DIALOGISASI
EKONOMI ISLAM-PSIKOBUDAYA: UPAYA OPTIMALISASI PERAN INTEGRATOR RESOURCES
BERBASIS BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) DI INDONESIA (STUDI KASUS BMT DI
PASAR-PASAR TRADISIONAL PURWOKERTO)
Juara Harapan 1 Lomba Karya Tulis
Ilmiah Tingkat Nasional di UNNES Semarang
Oleh:
Angga Aryo Wiwaha 082323005
Siti Nur Azizah 082323038
Titik Yayuk Wijayanti 082323043
Diajukan
untuk mengikuti Lomba
Karya Tulis Ekonomi Syariah (LKTES)
3rd Sharia Economic Moment
(SECMENT 3rd)
KSEI Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Semarang
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2010
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menganugerahkan budaya kepada
manusia untuk saling mengenal antara satu sama lain. Shalawat beriring salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Akhir Zaman, Muhammad SAW yang membawa
manusia menuju budaya mulia dengan segala keluhuran dan kearifannya.
Karya
tulis ini berjudul Dialogisasi Ekonomi Islam-Psikobudaya: Upaya Optimalisasi
Peran Integrator Resources Berbasis Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
Di Indonesia (Studi Kasus BMT di Pasar-Pasar Tradisional Purwokerto), yang memuat fakta mengenai hubungan antara BMT
dan masyarakat.
Penulisan
karya tulis ini melewati observasi mengenai realita eksistensi dan perkembangan
BMT di Purwokerto, dan dilengkapi data dari empat BMT yang berlokasi di
pasar-pasar tradisional Purwokerto sebagai sampel. Dari metode tersebut penulis
dapat menyimpulkan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia BMT belum sepenuhnya
menunjang perkembangan BMT, khususnya dalam membumikan ekonomi Islam dan menyejahterakan
masyarakat kecil.
Harapan
penulis, semoga karya tulis ini dapat memberikan kontribusi dalam khazanah
pendidikan Indosesia, serta menjadi acuan dalam upaya optimalisasi peran
ekonomi Islam dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Lembar pengesahan........................................................................................ ii
Kata Pengantar................................................................................................ iii
Daftar Isi........................................................................................................ iv
Ringkasan....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 6
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 6
D.
Manfaat Penulisan ............................................................... 7
E.
Sistematika Penulisan ........................................................... 7
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA ............................................................ 8
BAB III METODE
PENULISAN
A.
Objek Penelitian ................................................................... 11
B.
Metode Pengumpulan Data .................................................. 11
C.
Metode Analisis Data............................................................ 12
BAB IV PEMBAHASAN
A.
BMT dan Perannya dalam Ekonomi Kerakyatan ................. 14
B.
Pengembangan Integrator Resources di BMT ...................... 19
C.
Konstruksi Dialogisasi Psikobudaya-Ekonomi Islam............. 22
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................... 25
B.
Saran .................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26
RINGKASAN
Dunia perekonomian Islam di
Indonesia muncul dari adanya interaksi pemikiran yang kontradiktif antara
konsep ekonomi konvensional berbasis bunga dengan konsep ekonomi Islam yang
mengaharamkan bunga sebagai bentuk riba. Permasalahan yang muncul adalah
ketika masyarakat sudah terlalu terbiasa dengan paradigma bahwa pinjaman sama
dengan bunga. Bahkan paradigma itu menjadi sebuah keikhlasan umum tanpa mereka
merasa terzhalimi sedikitpun.
Ekonomi Islam muncul sebagai
solusi dari “penganiayaan” kapitalisme tersebut (bunga). Problematika terbesar
yang dihadapi ekonomi Islam kemudian adalah tembok paradigma yang telah begitu
mengakar itu, yang menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dan konvensional. Pada titik inilah lembaga Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) hadir sebagai lembaga keuangan syariah yang terdekat dengan masyarakat
kecil, untuk mampu mengentaskan kesenjangan kesepahaman antara masyarakat dan
ekonomi Islam.
Untuk mewujudkannya, harus selalu
diingat bahwa nilai-nilai dalam masyarakat terbentuk melalui perjalanan sejarah
sosial yang panjang. Agama Islam sendiri berkembang di Indonesia, melalui para
wali, dengna menerapkan strategi menyusup melalui nilai kebudayaan yang
dijunjung tinggi sehingga ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat
Indonesia. Bahkan pada perkembangannya, agama Islam justru berbalik menjadi
sebuah nilai tersendiri yang dianut dan dijadikan sandaran oleh masyarakat,
khususnya melalui institusi-institusi masyarakat tertentu.
Asas fungsionalisme berperan
besar dalam menyatukan nilai-nilai yang berbeda dari berbagai macam pola dalam
masyarakat. Sebagai bagian dari ajaran Islam, seharusnya sistem ekonomi Islam
juga dapat disyi’arkan melalui jalur yang sama: budaya. Strategi terbaik untuk
mewujudkannya adalah dengan membangun hubungan konstruktif antara BMT sebagai
lembaga keuangan syariah yang terdekat dengan masyarakat, dengan institusi
sosial yang menjadi panutan masyarakat. Dengan kata lain, BMT bukan hanya
bertugas membina sumber daya manusianya, tapi juga mengembangkan sebuah integrator
resources yang efektif.
Secara bertahap, BMT harus
mengembangkan sumber daya internalnya melalui pembinaan karyawan untuk dapat
menjelaskan perbedaan sistem ekonomi Islam yang berbeda dengan anggapan
masyarakat selama ini: sama dengan sistem ekonomi konvensional. Tahap
selanjutnya, barulah BMT bersinergi dengan pihak eksternal, dalam hal ini
institusi sosial yang diterima masyarakat, untuk menjadi mediator kesepahaman
antara masyarakat dan ekonomi Islam. Salah satu strategi terapan yang dapat
diterapkan adalah dengan mengadakan arisan ekonomi Islam.
Pada akhirnya, diharapkan
sinergitas yang terjadi antara BMT, budaya soaial dan institusi sosial
kemasyarakatan melalui kegiatan-kegiatan rutin masyarakat akan mampu membumikan
ekonomi Islam secara holistik dan lebih dekat dengan masyarakat, bukan sekedar
secara perhitungan ekonomis, naum juga tertanam secara emosional dan membangun
semangat kultural tersendiri.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Baitul Mal wa
Tamwil (BMT) memiliki korelasi yang erat dengan konstruksi sosial-budaya
kehidupan masyarakat Indonesia. Pangsanya yang mengutamakan rakyat kecil adalah
kunci kedekatan BMT dengan mayoritas rakyat Indonesia. Dengan begitu, BMT dapat
menjadi pionir utama dalam misi membumikan ekonomi Islam di negeri ini. Hal itu
dapat lugas tergambarkan jika kita menilik sejarah terbangunnya psiko-sosial
dan budaya masyarakat Indonesia sendiri.
Untuk diingat,
segala bentuk budaya yang dianut dalam suatu masyarakat, tercipta melalui
sebuah perjalanan sejarah sosial yang terjadi dalam masyarakat yang
bersangkutan. Kehidupan sosial tersebut, merupakan dampak lanjut dari interaksi
yang terjadi antar individu, di mana setiap orang membutuhkan keberadaan orang
lain bukan sekedar untuk menunjang hidupnya, namun juga untuk mengokohkan
eksistensinya sebagai manusia. Hal itulah yang kemudian menjadikan setiap
negeri diwakili oleh kultur budaya yang berbeda, karena dia merupakan refleksi
dari bagaimana setiap individu menanggapi keadaan di sekitarnya. Fakta sosial,
definisi sosial dan perilaku sosial itulah yang kemudian menjadi sebuah budaya
ketika terkonvensi dalam jangka yang luas.
