnya ia ingin seharian pagi ditemani oleh suara manja kekasihnya, tapi apalah daya, rasa cape dan lelah telah menggelayutu tubuh bidadarinya itu.
***

           
           
Bandung yang Hampa
Malam semakin memudar terbiaskan oleh cahaya matahari.  Gumpalan gelap yang membungkus bumi sebentar lagi akan pecah. Gelap akan tergantikan oleh terang dan bulan akan tergantikan oleh matahari. Disaat-saat gelap akan mulai beranjak pergi, Widya duduk di depan meja belajarnya, Ibunya menghampirinya ketika ia tengah asik membuka-buka album kenangannya sewaktu berada di Amsterdam. Kawan-kawannya yang berfose semaunya menambah kenangan indah untuk diabadikan.
“Wid, sedang apah kayaknya asik sekali?” suara Ibunya mengagetkan,
“Lho, Ibu, datang kok bilang-bilang. Widyakan jadi kaget Bu,”
“Nah, Ibu udah mengucap salam sejak tadi kok, kamu diam saja”
Widya nyengir,  lalu menatapi Ibunya dengan manja.
“Widya, gimana kabar Zein,?” ibunya tiba-tiba bertanya dengan rona yang berbeda, Widya menjadi sedikit curiga. Ada apa sebenarnya.
“Apah Bu?!!,,, Ayah telah menodohkan Widya sejak kecil dengan Kak Reza?”
Jantung Widya tiba-tiba berdetak kencang, matanya memerah dan tanganya merinding. Tiba-tiba ia terjatuh dengan lemas, ibunya segera memapahnya ke ranjang yang ada di sebelah meja belajarnya.
Widya tidak habis pikir, telah lebih dari lima tahun ia menjalin hubungan dengan Zein, tapi ternyata Ayahnya tidak menyetujuinya dan telah menjodohkanya dengan Kak Reza semenjak kecil. Kak Reza adalah anak dari sahabat Ayahnya yang sama-sama kuliah di Amsterdam, hubungan mereka juga lumayan dekat. Komunikasi selama ini berjalan lancar. Tapi menurut Widya itu hanyalahsebatas hubungan antara seorang adik kaka saja. Tapi ternyata orang tua mereka berkehendak lain. Tanggal pernikahanpun sudah ditentukan dan yang paling menyakitkan adalah Kak Reza mengetahui ini semua dan mendiamkannya serta rela selama ini menjadi pendengar setia akan rintihan kerinduannya pada Zein. Dunia sungguh tidak adil baginya. Menusuknya dan menjeratnya lewat ketidak berdayaan.
***

            “Apah, mereka telah menjodohkanmu?” Tanya Zein dengan nada sedikit keras. Selama lima tahun memadu kasih dan menyatukan jiwa dengan Zein, baru kali ini Widya melihat Zein semarah dan terluka begitu dalamnya.
            “Itukonyol dan tidak mungkin! Bagaimana bisa mereka semua memperlakukan kita seperti itu, mereka tidak menghargai kita Widya, mereka meremehkan cinta kita” Zein melelhkan air mata untuk pertama kalinya. Betapia semua yang ada dalam hatinya tercerabut dan tergantikan tetesan timah yang terpanggang bara api berhari-hari. Panas dan sangat menyakitkan.
            Widya hanya terdiam dan menangis. Ia sudah tak bisa berbuat apa-apa. Usahanya untuk meyakinkan orang tuanya pun sia-sia.  Keputusan mereka sudah tidak bisa dibatalkan karena itu janji puluhan tahun yang lalu. Kak Reza begitu mencintai Widya semasa kecil hingga sekarang.
            “kamu tahu Widya, apa yang aku bawa selama lima tahun ini? cinta Widya, cinta, yang keadaan sifatnya sangat kuat. Cinta yang menakjubkan, mendalam dan penuh kekuatan. Serta perasaan halus yang meyusup tanpa aku pernah sadari hingga membuat malamku selalu resah karena merindukanmu. Tapi ternyata kini semua sia-sia dan akan menjadi angin lalu saja”
            “Tidak Zein cinta dan perasaanku selama ini tidak akan pernah sia-sia. Walaupun aku tidak bisa menemanimu mengarungi lutan kasih bersama biduk cinta yang kita dambakan selama ini, namun kamu akan terus dan akan selalu menjadi taman di hatiku. Taman yang selalu mampu memberiiku keindahan, taman yang selalu memberiikan warna yang mencerahkan dan taman yang akan selalu memberiikan keharuman bunga-bunga yang tumbuh di dalamnya atas nama cinta”
            Zein menangis dan tertunduk, bunga mawar yang tumbuh di hadapannya pun sudah merah lagi dalam tatapiannya. Semua terasa menjadi ungu yang kelabu. Seperti hatinya yang pekat syarat kesakitan akan kehilangan.
***

            Zein pulang membawa kekalahan. Ia melangkah tak pasti. Berbeda ketika pertama kali ia menginjakan kakinya di bandara sepulangnya dari Rusia.  Semangat dan begitu bergairah untuk melepas rindu serta akan segera meminang Widya. Kini Ia merasa sia-sia  meredam hatinya pada penantian, hingga terbangun rindu pad ataman-taman kesunyian. Ia tak mampu lagi menyembunyikan gelisah dan kesakitan yang menggerogotinya.
            “Zein, ayo makan, Ayah sudah menunggumu di ruang makan” panggil ibunya. Zein hanya mengangguk pelan, tak berdaya raganya hendak bertingkah banyak. Semenjak kepulangannya dari Bandung yang ia lakukan hanyalah menyepi di kamar, sampai tetes mata mulai membasuh menggenangi satu wajah yang penuh luka. Ibunya begitu meiris melihat keadannya.
            “Ayah, Zein masih sangat terpukul dengan keadaannya” ucap Ibunya dengan sangat khawatir.
            “Ibu, biarkanlah dulu, nanti kalau ia sudah setabil pasti kembali bersama santri-santri dan berbagi ilmu, sekarang ia sedang ingin bergumul dengan perasaanya”
            “Tapi, ayah, Zein itukan laki-laki mengapa menjadi cengeng begitu?”
            “Ibu, yang namanya cinta dan kepedihan tidak mengenal jenis kelamin. Cinta itu datang tanpa mengenal batas, wilayah maupun umur” Ibudan adik perempuannya yang mendengarkan hanya terssenyum. Ternyata Ayahnya yang terkenal begitu zuhud sangat mengagungkan cinta, dan mampu memahami keadaan anak laki-lakinya yang sedang patah hati. Begitulah seorang ayah yang bijaksana.
            Widya, aku hanya ingin belajar menjadikan ketiadaanmu di sampingku bukan sebagai luka, namun sebagai angin segar yang akan menyapu lelahku dengan aroma lembutmu, namun terkadang bisikan atas nama luka yang tak kuingini datang juga. Betapia pintarnya cinta membuatku lemah. Do’akan aku saja semoga aku kuat tanpamu dan tanpa senyumu. Walau aku yakin di taman hatimu masih ada aku dan cintaku yang senantiasa menyemaikan dan menyirami bunga-bunga cintamu yang semakin hari semakin mekar.
9

*Yang Hilang

Januari 2010
       Semester 7 telah terlewati.
Kini liburan kuliah telah menjemput.
Saatnya para santri Al-Amien angkat tas
dan pulang menuju rumahnya masing-masing.
Terasa begitu lama waktu berputar. Fahita ingin sekali berjumpa dengan Garra. Ia ingin segera melihat senyumanya. Entah mengapa senyumnya begitu berarti bagi setiap sel tubuhnya. Apalagi sel-sel dalam tubuhnya mengetahui bahwa itu adalah senyum kekasihnya. Ia begitu bahagia ketika menatapi wajah Garra dan sesungging senyum yang menghiasi bibir tipisnya. Hatinya hatinya akan melompat dan seluruh tubuhnya berdawai ria.
            Avanza silver di halaman pondok telah menunggunya, terlihat Ibu dan Ayah melambaikan tangan. Fahita segera menghampirinya dan siap untuk kembali menghirup udara cinta di Kebumen.
***


