Naskah Novel
*Jendela
*
Rahasia
***
Karya:
Siti
Nur Azizah
(Penghuni Rumah Ajaib,
Komunitas Penulis dan Peneliti Cerita dan
Dunia anak
di Purwokerto
Prolog
Matahari tinggal separuh menyeruakkan warna merah temaram. Secercah sinarnya
membayang dalam debur ombak Pantai Kuta. Fahita masih duduk termangu-mangu di tepi
jendela, memandangi pantai yang terbentang luas di depan wajahnya itu, sambil
mengamati detik-demi detik percik ombak yang pecah di tepian pantai. Seakan ia
tak ingin kehilangan momentum indah yang terjadi di batas cakrawala sana. Sambil
memandangi selembar foto yang sudah lusuh. Gambar yang tak berlatar dalam foto
itu menyimpan beribu kenangan, bahkan tak mampu ia lupakan.
Ia menelusuri permukaan foto itu
dengan ujung jemarinya, mengingat-ingat kembali segala sesuatu yang pernah
terangkai bersama sosok yang tengah berfose di depan layar kamera.
Garra, sosok pendiam yang sangat
menghindari kamera, tersipu malu dengan senyum dikulum. Wajahnya yang begitu
teduh tertera dari tatapian mata yang begitu mempesona; tajam dan sangat
membetahkan. Tak heran jika semasa SMA dulu ia menjadi pujaan para gadis.
Berawal dari tatapian matanya
itulah, ia mengerti makna taqdir dan cinta. Bahwa Taqdir yang akan membawanya pada kehidupan yang
harus dijalani penuh dengan langkah pasti serta penuh perjuangan untuk suatu
pertahanan yang diinginkan. Dan satu lagi, bahwa taqdir adalah satu hal yang
tidak dapat dipesan. Sedangkan cinta adalah suatu yang mengajak pada
kebahagiaan dan kemesraan dalam bentuk pertengkaran sekalipun yang berujung
pada penyatuan. Dan ternyata ia harus mengalami, bahwa taqdir lebih cinta
padanya. Bukan cinta yang menjadi taqdirnya. Hingga ia harus terkapar dalam
tepian bersama batu-batu karang yang hampir pecah berserakan.
Selembar foto bersama kisah saat SMA
dengan baju putih abu-abu mendominasi dengan balutan jaket hitam. Hari-hari
yang dimulai dari kejamnya saat orientasi, lalu perkenalan persahabatan dan
berujung pada keyakinan hati, lalu membalut kenangan.
Fahita menyimpan kembali foto itu
bersama buku merah jambu saksi perjalanannya. Pikirannya kembali pada hari-hari
dimana ia mengenal dunia yang berasa pahit, manis itu beberapa tahun silam.
1
*Pada Suatu
Senja
Kebumen,
Juli 2005,…..
Apapun yang kau katakan
dan bagaimanapun kau berkilah untuk menolaknya, cinta akan tetapi menyapamu dan
bersemayam dalam kalbu, tanpa lelah menunggumu mengakui keberadaannya.
###
Hari senin yang selalu
melelahkan menyambut pagi gadis cantik yang biasa dipanggil Fahita. Lelah yang
masih menggerayangi kaki dan sebagian tubuhnya, membuatnya ingin bersembunyi dibalik
selimut untuk beberapa menit saja tidur lagi.
Namun hal itu segera ia tepis, mengingat ia harus segera mandi dan pergi
ke sekolah. Mengikuti upacara bendera dan bermandikan cahaya pukul tujuh pagi
yang menyengat. Membuat para pecinta make-up harus kelabakan. Tapi itu memang
harus diikuti, sebagai penghormatan dan perenungan atas kemerdekaan yang telah
dimiliki bangsa ini. Lalu, diikuti dengan pelajaran pancasila dan
kewarganegaraan yang super membosankan. Ujung-ujungnya membahas teori persatuan
dan kesatuan, serta keadilan. Huft hanya semu saja. Lalu, sorenya harus
mengikuti ekstrakulikuler pramuka yang menguras tenanga.
Hari ini benar-benar hari
yang sangat membosankan sekaligus melelahkan. Hari yang menekuk wajah bagi para
siswa. Tanpa terkecuali Fahita. Yang sudah memasang wajah bete dan sedikit puising
di senin pagi yang menjengkelkan. Tapi memang tak ada alasan meninggalkan
upacara yang bagi sekolah terutama di Indonesia adalah hal yang sakral.
Selesai mengikuti upacara,
Fahita segera bergegas menuju loker untuk mengambil tas dan buku-bukunya.
Bertambah bete mukanya ketika membawa buku pancasila yang berat.
“Fahita, sekalian ambilkan
bukuku” teriak salah satu kawannya yang bernama Rey, Reyhan tepatnya. Karena ia
memang terpaksa berbagi loker dengannya, sekolahnya memang sangat sederhana, ya mungkin
tepatnya fasilitas yang sangat minim. Itu artinya ia harus berbagi loker dengan
cowok yang sok coll di sekolah ini. Laki-laki yang sering membuatnya jengkel.
Karena sifat soknya itulah, Rey sering merasa sok kaya, sok ganteng, sok tenar dan
masih banyak sok-sok yang lain. Huft, berarti juga Fahita harus rela sesekali
mendengarkan ocehan tak bermutunya itu. Namun, okelah itu masih ia terima.
Tapi terkadang yang
membuatnya tidak tahan dengan sikapnya adalah sikap tidak rajinnya. Seringkali
ia risih dengan keadaan lokernya yang berisi tumpah ruah amplop berwarna pink
yang berisi surat cinta, tepatnya gombalan-gombalan busuk untuk para gadis yang
rela menjadi korbannya, atau kadang-kadang ia membawa dus yang dibungkus dengan
kertas kado warna-warni bentuk yang sangat menyesakkan loker mereka yang sempit
dan memuntahkan segala isinya begitu pintu dibuka.
“Huft cape dweh, Rey kamu
kebiasaan loker isinya gak jelas” Fahita sudah mulai garang.
“Hehehehe, santai dong
cewe galak” jawab Rey setengah tertawa. Sebutan cewe galak memang sudah menjadi
Trade-marknya di sekolah MAS, atau biasa disebut dengan Madrasah Aliyah Swasata.
Fahita berlalu begitu
saja. Mencoba tidak mendengarkan ocehan-ocehan yang menurutnya seperti burung
beo di pagi hari. Terlalu biasa bagi Fahita untuk memperhatikannya, sehingga ia
memilih untuk acuh dan diam saja. Rey memang bintang di sekolahnya. Banyak
sekali siswi yang tergila-gila padanya, menyimpan debaran hati setiap dia
lewat, mencoba-coba caper ketika ada dia, huft terlalu bodoh mereka. Batin Fahita,
ketika mendengar dan melihat beberapa siswi baik temannya maupun kebanyakan
adik kelasnya membicarakan sang bintang itu. Dia memang jago basket dan
tampangnya lumayan ganteng, huft tapi tidak melebihi gantengnya Rain sebagai
artis idolanya dari korea sana. Yah walau bagaimanapun ia memang ganteng, Fahita
sedikit mengakuinya.
Sejak kelas satu, semenjak
melihat ia memasukan bola basket dengan begitu gesitnya, Fahita memang sempat
merasa kagum, bahkan seringkali mencuri-curi pandang ketika Rey sedang main
basket. Tapi hanya sebatas itu. Selanjutnya, menilai Rey secara objektif, bahwa
dia adalah salah satu kategori cowok yang baik pada semua orang, sehingga ia
tidak bisa secara pasti dapat melihat kepribadian asli di Balik senyum permanen
yang nempel di bibir merahnya. Selebihnya, Fahita mencoba untuk tidak banyak
berkomentar tentangnya.
“Hai Fahita, buset mukamu
kok udah cemberut gitu to, masih pagi kali bu” Sambut sahabatnya yang bernama
Jihan. Ketika Fahita baru sampai di kelas.
“Huft sebel dweh pagi-pagi
kepanasan, eh malah kupingku kerasukan ocehan burung beo, mana aku gak sebel”
umpat Fahita pada sahabatnya.
“Eh hati-hati kalau
ngomong, pamali nanti kamu bisa jatuh cinta sama si cakep itu” hiki-hik-hik.
Jihan meledeknya. Terlihat muka Fahita bertambah merah padam. Garang.
“Hah, Cinta? Ngelihatin
dia aja aku ogah”
“Ha-ha-ha-ha” makin asik Jihan
meledeknya. Fahita hanya diam. Lalu ia mengeluarkan peralatan sekolahnya dan
mengernyitkan keningnya ke arah Jihan. Malas membantah ucapannya, karena pasti
Jihan lebih pandai menjawabnya. Itulah tidak enaknya berteman dengan orang yang
pandai berbicara.
“Wek, dasar cerewet”
hik-hik, mereka tertawa bersama. Mereka memang begitu dekat semenjak kelas
satu. Merasa mempunyai penderitaan yang sama; keterpaksaan. Yah, keterpaksaan
untuk mengikuti kehendak orang tua masuk sekolah berbasis agama.
###
Kata orang atau kebanyakan
anak muda atau remaja, cokelat dan bunga mawar adalah simbol cinta. Dimulai
dari sejarah ditemukannya cokelat pada zamannya suku Maya dan Aztect, cokelat
lalu dijadikan komoditas berharga. Awalnya, cokelat hanya dibuat minuman dan hanya
mampu dikonsumsi oleh keluarga kaya dan keluarga kerajaan, hingga seiring waktu
cokelat sudah merakyat dan dikonsumsi oleh rakyat jelata. Dan hingga saat ini
cokelat sudah makin trend hingga menjadi tanda cinta bagi para remaja, seperti
saat Valenthine day dan White day.
Itu semua Fahita baca dari
majalah dan pernah ia membacanya dari buku yang berjudul Chocholate. Ia sering
kali membaca buku atau majalah di balik buku pelajarnnya ketika guru di depan
menjelaskan materi yang membuatnya tiba-tiba sakit kepala atau materi yang
sangat membosankan seperti matematika dan sejarah. Pernah sekali kawan
sebangkunya, Leni memergokinya, saat itu, di ruang kelas hening hanya suara
Paki Rudi guru matematika tengah menjelaskan rumus Phitagoras untuk bahan
ulangan minggu depan. Sesekali terasa hembusan angin yang menelusup lewat
jendela yang meniupkan lembaran buku hingga terBalik dari halaman ke halaman
selanjutnya. Fahita tak sadar kalau seseorang di sampingnya tengah
memperhatikannya. Lalu menuliskan secarik kata-kata di secuil kertas dan
menyodorkannya pada Fahita.
“Kamu sedang baca apah?
Kok serius banget”
Fahita menoleh. Leni
tengah menatapi lurus ke depan sehingga ia tidak dapat melihat ekspresinya.
Mungkin takut akan ketahuan Pak Rudi yang wajahnya sudah mirip rumus-rumus
phitagoras itu. Lalu, Fahita menuliskan jawaban di Balik coretan Leni, lalu menyodorkan
kertas itu kembali ke hadapan Leni.
“Buku tentang cokelat” _
Ia membalasnya dengan
cepat.
“Kamu suka cokelat”
Ada sesuatu yang aneh
dengan Leni. Sangat jarang ia antusias dengan apa yang dilakukan dan disukainya.
Namun, entah mengapa ia tiba-tiba jadi seperti itu. Huft, lalu, Fahita hanya
menarik nafas panjang saja. Mungkin sekarang Leni tengah mengamati hobi
teman-temannya atau mungkin akan memberii kejutan pada apa yang disukai
teman-temannya. Semoga saja begitu, batin Fahita.
“Suka banget”_adalah
jawaban Fahita. Lalu mereka bertukar coretan obrolan sampai jam pelajaran
hampir berakhir, dan akhirnya Fahita meminjamkan buku tentang cokelatnya itu
pada Leni, barangkali ia tertarik.
Hari ini pelajaran
berlangsung sangat membosankan. Setelah melewati pelajaran Matematika, kini Fahita
harus berhadapan dengan pelajaran agama. Huft sangat membosankan. Sebenarnya,
sudah hampir mencapai kelas akhir kelas tiga. Namu, Fahita belum bisa menerima
keputusuan orang tuannya menyekolahkan Fahita di Madrasah Aliyah. Keinginannya
masuk SMA Negri masih bergelayut begitu besar. Hanya satu kini harapannya yang
tersisa, setelah lulus mengikuti SMPTN dan masuk kuliah di Universitas umum.
Entah sudah berapa menit
bahkan mungkin hampir hitungan jam Fahita larut dengan Novelnya. Setelah ia
membaca buku tentang cokelat kini ia membaca novel untuk menghilangkan penat
dan bosan yang luar biasa karena evek pelajaran yang kini sedang berlangsung
diajarkan. Sebenarnya, Fahita adalah salah satu murid yang cerdas, nilai yang
berjajar di rapotnya saja tidak pernah berkurang dari tujuh, tapi nilai itu ia
cetak dengan rasa tidak ikhlas.
“Fahita, kenapa kamu sibuk
sendiri?” kali ini bukan Leni yang menegurnya, melainkan Rey. Ternyata, ia juga
dari tadi memperhatikannya.
“Aku bosan” jawabnya
singkat. Sebenarnya bukannya Fahita sengaja mengacuhkan atau tidak menghormati
guru yang sedang menjelaskan, tapi ia sebenarnya sudah terbiasa membaca buku
atau lebih rincinya bab yang akan di pelajari sehari sebelumnya sehingga
terkadang apa yang di ajarkan di kelas terasa repetitif. Ia lalu kembali
tenggelam dalam novelnya. Novel kesukannya milik Danbrown, walau ia sudah lebih
dari empat kali membacanya, namun ia tetapi saja tidak bosan karena menurutnya
jalan cerita yang dikemas sangat menarik dan memacu andrenalin. Menegangkan dan
membuat pembaca penasaran.
Entah berapa lama ia larut
dalam bacaanya, hingga akhirnya ia mengangkat wajahnya ketika kepala sekolah
memasuki ruang kelasnya dan mengucapkan salam.
“Selamat siang anak-anak,
bapak ingin memperkenalkan siswa baru yang akan menjadi kawan kalian di kelas 3
A”
Untuk beberapa saat
anak-anak rame, terlihat Fahita hanya diam saja.
“Perkenalkan, nama saya Garra
Ganinda Rahmawan. Biasa dipanggil dengan Garra, saya pindahan dari MAN 1
Purworejo” perkenalan singkat dari siswa baru membuat anak-anak sedikit
tertarik, ternyata karena faktor tampang yang ia punya, kegantengannya hampir
menyamai Rey. Lalu, ia duduk di belakang Fahita, dan Fahita pun sedikit berbosa-basi
dengannya. Sedikit menyapa dan sedikit tersenyum dengannya. Dan laki-laki baru
dalam kelasnya pun menyambutnya dengan ramah. Laki-laki yang ternyata akan
menjadi taqdirnya dan mengisi hari-hari selanjutnya.
###
Reyhan
Pagi-pagi sekali, Leni tengah sampai diparkiran sekolah.
Matanya melirik kanan-kiri seperti mencari-cari sesuatu. Akhirnya, selang
beberapa menit, yang ia cari ketemu juga.
“Rey, sini” panggilnya begitu melihat si tampan bintang
sekolah itu.
“Sudah lama?”
“Baru beberapa menit, tapi ya hampir satu jam”
heheeheh,
“Ah bisa saja kamu?” balasnya
Akhirnya mereka berbincang-bincang di taman
sekolah yang masih terlihat sepi, hanya beberapa siswa yang lalu lalang dengan
wajah segarnya. Sesegar aneka bunga yang ada di belakang mereka.
“Ada berita apah?” tanya Rey.
“Hem, mengenai hobinya, makanan faforitnya dan
kegiatannya ssehari-hari, memang kamu serius akan menjadikannya sebagai
taruhan”
“Iyah, aku dan Andre sudah sepakat siapa yang
lebih dulu memikat hatinya ia yang akan memenangkan kompetisi ini”
“Tapi aku takut, kamu akan benar-benar suka
padanya”
“Aduh Leni sayang, tenang saja, wanita di hatiku
hanya kamu. Ini hanyalah masalah prectice antara aku dan si blagu Andre itu”
Leni lalu tersenyum, mereka lalu berpisah seiring
bertambah ramainnya siswa dan siswi yang mulai berdatangan.
###
Setelah pelajaran olahraga, Fahita dengan segera menuju lokernya, ia tidak ingin
keduluan si jail Rey dan harus mendengar ocehan-ocehan tidak jelasnya. Walau ia
harus lebih dulu membuka loker yang berantakan dan siap dengan
tumpahan-tumpahan warna-warni kado atau bahkan harus rela sesekali mencium
aroma tak sedap kaus kaki atau kaus yang biasa ia kenakan untuk latihan basket
minggu lalu yang lupa di bawa pulang. Tapi, tidak apalah, ia masih bisa tahan
dari pada bertemu dengannnya dan mendengarkan ocehannya. Toh ia sudah terbiasa
dengan lokernya yang berantakan.
Tapi, pagi ini ada hal
yang tidak seperti biasanya. Loker kosong begitu Fahita membukannya. Hanya ada
beberapa kuntum bunga Mawar yang masih segar yang harumnya samar dan sebungkus
cokelat Silverquen.
Sisa-sisa makanan yang biasa ditinggalkan
Rey, baju olahraga kotor yang malas dibawanya pulang. Kaus kaki menjijihkan
yang dua minggu baru di cucinya dan buku pelajaran mereka yang biasanya
berjejalan, semua hilang jejaknya. Hanya ada bunga itu dan cokelat serta rasa
manis dan cinta yang mungkin di janjikannya lewat warna merah mudanya.
Dengan malas Fahita
menutup loker itu kembali. Pasti ada salah satu siswi yang dengan senang hati memberieskan
loker mereka dan meletakan sebuket bunga untuk Reyhan. Akhir-akhir ini para
penggemarnya memang menggila. Mungkin penggemar rahasiannya yang meletakan itu.
Begitu fikir Fahita.
Akhirnya, Fahita melangkah
gontai menuju ruang kelas, melewati lapangan basket tempat biasa Rey dan
teman-teman masih bermain basket dengan
asyiknya dan tanpa peduli walaupun bel telah meraung-raung. Dasar penggila
basket, pelajaran sekolah di nomor duakan.
“Rey, ada kejutan apa di
loker pagi ini?” Fahita mencoba menyindirnya,
“Mana Kutahu” Rey menjawab
dengan cuek atau menurut Fahita pura-pura tidak tahu. Lalu, Fahita melangkah
dengan gontai meninggalkan lapangan basket tanpa menoleh. Rey menjatuhkan bola
basketnya dan berlari menghampiri Fahita.
“Eh jutek, emang ada apa
pagi ini?”
“Penggemar rahasia kamu
ngasih bunga lagi, tuh” Fahita menjawab dengan enggan,
“Siapa?” Rey mengernyit
Lagi-lagi Fahita
menjawabnya dengan enggan, keli ini di barengi dengan mukanya yang cemberut.
Tiba-tiba ia Rey tertawa
begitu lepas hingga membuat Fahita kebingungan. Dengan sebelah tangan, Rey
mencubit pipi Fahita, membuat Fahita merah padam dan lebih jengkel.
“Ya ampun, Andre yang
bener dong kalu ngasih bunga” reaksinya membuat Fahita kebingungan, dan
bertanya-tanya. Lalu, Rey menarik pergelangan tangan Fahita ke arah barisan
loker.
“Tuh, lihat” dia menunjuk
seikat bunga itu,
“Ambil kartunya, dan baca
yang benar”
Fahita menuruti kata-kata
Rey, lalu membaca huruf demi huruf yang ditulis dengan tulisan yang lebih mirip
ceker ayam, khas tulisan cowok.
Mawar dengan merah
jambu warna yang melekat, terlalu sederhana untuk wajahmu yang terlampau cantik.
Aku selalu berharap mampu menembus pagar di hatimu. Andrea.
Wajah Fahita seketika memerah, campur antara malu
dan senang. Berbeda dengan Rey, dia justru tersenyum sinis. Ternyata Andre
telah menabuh genderang perang. Dan pagi inipun sebagai pertanda bahwa ia harus
mulai mengatur siasat untuk mengambil hati si jutek dan sekaligus orang yang
terpandai di antara siswa-siswi kelas 3.
“Lihat saja nanti, pasti
kamu akan bertepuk lutut di hatiku” batin Rey dengan pedenya.
###
Oketober, 2005
Tiga bulan berlalu, Fahita
semakin resah.
Minggu depan adalah minggu yang puising. Midh
semester telah datang menjemput dan mengajak para siswa untuk memutar isi
kepalanya sampai 360 derajat. Fahita masih terlelap dalam bukunya. Sedikit
tidak bisa konsentrasi, kepalanya terlalu sempit untuk menampung beberapa
peristiwa yang akhir-akhir ini bermunculan dengan keanehan-kenahan tersendiri.
Diawali dengan sikap Rey yang semakin mendramatisir dan tidak jail lagi seperti
biasanya, belum lagi Andre yang selalu menggiringnya keranah perasaan. Huft
memusingkan memang menghadapi dua mahluk aneh itu. Belum lagi sikap Leni yang
akhir-akhir ini selalu ingin tahu hari-harinya. Ada apa sebenarnya dengan
mereka, pernyataan itu masih menggantung dalam benak Fahita.
Keanehan-keanehan itu tidak lebih dari 60%
menggerus pikiran Fahita, namun ada satu hal lagi yang lebih membuatnya puising
dan menjalani harinya semakin tidak nyaman. Nilai-nilai pelajaranannya kini ada yang menyaingi dan ia tak lagi menjadi
siswa yang number one seperti sebelum
kedatangan sang Rival itu. Yah, yang membuatnya semakin menciut adalah ia
dikalahkan oleh siswa yang tiga bulan lalu baru menginjakan kakinya di sekolah
ini. Salah satu siswa yang juga meresahkan Rey, karena ia juga merasa tersaingi
akan ketampanannya.
Garra sosok laki-laki pendiam yang sangat sulit
ditebak ternyata adalah orang yang extra
ordinari, gagasan-gagasannya dapat begitu saja mampu diterima oleh siapapun
yang mendengarnya, rasional, berbobot dan mudah dicerna oleh kalangan siapa
saja. Sedikit bicara namun mengena adalah salah satu prinsip yang
diagungkannya. Oh lengkap sudah sempurna baginya.
Sudah lebih dari 20menit Fahita mondar-mandir di
kamarnya, sambil memegang pena dan sessekali memegang kepalanya. Tanda ia puising
tujuh keliling. Sambil berkacak pinggang ia bertekad untuk lebih extra lagi
belajarnya dan membuang virus-virus yang akhir-akhir ini mulai merayapi
tubuhnya. Belajar-dan belajar yang hanya akan ia lakukan, seperti hari ini,
tumpukan buku telah memenuhhi kamarnya, satu persatu mulai di bacanya,
sampai-sampai majalah fashion yang nangkring di mejanya terpaksa ia lempar ke
atas lemari. Agar tak tergoda dan beralih pikiran. Begitu pikirnya.
Berkali-kali hpnya berderingpun ia biarkan, ia benar-benar tak ingin di ganggu
oleh siapapun. Sampai-sampai di pintu kamarnya ia tempel tulisan,
_Diamkan aku
dan jangan ganggu konsentrasiku_
Ibunya yang sudah terbiasa melihat tingkah laku
aneh anaknya ketika belajar hanya geleng-geleng kepala dan sesekali tersenyum.
Walau Fahita dulu menolak mentah-mentahan untuk di sekolahkan di Madrasah
Aliyah, namun akhirnya ia masih mampu bertanggung jawab. Walau sebenarnya
tujuan utama Fahita bukanlah itu. Lulus dengan nilai yang terbaik dan mampu
menembus UMPTN di Universitas Negeri.
“Fahita, jangan lupa makan sayang” suara ibunya di
Balik pintu mengingatkannya. Namun, yang dipanggil tetapi tak bergeming tetapi
saja konsentrasi melahap buku-bukunya. Sebenarnya, ia sudah sangat puising, tapi seketika
mengingat wajah cakep dan otak jenius seorang Garra, semangat kembali meletup
mengalahkan rasa puising dan ngantuknya. Anak baru itu telah benar-benar mampu
menyihirnya hingga sedemikian rupa.
###
Jika di sudut kamarnya Fahita masih harus
bermenit-menit bahka berjam-jam bahkan menghabiskan waktunya dengan menekuri
buku yang masih lebih dari dua tumpuk, Garra justru tengah bersantai di
kamarnya. Bermain game dan sesekali chating dengan kawan-kawan di Porong dulu.
Kawan-kawan semasa di pesantrennya yang kini sangat ia rindukan. Sebelum Garra
pindah ke Purworejo dan akhirnya ke Kebumen dan
mendarat di sekolah Swasta yang menurut Fahita sangat membosankan, ia pernah tinggal di Porong. Dan lebih ekstrim
lagi, ternyata semasa di Porong Garra bersetatus menjadi santri dan otomatis
tinggal di Pesantren.
Bukannya Garra tidak betah tinggal di
rumah atau tidak disayang oleh orang tuannya, sehingga melarikan diri ke
Pesantren. Namun, justru orang tuannya terlalu menyayanginya sehingga menyuruh
anaknya untuk mencari ilmu di Pesantren. Garra adalah anak yag menurut Bu Laras
sangat berbeda dengan anak-anak yang lain seusiannya. Dulu, waktu berumur baru
10 tahun ke dua orang tuannya sering di buat terbelalak kagum olehnya,
kejeniusan bahkan pantas disebut ekstra ordinary membuat Bu Laras justru
khawatir. Takut anaknya tidak bisa menikmati masa-masa kecilnya seperti anak
seusiannya, atau bahkan merasa tertekan.
Teringat beberapa kisah masa kecil Garra
10 tahun lalu, saat Garra masih kelas 4 SD, saat Garra masih begitu hoby
bermain Magic Box, ia pernah di
tantang oleh kakanya yang bernama Rian untuk menyusun enam bidang sewarna
dengan mata terpejam.
“Gimana Ra, bisa gak neh?” tantang
kakanya,
“Pasti doong” jawab adiknya.
Rian mengacak kubus Magic box yang
oleh sebagian orang dinamai Rubic, yang barangkali mainan itu diciptakan oleh
orang yang bernama Rubic pula. Rian
mengacak maina itu berulang-ulang sampai warnanya kacau. Melihat itu, Ibunya
yang berada di sampingnya ngeri terbayang betapia sangat sulit ia mencoba
menyusun sebidang. Enam bidang sewarna saja sudah sangat luar biasa eh ini
anaknya yang baru berumur sepuluh tahun menyusunnya dengan mata terpejam. Benar-benar luar biasa.
Rian menyerahkan kubus itu pada adik
semata wayangnya. Butuh waktu tak lebih
dari semenit Garra mengamati kubus magic
bok warna-warni yang ada di depannya itu, otaknya yang cerdas mengamati
dengan seksama kedudukan semua warna dan mungkin tengah menanam ke dalam memori
virtual yang ada di otaknya. Ibunya akhirnya turun tangan untuk membantu
mengikatkan sapu tangan untuk menutupi matanya.
“Paling gak bisa” kakanya mulai
menggodanya.
Tetapi Garra hanya cuek saja.
Dengan penuh keyakinan, Garra memutar
mainan pengasah kecedasan otak itu
berulang kali. Dengan mata yang terpejam, Garra mencoba mengikuti kemana gerak
setiap warna yang diputar, direkonstruksi dan ditata ulang, yang sekali lagi,
hal itu di lakukan dengan mata terpejam.
“Yess” Garra meletup.
Bu Laras benar-benar dibuatnya
terbelalak ketika anak bungsunya menyelesaikan permainannya tidak kurag dari
dari lima menit. Semua bidang menjadi sewarna pada masing-masing sisinya. Kak
Riyan yang memungut Magic box itu
mengalami kesulitan menerka cara kerja otak adiknya itu, sampai-sampai
pekerjaan serumit itu bisa diselesaikanya dengan sempurna. Dipandanginnya
permainan magic box yang kini berada
digenggaman tangannya. Akhirnya kak Rian melepas senyum kagum yang semula
ditelan.
Rian yang sangat merasa bangga segera
mengangkat tubuh adiknya dan
dipanggulnya di atas pundak.
Bukan hanya sekedar itu, kebanggaan mereka terus
berlanjut pada Garra. Saat baru lulus SD Garra memberiikan kejutan yang sangat
luar biasa. Saat itu, kakanya Rian tengah kebingungan mencari ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan pernikahan karena ia memang mendapat tugas membaca
Qira’ah di tempat Om Ridho tetangga selang empat rumah dari rumahnya. Tiba-tiba
adiknya menyeletuk dengan entengnya,
“Ada diantara lain surat Ar-Rum ayat
21” kontan kakanya terbelalak kaget. Mengingat kejeniusan adiknya itu, Rian
langsung membuka
Al-Qur’an dan memastikan benar atau tidaknya. Dan hasilnya sangat memuaskan.
Ternyata benar.
“Kalau di kitab itu, Ar-Rum itu ada di halaman
tujuh ratus sembilan puluh dua ayat dua puluh satu” jawab adiknya sekali lagi
tanpa menoleh.
“Ya Alloh” desis Riyan.
Ternyata benar surat itu ditemuka
dalam halaman yang tadi disebutkan oleh adiknya itu.
“Kalau jumlah ayatnya berapa coba?”
Riyan mencoba kembali mengetesnya.
“Enam puluh” jawabnya lagi.
“Bunyinya tahu tidak?”
“Wa min aayaatihii an khalaqa lakum min anfusikum azaajal li taskuu-nuu
ilaihaawa ja’aala bainakum mawaddataw wa Rahmatan inna fii dzalika la ayaatil
li qaumy yatafakkarun”
Benar-benar sungguh bagai mukjizat.
Kala itu Rian benar-benar terbelalak dan sampai menutup mata untuk meredam
kekagetannya. Apa yang barusan diucapkan adiknya benar-benar rinci, tak
sehurufpun ada yang salah.
Semenjak itulah ayahnya yang bernama BRahmana
memutuskan untuk mengirim anaknya ke Pesantren untuk mendalami Al-Qur’an pada
seorang guru karena sepandai apapun manusia tanpa hadirnya seorang guru
sesungguhnya gurunya adalah Syaithan. Dan akhirnya pesantren Al-Ikhsan yang
tepatnya berada di Porong jawa timur sebuah tempat tak jauh dari Sidoarjo dan Surabaya, Pak BRahmaa
banyak mengenal banyak orang yang tengah menghafal Al-Qur’an dan memang
Pesantren itu dikhususkan untuk Tahfidz.