Begitupun Islam
sebagai agama yang senantiasa muwafiq di setiap ruang dan waktu. Syariat
yang Allah turunkan kepada setiap nabinya adalah refleksi dari kebutuhan
masyarakat dan budaya masyarakat pada saat itu akan seorang utusan Tuhan. Mari
mengingat mukjizat Nabi Musa yang merubah tongkat menjadi ular untuk
mengalahkan penyihir Fir’aun. Atau mukjizat menyembuhkan segala penyakit milik
Nabi Isa di zaman yang banyak tabib, hingga mukjizat Al-Qur’an yang menohok
logika masyarakat jahiliyah penyembah berhala di zaman Nabi Muhammad SAW. Budaya masyarakatlah yang kemudian
menggerakkan fleksibilitas koridor agama dalam penerapannya. Walaupun sama-sama
Islam, akan berbeda bagaimana bentuk Islam di Arab, Afrika dan Indonesia.
Pada relasinya,
pola itu berbalik. Budaya yang tadinya mempengaruhi warna dan bentuk agama
Islam di Indonesia, kemudian justru mampu memberi efek dalam perubahan sosial
masyarakat. Agama memiliki pranata dan lembaga yang memungkinkan ajarannya
lebih langsung dapat ditangkap oleh individu-individu pengikutnya dan lebih
mungkin terpantul dalam pengaturan hubungan dan perilaku sosial.[1]
Namun begitu,
harus selalu dibedakan antara Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai fenomena.
Sebagai ajaran, Islam ditinjau dari dimensi keyakinan (akidah), dimensi hukum
(syariah), dan dimensi rohaniah atau spiritual (tasawuf, mistisisme).[2]
Sebagai fenomena kehidupan, Islam dipandang dari sudut perannya yang signifikan
terhadap perubahan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam hal akidah dan
syariat itu sendiri, yang kemudian berbaur dengan budaya masyarakat.
Di Indonesia
misalnya, ajaran Islam datang dari budaya perdagangan di Selat Malaka, hingga
kemudian melahirkan kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera Pasai. Islam
kemudian berhasil melebur dengan budaya masyarakat dan menjadi agama mayoritas
di Indonesia, sebagaimana dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Dapat disimpulkan,
perkembangan budaya (termasuk agama) masyarakat selalu menjadi jalinan tidak
terlepas dengan psiko-sosial masyarakatnya.
Dari apa yang
terjadi pada hubungan muamalah dalam masyarakat itulah, ekonomi muncul sebagai
sebuah kebutuhan yang telah ada sejak awal pertama keberadaan manusia di bumi.
Hal itu pula yang menjadikan ekonomi menjadi sebuah bangunan budaya tersendiri,
yang kemudian berdampak kepada tatanan masyarakat, mulai dari yang paling
primitif hingga yang paling modern. Sistem ekonomi Islam adalah salah satunya.
Sebagaimana
sejak awal perkembangan dakwah agamanya, nilai Islam sudah di bangun di atas
fondasi tauhid, nubuwwah, dan ‘adalah. Prioritas utama dari
segala yang di syariatkan di dalam al Qur’an dan Sunnah senantiasa berujung
kepada terciptanya kemashlahatan di dalam kehidupan manusia. Dengan prinsip
keadilan sosial tersebut, sudah seharusnya sistem ekonomi Islam mampu menjadi
pegangan masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomian.
Walaupun
sebenarnya telah terkonsep dalam perjalanan sejarah Islam, dalam konteks masyarakat
Indonesia, sistem ekonomi Islam justru muncul dari interaksi idealisme (gozwatul
fikr) yang mempertemukan konsep kapitalis dalam sistem perekonomian, dengan
pemikiran tentang keharaman riba yang terkandung dalam instrumen bunga yang
diterapkan. Harus selalu diingat, riba merupakan salah satu instrumen dalam
transaksi ekonomi yang diharamkan menurut Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga dapat
dijelaskan, bahwa sistem ekonomi Islam merupakan jawaban dari polemik seputar
bunga dan riba yang dianut oleh sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi Islam juga diyakini mampu
mengatasi problematika sosial ekonomi, mengingat sistem ekonomi Islam
mengutamakan lahan gerak di sektor riil. Dengan begitu, industri-industri mikro
yang umumnya dijalankan oleh masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah
pun (seharusnya) menjadi sasaran pasar utama. Secara kasat dapat terlihat bahwa
tujuan kemaslahatan dan kesejahteraan yang berlandaskan konstruksi ekonomi kerakyatan dapat terwujud melalui
sistem ekonomi Rabbani ini.
Di Indonesia,
peran sentral perkembangan sistem ekonomi Islam diprakarsai oleh
lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti
Bank, BPRS, BMT, pegadaian, hingga asuransi dan lembaga-lembaga lain
yang berlandaskan prinsip syari’ah menjamur di tengah masyarakat. Hal yang
perlu dicermati adalah, apakah keberadaan lembaga-lembaga keuangan berbasis
syari’ah ini merupakan wujud dari kepedulian para penggiat ekonomi di Indonesia
untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan, atau sekedar mengikuti selera
pasar demi profitabilitas yang lebih baik.
Di Indonesia,
lembaga Baitul Mal wa Tamwil berdiri sebagai lembaga keuangan mikro yang
bergerak di tataran masyarakat menengah ke bawah. Dengan beroperasi berdasarkan
prinsip syariah Islam, BMT menawarkan produk-produk jasa perbankan syariah,
yaitu dengan menjauhkan unsur riba.
Karena bergerak
di tatanan mikro, Lembaga Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dapat menjadi cerminan sekaligus tolok ukur mengenai seberapa besar peran
ekonomi Islam dalam membangun perekonomian masyarakat, khususnya bagi mereka
yang terbatas dalam ruang gerak ekonomi yang sempit, pedagang kecil misalnya.
Pada masyarakat kecil inilah sasaran ekonomi Islam untuk menggerakkan sektor
riil akan diwujudkan.
Ketua Umum BMT
Center, Jularso, menyebutkan bahwa pertumbuhan LKMS dari tahun ke tahun terus
meningkat. Secara kelembagaan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT.
Mereka mengelola aset sekitar Rp 3 triliun rupiah. LKMS/BMT itu umumnya
berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau koperasi simpan pinjam
syariah (KSP).[3]
Pertumbuhan tersebut sebenarnya lebih kepada jumlah masyarakat tingkat ekonomi
menengah ke bawah yang membutuhkan pembiayaan dalam jumlah kecil. Motivasi
tersebut dapat dilayani BMT ka rena di bank, masyarakat belum tentu selalu bisa
menerima pinjaman dalam kisaran ratusan ribu rupiah.
