Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Kamis, 23 Februari 2012

Karya Tulis


DIALOGISASI EKONOMI ISLAM-PSIKOBUDAYA: UPAYA OPTIMALISASI PERAN INTEGRATOR RESOURCES BERBASIS BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) DI INDONESIA (STUDI KASUS BMT DI PASAR-PASAR TRADISIONAL PURWOKERTO)
Juara Harapan 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional di UNNES Semarang
logo-stain








Oleh:
  Angga Aryo Wiwaha                         082323005
  Siti Nur Azizah                                  082323038
  Titik Yayuk Wijayanti                                               082323043


Diajukan untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ekonomi Syariah (LKTES)
3rd Sharia Economic Moment (SECMENT 3rd)
KSEI Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2010
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menganugerahkan budaya kepada manusia untuk saling mengenal antara satu sama lain. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Akhir Zaman, Muhammad SAW yang membawa manusia menuju budaya mulia dengan segala keluhuran dan kearifannya.
Karya tulis ini berjudul Dialogisasi Ekonomi Islam-Psikobudaya: Upaya Optimalisasi Peran Integrator Resources Berbasis Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Di Indonesia (Studi Kasus BMT di Pasar-Pasar Tradisional Purwokerto),  yang memuat fakta mengenai hubungan antara BMT dan masyarakat.
Penulisan karya tulis ini melewati observasi mengenai realita eksistensi dan perkembangan BMT di Purwokerto, dan dilengkapi data dari empat BMT yang berlokasi di pasar-pasar tradisional Purwokerto sebagai sampel. Dari metode tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia BMT belum sepenuhnya menunjang perkembangan BMT, khususnya dalam membumikan ekonomi Islam dan menyejahterakan masyarakat kecil. 
Harapan penulis, semoga karya tulis ini dapat memberikan kontribusi dalam khazanah pendidikan Indosesia, serta menjadi acuan dalam upaya optimalisasi peran ekonomi Islam dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.
                 
                                                                                          Penulis










DAFTAR ISI

Halaman Judul ...............................................................................................          i
Lembar pengesahan........................................................................................             ii
Kata Pengantar................................................................................................         iii
Daftar Isi........................................................................................................         iv
Ringkasan.......................................................................................................         v
BAB       I     PENDAHULUAN
                     A. Latar Belakang Masalah........................................................         1
                     B. Rumusan Masalah.................................................................         6
                     C. Tujuan Penulisan...................................................................         6
                     D. Manfaat Penulisan ...............................................................         7
                     E. Sistematika Penulisan ...........................................................         7
BAB      II     TINJAUAN PUSTAKA ............................................................         8
BAB     III     METODE PENULISAN
                     A. Objek Penelitian ...................................................................        11
                     B. Metode Pengumpulan Data ..................................................        11
                     C. Metode Analisis Data............................................................        12
BAB     IV    PEMBAHASAN
                     A. BMT dan Perannya dalam Ekonomi Kerakyatan .................        14
                     B. Pengembangan Integrator Resources di BMT ......................        19
                     C. Konstruksi Dialogisasi Psikobudaya-Ekonomi Islam.............        22
BAB      V    PENUTUP
                     A. Kesimpulan ..........................................................................        25
                     B. Saran ....................................................................................        25
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................        26







RINGKASAN
Dunia perekonomian Islam di Indonesia muncul dari adanya interaksi pemikiran yang kontradiktif antara konsep ekonomi konvensional berbasis bunga dengan konsep ekonomi Islam yang mengaharamkan bunga sebagai bentuk riba. Permasalahan yang muncul adalah ketika masyarakat sudah terlalu terbiasa dengan paradigma bahwa pinjaman sama dengan bunga. Bahkan paradigma itu menjadi sebuah keikhlasan umum tanpa mereka merasa terzhalimi sedikitpun.
Ekonomi Islam muncul sebagai solusi dari “penganiayaan” kapitalisme tersebut (bunga). Problematika terbesar yang dihadapi ekonomi Islam kemudian adalah tembok paradigma yang telah begitu mengakar itu, yang menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan konvensional. Pada titik inilah lembaga Baitul Maal wa Tamwil (BMT) hadir sebagai lembaga keuangan syariah yang terdekat dengan masyarakat kecil, untuk mampu mengentaskan kesenjangan kesepahaman antara masyarakat dan ekonomi Islam.
Untuk mewujudkannya, harus selalu diingat bahwa nilai-nilai dalam masyarakat terbentuk melalui perjalanan sejarah sosial yang panjang. Agama Islam sendiri berkembang di Indonesia, melalui para wali, dengna menerapkan strategi menyusup melalui nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi sehingga ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Bahkan pada perkembangannya, agama Islam justru berbalik menjadi sebuah nilai tersendiri yang dianut dan dijadikan sandaran oleh masyarakat, khususnya melalui institusi-institusi masyarakat tertentu.
Asas fungsionalisme berperan besar dalam menyatukan nilai-nilai yang berbeda dari berbagai macam pola dalam masyarakat. Sebagai bagian dari ajaran Islam, seharusnya sistem ekonomi Islam juga dapat disyi’arkan melalui jalur yang sama: budaya. Strategi terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan membangun hubungan konstruktif antara BMT sebagai lembaga keuangan syariah yang terdekat dengan masyarakat, dengan institusi sosial yang menjadi panutan masyarakat. Dengan kata lain, BMT bukan hanya bertugas membina sumber daya manusianya, tapi juga mengembangkan sebuah integrator resources yang efektif.
Secara bertahap, BMT harus mengembangkan sumber daya internalnya melalui pembinaan karyawan untuk dapat menjelaskan perbedaan sistem ekonomi Islam yang berbeda dengan anggapan masyarakat selama ini: sama dengan sistem ekonomi konvensional. Tahap selanjutnya, barulah BMT bersinergi dengan pihak eksternal, dalam hal ini institusi sosial yang diterima masyarakat, untuk menjadi mediator kesepahaman antara masyarakat dan ekonomi Islam. Salah satu strategi terapan yang dapat diterapkan adalah dengan mengadakan arisan ekonomi Islam.
Pada akhirnya, diharapkan sinergitas yang terjadi antara BMT, budaya soaial dan institusi sosial kemasyarakatan melalui kegiatan-kegiatan rutin masyarakat akan mampu membumikan ekonomi Islam secara holistik dan lebih dekat dengan masyarakat, bukan sekedar secara perhitungan ekonomis, naum juga tertanam secara emosional dan membangun semangat kultural tersendiri.