        Pagi Cinta,,,,
           
            Pagi ini, Fahita bangun dengan semangat. Fajar yang menjemputnya seakan menjanjikan kemerahan cinta, ia segera melaksanakan dua rakaat cintanya pada Tuhan. Agar ia selalu menjadi umat_Nya yang selalu diselimuti dengan kasih cinta_Nya. Sudah lebih dari tiga tahun senyumnya tidak terukir dengan cerianya. Hari ini semua itu akan berakhir. Tepat jam 09.00 wib. Garra menunggunya di taman kota. Mereka ingin saling membuang rindu yang menyiksa.
***
           

Kubangan rindu takan lagi membuat kita terperosok dalam kesedihan dan kenistaan sakitnya tanpa menatapi. Batin Fahita ketika memasuki Taman kota. Ia sudah tak sabar hendak bertemu kekasih tercintanya. Langkahnya disambut oleh bunga-bunga yang tengah mekar bersama segaranya pagi.
Garra, bahkan bunga tak mampu menyatukan harumnya ke matamu, lukamu ada di relung hatiku, namun, kamu masih saja tegar. Biarlah aku akan datang dan menyembuhkan batin laramu atas nama kerinduan. Aku akan membuat harimu kini indah kembali, aku tak peduli jika Tuhanpun harus cemburu, karena aku selau ingin menyemaikan cintaku di matamu.
Dari jarak tiga puluh meter, Fahita melihat Garra tengah duduk melawan angin dan menatapi bunga melati yang tengah mekar dengan indahnya. Ia mengenakan kaus warna biru donker lengkap dengan jens yang juga biru donker kehitaman. Terlihat sangat menawan. Rambutnya yang dipotong model harajugu membuatnya semakin cakep. Huh dasar orang cakep mau diapa-apakan saja pasti cakep. Batin Fahita.
Ketika jarak hanya berbatas satu meter, mereka justru hanya saling pandang, vivir terkatup dan mata tak berkedip untuk beberapa menit. Akhirnya saling senyum dan Fahita tampak sedikit grogi.
“Kamu tambah cantik Fahita” ucap Garra mengawali perbincangan,
“Garra juga semakin menawan, makanya tadi Fahita sedikit pangling”
“Fa, lebih dari tiga tahun kita tidak bertemu, padahal jarak jogja dan purwokerto hanya sekitar 100 km. Maafkan aku yah Fa, yang tidak berdaya untuk menemuimu”
“Fahita juga seharusnya minta maaf karena tak bisa membuat kerinduanmu berakhir dan selalu membuat Garra teringat Fahita” hehehe Fahita tertawa.
Fahita, andai kau tahu, sungguh selama tiga tahun ini, aku tak mampu menggambarkan lukisan tentangmu di dinding-dinding yang sempat aku lewati, karena benaku telah penuh relief, namamu, wajahmu. Terimakasih untuk penantian dan kesabaranmu yang panjang. Aku semakin bergairah menjadikanmu bidadari surgaku.
Mereka akan menghabiskan waktu hingga senja menjemput. Untuk saling melepas rindu dan bercerita tentang semua hari dan peristiwa yang menimpa ketika tak bersama. Sungguh indah hari ini, hari yang mempertemukan dan hari yang memutus rindu dianatara hati keduanya. Itulah indahnya perpisahan ketika terbingaki pertemuan. Mendebarkan dan memcau andrenalin berlipat-lipat dari biasanya.
***

           
Lebih dari satu setengah bulan liburan yang Fahita dan Garra nikmati. Tanpa ada waktu yang tersisa tanpa kebersamaan. Seakan hari milik berdua. Seakan waktu telah tunduk terhadap cinta mereka. Fajar di ufuk turut mengamini doa cinta mereka, mentari pagi seolah mendukung setiap perbincangan saat pertemuan dan senja selalu punya cerita indah saat mengakhiri dan menutup hari. Untuk menanti hari esok. Malampun selalu bernuansa cinta.
            Seperti mala mini, ketika Garra sedang asik menuliskan hari cintanya, lembaran demi lembaran terisi coretan tinta cintanya,

            Fahita, bidadariku,
        Aku mencintaimu, bukan karena apa yang telah kau berikan padaku
        Aku tetapi mencintaimu bukan karena apa yang telah kau janjikan untukku
        Aku mencintaimu karena Tuhan terus berbisik,
agar aku terus menghangatkanmu.
Aku ingin setiap malam kita mendawaikan mimpi
yang belum sempat terjamah
hanya langit kita bernaung,
angin dingin yang merasuk bersama khayalan,
ranting dan dedaunan kita rantai menjadi dawai asamara.
“Garra, ayo makan, jangan di depan meja belajar terus,”panggil ibunya, Garra bergegas hendak menghampirinya, tapi,,,
            “Braak, praaaang”
            “Suara apa itu Ayah, kayaknya dari kamar Garra,” Ayah dan kakanya yang tengah bersiap-siap untuk menyantapi hidangan segera berlari. Ternyata Garra pingsan, laptop yang ada di sampingnya jatuh terkena tangannyayang oleng sehingga menimbulkan bunyi yang mengagetkan.
            “Garra, kamu kenapa nak?” tangis Ibunya membuncah, memecahkan ruangan dan menambah kepanikan orang-orang yang berada dalam ruangan itu, kaka serta Ayahnya segera membawanya ke rumah sakit.
***

            “Keluarganya Garra?”
            “Iyah Dokter saya ayahnya, bagaimana keaadaan anak saya?”
            “Dugaan sementara, anak anda mengidap penyakit leukimia, saran saya cobalah untuk periksa darah”
            Ayahnya sangat terpukul ketika mendengar pernyataan dokter, ibunya yang tidak sengaja pun menangis histeris ketika mengetahui bahwa Alloh menakdirkan anaknya untuk menderita penyakit yang serius.
 Kegalauannya untuk memberiitahu Garra atau tidak atas sakit tulang yang sering dikeluhkannya bukanlah penyakit biasa. Kesedihan mereka sungguh sangat luar biasa, karena mereka harus menerima kenyataan bahwa kebersamaan mereka dengan anaknya yang sangat cerdas tinggal sebentar lagi. Mengingat dokter sendiri berkata belum ada penyembuhan yang jitu untuk kanker yang satu ini. Namun, untuk hasil yang lebih positif, mereka akan segera melakukan cek darah, dan akan bertekad memberiitahu bahwa Garra secara jujur penyakit yang di idapnya.
***