Di Purwokerto,
terdapat sekitar 20 badan BMT yang kebanyakan berdiri di pasar-pasar
tradisional yang memang tersebar di kota tersebut. Sasarannya jelas, para
pedagang yang mengharapkan pinjaman dalam jumlah ratusan ribu sampai tiga
jutaan rupiah. Motivasi tersebut menjadi alasan utama mereka pergi ke BMT yang
lebih merupakan koperasi simpan pinjam biasa bagi mereka.[4]
Yang lebih ironis, beberapa dari mereka tidak mengetahui apa itu BMT.
Kebanyakan dari mereka pun lebih memilih untuk tidak memikirkan apa itu akad mudharabah,
murabahah, atau ijarah, dan lebih meilih mudah dalam meminjam dana
di BMT.
Keberadaan BMT
di pasar-pasar tersebut pun belum sepenuhnya dapat memberikan kontribusi yang
berarti dalam menumbuhkembangkan perekonomian pedagang kecil di pasar-pasar
tradisional di Purwokerto. BMT Dana Mentari di Pasar Kliwon misalnya, di mana
hanya 131 pedagang dari 427 orang yang mendapat pembiayaan dari BMT tersebut.
Itupun masih merupakan angka yang tersebar di seluruh Purwokerto, bukan hanya
di Pasar Kliwon.
Hal ini cukup
ironis, ketika mengingat apa yang dicita-citakan untuk menjadikan ekonomi Islam
sebagai penyejahtera masyarakat, melalui sebuah sistem ekonomi, khususnya bagi
mereka yang bergerak di sektor riil belum sepenuhnya terwujud. Pengembangan BMT
pun menjadi suatu hal yang prioritas untuk dikedepankan. Dan tantangan tersebut
akan dijawab oleh sebuah pengembangan sumber daya penengah antara ideologi
masyarakat dan ekonomi Islam itu sendiri.
Mari kembali mengingat akar kelahiran
pemikiran mengenai ekonomi Islam di Indonesia yang terbangun melalui idealisme
keIslaman. Kesenjangan yang terjadi antar BMT dan pasar utamanya, yang dalam
hal ini adalah pedagang kecil, muncul dari sebuah keawaman masyarakat tentang
sistem ekonomi Islam. Banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa tidak ada
perbedaan kontras antara ekonomi Islam dan konvensional, kecuali nama yang
lebih berbau syariah. Harus disadari, ketidaktahuan tersebut sebenarnya muncul
dari ketidakharmonisan interaksi antara lembaga keuangan syariah dengan
masyarakat awam.
Pada titik inilah, bangunan sistem ekonomi
Islam membutuhkan sumber daya yang relevan, bukan hanya manusia, melainkan
suatu integrator resoursces (sumber daya pemersatu) yang mampu mensinergikan
antara realita sosial-budaya masyarakat Indonesia dan pemahaman mengenai
ekonomi Islam. Hal ini jelas, karena sejak awal tumbuh kembang agama Islam di
negeri ini, sebagaimana disebut di atas, budaya telah berperan besar dalam
kinerja dakwahnya.
Fakta tersebut
berpeluang menjadi instrumen utama dalam membumikan ekonomi Islam. Dengan
menjadikan BMT, lembaga keuangan mikro yang dekat dengan masyarakat kecil,
sebagai pionirnya, ekonomi Islam akan menjadi sandaran dan panutan masyarakat
Indonesia sebagaimana yang terjadi pada agama Islam di negeri ini pada masa
dulu.
Dengan
mensinergikan antara kiblat budaya Islam di Indonesia, seperti
institusi-institusi yang dekat dengan masyarakat dengan idealisme ekonomi
Islam, maka tatanan ekonomi yang berkeadilan itu akan membumi di negeri ini.
Bukan hal yang tidak mungkin, slogan ekonomi kerakyatan yang digaungkan oleh
pemerintah akan terwujud melalui ekonomi Islam dengan memanfaatkan jalur
psikososial-budaya ini. Dan akhirnya, membumikan ekonomi Islam bukan hanya jadi
impian.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang pemikiran tersebut, penulis akan membahas berbagai aspek
tentang:
1.
Sejauh apa manfaat BMT bagi pengembangan
masyarakat melalui ekonomi Islam?
2.
Sumber daya seperti apa yang dibutuhkan
dalam pengembangan masyarakat melalui BMT?
3.
Bagaimana konstruksi dialogisasi antara
budaya dan ekonomi Islam?
C. Tujuan
Penulisan
Penulisan karya
tulis ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1. Untuk
mengetahui sejauh mana manfaat BMT bagi pengembangan masyarakat melalui ekonomi
Islam.
2. Untuk
mengetahui sumber daya seperti apakah yang sebenarnya dibutuhkan dalam
pengembangan masyarakat melalui BMT.
3. Menyuguhkan
strategi konstruksi dialogisasi antar budaya dan ekonomi antara budaya dan
ekonomi Islam.
D. Manfaat
Penulisan
1. Memberikan
kontribusi pemikiran, khususnya seputar ekonomi Islam dan memperluas khazanah
keilmuan.
2. Memberikan
wacana tambahan bagi penulis khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang BMT
dan pengembangannya.
3. Mengetahui
dialogisasi antar budaya dan ekonomi Islam sebagai bentuk pemberdayaan sumber
daya yang dibutuhkan BMT.
E. Sistematika
Penulisan
Untuk
mempermudah pembahasan, maka penulis membagi pokok pembahasan ke dalam lima bab
secara sistematis, yang meliputi:
Bab I:
Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan mengenai pengaruh sosial
BMT, di Purwokerto khususnya, dalam menyejaterakan masyarakat awam yang
diwakili pedagang di pasar-pasar tradisional. Bab ini juga membahas beberapa
keterkaitan antara budaya dan agama yang dapat menjadi sumber daya penyatu
antara masyarakat dan ekonomi Islam.
Bab II: Tinjauan
Pustaka yang mengulas rujukan-rujukan pustaka mengenai BMT, sumber daya
manusia, sosiologi agama di Indonesia, serta beberapa tulisan mengenai efek
agama terhadap perubahan sosial melalui kiblat budaya keagamaan masyarakat.
Bab III: Metode
Penulisan yang mencakup bagaimana langkah-langkah penulis menerapkan
penelitiannya melalui observasi, pengumpulan, hingga metode analisis data untuk
menyimpulkan sederetan fakta, untuk kemudian menyusunnya menuju pemecahan
masalah.
Bab IV:
Pembahasan mengenai bagaimana mengoptimalkan integrator resoureces BMT
di tengah masyarakat, dengan mensinergikan peran BMT dengan kiblat-kiblat
budaya agama Islam di Indonesia, serta strategi terapan yang akan mewujudkan
ekonomi Islam menjadi dekat dengan masyarakat Islam melalui lembaga BMT.
Bab V : Penutup yang
mencakup kesimpulan dan saran penulis.
BAB
II
TELAAH
PUSTAKA
Dalam penelitian
ini, beberapa literatur pustaka menjadi rujukan untuk mendasari beberapa dasar
pijakan berpikir. Seperti yang menyangkut hubungan masyarakat dan agama. Semua
agama, termasuk Islam, tersusun melalui tingkat peradaban sebuah bangsa. Telah
banyak asumsi yang muncul dari pertanyaan seputar asal-usul agama. Enam teori
paling populer dan mendasar dalam sejarah tumbuh kembang agama, sebagaimana
yang diungkapkan Dadang Kahmad, adalah teori jiwa, teori batas akal, teori
krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa, teori sentimen
kemasyarakatan, teori wahyu Tuhan.[5]
Islam memang diturunkan melalui wahyu Allah (agama samawi), namun pada
perkembangannya lima teori yang lain banyak mempengaruhi perkembangan perluasan
dakwahnya. Khusus di Indonesia, teori sentimen kemasyarakatan memiliki relasi
yang kuat setelah sebelumnya agama Islam mampu menciptakan keterikatan yang
kuat bernama nasionalisme melalui perjuangan para kiai dan santri di masa awal
perkembangan Islam.