 





  


















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) memiliki korelasi yang erat dengan konstruksi sosial-budaya kehidupan masyarakat Indonesia. Pangsanya yang mengutamakan rakyat kecil adalah kunci kedekatan BMT dengan mayoritas rakyat Indonesia. Dengan begitu, BMT dapat menjadi pionir utama dalam misi membumikan ekonomi Islam di negeri ini. Hal itu dapat lugas tergambarkan jika kita menilik sejarah terbangunnya psiko-sosial dan budaya masyarakat Indonesia sendiri.
Untuk diingat, segala bentuk budaya yang dianut dalam suatu masyarakat, tercipta melalui sebuah perjalanan sejarah sosial yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Kehidupan sosial tersebut, merupakan dampak lanjut dari interaksi yang terjadi antar individu, di mana setiap orang membutuhkan keberadaan orang lain bukan sekedar untuk menunjang hidupnya, namun juga untuk mengokohkan eksistensinya sebagai manusia. Hal itulah yang kemudian menjadikan setiap negeri diwakili oleh kultur budaya yang berbeda, karena dia merupakan refleksi dari bagaimana setiap individu menanggapi keadaan di sekitarnya. Fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial itulah yang kemudian menjadi sebuah budaya ketika terkonvensi dalam jangka yang luas.
Begitupun Islam sebagai agama yang senantiasa muwafiq di setiap ruang dan waktu. Syariat yang Allah turunkan kepada setiap nabinya adalah refleksi dari kebutuhan masyarakat dan budaya masyarakat pada saat itu akan seorang utusan Tuhan. Mari mengingat mukjizat Nabi Musa yang merubah tongkat menjadi ular untuk mengalahkan penyihir Fir’aun. Atau mukjizat menyembuhkan segala penyakit milik Nabi Isa di zaman yang banyak tabib, hingga mukjizat Al-Qur’an yang menohok logika masyarakat jahiliyah penyembah berhala di zaman Nabi Muhammad SAW.  Budaya masyarakatlah yang kemudian menggerakkan fleksibilitas koridor agama dalam penerapannya. Walaupun sama-sama Islam, akan berbeda bagaimana bentuk Islam di Arab, Afrika dan Indonesia.
Pada relasinya, pola itu berbalik. Budaya yang tadinya mempengaruhi warna dan bentuk agama Islam di Indonesia, kemudian justru mampu memberi efek dalam perubahan sosial masyarakat. Agama memiliki pranata dan lembaga yang memungkinkan ajarannya lebih langsung dapat ditangkap oleh individu-individu pengikutnya dan lebih mungkin terpantul dalam pengaturan hubungan dan perilaku sosial.[1]
Namun begitu, harus selalu dibedakan antara Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai fenomena. Sebagai ajaran, Islam ditinjau dari dimensi keyakinan (akidah), dimensi hukum (syariah), dan dimensi rohaniah atau spiritual (tasawuf, mistisisme).[2] Sebagai fenomena kehidupan, Islam dipandang dari sudut perannya yang signifikan terhadap perubahan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam hal akidah dan syariat itu sendiri, yang kemudian berbaur dengan budaya masyarakat.
Di Indonesia misalnya, ajaran Islam datang dari budaya perdagangan di Selat Malaka, hingga kemudian melahirkan kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera Pasai. Islam kemudian berhasil melebur dengan budaya masyarakat dan menjadi agama mayoritas di Indonesia, sebagaimana dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Dapat disimpulkan, perkembangan budaya (termasuk agama) masyarakat selalu menjadi jalinan tidak terlepas dengan psiko-sosial masyarakatnya.
Dari apa yang terjadi pada hubungan muamalah dalam masyarakat itulah, ekonomi muncul sebagai sebuah kebutuhan yang telah ada sejak awal pertama keberadaan manusia di bumi. Hal itu pula yang menjadikan ekonomi menjadi sebuah bangunan budaya tersendiri, yang kemudian berdampak kepada tatanan masyarakat, mulai dari yang paling primitif hingga yang paling modern. Sistem ekonomi Islam adalah salah satunya.
Sebagaimana sejak awal perkembangan dakwah agamanya, nilai Islam sudah di bangun di atas fondasi tauhid, nubuwwah, dan ‘adalah. Prioritas utama dari segala yang di syariatkan di dalam al Qur’an dan Sunnah senantiasa berujung kepada terciptanya kemashlahatan di dalam kehidupan manusia. Dengan prinsip keadilan sosial tersebut, sudah seharusnya sistem ekonomi Islam mampu menjadi pegangan masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomian.
Walaupun sebenarnya telah terkonsep dalam perjalanan sejarah Islam, dalam konteks masyarakat Indonesia, sistem ekonomi Islam justru muncul dari interaksi idealisme (gozwatul fikr) yang mempertemukan konsep kapitalis dalam sistem perekonomian, dengan pemikiran tentang keharaman riba yang terkandung dalam instrumen bunga yang diterapkan. Harus selalu diingat, riba merupakan salah satu instrumen dalam transaksi ekonomi yang diharamkan menurut Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga dapat dijelaskan, bahwa sistem ekonomi Islam merupakan jawaban dari polemik seputar bunga dan riba yang dianut oleh sistem ekonomi kapitalis.
 Sistem ekonomi Islam juga diyakini mampu mengatasi problematika sosial ekonomi, mengingat sistem ekonomi Islam mengutamakan lahan gerak di sektor riil. Dengan begitu, industri-industri mikro yang umumnya dijalankan oleh masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah pun (seharusnya) menjadi sasaran pasar utama. Secara kasat dapat terlihat bahwa tujuan kemaslahatan dan kesejahteraan yang berlandaskan konstruksi  ekonomi kerakyatan dapat terwujud melalui sistem ekonomi Rabbani ini.
Di Indonesia, peran sentral perkembangan sistem ekonomi Islam diprakarsai oleh lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti  Bank, BPRS, BMT, pegadaian, hingga asuransi dan lembaga-lembaga lain yang berlandaskan prinsip syari’ah menjamur di tengah masyarakat. Hal yang perlu dicermati adalah, apakah keberadaan lembaga-lembaga keuangan berbasis syari’ah ini merupakan wujud dari kepedulian para penggiat ekonomi di Indonesia untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan, atau sekedar mengikuti selera pasar demi profitabilitas yang lebih baik.
Di Indonesia, lembaga Baitul Mal wa Tamwil berdiri sebagai lembaga keuangan mikro yang bergerak di tataran masyarakat menengah ke bawah. Dengan beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam, BMT menawarkan produk-produk jasa perbankan syariah, yaitu dengan menjauhkan unsur riba.
Karena bergerak di tatanan mikro, Lembaga Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dapat menjadi cerminan sekaligus tolok ukur mengenai seberapa besar peran ekonomi Islam dalam membangun perekonomian masyarakat, khususnya bagi mereka yang terbatas dalam ruang gerak ekonomi yang sempit, pedagang kecil misalnya. Pada masyarakat kecil inilah sasaran ekonomi Islam untuk menggerakkan sektor riil akan diwujudkan.
Ketua Umum BMT Center, Jularso, menyebutkan bahwa pertumbuhan LKMS dari tahun ke tahun terus meningkat. Secara kelembagaan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT. Mereka mengelola aset sekitar Rp 3 triliun rupiah. LKMS/BMT itu umumnya berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau koperasi simpan pinjam syariah (KSP).[3] Pertumbuhan tersebut sebenarnya lebih kepada jumlah masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah yang membutuhkan pembiayaan dalam jumlah kecil. Motivasi tersebut dapat dilayani BMT ka rena di bank, masyarakat belum tentu selalu bisa menerima pinjaman dalam kisaran ratusan ribu rupiah. 
Di Purwokerto, terdapat sekitar 20 badan BMT yang kebanyakan berdiri di pasar-pasar tradisional yang memang tersebar di kota tersebut. Sasarannya jelas, para pedagang yang mengharapkan pinjaman dalam jumlah ratusan ribu sampai tiga jutaan rupiah. Motivasi tersebut menjadi alasan utama mereka pergi ke BMT yang lebih merupakan koperasi simpan pinjam biasa bagi mereka.[4] Yang lebih ironis, beberapa dari mereka tidak mengetahui apa itu BMT. Kebanyakan dari mereka pun lebih memilih untuk tidak memikirkan apa itu akad mudharabah, murabahah, atau ijarah, dan lebih meilih mudah dalam meminjam dana di BMT.
Keberadaan BMT di pasar-pasar tersebut pun belum sepenuhnya dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam menumbuhkembangkan perekonomian pedagang kecil di pasar-pasar tradisional di Purwokerto. BMT Dana Mentari di Pasar Kliwon misalnya, di mana hanya 131 pedagang dari 427 orang yang mendapat pembiayaan dari BMT tersebut. Itupun masih merupakan angka yang tersebar di seluruh Purwokerto, bukan hanya di Pasar Kliwon.
Hal ini cukup ironis, ketika mengingat apa yang dicita-citakan untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai penyejahtera masyarakat, melalui sebuah sistem ekonomi, khususnya bagi mereka yang bergerak di sektor riil belum sepenuhnya terwujud. Pengembangan BMT pun menjadi suatu hal yang prioritas untuk dikedepankan. Dan tantangan tersebut akan dijawab oleh sebuah pengembangan sumber daya penengah antara ideologi masyarakat dan ekonomi Islam itu sendiri.
  Mari kembali mengingat akar kelahiran pemikiran mengenai ekonomi Islam di Indonesia yang terbangun melalui idealisme keIslaman. Kesenjangan yang terjadi antar BMT dan pasar utamanya, yang dalam hal ini adalah pedagang kecil, muncul dari sebuah keawaman masyarakat tentang sistem ekonomi Islam. Banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa tidak ada perbedaan kontras antara ekonomi Islam dan konvensional, kecuali nama yang lebih berbau syariah. Harus disadari, ketidaktahuan tersebut sebenarnya muncul dari ketidakharmonisan interaksi antara lembaga keuangan syariah dengan masyarakat awam.
 Pada titik inilah, bangunan sistem ekonomi Islam membutuhkan sumber daya yang relevan, bukan hanya manusia, melainkan suatu integrator resoursces (sumber daya pemersatu) yang mampu mensinergikan antara realita sosial-budaya masyarakat Indonesia dan pemahaman mengenai ekonomi Islam. Hal ini jelas, karena sejak awal tumbuh kembang agama Islam di negeri ini, sebagaimana disebut di atas, budaya telah berperan besar dalam kinerja dakwahnya.
Fakta tersebut berpeluang menjadi instrumen utama dalam membumikan ekonomi Islam. Dengan menjadikan BMT, lembaga keuangan mikro yang dekat dengan masyarakat kecil, sebagai pionirnya, ekonomi Islam akan menjadi sandaran dan panutan masyarakat Indonesia sebagaimana yang terjadi pada agama Islam di negeri ini pada masa dulu.
Dengan mensinergikan antara kiblat budaya Islam di Indonesia, seperti institusi-institusi yang dekat dengan masyarakat dengan idealisme ekonomi Islam, maka tatanan ekonomi yang berkeadilan itu akan membumi di negeri ini. Bukan hal yang tidak mungkin, slogan ekonomi kerakyatan yang digaungkan oleh pemerintah akan terwujud melalui ekonomi Islam dengan memanfaatkan jalur psikososial-budaya ini. Dan akhirnya, membumikan ekonomi Islam bukan hanya jadi impian.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penulis akan membahas berbagai aspek tentang:
1.         Sejauh apa manfaat BMT bagi pengembangan masyarakat melalui ekonomi Islam?
2.         Sumber daya seperti apa yang dibutuhkan dalam pengembangan masyarakat melalui BMT?
3.         Bagaimana konstruksi dialogisasi antara budaya dan ekonomi Islam?