           
Fahita dan keluarganya sedang tidak menentu menunggu hasil dari cucu darah yang telah dilakukan sejak pagi. Ibu dan ayah Garra terlihat semakin pucat. Waktu pun terasa berjalan begitu pelan, seakan untuk melangkah ke detik selanjutnya begitu terasa berat.
            “Ma’af Ibu atau keluarga Garra Ganinda, hasil cuci darah sudah bisa diambil di ruangan, salah satu diantara kalian bisa ikut saya ke ruangan ada yang ingin saya bicarakan”
            Ayah Garra segera bergegas mengikuti dokter, menuju ruangan,
            “Saya harap anda dan keluarga yang tabah, hasil dari cek darah menunjukan hasil yang positif saudara Garra mengidap leukimia bahkan lebih dari 6 bulan yang lalu, saat saya memrikanya kemarin rambutnya pun sudah mulai rontok hanya saudara Garra menyembunyikannya” bagai tersambar petir Ayahnya mereima kabar yang tidak seharusnya ia dengar, air matanya meleleh, hatinya terasa hancur berkeping-keping.
            Ayahnya segera keluar dan memebritahu Ibu dan keluarga Fahita, dengan deraian air mata Fahita mendekati ibu Garra dan serta merta memeluknya. Ia merasa sangat lemah dan tak berdaya, taqdir Tuhan telah berkata lain. Tuhan lebih menyayangi Garra hingga memberii batas yang sangat singkat untuknya menghirup udara di dunia dan harus segera kembali ke sisi_Nya.
Dunia memang selalu berputar, kadang manusia di atas dan terkadang harus menempati posisi terbawah dengan segala penderitaan yang menderannya. Hari kemarin bahagia saat bertemu, hari ini harus menangisi keadaaanya, dan mungkin esok akan lebih bersedih dan harus kehabisan air mata. Hari ini masih mamppu tersenyum dan hari esok harus sudah menghadap pada_Nya. Manusia sebagai hambanya hanya bisa menjalani taqdir yang telah di gariskan, jika kebahagian yang ada pada manusia akan segera diambil maka manusia hanya harus mengikhlaskannya.
***
            Garra terlihat begitu kuat menjalani hari-hari leukimiannya. Senyum dan canda tawa tetapi menjadi ciri khasnya. Semenjak pulang dari rumah sakit, ia diharuskan banya istirahat oleh dokter sehingga ibu melarangnya untuk sering-sering keluar rumah. Setiap pagi, Fahita selalu datang menemaninya. Fahita sebenarnya merasa sangat hancur dengan hari-harinya yang ia lalui walau Garra selalu memintanya untuk tersenyum, tapi ia benar-benar tidak mampu dan belum siap untuk kehilangan Garra tiga bulan atau bahkan satu tahun kedepan.
            Garra, aku begitu mendambakan kita hidup bersama, menjadi pasangan dan teman setia mengarungi hari-hari serta malam yang sunyi. Terasa percuma hidupku tanpamu, aku pastikan duniaku haru biru dan pikiran terus tak menentu.
            “Fa, kenapa kamu kok melamun?” tanya Garra.
            Fahita hanya menoleh dan tersenyum, air matanya kembali meleleh namun ia buru-buru mengusapnya. Ia tidak ingin Garra melihatnya, ia tidak ingin Garra merasa sedih karenannya. Semenjak pulang dari rumah sakit, Fahita sudah berjanji akan mencurahkan segalanya buat Garra. Fahita ingin sekali sellau bisa berada di sisinya dan membuat Garra bahagia karena cintannya. Garra sendiri selalu berdoa agar dia diberi jalan yang khusnul khatimah ketika menghadap Tuhan nantinya.
            Hari demi hari mereka lalui bersama dengan bahagia, walau sebenarnya bahagia itu tak sempurna atau bahkan suatu kepura-puraan bagi Fahita. Yang ia rasakan sebenarnya adalah suatu perasaan yang sangat menyakitkan dan menakutkan.  Tapi apalah daya, Garra memintanya untuk selalu tersenyum, ia ingin sellau melihat senyum Fahita, karena senyumnya begitu berarti dengan waktunya yang tidak banyak. Setiap detik, menitjam, hari yang mereka lalui bersama Garra berharap tidak ada syetan yang bermain tangan di dalamnya, karena ia hanya ingin mengundang keridlhoan Tuhan terhadap keberadaanya.
Karena sebenranya yang paling berharaga adalah setiap detik yang baru saja manusia lewati, karena manusia tak mampu mereplaynya bahkan membelinya dengan apapun yang ada di dunia ini, jadi Garra tidak ingin menjadi orang yang merugi dengan  waktu yang ia lewati dengan hal yang sia-sia.
***
Satu bulan terlewat sudah, kondisi Garra semakin melemah. Pagi itu, tangis kembali membuncah, ketika Fahita sedang memperhatikan dan menyimak Garra menghapal Al-Qur’annya, tiba-tiba Garra pingsan dan lebih dari tiga puluh menit tidak sadarkan diri. Ayahnya langsung membawanya ke rumah sakit. Mereka lebih tenang jika Garra di jaga oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Setelah satu hari penuh di rumah sakit ia sadarkan diri, ketika itu ia mengajukan permintaan untuk bertemu Guru ngajinya atau lebih tepatnya Kyainya saat ia masih nyantri di porong, saat awal menghapal al-Qur’an. Sudah bebrapa hari ia memimpikannya dan mencium tangannya serta memberiikan sebagian hatinya pada salah satu putrannya. Orang tuannya langsung menyetujui permintaannya dan segera menelpon keluarga Guru ngajinya saat di porong dan alhamdulilah mereka siap akan datang sehabis ashar.
            Sehabis isya, ruangan tempat Garra di rawat menjadi ramai, keluarga dan sepupunya yang berada di jogjakarta telah datang serta kawan-kawan saat di Madrasah Aliyah seperti Reyhan dan Andre juga telah datang, tidak ketinggalan juga  Rendra juga telah datang. Kedatangan mereka semua mengurangi beban di hati Garra, mereka semua bercanda dan tersenyum, bercerita kesana kemari tentang masa lalu.
            Setelah rombongan kawan-kawan dan keluarga dari Jogja pulang, bahkan ada yang menginap di rumah Garra, datanglah keluarga Kyainya yang di Porong.  Garra langsung menyambutnya dengan cium tangan ketakdzimannya, Ibunyai serta anak laki-laki mereka yang bernama Zein pun datang.
            “Garra, kamu sakit apah?” tanya Pak Kyai, dulu saat Garra masih menimba ilmu di porong, ia termasuk santri kesayangan kyainya, selain cerdas Garra juga sangat Takdzim,
            “Alhamdulilah, Alloh mentaqdirkan saya leuikimia pak Kyai”
            Pak kyai tersenyum dengan jawaban Garra, ia merasa betapia santrinya adalah salah satu mahluk pilihan Tuhan. Ia mengerti mengapa Tuhan mengambilnya begitu cepat.
            “Kamu ingat kan Nak, suatu penyakit adalah suatu anugerah sekaligus sebagai ujian untuk hambanya, seberapa besarkan sebenarnya iman seorang hamba terhadap Tuhannya” Garra mengangguk tersenyum, lalu bergantian berbincang-bincang dengan  Gus Zein, dulu mereka adalah sahabat karib, ketika menghapal al-Qur’an mereka sering bergantian menyimak bacaan satu sama lain. Walaupun anak seorang kiyai, Zein juga tidak pernah sombong terhadap santrinya, justru ia selalu membudayakan hidup srawung. Mereka berada di ruang Garra sampai jam besuk habis. Kini di ruang Garra hanya tersisa Fahita dan ibu serta ayahnya. Garra terlihat sudah istirahat, Fahita meminta izin pada Ibu Garra untuk shalat isyadan membeli makan. Perutnya terasa melilit, ia baru ingat ternyata telah dua hari tidak menjamah makanan.
***