Ekonomi Islam
sendiri merupakan salah satu media perluasan dakwah Islam. Hal tersebut tampak
dari realitas perkembangan ekonomi Islam bangsa ini menujukkan kecenderungan
positif, terlihat dari salah satu keberhasilan pendekatan yang digunakan secara
humanistik (insaniyah), yang
tidak hanya mementingkan hasil yang akan dicapai. Akan tetapi juga yang
terpenting adalah bagaimana prosesnya yang menempatkan manusia dalam posisi
bagaimanapun tetap menjadi subjek ekonomi yang tidak boleh dizhalimi, apalagi
dieksploitasi seperti yang marak saat ini. [6]
Realitas
perkembangan ekonomi bangsa ini memperlihatkan kecenderungan positif dalam menanggapi
sistem ekonomi syariah. Hal tersebut terlihat dari antusiasme yang tinggi dari
institusi-institusi ekonomi yang berkembang dewasa ini untuk menangkap peluang
tersebut dengan membuka divisi-divisi syariah di sampingnya, terlebih dengan
didukung oleh Bank Indonesia secara langsung untuk memicu perkembangan bank
syariah, melalui program office chanelling bagi seluruh bank
konvensional yang belum membuka divisi tersebut atau, membuka sentra-sentra
ekonomi berbasis syariah dengan prinsip keadilan.[7]
Seperti halnya Baitul Maal wa Tamwil.
Hartono Widodo
dkk dalam bukunya yang berjudul Panduan Praktis Operasional Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) menjelaskan karakteristik BMT sebagai lembaga keuangan
adalah kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba (sosial), sumber dana
yang diperoleh dari zakat, infak dan shadaqah, sumber lain yang halal. Kemudian
dana tersebut disalurkan kepada mustahiq (yang berhak), atau untuk kebaikan.
Baitul Tamwil juga adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun
dana yang diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan
dalam bentuk pembiayaan atau investasi yang dijalankan berdasarkan prinsip
syariah.[8]
Masih mengenai
BMT, menurut Heri Sudarsono dalam Bank dan Lembaga Keuangan Syariah-nya,
BMT lebih mengarah kepada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non
pasif seperti: zakat, infak dan shadaqah yang mana sebagai lembaga pendukung
kegiatan ekonomi masyarakat kecil yang berlandaskan syariah.[9]
Untuk itulah,
BMT membutuhkan sumber daya yang relevan dengan perkembangannya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Pengantar Teori
Pengembangan Sumber Daya Manusia, bahwa sumber daya manusia berkaitan
orang-orang yang siap, berkeinginan dan mampu memberikan kontribusi demi keberhasilan
organisasinya.
Penulis
menganalisis sebuah pola sosial yang terjadi di tengah masyarakat adalah pola
fungsionalisme dalam sosiologi, sebagaimana yang dianalisis oleh Kinsley Davis
berupa peranan (atau fungsi) yang dijalankan oleh sebuah institusi atau
perilaku tertentu dalam masyarakat serta cara-cara peranan itu, berkaitan
dengan gejala sosial lainnya. Dalam menganalisis sistem sosial fungsionalisme
lebih menekankan tiga unsur penting, yaitu (1) hubungan-hubungan umum dari
berbagai sistem; (2) situasi normal atau situasi keseimbangan, sejajar dengan
kondisi normal atau sehat dalam tubuh manusia; (3) cara semua bagian dari
sistem melakukan reorganisasi akan membawa kembali sistem pada situasi normal.[10]
Pada kasus sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia, budaya menjadi
konstruksi dan nilai absolut yang diterima masyarakat, sehingga para pendakwah
Islam awal meanfaatkan nilai-nilai tersebut untuk memasyarakatkan Islam
(fungsionalisme).
Berdasarkan
hal-hal tersebut, penulis melihat apa yang terjadi pada fakta dan paradigma
ekonomi Islam di Indonesia sangat terkait dengan nilai sosial yang dianut masyarakat. Dalam misi
membumikan ekonomi Islam di Indonesia, pola dakwah yang dilakukan oleh para
wali di masa dakwah Islam dapat diterapkan. Sebagai lembaga keuangan yang
terdekat dengan masyarakat, BMT-lah yang akan menggerakkan integrator
resources antara masyarakat dan ekonomi Islam.
.
BAB III
METODE PENULISAN
Dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data,
seperti penulisan hasil penelitian:
A. Objek
Penelitian
Penulis meneliti
berbagai fakta mengenai perkembangan BMT di Purwokerto, Kabupaten Banyumas,
khususnya kontribusinya bagi para pedagang kecil di Purwokerto. Sebagai sampel,
penulis meneliti perkembangan empat BMT yang berpusat di pasar-pasar
tradisional Purwokerto, yaitu BMT El-Mentari, Pasar Purwanegara; BMT Dana
Mandiri Pasar Pon dan Cabang Pasar Kliwon, serta BMT Khasanah-LPPSLH, Pasar
Wage. Penulis juga meneliti fakta mengenai tanggapan pedagang di pasar-pasar tersebut seputar keberadaan
BMT.
B. Metode
Pengumpulan data
Untuk memperoleh
data akurat, penulis menggunakan beberapa metode dengan mempertimbangkan
beberapa kelebihan dan kekurangan setiap metode:
1.
Metode Observasi
Metode observasi adalah
pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[11]
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kondisi masyarakat dan
perkembangan BMT di Purwokerto, dengan mengadakan pengamatan di tengah
masyarakat, dengan setiap BMT yang telah disebutkan di atas sebagai sampel
secara langsung untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan kondisi BMT
maupun antusias masyarakat di sekitarnya.
2.
Metode Interview
Metode interview
adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan
secara sistematik dan berlandaskan dengan tujuan penyelidikan.[12]
Dalam penggunaan metode penulisan ini, penulis mengguankan sistem opened and
controlled yaitu interview yang bebas tetapi terkontrol. Dengan kata lain,
interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview
kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan
sistem ini agar dalam wawancara lebih mudah dan komunikatif. Tetapi dalam
pembicaraan mengena sasarannya karena ada kontrol sehingga data-data yang
diperoleh akan terjamin validitasnya.
Metode ini
penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang seberapa penting peran BMT untuk
membantu perekonomian masyarakat dan seberapa jauh pemahaman dan antusiasisme
masyarakat terhadap BMT itu sendiri.
3.
Metode Analisis Data
Agar data yang
diperoleh bukan merupakan informasi yang mentah dan pembaca mudah
menginterpretasikan terhadap data yang telah diolah, maka diperlukan analisis
data sebagai kelanjutan untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam hal ini, penulis
menggunakan metode analisis kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh.
Penulis
menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis
data-data yang bersifat kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau
kalimat dipisah-pisah menurut katagori untuk memperoleh kesimpulan.[13]
Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan,
keterangan yang bukan berupa angka.