C.      Tujuan Penulisan
Penulisan karya tulis ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1.      Untuk mengetahui sejauh mana manfaat BMT bagi pengembangan masyarakat melalui ekonomi Islam.
2.      Untuk mengetahui sumber daya seperti apakah yang sebenarnya dibutuhkan dalam pengembangan masyarakat melalui BMT.
3.      Menyuguhkan strategi konstruksi dialogisasi antar budaya dan ekonomi antara budaya dan ekonomi Islam.

D.      Manfaat Penulisan
1.      Memberikan kontribusi pemikiran, khususnya seputar ekonomi Islam dan memperluas khazanah keilmuan.
2.      Memberikan wacana tambahan bagi penulis khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang BMT dan pengembangannya.
3.      Mengetahui dialogisasi antar budaya dan ekonomi Islam sebagai bentuk pemberdayaan sumber daya yang dibutuhkan BMT.

E.       Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi pokok pembahasan ke dalam lima bab secara sistematis, yang meliputi:
Bab I: Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan mengenai pengaruh sosial BMT, di Purwokerto khususnya, dalam menyejaterakan masyarakat awam yang diwakili pedagang di pasar-pasar tradisional. Bab ini juga membahas beberapa keterkaitan antara budaya dan agama yang dapat menjadi sumber daya penyatu antara masyarakat dan ekonomi Islam.
Bab II: Tinjauan Pustaka yang mengulas rujukan-rujukan pustaka mengenai BMT, sumber daya manusia, sosiologi agama di Indonesia, serta beberapa tulisan mengenai efek agama terhadap perubahan sosial melalui kiblat budaya keagamaan masyarakat.
Bab III: Metode Penulisan yang mencakup bagaimana langkah-langkah penulis menerapkan penelitiannya melalui observasi, pengumpulan, hingga metode analisis data untuk menyimpulkan sederetan fakta, untuk kemudian menyusunnya menuju pemecahan masalah.
Bab IV: Pembahasan mengenai bagaimana mengoptimalkan integrator resoureces BMT di tengah masyarakat, dengan mensinergikan peran BMT dengan kiblat-kiblat budaya agama Islam di Indonesia, serta strategi terapan yang akan mewujudkan ekonomi Islam menjadi dekat dengan masyarakat Islam melalui lembaga BMT.
Bab V : Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penulis.