            Bidadariku, pergilah ke daerah timur dahulu tempatku menimba ilmu. Hatiku yang tadinya tersedia hanya untukmu sudah akau titipkan pada salah satu orang di sana, ambilah serta tukarlah hatimu dengan hatiku. Yang memegang amantku lebih mulia derajatnya dari pada aku. Aku yakin, ia lebih pantas mendampingimu mengadu cinta di dunia yang fana ini. Aku akan senantiasa menunggumu dalam tahta surgaku di sana. Aku akan selalu menunggumu menjadi bidadri sejatiku. Janganlah menangis karena ragaku yang sudah tak mampu memelukmu. Karena jiwaku sebenarnya telah memelukmu sejak dahaulu, tapi Tuhan telah memberiikan batas waktu untukku menjagamu, ia mengalihkan tugasnya pada sosokm yang lebih mulia.
Teruskanlah dakwahmu lewat setiap tulisan-tulisanmi, aku sangat menyukai inspirasimu yang tinggi, aku yakin semua orangpun akan meyukainya, maknanya sangan dalam sedalam senyumu untukku. Maafkan aku sayangku, walau aku sudah tak menemanimu di dunia ini, namun jiwaku akan terus memeluk jiwamu. Engkau akan selalu menjadi bidadariku walau aku sudah tak sejajar denganmu dalam ala mini, namun aku akan mengabadikanmu dalam alam yang benar-benar abadi. Biarlah aku pergi membawa cintamu yang sellau memayungiku dari panas dan hujan penyakit hati, dan aku selalu menantimu untuk menjadi permaisuriku. Namun, kau harus menjadi permaisuri orang mulia terdahulu di dunia yang fana ini. Maafkan aku yang telah membuatmu meneteskan air mata hingga kau sempat berprasangka pada Tuhan yang maha baik.
Lintasan kalimat yang begitu jelas, harapan kekasihnyayang dengan berat hati meninggalkanku sendiri, yang selama ini ia telah memberii semangat, ia telah menemani dalam perjalanan hidup dalam suka dan duka, dalam kelebihan dan kekurangan, dalam mengarungi bahtera cinta.
Tuhan bersama engkau duhai Fahita, tidak mungkin Tuhan menyusahkanmu, Tuhan tidak mungkin memberiikan cobaan yang tidak bisa engkau lampaui, sabarlah, hari cinta akan datang untukmu. Kini aku harus pergi menemui cinta sejati yang Tuhan persiapkan semenjak aku masih di lorong gelap hingga aku mampu melihat dunia dan akhirnya bertemu denganmu.
“Tidak-tidak Garra, jangan tinggalkan aku. Tidaaaaaaaaaaaaaaaak”
“Fahita bangun, Fahita sadar, istighfar”
Ternyata Fahita hanya mimpi, air matanya berderai tanpa terasa. Ibu Garra lalu memeluknya dan menenangkannya.
“Ibu, Garra harus sembuh, dua bulan lagi kita akan menikah Bu,” rengek Fahita, ia berharap pernikahan itu tetapi berjalan dan Garra sembuh. Karena rencana itu sudah terencana semenjak lulus dari Madrasah Aliyah, mereka akan menikan ketika selelsai semester tujuh. Tapi ternyata rencana itu terkalahkan oleh rencana Tuhan yang mungkin lebih nulia dan benar.
“Sudah sayang, kita berdo’a saja yah” nasihat Ibu Garra yang juga menetskan air matanya.
***
Fahita serta semua keluarga melepas kebahagiaan yang ada diantara mereka dengan tawa. Tawa yang begitu berarti dan sangat berharga, karena nanti pada saatnya tiba mereka tidak akan bisa melihat senyum dan tawa Garra lagi. Tidak bisa mendengar candaan Garra dan nasihat Garra yang begitu berharga bagi Fahita.  Begitu lemah dan tersiksanya Fahita dalam ruangan bersama Garra, ia benar-benar tak sanggup emnghadapi ini sendirian, setelah tiga tahun tidak bertemu, mereka harus berpisah lagi untuk selamanya. Ia merasa separuh jiwanya menghilang meninggalkannya, ia kebingungan harus mmengalamatkan pada siapakah jika rindunya meraung dan memanggil namanya. Sungguh semua di luar perkirannya.
            Garra, detik-detik yang terlalui sungguh indah, hingga kuterbuai di buatnya. Menjamahi keindahan karya Tuhan bersamamu kekasih hatiku. Tapi kini, engkau membuatku terdiam merenungi bisik angin, memejamkan mata seraya mengaduh kesakitan. Hanya mentari yang  tahu rasaku wahai engkau pemilik cintaku, hingga ia takuasa tuk kembali menerangi ufuk timurnya dan tergantikan hujan. Kasihku, lihatlah senja pun menyambut, tetes air mata berlinang di hamparannya deras entah mengapa, tapi akhirnya ku mengerti inilah senja perpisahan kita kasih.
            Hari demi hari, sampai akhirnya kondisi Garra semakin memburuk. Hal itu membuat Fahita dan keluarga lainnya merasakan kecemasan yang luar biasa disetiap detik yang melangkah. Fahita memutuskan untuk menunda sekripsinya, hingga Garra benar-benar mampu mempertahankan nyawannya. Ia menunda kepulangannya ke Purwokerto. Naskah yang sudah dijanjikannya pada penerbit pun ia abaikan, jadwal untuk mengisis workhshop pun ia batalkan, semua yang berkaitan dengan menulis dan kuliah ia tinggalkan. Garra yang ia harapkan menjadi masa depannya lebih penting dari apapun.
            Siang malam ia menungguinya di rumah sakit. Sepertinya, rumahnya telah pindah ke rumah sakit. Teman san keluarga lain yang melihat kondisi Fahita banyak menyarankan agar ia juga lebih bisa menjaga diri dan istirahat, kalau tidak pasti ia akan jatuh sakit sendiri dan itu akan menambah kesedihan Garra.
            Malam ini, badan Fahita terasa bagai tertimpa barang yang berat. Terasa pegal dan sakit semua, akhirnya ia memutuskan untuk sekejap memejamkan mata. Namun, ia masih bisa mendengarkan Garra lamat-lamat berbincang dengan Ibunya.
            “Ibu, Garra mohon walau nanti Garra sudah tidak ada ibu tetapi menyayangi Fahita seperti anak sendiri”
            “Iyah Nak, sudahlah jangan bicara macam-macam, kamu harus optimis kalau akan sembuh”
            “Tidak Bu, Garra sudah merasa cukup ada di dunia ini, Garra ingin segera bertemu dengan Tuhan yang selama ini menyayangi Garra. Bu, Garra ingin sekali nantinya Fahita mendapatkan pengganti Garra seperti  Gus Zein, ia adalah seorang yang salih Bu, tolong sampaikan ini pada Fahita ataupun  Gus Zein bu,”
            Garra, sungguh aku tidak yakin aku akan mampu menghapus namamu dari sanubariku. Engkau terdalam di hatiku, walau sebenarnya aku butuh keluarga dan menikah, tapi sungguh itu hanya kuinginkan denganmu. Bukan dengan laki-laki lain, aku takut aku tidak mampu seutuhnya mencintainnya seperti aku begitu tulus mencintaimu. Aku ingin selalu mengenangmu walau jalan kehidupan kita tak menyatu. Tapi aku yakin kau akan setia menungguku di surga sana, di tempat penantian yang terindah.
            Mata Fahita kembali basah dengan air mata yang mengalir. Pada detik-detik terakhir kehidupannya, Garra tidak pernah mengaduh kesakitan, ia selalu terlihat semangat dan tersenyum, walau ia sedikit malu kepalanya kini sudah tidak ada rambutnya, semua rontok dan berjatuhkan meninggalkannya.  Tapi ia tetapi optimis bahwa ini hanyalah ujian keimanannya. Alloh memberiikan penyakit padanya sebagai ujian, maka Garra harus sellau tegar dan kuat menghadapinya, hingga ia bisa jadi pemenang.
Semua yang memiliki nafas
Semua pemilik hati
Pewaris tahta jiwa
Dan semua insan
Pernahkah kau mengenalnya
Mengenal kematian
Yang datang tanpa diundang
tapi karena takdir Tuhan Semua tergaris lewat tanggal penggaris
Sebentar lagi saatnya kita
Seberapa gelintir detik lagi detik kita
Tak akan lama.
***