Melalui
pengumpulan dan analisis data-data tersebut, penulis menyimpulkan pemecahan
permasalahan mengenai lembaga BMT yang belum sepenuhnya menyejahterakan
perekonomian masyarakat kecil, serta membumikan ekonomi Islam di tengah
masyarakat. Dengan mengembalikan pola yang terjadi pada saat agama Islam mampu
menciptakan sebuah perubahan sosial masyarakat Indonesia, Ekonomi Islam juga
akan membumi di Indonesia dengan memanfaatkan integrator resources yang
relevan dengan budaya sosial masyarakat, dengan Baitul Mal wa Tamwil sebagai
pionirnya.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A. BMT
dan Perannya dalam Ekonomi Kerakyatan.
1.
BMT di Indonesia
Dengan melihat
250 juta jiwa masyarakat Indonesia yang kebanyakan hidup di tataran tingkat
ekonomi menengah ke bawah, BMT merupakan lembaga yang mampu menjadi solusi pengentasan
kemiskinan di Indonesia yang tergolong akut.
Sejarah BMT ada
di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman
yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha
kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang
secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK). Seperti telah disebutkan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT,
dengan aset yang dikelola sekitar Rp 3 triliun rupiah.
Dalam
kinerja operasionalnya, BMT di Indonesia sama dengan fungsi utama operasional
bank syariah yang mencakup penghimpunan dana dari masyarakat (funding)
dan penyaluran dana (fibnancing) sebagai bentuk usaha BMT itu sendiri.
Sistem yang digunakan tentu saja merupakan sistem yang berlandaskan syariah
Islam. Akad-akad yang diterapkan dalam perbankan syariah juga diterapkan di
BMT, seperti mudharabah, murabahah, wadia’ah hingga qardhul hasan, baik
dalam konteks penghimpunan maupun penyaluran dana dari dan kepada masyarakat.
Walaupun
sama-sama merupakan lembaga keuangan syariah, serta memiliki sistem dan
mekanisme kerja yang relatif sama, pada tataran hukum, BMT belum bisa
disejajarkan dengan bank syariah. Perbankan syariah telah memperoleh landasan
yuridis berdasarkan Undang Undang
Perbankan. Pertama kali berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan
kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Legalitas
keberadaan BMT dianggap sah karena tetap berasaskan Pancasila, UUD 1945 dan
prinsip syariah Islam. Pada sudut pandang lembaga sosial, BMT memiliki kesamaan
fungsi dengan Lembaga Amil Zakat. BMT dituntut untuk daapat menjadi LAZ yang
mapan dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf dari mustahiq
kepada golongan yang paling berhak sesuai ketentuan syariah dan UU No. 38 tahun
1999 tentang pengelolaan zakat.
Sebagai lembaga
bisnis, kegiatan usaha BMT secara yuridis tampak
berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
perbankan. Menurut pasal 16 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 tahun 1998,
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat
dilakukan oleh Bank Umum atau BPR, kecuali apabila kegiatan itu diatur dengan
undang-undang tersendiri. Sebagaimana juga yang tercantum dalam pasal 46 UU
tersebut, BMT seharusnya mendapatkan sanksi karena menjalankan usaha perbankan
tanpa izin usaha. Namun di sisi lain, keberadaan BMT di Indonesia justru
mendapatkan dukungan dari pemerintah, dengan diluncurkan sebagai Gerakan
Nasional pada tahu 1994 oleh Presiden.
Untuk
mengatasi krisis hukum tersebut, maka dalam prakteknya sebagian BMT mengambil
bentuk badan usaha koperasi dan sebagian lain belum memiliki badan usaha yang
jelas atau masih bersifat pra-koperasi.
Koperasi sendiri merupakan bentuk badan usaha yang relatif lebih dekat
untuk BMT, tetapi menurut Undang Undang Perkoperasian kegiatan menghimpun dana
simpanan terbatas hanya dari para anggotanya (Pasal 44 UU. No. 25/ 1992). Salah
satu nama yang berkembang kemudian adalah lembaga KJSK (Koperasi Jasa Keuangan
Syariah) yang berstatus hukum koperasi.
2.
BMT di Purwokerto
Geliat
perkembangan BMT di Purwokerto dimulai pada tahun 1995, di mana tiga BMT
berdiri di Ibukota Kabupaten banyumas tersebut. Tiga BMT tersebut adalah BMT
Dana Mentari di Pasar Pon, BMT Khasanah di Pasar Wage, serta BMT Sabilul
Muttaqin. Dalam perkembangannya, sekarang hanya BMT Dana Mentari dan BMT
Khasanah yang masih berdiri. Bahkan BMT Dana Mentari sdah membuka cabang di
Pasar Kliwon Karanglewas dan Pasar Karangwangkal, Purwokerto.
Kini, 20 kantor
BMT sudah tersebar di seluruh Purwokerto yang umumnya terdapat di pasar-pasar
tradisional. Untuk menganalisis peran keduapuluh BMT tersebut pada tingkat
kesejahteraan ekonomi para pedagang kecil, penulis menetapkan empat BMT sebagai
sampel yang dianggap cocok karena pertimbangan usia kerja dan kedekatannya
dengan masyarakat.
a. BMT
Dana Mentari Pusat Pasar Pon
Kantor pusat BMT Dana Mentari
berada di Kios Pasar Pon No.12, Purwokerto. Pada
1 Oktober 1995, BMT Dana Mentari mulai berdiri di Purwokerto, yang sekaligus
merupakan BMT pertama di kota Satria ini. BMT ini berdiri atas S.K. dari YBMM
(Yayasan Baitul Mal Muhamadiyah) yang diizinkan oleh Bank Indonesia untuk
mendirikan BMT. Modal awal BMT Dana Mentari adalah dua juta rupiah.
Hingga kini, setelah berumur 15 tahun, BMT
Dana Mentari telah memiliki aset sebesar 5,8 milyar hanya untuk kas kantor
pusat saja di Pasar Pon saja. BMT Dana Mentari telah resmi berpayung hukum
koperasi serba usaha sejak tahun 2007. Sejak itu, BMT bergerak untuk melayani
simpanan maupun pinjaman dana dari masyarakat secara resmi.
Jumlah nasabah
BMT Dana Mentari mencapai 4000 orang, yang 2000 diantaranya berprofesi sebagai
pedagang. Dari 2000 orang tersebut, hanya seratus nasabah yang merupakan
pedagang di Pasar Pon itu sendiri. Sedangkan untuk penerima pembiayaan
berjumlah 550 orang, 250 diantaranya adalah pedagang. Untuk Pasar Pon sendiri,
hanya 25 pedagang yang mendapatkan pembiayaan dari BMT Dana Mentari.
b. BMT
Dana Mentari Cabang Pasar Kliwon
BMT Dana Mentari
Cabang Pasar Kliwon yang berlokasi di Jalan Singaperbangsa Kios Desa No. 5
Karanglewas, Purwokerto, berdiri pada taggal 15 oktober 2004. Sebagai cabang
dari BMT Dana Mentari Pasar Pon, BMT ini menawarkan produk-produk jasa keuangan
yang sama dengan BMT induknya. Hingga kini, BMT Dana Mentari cabang Pasar
Kliwon memiliki aset sebesar 1,6 miliyar.