Dengan seorang gurunya yang ia kenal
baik dan bernama Muhamad Mahsun yang konon berasal dari sebuah desa bernama Curahjati Banyuwangi, Jawa
Timur juga. Pemuda santri yang kemudian diambil menantu oleh pemilik pondok
itulah yang kemudian menjadi pelopor sebagai penghafal Al_Qur’an. Dan sebagai
penghapal Al-Qur’an yang diperoleh dengan pembelajaran secara ototidak, Muhamad
Makhsun membimbing para santrinya untuk menjelajah lebih jauh. Para santrinya
dibimbingnya untuk menghapal al-Qur’an dan mengkajinya lembar demi lembar, di
pahatkan ke benak.
“Menghapal Al-Qur’an pada dasarnya
adalah pembacaan yang berkesinambungan seumur hidup. Tak ada gunanya hafal bila setelah itu
berhenti mengasahnya”itulah ucapan Kyai Makshun dalam memotivasi para
santrinya.
Melihat dan meninjau secara langsung
kegiatan belajar di pesantren itu, Ayah Garra sangat cocok dan akhirnya
memasukan Garra ke pesntren tersebut. Garra yang pada dasarnya anak yang sangat
pendiam dan penurut hanya mengikuti keinginan Ayahnya. Ternyata memang benar, keinginan Ayahnya
membuahkan hasil, lebih dari dua tahun Garra berada di Pesantren dan kini ia telah
bisa menghapal Al-Qur’an.
###
Dua hari sebelum ujian midh semester, dan itu artinya
masih dalam masa minggu tenang, Fahita
dengan sengaja datang ke sekolah dan begitu sampai di pelataran sekolah ia
mengayunkan langkahnya menuju perpustakaan. Belum puas dengan beberapa tumpuk
buku di rumah, akhirnya ia pergi melahap buku yang ada di perpustakaan sekolah.
Obsesinya untuk menjadi number one memang begitu
besar apalagi saingannya adalah anak baru.
Begitu sampai di perpus, saat Fahita masih sibuk diantara
jajaran buku fisika yang tertata rapi,
tiba-tiba,,
“Fahita, sedang apa di sini? Mau minjam buku juga?”
Tanya seorang laki-laki yang belum lama ini di kenalnya. Ini memang bukan kali
pertama mereka saling tegur sapa namun pagi ini ada yang lain, senyumnya begitu
indah dan wajahnya terlihat begitu teduh.
“Eh iya, lah kamu sedang apa?” jawab Fahita di susul
dengan bertanya Balik.
“Aku sedang bosan di rumah, Ayah dan Ibuku sedang
berkunjung ke tempat nenek dan kakaku sedang berada di kantornya, jadi aku kesepian
dan akhirnya jalan-jalan ke sekolah” terangnya. Fahita tidak begitu
mendengarkan, ia lebih tertarik untuk menikmati senyum yang kini menempel di
wajahnya.
“Fahita, mengapa malah melamun?” tanyanya
“Eh-Eh engga” jawab Fahita gelagapan.
“kamu rajin sekali ke
Perpus, Fahita?”
Hehehe, Fahita hanya menjawabnya dengan senyum simpul,
sebenarnya ia ingin menjelaskan bahwa ia terpaksa harus belajar mati-matian
demi melawannya, tapi segera Fahita urungkan karena ia merasa malu dan ternyata
anak baru yang bernama Garra itu yang juga
Fahita sangat mengancam nilai-nilainya itu justru mengajaknya belajar bersama.
Kantin menjadi tempat pilihan mereka, selain santai juga
dapat menikmati segarnya jus Ibu kantin yang sudah terkenal enaknya di seantero
sekolah.
“Benarkan besok senin jadwalnya kita ujian Fisika?”
Tanya Garra pada Fahita yang tengah menyeruput jus alpukatnya.
“Memang kamu tidak mencatat jadwalnya?”
“Tidak” jawab Garra yang membuat Fahita terheran-heran baru
kali ini ia menemukan orang cerdas namun tidak rajin sungguh suatu yang tidak
seperti biasanya. Orang rajin biasanya akan pintar dan orang pintar sudah pasti
rajin, tapi berbeda dengan Garra. Cerdas namun malasnya juga minta ampun. Buku fisika yang sedari tadi di tentengnya
akhirnya mulai Garra buka dan mengajak Fahita berdiskusi. Hanya Fahitalah
selama tiga bulan berada di sekolah barunya itu Garra bisa berkomunikasi,
mungkin karena Fahita juga memiliki otak yang sama-sama cerdas walaupun berbeda
versi. Dengan Fahita juga ia merasa senang berdiskusi baik masalah pelajaran
maupun materi-materi di luar pelajaran seperti mengenai puisi maupun cerpen.
Ternyata keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama suka pada sastra.
Memang tidak ada kompetisi tertulis diantara mereka
berdua untuk menempati posisi number one atau bintang sekolah, karena selama
ini, semenjak kedatangan Garra, Fahita sering belajar bersama dengannya, namun
begitulah orang pintar selalu menjadikan kawannya sebagai lawannya dalam
perlombaan mencari kebaikan. Seperti beberapa hari kemarin Fahita belajar
dengan ekstra untuk menempati posisi yang unggul. Ia tidak ingin reputasinya
sebagai bintang sekolah melorot begitu saja.
“Bagaimana, sudah bisa kita mulai diskusinya?” Tanya Garra
sambil mencorat-coret selembar kertas yang ada dihadapannya.
“Ok. Sekarang juga” Jawab Fahita mantapi.
“Kita mulai dari halaman tujuh yaitu mengenai Kinematika
dan Dinamika Gerak Lurus”
Lalu Garra menjelaskan ruang lingkup dari halaman tujuh
tersebut, mulai dari kelajuan, kelajuan rata-rata, hingga kecepatan.
“Garra, persamaan mendasar dari kelajuan dan kecepatan,
apa?” Tanya Fahita ditengah penjelasan Garra.
“Kelajuan dan kecepatan itu mempunyai persamaan, tapi kecepatan
merupakan besaran vektor, sedangkan kelajuan adalah besaran skalar”
“Oyah kalau hukum kekalan momentum kamu masih ingat?”
“Kalau tidak salah, M1. V1+M2.V2
= M1 . V1’ +M2 .V2’”
“Wah, ingatanmu sangat tajam ternyata, padahal itukan
pelajaran kita pas semester awal” Puji Fahita pada Garra. Ternyata yang dipuji
hanya tersenyum simpul.
“Nah, sekarang giliran aku yang bertanya padamu,”
“Hah, bertanya tentang apa?”
“Coba jelaskan tentang ruang lingkup gelombang”
Fahita terdiam sebentar, mencoba mengingat-ingat mata pelajaran
kelas dua semester awal, begitu memori virtualnya menariknya untuk ke masa
hampir setahun lalu, ia langsung menjelaskannya pada Garra,
“Gelombang adalah usikan yang merambat dalam suatu
medium. Sedangkan di dalam perambatannya, gelombang tersebut akan memindahkan
energi. Dan, untuk jenis serta sifat-sifatnya aku lupa” he-he-he, Fahita tersenyum
malu.
“Gelombang itu terdiri dari dua jenis” Garra menyambung
jawaban Fahita. “ yaitu, Gelombang Transversal, dimana gelombang
tersebut arah getarannya tegak lurus dengan perambatannya, sebagai contoh gelombang
elektromagnetik. Nah, sedangkan jenis yang ke dua yaitu gelombang
longitudinal dimana gelombang tersebut arah getarannya berimpit atau searah
dengan arah rambat gelombang, contohnya itu gelombang pegas dan gelombang
bunyi”
Fahita yang berada di depan Garra masih terdiam, ia
bagai tersihir dengan penjelasan Garra yang begitu runtut dan tertata. Betapia
cerdas dan tajam ingatannya.
“Fahita, Fahita, kok malah melamun? Mau dilanjutkan gak
neh?” Panggil Garra, Fahita yang kaget dan sepontan langsung mengiyakan dengan
gelagapan.
“Jadi,” Garra melanjutkan, “sifat-sifat umum gelombang
itu ada lima macam, diantaranya; refleksi, refraksi, interferensi, difraksi
dan terpolarisasi”
“Waow” Fahita hanya bergeming, ia bingung hendak
menimpali apa, yang jelas, Garra begitu cerdas dan cekatan.
Memang ada banyak orang jenius di bumi ini, mungkin
salah satunya adalah Garra. Ia ibarat Albert Einstennya sekolah kami, tidak
disangka, ia yang lulusan sekolah persamaan di pesantren mampu menguasai
rumus-rumus fisika terlebih ia juga pandai dengan biologi, kimia, dan yang
lebih menakjubkan adalah ia pandai menulis karya tulis ilmiah misalnya.
Huft, Fahita mengibaratkannya seperti Albert
Einsten, salah satu orang jenius di bumi ini. Dari otak jeniusnya itu, kemudian
tercetuslah teori relativitas yang menggegerkan, dan dari kejeniusannya pula
lahir rumus E= MC kuadrat , energy sama dengan masa dikalikan cahaya
dikuadratkan. Dari kecerdasan otak Albert Einsten itulah kemudian juga tercipta
bom atom yang pada ujungnya beranak pinak menjadi bom nuklir yang memiliki
kekuatan mengerikan.
Jenius atau kecerdasan ekstra ordinari selama ini
merupakan fenomena aneh yang belum ditemukan jawabannya. Manusia dengan
kemampuan luar biasa semacam itu biasanya melahirkan hal-hal yang tidak
terduga. Dari orang jenius lahir
rumus-rumus fisika luar biasa, juga di bidang ilmu pengetahuan lain yang
termasuk musik, seni lukis, sastra bahkan rumus-rumus ekonomi dan akuntansi.
Ibu Garra melihat berdasarkan referensi, bahwa orang jenius
seperti memiliki dunia terpisah berbeda dengan orang lain, karena kemampuannya
melihat dan merenung berbeda atau bahkan melebihi kapasitas orang lain. Karena
perbedaan semacam itu biasanya orang-orang berotak jenius justru tidak berhasil
menjalani hidup bahagia, tercatat banyak di antaranya malah mati bunuh diri. Itu
sebabnya sejak kecil, semenjak Ia mengetahui ada yang luar biasa pada anaknya
ia berusaha keras untuk menjadikannya sebagai anak yang biasa saja, menyuruhnya
bermain, bergaul dengan teman-teman sebayanya. Karena Garra memang harus
mendapatkan haknya sebagaimana anak seusianya.
Fahita yang masih dililit pesona itu memandang Garra.
Hening sejenak seiring angin yang berhembus menyapu wajah masing-masing.
“Garra, Aku kagum padamu, kagum pada
pengetahuanmu yang luas. Kagum pada kelincahanmu yang ceria, dan juga pada
canda tawamu yang lepas. serta pada binar matamu yang menawan. Semua yang ada
pada dirimu memang pantas aku kagumi, seperti saat ini, saat kita berteman
bersama, saat aku mendengar cerita dan penuturan indahmu, semua begitu terasa
indah. Wawasanmu yang luas, juga sikap pengertian dan toleransimu padaku yang
tinggi, kau memang sahabat yang baik,” ucap Mentari, memuji sahabatnya itu.
“kamu bisa saja,”
mereka tertawa bersama,
“Ingin aku kasih
tau sesuatu?” lanjut Garra,
“Apah?” Tanya Fahita
penasaran.
“Fahita,
sebenarnya kalau menurutku Tidaklah
penting berapa lama kita
hidup! Satu hari, atau seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang kita telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain!”
hidup! Satu hari, atau seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang kita telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain!”
Fahita terdiam dan mengiyakan, ternyata
manusia yang kini ada di hadapannya tidaklah hanya jenius namun juga sangat
bijaksana dan memandang arti hidup dengan pandangan yang luas. Lalu Garra
melanjutkan perkataannya bahwa kebanyakan manusia saat ini hanyalah cukup puas
dengan: Lahir-hidup dan ujung-ujungnya meninggal, hingga akhirnya yang
tertinggal hanya tiga baris di batu nisannya; tanggal lahir, hingga matinya.
“Sebenarnya, mayoritas manusia tidaklah
mampu mengukir sejarah dengan baik dan tanpa mau menyatukan 3K”
“Apa itu 3K?” Tanya Fahita,
“Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan. Berawal
dari kemauan yang sudah ada, keilmuan
sudah mumpuni maka kesempatan itu sebenarnya mampu dicari dan diupayakan. Percayalah ketika ketiga unsur
itu dipadukan dalam hidup maka sejarah kebesaran tentang hidupmu akan dimulai”
“Satu hal lagi yang tidak pernah
boleh terlupakan oleh manusia” Garra melanjutkan kata-katanya, Fahita yang
berada di depannya masih menyimaknya dengan penuh konsentrasi, “Bahwa ujung
dari segala kehidupan dan usaha manusia di dunia adalah mencari keridloan
Tuhan”
Fahita hanya tersenyum, senyum yang
syarat akan kekaguman yang luar biasa. Bersamaan dengan dentang jarum jam yang
tengah menunjukan bahwa matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun akhirnya
mereka pulang ke rumah masing- masing dan dunia masing-masing. Mereka melangkah
dengan senyum penuh arti, senyum bahagia dan senyum yang bermekaran di hati.
###
To: Jiwa yang kuharap mencintaiku “ Fahita, wanita terindah”
Aku mengukir garis lengkung di
bibirku
Isyaratkan rona2 hati merah muda…
Begitu lembut membelai jantungku..
Seperti ketika kehidupan berikan nyaman di waktuku..
Isyaratkan rona2 hati merah muda…
Begitu lembut membelai jantungku..
Seperti ketika kehidupan berikan nyaman di waktuku..
Saat ,,,,
Aku mengukir tanya di benakku..
Isyaratkan pikir yang menuntut kepastian..
Mendesak hebat menyesakkan dadaku
Seperti ketika awan gelap curahkan hujan…
Isyaratkan pikir yang menuntut kepastian..
Mendesak hebat menyesakkan dadaku
Seperti ketika awan gelap curahkan hujan…
Wahai kau sebuah makna..
Berikan aku setitik terang tuk langkahku…
Ketika ku ingin menggapaimu..
Dan berbisik..aku mencintaimu tanpa syarat
Berikan aku setitik terang tuk langkahku…
Ketika ku ingin menggapaimu..
Dan berbisik..aku mencintaimu tanpa syarat
By: Andre yang selalu memuja hati dan jiwamu.
“Huft” Fahita melenguh panjang, di awal paginya, surat
cinta sudah mendarat di lokernya, di susul dengan sikap Rey yang sok perhatian.
“Pagi Fahita, kamu terlihat segar sekali pagi ini,
brosmu bagus dan ....” masih banyak lagi ocehan-ocehan yang membuatnya risih. Dan Tak ada yang dapat ia ucapkan hari
ini, seperti hari kemarin, hanya bisa cuek dengan tingkah dua
manusia itu. Lalu ia pergi begitu saja
ke kelas dan menemui Garra, untuk mematangkan lagi belajarnya semalaman.
“Kok matamu sembab? apa tidak tidur semalaman?” Tanya Garra yang
melihat wajah Fahita tidak segar,
“Iyah,
aku masih kesusahan dengan rumus-rumus kimia”
“Jangan terlalu
terfosir, belajar SKS bukanlah hal yang baik, sseharusnya di masa-masa ujian
seperti ini adalah saat kita mendinginkan
kepala. Duduklah di belakangku nanti aku akan sedikit memancing ingatanmu”
Hehehe, Fahita
tersenyum, betapia beruntungnya ia mendapat sahabat yang baik seperti Garra.
Dalam tiga puluh menit Garra
telah menyelesaikan dua puluh soal kimia yang kini berjajar di depannya,
berbeda dengan Fahita, masih tersisa lima nomor lagi yang benar-benar ia lupa
rumusnya, huft ia sudah pasrah mungkin semester ini posisinya akan di gantikan
oleh sosok yang kini berada di depannya. Namun, ia sudah tidak peduli, betapia
ia ingat nasehat Garra tempo hari bahwa mencari ilmu bukanlah mencari posisi
yang unggul namun menunaikan kewajibannya sebagai manusia yang masih bernyawa.
Menang kalah adalah suatu hal
yang sangat biasa, menang
itu memang menjadi tolok ukur manusia dalam berusaha, tapi Tuhan tetapi melihat
proses kita.
Garra lalu bangkit
dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kelas sambil menarik kertas ujian Fahita
dan menukar dengan lembar kertas ujiannya, yang berisi coretan tangannya,
dengan tujuan agar Fahita sedikit mengingat pelajaran yang lalu,
“Rumus cobalt (III) karbonat: Co2(CO3)3, kimia untuk
molekul senyawa ion merupakan rumus kimia yang dibentuk dari penggabungan antar
atom yang bermuatan listrik, yaitu ion positif (kation) dan ion negatif
(anion). Ion positif terbentuk karena terjadinya pelepasan elektron
(Na+,K+,Mg2+), sedangkan ion negatif terbentuk karena penangkapan electron (Cl-,
S2-, SO42-). Dan untuk senyawa biner non
logam dengan penulisannya berdasarkan kecenderungan atom yang bermuatan positif
diletakkan di depan, sedangkan kecenderungan atom bermuatan negatif diletakkan
di belakang menurut urutan atom; B ? Si ? C ? S ? As ? P- N ? H ? S ? I ? Br ?
Cl ? O ? F, semoga bisa mengingatkanmu pada setahun silam”
Fahita masih
terdiam dan tak menyangka Garra akan membantunya membangkitkan ingatannya untuk
menyelesaikan soal-soal yang kini masih tersisa. Lalu ia hanya perlu mensyukuri dan merenungi.
“Wah mengapa , kalimat yang berjejer di
depanku, justru mencoba jelaskan isi
hatiku dalam tatapian matamu” Fahita sedikit bergeming. Lalu ia menghapus pikiran
yang sejenak menghampirinya, ia tidak ingin terlalu jauh memikirkan kebaikan Garra.
Fahita segera menyelesaikan soal ujiannya
dan tak lebih dari 15 menit akhirnya ia mampu menyelesaikannya dengan keyakinan
bahwa masih ada harapan dengan nilai-nilaniya. Begitu selesai ia langsung
keluar dan mencari Garra. Enatah
mengapa, semenjak akrab dengannya, hal yang paling membuatnya semangat adalah
ketika belajar bersama Garra, ia benar-benar tak peduli dengan cinta yang
ditawarkan Andre dan terlebih Rey, yang sebenarnya cinta mereka hanyalah
sebatas taruhan. Dalam pandangan Fahita, dua manusia antik itu hanyalah manusia
yang begitu bangga dengan fisikly dan popularitas, berbeda sekali dengan Garra,
seorang laki-laki yang benar-benar berkualitas.
Setelah beberapa menit akhirnya sosok yang Fahita
cari ketemu juga, kantin adalah tempat favoritnya, sambil menikmati jus mangga
dan membaca buku atau kadang kala hanya mendengarkan musik. Itulah Garra sang
jenius, lalu Fahita mendekatinya dan mereka akhirnya berbincang-bincang lalu
membahas mata pelajaran untuk hari esok, begitulah seterusnya hingga ujian
selesai, bahkan ketika liburanpun mereka masih sering sharing dan kadang hanya
bertemu untuk berbincang tentang kegiatan dalam keseharian.
“Fahita, selamat yah, akhirnya kamu masih
menjadi juara” Ucap Garra pada Fahita, yang mendapatkan peringkat ke dua umum,
“Terimakasih, sebenarnya aku sedikit marah
padamu, mengapa kamu harus merebut posisiku untuk jadi number one?” jawab
Fahita pura-pura cemberut, Garra merasa tidak enak, namun buru-buru Fahita
menjelaskan,
“Hei tidak apa-apa, aku sudah tidak
mempermasalahkan itu, sekarang yang penting adalah aku masih mampu ikhlas dan
istiqomah dalam belajar” Garra hanya tersenyum, senyumnya begitu manis hingga
membuat Fahita salah tingkah,
“Garra, terimakasih yah, kamu telah banyak
mengajarkanku tentang kehidupan” Ucap Fahita, Garra hanya tersenyum simpul,
sesimpul perasaan di hatinya yang kini terbalut tentang satu nama; Fahita.
###
Fahita, andai kau tahu, Di ujung lembayun senja kemarin
mungkin hingga esok dan seterusnya lamunan berhenti di bayangmu. Bayang yang
selalu menjadi mimpi Pada hati yang menunggu. Di gelapnya temaram bulan khayalanku
jatuh di dirimu, Sosok yang terus melekat dalam jiwa bersama rindu yang mendera.
Di terbitnya sang fajar pikiranku masih tentangmu, pada diri yang tertanam di
relung yang menjadi paruhan hidup.
Pikiran Garra
terus melayang bermain bersama perasaan
di hatinya yang kini meliuk-liuk dan meronta untuk segera terbebas dari
belenggu yang tertahan dan tersimpan berbatas rasa takut. Kebersamaannya
bersama Fahita hampir lebih dari satu semester itu membuatnya mempunyai pandangan lain terhadapnya;
Pandangan hati.
Hari-hari yang
terus berkejaran bersama matahari dan digantikan rembulan jika malam datang,
terasa hampa dan sunyi tanpa suaranya, tanpa melihatnya, dan tanpa berbincang
dengannya.
Garra semakin merasakan keanehan itu, namun ia
selalu berusaha untuk menutupi dan membuatnya seolah semua terlalu biasa. Namun ternyata tak semudah itu, malam ini baginya
benar-benar mencekam, melilitnya dengan kerinduan yang maha dahsyat, ia ingin
sekali mendengar sayup-sayup merdu pita suaranya, ia ingin melihat wajah
jelitanya, namun tiba-tiba langkah dan keinginan itu terhenti ketika matanya melihat Mushaf syair abadi dunia dari
abjad timur itu, lalu hatinya sedikit berbincang dengan kesunyian Al-Qur’an
itu, hingga ia tertunduk dan berfikir sejenak; harus hati-hati dan berdasarkan
syariat. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk mengambil handpone langkahnya ia
gantikan menuju kamar mandi dan mensucikan anggota wudlhunya.
Di sela-sela terdiamnya mendekati Tuhan, ia
sedikit bergeming dalam hati, merintih meminta petunjuk,
“Ya Tuhan, Dimatanya, Aku mungkin saja hanya
ilusi atau bahkan mimpi belaka. Tapi aku tak peduli karena bagiku, kangen dan
rindu ini begitu jelas untuknya. Aku merasakan sesuatu saat ini, rindu akan
dirinya, rindu melihat dirinya, rindu dengan senyuman dirinya. Malam ini bulan
bersinar cerah, ku berharap diriku akan secerah bulan itu. Yang akan terus menyinari dirinya lewat
ridlo dan petunjuk_Mu ya Robbi. Ya Alloh berilah petunjuk kepada diriku ini.
Apakah aku salah seperti ini? Salahkan diriku mencintai ciptaanmu?” Garra lalu
tertunduk, terdiam dan mencoba berkomunikasi dengan batinnya sendiri.
Ia seolah merasa sangat bersalah kepada
Tuhannya, namun sesekali jiwa kemanusiaannya mendebat, betapia hak seseorang
untuk mencintai, bukankah hak adam untuk mencintai wanita, bukankah memang
sudah sewajarnya laki-laki tertarik dengan keindahan, keindahan ciptaannya.
Ataukah karena ia Hafidz jadi tak boleh mengagumi wanita, atau bahkan karena ia
adalah seorang pemuda yang pernah mengenyam pendidikan pondok pesantren,
sehingga suatu perasaan cinta menjadi hal yang sangat tabu?
Baginya, tak ada sekat bagi hati manusia
untuk menerima kiriman cinta dari Tuhannya, walau ia dalam posisi apapun, baik
seorang hafidz al-Qur’an bahkan seorang anak pondok sekalipun, cinta tetapilah
cinta suatu rasa yang akan tetapi menjamah manusia lewat sudut-sudut nuraninya,
betapia ia tiba-tiba mengingat kata-kata seorang sastrawan pujaannya; Khalil
Gibran.
“Cinta yang lahir dari kesucian hati,
akan kekal abadi. Ia tidak bisa ditundukan oleh siapapun kecuali oleh Tuhan,
karena cinta kepada Tuhan adalah cinta yang hakiki dan tak tertandingi,”
Betapia malam ini bernyawa seperti malaikat,
yang menjelma dalam titian rasa, Garra masih tersungkur dalam sujudnya, seolah
memohon ampunan yang tiada tara. Sedang di luar gelap masih merajai malam.
Kabut masih menyelimuti tipis. Bayang-bayang daun pohon mangga menghitam
tersaput, kabut samar bersisian dengan pohon pisang yang sesekali melambai, sesekali terdengar hembusan angin timur yang
menggesekan dedaunan, saat itu Garra pun menuntaskan do’a malamnya, memohon
ampun atas hari yang dijalaninya, atas kebodohannya menjalani kehidupan dan
atas kurangnnya bermunajat kepada Tuhannya terlebih terhadap perasaan yang kini
tengah mengkikis perhatiannya. Ia hanya berharap bersama malam yang semakin
dingin, semoga ia tetapi di jalan_Nya.
Sambil mengusap wajahnya, direnunginya
kegelapan malam di Balik pintu rumahnya, ia tak ingin hidupnya dalam kegelapan,
ia tak ingin jauh darinya. Lalu ia mengambil Mushaf tercintanya, dan mentadzaburi
dengan penuh cinta.
Memang sungguh indah, jika semua diserahkan kepada
Tuhan termasuk perasaan cinta terhadap hawa.
###
Hari selasa; hari saat Andre dan Rey meminta
jawaban Fahita atas perasaannya. Dengan membawa satu boks cokelat, Rey siap
dengan gagahnya menghampiri Fahita. Dengan penuh rasa percaya diri, bahwa ia
akan menjadi pemenang dan membuat Andre malu atas keberaniannya mengajaknya
taruhan. Dan ia akan tertawa menang.
Begitu pula dengan Andre, yang sudah
berstrategi dengan caranya sendiri. Ia sudah membawa sebuket bunga yang sudah
dipetiknya pagi-pagi dari kebun kecil di rumahnya, mencuri start dengan
meletakannya di loker sebelum Fahita dan Rey datang, sebelum para siswa lalu
lalang. Bersama sebuket bunga ia selipkan kata-kata manis untuk Fahita, kata
manis yang semanis wajah Fahita.
“Aku mengerti, aku tak pantas seperti
ini. Hanya waktu yang bisa menjawabnya dan juga hatimu, wahai bidadariku, hatiku yang terbelenggu
tidak bisa dibohongi oleh perasaan ini. Jika kau tidak ada mengapa mata ini
selalu ingin mencari untuk melihatnya. Jika kau bicara mengapa telinga ini ingin
selalu mendengarnya. Aku hanya butuh satu syair dari dalam hidupmu untuk
hidupku, syair cinta yang tulus yang hanya tercipta untukku. Aku menunggumu di
sudut hatiku”
Jika Andre begitu percaya diri dengan
sebuket bunganya, Rey juga begitu yakin dengan cokelat bawaannya. Cokelat yang
sengaja ia buat sendiri. Sudah semalaman ia berKutat di dapur, membuat
serangkaian cokelat berbagai rasa dan bentuk begitu jadi ia menata barisan
cokelat dengan bentuk daun waru, dan akan meletakannya
pagi-pagi sekali di loker sebelum Fahita datang.
Ia teringat kata-kata Leni, kalau Fahita
begitu menyukai cokelat, Leni memang sengaja membantunya melancarkan aksi
pertaruhannya dengan Andre, Leni mencari tahu makanan kesukaannya bahkan
tentang hobinya, kebetulan saat itu Fahita tengah membaca buku yang berjudul
cokelat. Buku mungil kira-kira seratus halaman, dengan gambar yang menarik.
Sejak hari itu, Rey menarik kesimpulan orang
yang suka membaca tentang cokelat tentunya sangat menyukai makanan tersebut. Dengan
cara itu pula, Rey mencoba menarik hatinya. Entah apa rasa cokelat buatannya,
ia tak peduli, namun ia tetapi merasa percaya diri untuk melanjutkan rencana
ini. Ia merasa tidak bisa mundur dan menyerah tanpa dicoba. Rey juga tak
ketinggalan sama halnya dengan Andre, menyelipkan sebait puisi yang cukup
romantis;
“Teruntuk Gadisku yang Jenius dan menarik
jiwaku untuk memeluk jiwamu”
Setiap mataku terpana
padamu
Saat itu pula rasaku tak menentu
Detak nadiku ...
Goncangan dadaku ...
Menghanyutkan ketenangan kalbuku
Kadang kusentak diriku
Kutarik pandangan yang terpaku
Kusadarkan jiwaku yang menggebu
Dan kukurung dalam terali hatiku
Karena bimbang dan ragu
Seribu tanya yang masih menghalau
Adakah kau seperti aku ... ?
Saat itu pula rasaku tak menentu
Detak nadiku ...
Goncangan dadaku ...
Menghanyutkan ketenangan kalbuku
Kadang kusentak diriku
Kutarik pandangan yang terpaku
Kusadarkan jiwaku yang menggebu
Dan kukurung dalam terali hatiku
Karena bimbang dan ragu
Seribu tanya yang masih menghalau
Adakah kau seperti aku ... ?
Namun aku tetapi tak
peduli, karena aku berharap kau sepertiku.
Sekitar setengah tujuh Fahita sampai di
gerbang sekolah, masih terlihat sepi, siswa-siswi belum banyak yang berlalu
lalang. Ia langsung menuju lokernya, terasa puising seketika ia membuka
lokernya, sebuket bunga dan seboks cokelat telah nangkring dengan indahnya, ia
sudah yakin itu pasti dari manusia terjail yang tak punya kerjaan selain
mengejar popularitas. Ia tak sedikitpun berminat membuka hadiah yang teruntuk
dirinya dengan penuh cinta yang sebenarnya palsu. Semenjak ia mengenal Garra
dan terlebih dekat dengannya, seolah hati dan jiwanya hanya menyerukan namanya.
Andai ia boleh mengibaratkan, di lembayun senja harapannya terhenti atas
namannya, hingga temaram bulan khayalannya pun jatuh pada bayangannya, hingga
sampai di terbitnya sang fajar, pikirannya masih saja tentangnya, andaikan ia
mampu menjadi paruhan hidupnya, betapia dunia ini akan terangkum dalam
keindahan.
Fahita segera menghapus pikirannya, ketika
sosok yang ia bayangkan datang dengan membawa senyum surga yang begitu menjanjikan
akan pengangkatannya menjadi permaisuri abadi serta bidadari penghias kastil
yang sempurna tanpa adanya kematian lagi, senyuman yang begitu indah dan
menyimpan seribu makna pada kehidupan yang tertata.