BAB II
TELAAH PUSTAKA
Dalam penelitian ini, beberapa literatur pustaka menjadi rujukan untuk mendasari beberapa dasar pijakan berpikir. Seperti yang menyangkut hubungan masyarakat dan agama. Semua agama, termasuk Islam, tersusun melalui tingkat peradaban sebuah bangsa. Telah banyak asumsi yang muncul dari pertanyaan seputar asal-usul agama. Enam teori paling populer dan mendasar dalam sejarah tumbuh kembang agama, sebagaimana yang diungkapkan Dadang Kahmad, adalah teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa, teori sentimen kemasyarakatan, teori wahyu Tuhan.[5] Islam memang diturunkan melalui wahyu Allah (agama samawi), namun pada perkembangannya lima teori yang lain banyak mempengaruhi perkembangan perluasan dakwahnya. Khusus di Indonesia, teori sentimen kemasyarakatan memiliki relasi yang kuat setelah sebelumnya agama Islam mampu menciptakan keterikatan yang kuat bernama nasionalisme melalui perjuangan para kiai dan santri di masa awal perkembangan Islam.
Ekonomi Islam sendiri merupakan salah satu media perluasan dakwah Islam. Hal tersebut tampak dari realitas perkembangan ekonomi Islam bangsa ini menujukkan kecenderungan positif, terlihat dari salah satu keberhasilan pendekatan yang digunakan secara humanistik (insaniyah),  yang tidak hanya mementingkan hasil yang akan dicapai. Akan tetapi juga yang terpenting adalah bagaimana prosesnya yang menempatkan manusia dalam posisi bagaimanapun tetap menjadi subjek ekonomi yang tidak boleh dizhalimi, apalagi dieksploitasi seperti yang marak saat ini. [6]
Realitas perkembangan ekonomi bangsa ini memperlihatkan kecenderungan positif dalam menanggapi sistem ekonomi syariah. Hal tersebut terlihat dari antusiasme yang tinggi dari institusi-institusi ekonomi yang berkembang dewasa ini untuk menangkap peluang tersebut dengan membuka divisi-divisi syariah di sampingnya, terlebih dengan didukung oleh Bank Indonesia secara langsung untuk memicu perkembangan bank syariah, melalui program office chanelling bagi seluruh bank konvensional yang belum membuka divisi tersebut atau, membuka sentra-sentra ekonomi berbasis syariah dengan prinsip keadilan.[7] Seperti halnya Baitul Maal wa Tamwil.
Hartono Widodo dkk dalam bukunya yang berjudul Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjelaskan karakteristik BMT sebagai lembaga keuangan adalah kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba (sosial), sumber dana yang diperoleh dari zakat, infak dan shadaqah, sumber lain yang halal. Kemudian dana tersebut disalurkan kepada mustahiq (yang berhak), atau untuk kebaikan. Baitul Tamwil juga adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dana yang diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.[8] 
Masih mengenai BMT, menurut Heri Sudarsono dalam Bank dan Lembaga Keuangan Syariah-nya, BMT lebih mengarah kepada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non pasif seperti: zakat, infak dan shadaqah yang mana sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil yang berlandaskan syariah.[9]
Untuk itulah, BMT membutuhkan sumber daya yang relevan dengan perkembangannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, bahwa sumber daya manusia berkaitan orang-orang yang siap, berkeinginan dan mampu memberikan kontribusi demi keberhasilan organisasinya.
Penulis menganalisis sebuah pola sosial yang terjadi di tengah masyarakat adalah pola fungsionalisme dalam sosiologi, sebagaimana yang dianalisis oleh Kinsley Davis berupa peranan (atau fungsi) yang dijalankan oleh sebuah institusi atau perilaku tertentu dalam masyarakat serta cara-cara peranan itu, berkaitan dengan gejala sosial lainnya. Dalam menganalisis sistem sosial fungsionalisme lebih menekankan tiga unsur penting, yaitu (1) hubungan-hubungan umum dari berbagai sistem; (2) situasi normal atau situasi keseimbangan, sejajar dengan kondisi normal atau sehat dalam tubuh manusia; (3) cara semua bagian dari sistem melakukan reorganisasi akan membawa kembali sistem pada situasi normal.[10] Pada kasus sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia, budaya menjadi konstruksi dan nilai absolut yang diterima masyarakat, sehingga para pendakwah Islam awal meanfaatkan nilai-nilai tersebut untuk memasyarakatkan Islam (fungsionalisme).
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis melihat apa yang terjadi pada fakta dan paradigma ekonomi Islam di Indonesia sangat terkait dengan nilai  sosial yang dianut masyarakat. Dalam misi membumikan ekonomi Islam di Indonesia, pola dakwah yang dilakukan oleh para wali di masa dakwah Islam dapat diterapkan. Sebagai lembaga keuangan yang terdekat dengan masyarakat, BMT-lah yang akan menggerakkan integrator resources antara masyarakat dan ekonomi Islam. 
.












BAB  III
METODE  PENULISAN
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, seperti penulisan hasil penelitian:

A.      Objek Penelitian
Penulis meneliti berbagai fakta mengenai perkembangan BMT di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, khususnya kontribusinya bagi para pedagang kecil di Purwokerto. Sebagai sampel, penulis meneliti perkembangan empat BMT yang berpusat di pasar-pasar tradisional Purwokerto, yaitu BMT El-Mentari, Pasar Purwanegara; BMT Dana Mandiri Pasar Pon dan Cabang Pasar Kliwon, serta BMT Khasanah-LPPSLH, Pasar Wage. Penulis juga meneliti fakta mengenai tanggapan pedagang  di pasar-pasar tersebut seputar keberadaan BMT.

B.       Metode Pengumpulan data
Untuk memperoleh data akurat, penulis menggunakan beberapa metode dengan mempertimbangkan beberapa kelebihan dan kekurangan setiap metode:

1.         Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[11] Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kondisi masyarakat dan perkembangan BMT di Purwokerto, dengan mengadakan pengamatan di tengah masyarakat, dengan setiap BMT yang telah disebutkan di atas sebagai sampel secara langsung untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan kondisi BMT maupun antusias masyarakat di sekitarnya.

2.         Metode Interview
Metode interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematik dan berlandaskan dengan tujuan penyelidikan.[12] Dalam penggunaan metode penulisan ini, penulis mengguankan sistem opened and controlled yaitu interview yang bebas tetapi terkontrol. Dengan kata lain, interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan sistem ini agar dalam wawancara lebih mudah dan komunikatif. Tetapi dalam pembicaraan mengena sasarannya karena ada kontrol sehingga data-data yang diperoleh akan terjamin validitasnya.
Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang seberapa penting peran BMT untuk membantu perekonomian masyarakat dan seberapa jauh pemahaman dan antusiasisme masyarakat terhadap BMT itu sendiri.   