Nasabah BMT Dana
Mentari cabang Pasar Kliwon saat ini berjumlah 1170 orang, di mana 700
diantaranya berprofesi sebagai pedagang. Untuk pedagang di Pasar Kliwon sendiri,
pedagang yang menjadi nasabahnya berjumlah 100 orang. Pada pembiayaan, BMT Dana
Mentari Cabang Pasar Kliwon telah menyalurkan kepada 427 orang, di mana 131
diantaranya adalah pedagang. Di Pasar Kliwon sendiri hanya sekitar 30 orang
yang memanfaatkan keberadaan BMT tersebut untuk mendapatkan modal.
c. BMT
Khasanah
BMT Khasanah
hadir sebagai salah satu BMT pertama di Purwokerto. Berdiri sejak tahun 1995,
BMT Khasanah berlokasi di Jl. Riyanto No. 14 Kompleks Pasar Cerme, Purwokerto.
BMT Khasanah telah resmi berpayung hukum koperasi dengan surat tahun 1995 dan
mengunakan istilah KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) dalam operasinalnya.
Seperti BMT pada
umumnya, BMT Khasanah juga menawarkan produk-produk perbankan syariah dalam
skala mikro. BMT bahkan menerima permohonan pembiayaan hingga kisaran
Rp.150.000,- dalam skala minimum. Nasabah yang menyimpan dana di sana hingga
kini berjumlah 1300 orang, sedang penerima pembiayaan berjumlah 700 orang. Pada
kasus BMT Khasanah ini, prospek penyejahteraan masyarakat kecil terlihat lebih
baik, di mana ada 351 pedagang pasar yang telah mendapatkan pembiayaan dari BMT
Khasanah Pasar Cermei.
d. BMT
El Mentari
BMT El Mentari
yang berdiri tahun 2009, adalah salah satu BMT yang baru menjejaki tahap
perkembangan di Purwokerto. BMT Ini berlokasi di Jl. Letjen. Pol. Sumato No. 45
Karang Jambu, Purwanegara-Purwokerto Utara. Lokasinya berseberangan langsung
dengan Pasar Purwanegara.
Saat ini telah
memiliki 321 nasabah dar seluruh produknya. Dari seluruhnya, hanya ada 20 orang
yang berasal dari kalangan pedagang. Pada sektor pembiayaan, BMT El Mentari
sudah menyalurkan modal kepada 94 nasabah. Dari semuanya, hanya 20 orang yang
merupakan pedagang pasar.
3. Analisis Peran BMT
Perkembangan
empat BMT di atas dapat menggambarkan bagaimana BMTdi Purwokerto belum
sepenuhnya memberikan kontribusi bagi ekonomi kerakyatan. Hanya sebagian kecil
pedagang kecil yang mendapatkan pembiayaan dari BMT walaupun lembaga tersebut
sudah melancarkan upaya jemput bola untuk merekrut nasabah. Untuk dicatat,
keempat BMT di atas menerapkan strategi dengan mendatangi pasar-pasar, untuk
kemudian menawarkan produk, melayani nsabah atau menarik angsuran dari pedagang
yang sudah mendapatkan pembiayaan.
Ironisnya,
gerakan aktif SDM BMT tersebut tidak sepenuhnya direspon dengan pemahaman yang
baik oleh para pedagang. Sebagai bukti, dari wawancara yang dilakukan kepada
para pedagang, tidak ada satupun dari mereka yang mengerti mengenai akad-akad
keuangan yang diterapkan oleh BMT. Satu-satunya motivasi yang membuat mereka
memilih BMT sebagai mitra mereka adalah kemudahan, di mana pengajuan pembiayaan
di BMT tidak membutuhkan persyaratan yang rumit seperti yang ada di bank.
Terlebih, BMT melayani simpanan maupun pinjaman dalam jumlah yang kecil hingga
angka Rp. 100.000,-.
Selebihnya, para
nasabah hanya mencari “gampangnya” dalam transaksi mereka. Hal ini dapat
terlihat dari produk pembiayaan yang diambil. Di BMT El Mentari misalnya, di
mana hanya 3 orang yang memilih untuk mengambil produk pembiayaan mudharabah,
sedang yang lainnya memilih pembiayaan murabahah yang pembayaran angsuran
bulanannya jelas karena sudah ditentukan di awal mark up-nya.
Dengan begitu
jelas, bahwa perkembangan lembaga BMT yang luas di Indonesia belum mampu
meloloskan misi utama ekonomi Islam untuk menyejahterakan masyarakat melalui
ekonomi kerakyatan, apalagi membumikan ekonomi Islam di negeri ini. Kinerja BMT
yang bahkan langsung menyentuh pasar tidak berjalan optimal.
Kendala yang
sebenarnya terjadi adalah kesenjangan kesepahaman antara para praktisi BMT
dengan masyarakat kecil. Konsep ekonomi Islam masih dianggap rumit oleh
masyarakat kecil yang umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah. Ekonomi Islam
belum meiliki penjelasan sederhana dari konsep-konsep bagi hasil, mark up dan
instrumen lain yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat. Pandangan
umum masih menganggap bahwa tidak ada bedanya antara konsep yang diterapkan
oleh lembaga keuangan konvensional dan syariah.
Titik inilah
yang seharusnya dirambah oleh praktisi ekonomi Islam, melalui BMT sebagai ujung
tombaknya, mengingat kedekatannya dengan masyarakat kecil. Ada sebuah sumber
daya yang harus dikembangkan, melalui sebuah sinergi dengan nilai-nilai yang
awam dipegang teguh dalam kehidupan sosial masyarakat indonesia: budaya.
Melaluinya, sinergi antara konsep ekonimi Islam dan budaya, akan menjadikan
ekonomi Islam memiliki nilai holistik tersendiri dalam diri manusia, setidaknya
di Indonesia.
B. Pengembangan
Integrator Resources di BMT
Dengan
melihat fenomena sosial yang terjadi antara BMT dan masyarakat (kecil), penulis
menggagas dua sumber daya yang dibutuhkan oleh BMT, yang nantinya dapat
menyelaraskan kesepahaman yang holistik antara budaya dan ekonomi Islam melalui
BMT. Teori funsionalisme dalam sosiologi akan berperan dalam pengembangan
keduanya, mengingat asas ini berperan besar dalam perluasan dakwah Islam,
khususnya di Indonesia.
1.
Sumber Daya Intelektual
Pendirian
BMT didasari niat suci untuk membantu masyarakat kecil. Dari seluruh SDM BMT di
Indonesia, 90 persen diataranya masih memiliki kadar pengetahuan ekonomi Islam
dan manajemen BMT yang belum memadai.[14]
Untuk itulah pengembangan sumber daya manusia menjadi tugas tersendiri untuk
mengembangkan, bukan hanya lembaga BMT, namun meluaskan dakwah ekonomi Islam
itu sendiri.
Melihat
fakta tersebut, BMT perlu mengadakan kerjasama konstruktif perlu dijalin dengan
institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Mengingat keluaran perguruan
tinggilah yang dianggap siap kerja, setiap perguruan tinggi, khususnya di
setiap fakultas ekonomi, perlu mengadakan studi tentang ekonomi Islam atau
menempatkan mata kuliah khusus pendalaman seputar ekonomi Islam.