“Asalamualaikum, selamat pagi nona manis”
“Walaikum salam,” jawab Fahita singkat
disertai senyum manis juga. Betapia sempurna paginya, kini khayalannya bukanlah
lagi sebatas khayalan belaka, fajar yang tadi sempat mengisi pikirannya dengan
sebait namanya kini telah merekah menjadi mentari timur yang menghangatkan
jiwanya.
Lalu, mereka berjalan beriringan menuju
kelas. Langkah pasti menjadi milik mereka, hingga mereka tidak tahu, di
persimpangan tangga yang menghubungkan lantai 1 yang dihuni kelas satu dan
kelas dua dan lantai dua yang di huni kelas tiga, Andre dan Rey tengah
memperhatikan mereka. Setiap langkah Fahita dan Garra seolah mengisyaratkan
bahwa taruhan mereka harus berhenti dan
tidak ada pihak yang menang atau terkalahkan. Yang ada hanyalah kecewa dalam
hati, terutama hati terdalam Rey. Yang sebenarnya telah lama ia memendam perasaan
padanya, serta menikmati semua perbincangan serta mengindahkan pertemanan yang
terjalin selama tiga tahun ini dengan rangkaian harapan semoga berakhir dengan
penyatuan hati. Namun, tampak jelas semuanya pagi ini bahwa tampang cakepnya
tak membuat Fahita sedikitpun bergeming. Terasa sia-sia semua usahanya selama
ini, termasuk menjadikan Leni sebagai batu loncatan mendapatkannya.
“Kita kalah sebelum berperang Rey,” ungkap
Andre meratapi nasib, namun tak terlalu dalam.
“Cerdas ternyata menjadi prioritasnya,”
jawab Rey lirih mengakui kekurangannya.
Fahita, hanya dirimu belahan jiwa diriku, hanya
dirimu jantung hatiku, hanya dirimu cahaya hati diriku, hanya dirimu segala
bagi diriku. Rey masih meratapi nasib cintanya yang porak poranda bersama
langkah kaki yang mengungkapkan senyuman diantara siswa the best di
sekolah ini.
Mata pelajaran pertama di hari selasa adalah fisiska, Garra yang duduk tidak terlalu
jauh dari Fahita, sedikit mencuri pandang namun sesekali menundukan kepala. Ia
tidak ingin pandangan matanya berlanjut menjadi kebahagiaan syaitan yang selalu
mengintainya dan berharap ia lengah. Ia tiba-tiba teringat nasehat gurunya
ketika di Porong dulu.
“Awal maksiat adalah bersumber dari mata,
lalu di produksi oleh otak dan di cerna oleh hati. Wanita adalah salah satu
yang melemahkan pertahanan laki-laki begitu pula seBalikanya, jadi janganlah
sesekali memanjakan mata dengan kenikmatan yang berujung dosa, hanya akan
memperkeruh hati” Nasehat Gurunnya ketika mengajar kitab Ta’limul muta’alim.
Garra sama sekali tak bisa konsentrasi
dengan penjelasan gurunya, justru ia iseng menulis kata-kata dengan ungkapan
yang sangat konyol, menghubungkan fisika dengan sebait kata-katanya dan segera
melemparkannya ke meja Fahita. Fahita yang sedang serius terhenyak kaget, lalu
tertawa sama sekali tak menduga bahwa Garra bisa sekonyol itu, walau
kekonyolannya itu adalah ungkapan hatinya yang bersekat aturan-aturan agama
yang mengajarinya memelihara jasad serta jiwa dari sesutu yang harus dihindari
termasuk urusan cinta dalam umur yang masih labil, seperti umur mereka yang
baru menginjak 17 tahun.
Lihatlah…
Setiap ku memandangmu,:
Amperemeter dan voltmeter cintaku selalu menunjukan skala penuh,
dan gelombang di osiloskop hatiku bergerak tak karuan
Setiap ku mendekatimu,
hatiku bergetar lebih dahsyat dari getaran turbin yang membangkitkan
arus AC tiga fasa 220 volt 50 hertz.
Setiap ku memandangmu,:
Amperemeter dan voltmeter cintaku selalu menunjukan skala penuh,
dan gelombang di osiloskop hatiku bergerak tak karuan
Setiap ku mendekatimu,
hatiku bergetar lebih dahsyat dari getaran turbin yang membangkitkan
arus AC tiga fasa 220 volt 50 hertz.
“He-he, siap-siap menjadi korban
kejailanku, ketika aku sedang tidak minat mengikuti pelajaran yah” hehehe,
pesan Garra di sesobek kertasnya. Fahita mengerling, seolah menerima dengan
senang hati. Semenjak kejahilan itu, mereka sering kali saling berkirim puisi.
Dan saling terbuka untuk menceritakan hari-hari mereka bahkan
kesulitan-kesulitan yang terkadang membuat mereka penat.
Pernah sesekali di
suatu senja yang hampir menguning, Garra mengajak Fahita berkeliling-keliling
taman kota kebumen. Kala itu, senja bagi mereka terasa sempurna, walau tak ada
niatan menggenapkan warnanya, beriringan dengan tawa dan canda yang akan
membalut kenangan di suatu senja berikutnya, serta kenangan yang takan
membingkai takdir walau dengan senja yang masih sewarna.
Sore memang
menyimpan cerita sendiri; indah. Lalu, di saat Garra mentapi mata Fahita dengan
tatapian cinta dan kasih sayang, ia merasa senja tak lagi absurd namun, seperti
menguning sejengkal dari langit hidupnya. Terlabih saat Garra menyatukan bahasa
hatinya dengan bahasa lisannya, hingga terangkai kata-kata yang taklagi ambigu
dalam pemaknaannya namun hanya kepastian yang berujung masa depan. Hanya satu
harapan Fahita terhadapnya, ia tetapi berada dalam cerita nyata dalam senja
yang sewarna hingga esok, lusa bahkan hari-hari yang tak bisa di hitung lagi.
***
2
*Lembaran
Hidup
Tidak ada alasan
meninggalkan Bandung pada musim dingin. Inilah musim yang paling tepat untuk
mendinginkan suasana hati. Tapi apa boleh buat, niatnya sudah bulat untuk
segera pulang ke desa tercintannya dan hendak melanjutkan study ke negara
impiannya; Rusia.
Walau sebenarnya sangat
berat baginya untuk menutup semua halaman kenangan bersama semua yang ada di
Bandung. Ia masih ingin menikmati hujan sore yang membuatnya harus bercinta
dengan bantal dan selimut, ia masih ingin sekali menikmati hawa yang
menyejukan.
Sambil mengosngkan baris
terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan
yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalannya: Umurku baru
berjalan 22 tahun, tetapi kenapa aku merasa terlalu lelah untukmenjalani semua
ini?
Pintu di Balik punggungnya
berderit pelan.
“waow, Zein. Jangan bebani
kopermu dengan buku atuh. Biar nanti aku saja yang mengirimkan semua barang dan
bukumu lewat paket ke Porong”
Zein tersenyum tipis,
urung memberieskan buku-bukunya tadi. Hatinya sedikit terusik mendengar
kata-kata Iryawan, sahabat satu kostnya. Ia merasa seolah-olah takan pernah kembali
ke kota ini.
Zein tahu hari ini
sebenarnya akan hadir dan tak terlelakan, namun ia yakin kepergiannya akan
membawanya pada kehidupan yang lebih baik. Kuliah sarjanannya telah selesai,
kini saatnya ia melanjutkannya ke jenjang
magister. Lagipula, kisah hidupnya akhir-akhir ini membuatnya bertambah
yakin bahwa ia harus segera membuka lembaran hidup yang baru, walau ia
sebenarnya tidak ingin meninggalkan kota sejuk ini dengan berbagai ceritannya
yang unik.
“Kok malah melamun?” masih
memikirkan Neng Gelis itu?” Tanya Iryawan meledek,
“Huft ngawur kamu”
jawabnya sembari melempar bantal yang ada di tempat tidur. Iryawan segera
menghindar. Zein sebenarnya tak ingin membohongi hatinya dah juga Iryawan,
sahabatnya. Ia masih begitu berat meningalkan gadis cantiknya yang telah empat
tahun ini mengisi hari-harinya, namun ia pun tak kuasa jika jarak dan mimpi
yang terangkai harus memisahkan mereka. Amsterdam adalah impiannya untuk
melanjutkan study, dan meneruskan hobinya: melukis.
Zein seringkali mendengar
keinginan Widya untuk pergi ke amsterdam menikmati keindahan serta merasakan
iklim belajar yang begitu membangkitkan semangatnya, selain itu hal yang ingin
segera ia lakukan adalah melukis di salah satu bangku Vondelpark, dan menekuni
hobinya agar ia tumbuh besar menjadi
seniman-seniman yang ia kagumi dan banyak bersliweran di kota itu.
“Widya, semoga kita
menapaki setiap jengkal jarak yang memisahkan kita” rintih Zein dalam hati.
Widya, mungkin aku hanya mampu,
mengeja namamu di Balik kalender yang
semaki menua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim yang selalumeninggalkan
ranting-ranting patah, disana pasti tak ada lagi
senyum dan tawamu yang renyah
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim yang selalumeninggalkan
ranting-ranting patah, disana pasti tak ada lagi
senyum dan tawamu yang renyah
namun, aku akan tetapi setia bersama-sama
membuka jendela purba, menebarkan wangi
di halaman cinta kita.
di halaman cinta kita.
“Sudahlah, jangan
mengelak, aku tahu walau bagaimanapun berpisah dengan kekasih tercinta memang
sangat sulit, apalagi antara kamu dan Widya bukan lagi terbentang kota namun
lautan yang menjadi batas suatu negara” lanjut Iryawan. Zein hanya terdiam,
mencoba menimbang berat rasa yabng ada di hatinya.
“Sudahlah, jangan terlalu
mendramatisir, aku hanya akan menyerahkan semua itu pada Tuhan. Jika Widya
memang jodohku ia pasti akan kembali ke dalam pelukan jiwaku” jawab Zein
mencoba menghibur dirinya sendiri.
“jam berapa pesawatnya?”
“Selepas ashar, jadi masih
hampir 8 jam aku bisa menikmati kota Bandung ini,”
“Sudah bertemu keluarga Widya?”
“Aku sudah berpamitan
dengan semua keluarganya, bahkan Widya esok pagi akan berangkat ke Amsterdam”
“Semoga kalian sama-sama
mampu menjaga hati yang telah lama terjalin” sambil bangkit dari duduknya ia
duduknya dan melangkah keluar dari kamar Zein.
“Doakan saja yah, aku dan
dia mampu menjagannya” ucap Zein menguatkan hatinya sendiri, betapia ia ingat
beberapa hari kemarin, ketika ia mengeluh pada Widya tentang hatinya yang
merasa sangat kesulitan untuk jauh darinya, Widya dengan wajah cerianya dan
senyum simpul yang menghiasinya mencoba berkata pelan pada Zein,
Sang Kuasa selalu punya rencana indah untuk kita umat_Nya. Sesekali
langsung membahagiakan hati, terkadang sejenak bertentangan dengan harap. Kita
hanya perlu mensyukuri dan merenungi. Usah kau terus mempertanyakan, buang
semua logika Berdoalah senantiasa dan syukuri baik buruk yang kita rasa Saat
kita berniat baik dan meminta yang terbaik, itulah yang kan Dia beri Terkadang
seketika seringkali harus lalui hari yang menguji hati Selalu ada rencana indah
untuk kita Walau seringkali kita melupakan_Nya. Selalu ada rencana indah bagi
ki.ta Jika kita terus meminta padaNya. jadi kita harus yakin dengan hari esok
dan selanjutnya.
Kata-kata itulah yang selalu membuatnya tegar untuk jauh darinya,
wajah cerianyalah yang selalu membuatnya ingin bertahan menjalani hubungan
hingga sejauh ini.
Zein sedikit mengingat kenakalannya sebelum mengenal Widya. Ia
adalah seorang yang playboy dan awut-awutan. Susah sekali dalam menata
penampilan. Sifat playboynya itulah yang membuat Widya tertarik untuk
mendekatinya. Widya sungguh penasaran dengan keadaan hatinya. Mengapa seorang
laki-laki mempunyai sifat playboy, filosofis apa yang tersembunyi sebenarnya.
Akhirnya, setelah lebih dari empat bulan mendekatinya Widya berhasil menaklukan
hatinya. Akhirnya merekapun menjalin hubungan hingga selesai kuliah. Kesabaran
dan ketulusan Widyalah yang membuat Zein merasa paripurna menjadi laki-laki, ia
merasa dihargai.
Tiba-tiba hpnya berdering tanda message masuk. Ia langsung membukannya
dan ternyata itu adalah Widya, bidadari kalbunya.
“Pagi puisi terindahku. Pagiku terasa indah ketika aku menyebut
namamu, jiwaku terasa sunyi dari
kesedihan ketika ku mengingat indahnya bola matamu yang menyiratkan tatapian
cinta buatku. Aku akan tetapi menggantung ruh cintaku diantara langit-langit
hatiku. Wahai hiasan surgaku, aku yakin, ruh rasa cintamu padaku akan kau
gantung bersama janji di langit-langit hatimu. Kita sama-sama manusia yang
membutuhkan penyempurnaan cinta, karena memang cinta belum pernah tegak seperti
alif dalam kalbu kita. Namun cinta dan harapan kita akan mencoba untuk
menyusunnya. Tetapilah menjadi hiasan surga ku yang teragung seperti namamu Zein
Dya Ulhaq. Tunggulah aku di Balik pintu, aku akan datang sekitar 30 menit lagi,
pasang senyum penyempurna pagiku”
Zein tersenyum membaca bait-bait smsnya, begitulah Widya
yang selalu membuat kejutan paginya. Romantismenya yang tidak pernah membuatnya
bosan dan membuatnya seperti wanita tak seperti pada umumnya.
Belum usai Zein melukis kenangan kisahnya lewat memori virtualnya, Mentari
paginya telah datang dengan senyum manisnya. Mereka memang berjanji akan
bertemu sebelum pesawat memisahkan dan menerbangkan hati dan jiwa cintanya.
Lalu, Zein melangkahkan kaki membukakan pintu untuk mengizinkan aroma cintanya masuk
memenuhi ruangannya.
“Asalamulaikum,” sapa Widya,
‘Waaalaikum salam, kamu cantik sekali, bidadariku” puji Zein ketika
usia menjawab salamnya.
“Bagaimana persiapanmu? Apa semua barang sudah di packing?” Tanya Widya.
Mendengar pertanyaan itu, betapia hatinya merasakan perih yang luar
biasa, seolah ia takan kembali lagi ke Bandung, seolah Widya begitu
mengikhlaskannya. Tanpa rona kesedihan sedikitpun. Apakah ini sebuah pertanda
ya Tuhanku. Keluh Zein diam-diam di dalam hati.
“E,e, sudah” jawab Zein dengan sedikit berat mengucapkannya. Widya
tahu, Zein benar-benar perih dengan perpisahan ini, namun ini adalah yang
terbaik untuk mereka berdua, demi pendidikan demi masa depan yang gemilang.
Walau ia tahu, masa depan tak harus ia khawatirkan, karena memang masa depan
terlalu mengejutkan, tapi tak ada salahnya jika ia mencoba merencanakan untuk
lebih baik. Ia tidak ingin hanya menuruti perasaan saja, terkadang memang harus
ada yang dikorbankan.
“Zein, tatapilah mataku, lihatlah di dalamnya, berapa kesedihan yang
menumpuk, berapa besar air mata yang siap tumpah atas perpisahan denganmu jika
aku tak mencoba membendungnya” bibir Widya bergetar, wajahnya tiba-tiba pasi,
perih hatinya tiba-tiba menyeruak. Ia semakin merasakan pilu. Degup jantungnya
masih terdengar kencang, tak beraturan. Dadanya sedikit sesak, udara begitu
sukar melewati hidungnya.ia hampir menangis namun air mata yang dengan lincah
hendak menerobos sekuat mungkin ia tahan, ia tak ingin membuat Zein lebih
tersisksa.
‘Ya sudahlah, kali ini kita memang harus bersahabat dengan taqdir”
ucap Zein sambil melangkahkan kakinya mengambilkan air minum untuk Widya.
Widya akan menemani Zein hingga keberangkatannya, sambil berbincang
dan berjanji untuk berjumpa dengan senyum dan cinta yang masih sama, di altar
cinta yang juga masih sama. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hingga
mengantarkan mereka pada gerbang matahari barat. Zein telah bersiap-siap untuk
cek-out ke bandara. Di sampingnya Widya masih dengan senyum yang semanis tadi pagi.
Kali ini, keluarga Widya tak bisa mengantarnya selain ada acara di luar kota,
mereka juga memberiikan kelonggaran untuk saling melepas untuk keduanya.
Waktu bersama tinggal 30menit lagi. benar-benar menit yang
menyesakan.
“Selamat jalan, belahan jiwaku. Sudah kupatikan hidupku pasti sunyi
tanpamu. Semoga kamun dan aku sama-sama bahagia di akhir cerita dengan
perpisahan ini. perpisahan yang sama-sama kita harapkan akan berujung
percintaan pada pertemuan. Aku akan berusaha lebih dari kesetiaanku sselama ini,
agar tak menjadi kesia-siaan bagi kamu dan aku dalam menunggu. Buatlah aku
kekasihmu yang paling beruntung diantara para kekasih laki-laki di seluruh
dunia ini. aku akan tetapi menunggumu
menuangkan cinta di cawan pagi dan menangkan lagi di malam hari hingga aku
terbawa mimpi” ucap Widya menguatkan hatinya yang sebenarnya pertahanannya
telah runtuh sejak awal rencana masing-masing untuk melanjutkan study di negara
yang berbeda.
Zein masih menatapi Widya dengan tatapian perih, matanya tak lagi
menyiratkan bara cinta namun lebih dari itu, cinta yang bercampur dengan beribu
kesedihan.
“Kuatkanlah hatiku dengan setiamu, maka akupun akan menguatkan
hatimu dengan cintaku. Aku tak mampu menjanjikan banyak, aku hanya kan berusaha
menjadikanmu pelabuhan terakhir cintaku yang akan membuatku paripurna menjadi
hamba Tuhan. Hanya kamu yang aku harapkan menjadi pendamping perjuanganku
menyempurnakan separuh agamaku” ucap Zein, terlihat setitik air mata mulai
berjatuhan. Saat suara sirine terdengar dan pemberitahuan dari salah satu
bagian informasi, bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat, terasa begitu
berat Widya melepasnya. Terasa begitu kehilangan. Tak ada lagi kini yang akan
menemani harinya, ia akan hidup sendiri di Amsterdam dan Zein pun akan hidup
sendiri di Rusia.
“Doaku menyertaimu, sayang”
“Cintaku terbang bersama do’amu ke pangkuan Tuhan” lalu, Widya
melepas genggaman tangannya, dan melambaikan tangan pada Zein. Selamat jalan
dan kita semoga mengindahkan semua langkah kita. Aku takan pernah memaiki dunia
karena ia tak menyetujui kita untuk bersama kali ini dan akupun tidak akan
menuding awan yang tak memayungi kebersamaan kita, hingga kita harus berteduh
pada sunyi. Aku masih percaya dengan pepatah yang mengatakan jodoh takan
kemana.
Oh cinta sebegini rumitkah cara kerjamu, sampai-sampai untuk sekedar
mengatakan “aku perih jauh darimu” atau serupa hal itu saja aku tak punya
nyali, gumam Widya di sela nafas yang terhela. Oh, benar-benar mimpi dalam
hidup kita begitu teragungkan. Ah semua sudah terlambat, nasi telah menjadi
bubur, pun demikian keterlanjuran titimangsa toh takan pernah bersempat
dua, hanya keyakinanku akan lebih dari sekedar indah dalam masa yang pertama
cinta kita. Seperti garis yang tak hanya lurus untuk menapaki jalan yang
teramat masih panjang: jalan kehidupan.
Widya melangkahkan kakinya, tak terasa senja telah memerah,
maghribpun telah mengintai. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju parkiran dan
segera mengmbil mobilnya, pulang ke rumah lalu mengurung diri di kamar menangis
bersama boneka-boneka tercintanya adalah hal yang segera ingin ia lakukan.
Selamat jalan Zein, aku menantimu untuk senyum kita di masa depan, lusa aku
akan terbang ke Amsterdam menebus mimpi yang sempat tertunda.
Hatinya merintih sekejap, betapia ia begitu mencintai Zein,
laki-laki yang begitu dekat dengannya selama empat tahun terakhir.
Zein aku begitu menyayangimu. Walau kadang
aku hanya diam tanpa mampu mengucapkannya padamu. Aku cinta kamu, walau aku tak bisa berbuat hal yang dapat
menunjukkan cintaku padamu. Aku ingin memilikimu, walau aku tak bisa mengekang
hidupmu tuk selamanya hanya agar ada di sisi ku. Aku bahagia, jika terus
memikirkan dirimu di malam sebelum tidurku. Jika terus berdiri di sampingmu dan
memeluk erat lenganmu. Senyummu membuat indah duniaku, dikala kau terus
tersenyum dan memandangiku. Aku bahagia bersamamu karena kau adalah segalanya
buatku, buat terus aku dalam pelukan hatimu, buat terus aku tersenyum karenamu
walau hanya sesimpul, sesimpul jarak yang membentang, aku sayang kamu. Aku cinta
kamu.
***
Porong, 2005…
Zein terdiam dalam hening. Matanya
menatapi kerlip di sepanjang jalan yang ia lalui dalam pekat malam itu. Setelah
tadi ia sampai bandara ternyata utusan ayahnya telah ada yang menjemput di
ruang tunggu. Begitu ia turun dari pesawat dan menuju ruang tunggu ia menangkap
Avanza silver milik ayahnya.
Zein masih menatapi lekat malam
dengan sedikit bintang yang mengintainya
di langit luas, jasadnya memang hendak sampai di pelataran rumahnya namun hati
dan jiwanya masih tertinggal di bandung dan hatinya masih ada dalam hati Widya.
Rasa ini menjerit, hati ini sakit perih
tak tampak. Batin ini bingung tak menentu. Namun semua tertahan tak dapat
menyeruak.Tak ada yang tau, tak ada yang peduli.Tak ada yang mendengar jeritan
hampa ini. Disini, senja tak menyapa Gunung dan hamparan airpun tak mendengar
Jeritan nada yang terkalahkan oleh deburan teriakan ombak menghempas karang-karang
hatiku, Aku ternada dalam kekalutan. Aku terenyuh diam tak menatapi.Tatapian
hamparan lautanrinduyang kosong dengan patahan harapan.Aku terdiam membisu
hanya dengan air mata. Batin Zein menyeruak
kesakitan. Matanya tak henti-hentinya meneriakan tatapian hampa.
“Ayah sehat kang?” Tanya Zein pada utusan
Ayahnya. Sebutan kang adalah sebutan yang telah menjadi adat bagi orang-orang
yang tinggaln di gedung besar di sekitar rumah Zein. Dan orang-orang
menyebutnya pesantren, dan kakang yang disebut tadi adalah salah satu santri
yang mondok di sana. Namun Zein dan keluargannya tidak ingin diagungkan dengan sebutan
keluarga kiyai. Mereka ingin seperti biasa saja. Berbaur dengan masyarakat
sekitar dan belajar mengkaji ilmu Alloh secara bersama, hanya saja umur yang
lebih mendominasi sehingga Ayah Zein harus mengajar mereka dan mereka para
santri dikatakan belajar dengan Ayah Zein.
“Alhamdulilah sehat Gus” jawab kang Ilham,
ia adalah santri kepercayaan Ayahnya, sudah lebih dari delapan tahun tinggal di
pesantren ayahnya dengan menghafal Al-Qur’an.
“Mbok ampun ngoten to kang, biasa
mawon. Namaku kan Zein panggil ajah Zein, lagiyan kita kan kawan sejak aku
berimir 15 tahunkita sering bermain bersama” jawab Zein, tidak suka dengan
sebutan Gus. Begitulah ia sejak kecil berbaur dengan para santri sehingga tidak
ada gap yang memisahkan mereka. Itupula tidak membuat para santri berkurang
rasa hormatnya terhadap keluarga gurunya. Justru dengan kerendahan hati gusnya
itu mereka lebih menghormati.
Aku inginkan dirimu, datang dan temui
aku. Kan Kutakan padamu aku sangatmencintai dirimu.
Lagu Dadali di saat aku mencintaimu tiba-tiba terdengar dan itu tandanya ada
message masuk. Zein segera membukannya dan ternyata itu adalah sms yang
beberapa menit lalu sangat ditunggu-tunggu. Widya pujaan kalbunya.
Matahari hidupku, Sejauh mana engkau
telah melangkah? Sudah kau jamah pelataran rumahmu? Doa dan cintaku
mengiringimu hingga kau tergolek dalam pangkuan Bunda dan Ayah. Salam hormatku
padanya, hingga saatnya tiba akan kucium tangannya dan kepeluk wangi tubuhnya
seperti nanti kau akan meluapkan rindumu padanya yang terkasih dalam hidupmu.
Tanpa menunggu detik melangkah begitu lama,
ialangsung membalasnya,
Jalan masih menahanku untuk memeluknya
hingga tiga puluh menit lagi. baru saja aku keluar dari bandara. Kecupku untuk
hatimu selalu. Dan izinkanlah aku memelukmu dalam mimpi lelahku dalam apitan
malam. Aku menunggumu bersama untuk memeluk orang terkasihku dan akan menjadi
surga kita bersama kelak. Salam cinta teruntuk kasihku yang tengah menahan hawa
dingin bandung seperti hatiku yang tengah menggigil karena baru saja lekang
tanpamu.
Message sent
tertera dalam hpnya. Zein kembali menatapi keremangan kerlip lampu jalanan
malam. Ia sudah tak sabar ingin memeluk Bunda dan Ayahnya. Hampir setahun ia
tak berjumpa, alasan sibuk dan terbentur dengan semua kegiatan adalah alasan
yang membuatnya berlama-lama di Bandung. Walau ia tahu, Ayahnya telah
membutuhkannya untuk menggantikannya di Pondok Pesantren. Namun ia rasa-rasanya
belum siap mungkin sampai kapanpun ia merasa tak siap. Walau ia pun hafal
Al-Qur’an tapi ia merasa santri-santri yang mendapat pengajaran dari
Ayahnya lebih pandai dari dirinya,
hingga ia memutuskan untuk melanjutkan magisternya di Rusia. Dan masalah pondok
pesantren akan ia serahkan pada kaka iparnya yang memang sudah mumpuni.
Kakanya telah menyelesaikan kuliahnya di
Timur Tengah ia pun hafidz sehingga ia sangat pantas membantu Ayahnya di
pesantren.
Mobil yang Kang Ilham kemudikan kini
mem,asuki pelataran dengan gerbang megah di depannya. Terteraadi gapura depan
Gerbang ukiran seperti khot dari tulisan arab; Pondok Pesantren Al-Ikhsan
porong. Rasa rindu di hati Zein semakin tak tertahankan, begitu mobil berhenti
di depan garasi, begitu saja Zein turun tanpa memikirkan barang bawaannya dari
Bandung. Serta merta ia membuka pintu dan mengucap salam,
“Asalamualaikum,”suarnya tercekat menahan
kerinduan yang sangat mendalam pada Ayah dan Bundanya.
“Waalaikum salam.” Suara perempuan yang sangat lembut. Itu pasti
adalah suara Ninda adik bungsunya yang sangat manja dan sangat cantik pula. Zein
langsung mempercepat langkahnya dan begitu melihat Ninda ia langsung memeluk
tubuh mungilnya namun sedikit gempal berisi.
“Kaka,”
“Iyah Nduk, kaka sudah sampai, mana Bunda
dan Ayah?”
“Beliau masih mengajar santri kelas tiga
yang akan khataman Al-Qur’an binadzor” jawab Ninda. Zein masih memeluk adiknya,
begitulah ia begitu sanagt menyayangi dan memanjakannya. Selang beberapa menit
kemudian kaka perempuannya yang bernama Hilatus shalilah datang ,menyambutnya
dengan pelukan yang juiga hangat. Tidak hanya dengan adiknya Zein juga sangat
akrab dengan kakanya. Pendidikan orangtuannya untuk saling menyayangi sesame
saudaranya ternyata berhasil, dan putra-putrinya kini hidup rukun.
“Le, mana kekasihmu yang kemarin kamu
ceritakan sama mbakmu?” Tanya Hilya pada adiknya,
“Mba, dWidya belum siap untuk datang kesini,
ia lusa akan berangkan ke Amsterdam. Melanjutkan Magister di sana dan ia akan
mengembangkan bakat melukisnya”
“Yo wes ra opo, seng penting kamu yo percaya
lan setia Le” nasihat Kakanya dengan bahasa bandek halusnya.
“Le, anakau lanang, mulih jam piro,
nga[punten Bunda lan Ayah mboten saged nyambut awakmu Le” ucap Ayahnya
ketikaselesai mengajar dan bergabung di ruang tamu. Mereka langsung memeluk
anak lelaki satu-satunya. Anka laki-laki yang sanagt mereka banggakan. Zein
begitu menikmati pelukan hangat dari Ayah dan Bundannya terasa surga pun ikut
memeluknya. Serasa mereka selalu membacakan baris-baris kasih sayang yang takan
pernah putus oleh masa dan suasana. Zein begitu merasa beruntung terlahir dalam
balutan keluarga yang begitu mengagungkan kasih sayang serta ketaqwaan pad
Tuhannya. Ia merasa menjadi buah hati yang paling beruntung di muka bumi ini.
***
Seminggu tengah
berlalu. Zeinpun sudah siap akan melakukan pengembaraannya lagi. kali ini,
bukan hanya lintas kabupaten, namun ia akan melayari samudra yang mahaluas.
Seminggu memang waktu yang sangat singkat untuk membaringkan tubuhnya dalam
pembariangan kasih sayang Bunda. Namun ia sadar, seberapa waktu lamapun ia akan
selalu betah dalam pelukan hangat penuh cinta dari Ibundannya.
Malam ini adalah
malam terakhir ia di merasakan kehangatan dalam pelukan Bunda. Esok ia akan
terbang ke Rusia. Menjemput mimpi yang selama ini masih menggantung di
langit-langit fikirannya. Hati dan jiwanya telah ia persiapkan untuk sesiap
mungkin menerima dan meninggalkan sesuatu yang ia senangi bahkan tak ia
senangi. Ia juga tengah siap untuk memisahkan jiwanya dari pelukan jiwa
kekasihnya. Ia sengaja memandang gambar yang berlatar cinta dengan lamannya.