3.         Metode Analisis Data
Agar data yang diperoleh bukan merupakan informasi yang mentah dan pembaca mudah menginterpretasikan terhadap data yang telah diolah, maka diperlukan analisis data sebagai kelanjutan untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh.
Penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis data-data yang bersifat kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisah menurut katagori untuk memperoleh kesimpulan.[13] Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan, keterangan yang bukan berupa angka.
Melalui pengumpulan dan analisis data-data tersebut, penulis menyimpulkan pemecahan permasalahan mengenai lembaga BMT yang belum sepenuhnya menyejahterakan perekonomian masyarakat kecil, serta membumikan ekonomi Islam di tengah masyarakat. Dengan mengembalikan pola yang terjadi pada saat agama Islam mampu menciptakan sebuah perubahan sosial masyarakat Indonesia, Ekonomi Islam juga akan membumi di Indonesia dengan memanfaatkan integrator resources yang relevan dengan budaya sosial masyarakat, dengan Baitul Mal wa Tamwil sebagai pionirnya.




























BAB IV
PEMBAHASAN
A.      BMT dan Perannya dalam Ekonomi Kerakyatan.
1.         BMT di Indonesia
Dengan melihat 250 juta jiwa masyarakat Indonesia yang kebanyakan hidup di tataran tingkat ekonomi menengah ke bawah, BMT merupakan lembaga yang mampu menjadi solusi pengentasan kemiskinan di Indonesia yang tergolong akut.
Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Seperti telah disebutkan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT, dengan aset yang dikelola sekitar Rp 3 triliun rupiah.
Dalam kinerja operasionalnya, BMT di Indonesia sama dengan fungsi utama operasional bank syariah yang mencakup penghimpunan dana dari masyarakat (funding) dan penyaluran dana (fibnancing) sebagai bentuk usaha BMT itu sendiri. Sistem yang digunakan tentu saja merupakan sistem yang berlandaskan syariah Islam. Akad-akad yang diterapkan dalam perbankan syariah juga diterapkan di BMT, seperti mudharabah, murabahah, wadia’ah hingga qardhul hasan, baik dalam konteks penghimpunan maupun penyaluran dana dari dan kepada masyarakat.
Walaupun sama-sama merupakan lembaga keuangan syariah, serta memiliki sistem dan mekanisme kerja yang relatif sama, pada tataran hukum, BMT belum bisa disejajarkan dengan bank syariah. Perbankan syariah telah memperoleh landasan yuridis berdasarkan Undang Undang Perbankan. Pertama kali berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Legalitas keberadaan BMT dianggap sah karena tetap berasaskan Pancasila, UUD 1945 dan prinsip syariah Islam. Pada sudut pandang lembaga sosial, BMT memiliki kesamaan fungsi dengan Lembaga Amil Zakat. BMT dituntut untuk daapat menjadi LAZ yang mapan dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf dari mustahiq kepada golongan yang paling berhak sesuai ketentuan syariah dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Sebagai lembaga bisnis, kegiatan usaha BMT secara yuridis tampak berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan. Menurut pasal 16 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 tahun 1998, kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum atau BPR, kecuali apabila kegiatan itu diatur dengan undang-undang tersendiri. Sebagaimana juga yang tercantum dalam pasal 46 UU tersebut, BMT seharusnya mendapatkan sanksi karena menjalankan usaha perbankan tanpa izin usaha. Namun di sisi lain, keberadaan BMT di Indonesia justru mendapatkan dukungan dari pemerintah, dengan diluncurkan sebagai Gerakan Nasional pada tahu 1994 oleh Presiden.
Untuk mengatasi krisis hukum tersebut, maka dalam prakteknya sebagian BMT mengambil bentuk badan usaha koperasi dan sebagian lain belum memiliki badan usaha yang jelas atau masih bersifat pra-koperasi.  Koperasi sendiri merupakan bentuk badan usaha yang relatif lebih dekat untuk BMT, tetapi menurut Undang Undang Perkoperasian kegiatan menghimpun dana simpanan terbatas hanya dari para anggotanya (Pasal 44 UU. No. 25/ 1992). Salah satu nama yang berkembang kemudian adalah lembaga KJSK (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) yang berstatus hukum koperasi.

2. BMT di Purwokerto
Geliat perkembangan BMT di Purwokerto dimulai pada tahun 1995, di mana tiga BMT berdiri di Ibukota Kabupaten banyumas tersebut. Tiga BMT tersebut adalah BMT Dana Mentari di Pasar Pon, BMT Khasanah di Pasar Wage, serta BMT Sabilul Muttaqin. Dalam perkembangannya, sekarang hanya BMT Dana Mentari dan BMT Khasanah yang masih berdiri. Bahkan BMT Dana Mentari sdah membuka cabang di Pasar Kliwon Karanglewas dan Pasar Karangwangkal, Purwokerto.
Kini, 20 kantor BMT sudah tersebar di seluruh Purwokerto yang umumnya terdapat di pasar-pasar tradisional. Untuk menganalisis peran keduapuluh BMT tersebut pada tingkat kesejahteraan ekonomi para pedagang kecil, penulis menetapkan empat BMT sebagai sampel yang dianggap cocok karena pertimbangan usia kerja dan kedekatannya dengan masyarakat.

a.      BMT Dana Mentari Pusat Pasar Pon
Kantor pusat BMT Dana Mentari berada di Kios Pasar Pon No.12, Purwokerto. Pada 1 Oktober 1995, BMT Dana Mentari mulai berdiri di Purwokerto, yang sekaligus merupakan BMT pertama di kota Satria ini. BMT ini berdiri atas S.K. dari YBMM (Yayasan Baitul Mal Muhamadiyah) yang diizinkan oleh Bank Indonesia untuk mendirikan BMT. Modal awal BMT Dana Mentari adalah dua juta rupiah.
 Hingga kini, setelah berumur 15 tahun, BMT Dana Mentari telah memiliki aset sebesar 5,8 milyar hanya untuk kas kantor pusat saja di Pasar Pon saja. BMT Dana Mentari telah resmi berpayung hukum koperasi serba usaha sejak tahun 2007. Sejak itu, BMT bergerak untuk melayani simpanan maupun pinjaman dana dari masyarakat secara resmi.
Jumlah nasabah BMT Dana Mentari mencapai 4000 orang, yang 2000 diantaranya berprofesi sebagai pedagang. Dari 2000 orang tersebut, hanya seratus nasabah yang merupakan pedagang di Pasar Pon itu sendiri. Sedangkan untuk penerima pembiayaan berjumlah 550 orang, 250 diantaranya adalah pedagang. Untuk Pasar Pon sendiri, hanya 25 pedagang yang mendapatkan pembiayaan dari BMT Dana Mentari.