Hari jum,at menjelang pukul 10.00 wib, wajah Garra terlihat sangat berbeda. Semakin pucat namun cerah, selintas terlihat sangat bercahaya namun terkadang redup terkalahkan oleh pucat pasi penyakitnya. Beberapa hari yang lalu ia terlihat masih sehat, gurat-gurat senyumpun masih sangat kentara, berbeda dengan hari ini, hanya kilatan cahaya bercampur pasi yang sangat mengkhawatirkan.
            Badanya hanya sedikit bergerak, terlalu lemah, kepalanya pun sudah tidak berambut. Matanya terlihat sangat cekung, dulu jenaka yang banyak menyimpan keceriaan dan keoptimisan, kini hanya memandang Fahita dengan layu. Seakan-akan ada yang ingin di ungkapkannya. Fahita menghampiri tubuh yang lemah itu, dan ia menatapinya dengan senyum, ia tak ingin erlihat sedih di depan Garra sesuai permintaannya semenjak di rumah sakit.
            “Ada apa sayang?” Tanya Fahita.
            Dan suara tilawah al-Qur’an Ibu Garra terhenti seketika menyadari ada sesuatu yang diminta Garra.
            “Kenapa, Sayang? Ada yang sakit? Tanya Ibu Garra dengan parau, telah sekian hari ia memang telah banyak menangis untuk Garra. Di tiap malam yang terlewati, Ibu Garra menangis memohon pada Tuhan, untuk mau mendengar do’anya. Agar Tuhan bersedia mengulur waktu Garra sampaibeberapa waktu saja. Mulut Garra bergerak-gerak, Ibunya segera mendekatinya dan menggenggam tangannya,  lalu ia mendekatkan telingannya pada wajah Garra agar bisa mendengar apa yang diungkapkannya.
            “La-illa-ha-illa
            Tiba-tiba Fahita Ibu dan Fahita menyadari, bahwa waktu yang dijanjikan Tuhan sudah dekat, Ibunya menoleh pada Fahita dan sepertinya ia mengerti.mlalu Fahita bergegas menuju pintu dan memanggil Ayah dan Kaka Garra. Dua orang yang akan kehilangan bagian dari hidupnya segera masuk dan menanti apa yang terjadi kemudian.
            Ibu memakaikannya surban putih di kepala yang tanpa rambut itu dan semakin melemah. Ia melakukannya karena pesan terakhir Garra, ia tidak ingin menghadap Tuhan sang maha cinta dengan telanjang. Ibu dan semua yang ada berusaha ikhlas, walau sebenarnya hati Fahita hancur berkeping-keping. Pernikahannya yang tinggal beberapa bulan lagi gagal, ia akan berpisah dengan kekasihnya untuk jangka waktu yang sangat lama, hanya surga harapannya terakhir untuk memadu kasih dengan ridlho_Nya.
            Dokter Rahmawan yang selama ini bertugas menangani Garra bergegas masuk dan akan menjalankan tugasnya. Namun Fahita melarangnya,
            “Biarlah, Dokter, Insa Alloh kami semua sudah ikhlas”
            Fahita berkata dengan tegar.
Dokter Rahmawan mengangguk seraya berkata “ mudah-mudahan Garra diberi kemudahan oleh Sang Pencipta”
            Perlahan-lahan Fahita dan Ibu Garra membantu Garra mengucapkan kalimat syahadat dan dzikir di telinga Garra. Mulut Garrabergerak-gerak dengan mudah. Dan genggaman tangannya mulai melemah, ada butiran air mata yang mengalir dari matanya yang terpejam.
            ‘Sakitkah Garra, sayang?”
            Batin Fahita dengan pengl. ihatan kabur karena terhalang air mata. Ia melihat wajah Garra yang sedang bertarung melepas nyawa. Napas Garra satu-satu, jaraknya makin lama-makin panjang. Kakak dan Ayah serta semua yang ada di ruaangan membaca kalimath Syahadat berkali-kali dan nafas Garra pun terhenti.
            Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
***     
Acara pemakaman telah selelasi, sanak saudara yang mengantarpun telah beranjak, suasana kembali hening. Hanya tinggal Fahita dan gundukan tanah merah di depannya yang mulai basah oleh rintik gerimis dari langit serta hujan air mata.  Ia melihat lambaian tangan Ibu dan Kaka Garra, yang mengjakanya untuk pulang, namun ia menolaknya,
            “Insa Alloh Garra, Syahid, Ukh Fahita. Karena ia begitu tawakal dan pasrah, ia juga seorang Khafid yang insa Alloh Shalih” ucap  Gus Zein yang juga turut rombongan pemakaman beserta keluarganya. Mereka datang pagi-pagi sekali setelah mendapat kabar lelayu.
            Fahita mengangguk dan matanya kembali basah. Di detik-detik terakhir kehidupannya, Garra memang begitu tegar dan tak pernah sekalipu mengeluh dan menampakan keputusasaannya. Dia tetapi optimis Tuhan memberiinya leukemia sebagai ujian keimannya sebagai manusia biasa. Ia harus mampu melewatinya. Ia benar-benar pergi meninggalkan sebongkah cinta untuk orang-orang yang juga mencintainnya.
            “Silahkan Gus, duluan, Fahita masih ingin di sini”
             Gus Zein pun berlalu meninggalkannya,
            Sayang walaupun engkau sudah tidak menemaniku menjalani hidup di dunia ini, namun engkau akan tetapi  menjadi kekasih jiwaku, yang selalu menjaga jiwaku dari kesunyian serta menemaninya membuka tabir rahasia-rahasia Tuhan yuang lain, bukan hanya sekedar kematian namun rahasia cinta yang masih disediakan Tuhan.
Sebelum pergi, engkau telah melukis  matahari di hatiku sebagai penerang dan penuntunku di siang hari dan juga rembulan sebagai kawan kesunyian menembus malamku yang akan selalu sendiri, serta bintang sebagai penghiasnya. Aku berjanji akan selalu menaga lukisanmu di hatiku, sebagai penuntun hidupku agar aku mampu menghadap Tuhan seperti engkau menghadap_Nya. Dengan senyum dan ketegaran yang luar biasa.
***
10

*Cerita di Pantai Kuta

Aku termenung di tengah gelapnya malam. 
Di bawah cahaya rembulan aku terdiam,
Gemerincing hujan yang datang  nyanyikan lagu rindu.
Semilir angin itu hembuskan kenangan. Goreskan luka yg takkan pernah sirna. Aku di sini bertemankan sunyi yg tak jua pergi. Aku tak prnah tau arti sunyi saat kau disampingku, Aku tak pernah mengerti sakitnya luka saat kita masih bersama, Setelah dirimu pergi, barulah aku sadar bahwa kaulah arti hidupku, bahwa cintamulah pengobat luka kesendirianku, tanpamu aku benar-benar tak berarti, karena dirimulah yang membuatku berarti.
Fahita mengusap air matanya, gambar tak berlatar yang ia padangi semakin membuatnya terhanyut dalam alam rindu.
“Garra apa kau melihat di tiap malam sinar bintang berkedip terkadang redup dan membuai gulita yang semakin membahana, ketika siang datang bukan mentari yang tenggelam tapi awan-awan hitam yang menggenag dan sampai menggelayut di hatiku serta menutup peredaran alur pikirku. Garra, apakah kau merasakan apa yang jua kurasakan? Apakah kau mendengar lagu kerinduan yang selalu ditiupkan dedaunan,yang bergema sepanjang petang? Taukah rindu itu Garra, rindu yang lahir dari rahim hati!” ia terus memandangi foto Garra dengan senyumnya yang menawan. Hingga malam kembali berkelebat menelan senja.
***
           
Dua tahun berlalu, hari ini tepat pula dua tahun Garra meninggalkan cinta yang selalu tumbuh dan subur tersirami dalam hati Fahita. Walau ia sudah tiada, namun cintanya masih begitu besar. Tak seorangpun mampu menggantikan tahta cinta seorang Garra. Telah banyak yang mencoba mendekatinya, bahkan melamarnya namun ia tetapi menolak. Ibu Garra pun sudah habis kata-kata untuk menasihatinya. Ia tidak ingin anak laki-lakinya bersedih karena melihat Fahita yang masih membisu dalam kungkungan cintanya.
            Setelah prosesi wisuda enam bulan lalu, sebenarnya, tidak hanya dua kali Fahita dilamar oleh teman kuliahnya, bahkan pernah ada seorang manager penerbitan melamranya, namun ternyata ia masih benar-benar menutup hati.
            “Ibu, Fahita belum siap untuk menjalin hubungan itu dengan orang lain, Fahita takut tidak total malah nantinya akan hancur berantakan. Tolong mengertilah, pasti nantinya Fahita juga akan  menikah, tapi tidak untuk sekarang”
            Ibu hanya bisa menarik nafas panjang. Ia tidak ingin memaksa kehendak anaknya. Akhirnya ia hanya mengikuti keinginannya.
            Sampai disuatu siang, Rendra dan Mas Wawan datang menemuinya, ia mendengar kabar bahwa Fahita masih terpuruk dan belum stabil menjalani hari-harinya.  Mereka datang membawa rencana yang akhirnya disetujui oleh Fahita,
            “Fa, kami berencana mengajakmu berlibur serta meneliti kearifan local di Bali_ panati Kuta”
            “Lho, kok mendadak si mas?” Tanya Fahita pada Mas Wawan.
            “Sebenarnya ini tidak mendadak, kami dan kawan Rumah Ajaib lainya sudah merencanakannya semenjak tiga bulan yang lalu”
            “kapan rencana akan berangkat?”
            “Minggu depan”
***