Detik bahkan bermenit hampir satu jam ia memandang wajah manis Widya dalam
foto. Tiba-tiba kerinduannya memuncak seakan menyeruak dan mencoba berteriak
untuk segera ia antarkan pada yang memiliki pemberhentian rindunya. Relung
jiwanya tiba-tiba bergema dengan bahasa cinta yang begitu mendalam,
mengisyaratkan bahwa ia begitu rindu, bahwa ia tak mampu berpisah dengan
nafas-nafas cintanya.
Rinduku selalu mengalirkan namamu. Namamu
selalu detakkan jantungku, Sulit kubendung naluri itu, selalu begitu, setiap
waktu. Tapi, kau tak ingat dan tak tahu dan akhirnya akulah yang terpuruk dalam
rasa itu, rasa yang menggebu sejak dulu, dari masa lalu dan kau tak pernah
ingat dan tak pernah tahu rasa dan asaku padamu terukir begitu jelas di tulang
rusukku mengalir deras di aliran darahku. Memukul keras membuat lebih cepat
detak jantungku sedikitpun, kau tak ingat dan tak tahu seperti menghitung
jutaan bintang di malam hari. Seperti menghitung rinai hujan yang jatuh ke bumi
Seperti menghitung hamparan pasir di pantai, sampai matipun kau akan selalu
ingat dan harus mengerti bahwa di sini
ada satu hati yang menunggu, di sini satu jiwa yang terbelenggu.
Ia mengakhiri perbincangan dengan hatinya,
ketika terdengar suara pintu diketuk. Ternyata setelah di buka, ibundanya telah
berdiri di depan pintu. Lalu, Zein menggandeng lengan Bundanya dan mengajknya
masuk.
“Le, barang-barangmu sudah kamu packing
semua?” Tanya Bunda sambil duduk di ranjang tempat biasa untuk tidur Zein
ketika di rumah.
“Sampun Bunda” jawabnya.
“Baru saja kamar ini terasa hangat, kamu
sudah akan pergi lagi”
“Bunda, Zein belum sempurna menemukan apa
yang Zein cari dalam hidip ini”
“Njeh sampun, seng penting ngati-ngati. Ojo
lali, al-Qur’ane dilalar, eling kalih Gusti Alloh. Ayah kalih Bunda
njaga awakmu kalih do’a”
“Injeh Bu. Insa Alloh”
Lalu mereka berbincang-bincang hingga tak
terasa waktu telah menunjukan separuh malam. Akhirnya Bunda beranjak dari kamar
Zein.
***
Semua
perlengkapan sudah terkemas rapi. Begitu juga
dengan Zein yang tengah berdandan rapi. Hanya ada satu hal yang Zein lakukan
sebelum ia pergi ke bandara sebentar lagi. Di bukanya buku merah jambu yang
beriskin halaman kenangan. Ia lalu membuka handponenya dan mencari nomor cantik
milik kekasihnya.
“Hallo,” suara remaja cewek menyambutnya.
“Selamat pagi, Widya,
aku rindu dengan suaramu. Aku sebentar lagi akan ke bandara”
Suara di ujung sana
terdengar merintih menahan rindu berlatar belakang berat kehilangan. Hampir 60detik
Zein memanggil-manggilnya. Terdiam suara Widya, Zein tahu, begitu berat ia
melepasnya.
“Kita saling
mendoakan yah, aku akan terbang ke Amsterdam dengan sayap cinta kita,
berhati-hatilah, pulang bawa sekeranjang ilmu dan tetapilah jaga cinta kita”
akhirnya Widya barkata di ujung sana.
“Ya sudah, kita
akan berjumpa liburan nanti. Setelah ini, aku akan langsung ke bandara. Salam
ku untuk hatimu, kecup mesraku untuk jiwa penuh cintamu yang hanya teruntuk
buatku”
“Iyah, sampai
ketemu di liburan penuh cinta” dan telepon itu ditutup dari ujung sana. Zein
lalu menyimpan handponenya dalam saku. Percakapan telpon barusan tidak lebih
dari tiga menit, tapi serasa waktu telah melemparkan jangkarnya dan berhenti di
sana. Dan kini kembali Zein mencabut jangkar tadi, kembali bersama ayah dan
bundanya yang sedari tadi menunggu anak laki-lakinya. Mereka sama-sama
mengertinya dan memberi ruang untuk anak laki-lakinya yang memang sudah
beranjak dewasa dan sudah waktunya memikirkan pasangan. Dengan avanza silver mereka mengantar Zein menuju bandara. Selang
empat puluh menit mereka semua sampai di bandara dan,
“Le, hati-hati
ingat pesan kami.” pesan ayah dan bunda saat melepas kepergian putra pancuran
kapit sendang itu.
“Injeh, doakan saja
nanti pulang membawa ilmu yang bermanfaat”
“Dan,” ayahnya
menambahkan, “harus membawa istri yang solihah”
Zein hanya tertawa,
nakalnya mulai kelihatan.
“Tenang saja Ayah, Zein
sudah mempersiapkan calon menantu yang tidak mengecewakan”
Ayah dan Bundanya
hanya tertawa kecil, lalu mereka meletakan barang-barang bawaan Zein di atas
troli. Seiring troli berjalan, Zein juga melangkah menuju pintu lepas landas
pesawat. Lambaian tangan mereka mengiringi langkah pasti Zein.
***
Rusia…
Mungkin kesunyian adalah dedaunan yang semena-mena berserakan.
Hingga jalan di ziarahi oleh hening yang bersatu-padu dengan tetesan hujan.
Serta angin yang menerpa dedaunan yang melambai pada langit luas di atasnya
dengan awan-awan hitam yang sedikit bergumpal bergelantungan dan terkadang
berlarian bersama angin-angin dan gerimis yang saling berburu menuju wajah
tanah. Tapi itu adalah sunyinya Indonesia, tanah air yang begitu dibanggakan, tapi
itu tidak ia temukan ketika di Rusia.
Ia hanya menemukan gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih yang
terus turun perlahan lalu menempel di jalan-jalan, hingga atapi rumah bahkan menutupi
daun-daun yang sebelumnya melambai dengan hijaunya. Semua bagai menyepuh kota Moskwa
menjadi serba putih. Kota katerdal itu seolah diselimuti kain kafan yang serba
putih. Dalam suasana serba pitih, Moskwa seolah memamerkan keindahan sihirnya
dalam musim dingin.
Jalan-jalan yang serba putih, katerdal-katerdal dan bangunan
berbentuk kastil yang dilumuri salju. Pucuk-pucuk cemara araucaria ya
bertahtakan butir-butir putih. Taman-taan yang menjelma permadani serba putih. Air mancur yang membeku menciptakan
ukiran kristal, dan pesona jelita para kaum perempuan Rusia dalam balutan rapat
palto warna ungu tebal dan berkelas. Semua berpadu menjadi sihir salah satu
kota Rusia itu di musim dingin. Sihir kota yang dingin
di Rusia tersebut adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng.
Matahari sama sekali tak ada tanda-tanda akan menyatu dengan bumi. Pohon-pohon Bereozka di kanan-kiri
jalan seolah sedang berdendang ria tertiup angin. Pohon-pohon itu terlihat
pasrah kepada yang menciptannya, pasrah dalam balutan dinginnya putih salju,
pasrah harus berkawan denggan dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah
meranggas meninggalkan dan menyatu dengan tanah yang makin hari tertimbun
pitihnya salju. Belum lagi, angin dingin yang terus berhembus walaupun perlahan
dari kutub utara, namun menimbulkan suhu udara yang dinginnya maha dahsyat
hingga membekukan apa saja.
Salju berterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon
pinus di hutan-hutan kecil di pinggir bandara Shemeretyevo menggigil
kedinginan. Suhu minus hampir empat belas0 celcius. Orang-orang
menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya, ruah-rumah dan gedung
menutup rapat pintu dan jendelanya. Tak boleh ada sedikitpun dingin yang
menelusup. Penghangat ruangan pun telah menyala hampir duapuluh empat jam tanpa
henti demi menghangatkan ruangan dan badan. Karena membiarkan hawa dingin
menelusup ke tengah-tengah mereka sama saja membiarkan hawa kematian yang akan
menjemput berbaur dengan mereka. Sungguh tragis akibatnya.
Hawa dingin dan salju yan semakin menebal sama
sekali tidak menjadi penghalang lalu-lalang aktivitas manusia-manusia di negeri
tersebut. Terlihat dari semangatnya para sopir taxi yang memngangkut penumpang
dan ada pula yang menurunkan penumpangnya ketika memasuki area bandara.
Zein masih terlihat tenang duduk di ruang tunggu. Kawannya yang
bernama Idris akan menjemputnya dan mengantarkannya ke KBRI di Moskwa. Sesuai
janji dari kampusnya, setelah Zein memberieskan administrasiya di KBRI
tersebut, mereka akan mengurus semua kebutuhan Zein selama dua tahun menempuh
pendidikan Magisternya di Moskwa dengan jalur beasiswa tersebut. Memang sugguh
beruntung Zein memiiki otak yang cerdas sehingga begitu mudahnya ia menerima
besiswa dari luar negeri.
Tidak lebih dari tiga puluh menit Zein menunggu Idris, akhirnya ia
datag juga. Melambaaikan tangan dengan sebua taxi yang sudah disewanya sampai lokasi
KBRI. Dan Zein begitu saja bergegas menghampiri lambaian tangan kawannya.
“Hai kawan, bagaimana kabarmu? Lama kita tak jumpa?” sapa Idris
ketika Zein mengahampirinya. Mereka memang lama tidak bertemu, mugkin hampir
lebih dari tujuh tahun semenjak mereka lulus dari SMP. Dulu, ketika mereka
masih sama-sama bersekolah di tingkat pertama, mereka adalah kawan akrab,
mungkin mereka merasa satu nasib dan satu penderitaan, mereka juga berasal dari
satu kabupaten. Zein yang berasal dari porong sedikit ndesa, sedangkan Idris
bertempat tinggal di kawasan kota porong.
“Bikhoiri alhamdulilah. Bagaimana denganmu, kayaknya tambah
subur saja” Zein bertanya sambil bergeleng-geleng kepala melihat sahabat yang
satu ini makin gemuk. Dulu, Idris adalah anak yang super kurus, dan sangat
tidak rapi, berbeda sekali dengan sekarang. Tubuhnya sedikit berisi dan
wajahnya sangat bersih, penampilanya juga sangat rapih. Menunjukan bahwa
sekarang ia sangat mengutamkan penampilan.
“Ya, aku yang seperti kau lihat sekarang”jawabnya sambil terkekeh.
Lalu mereka pergi dengan mengendarai taxi yang sudah di sewa oleh Idris untuk
mengantarkannya ke KBRI.
Hari mulai gelap, salju turun perlahan. Hawa dingin semakin
mencekam, Zein merasa semakin tak bisa menahan hawa dingin, tubuhnya menggigil,
untung saja selang beberapa menit ia dan Idris telah sampai di KBRI. Gedung
megah yang di gerbang masuknya tertera tulisan yang cukup besar; Kedutaan Besar
Republik Indonesia Rusia. Gedung itu terletak tidak jauh dari
Novokuznetskaya Ulitsa no .12.
kantor tersebut juga menyatu dengan kantor Sekolah Indonesia Moskwa. Atau
kantor yang biasa di sebut dengan SIM. Sekolah tersebut sudah berdiri sejak
tahun 1963, bisa disebut dengan sekolah Indonesia yang pertama ada di luar
negeri.
Sampai di KBRI, Zein di kenalkan dengan Pak Bambang Sudibyo, yang
melainkan itu adalah Ayah Idris. Ia memang tinggal di KBRI dan menjabat sebagai
guru di sekolah Indonesia di luar negeri tersebut.
“Ayah, ini kawan Idris namanya Zein”
“Oh ini to, mahasiswa lulusan Bandung?” Tanya Ayah Idris sambil
menjabat tangan Zein. Zein tersenyum
sedikit tersipu malu. Lalu, mereka masuk ke dalam rumah dan Idris bergegas
menyiapakan kamar untuk istirahat Zein.
Hampir lima jam dalam perjalanan, selama lima jam pula matanya tetapi
membeliak terjaga. Hingga Zein merasa lelah mulai menggerogoti tubuhnya dan mengajaknya
berbaring, namun ia sedikit tidak enak akhirnya duduk dengan tubuh yang sebenarnya
lebih pantas di baringkan.
“Zein, bagaimana kabar pesantren?” Tanya Idris yang ikut bergabung
di ruang tamu.
“Alhamdulilah makin berkembang,”
“Oyah, aku dari tadi tidak melihat adik Idris dan Ibunya?” Tanya Zein
kemudian.
“Oh, mereka memang tidak ikut tinggal bersama kami, mereka menetapi
bersama neneknya di Bandung” jawab Ayah Idris,
“Iyah, sebenarnya kami sudah mengajaknya, tapi katanya mereka lebih
menyukai iklim Indonesia terlebih Bandung yang sejuk lagian si Dea ingin kuliah
di UPI” lanjut Idris menyambung jawaban Ayahnya. Zein hanya mengangguk-angguk,
mendengar kata-kata Bandung tiba-tiba ia ingat gadis pujaanya.
Entahlah, setelah begitu jauh jarak bersabda, masihkah ada sisa-sia
senyuman yang dulu pernah kau tabur?
“Ya sudah Zein, wajahmu terlihat begitu lalah, di matamu sudah
tergambar pulau kapuk”Idris mengomentari lelahnya mata Zein. Akhirnya Idris
mengantarkan Zein ke pembaringan.
***
Ketika pagi tiba, bukan matahari yang mengetuk jendela kamar Zein,
namun salju yang semakin memutih yang siap menghampirinya. Dulu ketika masih di
Bandung, tidak ada yang lebih dahsyat dari pada gabungan gerimis hujan di luar
dan selimut hangat di dalam kamar. Namun, sekarang di Rusia hanya hamparan
salju yang menjadi tatapian matanya, namun tetapi saja tidak berbeda, Zein
masih ingin bercinta dengan selimutnya.
Namun, Zein tiba-tiba teringat bahwa
masih ada hal yang harus dilakukannya, mendaftar di kampus dan mencari tempat
untuk tinggal selama ia di Rusia. Akhirnya, dengan sangat terpaksa ia
menghampiri handuknya dan memeluknya hingga ia sampai di kamar mandi dan
menyalakan air panas.
“Zein, segeralah sarapan” teriak Idris
mengira kalau Zein belum bangun. Tapi selang beberapa menit Zein keluar kamar
dengan dandanan yang sudah rapi.
“Waow udah cakep sekali kamu,
sudahkah siap untuk mendaftar Magisternya di MGU?” Tanya Idris.
“Wah, jelas dong, aku sudah tidak
sabar untuk merasakan iklim kampus lagi” jawab Zein dengan semangat.
“Ya sudah, sekarang yang penting
kalian sarapan dulu dan nanti Idris akan mengantarkanmu ke MGU” sambung Ayah Idris.
Melihat menu makanan yang sangat
berbeda dengan menu makanannya di Bandung Zein sedikit bingung, satu menit dua
menit hingga tiga menit Zein hanya melihat-lihat makanan yang terhidang di meja
makan.
“Zein, ayo makan malah bengong”
tegur Idris,
“Ow, apa kamu bingung dengan menu
makanannya? Disini tidak ada sayur kangkung” Idris ngekek. Memang menu sarapan yang ada di depan Zein
sangat berbeda, kini di depannya hanya ada roti Pirozkhi, tidak seperti
biasa ketika di Porongpun yang disediakan Bundanya adalah nasi, sayur dan
lauk-pauk. Namun, akhirnya Zein memakannya dengan lahap karena ternyata enak.
Selesai makan, mereka langsung
berisap-siap dengan mengenakan palto ke ungu-unguannya.
“Kita ke MGU naik apah?” Tanya Zein
pada Idris.
“Metro saja yang murah”
“Memang tahu rutenya?” Tanya Zein,
“Belum, nanti kita Tanya saja sama
orang” jawab Idris, ia selama lebih dari tujuh bulan di Rusia jarang sekali
kemana-mana.
Universitas Negeri Moskwa
atau Moskovskyj Gosudarstvennjy Uniersiteit, biasa disingkat dengan MGU.
Universitas paling tua dan paling besar di Rusia ini juga sering disebut Imeni
Lomonosova. Universitas kebanggan Rusia. Hingga membuat Zein tertarik untuk
melanjutkan Magisternya di Rusia ini. Walau iapun sebenarnya tahu, tantangan
apa saja yang akan melimbungkan dirinya.
Jalan masih sepi. Angin berhembus
dingin perlahan. Salju yang melumuri tanah perlahan mencair. Zein dan Idris keluar
dari pintu rumah, mereka langsung menapaki trotoar panfilovsky pereulok,
mereka juga melewati taman-teman kecil yang terlihat jelas dari pinggir jalan.
Kira-kira lebih dari dua puluh menit
mereka sampai di gerbang setasiun metro smolenskaya. Bangunan stasiun
itu besar dan cukup megah. Bangunan yang berwarna cokelat khas Rusia. Setasiun itu
juga terletak di bawah tanah, hingga mencari metro yang akan mengantarkan
mereka ke MGU harus turun lagi menggunakan escalator, benar-benar bangunan yang
megah dan membuat Zein terheran-heran. Berbeda sekali dengan kotanya di
Indonesia, salah satunya di Jakarta. Memang megah dan interior bangunannya juga
membuat mata terpana, namun di pinggiran kota Jakarta banyak sekali
keprihatinan yang harus di renungkan. Rumah-rumah di pinggir jembatan,
rumah-rumah yang terbangun dari kardus, dan banyak sekali orang-orang yang
terlantar. Entah karena pemberdayaan
masyaraktnya yang minim atau bisa juga miss manajemen hingga semuanya terlihat
tragis.
“Idris, apakah masih jauh?” Tanya Zein.
Wajahnya terlihat pucat, tanganya semakin memutih bahkan seperti tangan mati
yang berkerut-kerut. Ia semakin merasa kedinginan, mungkin karena evek belum
terbiasanya sehingga ia bersin-bersin terus dan hidungnya pun memerah, ia
pilek.
“Tidak sebentar lagi, kita tinggal
ambil jurusan ke Arbatskaya lalu
melintas jalur merah menuju stasiun Biblioeteka Imeni Lenina, terus ke
selatan” jalas Idris. Sambil membetulkan baju hangatnya. Mereka kini berjalan
di pinggir Smolenskaya Pereulok. Jalan-jalan kota terlihat sangat rapih. Salju
yang berjatuhkan dan menempel di aspal sudah dibersihkan. Sebagian yang mencair
mengalir ke lubang-lubang drainase yang
tertata setiap seratus meter.
Gedung-gedung dengan interior kuno menghiasi kanan-kiri jalan sepanjang
mata memandang. Gedung-gedung dengan
arsitektur gaya Romanesque dan Ghotic itu tersusun, tertata dan terpelihara
dengan baik. Indah, nuansa klasik yang masih terasa juga sangat rapi. Zein
berdecak kagum sambil terus melangkahkan kakinya.
Orang Rusia begitu tinggi menghargai
sejarah. Kalau Indonesia, negaranya tercinta begitu memprihatinkan, untuk
menghargai karya-karya sastra peninggalan orang-orang terdahulu saja masih
tidak becus. Justru karya-karya mereka berserakan dalam gudang, atau jika ada
perpustakaan yang menyimpan buku-buku lamapun tidak terurus. Huft bagaimana
akan maju dengan berkaca pada perjuangan masa lalu. pikir Zein.
Museum-museum tempat benda-beda
bersejarahpun sama sekali tak terawat. Masyarakat lebih menyukai datang ke
ancol, mall atau taman hiburan lainya demi memuaskan jiwa rekreasinya. Berbeda
sekali dengan budaya di Rusia ini, orang membangun dan menjaga setasiun saja
seperti membangun istana.
Selang lima belas menit mereka
sampai di stasiun Arbatkaya, mereka disambut dengan interior yang sangat indah,
mahligai yang melengkung-lengkung,
latai yang bersih, jernih dari marmer alam cokelat tua. Belum lagi lampu-lampu
kristal yang memancarkan cahaya meneduhkan. Semua petunjuk di stasiun tersebut
ditulis dengan bahasa cyrilic, tidak dalam abjad latin. Mereka lalu menaiki
metro yang menuju Biblioteka Imeni Lenina. Metro tersebut melaju sangat
kencang, melewati beberapa setasiun lagi, namun Zein tidak tahu setasiun apa
itu, ia masih terbengong-bengong akan keindahan Rusia. Tidak lebih dari dua puluh menit setelah
melewati stasiun Vorobyovy Gori mereka telah sampai di depan gerbang
Universitet.
“Ayo, Zein kita turun,
kita akan lewat depan saja” ucap Idris. Zein hanya mengekor di belakangnya. Matanya masih menatapi
takjub gedung besar yang ada di hadapannya.
Ternyata benar yang dikatakan Dosen sejarahnya dulu, ketika ia masih kuliah di
Bandung. Dosen yang pernah kuliah di MGU menceritakan bahwa Universitasnya dulu
sangat besar. Megah dan gedung itu nampak cantik dan gagah menjulang tinggi khas bangunan keemasan
rezim Stalin. Dosennya menceritakan kalau gedung MGU adalah gedung terbesar di
kota Moskwa. Gedung yang menjulang hampir menyentuh atapi langit yang terletak
di atas bukit Leninsky Gori.
“Betapia beruntungnya aku
bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan magisterku di sini” batin Zein, bersyukur. Ia
memang salah satu dari sekian mahasiswa yang beruntung mendapat beasiswa ke
luar negri. Melalui dosennya akhirnya ia mampu menyebrang samudra yang
memisahkan Indonesia dengan Rusia ini. Setelah sebelumnya ia sebenarnya
mendapatkan beberapa macam beasiswa diantaranya di Al-Azhar, karena selain
umumnya yang bagus, ia bahasa arabnya sangat lincah selain itu juga ia adalah
seorang khafidz, sehingga sangat mudah ia mendapatkan beasiswa yang berbasis
agama. Selain itu ia pun pernah mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Harvad
namun sekali lagi ia lebih tertarik untuk menapakan langkahnya di negara yang
pernah mengalami rezim Stalin ini.
“Kita langsung menuju
lokasi administarsi saja, kau sudah melengkapi semua persyaratannya kan? TanyaIdris
mengingatkan.
“Alhamduilah sudah” jawab Zein.
Lalu mereka melangkah ke gedung bagian nomor dua, sedikit kesulitan mencari
jalur yang menghubungkan antara kampus satu dan gedung pusat administarsinya,
namun akhirnya setelah berusaha untuk mencari petunjuk dan bertanya dengan
mahasiswa yang lalu lalang mungkin habis mengikuti kelas, akhirnya ruangan yang
mereka cari ketemu juga.
“Ok, akhirnya kita sampai,
silahkan urus
registrasimu untuk melanjutkan cita-citamu” ucap Idris, Zein yang ada di
hadapannya hanya tersenyum. Idris sendiri sebenarnya sangat kagum dengan
kemegahan MGU, sebenarnya andai ia dulu bisa kuliah di MGU ia lebih memeilih
MGU namun karena otak yang kurang memadai akhirnya ia manjatuhkan pilihannya di
St. Petersburg mengambil jurusan bahasa inggris. Lebih dari empat puluh lima
menit ia menunggu Zein, akhirnya Zein keluar dengan senyum yang sumringah.
“Bagaimana?” tanya Idris
buru-buru
“Alhamdulilah, semua
sesuai harapan, ternyata dari pihak kampusku telah melakukan kerjasama yang
baik, aku tinggal melakukan tes penentuan kelas” jawab Zein dengan lega, lalu
mereka menuju pintu keluar, dan pulang.
Zein telah mempersiapkan
jiwa raganya untuk bersatu dengan salju yang semakin memutih dan akhirnya
meleleh. Ia melangkah menuju tempat tinggal Idris dengan rasa syukur yang luar
biasa karena nikmat Tuhan yang tiada tara, akhirnya mimpi telah menyatu dengan
raganya. Ia hanya tinggal menjalankan amanat Tuhan denga sebaik-baiknya. Kini
ia telah siap untuk menjalankan semua demi bekal dunia akhiratnya, demi
kemajuan dirinya dan bangsanya. Karena menghilangkan kebodohan sama saja telah
berusaha menjalankan perintah Tuhan mencari ilmu serta mengurangi rendahnya sumber daya manusia Indonesia.
3
*Jalan yang Berputar
Roda kehidupa memang selalu berputar.
Begitu pula jalan yang dilalui pun terkadang
bereputar, dari mudah hingga susah dan begitupula sebaliknya. Seperti itu pula rasa di hati yang terkadang
selalu meliuk-liuk bahkan meronta. Seperti yang tengah dirasakan Garra dalam hatinya.
Tiba-tiba Garra merasa
sangat rindu dengan Fahita. Liburan selama hampir tiga hari ternyata membuat
waktu fajarnya tak secerah mentari yang menyatu dengan bumi serta membuat waktu
senjanya semakin menguning namun pias.
Wahai engkau penakluk gelombang lautan hatiku, kerap kali engkau
berlayar dalam mimpiku dan aku masih selalu menanti engkau benar-benar hadir
dalam kesadaran malamku, inilah harapanku yanng terdalam. Ucap Garra degan
kalbunya yang tengah merapat ke dermaga kerinduan. Sebenarnya ia merasakan dahsatnya
rindu hanya malam ini, namun rasanya seperti hampir satu tahun. Ia sudah tak
sabar menanti hari esok untuk kembali ke sekolah.
Sebenarnya ia bisa saja menemui Fahita ke rumahnya
atau bahkan mengajaknya untuk sekedar diner,
namun ia sadar berlama-lama dengan seorang wanita akan menimbulkan sesuatu
yag sebenarnya diinginkan oleh jiwa muda. Oleh karena itu ia lebih memilih
rindu tetapi terpenjara dalam hatinya, begitu jua dengan Fahita yang lebih
memilih untuk memperbanyak membaca novelnya. Karena ia ingin seperti para
novelis yang kini karyanya berjejeran di toko atau bahkan ditenteng-tenteng
oleh para penggilanya.
Dengan jiwa yang semakin merintih akhirnya ia beranikan untuk mengirim
sebait sms untuk Fahita, demi menyampaikan sepenggal cintanya. Karena ia yakin
sebenarnya Fahitapiun begitu merindukannya.
“Fahita, wanita yang selalu kuharap sebagai penyempurna agamaku, maafkan
jika aku lancang mengganggu waktumu. Namun, ini bukan keinginanku semata. Hati
dan jiwa
rinduku telah memaksanya menemui hatimu yang juga penuh cinta untuku. Aku hanya
ingin katakan pada jiwa yag kini memeluk jiwaku, bahwa hatiku berjalan diantara
hati cintamu dan terus melukis bayangmu yang kini menjadi cahaya di atas
parasku. Selamat malam, dan selamat bersatu dengan pemberi nafas kehidupan;
Tuhan.”
Fahita yang menerima kiriman sepenggal kerinduan dari Garra hanya
tersenyum. Ia merasa begitu beruntung mendapatkan seseorang yang begitu sabar
dengan gejolak jiwa mudanya. Walau ia tahu, sebenarnya Garra sangat
mengharapkan kebersamaan atas nama cinta, namun
ia lebih baik mengekangnya karena agama yang telah mensyariatkan bahwa
menjaga dari jalan maksiat akan lebih baik.
Baginya, Garra memang lelaki yang sangat berbeda,
selain cerdas ia juga sangat taat pada agamanya sehingga ia sangat meminimalsir
kebersamaan
dengan wanita termasuk Fahita sendiri. Mengganggu proses pencarian ilmu. Begitu
celotehnya ketika sedang belajar bersama di kantin.
“Akupun berharap lewat hadirmu, separuh agamaku akan sempurna. Jiwaku pun merasa kerinduan seperti yang engkau rasakan.
Bersabarlah Tuhan menyediakan istana untuk kita, jika kita berhasil melewati
ujiannya. Tidurlah dan jangan lupa bangunkan tubuhmu dalam sepertiga malam.
Esok kita jumpa dalam lautan ilmu Tuhan”
Garra sangat tenang membaca balasan sms dari Fahita.
Ia juga merasa sangat beruntung mendapatkan gadis yang lain dari gadis pada umumnya.
Garra memejamkan matanya dengan memeluk cinta yang kini disemayamkan Tuhan
dalam hatinya. Terimakasih Tuhan Engkau
telah menciptakanku menjadi manusia sehingga aku dapat merasaka cinta.
***
Awal februari 2006
Awal februari adalah sebuah awal bagi para siswa
kelas tiga untuk mempersiapkan
pertempuran dalam ujian nasional. Berawal dari treeout untuk meniti
lagkah selanjutnya setelah melewati satu semester penuh kini mereka harus
benar-benar bersiap-siap untuk melakukan migrasi yang cukup singkat untuk
merampungkan statusnya sebagai siswa dan merangkak pada status mahasiswa.
Mereka juga harus menyelesaikan tugas-tugas yang menggunung dan mengikuti les
serta bimbel dan membaca setumpuk buku dari semester paling awal ketika mereka
masih duduk di bangku kelas satu.
Jika mereka berhasil lolos dari migrasi yang cukup
singkat itu, mereka akan mampu terbang bebas sejauh manapun dan setinggi apapun,
meraih bintang-bintang di angkasa atau menjelajahi ke seluruh penjuru dunia.
Begitu juga para siswa di sekolahan Fahita di bulan
februari ini.
Suasana pagi di kawasan taman sekolah masih di
selimuti kabut tipis yang berwarna kebiruan, tapi selang beberap menit telah
dipenuhi lalu lalang para siswa sambil membawa setumpuk buku. Ada yang buku
pribadi ada yang buku perpustakaan.
Kupu-kupu
yang tengah bersandar menghiasi bunga yang mulai mekar bersama pagi beterbangan
memamerkan keindahan sayapnya. Begitu pula anak-anak kelas tiga A jurusan IPA
yang akan memulai treeout pertamanya sebagai bekal ujian nanti. Mereka
memasuki kelas yang tidak begitu megah seperti SMA di sekitar kota Kebumen
lainnya. Kursi
yang sebenarnya tidak cukup nyaman. Di depan kelas sudah berdiri pengawas yang
cukup killer. Seperti biasa Fahita masih setia duduk di belakang Garra.
Garra sedikit mengerlingkan mata, menyambut
Gadisnya yang cantik jelita serta aura
sebagai wanita yang cukup sempurna memancar dari tatapian yang sangat
meneduhkan. Fahita hanya membalasnya dengan senyuman yang menurut Garra adalah
senyuman para
bidadari surga untuk para penghuninya.