b.      BMT Dana Mentari Cabang Pasar Kliwon
BMT Dana Mentari Cabang Pasar Kliwon yang berlokasi di Jalan Singaperbangsa Kios Desa No. 5 Karanglewas, Purwokerto, berdiri pada taggal 15 oktober 2004. Sebagai cabang dari BMT Dana Mentari Pasar Pon, BMT ini menawarkan produk-produk jasa keuangan yang sama dengan BMT induknya. Hingga kini, BMT Dana Mentari cabang Pasar Kliwon memiliki aset sebesar 1,6 miliyar.
Nasabah BMT Dana Mentari cabang Pasar Kliwon saat ini berjumlah 1170 orang, di mana 700 diantaranya berprofesi sebagai pedagang. Untuk pedagang di Pasar Kliwon sendiri, pedagang yang menjadi nasabahnya berjumlah 100 orang. Pada pembiayaan, BMT Dana Mentari Cabang Pasar Kliwon telah menyalurkan kepada 427 orang, di mana 131 diantaranya adalah pedagang. Di Pasar Kliwon sendiri hanya sekitar 30 orang yang memanfaatkan keberadaan BMT tersebut untuk mendapatkan modal.

c.       BMT Khasanah
BMT Khasanah hadir sebagai salah satu BMT pertama di Purwokerto. Berdiri sejak tahun 1995, BMT Khasanah berlokasi di Jl. Riyanto No. 14 Kompleks Pasar Cerme, Purwokerto. BMT Khasanah telah resmi berpayung hukum koperasi dengan surat tahun 1995 dan mengunakan istilah KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) dalam operasinalnya.
Seperti BMT pada umumnya, BMT Khasanah juga menawarkan produk-produk perbankan syariah dalam skala mikro. BMT bahkan menerima permohonan pembiayaan hingga kisaran Rp.150.000,- dalam skala minimum. Nasabah yang menyimpan dana di sana hingga kini berjumlah 1300 orang, sedang penerima pembiayaan berjumlah 700 orang. Pada kasus BMT Khasanah ini, prospek penyejahteraan masyarakat kecil terlihat lebih baik, di mana ada 351 pedagang pasar yang telah mendapatkan pembiayaan dari BMT Khasanah Pasar Cermei.

d.      BMT El Mentari
BMT El Mentari yang berdiri tahun 2009, adalah salah satu BMT yang baru menjejaki tahap perkembangan di Purwokerto. BMT Ini berlokasi di Jl. Letjen. Pol. Sumato No. 45 Karang Jambu, Purwanegara-Purwokerto Utara. Lokasinya berseberangan langsung dengan Pasar Purwanegara.
Saat ini telah memiliki 321 nasabah dar seluruh produknya. Dari seluruhnya, hanya ada 20 orang yang berasal dari kalangan pedagang. Pada sektor pembiayaan, BMT El Mentari sudah menyalurkan modal kepada 94 nasabah. Dari semuanya, hanya 20 orang yang merupakan pedagang pasar.

3.  Analisis Peran BMT
Perkembangan empat BMT di atas dapat menggambarkan bagaimana BMTdi Purwokerto belum sepenuhnya memberikan kontribusi bagi ekonomi kerakyatan. Hanya sebagian kecil pedagang kecil yang mendapatkan pembiayaan dari BMT walaupun lembaga tersebut sudah melancarkan upaya jemput bola untuk merekrut nasabah. Untuk dicatat, keempat BMT di atas menerapkan strategi dengan mendatangi pasar-pasar, untuk kemudian menawarkan produk, melayani nsabah atau menarik angsuran dari pedagang yang sudah mendapatkan pembiayaan.
Ironisnya, gerakan aktif SDM BMT tersebut tidak sepenuhnya direspon dengan pemahaman yang baik oleh para pedagang. Sebagai bukti, dari wawancara yang dilakukan kepada para pedagang, tidak ada satupun dari mereka yang mengerti mengenai akad-akad keuangan yang diterapkan oleh BMT. Satu-satunya motivasi yang membuat mereka memilih BMT sebagai mitra mereka adalah kemudahan, di mana pengajuan pembiayaan di BMT tidak membutuhkan persyaratan yang rumit seperti yang ada di bank. Terlebih, BMT melayani simpanan maupun pinjaman dalam jumlah yang kecil hingga angka Rp. 100.000,-.
Selebihnya, para nasabah hanya mencari “gampangnya” dalam transaksi mereka. Hal ini dapat terlihat dari produk pembiayaan yang diambil. Di BMT El Mentari misalnya, di mana hanya 3 orang yang memilih untuk mengambil produk pembiayaan mudharabah, sedang yang lainnya memilih pembiayaan murabahah yang pembayaran angsuran bulanannya jelas karena sudah ditentukan di awal mark up-nya.
Dengan begitu jelas, bahwa perkembangan lembaga BMT yang luas di Indonesia belum mampu meloloskan misi utama ekonomi Islam untuk menyejahterakan masyarakat melalui ekonomi kerakyatan, apalagi membumikan ekonomi Islam di negeri ini. Kinerja BMT yang bahkan langsung menyentuh pasar tidak berjalan optimal.
Kendala yang sebenarnya terjadi adalah kesenjangan kesepahaman antara para praktisi BMT dengan masyarakat kecil. Konsep ekonomi Islam masih dianggap rumit oleh masyarakat kecil yang umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah. Ekonomi Islam belum meiliki penjelasan sederhana dari konsep-konsep bagi hasil, mark up dan instrumen lain yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat. Pandangan umum masih menganggap bahwa tidak ada bedanya antara konsep yang diterapkan oleh lembaga keuangan konvensional dan syariah.
Titik inilah yang seharusnya dirambah oleh praktisi ekonomi Islam, melalui BMT sebagai ujung tombaknya, mengingat kedekatannya dengan masyarakat kecil. Ada sebuah sumber daya yang harus dikembangkan, melalui sebuah sinergi dengan nilai-nilai yang awam dipegang teguh dalam kehidupan sosial masyarakat indonesia: budaya. Melaluinya, sinergi antara konsep ekonimi Islam dan budaya, akan menjadikan ekonomi Islam memiliki nilai holistik tersendiri dalam diri manusia, setidaknya di Indonesia.

B.       Pengembangan Integrator Resources di BMT
Dengan melihat fenomena sosial yang terjadi antara BMT dan masyarakat (kecil), penulis menggagas dua sumber daya yang dibutuhkan oleh BMT, yang nantinya dapat menyelaraskan kesepahaman yang holistik antara budaya dan ekonomi Islam melalui BMT. Teori funsionalisme dalam sosiologi akan berperan dalam pengembangan keduanya, mengingat asas ini berperan besar dalam perluasan dakwah Islam, khususnya di Indonesia.