Senja di Bali

Senja di manapun berada memang terlihat begitu sempurna bagi mata Fahita.  Senja selalu membawa cerita indah dan menguning dengan sendirinya. Seperti senja yang kini telah genap warnanya, setelah dua tahun silam terlelap bersama perginya Garra. Tak ada lagi kekosongan yang harus di isi. Namun senja itu telah menggariskan takdir
***

            Pagi-pagi sekali Fahita dan rombongan kawan-kawan Rumah Ajaib telah sampai di Bali. Terasa pegal semua badan. Hanya jiwa yang masih segar, karena kedatangan mereka disambut dengan keindahan nuansa Bali dan pantai Kuta yang eksotic.
            Tujuan utama mereka adalah hotel, tempat yang paling menjanjikan ketenangan. Terutama untuk otot-otot yang telah merasa dianiyaya sehari semalam perjalan Purwokerto-Bali. Berjalan kaki lebih dari 10 menit parkiran mobil dan hotel, menjadi kesempatan unik bagi mereka untuk melihat sekitar jalan, ternyata banyak sekali restoran serta tempat pemandian, seperti menjamur saja. Belum lagi berbagai macam jenis hiburan lainya yang ditawarkan. Rosovivo, Ocean Beach Club, Kamasutra, adalah beberapa club paling ramai di sepanjang pantai Kuta.
            Pantai Kuta adalah pantai tujuan mereka. Pantai yang selama ini di idam-idamkan selama bergabung dalam kepenulisan. Akhirnya tercape. Pantai yang terletak di sebelah selatan Denpasar, Ibu Kota Bali. Kuta terletak di kabupaten Badung,. Daerah ini merupakan salah satu daerah di Bali yang menjadi tujuan para turis mancanegara. Dan telah menjadi objek wisata andalan pulau Bali sejak awal tahun 70_an. Pantai Kuta juga sering disebut dengan pantai matahari terbenam atau sunset beach lawan dari pantai Sanur.
            Pantai Kuta yang juga memiliki ombak yang sangat bagus untuk surving, terutama bagi para pemula. Pantai ini juga tidak jauh dari bandara 1 Gusti Ngurah Rai. Kuta mulai dikenal ketika para pedagang dari Denmark membuka kantor perwakilan dagang di Bali. Hubungan dagang yang terjalin antara perwakilan dagang tersebut dengan penduduk pribumi asli kemudian berkembang dengan sangat pesat.
             Sekitar  tahun 1930 ada sepasang suami istri asal California Amerika sangat terkesan dengan keindahan pantai Kuta yang waktu itu sama sekali belum terjamah campur tangan manusia, alias masih alami. Kuta Beach Hotel adalah hotel pertama yang berdiri di kawasan ini, namun sayang harus ditutup karena tentara Jepang menyerbu pulau Bali pada waktu itu. Pada tahun 1960 ketika banyak turis Australia yang harus singgah di Bali untuk perjalanan ke Eropa, Kuta mulai semakin dikenal kembali. Dalam perkembangannya, area Kuta semakin menarik kunjungan para wisatawan tidak hanya dari Australia, namun juga dari berbagai belahan dunia yang lain.
Dengan cepat berdirilah berbagai hotel di sepanjang kawasan pantai Kuta. Biasanya hotel-hotel dikawasan ini bertaraf internasional atau setidaknya sebuah grup hotel internasional. Berawal dari awal ujung pantai Kuta terdapat Inna Kuta Beach Hotel, Hard Rock Hotel, Mercure Hotel, dll. Juga berdiri sebuah penginapan yang sangat nyaman bergaya butik resort yaitu Alam KulKul Boutique and Resort.
Para pengunjung  paling ramai di kawansan pantai Kuta adalah ketika  sore hari atau sewaktu matahari terbenam (sunset). Semua turis  mancanegara ataupun lokal berkumpul menjadi satu pesisir pantai. Apalagidi pantai juga sering  ada momen-momen khusus di dalam negeri seperti liburan sekolah, liburan Lebaran Idul Fitri atau liburan tahun baru, bisa dipastikan manusia-manusia memadati pantai Kuta, sehingga diibaratkan bukan menikmati pantai tapi melihat manusia yang hilir mudik karena keramaian itu semakin menjadi.
            Fahita tengah menikmati sunset bersama dengan manusia lain yang juga tengah menikmatinya. Ia berharap bersama terbenamnya matahari di atas sana, kerinduannya pula akan seorang raja di kalbu cintanya.
Selama dua tahun belakangan ia begitu merasa tersiksa sehingga tawaran ke Bali ia terima begitu saja, karena ia berharap ia dapat membuang segala kesedihannya bersama ombak yang berlarian di pesisir Kuta. Ia ingin menenggelamkannya bersama banyu biru itu, ia ingin menerbangkannya bersama angin sepoi dan menyembunyikannya bersama senja yang ditelan malam. Ia ingin bangkit.
            Ketika matahari telah melambaikan tangannya dan menutup wajahnya dengan warna kemerahan, Fahita melangkahkan kakinya menuju hotel tempatnya bermalam,. Ketika lebih dari lima belas langkah, tiba-tiba suara seseorang yang pernah taka sing baginya memanggil dan membuat Fahita terbengong-bengong.
            “Antum, mengapa di sini?” Tanya Fahita kaget,
            “Aku sedang ada urusan dengan risetku”
            “Riset? Mengenai apah?” Tanya Fahita lagi.
“Mengenai pelestarian ekosistem pantai dan pemberdayaan masyarakat pesisir” jawabnya ringan, lalu mereka berjalan beriringan dan saling bercerita semejak dua tahun silam tak berjumpa.
“Jadi kamu akan melanjutkan kuliah lag Fahita?” tanyanya,
“Iyah Gus, aku ingin sekali di UNS”
“Mengapa?”
“Karena kampus itulah yang dulu menjadi kampus pertama aku mempresentasikan karya tulisku, saat itu aku lolos lomba karya tulis ilmiah di UNS dengan tema Keraifan Lokal dan menjadi finalis ke tiga dari 218 peserta, semenjak itulah budaya menulisku semakin berkembang”
“Alasan yang bagus, em Fahita”
“Iyah,”
“Aku begitu menykai novel-novelmu terutama yang berjudul Lintang di Sudut Jogja, sangat dalam sekali”
“Terimaksih, tapi antum terlalu berlebihan”
“Aku harap kishmu dengan Garra bisa kamu abadikan lewat tulisanmu”
“Rencanaku begitu, aku juga sudah memiliki judul untuk novelku yang ketiga”
“Waow, kau gadis yang sangat produktif, apa itu judulnya?”
“Melukis Rembulan Di Hatimu”
“Waow, dalam sekali”
Kebersamaan mereka terpisahkan oleh koridor hotel yang berlawanan. Saatnya istirahat.
***
Ra, cintaku padamu masih tergantung di langit-langit hatiku. Aku belum mampu memenuhi amatmu untuk mencari penggantimu. Walau aku tahu, lambat launpun Tuhan mentaqdirkan diriku untuk bertemu jodohku di dunia ini, sebagai pengantarku bertemu dirimu dalam penantian abadi.
            Ra, bukankah takk salah aku memiliki cinta yang begitu besar denganmu? Aku tahu aku tak perlu bertanya seperti itu, tapi pada akhirnya aku takan pernah bisa lari dari rasa cinta itu, ia terus memburuku bahkan lebih cepat dari langkahku. Aku tak mampu berbuat apa-apa Ra, kecuali diam dan sendiri. Aku benar-benar tak berdaya.
            Sesekali aku ingin menjerit dan mennagis dengan puasnya, agar semau rindu dalam hati keluar bersama jerit dan tangisku. Aku terkadang ingin menyalahkan Tuhan mengapa kepergianmu begitu dini?bagiku  kepergianmu  terlalu cepat. Kau   pergi Tuk Slamanya, kau pergi meninggalkan semuanya. Semua yang berada di dekatmu, semua keluargamu dan semua orang yang menyayangimu.  kau tinggalkan kenangan yang teramat indah. Tawa dan celotehanmu, akan slalu terukir di hati aku belum relakan kau pergi.  Pergi menuju nirwanamu, yang bagiku begitu gelap.
            “Hei, pagi-pagi kok udah ngelamun, hayu-hayu”
            “Eh  Gus Zein, mengagetkan saja, mengapa tidak bilang-bilang kalau datang?”
            “Lho, nanti kalau aku bilang tidak bisa mengagetkanmu. Aku perhatikan lebih dari lima belas menit, raga dan jiwamu tidak menyatu. Ada apakah gerangan wahai penulis cantik?”
“Aku teringat Garra, aku begitu merindukannya”
“Sabra Fa, oyah dari pada kamu terus melamun disni bagaimana kalau kita jalan-jalan ke pantai Sanur, mumpung masih pagi, pasti semburat fajar masih terlihat”
Lalu Fahita mengikuti langkah Zein menuju mobilnya.
Di perjalanan, mereka hanya diam membisu, bergumul dengan perasaan masing-masing. Zein sebentar-sebentar melirik Fahita yang mengatupkan bibir mungilnya, ia tahu sepenuhnya yang ada dalam hatinya hanyalah Garra dan Garra, tapi ia bisa apa, rasa cinta semenjak melihatnya untuk pertama kali di rumah sakit, bukan karena kecantikan atau kecerdasannya, tapi ia begitu setia terhadap cintanya, walau sudah jelas akan meninggalkannya. Untuk selamannya. Ah ia teringat Widya, betapia dunia begitu kejam terhadap mereka berdua, dipaksa meninggalkan dan beralih cinta. Hanya berbeda tipis dengan takdir Fahita.
Mobil Yaris silver Zein memasuki area parkir panati Sanur. Mereka berhenti dan berjalan kaki menuju pantai, karena jarak parkir dan pantai masih sekitar sepuluh menit. Udara begitu terasa sejuk membelai kulit ari, jilbab ungu yang dikenakan Fahita melambai-lambai. Rambut nakalnya sedikit menyembul di sela-sela jilbabnya. Ah dia terlihat begitu cantik diantara kilauan mentari pagi.
“Fa, dulu aku pernah mempunyai kisah sama denganmu”
Fahita menoleh, manatapi mata Zein dalam, menandakan rasa prihatin dan respectnya.
“Yah, tapi hanya berbeda taqdir, Garra meninggalkanmu karena di jemput oleh Tuhan, sedangkan kekasihku meninggalkanku karena jodohku tak di ridlhoi Tuhan”
“Apakaha dia meninggalkanmu? Dan menikah dengan orang lain?”
“Lebih tepatnya, ia dipaksakan untuk menikah dengan orang lain!”
“Terus,  Gus Zein hanya menerima saja?”
“Yah, aku tahu dengan jalan menerima dan diam Tuhan akan menggantikan emasku yang hilang dengan Permata yang jauh lebih berkilau. Karena ridlho dan kehendak orang tua akan lebih mulia dan Tuhan tidak akan pernah murka”
Astaghfirullah hal adzim. Dalam hati Fahita beristighfar, ternyata selama ini ia adalah manusia yang tidak mampu ikhlas dengan takdir dan kehendak Tuhan. Padahal Tuhan adalah pemilik segalanya. Jodoh adalah taqdir yang digariskan Tuhan, dan apapun yang bernyawa akan kembali pada_Nya.
***
Senja ini adalah senja terakhir Fahita di Bali. Ia ingin menikmatinya dengan sempurna. Setelah puas jalan-jalan seharian, mencari oleh-oleh dan mengambil gambar yang unik dan meninggalkan cerita tersendiri. Kini Fahita duduk termenung sendiri, ia sengaja ingin bercerita pada angin yang menyapanya dan meminta pendapat lautan tentang bagaimanakah nasib hatinya untuk hari esok. Ia ingin sekali berusaha mengakhiri kerinduannya yang tanpa pelabuhan tempatnya bersinggah, ia ingin mengakhiri penderitaan cintanya yang seperti terisi seperti kosong.
            “Ra, mungkin setelah aku bercerita dengan laut yang maha luas, aku akan kembali meikirkan amanatmu, untuk segera bertaaruf dengan laki-laki yang pernah engkau tunjukan padaku.
            Di dalam hotelnya, Zein sedang teramat gelisah, ia ingin sekali menyampaikan amanat sahabatnya, ketika mendekati ajalnya. Bahwa ia harus menjaga dan mencintai gadis yang mampu membuatnya kuat selama mengahadapi penyakitnya. Ternyata, setelah ia bertemu beberapa hari terakhirnya di Bali, ia teramat suka dengan gadisnya.
            “Ra, aku berjanji akan menjaga cinta gadismu seutuhnya, karena ia memang pantas dicintai. Kamu tidak perlu khawatir, cintaku takan pernah menggantikan posisimu tapi aku akan mempunyai tempat tersendiri di hatinya yang mungkin tak bisa sejajar denganmu. Karena engkau begitu mulia mencintainya dan mampu memposisikannya sebagai wanita mulia”
***
           