“Belajar apa tadi malam?” tanya Garra kemudian.
“Yah, lumayan sedikit si,” hehehe Fahita nyengir, Garra
membalas senyum nakalnya dengan kedipan.
“Ra, aku masih tidak paham dengan rumus turunan”
lanjut Fahita, karena memang hari itu ujiannya adalah matematika.
“Ya sudah, nanti aku akan sedikit memancing
ingatanmu” jawab Garra.
Setelah soal dibagi, mereka tenggelam dalam
jajaran angka yang cukup memusingkan, dari turunan hingga soal pecahan desimal.
Semua soal-soal yang dulu dipelajari di kelas satupun berbondong-bondong keluar
memainkan ingatan serta kecerdasan otak para siswa. Garra hanya tersenyum
melihat lima
belas soal
yang berjajar di hadapanya. Si ektra ordinari itu mulai memainkan alat tulisnya
yang bermerek 2b setandar komputer.
Tidak kurang dari tiga puluh menit ia telah
merampungkan soal-soalnya. Namun ia tidak begitu saja meninggalkan kelas, namun
ia sedikit memperhatikan Fahita yang tidak secepat ia menghitung, namun cukup
lumayan ia termasuk jajaran anak terpandai. Garra tidak terlalu mengkhawatirkan
Fahita, ia tahu ia pasti bisa, walau tidak seyakin jawaban-jawabannya yang
semua rumusnya berada di luar kepalanya.
“Aku tunggu kamu di luar, kita diskusi untuk
pelajaran bahasa indonesia. Rampungkan soalmu dengan yakin, masalah turunan
rumusmu sudah benar hanya kamu kurang teliti” ucap Garra. Lalu ia meninggalkan
ruang kelas menuju kantin faforitanya.
***
Reyhan berdiri dengan sebelah tangan menggenggam ponsel
berusaha melawan statik yang sedari tadi bikin sambungan telpon terputus.
Dengan waktu yang bersamaan ketika Fahita
melangkah ke arahnya. Loker tepat penyimpan barang-barang perlengkapan sekolah
adalah tempat yang paling komunikatif bagi Reyhan. Sebenarnya ia sengaja
menunggu Fahita. Perasaan yang hancur atas penolakannya ternyata belum hilang.
Padahal, jika dihitung dengan jari rentan waktu antara peristiwa taruhan itu
dengan sekarang sudah lebih dari empat bulan.
“Hai,” sapa Rey,
“Hei juga” jawab Fahita dengan malas. Sebenarnya
ia ingin meminimalisir komunikasi dengan Rey tapi apa boleh buat mereka satu
loker dan terlebih satu kelas jadi mau tidak mau harus tetapi bertegur sapa.
Lalu, Rey seperti biasanya berceloteh membuat
telinga Fahita sangat tidak nyaman. Dengan cepat ia memberieskan barangnya yang
ada di loker dan beranjak melangkah. Tapi tidak lebih dari lima langkah Rey
memanggilnya dan terpaksa Fahita harus menghentikan langkahnya.
“Mengapa kau begitu drastis berubah padaku Fahita?
Apa gara-gara anak baru yang sok jenius dan kegantengan itu?”
“Tolong kalau kamu ingin mengumpat sedikit halus”
jawab Fahita.
“Ya soryy, aku hanya heran saja kau begitu sinis
sekarang denganku, padahal aku begitu sangat menyayangimu, tidak sadarkah itu
selama hampir tiga tahun ini?” Fahita yang ada di hadapannya hanya terdiam,
lalu Rey melanjutkan kata-katanya,
“ mungkin begitu buruk dan playboynya aku di
matamu, namun dari sekian banyak wanita yang pernah singgah di hatiku hanya tetapi
aku lebih memilihmu, kamu paling berbeda dari mereka”
Fahita masih terdiam, ia sebenarnya tidak ingin
mendebat ucapan Rey, namun ketika Rey masih mengungkit-ungkit perasaan yang
ada di hatinya, ia sedikit geram.
“Jikalau aku boleh jujur, aku hanya meyakini satu
wanita yaitu kamu, Leni yang sekalipun kini berstatus menjadi pacarku, aku tetapi
tidak mencintainya, ia hanya penghibur hatiku ketika aku merindukanmu”
“Rey, dengar, Leni itu sahabatku jangan pernah
kamu sakiti dia” akhirnya Fahita menggerakan lidahnya.
Fahita segera membalikan tubuhnya, dan berniat
melanjutkan langkahnya menyusul Garra di kantin, tapi tiba-tiba ia tercekat
ketika sosok yang cantik dan berjilbab rapih sudah berdiri di depannya.
“Fahita, kamu tidak bersalah, jangan khawatir,
lanjutkan langkahmu, biar sekarang aku menyelesaikannya degan Rey” ucapnya.
“Leni, ma’afkan aku” Fahita meraih tangan Leni yang ternyata
dingin, matanya berkaca-kaca. Fahita pun tidak tahu jika telah lebih dari lima
belas menit Leni berdiri di balik pintu yang menghubungkan ruang penyimpanan barang
dengan lapangan basket.
Leni hanya mengangguk, lalu Fahitapiun melangkah. Ia merasa tidak enak
dengan kelakuan Rey dengan sahabatnya, ia berharap yang terjadi selanjutnya
adalah yang terbaik.
***
Garaa masih duduk dan menikmati jus alpukatnya ketika Fahita datang.
“Aslamualaikum Ra,” sapa Fahita.
“Waalaikum salam” jawab Garra dengan
senyum menawan. Lalu Garra mengeluarkan beberapa buku dari tasnya, yang
ternyata salah satunya adalah buku karangan Goress Keraff yang berjudul
komposisi.
“Lho, kok malah mengeluarkan buku
itu, mengapa tidak panduan pandai berbahasa Indonesia saja?” Tanya Fahita
kebingungan.
“Oh, ini hanya buku bawaanku saja,
barangkali kamu tertarik, kalau buku untuk materi ujian aku sudah
mempersiapkannya”
“Oh, gitu, emang isinya seputar
apah?”
“Yah macam-macam, ada kaidah
kepenulisan salah satunya”
Fahita hanya mengangguk-angguk, ia
masih belum begitu paham dengan maksud Garra mengapa membawakannya buku itu.
“Ya, aku hanya mengamati sepertinya
kamu hobi membaca dan minat terhadap dunia tulis menulis” jelas Garra,
“Lho, kamu baik sekali, tapi aku
belum berani mencoba untuk belajar menulis, kayaknya dunia yang penuh dengan
pembelajaran, sedangkan aku tidak punya wawasan dan masih malas untuk membaca”
jawab Fahita.
“Semua harus dicoba, yang penting
kamu mau, nah dari keinginan tersebut pasti akan menggali kemampuan. Intinya
harus berani mencoba saja”
Fahita manggut-manggut mendengar
penjelasan Garra. Baginya, Garra memang seseorang yang sangat optimis dan
oriented. Setelah menyimpan buku pemberian Garra di tas, lalu mereka berdiskusi
untuk materi besok pagi.
“kamu baca dulu tentang majas dan frase
serta kata majemuk”
Fahita menurut, lalu Garra mengulang
materi silogisme.
Ketika sedang asik-asiknya membaca,
tiba-tiba Nandar datang. Ia adalah kawan satu kelasnya, walau tidak sering
bersama namun komunikasi mereka berjalan dengan baik. Dengan muka yang kusut dan
ditekuk lutut, Nandar duduk kursi sebelah Garra, dan kondisinya memancing Garra
untuk bertanya,
“Hei, siang-siang begini kok udah
lesu, jangan-jangan kamu tidak mandi yah tadi pagi?”
“Enak saja, aku lagi puising neh,”
“Udah minum paramek atau puyer cap
bintang tujuh belum? Garra mencoba meledeknya.
“Enak ajah, aku bukan puising karena
masuk angin atau kepala nut-nut, tapi ini masalah serius”
“Apaan emang?”
“Hehehe, biasa cewe” jawab Nandar
sambil cengar-cengir. Fahita hanya diam dan medengarkan.
Lalu, Nandar menceritakan masalahnya
dengn gadis kelas 1 yang selama ini dikecenginya.
“Kamu kok masalah cw dipuisingkan to
Ndar, biarkan saja berjalan secara alami,” koment Garra, Nandar jadi tambah puising.
“Berjalan secara alami gimana?orang
aneh kok mereka para kaum wanita” jawab Nandar dengan muka sebel. Gadisnya
telah menyita waktunya dan membuang energinya untuk marah-marah.
“Sudahlah Ndar, tidak perlu puising
begitu. Masih banyak hal lain yang harus kampu puisingkan.” Jawab Garra dengan
sesekali melirik Fahita. Lalu ia melanjutkan kata-katanya,
“Menurutku pelajaran pertama yang harus kamu ketahui tentang seorang
wanita yang identik susah ditebak adalah kamu tidak akan pernah bisa
memahaminya. Dan yang kedua, berusahalah memahaminya biarpun kamu benar-benar
tidak bisa mengerti apa yang wanita inginkan, dia katakan, dia rasakan, dan
yang ketiga berusahalah selalu senyum walaupun kadang joke-joke yang ia keluarkan
itu sebenarnya garing. Keempat kamu harus selalu menjadi pendengar yang setia atas
semua keluh kesahnya, curhatannya dan keinginan-keinginannya. Kelima kamu harus
sering-sering mengiyakan kemauannya apalagi ketika ia sedang marah dan akui
saja kalau kamu yang salah. Dan yang keenam, kamu itu harus bisa momong atau
ngalah, jangan mau menang sendiri, walaupun itu kadang menyakitkan hatimu, yah
setidaknya dia tidak akan minta putus atau boring denganmu, tenang saja
hati wanita itu lembut pasti lama-lama akan mengerti”jawab Garra panjang lebar,
Nandar hanya manggut-manggut saja mencoba berfikir ternyata apa yang selama ini
ia lakukan salah, masih sama-sama egois. Berbeda dengan Fahita yang berada di
samping Garra, hanya tersenyum tersipu malu.
“Benar juga ya Ra, cewek itu emang aneh, suka marah-marah sendiri.
Ini salah, itu salah, kadang semua yang kulakukan tidak berkenan di hatinya.
Ngomel terus dan bisanya cuma mengeluh. Uh nyebelin banget apalagi kalau
menstruasi kerjaanya marah-marah terus kadang juga tanpa sebab. Kadang neh Ra,
aku sampai gak kuat meladeninya terlalu menyakitkan hati. Kalau kulayani pasti
gak ada ujungnya, mentok-mentok minta bubar” keluh Nandar. Fahita hanya
tersenyum melihat kedua kaum pria membicarakan wanita.
Nandar belum selelsai berbicara, hanya mengambil nafas pendek ia
melanjutkan kembali,
“Untung saja yang menstruasi hanya wanita, coba kalau laki-laki
bukan hanya marah-marah doing bisa-bisa mereka pada tawuran” Gara tertawa,
ternyata di saat puising Nandar masih bisa berguarau.
“Eh, sudah belajar buat bahasa Indonesia belum?” kali ini Fahita
yang angkat bicara,
“Iyah neh Ndar, kamu udah belajar belum? Jangan mikirin pacarmu
saja, pikirin juga nilaimu”
“Agh, kau ini Garra, aku nyontek kau sajalah” jawab Nandar dengan
logat bataknya.
Lalu Nandar pergi meninggalkan Fahita dan Garra, ia memang salah
satu kategori siswa yang malas belajar di kelas Fahita.
“Ra, aku masih penasaran sebenarnya dalam dunia tulis-menulis”
“Hem, tadi katanya tidak mau” jawab Garra meledek, Fahita terlihat
gemas sebenarnya ia ingin sekali mencubit lengan Garra namun ia ingat kalau Garra
bukan muhrimnya dan ia tidak ingin menodai Al-Qur’annya.
“Ok, aku punya kawan seorang penulis dulu ia kaka angkatanku ketika
di Purworejo, sudah banyak novelnya yang di terbitkan, ia sekarang kuliah di
UNSOED Purwokerto”
“Lalu, hubungannya denganku apah?” jawab Fahita bingung,
“Yeh, bukankah kamu minat untuk kuliah di UNSOED dan mengambil
Fakultas Biologi?”
“Iyah, memang, lalu hubungannya apa antara biologi dan orang tersebut?”
Fahita semakin bingung, Garra yang di depannya hanya tertawa melihat
kebingungannya ternyata ia belum paham,
“Ya, nanti kamu bisa aku kenalkan dengannya dan bisa belajar
darinya”
“Wah ide yang bagus ituh,”
“Huft dari tadi ternyata baru mudeng” jawab Garra gemes.
***
Matahari telah condong ke barat, ketika Fahita
membuka pintu rumahnya, begitu ia mengucap salam dan masuk suara dentang jam
dinding menyambutnya, ternyata waktu telah menunjukan pukul empat sore, tak
terasa hari-hari yang ia lalui bersama Garra
walaupun hanya untuk belajar dan sesekali mencuri tatapian mata indahnya
berjalan begitu cepat.
Fahita langsung menuju kamarnya dan berniat untuk mandi dan
istirahat, ternyata ibunya memanggilnya dari arah belakang,
“Lho, Fahita sudah pulang to?”
“Eh, Ibu, Fahita kira ibu sedang mengikuti pengajian di Masjid,
makanya Fahita tidak langsung mencari Ibu,”
“Iyah sekarang jadwal pengajiannya libur karena kebanyakan jamaah
sedang mengikuti ziarah walisongo” jawab Ibunya, begitulah di kota Kebumen,
kota yang terkenal dengan slogan kota beriman, lingkungan masyarakatnya yang
masih sangat kental dengan nuansa agamis, belum lagi di sana-sini masih banyak
sekali pesantren yang berdiri kokoh dengan ribuan santrinya.
“Ya, sudah Bu, Fahita ke kamar dulu, badannya sudah gatel terkena
debu” hehee, Fahita melangkah sambil tersenyum, ibunyapun hanya tersenyum
melihat tingkah jail putri cantiknya.
Cukup waktu enam puluh menit untuk mandi, sholat dan bersolek. Fahita
langsung merebahkan badannya di tempat tidur yang berbalut bad cover warna
violet, sambil meluruskan badannya, ia membuka buku yang di kasih Garra di
sekolah tadi siang.
“Bacalah buku ini Fahita, sebagai bekal awal kamu mempelajari teori,
aku sangat mendukungmu untuk jadi penulis”
Garra, baginya memang tidak hanya sekedar bintang yang menyinari
malam pekatnya, namun Garra juga mentarinya, yang selalu menyinari pagi,
siangnya dan juga yang selalu menghantarkannya menjumpai malam, ia sungguh berarti
bagi dunianya, ia sungguh berarti dalam hidupnya, ia ibarat udara yang selalu
mempunyai ruang untuk kelangsungan perjalan hidupnya, Fahita tak mampu
membayangkan jikalau tanpannya.
“Ah, ngapain sih aku berfikir yang macam-macm” Fahita langsung menghapus fikirannya.
Ia mulai membaca buku pemberian Garra, yang pertama-tama ia pelajari
adalah materi-materi dasar tentang menulis. Buku karangan Anwar Husain, menurut
Garra cukup menjadi pijakan awal bagi seorang pemula, karena selain materinya
tidak terlalu berat.
Fahita mulai membuka halamannya, buku yang kini ada di tangannya,
buku itu memang mungil namun cukup lengkap. Dalam bab awal yang dijelaskan
mengenai gambaran tentang menulis, dan seterusnya di jelaskan tentang menyusun
karya tulis, laporan, proposal, puisi, artike, dan juga novel.
“Waow, bukunya cukup praktis seperti judulnya” lirih Fahita.
Selain buku tersebut, Garra juga memberii buku berbobot.
“Fahita, setelah kamu baca buku pengantar itu, kamu baca buku ini
yah” Fahita hanya mengangguk.
“Kamu gak akan nyesel baca buku ini, dalam buku ini, dijelaskan
mengenai teori-teori ilmiah” terang Garra sambil memberiikan buku yang berjudul
Logika Penemuan Ilmiah karya KARL R. POPPER.
“Fahita, makan dulu belajarnya di lanjutkan nanti” panggil Ibu
ketika Fahita tengah asik membaca.
“Iyah bu, sebentar” lalu Fahita melanjutkan kembali.
“Wah, ternyata buku ini sangat berat, membuatku berfikir,” Keluh Fahita
lelah, ketika ia mulai membolak-balikan halaman awal, telah lebih dari tiga
kali ia mengulangi dalam halaman yang sama, namun ia belum juga paham. Yang
masih terngiang adalah ucapan Garra ketika sedikit menjelaskan sekilas sinopsis
dari buku yang berjumlah 596 halaman itu.
“Suatu ucapan atau teori belum bisa dikatakan ilmiah hanya karena
sudah dibuktikan, melainkan karena sudah dapat diuji, contohnya saja untuk
semua logam akan memuai jika dipanaskan, nah dari hal tersebut dapat dianggap
ilmiah jikalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk
menyangkalnya. Kalau suatu teori setelah diuji tetapi tahan, berarti kebenarnnya
semakin corroboration (kokoh, makin besar kemungkinan untuk menyangkal teori,
makin kokoh pula kebenarannya. Itulah yang penulis buku ini sebut sebagai The
Thesis of Refutability, suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah bila
terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Menurut pendapat tradisional, cara
kerja ilmu didasarkan pada prinsip verifiabilitas, yakni bahwa suatu pernyataan
dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris. Karl, R. Popper,
dalam buku tersebut juga menjelaskan dan menawarkan persepektif yang berbeda.
Dengan menunjukan prinsip falsifiabilitas yang berbeda. Lewat mengajukan
prinsip tersebut, ia mengatakan bahwa segala ungkapan atau pernyataan pada
dasarnya dapat dibuktikan salah. Bagi dia, prinsip ini menjadi penentu untuk
membedakan suatu ungkapan ilmiah dengan ungkapan non ilmiah. Kamu bacanya
pelan-pelan saja, buku ini memang berat ya kurang lebih membuatmu berfikir”
“Garra, mengapa kamu begitu cerdas, sehingga aku tergila-gila
padamu” lirih Fahita. Sedang asik-asiknya membaca sambil melamun atau melamun
sambil membaca, hpnya bordering,
“Fahita, aku benar-benar tak bisa melupakanmu, wajahmu selalu merona
dalam hatiku” Fahita melenguh panjang membaca sms yang sebenarnya tidak
diharapkannya, ia sungguh heran pada Rey, mengapa ia tak kapok juga mengejar
cintanya yang sudah jelas-jelas hanya untuk Garra,
“Simpan saja di hatimu dan berikan pada orang yang lebih pantas
menerimannya, aku merasakan kalau aku tak berhak, ingatlah ada salah satu
sahabatku yang menantimu di sana, begitu pula dengan hatikupun telah ada yang menanti,
aku seharusnya berterimakasih denganmu yang telah membuatku merasa jadi wanita
yang ternyata pantas dicintai laki-laki” Fahita segera mematikan hpnya, ia
tidak ingin terganggu hanya karena urusan sepele. Ia tahu betul terganggunya
seseorang yang sedang belajar adalah karena lawan jenis, atau cinta yang tidak
konstruktif.
***
Pagi datang dengan senyuman fajarnya, menyelimuti manusia dengan
dinginnya. Namun rasa dingin itu bagi Garra tak menjadi penghalang untuk bangun
dan menyingkap selimutnya. Telah lebih dari satu jam sebelumnya ia melebarkan
matanya, dan langsung membasuh wajahnya yang ia rasa penuh kenistaan dengan air
surgawi.
Sholat malam serta wiridlnya telah ia rapalkan, kini tinggal shalat
fajar sebagai penghormatan dan rasa syukur terhadap Tuhannya atas nikmatnya
yang telah mengizinkannya mencium aroma fajar dan menghirup wangi duniannya. Ia
hanya berharap hari ini akan penuh dengan barokah_Nya.
Setelah ritual suci ia laksanakan,
ia lalu mengarungi mushafnya dan mencoba menyelaminya dengan segala bekal yang
kini ia punya. Membaca ayat demi ayat dengan bilghoib ketika di pagi
hari adalah waktu yang paling tepat baginya. Selain fikirannya yang masih fresh,
raga dan jiwanya juga belum menyatu dengan alam liar, sehingga ia mampu
menghayati taman-taman surga lewat kalam_Nya. Betapia indah.
Setelah selesai mentadzaburi
al-Qura,nnya, Garra lalu menengadahkan tangannya, bermunajat pada Tuhannya, ia
tahu ia tidak sempurna ahlaknya dan belum mampu menyempurnakannya seperti
tuntutan Rasululah SAW,
Inama bu’istu liutamima makarimal
ahlaq
“Sesungguhnya Aku di utus untuk menyempurnakan ahlak manusia”
Ia menutup semua ritualnya dengan
membaca hamdalah, lalu ia menatapi fajar di pagi yang masih memerah. Ia
teringat pada meronanya wajah Fahita, dengan segera ia mengirimkan sebait
kata-kata untuk sekedar membuka mata hatinya di subuh yang masih pekat, agar
iapun menengadahkan tangannya dengan segela kerendahan hati.
“Fajar di langit luas telah
memandangmu dengan mata indahnya, tapi tiba-tiba ia datang padaku dan mengadu
dengan muka redupnya, bahwa engkau masih berlindung di balik selimut dan bibir
indahmu masih terkatup belum menyebut asma-Nya. Jikalau di izinkan aku akan
membawamu untuk sekedar membuka pintu hatimu dan membasahi bibirmu dengan kalam
cinta untuk Tuhan” message send tertera di layar hpnya.
Selang beberapa menit dengan tubuh
yang masih malas-malasan, menggeliat di atas hamparan pulau kapas ia membalas
sms Garra dengan mata sedikit terkatup,
“Terimakasih malaikat fajarku, aku
akan membuka mataku untuk membalas tatapian mata fajar yang sempat redup karena
tingkah nakalku tak berkawan dengan lembutnya pagi, aku akan segera bangun dan
membasahi bibirku dengan menyebut nama-Nya”
Garra hanya tersenyum membaca balasan dari Fahita, lalu ia menutup
hpnya kembali dan mengambil buku untuk sekedar mengulang apa yang kemarin
sempat di ajarkan di sekolah. Ia tidak ingin jikalau ditanya Fahita tidak bisa
menjawab atau jikalau ada teman-temannya ada yang membutuhkan bantuannya ia
tidak bisa membantu, selain itu sebentar lagi ujian nasional akan datang.
***
Selasa adalah
hari yang menyenangkan bagi Fahita. Karena di hari selasa ada mata pelajaran
yang paling ia sukai yaitu bahasa Indonesia. Sekitar pukul 06. 15, iya sudah
berdandan rapih. Baju yang telah tertata rapih dan jilbab yang ia kenakanpun
sangat maching dengan asesoris bros gambar bunga. Ia terlihat begitu cantik.
Ketika ia membuka pintu kamarnya dan
turun dari tangga, ia mendengar suara yang aneh dari kamar Ibunya. Seperti
suara laki-laki yang sedang marah.
“Sepertinya Ayah sudah pulang,
bukannya jadwal kepulanganya dari Surabaya minggu besok?”
“Prang-prang-prang”
“Ya ampun suara apa itu, seperti
barang dibanting” Fahita kaget, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, ia
mengendap-endap dan memasang telinga lebar-lebar di balik pintu kamar Ibunya.
“Prank-prank” suara barang-barang
yang di buang terdengar lebih jelas, tiba-tiba air mata Fahita meleleh ketika
suara ibunya terdengar merintih, sesekali diiringi dengan senggukan nafasnya. Ia
sedang menangis.
“Ayah, kenapa tidak pernah adil
dengan Riyanah, bukankah kita sudah sama-sama berjanji anakmu juga akan menjadi
anakku, begitu juga dengan Riyanah”
Bagai tersambar petir, tubuh Fahita
lunglai seketika, ia langsung terdiam dan berjalan menjauh perlahan dari pintu
depan kamar ayah dan ibunya. Ia langsung mencari Mbok Nah, pembantu yang telah
lebih dari hampir 17 tahun merawatnya. Ia benar-benar tidak menyangka dengan
apa yang ia dengar. Meluluh lantahkan hatinya. Mengapa ia harus mengetahui
peristiwa beberapa tahun silam. Mengapa Tuhan harus memutar kembali jalan di
masa lalu baru hari ini. ia terus berjalan dengan sempoyongan. Dan akhirnya
terjatuh lemas di halaman.
***
4
*Kepergian dan Kehilangan
Sang
bayu terasa begitu dingin
menelusup dalam tubuh Fahita.
Tubuhnya tiba-tiba menggigil. Ia sakit.
“Non Fa, kenapa to, kok bisa jatuh?” Tanya Mbok Nah,
“Mbok, sebenarnya siapa ibu saya?”
Mbok Nah tiba-tiba kaget bukan kepalang, mukanya memerah mendengar
pertanyaan Fahita. Ia telah berjanji akan mengubur semua kenangan tentang rumah
tangga majikannya selama duapuluh tiga tahun silam. Semenjak Fahita terlahir.
“Ya Tuhan, tolonglah hamba_Mu ini.” lirih Mbok Nah dalam hati. Ia
benar-benar ketakutan untuk membuka kotak masa lalu yang telah ia kubur
dalam-dalam.
“Mbok, tolong katakan”
“Non Fa, kok tanyanya ini kok yo aneh to, Ibunya Non Fa ya Ibu
Miranda dan Riyanah ya Kakanya Non”
“Mbok bohong, mengapa Mbok memilih diam, Fa sudah tahu semuanya. Fa
dengar Ibu dan Ayah sedang bertengkar di atas, mereka mengatakan kalau Fa bukan
adik kandung dari Mba Riyanah, Ibu juga bilang kalau Fa ini adalah anak Ayah
bukan anak Ibu” ucap Fahita sambil menangis.
Mbok Nah yang ada di depannya pun ikut menangis, ia begitu
menyayangkan kalau harus Ayah dan Ibu Mirandah yang harus memutar masa silam
rumah tangga mereka sendiri.
“Non, ma’afkan SiMbok yah, Mbok benar-benar tidak berani mengatakan
ini semua, silahkan Non Tanya sendiri dengan Ibu atau Ayah, kalau tidak dengan
Kaka Non” Fahita hanya terdiam membisu. Mbok Nah meninggalkannya dalam
kebingungan.
Fahita menarik napas panjang. Putus asa. Lalu membenamnkan wajahnya
ke dalam bantal. Ia ingin menangis sepuas-puasnya. Ia ingin menumpahkan semua
kesedihannya. Ia begitu merasa sakit.
“Ya Tuhan, tolonglah aku dalam kesedihan ini, tolong tunjukan hamba
jalan” rengek Fahita dengan nafas tersengal-sengal.
Telah lebih dari 3 jam Fahita mengurung diri dalam kamar. Berkali-kali
Mbok Nah mengetuk pintunya dan berusaha membawakannya makan namun tetapi gak
ada hasilnya. Fahita tetapi diam dalam kamarnya, tanpa bergeming sedikitpun.
Mbok Nah begitu kebingungan. Akhirnya Mbok Nah Pasrah. Ia memutuskan untuk
melangkah ke dapur dan memasak makan malam.
“Asalamualaikum,” terdengar suara seorang wanita yang sudah taka
sing lagi membuka pintu dan mengucap salam.
“Walaikum salam, Non Riyanah, anu Non, itu Non Fa sedang menangis”
“Lho kenapa Bi,?” Tanya Riyanah, ia terlihat gugup, terlihat sekali
kalau ia begitu menyayangi adik perempuannya.
“Non Fa, tiba-tiba tadi pagi menanyakan tentang siapa Ibu
kandungnya, dan semua masa lalu keluarga ini”
“Lho, kok bisa begitu mbok, Mbok tidak keceplosan bercerita kan?”
“Tidak Non, tadi pagi sewaktu Non Fa akan berangkat sekolah ia
mendengar Ibu dan Ayah Non bertengkar”
“Astaghfirullahal Adzim” tiba-tiba badan Riyanah terasa lemas. Telah
lebih dari dua puluh tiga tahun rahasia kelurga ini terpendam dan kini harus
mereka sendiriyang membongkarnya. Riyanah langsung berlari menuju kamar Ibu dan
mencari-cari Ibunya. Tapi ternyata kamarnya sepi.
“Mbok-mbok, Ibu dan Ayah kemana?”
“Tidak tahu Non, semenjak jam delapan pagi mereka pergu belum kembali”
Riyanah merasa kebingungan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke
kamar Fahita.
“Asalamaulaiakum De,” Ucap Riyanah, sambil mengetuk pintu kamar Fahita.
Kali ini Fahita tak lagi
diam. Begitu mendengar suara Kakanya ia langsung berlari kearah pintu dan
membukanya.
Cekrek, suara pintu terbuka, Riyanah langsung memeluk tubuh mungil Fahita.
Telah lebih dari empat bulan mereka tidak bertemu. Kesibukan kuliah dan
organisasi di kampusnya, membuat Riyanah jarang sekali pulang. Apalagi sekarang
ia telah menginjak semester akhir.
“Mbak Yan, sebenarnya apa yang terjadi dalam keluarga ini?” Fahita kembali
menangis dalam pelukan Kakanya.
“Tenang Dek, sekarang kamu makan dan mandi, setelah itu, Mbak Iyan
ceritakan semuanya, tapi harus janji jangan sedih lagi”
“ janji yah Mbak,” rengek Fahita.
Kakanya begitu menyayanginya sehingga ia begitu manja. Hanya jarak yang
membuat mereka bertatapi langsung, hanya bisa berkomunikasi lewat telepon, itu
pun jarang. Fahita dan Mba Iyan sama-sama orang yang sibuk.
“Ya sudah, Mbak Iyan tak istirahat sebentar, capek tadi dari kampus
langsung pulang karena harus mengejar bis patas” Fahita hanya mengangguk. Wajahnya sedikit
cerah.
***
Cerita terus mengalir bersama waktu yang terus berjalan tanpa henti
dan tak mampu ada yang menghentikannya. Fahita hanya terdiam mendengarkan
cerita kebenaran hidupnya dari mulut Mba Iyan. Ia sedikit miris dan terluka.
Kehilangan.
“Yang Mba Iyan tahu hanya sebatas itu De,” ucap Mba Iyan, Fahita
masih menunduk, air matanya tak mampu dibendung lagi. akhirnya meleleh.
“Jadi Mba Iyan bukan Mbak Kandung Fahita?” Tanya Fahita lirih.
“Mbak kandung atau bukan itu tidak penting! Yang terpenting adalah
Mbak Iyan begitu menyayangi De Fahita. Tenang saja, tadi pagi Ayah dan Ibu
mungkin sedang emosi, jadi biarkanlah mereka tenang dulu” pinta Mbak Iyan. Fahita
begitu merasa sedih mendengar kenyataan hidup yang sebenarnya. Siapa
keluargannya, siapa dirinya dan di mana ibu kandungnya sekarang.