Absindo
(Asosiasi BMT Seluruh Indonesia) juga perlu mendirikan institut khusus yang
menggelar pendifikan bagi sumber daya manusia BMT. Yang ditekankan dalam
pendidikan tersebut adalah kesederhanaan dalam sistem ekonomi Islam. Pada
akhirnya, ekonomi Islam akan disebarkan BMT melalui sumber daya intelektual
yang tepat, yang mampu menjelaskan sistem bagi hasil misalnya, dengan mudah dan
jelas serta selaras dengan kesederhanaan pemikiran masyarakat awam (kecil).
2.
Sumber Daya Sosial Budaya
Emile
Durkheim merumuskan teori fungsionalisme sebagai sebuah ketergantungan timbal
balik dari berbagai bagian yang berbeda daam sistem yang timbul sebagai akibat
peningkatan jumlah masyarakat. Bahkan dia menganggap fakta tersebut
(fungsionalisme) sebagai kajian utama dalam sosiologi.[15] Teori ini mengedepankan aspek ketergantungan
(makhluk sosial) dan integrasi dalam sebuah sistem sosial.
Agama pun masuk
ke tengah masyarakat melalui asas ini. Diawali oleh kesadaran akan kebutuhan
spiritual, sebuah komunitas manusia akan menyatakan kesadaran berketuhanan.
Harus disadari, walaupun agama sudah ada sejak awal penciptaan manusia, Tauhid,
sebuah relasi yang tidak bisa terbantahkan terjalin antara dakwah dan budaya,
karena keduanya sama-sama merupakan wujud dari kesadaran psikososial masyarakat
dalam kehidupannya sebagai manusia. Untuk diingat, agama pun mengaitkan tiga
aspek penting dalam dakwahnya: kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian.
Peran sentral
dalam hubungan antara agama dan budaya adalah keberadaan institusi-institusi
sosial yang menjadi sandaran masyarakat. Pada kasus agama, peran itu dipegang
oleh para pemuka agama. Keberadaan da’i, kyai, penceramah atau sebutan lainnya
memiliki andil sebagai panutan yang mampu membawa sebuah nilai dalam
masyarakat. Keberadaan mereka di tengah masyarakat, seperti sesepuh desa,
pimpinan pondok pesantren, pemimpin agama di suatu daerah, dapat menyentuh dan
membawa langsung nilai-nilai ekonomi Islam ke tengah masyarakat abangan, yang
menjadi mayoritas masyarakat Indonesia.
Yang harus
dilakukan oleh BMT adalah memberdayakan para pemimin agama ini. Peran yang
dimanfaatkan adalah (1) peran motivator, bagaimana mereka mampu mendorong
masyarakat terhadap perubahan yang bersifat membangun dan positif. Selain itu,
(2) peran sebagai pembimbing moral dalam menanamkan prinsip-prinsip etik dan
moral masyarakat juga dapat menjadi sumber daya yang patut diberdayakan. Dalam
kenyataannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu membutuhkan landasan etis dan
spiritual dari para pemuka agama ini.
(3) Peran
sebagai mediator juga harus difungsikan dalam memayarakatkan ekonomi Islam.
Dalam fungsi ini pemuka agama memposisikan diri sebagai penengah diantara
beberapa pihak dalam masyarakat.[16]
Melalui bahasa yang diterima oleh masyarakat umum, pemimpin agama dapat
mensosialisasikan BMT dengan sistem transasksi keuangan syariahnya menjadi
lebih mudah dan diterima oleh masyarakat.
Melalui
fungsi-fungsi tersebut, kesenjangan kesepahaman antara ekonomi Islam dan
sosiologi masyarakat akan teratasi. Melalui fungsi tersebut pula ulama akan
menyadarkan masyarakat mengenai penerapan ekonomi Islam yang mampu
menyejahterakan mereka. Dan dalam melakukan hal tersebut BMT harus menerapkan
strategi dan pendekatan yang tepat.
Harus diketahui,
tidak semua ulama memiliki kemampuan dalam menganalisa realita ekonomi dari
sudut pandang Islam, bahkan ulama fikih sekalipun. Untuk itu, BMT perlu
memberikan pelatihan khusus kepada ulama yang dianggap tepat untuk mendakwahkan
keutamaan ekonomi Islam melalui sudut pandang hukum Islam itu sendiri. Melalui
sebuah strategi yang tepat, pada akhirnya BMT akan mampu membumikan ekonomi
Islam di Indonesia.
C. Konstruksi
Dialogisasi Psikobudaya-Ekonomi Islam
1.
Peran Institusi Masyarakat
Di tengah
masyarakat Indonesia terdapat beberapa institusi yang berperan besar dalam alur
perubahan kehidupan sosial dan agama. Institusi seperti lembaga pendidikan,
pesantren dan pemerintah mampu memberikan stimulus tersendiri yang dapat
diterima oleh masyarakat. Sebagai bagian dari agama Islam, konsep ekonomi Islam
pun dekat hubungannya dengan institusi-institusi tersebut.
Institusi
tersebut pula yang memunculkan individu-individu berpengaruh (biasanya pemimpin
institusi) yang mampu membawa fungsi sosial seperti disebut di atas, mulai dari
MUI dalam taraf nasional hingga LP2A pada taraf desa. Para ulama di dalam
institusi tersebut akan mengisi dakwah Islamnya dengan memasukkan konsep-konsep
dan dasar hukum yang dianut ekonomi Islam, seperti pengharaman riba serta nilai
keadilan dan kerja sama. Melalui mereka, konsep ekonomi Islam akan mudah
dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Untuk menyentuh
pasar utama BMT (sektor riil), perlu terjalin kerja sama yang baik antara BMT
sendiri dengan lembaga-lembaga tersebut. Setelah masyarakat memahami perbedaan
prinsip ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, BMT harus meresponnya dengan
aktif untuk terus mendorong masyarakat menerapkan ekonomi Islam dalam tataran
praktis. Pada titik inilah, pengenalan produk-produk BMT yang menerapkan
akad-akad keuangan yang sesuai dengan syariah dilaksanakan.
Sinergi tersebut
tidak akan tercapai tanpa melalui strategi komuikasi yang tepat. Untuk itu, BMT
perlu memfasilitasi mediasi yang dilaksanaan antara masyarakat dan ekonomi
Islam, dengan ulama sebagai mediatornya.
2.
Strategi Mambangun Dialog
Psikobudaya-Ekonomi Islam
Sebagai
fasilitator, BMT harus mampu menjembatani hubungan dialog tersebut. Strategi yang paling tepat
untuk diterapkan adalah memanfaatkan aktifitas-aktifitas sosial kemasyarakatan
yang banyak dilakukan oleh masyarakat abangan seperti pengajian, tahlilan serta
arisan. Melalui itu, BMT akan mampu bergerak optimal.
1. Pengajian
Ekonomi Islam
Menjadi hal yang
wajib bagi kebanyakan kaum ibu dan beberapa kaum bapak di desa-desa untuk
mengadakan pengajian secara rutin, baik mingguan atau paling tidak setiap
bulan. Dalam pengajian tersebut, selain membaca puji-pujian dan tahlil, acara
akan diisi ceramah oleh (biasanya) pemimpin majelis ta’lim tersebut. Melalui
ceramah itu, konsep ekonomi Islam dapat mulai diperkenalkan, khususnya dari
sudut pandang fikih.