Semua kawan-kawan telah selesai packing. Kini saatnya meluncur menuju dunia masing-masing di Purwokerto. Saat Fahita melangkah menuju mobil, Zein telah menunggunya di pintu utama untuk keluar, ia ingin sekali menyampaikan semua beban yang disimpannya sendirian. Ia ingin menunaikan amanat sahabatnya. Bukankah dalam hadist pun di jelaskan bahwa sampaiakanlah kebenaran dan kejujuran walau itu pahit. Zein tidak ingin berdosa dan sebelum semuanya terlambat.
            “Fa, sebelum kamu pulang aku ingin menyampaiakn sesuatu padamu”
            “Sampaikanlah!”
            “Dulu Garra pernah memintaku untuk bertaaruf denganmu, tapi aku menyerahkan semua itu padamu, aku hanya inginmenyampaikan pesan terakhir Garra saja, selebihnya itu adalah hak Fahita”
            Fahita kaget setengah mati, jantungnya berdetak begitu kencang. Ternyata, amanat Garra bukan hanya dengan dirinya tapi dengan sosok yuang bersangKutan, ia merasa begitu btidak enak karena menjadi beban dan membuat langkah  Gus Zein terhenti untuk mencari sosok pengganti kekasihnya.
            “Dulu, Garra juga berpesan dengan pesan yang  sama disampaikan Gus, namun sampai sekarang hati Fahita belum siap.biarlah Fahita bermunajat dengan Tuhan”
            “Baiklah, aku hanya berdo;a untuk yang terbaik saja. Selamat jalan dan hati-hati semoga Rahmat Tuhan tetapi tercurahkan untuk kita semua”
            “Amin”
            Fahita melangkah dengan iringan beban yang memberiatkan, namun ia berjanji untuk meminta petunjuk agar mendapat yang terbaik. Bukankah sebaik-baik manusia adalh yang mendekatkan diri dan meminta petunjuk pada Tuhan agar ia tidak mendapat jalan yang ditunjukan syetan.