“Ya sudah, Mbak Iyan tak istirahat dulu ya Dek, kamu harus belajar,
sebentar lagi ujian nasional” ucap Mbak Iyan sambil membelai rambut Fahita lalu
mengecup keningnya dan meninggalkannya sendirian. Mbak Iyan tahu, setelah Fahita
mendengar kenyataan itu yang ia butuhkan adalah kesunyian untuk menjernihkan
pikirannya.
Fahita berjalan perlahan menuju kamarnya, ia ingin segera merebahkan
hatinya yang sedikit lara. Lalu ia membuka album masa kecilnya, ketika ia masih
sangat senang memandangi gambar rembulan bersama ayah dan ibunya, yang begitu
sangat mencintainya dan ternyata kenyataan harus lebih menyakitkan, bahwa ia
bukanlah ibu kandungnya. Ia terus memandangi gambar rembulan dalam potret
kenangan itu, pikirannya melayang, ia yakin ibunya sekarang berada di antara
kastil rembulan. Lalu memberii senyuman pada jantungnya.
***
Senja menutupi mega, rintik gerimis mewarnai hari. Hati yang telah
patah terbasahi hujan air mata. Orang tercintanya telah pergi tiada pamit,
tetes darah yang ia tinggalkan menjadi luka di hatinya. Ia hanya berharap semoga
Tuhannya, menempatkannya di surga_Nya dan mempertemukannya dengan Kasih dan
Ridha-Nya. Amien.
“Kini semua terasa telah hilang, semua telah pergi antara cintamu,
belaianmu yang kini hanya mampu membalut rindu. Kini aku hanya mampu berharap
lagi akan berjumpa denganmu, Ibu. Dalam taman firdaus penuh keabadaian.
Walau disini hanya tersisa aku sendiri,
namun kasih dan cintaku takan pernah putus walau kini hanya berbentuk kiriman
sepucuk surat berisikan do’a yang senantiasa kutitipkan pada Malaikat penjaga
pintu malam dan siangmu agar wajahmu selalu ayu seperti dulu kau melahirkanku,
hingga kini aku tak mampu menatapimu lagi”
Telah lebih dari sepertiga malam, Fahita belum juga mampu memejamkan
matanya. Ia ingin segera pagi menjemput, dan pergi ke sekolah dan menemui Garra.
Lalu menumpahkan segala rasa yang ada di hatinya. Namun, malam terasa begitu
perlahan merangkak. Semakin menyiksa ulu hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk
bermunajat pada Tuhan dan meminta petunjuk agar ia diberi kesabaran dan jalan
yang tetapi lurus menuju kehadirat_Nya.
***
“Bawa aku menyambut pagi di
langit timur, karena cinta terbang bebas bersamaku menggaris cakrawala yang
telah usang. Bawa aku menyambut mimpi dilangit asmaramu karena cinta terbang
bebas dialam mimpiku mengukir asa mengaharap hadirnya dirimu dalam dunia nyata
yang abadi” sebait sms menyambut pagi Garra yang indah, angin sepoi
membelai tubuhnya ketika ia membaca sms dari gadis terindahnya. Sedikit bingung
dan merasa terheran-heran. Tak seperti biasa-biasanya Fahita mengirimkan sms
yang sedikit mendalam. Fillingnya mengatakan, kalau ada sesuatu yang
mengganjal hati peri paginya itu. Ia langsung mengetik sms untuknya,
“Hatiku masih terlalu luas untuk
memeluk resah di hatimu. Berangkatlah lebih awal, kita pandangi mawar yang
tengah mekar di taman sekolah, aku yakin hatimu akan lebih segar dari mawar
itu. aku menunggumu sejak hari selasa tapi kau tak kunjung datang, smspun tak
jua menyapa, jadi hari ini, kuharapkan kau membawakanku senyum yang paling
indah agar pagiku lebih indah dari laki-laki di manapun dalam dunia ini”
Fahita tersenyum membaca balasan
dari Garra, ia paling bisa menenangkan. Begitu jam menunjukan pukul enam lebih
seperempat, ia bergegas menuju jalan raya dan tanpa pamit pada Mbok Nah maupun
Mbak Iyan, ia tetapi melangkah menjemput cintanya di taman sekolah.
“Sudahkah lama menungguku?”suara
merdu penuh cinta mengagetkan Garra yang tengah asik memandang bunga melati
yang indah dan begitu segar.
“Hei, Nona manis mengapa wajahmu
terlihat sayu? Matamu membengkak, ada apakah gerangan dengan hatimu?” Tanya Garra,
Fahita hanya menunduk.
“Aku membawa resah dan ingin
membaginya denganmu, apakah kau mau?”
“Seberapapun keluh kesahmu, aku siap
menerimannya. Hatiku masih terlalu luas untuk menampung cintamu. Resahmu adalah
sebagian sayangku padamu”
“Terimakasih Garra,” lalu, Fahita
mulai bercerita tentang peristiwa yang sempat mmbuatnya terkapar tak berdaya.
“Garra,sungguh aku tak menyangka kalau Ibu Miranda bukanlah Ibu
kandungku, ia hanya ibu angkatku” hujan air mata telah mulai membasahi pipi Fahita.
“Dari mana kamu tahu?”
Fahita menatapi mata Garra sebentar, lalu menghapus air matanya
sendiri yang mulai berjatuhan. Kemudian menceritakan kelanjutan kelu hatinya
semenjak selasa pagi kemaren, saat ia akan berangkat sekolah dengan riangnya,
tiba-tiba petir bagai menyambar kepalanya dan pecah berantakan hingga tak mampu
hidup lagi. Saat ia mendengar kenyataan yang memilukan bahwa Ibunya telah
meninggal saat melahirkannya dan akhirnya mendonorkan jantungnya pada Ibu
Miranda yang kini menjadi ibunya.
Saat itu, Fahita tersentak kaget. Resah bercampur rasa takut dan
rasa semua yang berpredikat sedih menempel dan merasuk kedalam fikiran serta
menyatu bersama hatinya. Hingga akhirnya ia tak sanggup lagi berfikir dan
apalagi menerima kenyataan itu. Dadanya berdebar keras. Dia tidak pernah
memikirkan alur hidupnya akan sedemikian menyakitkan. Kalau ibu yang selama ini
memberii nilai atas keberadaannya bukanlah ibu kandungnya. Lantas harus
bagaimanakah memposisikan Ibu Miranda sekarang. Dan harus bagaiamanakah memeluk
epitapih Ibu kandungnya. Dua hal yang benar-benar memilukan.
Dunia kini benar-benar terasa hampa dan tanpa gravitasi. Di
dalamnya, Fahita hanya hidup dalam kebingungan. Semua kini terasa hidupnya
tanpa arah, semua harapanpun sirna, rencana masa depanpun kini porak poranda.
Fahita tidak hanya menyeka air matanya, kini ia harus melirihkan
suara tangisnya. Kesedihan yang luar biasa membuatnya tak mampu membendung arus
air mata yang kini beriringan suara. Bagai koor yang bersatu padau hendak
menyanyikan lagu wajib. Garra yang ada di depannyapun berubah sendu. Ia begitu
merasakan sakit dan pilunya hidup kekasihnya. Ia begitu peka terhadap tiap
detak jantung Fahita. Semua rasa sakitnya adalah sebagian pilu hatinya jua. Tak
tega melihat kehampaan yang menyeruak hanya dalam diri Fahita, hingga Garra
berniat merebut kepiluan itu, lalu mereka tanggung bersama. Akhirnya ia memberianikan
diri untuk mengelus kepala Fahita dengan lembut.
“Fahita, Alloh memberiikanmu seperti ini karena Alloh tahu, kamu
adalah wanita yang solihah dan tegar. Percayalah, setiap detak jantung Ibu
Mirandah adalah detak jantung Ibumu, karena di dalamnya masih tersimpan nadi
ibu kandungmu, aku yakin semua kasih dan cinta Ibu Mirandah adalah kasih cinta
yang ibu kandungmu titipkan dalam raga Ibu Mirandah, Ibumu percaya, lewat
tangan Ibu Mirandah, kasih sayangnya takan pernah terhenti dan akan selalu
tercurahkan, lewat pelukannya, kehangatan pelukan Ibumu akan tetapi menemaimu.
Sabarlah, aku akan selalu menemanimu, aku akan selalu berusaha menggantikan
cinta yang kini terasa hilang dalam
hatimu, dan terasa dingin dalam ragamu”
Fahita masih tertunduk pilu, hatinya
belum mampu menangkap kasih cinta dari Garra, pikirannyapun belum menentu. Lama
mereka terdiam, Garrapun membiarkan Fahita
tenangg dalam diamnya, namun, selang beberapa menit Fahita mulai
mengatur nafasnya dan akhirnya ia mulai berbicara walaupun lirih,
“Fahita bingung, bagaimanakah Fahita
harus memeluk uluran rindu dan kasih sayangnya sedangkan raganya saja kini
telah berada dalam tempat yang jauh” kembali air matanya tumpah, tissue yang ia
bawapun hampir habis untuk menampung air matanya.
“Tuhan tidak pernah kehabisan cara
untuk mentransfer cinta bagi umat_Nya”
Fahita sedikit bingung, sebentar ia
menatapi mata Garra, memohon penjelasan karena ia benar-benar tak mampu
berfikir jernih apalagi berfikir keras.
“Masih ada tiga jalan yang kamu
tempuh agar hatimu dan hati ibumu kembali menyatu,”
“Apah?” Tanya Fahita singkat.
“Yang pertama ketika kamu ingin amal
dan pahala ibumu takan pernah lepas yaitu amal jariyah, dan yang kedua adalah
ilmu yang bermanfaat dan yang ketiga adalah putri tercantiknya ini,” Garra
memandang Fahita dengan penuh cinta, lalu ia meneruskan kata-katanya,
“Yang ketiga adalah doa darimu Fa, do dari anak yang shalih-
shalihah, kalau ketiga jalan itu berhasil kamu tempuh, ibumu walau sudah berada
dalam pangkuan Tuhan akan tetapi menyatu dengan cintamu yang masih berada dalam
dunia fana ini”
“Benarkah itu Ra, aku takut aku tak
bisa membalas setiap tetes darahnya yang ia keluarkan hingga mempertaruhkan
nyawanya demi aku”
“Itu benar Fa, dalam al-Qur,an pun
diterangkan. Jadi meskipun orang tua kita telah meninggal, masih ada kesempatan
bagi anak-anaknya untuk berbakti dan
membalas kebaikan orang tua. Anak itu ibarat investasi orang tua di masa depan.
Sekarang sekalah air matamu, aku rindu dengan mata beningmu dan senyum
bidadarimu”
Fahita lalu menyeka air matanya, dan
sedikit tersenyum walau hatinya sebenarnya belum mampu tersenyuma
“Jazaakumulaah, Garra,” lalu
mereka beriringan melangkah menuju kelas. Karena bel masuk sudah terdengar dari
tadi.
Di samping Garra, Fahita melangkah
dengan sedikit senyum, ia merasa memiliki tenanga tambahan dari nasehat yang
baru di dapatnya. Ia merasa Garra telah memapahnya untuk bangkit dari
keterpurukan yang maha dahsyat. Ternyata
hubungannya dengan ibu belum terputus, ternyata ia masih bisa berbakti.
Duh ibu! bakti seperti apakah
yang engkau harapkan? Apakah cukup sekedar dengan do’a dan shalat?
5
*Hiruk Pikuk
“Till we meet again Garra,”
“Ok
Honey, May God bless you, n see you this night”
mereka lalu berpisah di persimpangan jalan.
Garra dan Fahita sama-sama melangkah untuk pulang. Kegiatan di hari kamis yang cukup melelahkan.
Tapi itu tak menghalangi mereka untuk bersama-sama menatapi bintang di malam
nanti.
Garra sangat mengerti Fahita
begitu membutuhkan dirinya untuk sekedar menemaninya dalam sendu. Ia pun takan
rela membiarkan Fahita meratapi sedihnya langkah kehidupan yang sedang ia
jalani hanya seorang diri. Walau sebenarnya ia yakin, Fahita mampu untuk tegar.
Tapi ia tetapi memandang bahwa wanita tetapi membutuhkan sandaran.
Mengapa keindahan ini hanya berlangsung sekejap
Sebelum akhirnya lenyap di telan senyap
Batin Fahita kembali merintih saat
ia berjalan beriringan bersama senja, saat itu, senja memang telah tiba di
langit hingga hamparan yang berhiaskan awan itu berubah dan berwarna merah
keemasan dan berpadu dengan warna perak, maroon, lembayung seperti lukisan
abstrak terindah yang pernah di tatapi oleh semua mahluk.
Komposisi antara gelap dan
terang begitu kontras dan perpaduan warnanya begitu tajam. Kadang awan yang
menggumpal berbentuk seperti wajah manusia, binatang atau benda-benda aneh yang
tak terjelaskan seperti goresan kuas dari Picaso, Dali, Monet dan para pelukis
mahir lainnya. Burung-burung telah kembali menuju peraduannya, dan sudah pasti,
puluhan bahkan ratusan kelelawar telah keluar dari tempat persembunyian di
gua-gua gelap sana dan mulai memburu ribuan serangga yang beterbangan di
angkasa.
Semua itu adalah keajaiban dalam sore hari, karena terjadi
berulang-ulang setiap sore menjemput mata telanjang manusia dengan kesibukannya
tak pernah meliriknya, tapi ketika membuka mata dan hati kita dengan
selebar-lebarnya untuk sekedar melihat keajaiban Tuhan, kita pasti mampu memandangnya
dengan persepektif yang berbeda. Begitu juga dengan Fahita.
Langkahnya, ketika sore menjelang
tadi ia berpisah dengan Garra untuk berpulang ke rumahnya, tapi hatinya tak
ingin segera kembali menatapi mata-mata yang membuatnya sempat terluka; sangat
dalam. Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk termenung dan menatapi senja di
tengah taman kota.
“Aku tak tahu mengapa waktu
berlarian begitu cepat. Seperti kelinci di padang rumput lalu tiba-tiba
menghilang di telan lubang. Seperti aku sejak pagi kemarin, waktu bahagiaku
tiba-tiba hilang seperti ditelan matahari siang dan kini harus aku sendiri lagi
menatapi serpihan peristiwa yang akan hilang tertiup angin malam. Walau aku
tahu,hari ini akan menjadi masa lalu yang terlupakan walau harus meninggalkan
bekas kemerahan dalam hati, namun sungguh semua itu yang terdalam bagiku” Fahita
bergumam pada dirinya sendiri sambil menatapi lurus ke langit merah.
Tak sampai disitu, hatinya terus menggunggam
dalam riak yang menyakitkan, ia berharap dalam ketidak mungkinan andai ia mampu
bereinkarnasi kembali, menjadi anak kecil kembali, maka ia pasti akan merasakan
kebahagian itu kembali. Karena ia tahu, untuk bahagia di waktu kecilnya tak
harus mempunyai seribu alasan.
Karena anak kecil memang dapat bahagia tanpa
alasan, dia biasa sangat senag ketika ia dapat bermain-main dengan kupu-kupu
yang dilihatnya di taman atau bahkan bermain dengan benda-benda asing yang tak
dimilikinya. Berbeda dengan sekarang, umurnya yang mulai menginjak delapan
belas tahun, membuatnya harus dewasa belum pada saatnya, mengartikan
kebahagiaan harus berdasarkan alasan yang logis, begitu pula dengan sedihnyapun
harus berdasarkan alasan yang logis pula. Bukankah sedihku juga sangat logis
dan bahkan suatu keharusan baginya untuk sedih.
Fahita semakin puising dengan
argument-argumen yang ada di dalam pikirannya sendiri dan saling tarik menarik
antara ia harus melepas semau ini ataukah harus
sekedar meratapi. Ia tak sadar bahwa jarum jam telah menunjukan pukul
19.45. Wib, ia juga tak sadar telah membuat orang seisi rumah menangis
kebingungan.
“Iyan! mengapa kamu tidak
mengatakan semua ini dengan Ibu? , kalau Fahita mendengar pertengkarang kami”
Ibunya menangis, kehawatirannya memuncak, ia begitu ketakutan akan terjadi
apa-apa dengan gadis kecilnya itu,
“Maafkan Ayah, Bu, ini semua
gara-gara Ayah” sesal Ayah Fahita.
“Sudahlah Ayah, ini kesalahan
kita berdua tak perlu disesali, kita sama-sama egois dan emosional hingga gadis
kecil kita menjadi korbannya” Iyan yang ada di depannya hanya mampu menyesli
kecerobohn mereka berdua, akhirnya, rahasia yang selama ini terpendam begitu
saja terbongkar.
Iyan memeluk Ayah dan Ibunya,
mencoba menenangkan mereka dan berkata lirih,
“Mari kita semua minta ma’af pada
Fahita karena telah membohonginya selama delapan belas tahun ini, kita
mencarinya bersama-sama”
“Iyah, Nduk, ayo kita segera cari
Fahita, Ibu takut ada apa-apa dengannya, Ayah segera siapkan mobil”
Baru saja mereka bergegas menuju
halaman, Garra menyapannya,
“Lho, Tante dan Om hendak kemana?
Terlihat buru-buru?”
“Garra, apa kamu melihat Fahita?
Ia belum pulang sejak tadi pagi” jawab Ibu Fahita.
“Sejak tadi siang memang bersama Garra
di sekolah, tapi kita berpisah sejak pukul empat sore tadi, nah kita sekarang
berjanji untuk bersama-sama ke taman kota”
“Jangan-jangan Fahita tidak
pulang dan menunggumu di sana? Ayo kita ke sana sekarang” Ibu buru-buru.
Akhirnya mereka pergi berempat menggunakan avanza silver milik ayah Fahita.
Aku tak tahu mengapa aku merasa melankolis malam ini
Aku menatapi lampu-lampu berubah seperti segitiga dan
Lalu lalang yang berada di depan mataku
pun berubah dengan warna-warna baru
Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan
Semuanya terasa indah tapi kosong
seolah-olah aku merasa diriku yg lepas dan tak jelas
dan bayangan-bayangan yg ada menjadi semakin buram hitam pekat
rasa resah yang begitu kuat menguasai diriku
aku ingin membuangnya dan melempar sejauh-jauhnya.
Fahita tengah menengadahkan
wajahnya pada bintang-bintang, ketika Garra mendekatinya. Gumam lirih yang
sempat membasahi bibir tipis Fahita sempat terdengar oleh telinga dan perasaan
peka Garra terhadapnya.
“Hidup ini tak
seharusnya begini, aku masih sendiri dalam sunyi menunggumu dan menantikan
pelukan cintamu, lihat saja sekejap fajar datang lambat malam berlalu, namun aku terasa sepi tanpa dirimua ku lalui
langkah kebisuan tubuhku. Aku pun semakin tidak mengerti
mengapa semakin lambat jalanku seperti malam ini aku kehilanganmu, berbalik dan
tempuh langkahmu seolah tak terjadi apa-apa, itulah proses meditasi untuk
kedewasaanmu, melepas masalah dan yakin pasti ada hikmah”
Fahita membalikan
tubuhnya, ia begitu kaget dengan kedatangan Garra, ia ingin sekali menumpahkan putus
asanya dalam pelukan Garra, tapi ia tahu itu adalah tidak mungkin dan tidak
akan mungkin terjadi selama ia belum halala untuknya.
“Fahita, apa engkau
ingin melihat air mata ayah dan ibumu tumpah di depan matamu, agar air matamu
menyatu menjadi air mata ibu dan ayahmu?” Garra bertanya dengan nada yang cukup
dalam.
Fahita tidak
bergeming sedikitpun hanya hatinya yang berteriak, meluapkan kelu yang begitu
dahsayat, ia ingin sekali mengucapkan kalau merekalah yang mengajaknya menempuh
jalan ini, karena mereka pulalah kesunyian telah menepi dalam jiwa melingkupi
relung kalbunya, hingga terus membayangi
hidupnya dengan kesunyian yang menyatu dengan dinginya kasih sayang,
walau dalam kehadiran mereka sekalipun. Hingga kini, yang tersisia hanyalah
kehampaan.
“Fahita, ayolah
buka jiwa bidadarimu, bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau egnkau adalah
bidadari tak bersayapku, aku ingin kamu buktikan semua ini sekarang” Garra kembali
memohon, ayah dan ibu hanya memandangnya lewat balik jendela, begitu jua dengan
Mbak Iyan. Mereka tahu, Fahita takan mema’afkan begitu saja kesalahan mereka.
Kesalahan yang sungguh fatal. Hingga akhirnya mereka menyerahkan pada Garra
agara berusaha mendinginkan hati Fahita terlebih dahulu.
“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku” keluh Ibu
Mirandah saat melihat Fahita meneteskan air mata, selama delapan belas tahun
ini ia baru sekali ini melihat air mata Fahita jatuh begitu banyak hingga
wajahnya sayu dan matanya sembab, jika dulu Fahita menangis itu juga karena ia
kelaparan atau ia telat memberiinya susu, atau bahkan berantem dengan kawan
sebayanya, tapi kali ini air mata itu jatuh karena ulahnya. Ia sungguh merasa
berdoa dengan Rahma, sahabat karibnya, yang juga Ibu kandung Fahita, ia
teringat jelas janjinya dulu sebelum Rahma menghembuskan nafas terakhirnya, ia
meminta satu hal dari dirinya,
“Mira, aku titipkan jantungku padamu sebagai
ganti jantungmu yang telah membuatmu cukup merengek kesakitan, tapi aku mohon
lewat jantung itu, rawatlah Fahita, karena aku sudah tak mampu lagi untuk
menemaninya, dan jika kamu mampu rawatlah suamiku, anggaplah Fahita seperti
darah dagingmu, karena jantungku yang berdetak dalam ragamu juga akan
membantumu menyayanginya, karena kamu adalah
jelmaan dari jasadku. Tolong jangan pernah membuat gadisku menangis
berilah ia nilai yang berharga, agar ia mampu mendoaakanku dan juga mendoakan
kita semua kelak” genggaman terakhir dari Rahma masih begitu terasa, ia begitu
merasa berdosa saat ini telah membuat buah hatinya menangis dalam kesedihan
yang mendalam, seharusnya ini semua takan pernah terjadi, karena tanpa adanya Rahma,
ia takan pernah hidup hingga sekarang, kelainan jantung sejak kecil mungkin
telah merenggut nyawanya. Tapi karena Rahmalah ia kini merasakan cinta.
Begitu saja Ibu Miranda kelur dari mobil, ia tak sanggup lagi melihat air mata bercucuran membasahi pipi Fahita. Sejak kemarin, ia telah menebalkan kalbu kesakitan untuk Fahita, kesalahan telah ia cecap, kekalahan melawan dengan egonya telah membelenggu batin keibuannya.
“Fahita, ayolah jangan menangis bagian kehidupanmu ini memang sedang sedih tapi cobalah untuk tidak membuang air matamu yang hanya membasahi kesunyian dengan kehampaan. Kalau kamu menganggapnya hitam memang hitam dan cahaya kadang samar tapi, kehidupan tak akan menunggu kereta berikutnya, jadi jangan menangis ya,” ucap Garra lembut, tangannya mengusap kepala Fahita, mencoba menenangkannya.
“Fahita, Ibu mohon ma’af”_ Ibu Miranda berucap lirih, ia berusaha membelai Fahita namun Fahita menolaknya. Ia menghindar dan masih menunjukan wajah merah padam.
“Fa, Ibu mohon maafkan Ibu, Nak,” Ibu Miranda meneteskan air mata, akhirnya Fahita membuka katupan bibirnya dan merangkai kalimat pengungkapan rasa marahnya.
“Mengapa Ibu tak mengatakan semua ini, mengapa semua yang ada di rumah membohongi Fahita? Mengapa semua memendam peristiwa yang seharusnya Fahita tahu? Mengapa kalian melakukan semua ini? sekarang kalian puas Fahita merasakan semua ini? kehilangan yang Fahita rasakan sangat dalam Bu,”
“Fa, maafkan Ibu, tolonglah, bukan Ibu tak mau bicara, tapi Ibu benar-benar tak sanggup untuk bicara, ibu terlalu takut untuk bicara, ibu takut menyakitimu, takut kamu menangis dan terlalu khawatir hatimu terluka, ibu bukannya tak mau jujur, ibu takut tak bisa memelukmu sehangat dulu lagi”
Fahita hanya diam membisu.
***
Rekaman-rekaman masa lalu begitu jelas berputar-putar mengisi ruang kehidupan Pak Subrata. Kehidupan delapan belas tahun silam seakan meruntuhkan sendi-sendi tulangnya, raungan-raungan kesakitan dari suara istri tercintanya begitu jelas memekakan gendang telinganya.
“Mas, Rahma gak kuat lagi mas, sakit”
“Tenanglah Rahma, ayolah bertahan, berjuang sebentar lagi”
“Sakita, aowwwwwww”
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya buah hati yang telah Sembilan bulan masa kehaliman mereka tunggu akhirnya lahir. Perempuan jelita, mungil dan sangat mirip dengan ibunya sungguh membuat Pak Subrata begitu bahagia, ternyata setelah menunggu empat tahun lamannya di tambah dengan masa kehamilan, hampir lima tahun. Sungguh lama dan akhirnya kini berakhir jua.
“Rahma, lihatlah anak kita, ia cantik sekali, mirip sekai denganmu, lihat hidungnya begitu mancung seperti hidungmu”
Rahma hanya mampu tersenyum. Ia masih terbaring lemas, wajahnya pucat pasi. Ia telah kehabisan darah, dan belum sempat ia memeluk gadis kecilnya, ia pingsan. Suster melarikannya ke ruang ICU.
“Bapak, istri anda koma, ia mempunyai kanker di rahimnya”
“Rahma,!!!”
“Mohon anda segera menemui dokter, karena sebenarnya seorang penderita kanker rahim itu tidak boleh mengandung” ucap suster lalu meninggalkan Pak Subrata dalam ketakutan dan penyesalan, ia begitu egois mengapa ia dulu harus memaksa Rahma untuk hamil tanpa memikirkan kondisi Rahma yang lemah dan akhirnya harus terkulai tak berdaya. Untuk mengatur nafas saja sudah tak mampu.
***
“Pak Subrata, harapan istri anda untuk hidup sangat tipis, tolong semua konsekuwensi di terima dengan lapang dada” belum selesai berbincang dengan dokter, suster berlari mengabarkan kalau pasien di ruang ICU telah meninggal. pak dokter langsung berlari, sedangkan Pak Subrata masih terdiam dan akhirnya terjatuh pingsan.
***
“Jika kamu ingin marah, marahlah sama Ayah, Fahita, karena ayah yang menyebabkan semua ini” ucap Ayah Fahita yang tiba-tiba berdiri di belakang ibu Mirandah.
Fahita hanya terdiam, lalu ayahnya menjelaskan bahwa ia yang menyebabkan ibunya kesakitan. Jikalau ia dulu sabar untuk menunggu masa penyembuhan kanker yang diderita Rahma, pasti sekarang ibu Fahita masih hidup, tapi semua keadaan telah memaksanya, orang tuanya terus memaksanya untuk segera punya momongan dan jika tidak maka ia takan mendapat sedikitpun warisan. Tapi semua itu justru fatal, kini ia harus kehilangan istri dan menorah luka yang dalam bagi putrinya. Penyesalan tiada artinya lagi bagi Fahita.
“Fa, dengarkan ibu sekali ini saja,!” Ibu Mirandah memohon, Fahita tetapi tak bergeming hanya mengalihkan tatapian matanya lurus pada tatapian mata Ibu Mirandah, tanda ia mau mendengarkan.
“Jantung yang kini berdetak dalam raga ibu adalah jantung Ibu Rahma, dan air susu yang mengalir dalam tubuhmu adalah berasal dariku yang akhirya mampu menyambung kehidupanmu dan Mbak Iyan, jadi apa artinya aku ibu kandungmu atau bukan, antara jantung dan air susu telah menyatu anatara aku dan Ibu Rahma, jadi kita tidak ada bedanya, Ibu mohon Fahita” tangan Ibu Mirandah bergetar, ia kehilangan separuh tenanganya, melihat Fahita tetapi tak bergeming hampir saja ia putus asa, tapi tiba-tiba air mata yang keluar dari dalam mata Fahita memberiinya pertanda, bahwa ia masih ada dalam hati Fahita, dan mampu menyentuh jiwa terdalamnya.
***
Fahita hanya teringat satu hal, tentang nasihat Garra di pagi yang bening, saat angin masih perawan membelainya, saat itu Garra memberiinya untaian kalimat surgawi.
“Fa, ingatlah satu hal,menangis karena menghadapi ujian dan musibah yang berat adalah fitrah manusia. Menangis karena berbuat dosa adalah karunia. Menangis karena marah pada taqdir Tuhan adalah petaka. Jika kamu mampu meresapi tiga hal itu, aku yakin kamupun mampu mengartikan kehidupan yang kamu jalani”
Awan kelabu yang berarak dalam hari-hari Fahita terasa memudar dan memutih, ia mencoba berfikir lebih manusiawi, bahwa suratan taqdir yang membungkusnya mampu menjadi ladang pahala dan menciptakan sebongkah kesabaran. Walau ia tahu, menciptakan keikhlasan adalah hal yang tersulit untuk dilakukan oleh manusia pada umumnya. Tapi ia ingat bahwa anak sholihah dan doanyalah yang mamapu menghangatkan cinta dan sayang dari tempat tergelap di bawah tanah sekalipun. Ia ingin Ibu Rahma yang telah mengorbankan nyawanya benar-benar beristirahat dengan tenang di alamnya.
***
Maret 2007…
Cerita
kesedihan tidak
memiliki awalan dan akhiran, kapan kesedihan bermula? Barangkali ia bermula
sejak lahirnya sang kala. Kapan sang kala bermula? Mungkin Tuhan pun akan diam
seribu bahasa jika mendengar semacam itu. karena barangkali sang kala adalah
hasil pemikiran_Nya sendiri. Kesedihan selalu berada di dalam sang kala. Waktu
yang merentang. Ketika masa lalu dan masa depan terus meneror keinian. Tentu
hanya orang pasrah dan mampu melepas yang mampu hidup dalam kekinian selalu
segar-bugar dan behiasakan senyum penuh gembira, dan waktupun terasa tiada.