Pada tahap
inilah penceramah bisa membicarakan ekonomi Islam sebagai bentuk aktifitas
ekonomi yang dihalalkan. Mengenai praktek bisnis yang dilakukan Nabi dan para
sahabat barokah yang didapatkan dengan menerapkan konsep ekonomi yang adil,
pahala bermusyarakah, hingga konsep bagi hasil yang lebih menguntungkan
dari pada bunga. Konsep bunga yang selaras dengan riba juga dapat diceritakan
keharamannya. Dengan begitu, masyarakat akan mulai mengerti akan fadhilah
menjalankan prinsip ekonomi Islam yang sesungguhnya. Setelah itu, ulama
tersebut bisa mulai mengajarkan konsep bagi hasil, nisbah, dan konsep
perkongsian yang dipahami oleh Islam.
Pemahaman itu
kemudian disalurkan kepada pengenalan lembaga-lembaga keuangan syariah. Dengan
berpegang bahwa kebanyakan masyarakat pedesaan berada dalam tingkat ekonomi
menengah ke bawah, BMT dapat diperkenalkan sebagai lembaga yang mampu membantu
perekonomian masyarakat, namun tetap berpegang pada prinsip ekonomi yang
berkeadilan.
2. Arisan
Ekonomi Islam
Salah satu
aktifitas masyarakat yang harus diperhatikan dalam pengembangan integrator
resources BMT adalah arisan, yang rutin pula digelar di tengah masyarakat
desa, selain pengajian. Seperti biasa pula, acara ini senantiasa diisi siraman
rohani dari salah satu ulama yang disegani di desa tersebut. Sebagaimana yang
terjadi pada aktifitas pengajian, pengisi siraman rohani harus mampu
menjelaskan dasar-dasar hukum syariah dalam berbagai transaksi perekonomian.
Salah satu nilai
plus dari kegiatan ini adalah konsep ekonomi yang dibangun, di mana setiap
orang pasti mendapat giliran menerima hasil arisan melalui pengundian. Selain
menjalin silaturahmi, arisan memiliki daya tarik sosial-ekonomi yang cukup
mengundang partisipasi masyarakat.
Pada titik
inilah BMT harus “menyusupkan” produk-produknya sebagai terapan dari konsep
ekonomi Islam yang diceramahkan oleh ulama di desa yang bersangkutan. Dengan
begitu teori hukum ekonomi yang masyarakat dapatkan dan telah mereka pahami
dengan baik, karena dijelaskan dengan bahasa budaya, dapat mereka terapkan
dalam tataran praktis yang tepat dan dekat dengan masyarakat: BMT.
Alur penerapan
strategi tersebut tentu saja harus didukung oleh semua pihak yang terkait, dan
mengemasnya dengan pemahaman mengenai keutamaan dan barokah ekonomi Islam yang
sinergif diantara mereka. BMT, lembaga pendidikan, institusi keagamaan hingga
pemerintah pusat maupun daerah harus mendukung keberadaan BMT yang menyentuh
langsung masyarakat bertaraf ekonomi menengah ke bawah. Melalui strategi itu
pula, ekonomi kerakyatan yang digaungkan oleh pemerintah, bukan sekedar impian
dan harapan belaka.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan BMT
di Indonesia bertujuan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kecil,
khususnya mereka yang bergerak di sektor riil seperti perdagangan dan home
industry. Namun ternyata keberadaan dan perkembangannya tidak sepenuhnya
menunjukkan keberhasilan sistem ekonomi Islam. Hal ini terliat dari otivasi
para nasabah (simpanan maupun pinjaman) yang memilih BMT hanya karena kemudahan
proses maupun akses yang tidak mereka umai di perbankan.
BMT sebenarnya
dapat menjadi ujung tombak dalam merubah paradigma masyarakat terhadap ekonomi
Islam, melalui nilai-nilai dan bahasa sederhana yang diterima oleh masyarakat
luas: Budaya. Hal ini tentu saja mengingat keberadaan BMT yang dekat dengan
masyarakat kecil.
Yang perlu
dilakukan BMT adalah mendekati masyarakat melalui mediator sosial yang diterima
secara luas, yaitu kiblat budaya masyarakat Indonesia: pendidikan, agama dan
pemerintah. BMT dapat menmfasilitasi acara–acara kerakyatan sepertt pengajian
dan arisan. Melalui itu, masyarakat akan mudah memahami ekonomi Islam dengan
sederhana.
B. Saran
Peran
institusi-institusi masyarakat sangat dibutuhkan di sini. Pemerintah khususnya,
harus mulai menilik ekonomi Islam sebagai jalur yang akan mengantarkan
keberpihakkan terhadap ekonomi kerakyatan. Mengingat sejak dulu, konsep bunga
(rente) yang selalu menyesakkan masyarakat kecil. Pemerintah dapat mendukung
keberadaan BMT, melalui kebijakan atau perundang-undangan yang jelas misalnya.
Tentu saja, itu jika misi “ekonomi kerakyatan” bukan sekedar untuk
dielu-elukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik,
editor. 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Agus,
Bustanuddin. 2007. Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei
Sosiologi Agama. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada.
Antonio, M.
Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press.
Arikunto,
Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta:
Rineka Cipta.
Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.
Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi
Research II. Yogyakarta: Andi Offset.
Hamid, Arifin.
2006. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (persepektif Sosio Yuridis).
Jakarta. eLSAS.
Horikoshi,
Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial, jakarta: P3M.
Kahmad, Dadang.
2000. Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat.
2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Kuntowijoyo.
1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Rosyidin, Ahmad
Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta:
Global Pustaka Utama.
Sudarsono, Heri.
2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.
Usman, Sunyoto.
1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Widodo,
Hertanto. 2000. PAS (Panduan Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional
Baitul Mal wa Tamwil. Jakarta: Mizan.
[1] Dr. Taufik Abdullah, editor.
1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hal: VII-VIII.
[2] Prof. Dr. Bustanuddin Agus,
M.A.. 2007. Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei Sosiologi
Agama. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada.
Hal: 11.
[3]
BMT Sudah Layani 3 Juta Nasabah. Laporan
wartawan KOMPAS, Eny Prihtiyani. www.kompas.com. Senin, 18 Oktober 2010.
[4] Hasil wawancara dengan beberapa
pedagang di Pasar Kliwon, Karang Lewas, Purwokerto Barat.
[5]
Dadang Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Hal: 24-30
[6] Arifin Hamid. 2006. Membumikan
Ekonomi Syariah di Indonesia (persepektif Sosio Yuridis). Jakarta. eLSAS.
Hal:VI.
[7] ibid
[8] Hertanto Widodo. 2000. PAS
(Panduan Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional Baitul Mal wa Tamwil.
Jakarta: Mizan. Hal: 81.
[9] Heri Sudarsono. 2005. Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia. Hal: 123.
[10]
Dadang Kahmad, 2000, Sosiologi
Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hal. 55 dan 56
[11] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi
Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal.
136
[12] Ibid. Hal. 193
[13] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta:
Rineka Cipta. Hal. 245.
[14] Andi Estetiono, Rintis SDM BMT
Se-Indonesia (Absindo). Koran Republika, Kamis, 03 Agustus 2006
[15] Lihat dalam Dadang Kahmad. 2000.
Hal: 57
[16]
Wolf, dikutip dalam HirokoHorikoshi,
1987, Kyai dan Perubahan Sosial, jakarta: P3M, Hal. 5