11

*Rahasia Itu Bernama Cinta

        Empat bulan terlewati sudah.
 Fahita semakin yakin dengan jalan yang akan ia tempuh,
setelah melalui proses shalat hajat dan bermunajat pada Tuhan,
ia kini mendapat pencerahan. Pendapat orang-orang terdekatnya pun mulai ia saring.
 Selanjutnya, ia mulai berkomunikasi dengan Gus Zein. Walau hanya lewat telepon genggam saja. Fahita dan Zeinpun mulai banyak bercerita tentang masa lalunya. Hingga kemudian bisa saling mengerti dan mengenal kepribadian masing-masing.
            Mengenal masa lalu dan kehidupan Zein adalah sangat luar biasa bagi Fahita. Walau ia dilahirkan di tengah keluarga Kiyai yang masih keturunan darah biru, ia tidak pernah menjadi sosok yang sok ningrat atau gila hormat. Tapi ia justru sangat zuhud. Ia menghapal Al-Qur,an sejak SMP  serta melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan biaya sendiri dan beasiswa. Sampai menginjakan kaki di Rusiapun itu adalah hasil dari kerja kerasnya selama ini, hasil risetnya telah diakui oleh pemerintah hingga akhirnya ia di fasilitasi untuk kuliah di MGU.
            Hari demi hari terlewati, Fahita merasa semakin cocok dengan car hidup Zein, karena ternyata ia lebih mirip dengan Garra, kesopanan dan senang bercanda mengingatkannya pada sosok Garra. Ah sungguh luar biasa Tuhan menganugerahkannya. Banyak hal yang kini telah dilakukan Zein dalam hidupnya.  Sehingga ia kembali bersemangat dari keterpurukan kehilangan. Saat satu kata tak lahir jadi cerita, saat tak satu puisisi menjadi arti. Dan Zein hadir yang kemudian menjadikan kata-kata dalam dirinya yang menjelma cerita baru. Zein membuat puisisi-puisinya lebih berarti dan bermakna.
            Seusai menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari, Fahita beranjak menuju pembaringan terakhir Garra, ia ingin bersimpuh dan mencurahkan segala apa yang ia rasakan setelah pulang dari Bali. Ia ingin menyampaiakn bahwa ia telah mampu menunaikan amanatnya.
            Garra sayang, kini Fahita telah  siap menjalankan amanat yang engaku berikan padaku. Namun, aku tidak bisa memungkiri bahwa aku masih merindukanmu . dan saat aku benar-benar merindukan kehadiranmu, aku buka kembali álbum cinta kita, terlihat senyummu dan senyumku dalam satu rasa, aku merasa seolah-olah kau hadir di sisiku dan membelai rambutku.
 Aku teramat sedih ketika kau meninggalkanku begitu cepat menjelang hari-hari pernikahan kita. Tapi tak apa, aku sudah belajar ikhlas. Sayang, hampir dua tahun setengah kau meninggalkanku, tapi rasa itu masih bergelayut dalam hati dan jiwaku. Namun, aku teringat bukankah kau selalu mengajariku untuk mencari hikmah di balik taqdir, aku kini tahu, bahwa kesabaran dan keihklasan yang membuatku bertahan hingga menjadi perempuan seutuhnya.
Dua rahasia yang aku temui dalam hidupku hingga kini Ra, ketika kematian membuatku kaget setengah mati, yaitu kematian ibuku yang selalu dirahasiakan ayah dan ibuku. Dan kini kau pergi melepas ragamu. Kematian dan kematian yang selalu disembunyikan Tuhan. Ra, kini aku berjanji ketiadaanmu di dunia ini takan pernah lagi kurasakan menjadi luka, namun sebagai penuntun dan angin segar yang menerbangkan kesabaran luar biasa, serta keikhlasan tiada tara. Karena engkau selalu memberii contoh melepas yang kita cintai dengan indah. Makasih Ra, aku sekarang ingin mengungkap rahasia sebagai ganti kematian.
Dalam gerimis, Fahita melangkah pulang, ia kini mulai yakin dengan Zein dan aka segera memberiitahu Zein tentang niyatnya mememnuhi amanat Garra.
***
           
Fahita telah memberiitahukan kesiapannya menerima Zein sebagai pendamping hidupnya. Tak lupa pula ia memberiitahukan kelaurga Garra, mereka menyambut degan begitu gembira, akhirnya Fahita mendapatkan ganti yang lebih shalih. Sedikit rasa lega dalam hati Fahita. Akhirnya ia dapat melepas kebimbangan yang selama ini menutupi mata batinnya, gemuruh kekuatan hidupnya kembali terpancar, semangatnya kembali membahana, waktu yang dulu pernah ia sia-siakan untuk meratapi nasibnya, ingin ia perbaiki. Bukankah seburuk-buruk manusia adalah mereka yang membiarkan waktu berjalan tanpa manfaat.
Keluarga Zein akan datang untuk melamar minggu depan. Fahita kini benar-benar mantapi untuk mengakhirinya.
“Ya Tuhan, aku menyadari bahwa ada banyak pilihan yang terbentang di hadapanku. Namun pagi ini aku berdoa, biarlah takdir-Mu sendiri yang senantiasa menuntunku untuk dapat menentukan pilihan terbaik bagiku yang sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak-Mu."
***
           

            Waktu lamaran datang juga, semua keluarga sudah berkumpul, Ibu dan Ayah duduk do sova sebelah kiri Ibu dan keluarga Garra, terlihat pancaran kebahagian yang begitu mendalam dari wajah-wajah yang hadir, ternyata semua hari-hari dimana Fahita terpuruk menjadi kesedihan yang luar biasa bagi semua yang menyayanginya.
            Prosesi lamaran berjalan lancar, tanggal pernikahan pun sudah ditetapikan. Bulan depan akan dilangsungkannya pernikahan itu. Akhirnya Tuhan memberii kemudahan.
            Tuhan kini aku mengerti rahasiamu yang teragung adalah cinta yang tumbuh dari manusia-manusia terkasih_Mu. Cinta yang akan membawa terbang ke sisi_Mu. Cinta yang akan meninggikan derajat manusia-manusia yang Engkau ciptakan dari derajat tetesan air terendah. Berkat cinta Engkau ajarkan sabar dan ikhlas, berkat cinta Engkau ajarkan melepas cinta pula dengan indah. Terimakasih Tuhan.
***













*Epilog

       Pernikahan itu berjalan lancar, semua tamu undangan yang hadir membawa keceriaan dalam senyuman. Gaun merah muda yang dikenakan Fahita semakin membuatnya menjadi wanita paripurna. Tak ada tangis atau semburat kesedihan yang ada hanyalah cinta dan senyuman.
            “Garra, hari ini aku dan Zein akan menjalankan amanatmu, mudah-mudahan aku mampu mencintainya seperti aku mencintaimu dulu. Semoga aku mampu menjadi istri salihah seperti yang dulu engkau harapkan padaku, aku tidak ingin mengecewakan Zein dan ingin mencintainya dengan tulus”
            Acara walimatul ursnya sudah selesai, Fahita masih duduk di kamarnya, semua orang yang hadir meminta Zein untuk menjenghampiri pengantinnya dalam kamar, akhirnya ia mengetuk pintu dan,
            “Fahita, mengapa kamu terlihat pucat? Kamu sakit?”
            “Enggak, Fahita cuma grogi dan malu Kak,”
            “Ya sudah, Kaka keluar lagi yah biar kamu enggak grogi lagi,”
            “Jangan, sini ajah, jangan tinggalkan Fahita,”
            “Lho, katany malu?” Fahita tertunduk, dadanya semakin berdebar kencang.
            Lalu, Zein mendekatinya dan memeluk tubuh rampingnya, lalu mencium keningnya.
            “Itu perasaan yang wajar, perasaan kita menjadi sensitif jika berdekatan. Kita salah tingkah tapi sebenarnya ingin selalu dekat”
            Sejenak melirik ke meja yang ada di pojok ruangan kamar Fahita, ternyata masih ada foto Garra yang terbingkai dengan rapi, bahkan dalam bingkai berbentuk hati. Ia ingin bertanya tapi tidak enak, dan ternyata Fahita tahu langkah matanya.
            “Kak Zein, jangan cemburu atau salah persepsi, aku ingin selalu mengenang Garra sampai kapanpun karena ia adalah kenangan terindahku, aku tahu, sebagai manusia biasa tidak ada yang ingin diduakan, walau hanya dengan sebuah foto saja dan walaupun itu sahabatnya sendiri. Tapi percayalah, kini aku menjadikannya sebagai taman yang luas dalam hatiku dimana Kaka adalah penananam bungannya dan selalu menyiraminya dengan cinta”
            “Ia sayangku, Kaka Mengerti, kaka berjanji akan selalu menyirami taman hatimu dengan cinta kakak” Lalu Zein kembali memeluknya dan mencium bibirnya dengan mesra. Tiba-tiba saja, ketika mereka akan bercumbu rayu, hp Fahita berdering, tanda panggilan masuk,
            “Maaf kak, Fahita angkat telpon dulu,”
            “Halo, Fa, selamat yah, novelmu yang berjudul Melukis Rembulan di Hatimu akan segera terbit”
            Alhamdulilah, kini kebahagiaan lengkap dan meyatu.


       






4 komentar:

  1. Diawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.


    Diawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.

    BalasHapus
  2. Diawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.

    BalasHapus
  3. membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW


    membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW

    BalasHapus
  4. membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW

    BalasHapus