Seperti itulah kata
yang sering diucapkan Garra untuk kekasihnya, bahwa menjalani hidup tak harus
menunggu kereta berikutnya. Yang pasti dan teragung adalah melakukan yang
terbaik untuk detik ini dengan penuh cinta dan gairah. Niscaya cerita hidupnya
takan membalut sejarah penyesalan dalam hati. Karena sesungguhnya, taqdir yang
akhirnya meninggalkan cerita dalam hiduplah yang memilih kita, bukan kita yang
memilih taqdir. Bahkan tak ada kesempatan dan waktu sekalipun, dan sebelum
menerima akhir dari segalanya adalah bersabar dan terus bersabar.
“Kau senantiasa kirimkan paragraf -paragraf cinta, melalui
malam basah ketika di sini waktu tengah setitik bintang, mencakar langit sesepi, kau kirimkan
kamar-kamar rindu melalui tikam tatapian menelisik kisah di Balik dinding wajah
menusuk labirin tanya, tentang cinta dan masa depan”
sms yang baru saja ia baca, tiba-tiba membangun kubah rindu yang begitu agung
di hati Garra, betapia kekasihnya selalu memberii warna baru dalam
mengungkapkan rasa. Itulah salah satu alasan mengapa ia begitu betah menjalin
hubungan dengan Fahita, ia begitu mengerti bagaimana dan di titik mana ia harus
mengungkapkan cinta dan rindunya.
“Bulan yang selalu menerangi kalbuku,
bukalah lembaran-lembaran buku pelajaranmu, telah kusisipkan cintaku dalam
setiap rumus fisika dan kimia, serta aku torehkan rinduku pada setiap paragraph
dan majas dalam materi bahasa Indonesia, telah kurangkai ungkapan sayangku
dalam gramer English, percayalah, kau akan begitu bahagia jika dapat
memahaminya. I Love u”
“Ok, Fahita akan segera belajar. Sampai
berjumpa esok hari, di pagi penuh cinta”
***
Semangat belajarnya
begitu membara, hingga membuat gadis
melankolis itu menghapus awan kelabu yang menutupi atapi keluarganya, semua ia
usahakan untuk berlaku seperti biasa dan belum terjadi apa-apa walau masih
sedikit kaku. Dan pelukan Ibupun masih terasa dingin. Namun,
ia pura-pura tak merasakan semua itu, karena yang terpenting sekarang adalah
lulus dengan nilai sempurna dalam ijasah dan membuktikan pada ayah dan ibu yang
dulu pernah memaksanya untuk menempuh sekolah berbasis agama. Sehingga ia mampu
menjadi kebanggaan dan mendapat izin melanjutkan di Universitas umum.
“Fa, segera turun untuk makan malam, semua
sudah siap” suara Ibunya mengingatkan. Fahita yang sedang asik membaca buku
hanya menggeliat, hanya saja suara ajakan dari ibunya tak sehangat dulu. Ia
belum sepenuhnya mampu menerima kenyataan, butuh waktu dan pelan-pelan.
“Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tidak
pernah menyangka bahwa mereka semualah orang-orang yang membuatku sangat tidak
nyaman. Seperti sekarang!” Fahita mendengus, namun ia segera turun toh ia sudah
berjanji untuk memulai semua dari awal. Garaa pernah memberiinya kata-kata
indah yang mulai ia ingat ketika perasaan dendam menyeruak, karena kata-kata
itu sekarang bagai mantera peredam amarahnya,
jika rumah ini kau hiasi dengan senyuman manismu
mungkin rumah ini tak perlu penerang lagi
jika hati orang-orang terdekatmu terisi dengan cintamu
mungkin akan terasa tentram hidup ini
dan bila saja kau terus sirami
benih cinta itu
badai tak mampu tuk merobohkan
pohon cinta yang kau tanam dan mereka tanam
mungkin rumah ini tak perlu penerang lagi
jika hati orang-orang terdekatmu terisi dengan cintamu
mungkin akan terasa tentram hidup ini
dan bila saja kau terus sirami
benih cinta itu
badai tak mampu tuk merobohkan
pohon cinta yang kau tanam dan mereka tanam
sejak kau masih serupa
darah,
hati rendah dan penuh
cintamu
adalah kuncinya untuk
menerima semua itu
“Fa, UN tinggal
satu minggu lagi, sejauh mana persiapanmu?” Tanya Ayah membuka kebisuan yang
tanpa sengaja tercipta,
“Em, mungkin sudah
lebih dari 70%, Ayah,” jawab Fahita singkat,
“Ibu tertarik
dengan mimpimu untuk jadi penulis Fa, karena Ibu sangat ngefans dengan salah
satu penulis Indonesia yang bernama Asma Nadia dan Mira W, tulisan-tulisannya
sangat bagus dan cocok dibaca kalangan kami, terutama novelnya yang berjudul
Istana Kedua”
“Hem, Ibu senengnya
yang pembelaan wanita atas ketidak setujuannya poligami tuh Ayah, lebih bagus
juga yang Ada Rindu Di Mata Peri” Ayahnya tertawa, suasana diantara mereka
sudah mulai mencair.
Tapi berbeda dengan Ibu yang tiba-tiba merasakan
kesedihan dengan pendapat Fahita tentang novel Ada Rindu di Mata Peri, karena
ia pernah membacanya novel itu mengisahkan tentang seorang Ken yang begitu
merindukan ibunya, karena semenjak ia lahir telah ditinggal pergi oleh ibunya,
sedangkan ayahnya menikah dengan seorang tante Ayu. Oh ya Tuhan, apakah Fahita
juga merasakan apa yang seperti ken rasakan. Namun, ia tidak ingin merusak
suasana, akhirnya ia menyimpan gundahnya dalam hati.
“Oyah, Fa mbak Iyan
haya nitip salam kemarin ia tidak sempat berpamitan langsung karena ketika ia
berangkat kamu sedang tertidur pulas”
“Bu, boleh tidak Fahita
meminta seseuatu?”
“Boleh dong,
sayang” jawab Ibunya,
“Fahita ingin
kuliah di UNSOED, Fahita tidak ingin di UIN bersama Mbak Iyan, Fahita ingin
mengambil Fakultas Biologi, di sana Biologinya sangat terkenal bagus”
“Fa, antara pilihan
saat kamu akan menginkjakan kakimu di SMA dengan kamu akan kuliah itu berbeda,
dulu ibu sangat menginginkanmu untuk mendapatkan bekal agama, dan suasana
jiwamu juga masih labil karena kamu masih 17 tahun, berbeda untuk sekarang kamu
sudah dewasa dan kamu berhak untuk menentukan pilihanmu sendiri. Ibu yakin kamu
semakin matang dalam bertindak dan berfikir”
“Yang benar Bu,?”
Tanya Fahita kegirangan.
“Lho, gak percaya
dengan ibu neh,” jawab Ibu
Heheheh, Fahita
mengangguk senang. Ia membenarkan perkataan ibu, bahwa semakin kita dewasa
semakin kita seharusnya diberi hak dan kebebasan untuk memeilih jalan
kehidupan, dengan catatan masih dalam koridor kebaikan. Karena semakin kita
dikekang maka kita akan semakin berontak, kita bukan lagi anak SD yang masih
belum mampu memakai baju namun kita adalah orang yang akan menginjakan kakinya
dengan predikat baru; dewasa.
***
UN, YANG MENDEBARKAN
Di pagi yang sunyi,
berkas-berkas cahaya jingga matahari pagi menembus lebatnya dedaunan, setitik
embun masih bergulir di selembar daun hijau, dan burung kutilang berkicau riuh
di tajuk-tajuk pohon. Fahita duduk sendirian di taman yang indah dan begitu
terlihat segar dengan kemerahan mawar yang mulai bremekaran. Ia sedang
merasakan jantungnya bekerja dua kali lipat dari biasanya. Ia mulai membolak-balikan
buku pelajarannya, ujian pertama adalah bahasa indonesia. Ia sudah menghafalkan
semua materinya, dari kalimat majemuk hingga silogisme, namun karena ia begitu
grogi akhirnya banyak yang lupa. Ia blank mendadak.
“Fa, sedang apa,
kok wajahmu terlihat tegang?” Tanya Garra mengagetkan, karena ketika ia baru
datang tak menyapanya terlebih dahulu justru memperhatikannya beberapa menit.
“Iya neh, Ra. Aku
grogi dan merasa sedikit taku,”
“Lho, kamu sudah
belajar dan shalat malam serta membaca al-Qur’an belum?”
“He-he-he, sudah.
Seperti apa yang kamu sarankan kemarin”
“Terus apa yang
kamu takutkan?”
Fahita hanya
terdiam, mencoba berfikir ternyata tak ada gunanya untuk takut, setelah ia
berusaha secara maksimal bukankah ia harus mengembalikannya pada Tuhan.
Menyerahkan semua hasil pada Tuhan. Ternyata itu yang menjadi penyebab blank
dan hilangnya semua hafalan. Jiwa
pasrah yang masih lemah.
“Nah, kan. Ketahuan
kalau kamu masih sangat minimalis dengan Tuhanmu, jangan terlalu rasional tapi
harus menyeimbangkan antara rasional dan sepiritual.”
Fahita nyengir,
membuat Garra semakin gemas untuk mencubit pipi tembemnya.
“Ayo, kita ke
kelas, waktu tinggal lima belas meint lagi”
***
Empat hari sesudahnya
Usaha maksimal serta keyakinan, membuat hidup Fahita lebih rileks.
Jantungnya kini tak lagi tersayat ketakutan akan kegagalan UN. Seiring waktu
yang berlaripun, kehidupan keluarganya kini sudah mulai membaik. Rutinitas
seperti makan malam dan menikmati senja bersama ibu kini mulai terangkai kembali.
Semua itu tercipta karena hati yang saling memafkan dan menerima. Dan berakhir
dengan indah.
Ibu Mirandah pun
begitu lega melihat perubahan sikap Fahita. Tak salah ia mengasuhnya dari kecil
dan memberiinya tetes demi tetes air susunya. Walau ia bukan anak kandungnya, tapi
semua masih menyatu dalam dirinya. Ia melebihi anak kandungnya sendiri. Ia
begitu bahagia, setelah lebih dari tiga bulan berlalu, akhirnya Fahita mampu
berhenti untuk menyalahkan Tuhan, dan menyakinkan dirinya bahwa semua ini bukan
salah siapa-siapa. Dan iapun kembali menanamkan keyakinan dalam dirinya, bahwa
ia pantas bahagia walau dengan kenyataan pahit sekalipun.
“Fa, ibu sangat
sayang denganmu,” ucap Ibu saat mereka tengah duduk di taman belakang rumah
menikmati angin senja.
“Fahita juga sangat
menyayangi ibu,” jawabnya, ia perlahan memeluk ibunya. Betapia ibu merasakan
beban yang disimpan Fahita dalam hatinya dan dalam kesendirian yang sunyi. Pipi Fahita basah dan air matanyapun mulai
mengalir membasahi lengan ibu Mirandah. Dalam hatinya berkata, bahwa ibunya
pasti menginginkannya mampu sabar dan menerima dengan sabar semua yang ia terima
dalam hidup ini, tanpa harus menangis. Tapi ia juga menyadari, saat kalut
seperti itu, ia tak mampu untuk tidak menangis, ia hanyalah seorang gadis muda
yang masih sangat tidak labil, jadi ia hanya harus bisa menjadi dirinya sendiri
dan melakukan apa yang ia mau untuk menghibur dirinya, serta merasakan apa yang
harus ia rasakan. Dengan ikhlas.
Dan air matanya
belum berhenti menetes, membasahi lengan dan pundaknya. Ibu Mirandah
memelukanya semakin erat, dan berjanji untuk selalu memeluknya dengan kasih dan
cintanya selama nafas masih menyatu bersama raganya. Begitu dengan Fahita balas
merengkuhnya hingga hatinya hangat dan tenang menyentuh jiwannya.
***
Kini suasana sudah pada puncaknya, pengumuman UN akan
segera diantarkan kerumah masing-masing. Dengan hati yang berdegup kencang,
Ayah, Ibu dan Fahita menunggu tukang pos datang menghantarkan surat
kelulusannya. Berjalan mondar-mandir dan tak bisa diam dengan wajah yang
semakin memucat, belum lagi sikapnya yang gugup. Menjadi cirri khas Fahita
ketika hati dan fikirannya sedang tidak tenang. Apalagi untuk satu hal,
kelulusan. Itu sebenarnya tidak begitu penting dan tidak mutlak mengukur
kecerdasan otak manusia, namun semua telah tersistem bahwa kelulusan adalah hal
yang sangat penting bagi pendidikan Indonesia, sehingga ada beberap cara
dihalalakan demi menjaga citra nama baik sekolahnya, sehingga lulus 100% diupayakan sedemikian
rupa. Cerita yang sungguh sangat menyedihkan bagi pendidikan bangsa kita.
Bel berbunyi, suara
salam terdengar begitu segar. Fahita yakin kabar paling membahagiakan dibawa
oleh tukang post. Ternyata benar setelah membuka pintu dan menerima amplop
berkop Madrasah Aliyah tempatnya bersekolah, dengan tergesa-gesa ia membukannya
dan lulus menjadi miliknya. Nilai delapan dan Sembilan berjajar menghiasi SKHU
sementaranya. Ayah dan Ibu memberinya ciuman selamat. Mereka juga lebih
bahagia. Tidak Fahita juga Riyanah, kedua anak mereka adalah anak yang sungguh
cerdas.
Satu hal yang
langsung dilakukan Fahita. Menelfon Garra.
“Garra, bagaimana
dengan nilaimu,?”
“Yah semua nilaiku
Sembilan” jawab Garra,
“Wah, aku kalah
satu poin denganmu, nilai englishku delapan”
“Berati kamu
menjadi yang kedua,” hehehe Garra meledeknya. Akhirnya mereka tetapi menjadi the
best student. Hubungan mereka yang
terjalin selalu konstruktif dan benar-benar bisa dikategorikan pacaran yang
sehat. Hanya berdiskusi dan memberikan motifasi serta saling mengingatkan
ketika mereka mulai terbuai.
***
6
*Janji Langit
“Hari
ini tak adalagi Puisi yang ku tulis untukmu,
hari
ini tiada lagi Kata-kata indah yang ku ungkapkan padamu,
semua
terdiam dan termangu.
Hanya do’a yang
aku titipkan pada setiap langkahmu” ucap Garra, di bawah
rindangnya pohon beringin di pinggiran alun-alun kota.
Fahita hanya terdiam, rasa untuk jauh dari Garra begitu
berat, namun ia tak mempunyai langkah yang lain lagi. Cita-cita atas hasil
mimpi harus benar-benar tercapai. Walau dengan jalan yang berbeda. Seperti yang
Fahita idamkan, mengambil fakultas Biologi UNSOED dan Garra mengambil langkah
di kota pelajar, mengambil jurusan fisika di UGM. Jarak anatara purwokerto dan
Jogjakarta yang akan membelenggu rindu.
“Garra, aku takut
tak mampu membungkus rindu yang suatu saat pasti akan menyeruak”
“Pertemuan dan
perpisahan adalah pasangan dalam kehidupan, jika terbalut rindu, itu juga suatu
keharusan. Jadi, jika kau nanti merindukanku itu yang aku harapkan karena aku
yakin sebesar rindumu itulah sebesar cintamu denganku”
“Sepertinya ada
kemarau panjang di hatiku, mungkin sepanjang jarak dan waktu yang mengiringi
perpisahan ini” Fahita tertunduk sedih, setitik air matanya menghangatkan pipi
meronanya. Baginya bulan yang akan datang adalah bulan September yang kelabu
dan seterusnya akan menjadi bulan yang terus membiru.
“Fahita, I drift
in your feelings. But will not delete your light . I will still watch just for
you. Sincere love is brought meaning to be a part of me. Honesty that will
bring us together. grace to best achieve objectives. I will be faithful waiting
for you here”
Fahita hanya mengangguk pelan.
***
Fahita masih sibuk
menyiapkan semua perlengkapan yang harus ia bawa. Dua jam lagi ia akan
berangkat menuju kota satria. Sebenarnya, semua barang dan tetek bengek perlengkapan
kesehariannya termasuk perlengkapan ospek sudah ia bawa, tinggal jiwanya yang
belum mampu ia bawa seutuhnya, karena separuh jiwanya masih tertinggal bersama
pelukan jiwa kekasihnya. Berat benar-benar ia rasakan, ia takut kawan
diskusinya tidak aka nada yang sebaik dan secerdas Garra. Ia takut hati dan
jiwanya ketika ia telah membuka jendela dunia baru, ia tak mampu menahan angin
dan hujan yang datang menerpanya, tanpa perlindungan cinta Garra yang selalu
melindunginya. Ah, ia takut akan semuanya.
Aku takut aku akan selalu
merindukan kelembutanmu yang meredam risauku
dengn ketulusan maha karya
cinta yang pukau resah dengan binar- binar indah kasih sayangmu, lalu aku
terkapar dan tak berdaya.
***
Cinta itu anugrah, Bukan
tangis dan luka, temukan bahagia dimanapun tempatnya. Bangun
kisah hidupmu dengan tatanan indah, gapai tawa cinta bersama, lalui suka duka
dengan tawa dan ceria, ingat hidup tak lama, jaga cinta sampai ke syurga, aku akan selalu menjaga
kisah dan cintaku bersamamu dalam tiap lembaran hidupku karena aku yakin menunggumu
adalah bukan hal yang sia-sia. Melangkahlah untuk setiap nafas yang kamu cintai
dan untuk Tuhan yang telah memberii nafas dan kekuasaan teragung-Nya untukmu. Fahita menyimpan sebait kata
dalam book memonya. Ia ingin selalu mengabadikan semua itu dan membukanya
ketika ia mulai ragu.
Jalanan sepi, mobil avanza
yang mengantarnya melaju kencang. Terlihat Ayahnya menyetir mobil dengan
konsentrasi. Ibunya pun terdiam, hanya tatapian matanya yang berdecak kagum
melihat keindahan alam di sekitar kanan kiri jalan. Pohon-pohon yang menjulang
tinggi, serta perbukitan yang begitu indah dengan berbagai tanaman yang
menghiasinya, betapia agung kekuasaan Tuhan yang baru sekelumit terlihat di
sudut kota banyumas.
Fahita tak begitu mampu menikmati
angin semilir yang menelusup lawat celah-celah jendela yang sengaja di buka
sedikit. Fikirannya melayang bersama sang bayu dari timur. Mungkin Garra pun
sama dengannya, tengah menikmatiperjalanan menuju Jogja dengan perasaan
setengah berat. Sebenarnya, kedua orang tua mereka sedikit bingung dengan
keputusan anaknya, yang justru tidak ingin memilih Universitas yang sama.
Tapi, walau berat memang
harus di jalani. Fahita dan Garra sama-sama tidak ingin hanya karena ada cinta
dianatara mereka, harus memutar langkah hingga memutuskan memilih universitas
yang sama. Biarlah cita-cita dan keinginan harus tetapi tercapai dengan jalan
yang sudah direncanakan.
Angin-angin senja yang menyapaku membawa namamu
kepada lamunanku. Menguak kembali Indah pahit yang perna kita rasakan, Mengoyak-ngoyak hingga aku dihampiri
kata-kata rindu, menggugah hati,
menyentak pembuluh-pembuluh nadi, memompa detak-detak jantung hingga memburuh,
tak sabar aku untuk segera jumpa denganmu Aku diburuh rindu.
Aku disiksa rasa, aku digoda kenangan yang perna
ada. Teringat pesona cahaya kepribadianmu yang membuatku semakin ingin
bersamam., Aku tak sabar untuk jumpa dan menyebut namamu, walau baru beberapa
jam yang memisahkan, tapi telah tercipta rindu yang begitu besar.
Fahita lebih memilih untuk hidup di pesantren.
Tempat yang menurut pemaparan Garra lebih menentramkan dari pada dunia kost.
Walau harus menerima resiko, tak pernah menghirup angin malam dan harus
merelakan tubuhnya lelah serta pegal-pegal dengan semua kegiatan yang menumpuk.
Menjadi santri sekaligus menyandang almamater UNSOED, bukanlah hal yang mudah,
namun ia akan mencobanya dengan keinginan yang tak mudah di goyahkan.
“Fahita,
kamu fikirkan sekali lagi, benar akan masuk pesantren?” Tanya Ibu khawatir,
karena jika lelah menyapa tubuh gadis kecilnya, ia akan terbaring sakit.
“Ibu
tenang saja, Fahita pasti bisa, Fahita ingin menjadi kebanggan Ibu dan Ayah,
juga almarhumah Ibu yang jauh di sana. Fahita berharap lewat rapalan do’a-do’a
yang akan Fahita pelajari di Pesantren nanti, Fahita mampu menyatukan kasih dan
cinta untuk Ibu Rahma” jawabnya. Ibu Miranda hanya tersenyum.
Pesantren
di daerah Pabuaran menjadi pilihannya. Selain tempatnya setrategis, sistem
pengajarannya juga cukup modern, tidak terlalu salaf namun juga memakai sistem kholaf.
“Fa,
sebelum kita ke pesantren, lebih baik kita ke makam Ibu” ajak ayah Fahita.
Kontan Fahita tersentak kaget. Makam Ibu ternyata di Purwokerto.
“Maafkan
Ayah tidak menceritakannya semenjak kemarin. Ayah hanya ingin kamu setabil
dulu,”
Mobil
avanza melaju kencang menuju daerah karang suci, dan menghantarkan Fahita pada
kerinduannya.
***
Kerinduan semena-mena membuat
langkahnya memburu, begitu sampai di depan makam Ibu Rahma, Fahita memeluk
nisayang bertuliskan nama ndan tempat tanggla lahir.
“Ayah,
tanggal kemataian ibu sama dengan tanggal kelahiranku?”Tanya Fahita tergagap.
“Ibu
meninggal saat melahirkanmu, ia tak kuat karena kehabisan darah”
Duhai
putri lembutku! Aku merindukanmu, memiliki aku yang rindu dimanja tatapian
matamu, kembalikan rebahan kepalamu dipundakku, dalam dekapan lembutku, aku rindu kegelisahan matamu, yang biasa kau
sajikan kepadaku. Aku ingin dirimu utuh kembali kepadaku, Walau aku tak lagi
utuh, berkeping layu dan runtuh karena terlalu menginginkan cintamu, Aku yang
tak lagi utuh menjaga sisi hatiku yang mulai dijamak lelah menanti hadirmu.
Seolah-olah
Fahita merasakan rasa rindu yang dalam akan kehadirannya untuk benar-benar
memeluk nisan dan menziarahi makamnya.
“Ibu,
tenanglah, kita pasti akan selalu mencurahkan rasa rindu, Fahita akan selalu
mencurahkan apa yang Fahita rasakan, Fahita akan selalu dekat dengan Ibu, di
sini, di Purwokerto” ucap Fahita lirih, lalu ayah mendekat dan memimpin do’a
untuk menyapa istrinya dengan cinta dan kerinduan yang dalam.
September Kelabu
Awal bulan September adalah awal bagi musim migrasi
bagi burung-burung di belahan bumi bagian selatan atau utara untuk menghindari
musim dingin yang membeku menuju ke daerah tropis yang lebih hangat dan selalu
di limpahi cahaya matahari abadi. Inilah awal bagi ribuan bahkan jutaan burung
raptor, burung daratan, dan burung-burung air melakukan perjalanan panjang. Mereka
mampu menempuh ribuan kilometer dengan terbang tiada henti mengarungi ganasnya
samudra, menerjang badai, menembus pekatnya awan dan menyebrangi gusrun pasir.
Dengan
navigasi yang secanggih GPS, memanfaatkan observasi lanskap, posisi matahari,
bulan dan bintang serta medan elektrommagnet bumi, mereka tidak akan pernah
tersesat atau kehilangan arah. Tanpa mengenal dan bahkan amampu menembus batas
perkiraan manusia, mereka terbang tanpa mengenal lelah, mereka terus mengepak
sayapnya. Namun, mereka juga ciptaan Tuhan, walau sekuat apapun tetapi
terkalahakan oleh batas kemampuan yang di berikan Tuhan, hingga dari
segerombolan mereka ada yang berguguran dan jatuh dari atas langit dan tidak
mampu meneruskan perjalanannya lagi karena terlalu lemah dan lelah, sayapnya
patah atau mendadak jatuh sakit karena kekebalan tubuh menurun. Hanya yang kuat
yang akan sampai di sebuah pulau impian yang diselimuti hutan hujan tropis atau
lahan basah dimana mereka akan berkembang biak meneruskan keturunannya.
Begitu
juga dengan para mahasiswa, bulan September adalah bulan awal bagi mereka untuk
memasuki iklim baru; bangku kuliah setelah liburan panjang telah usai. Mereka
harus siap-siap melakukan sebuah migrasi panjang untuk menuntut ilmu satu
semester penuh. Mereka harus berangkat di pagi hari saat langit masih berwarna
semburat maroon dan pulang di sore hari saat lembayung senja mneyepuh dedaunan.
Mereka juga harus begitu banyak mengerjakan tugas dan paper, membaca
puluhan buku, berdiskusi dan mengikuti berbagai macam kegiatan yang mendukung
kuliahnya.
Tapi sayang diantara mereka juga
masih banyak yang bermalas-malasan dan meninggalkan kuliahnya, karena mereka
menganggapnya terlalu berat. Mereka
tidak sepenuhnya menyadari jika mereka berhasil lolos dari migrasi ini, mereka
akan mampu terbang bebas sejauh manapun dan setinggi apapun, meraih
bintang-bintang di angkasa atau menjelajahi seluruh penjuru dunia. Dengan ilmu
dan pengetahuan. Begitu juga dengan mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman
di bulan September ini.
Suasana pagi di kawasan Boulevard
UNSOED masih diselimuti kabut tipis yang berwarna kebiruan, tapi kini telah
dipenuhi lalu lalang kendaraan dan para mahasiswa yang berjalan kaki sambil
membawa setumpuk buku. Satu persatu burung cangak abu yang bersarang di
pohon-pohon tinggi di hutan buatan fakultas Biologi mulai mengepakan sayapnya
menuju hamparan langit biru.
Begitu juga mahasiswa penghuni fakultas
biologi yang ingin memulai kuliahnya untuk pertama kali agar mampu mengarungi
lautan ilmu yang tiada tepid an tidak mengenal batas. Mereka memasuki ruang
kuliah yang cukup nyaman. Di depan kelas sudah berdiri dosen yang siap akan memberi
pemaparan tentang mata kuliah ilmu pengantar biologinya. Dia adalah dosen yang terkenal killer dan
cukup di segani mahasiswa. Ia bernama Radika. Fahita hanya menatapi dosen itu
dengan sedikit dag-dig-dag. Belum apa-apa dosen itupun sudah membanjiri
mahasiswanya dengan berbagai pertannyaan.
Duh inikah rasanya jadi mahasiswa!!!
***
Berbeda
dengan kampus sastra, ketika Fahita mendatangi gedung yang cukup megah itu, dan
tepatnya memasuki ruang AKL, atau tempat yang biasa digunakan untuk berdiskusi
oleh para penulis di kampus ini, mereka tengah sibuk dengan diskusi yang cukup menarik. Terdengar salah
satu tutornya berkata cukup keras memberi motivasi. Sungguh menggugah dan
mengobarkan api semangat.
“Menulis
bukanlah suatu profesi, tapi menulis adalah nafas kehidupan”
Para
penulis muda hanya menatapi dan mendengarkan.
“Kawan-kawanku,
kalian tidak usahlah berkecil hati, jika tulisan kalian belum mampu untuk di
hargai masyarakat, yang perlu kalian lakukan adalah menulis dan menulis. Kalian
masih ingat bukan kata-kata Wiliam Forrester saat dia mencoba mengajari
muridnya yang berkulit hitam bagaimana cara menulis yang cerdas?”
Rendra,
salah satu mahasiswa sastra yang mahir dengan karya ilmiah dan puisi
mengancungkan tangan dan menjawab,
“Seingatku,
ia mengatakan bahwa cara yang terbaik untuk menulis adalah dengan cara menulis”
Aji
sang tutor mengacungkan jempol,
“Tres
Bien, Rendra. Kalian tahu apa maksudnya dari kata-kata itu? artinya kalian
tidak usah takut jika apa yang kalian terlalu jelek bahkan terlalu membosankan
dan tidak pantas untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Yang perlu kalian lakukan
adalah menulis dan terus menulis. Jika ada kesalahan kalian bisa mengeditnya
nanti. Jika ada yang kalian rasa kurang baik, kalian bisa pelan-pean
menggantinya dengan kalimat baru atau menambahkan cerita yang lebih menarik.
Yang penting jangan pernah takut salah dan jangan sekalipun ragu untuk
menumpahkan perasaan dan pikiranmu! There is first time for everyting. Seperti jika kalian berjalan, kalian harus
belajar merangkak lebih dahulu. Kadang kalian akan jatuh berkali-kali sebelum bisa berdiri tegak dan melangkahkan
kakimu lurus ke depan. Tapi jangan berharap bisa langsung berlari kencang,
semuanya butuh proses yang panjang”
Rendra
dan kawan-kawan lain hanya menganggguk dan membenarkan kata-kata dari tutor
yang sekaligus kawannya.
***
Suasana
kantin fakultas sastra masih sangat rame, tidak hanya anak-anak yang tergabung
dalam komunitas kepenulisan, namun juga anak-anak teater, pecinta alam dan
pramuka yang juga hobi nongkrong dikantin itu, selain makanannya enak tempatnya
juga setrategis. Fahita dan Rendra tengah duduk, dengan ditemani jus mangga
yang segar.
“Jadi
kamu, gadis yang pernah diceritakan oleh Garra?”
“Iyah,
Ka,” jawab Fahita.
“Waduh-waduh
gak usah panggil ka, aku ini belum terlalu tua hanya terpaut dua tahun
denganmu, umurku kan sama dengan Garra, hanya saja aku tidak berhenti sekolah
dan kepesantren seperti Garra,”
Fahita
hanya tersenyum, akhirnya orang yang pernah diceritakan Garra ketemu juga,
setelah hampir dua minggu ia mencari-cari. Akhirnya.
Lama
dan lebih dari satu jam mereka berbincang-bincang tentang cerita masa lalu dan
hingga sampai di universitas kebanggaan Purwokerto ini, ternyata Rendra
orangnya sangat asik dan tidak membosankan. Apa karena ia seorang penulis
sehingga pandai menciptakan suasana. Kata orang banyak, penulis adalah seorang
aktor yang hebat, selain pandai menciptakan suasana, ia juga mampu memandang
suatu permasalahan dari sudut manapun, ia juga mampu memikirkan hal kecil yang
tak pernah dipikirkan oleh orang lain, imajinatif dan kreatif.
“Garra
bilang kamu juga pandai menulis”
“Ah
tidak, aku hanya senang membaca karya orang lain, termasuk novelmu” Rendra
tersenyum malu, ia masih juga tidak pd walau karyanya sudah banyak yang publish.