1.         Sumber Daya Intelektual
Pendirian BMT didasari niat suci untuk membantu masyarakat kecil. Dari seluruh SDM BMT di Indonesia, 90 persen diataranya masih memiliki kadar pengetahuan ekonomi Islam dan manajemen BMT yang belum memadai.[14] Untuk itulah pengembangan sumber daya manusia menjadi tugas tersendiri untuk mengembangkan, bukan hanya lembaga BMT, namun meluaskan dakwah ekonomi Islam itu sendiri.
Melihat fakta tersebut, BMT perlu mengadakan kerjasama konstruktif perlu dijalin dengan institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Mengingat keluaran perguruan tinggilah yang dianggap siap kerja, setiap perguruan tinggi, khususnya di setiap fakultas ekonomi, perlu mengadakan studi tentang ekonomi Islam atau menempatkan mata kuliah khusus pendalaman seputar ekonomi Islam.
Absindo (Asosiasi BMT Seluruh Indonesia) juga perlu mendirikan institut khusus yang menggelar pendifikan bagi sumber daya manusia BMT. Yang ditekankan dalam pendidikan tersebut adalah kesederhanaan dalam sistem ekonomi Islam. Pada akhirnya, ekonomi Islam akan disebarkan BMT melalui sumber daya intelektual yang tepat, yang mampu menjelaskan sistem bagi hasil misalnya, dengan mudah dan jelas serta selaras dengan kesederhanaan pemikiran masyarakat awam (kecil).

2.         Sumber Daya Sosial Budaya  
Emile Durkheim merumuskan teori fungsionalisme sebagai sebuah ketergantungan timbal balik dari berbagai bagian yang berbeda daam sistem yang timbul sebagai akibat peningkatan jumlah masyarakat. Bahkan dia menganggap fakta tersebut (fungsionalisme) sebagai kajian utama dalam sosiologi.[15]  Teori ini mengedepankan aspek ketergantungan (makhluk sosial) dan integrasi dalam sebuah sistem sosial.
Agama pun masuk ke tengah masyarakat melalui asas ini. Diawali oleh kesadaran akan kebutuhan spiritual, sebuah komunitas manusia akan menyatakan kesadaran berketuhanan. Harus disadari, walaupun agama sudah ada sejak awal penciptaan manusia, Tauhid, sebuah relasi yang tidak bisa terbantahkan terjalin antara dakwah dan budaya, karena keduanya sama-sama merupakan wujud dari kesadaran psikososial masyarakat dalam kehidupannya sebagai manusia. Untuk diingat, agama pun mengaitkan tiga aspek penting dalam dakwahnya: kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian.
Peran sentral dalam hubungan antara agama dan budaya adalah keberadaan institusi-institusi sosial yang menjadi sandaran masyarakat. Pada kasus agama, peran itu dipegang oleh para pemuka agama. Keberadaan da’i, kyai, penceramah atau sebutan lainnya memiliki andil sebagai panutan yang mampu membawa sebuah nilai dalam masyarakat. Keberadaan mereka di tengah masyarakat, seperti sesepuh desa, pimpinan pondok pesantren, pemimpin agama di suatu daerah, dapat menyentuh dan membawa langsung nilai-nilai ekonomi Islam ke tengah masyarakat abangan, yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia.
Yang harus dilakukan oleh BMT adalah memberdayakan para pemimin agama ini. Peran yang dimanfaatkan adalah (1) peran motivator, bagaimana mereka mampu mendorong masyarakat terhadap perubahan yang bersifat membangun dan positif. Selain itu, (2) peran sebagai pembimbing moral dalam menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat juga dapat menjadi sumber daya yang patut diberdayakan. Dalam kenyataannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu membutuhkan landasan etis dan spiritual dari para pemuka agama ini.
(3) Peran sebagai mediator juga harus difungsikan dalam memayarakatkan ekonomi Islam. Dalam fungsi ini pemuka agama memposisikan diri sebagai penengah diantara beberapa pihak dalam masyarakat.[16] Melalui bahasa yang diterima oleh masyarakat umum, pemimpin agama dapat mensosialisasikan BMT dengan sistem transasksi keuangan syariahnya menjadi lebih mudah dan diterima oleh masyarakat.
Melalui fungsi-fungsi tersebut, kesenjangan kesepahaman antara ekonomi Islam dan sosiologi masyarakat akan teratasi. Melalui fungsi tersebut pula ulama akan menyadarkan masyarakat mengenai penerapan ekonomi Islam yang mampu menyejahterakan mereka. Dan dalam melakukan hal tersebut BMT harus menerapkan strategi dan pendekatan yang tepat.
Harus diketahui, tidak semua ulama memiliki kemampuan dalam menganalisa realita ekonomi dari sudut pandang Islam, bahkan ulama fikih sekalipun. Untuk itu, BMT perlu memberikan pelatihan khusus kepada ulama yang dianggap tepat untuk mendakwahkan keutamaan ekonomi Islam melalui sudut pandang hukum Islam itu sendiri. Melalui sebuah strategi yang tepat, pada akhirnya BMT akan mampu membumikan ekonomi Islam di Indonesia.

C.      Konstruksi Dialogisasi Psikobudaya-Ekonomi Islam
1.         Peran Institusi Masyarakat
Di tengah masyarakat Indonesia terdapat beberapa institusi yang berperan besar dalam alur perubahan kehidupan sosial dan agama. Institusi seperti lembaga pendidikan, pesantren dan pemerintah mampu memberikan stimulus tersendiri yang dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai bagian dari agama Islam, konsep ekonomi Islam pun dekat hubungannya dengan institusi-institusi tersebut.
Institusi tersebut pula yang memunculkan individu-individu berpengaruh (biasanya pemimpin institusi) yang mampu membawa fungsi sosial seperti disebut di atas, mulai dari MUI dalam taraf nasional hingga LP2A pada taraf desa. Para ulama di dalam institusi tersebut akan mengisi dakwah Islamnya dengan memasukkan konsep-konsep dan dasar hukum yang dianut ekonomi Islam, seperti pengharaman riba serta nilai keadilan dan kerja sama. Melalui mereka, konsep ekonomi Islam akan mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Untuk menyentuh pasar utama BMT (sektor riil), perlu terjalin kerja sama yang baik antara BMT sendiri dengan lembaga-lembaga tersebut. Setelah masyarakat memahami perbedaan prinsip ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, BMT harus meresponnya dengan aktif untuk terus mendorong masyarakat menerapkan ekonomi Islam dalam tataran praktis. Pada titik inilah, pengenalan produk-produk BMT yang menerapkan akad-akad keuangan yang sesuai dengan syariah dilaksanakan.
Sinergi tersebut tidak akan tercapai tanpa melalui strategi komuikasi yang tepat. Untuk itu, BMT perlu memfasilitasi mediasi yang dilaksanaan antara masyarakat dan ekonomi Islam, dengan ulama sebagai mediatornya.




2.             Strategi Mambangun Dialog Psikobudaya-Ekonomi Islam
Sebagai fasilitator, BMT harus mampu menjembatani hubungan  dialog tersebut. Strategi yang paling tepat untuk diterapkan adalah memanfaatkan aktifitas-aktifitas sosial kemasyarakatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat abangan seperti pengajian, tahlilan serta arisan. Melalui itu, BMT akan mampu bergerak optimal.

1.      Pengajian Ekonomi Islam
Menjadi hal yang wajib bagi kebanyakan kaum ibu dan beberapa kaum bapak di desa-desa untuk mengadakan pengajian secara rutin, baik mingguan atau paling tidak setiap bulan. Dalam pengajian tersebut, selain membaca puji-pujian dan tahlil, acara akan diisi ceramah oleh (biasanya) pemimpin majelis ta’lim tersebut. Melalui ceramah itu, konsep ekonomi Islam dapat mulai diperkenalkan, khususnya dari sudut pandang fikih.
Pada tahap inilah penceramah bisa membicarakan ekonomi Islam sebagai bentuk aktifitas ekonomi yang dihalalkan. Mengenai praktek bisnis yang dilakukan Nabi dan para sahabat barokah yang didapatkan dengan menerapkan konsep ekonomi yang adil, pahala bermusyarakah, hingga konsep bagi hasil yang lebih menguntungkan dari pada bunga. Konsep bunga yang selaras dengan riba juga dapat diceritakan keharamannya. Dengan begitu, masyarakat akan mulai mengerti akan fadhilah menjalankan prinsip ekonomi Islam yang sesungguhnya. Setelah itu, ulama tersebut bisa mulai mengajarkan konsep bagi hasil, nisbah, dan konsep perkongsian yang dipahami oleh Islam. 
Pemahaman itu kemudian disalurkan kepada pengenalan lembaga-lembaga keuangan syariah. Dengan berpegang bahwa kebanyakan masyarakat pedesaan berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah, BMT dapat diperkenalkan sebagai lembaga yang mampu membantu perekonomian masyarakat, namun tetap berpegang pada prinsip ekonomi yang berkeadilan.

2.      Arisan Ekonomi Islam
Salah satu aktifitas masyarakat yang harus diperhatikan dalam pengembangan integrator resources BMT adalah arisan, yang rutin pula digelar di tengah masyarakat desa, selain pengajian. Seperti biasa pula, acara ini senantiasa diisi siraman rohani dari salah satu ulama yang disegani di desa tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada aktifitas pengajian, pengisi siraman rohani harus mampu menjelaskan dasar-dasar hukum syariah dalam berbagai transaksi perekonomian.
Salah satu nilai plus dari kegiatan ini adalah konsep ekonomi yang dibangun, di mana setiap orang pasti mendapat giliran menerima hasil arisan melalui pengundian. Selain menjalin silaturahmi, arisan memiliki daya tarik sosial-ekonomi yang cukup mengundang partisipasi masyarakat.
Pada titik inilah BMT harus “menyusupkan” produk-produknya sebagai terapan dari konsep ekonomi Islam yang diceramahkan oleh ulama di desa yang bersangkutan. Dengan begitu teori hukum ekonomi yang masyarakat dapatkan dan telah mereka pahami dengan baik, karena dijelaskan dengan bahasa budaya, dapat mereka terapkan dalam tataran praktis yang tepat dan dekat dengan masyarakat: BMT.
Alur penerapan strategi tersebut tentu saja harus didukung oleh semua pihak yang terkait, dan mengemasnya dengan pemahaman mengenai keutamaan dan barokah ekonomi Islam yang sinergif diantara mereka. BMT, lembaga pendidikan, institusi keagamaan hingga pemerintah pusat maupun daerah harus mendukung keberadaan BMT yang menyentuh langsung masyarakat bertaraf ekonomi menengah ke bawah. Melalui strategi itu pula, ekonomi kerakyatan yang digaungkan oleh pemerintah, bukan sekedar impian dan harapan belaka.








BAB V
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Keberadaan BMT di Indonesia bertujuan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kecil, khususnya mereka yang bergerak di sektor riil seperti perdagangan dan home industry. Namun ternyata keberadaan dan perkembangannya tidak sepenuhnya menunjukkan keberhasilan sistem ekonomi Islam. Hal ini terliat dari otivasi para nasabah (simpanan maupun pinjaman) yang memilih BMT hanya karena kemudahan proses maupun akses yang tidak mereka umai di perbankan.
BMT sebenarnya dapat menjadi ujung tombak dalam merubah paradigma masyarakat terhadap ekonomi Islam, melalui nilai-nilai dan bahasa sederhana yang diterima oleh masyarakat luas: Budaya. Hal ini tentu saja mengingat keberadaan BMT yang dekat dengan masyarakat kecil.
Yang perlu dilakukan BMT adalah mendekati masyarakat melalui mediator sosial yang diterima secara luas, yaitu kiblat budaya masyarakat Indonesia: pendidikan, agama dan pemerintah. BMT dapat menmfasilitasi acara–acara kerakyatan sepertt pengajian dan arisan. Melalui itu, masyarakat akan mudah memahami ekonomi Islam dengan sederhana.

B.   Saran
Peran institusi-institusi masyarakat sangat dibutuhkan di sini. Pemerintah khususnya, harus mulai menilik ekonomi Islam sebagai jalur yang akan mengantarkan keberpihakkan terhadap ekonomi kerakyatan. Mengingat sejak dulu, konsep bunga (rente) yang selalu menyesakkan masyarakat kecil. Pemerintah dapat mendukung keberadaan BMT, melalui kebijakan atau perundang-undangan yang jelas misalnya. Tentu saja, itu jika misi “ekonomi kerakyatan” bukan sekedar untuk dielu-elukan.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, editor. 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Agus, Bustanuddin. 2007. Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei Sosiologi Agama. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada.

Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset.

Hamid, Arifin. 2006. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (persepektif Sosio Yuridis). Jakarta. eLSAS.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial, jakarta: P3M.

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.  

Rosyidin, Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Sudarsono, Heri. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.

Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widodo, Hertanto. 2000. PAS (Panduan Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional Baitul Mal wa Tamwil. Jakarta: Mizan.








[1] Dr. Taufik Abdullah, editor. 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal: VII-VIII.
[2] Prof. Dr. Bustanuddin Agus, M.A.. 2007. Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei Sosiologi Agama. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada.  Hal: 11.
[3] BMT Sudah Layani 3 Juta Nasabah. Laporan wartawan  KOMPAS, Eny Prihtiyani. www.kompas.com. Senin, 18 Oktober 2010.
[4] Hasil wawancara dengan beberapa pedagang di Pasar Kliwon, Karang Lewas, Purwokerto Barat.
[5]  Dadang Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 24-30
[6] Arifin Hamid. 2006. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (persepektif Sosio Yuridis). Jakarta. eLSAS. Hal:VI.
[7] ibid
[8] Hertanto Widodo. 2000. PAS (Panduan Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional Baitul Mal wa Tamwil. Jakarta: Mizan. Hal: 81.
[9] Heri Sudarsono. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia. Hal: 123.
[10] Dadang Kahmad, 2000, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hal. 55 dan 56
[11] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 136
[12] Ibid. Hal. 193
[13] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Hal. 245.  
[14] Andi Estetiono, Rintis SDM BMT Se-Indonesia (Absindo). Koran Republika, Kamis, 03 Agustus 2006
[15] Lihat dalam Dadang Kahmad. 2000. Hal: 57
[16] Wolf, dikutip dalam HirokoHorikoshi, 1987, Kyai dan Perubahan Sosial, jakarta: P3M, Hal. 5