“Menurutmu, bagaimana novelku? Sangat membosankan
kah?”
“Hem,
mungkin jika orang yang tidak suka membaca akan mengatakan kalau novel Kaka
berat, selain bahasanya yang terlalu meliuk-liuk di sana juga terdapat kutipan
pemikiran-pemikiran ilmuwan luar negeri, huft nyastra juga ilmiah” hehehehe,,
Rendra
makin tersipu, novelnya yang berjudul Jendela Rahasia memang banyak yang
menyukainya, bahkan best seler pada tahunnya, waktu itu.
“Kalau
boleh, aku ingin membaca salah satu dari karyamu” pinta Rendra.
“Kalau
puisi bagaimana?”
“Boleh”
lalu Fahita mengeluarkan selembar kertas dari bindernya,
Jika telinga telanjangku
mampu mendengar suara kesunyian,
Bagaimanakah itu?
Suara tetesan air hujan
Jatuh menimpa sumur kesunyian
Daun rebah di atas tanah
Kepak sayap satwa malam di ujung gelap
Derap langkah kaki di lorong senyap
Gema dentang jam gadang merayap
atau dentuman pintu terbanting
Saat kau melangkah tak lagi menatapiku
Tanpa seuntai kata terangkai
Bahkan untaian surgawi
yang Pernah menghiasi ikut tercerabut
***
Fahita
merebahkan lelahnya di atas ranjang, ia menyadari perasaan rindu yang mendalam
yang tiada berkesudahan. Memahami cinta benar-benar membuatnya terluka dan ia
kini rela mengaliri lukanya dengan kerelaan dan keihklasan serta rasa senang
menahan rindu yang seakan mencekam.
“Semoga
aku mampu mengumpulkan benih-benih rindu dalam genggaman hati, dan akan
kusebarkan benih-benih itu ketika aku menatapi matanya” bisiknya dalam lara
kerinduan. Suasana ramai di sekililingnya pun sama sekali tak menggoyahkan luka
yang ia tahan. Nama Garra dan sesungging senyumnya telah benar-benar membuatnya
bersahabat dengan kesabaran.
“Seperti
pohon yang daunnya tidak akan menjadi kuning, kecuali seluruh pohon kering, demikian pula cintaku padanya, tetapi
tersembunyi dalam hati dan selalu mengaliri setiap inci tubuhku bersama aliran
darahku” hatinya terus merintih, memohon untuk segera melabuhkan semua rasanya.
Karena sekarang hatinya benar-benar berdarah dalam tubuhnya sendiri, karena
mata yang indah yang biasa tatapi dengan keindahan tak balas menatpnya walau
dalam mimpinya. Jarak benar-benar membelenggu. Ketika ia ingin mencari
kemerdekaan atas jaraknya, ia tiba-tiba menjauh lagi dan menghilang kembali.
Ahk, apakah pertahanan rindu ini yang akan mengantarkan sebagai tujuan dan
akhir percintaan.
***
Ada
orang yang terpisah dari orang-orang yang di depannya, orang-orang yang lebih
cepat langkahnya atau lebih lambat darinya, maka mereka semua akan menghindari
batu kerikil yang akan menghantam setiap langkahnya. Alangkah lebih baik
menjadi orang yang mampu berlari kencang dari orang-orang di sekitarnya, karena
setelah berlari ia akan terbang dengan sisa tenanganya, mencari apa yang
manusia disekitarnya tak mampu menggapainya bahkan sama sekali belum
memikirkannya.
Pekikan
kata-kata semangat telah menyulut dan memberiikan kekuatan pada sebongkah mimpi
di ruang AKL, semua kawan-kawan komunitas Rumah Ajaib begitu antusias mendengarkan
dan menerima asupan ilmu pagi itu. Mas Wawan, pendiri komunitas tersebut telah berdandan
rapih dan siap memagari hidup kawan-kawan penghuni Rumah Ajaib lainya dengan
sebongkah mimpi yang akan membawa mereka terbang.
“Kawan-kawan
yang diperlukan dalam dunia kepenulisan sebenarnya adalah motivasi yang tinggi
dan sebuah komunitas yang terjalin atas dasar tujuan yang mulia. Bukan bakat
ataupun kecerdasan” Fahita yang duduk di samping Rendra masih begitu antusias mendengarkan Mas Wawan. Dalam
hati kecilnya, ia begitu sangat setuju, bahwa yang diperlukan dalam setiap
langkah adalah motivasi. Menurutnya, motivasi amat penting, bukan hanya dalam
dunia kepenulisan, namun motivasi juga sangat diperlukan dalam meraih prestasi
dan reputasi. Bahkan sangat penting lagi demi hidup itu sendiri.
“Ada
yang ingin komentar dalam hal ini kawan-kawan? Ayo ungkapkan segala yang
berputar dalam kepalamu!”
Dengan
segera Fahita mengacungkan jarinya,
“Ow,
bravo Fahita, sejauh mana peran motivasi menurutmu?”
“Menurut
saya, motivasi adalah hal yang sangat urgen, karena hidup tanpa motivasi ibarat
zombie dingin nir- gairah. Sedangkan hidup separuh motivasi bagaikan
kerakap yang hidup enggan matipun ogah. Akan tetapi hidup sepenuh-penuhnya
motivasi dan gairah, itulah hidup sejati, itulah hidup sebenarnya. Istilah
saya, living to the fullest. Jadi motivasi memang sangat sentral
statusnya. Oyah mas, boleh saya memberiikan rumus motivasi yang secara iseng
saya rancang?”
“Waow,
sangat diperbolehkan Fahita? Silahkan” lalu Fahita melangkah mengambil snowman
dan menuliskan rumus motifasi yang menurutnya sangat membantu langkahnya.
Kemampuan: pengetahuan + ketrampilan
(1)
Motivasi : Visi + Komitmen (2)
Kemampuan
x Motivasi : Prestasi (3)
“Kawan-kawan,
perihal peran motivasi dalam meraih sukses dan prestasi saya menuliskan rumus
seperti ini. walaupun sepintas lalu motivasi hanya sebuah faktor independen
dalam ketiga persamaan tersebut, tetapi sebenarnya motivasi adalah jantungnya”
jelas Fahita sambil menunjuk papan tulis.
“Atas
dasar apa kamu mengatakan hal tersebut Fahita?” Tanya Andi salah satu cerpenis.
“jawabannya
sangat sederhana kawan, pencapaian pengetahuan dan ketrampilan sesungguhnya
adalah fungsi motivasi. Maksudnya, pengetahuan tinggi hanya bisa dicapai bila
didukung oleh motivasi belajar yang tinggi pula. Demikian juga ketrampilan
tinggi, hanya bisa diraih dengan motivasi latihan yang tinggi. Jadi, kemampuan
pada awalnya adalah buah motivasi”
kawan-kawan bertepuk tangan ria, mereka puas dengan jawaban Fahita. Lalu
Mas Wawan memperkuat jawaban Fahita,
bahwa memang yang namanya motivasi adalah hal yang sangat urgen.
Uniknya, meskipun kemampuan sudah tinggi, sebagai hasil kombinasi pengetahuan
dan ketrampilan yang tinggi tetapi tanpa
adanya motivasi operasional kemampuan tersebut tetapi impoten, memble, tidak
berdaya. Jadi, pengembangan dan maintenance motivasi merupakan sentral
dari semua ikhtiar kemajuan di segala bidang.
Diskusi
mereka di pagi ini di akhiri tepat pukul 10.00 Wib. Karena sebagian mahasiswa
ada yang akan mengikuti perkuliahan di kelas masing-masing.
“Kawan,
sebelum saya akhiri, untuk diskusi selanjutnya tolong kalian membuat satu bait
puisi dengan tema yang bebas. Karena untuk diskusi besok akan membahas tentang
puisi”
Fahita
melangkahkan menuju kantin, jadwal kuliahnya masih tiga puluh menit lagi, ia
ingin duduk santai sambil menikmati juice alpukat yang segar.
“Hai,
Fa!” Sapa suara seorang laki-laki muda yang sudah tidak asing. Fahita segera
menoleh, ternyata benar tebakannya, laki-laki yang menyapanya adalah laki-laki
yang begitu ia kagumi kecerdasannya.
“Eh,
mas, kok di sini, memang tidak ada kuliah” Tanya Fahita,
“Fa,
aku kan sudah semester delapan, jadi
sudah tidak ada kelas”
Fahita
hanya mengangguk-angguk,
“Fa,
aku begitu tertarik dengan puisimu, sejak kapan kamu belajar puisi?”
Fahita
tersenyum, pipi lesungnya dan gigi gingsulnya terlihat begitu menawan, menambah
lengkap kecantikannya.
“Ah,
mas biasa ajah neh,”
“Eh
aku serius,”
“Aku
dulu adalah orang yangsangat kaku, tapi semenjak aku mengenal seorang yang
begitu lembut, kekauan itu perlahan-lahan hilang, karena ia selalu mengajarkan
saya kelembutan dan kemesraan lewat ucapan, dan berawal dari sms-sms yang ia
kirim serta ucapan-ucapan ketika kita sedang ngobrol bersama”ucap Fahita dengan
nafas berat.
Matanya menerawang ke masa silam,
ketika setiap detiknya ia mampu menatapi mata Garra, ketika setiap harinya ia
mampu merasakan hembusan cinta Garra yang tak pernah lekang oleh waktu. Tapi
kini, ia jauh, rindupun sellau menggerogotinya. Hpnya pun kering dari nada-nada
cinta. Peraturan pesantren yang mengharuskan santrinya tanpa hp. Huft sedikit
terasa berat.
“Heh, kok malah melamun”
“Ma’af-ma’af mas,” ucap Fahita
merasa malu pada lelaki yang begitu ia kagumi. Ia adalah Mas Wawan, sastrawan
yang mampu mendobrak Universitas Jenderal Soedirman dengan karya-karyanya yang
begitu monumental.
“Kalau saranku sih, ungkapkan
kegalauan yang ada di matamu itu dengan sebait puisi atau cerpen”
“Cerpen mas?”
“Iyah, ayo mulai bercerita dengan diawali
perasaanmu sendiri, aku yakin ruh dalam tiap bait tulisanmu pasti akan
menjelma” lanjutnya, Fahita lalu tersenyum.
Garra, walaupun tatapimu kini tak lagi menemani,
Namun, nada-nada cintamu terus berdawai bersama angin
yang menyapu tiap kedipan mataku,
lewat kenangan, jiwaku mampu menuturkan tiap kerinduan
hingga kini mengelopak dalam dada
menyeruakan sukma
yang terpadu melagukan nama-nama
mesramu bersana keheningan yang menyentuh kalbu keringku.
Di sepatuku ada namamu, di cerminku ada namamu dan
di setiap langkahku terlukis nama purbamu,
semuanya kuseduh menjadi setitik air mata kerinduanku,
yang tengah mengiba agar engkau datang membawa tangan-tangan pelipur lara,
dan akan kubiarkan lukisan-lukisan namamu hingga ia melumut
dan merasuk bersama darahku yang memutih.
7
*Mimpi yang Terwujud
Januari, 2009
Cuaca Purwokerto sangat cerah hari ini,
langit
terlihat biru bersih,
seakan tak
ternoda oleh awan putih.
Angin bertiup sejuk menyegarkan. Matahari dengan
cahayanya yang kemerah-merahan mulai mengintip dari ufuk timur, padahal sang
rembulan masih menampakan diri di ufuk barat dengan cahayanya yang mulai
meredup. Keduanya seolah seperti musuh yang tak ingin berjumpa di medan laga,
yang satu datang dan yang satu pergi. Seperti biasa, di pagi yang menyegarkan Fahita
masih sibuk dengan komputernya. Membaca ulang naskahnya, adalah hal yang selalu dilakukan Fahita ketika ia telah
senggang. Prinsip Hemingway seorang
sastrawan peraih nobel telah ia terapkan. Seorang sastrawan yang mempunyai setandar tinggi dan sangat
terobsesi dengan kesempurnaan, sehingga ia merevisi naskah The Old Man and
the Sea sebanyak delapan puluh kali, sebelum menyerahkan pada penerbit.
Yang benar-benar Fahita
contoh adalah kesabaran serta ketelitian yang begitu pantas diacungi jempol. Fahita
mengerti, semua itu dilakukan oleh seorang Hemingway adalah adanya visi
keindahan yang telah menggerakan hatinya. Itulah cita-cita yang benar-benar
membebaskan energi hati, pathos, passion, yang luar biasa. Pikir Fahita.
Sebenarnya, dunia ini masih membutuhkan lebih banyak
manusia yang bermotivasi tinggi bahkan melebihi seorang Heming way. Namun
seorang yang lebih mampu berkarya dengan roh yang kuat, determinasi seratus
persen, yaitu manusia-manusia yang mengagungkan motivasi. Tapi sungguh sangat
disayangkan, para manusia muda harapan bangsa saat ini lebih banyak yang menyukai
diam dengan segala harapan.
“Hei, Gadis
jenius, bagaiamanakah caramu mengagungkan pagi ini? angin terlalu sejuk untuk
kau diamkan, gerakanlah mata dan tanganmu dengan lincah. Mimpi sudah meraung
untuk segera kau jemput” Nada dering hpnya yang berbunyi menandakan sms. Fahita membacanya dengan
tersenyum. Selalu begitulah Mas Wawan menyebar motivasi bersama angin di pagi
hari. Sungguh beruntung Fahita mengenalnya.
***
Semua
berakhir di sini,
Di batas kata, tampat
daun-daun meneteskan air mata
Apakah salah aku
menjadi puisi
Bahkan mendalami prosa
kehidupan
Yang selalu bermain
dengan senja
Dan mempersunting
embun pagi
Tapi, aku tak mampu
apah-apah
Ya sudah biarkan
taqdir itu mengalir
Mungkin belum saatnya
menggenangi relung hatimu
Atau mengisi
celah-celah otakmu
Yang aku tahu, pada
akhirnya
Aku harus menjadi awan
yang selalu memayungi hatimu
Dari
hujan, panas .
“Waow, itu sangat bagus Fa. Tak kusangka kamu
bisa menulis puisi sebagus itu, kamu tidak menulis puisi menurut siapa, kapan,
dan apa, tapi kamu punya gaya sendiri yang sangat menarik. Itulah yang aku suka
darimu, berani menciptakan gaya baru yang orisisnil dan bukan seperti yang aku
perintahkan kemarin. Jangan pernah takut melakukan perubahan dan hanya menjadi
pengekor belaka. Menjadi seorang penulis adalah menjadi dirimu sendiri”
Sesuai janjinya, Mas Wawan
menjelaskan apa itu puisi. Ia merasa sangat puas, belum menjelaskan tapi Fahita,
telah mahir, bahkan di luar dugaannya.
“Rin, coba jelaskan apa yang kamu
ketahui tentang puisi?” Mas Wawan m,enunjuk Ririn mahasiswa sastra yang juga
tergabung dalam kommunitas Rumah Ajaib. Ririn telah lebih dari lima bulan
bergabung dengan mereka, kemahiranya membuat karya tulis ilmiah terkadang
membuatnya kaku jika harus menggunakan bahasa kaiasan, atau bahasa yang puitis.
“Em, kalau menurut saya puisi adalah
kata-kata yang romantis”
“Ada opini lain?”
Anisa, salah satu mahasiswa yang
telah lebih dari tiga bulan bergabung dengan mereka menjawab,
“Puisi adalah bentuk kesusastraan
yang menggunakan sajak, rima dan irama”
Fahita menyangkal,
“Jawabanmu bagus An. Tapi, setelah
Rimbaud menulis sajak bebas, puisi modern tidak Lgi menggunakan kaidah-kaidah
seperti rima, sanjak dan irama se[erti puisi-puisi terdahulu. Saat ini, penyair
bebas mengekspresikan perasaannya tanpa terpenjara lagi oleh bentuk puisi lagi,
tapi walau begitu ada satu faktor yang tetapi sama dan konstan. Seperti kata
Riffaterre, bahwa puisi mengekspresikan konsep dan sesuatu secara tidak
langsung. Dengan kata lain puisi mengungkapkan sesuatu yang berbeda”
Kawan-kawan lain tepuk tangan dengan
jawaban Fahita. Mas Wawan menatapinya dengan dalam, ia begitu kagum dengan
gadis belia yang cerdas.
“Jawabanmu sangat memuaskan Fahita,
ayo terus kembangkan dan teruskan apa yang kamu lakukan hari ini” lalu Mas
Wawan mengambil buku Les Fleurs du Mal dan membacakan sebait puisi itu,
ia membacakan puisi Albatros dari Budilaire,
Le Poete est semblable au prince
des nuees qui hante la tempete et se rit de l’archer, exile sur le sol au
milieu des hues, ses ailes des geant lempechent de marcher
Dari bait puisi itu ia menjelaskan
bahwa ada beberapa pemaknaan yang berbeda, salah satunya bahwa penyair seperti
pangeran awan, bahkan banyak lagi yang masih sepadan dengannya. Namun, maksud
yang disampaiakn oleh seorang Baudelaire bukan seperti itu, melainkan ia
memetaforakan penyair sebagai burung Albatros yang besar seperti raksasa dan
mempunyai rentang sayap yang lebar. Itulah megapa bahasa puisi terlalu banyak
interprestasi dan mempunyai banyak makna, hingga penyairnya ia umpamakan
seperti burung Albatros.
“Kamu tahu mengapa alasannya Fahita?”
“Baudlaire mengumpamakan seperti itu
karena penyair mempunyai imaginasi yang hebat, hidup di dunia yang penuh
fantasi dan khayalan seperti burung Albatros yang bebas terbang kemana saja ia
sukai. Ia selalu menjadi teman bagi para nelayan dan raja di langit biru, tapi
sayang hidup penyair dalam kenyataannya selalu dihantui kemiskinan, penderitaan,
penghinaan dan kekalahan” jawab Fahita singkat.
“Cerdas Fahita. Ternyata kamu pernah
baca bukunya. Memang benar kawan-kawan apa yang baru saja disampaikan oleh Fahita,
bahwa penyair selalu hidup di dunia imaginasinya seperti burung Albatros, tapi
sayang ketika ia mendarat seperti burung Albatros yang sesungguhnya ketika mendarat
ke tanah. Dengan sayapnya yang lebar ia selalu terhuyung-huyung saat
melangkahkan kakinya ke tanah dan hanya mengganggunya untuk berjalan normal.
Jika kalian pernah melihat film dokumentar tentang Albatros, kalian akan
mengerti mengapa ia di umpamakan dengan seorang penyair dan kalian mengetahui
mengetahui mengapa selama ini seorang penyair selalu mengatakan sesuatu dengan
symbol atau tanda yang berbeda”
Pertemuan
yang membawa mereka terbang ke langit ilmu yang luas harus terhenti karena
waktu. Mereka harus kembali ke dunia mereka yang sesungguhnya sesuai fakultas
da jurusan yang diambil. Puisi Rendra
menutup perjumpaan senyum mereka yang menyatu sejak pagi tadi.
Musim cinta di Jogjakarta
Kita berdua
duduk di bangku taman
Menikmati
sepotong senja
Yang menyepuh
bunga kenanga
Dan saling
bertanya,
“Mengapa keindahan ini
hanya berlangsung sekejap,
Sebelum akhirnya lenyap ditelan senyap”
***
Jogjakarta, musim rindu.
Fahita, apakah aku harus bergegas memungut rindu
Yang tersebar di
batu-batu itu,
sedangkan nafasmu
telah berlari menjadi kabut
setelah senja datang
menutup pintu
dan berlari terus dan
terus
sedangkan maki jauh
kumelangkah
makin banyak cahaya
yang merayapi tubuhmu,
ataukah aku harus tetapi
menggengam peta cintamu
agar ketika aku
tersesat dalam halaman kerinduan
mampu berlari
mencarimu dan akhirnya menemukanmu.
Tapi semua hanya
sebatas, dan mengenal batas,
Tersiksa,,,,,
***
Tuntutan
pesantren masih dijalani Garra dengan ikhlas. Itu semua karena ingin menjadi
yang terbaik untuk Tuhannya juga untuk orang-orang yang mencintainnya. Hafalan
Al-Qur’an yang harus selalu ia jaga dan mata kuliah yang harus ia lahap dengan
sempurna, membuatnya mengabaikan rasa rindunya terhadap senyum bidadarinya.
Sebenarnya bukan melupakan tapi ia mencoba menepis kerinduan itu. hampir dua
tahun ia tak pulang, bukan karena ia tak menjumpai liburan yang menjanjikan
indahnya pertemuan, tapi ia sengaja mengacuhkan liburan itu. Ia dan Fahita
telah sama-sama berjanji akan bertemu ketika mimpi telah sama-sama mereka
genggam.
Di tengah gelisahnya, ia tak mampu
lagi berfikir indah, seperti yang tengah ia rasakan kali ini, rindunya semakin
membuncah dan pertahanannya mulai goyah, hampir saja ia melangkahkan kakinya
untuk pulang dan menemui bidadarinya, namun untung saja jiwa malaikatnya masih
menahannya. Dan akhirnya, ia hanya menulis kerinduannya pada agenda biru
tercintanya,
Apakabar bidadariku tercinta? Hope you well and do take care
Alloh sellau bersama kita .
Bidadariku, masihkah kau setia menungguku di sudut janji kita?
Aku tahu menunggu, menanti atau wahateverlah yang sejenis
dengannya,
Yang kata orang sangat membosankan dan terkadang membuatmu ragu
Menunggu, janganlah kau ragu dengan menunggu,
Karena cinta dan rinduku akan menggantikannya
dengan madu-madu keindahan
Bidadariku, ada banyak hal yang bisa kau lakukan saat menungguku,
Membaca misalnya, agar tulisan-tulisanmu semakin bagus,
Percayalah, tak selamanya sendirimu itu perih,
Sendirimu menjanjikan cinta sayangku,
Tenanglah sayangku, aku menggunakan waktu kesendirianku
Untuk hal-hal yang lebih produktif
dan memberiikan cahaya yang lebih cerah untukmu nanti,
karena itulah bidadariku tercinta,
maklumilah aku karena belum datang menjemputmu,
Bidadariku, aku tahu engkaupun rindu sama denganku
yang menyimpannya untukmu
seperti malam ini,
yang terasa panjang dengan air mata yang mengalir
hatiku terasa kelu dengan derita rindu yang menderu
Kutahan derita mala mini sambil menghitung bintang,
yang mungkin banyaknya tak mampu melebihi rinduku padamu
Bidadariku, tunggulah aku dengan cintamu,
Dengan nada-nada kesabaranmu,
Dengan dawai-dawai kasihmu,
Penuh cinta, Garra,,,,
Ia mengingat-ingat terakhir
mengirimkan email pada Fahita, ternyata dua bulan yang lalu, betapia waktu
telah menyesakan. Saat itu, Fahita ingin ia membaca puisi dan novelnya, dengan
alasan ia tidak pd untuk menyerahkannya pada Mas Wawan ataupun Rendra. Masih
tak pantas, padahal setelah Garra membacanya, tulisannya begitu bermakna dan
bahasa yang digunakan pun romantis.
Setelah malam semakin pekat, Garra
metup buku agendanya lalu mengambil air wudlhu, obat pelipur yang paling jitu
serta menjauhkannya dari pikiran-pikiran yang diproduksi oleh syaithan. Ia
ingin memadu kasih kembali dengan yang membuat cinta di dadanya, ia ingin
mengadukan betapia ia gelisah, hanya pada yang Penciptallah ia berani
mengadukan semua resahnya.
***
Garra, aku ingin lalai tapi
ingatan terikat. Hati dirundung rindu padahal aku tahu, kau berada diantara
tulang iga. Aku mengingatmu sebanyak nafas yang berhembus, sebanyak aliran
darah yang melewati garis-garis taqdir. Wahai engkau pemilik hatiku, yang
bersemayam dalam rasa dan diriku, kau lebih dekat dari semua yang berdekatan, ketika
aku kini hanya menatapimu lewat bayangan, aku seumpama kamboja putih yang pergi
melampau alam pijakan ini. wahai engkau yang berada diantara mata dan jiwa,
walau kini tak ada ruang dan waktu, namun aku akan tetapi mencurahkan rasa dan
cintaku, yang akan terbang dimanapun engkau berada.
“Hei, kata-katamu bagus sekali Fa”
tegur Rendra mengagetkan, Fahita langsung menutup laptopnya.
“Kenapa datang tidak bilang-bilang
kak?” jawabnya dengan wajah sedikit malu.
“Aku sengaja datang tanpa memberiitahumu,
karena aku ingin mengetahui apa yang kamu tulis di waktu yang masih segar ini”
Fahita terlihat lebih malu, ia
bukannya menulis tapi lebih tepatnya ia mencurahkan perasaan rindu yang teramat
dalam.
“Hei sudahlah, jangan sok malu gitu,
aku begitu mengagumi tulisan-tulisanmu. Kalau boleh aku bilang si, selama
pengamatanku beberapa waktu ini, kau lebih berkembang dari pada kawan-kawan
yang lain, dalam waktu dua tahun terjun dalam dunia tulis menulis kamu udah
mampu mebuat novel dan puisi-puisimu juga mengena sekali. Menurutku kamu sudah
matang dan gairah menulismu juga sangat tinggi di usiamu yang masih muda”
Fahita hanya diam, matanya menatapi
langit-langit. Wajahnya terlihat sangat suntuk.
“Kamu tau nggak Fa, Rimbaud menulis Saison
en Efer saat ia berumur tujuh belas tahun, tapi sayang ia berhenti menulis
di umr duapuluh satu tahun setelah berselisih paham dengan Paul Varliance. Aku
tak ingin kamu seperti dia, gara-gara ada batu kerikil sedikit saja, gairah
menulismu mengendur dan akhirnya kamu fakum. Menulis itu butuh keberanian Fad
an aku percaya pasti kamu mampu”
“Aku sebenarnya mampu menulis dan membuat
puisi seperti selama ini Kaka baca karena itu adalah kata hatiku, kerinduanku
pada Garra, itu saja, tanpa Garra hidupku terasa sepi dan hampa. Walau pada
awalnya aku memang begitu suka dan terobsesi menjadi penulis”
“No problem Fa, banyak penulis yang
saat dia patah hati atau bahkan sedang tidak jelas, rindu atau jatuh cinta
misalnya, ia dapat menuliskan karya master piecenya. Kedengarannya
anehkan, tapi itulah kenyataanya”
“Jangan bercanda ah kak, Fahita ini
sedang serius”
“Hey, aku juga serius, kamu pasti
ingat dengan tokoh kesukaanmu. Ernest
Hemingway, dulu ia pernah menjadi sukarelawan untuk unit rembulan di
Prancissaat perang dunia 1 berkecamuk. Di sana ia berkenalan dengan seorang
perawat cantik saat dia terluka, tapi sayangnya cintanya saat itu ditolak dan
perawat itu lebih memeilih seorang dokter yang jauh lebih tua darinya. Ia begitu sedih dan patah hati, lalu ia
menuliskan kisah cintanya dalam novel “A Farewell To Arms” yang sangat
dramatis”
“Oh gitu, eh ia Kak Fahita juga
pernah membaca kisahnya F. Scott Fitzgerald, yang jatuh cinta dengan seorang
cewek yang bernama Zelda Sayre, tapi justru cewek itu meninggalkannya karena
menganggap Fitzgerald hanyalah seorang laki-laki yang miskin dan tak punya masa
depan yang cerah, lalu ia menuliskan kisah cintanya dalam novel yang berjudul “The
Great Gatsby” novel itu sangat menarik dan mencerminkan tokoh utamanya
adalah memang dirinya sendiri, ia mengatakan bahwa kesuksesan merusak karir dan
cintanya. Walaupun akhirnya ia pun menikah dengan Zelda tapi rumah tangganya
pun berantakan”
“Nah, itu kamu cerdas Fahita, kalau
begitu mengapa sekarang masih sedih dan masih tidak pd dengan karyamu sendiri,
ayolah kamu serahkan novelmu pada Mas Wawan”
“He-he, Fahita malu mas,”
“Mengapa harus malu Fa, kerinduan,
kebencian bahkan patah hati itu mampu menjadi inspirasi dan akan menjadi indah
jika kamu mampu mengolahnya”
Fahita hanya mengangguk-angguk, lalu
Rendra mengingatkannya lagi, bahwa penderitaan bukanlah akhir segalany. Jika Fahita
merasa menderita karena rindu pada Garra ia yakin Fahita mampu mengubahnya
menjadi hal yang positif bukan destruktif. Itulah sebenarnya yang membedakan
antara seorang pecundang dan seorang pemenang. Contoh kecil saja seperti
seorang Marcel Proust, selama dua puluh tahun ia membuang hidupnya secara
percuma dengan menulis buku yang orang tidak ada yang melirik hasil tulisannya.
Dia tidak pernah mempunyai pekerjaan tetapi dan kesehatannya semakin hari
semakin melemah, bahkan diambang ajal, kesepian, tidak pernah mendapatkan cinta
sejati, karena ia seorang homo, tapi saat ia sadar bahwa itu adalah hari yang
sangat pantas untuk dikenangnya, karena itulah yang membentuk dirinya saat ini.
jadi nikmati penderitaan ssebagai sumber inspirasi.
“bagimana Kak cara menikmati
penderitaan sebagai sumber inspirasi?” Tanya Fahita kebingungan.
“Mungkin setiap manusia akan
mempunyai caranya tersendiri dalam mengekspresikan penderitaanya, mungkin juga
sangat subjektif dan personal. Kamu tahu kan Eric Clapton? Saat dia terlibat
skandal dengan mantan istrinyaGeorge Horison, ia sangat berdosa mengkhianati
sahabat karibnya. Hidupnya menjadi hancur berantakan, lalu ia menulis lagu yang
sangat dramastis “{Laila}”. Idenya diambil dari cerita Laila Majnun.
Saat ia kehilangan anaknya yang jatuh dari gedung bertingkat, dia menciptakan “{Tears
In Heaven}”yang liriknya begitu mendalam”
Fahita mengangguk-angguk. Ia merasa
sangat malu dengan dirinya sendiri, ternyata ia selama ini merasa begitu sempit
dan jarang ssekali berpikir positif. Ia tidak pernah berpikir bahwa apa yang ia
rasamampu menjadi sumber inspirasi, ia tidak pernah menyadari bahwa sebuah
tragedi mampu menjadi gagasan yang cerdas. Ia sedikit menyesal karena ia
terlambat mengetahui bahwa semua itu mampu menjadi menjadi salah satu cara
penyembuh luka.
“Aku yakin Fa, kamu pasti mampu
menjadi seperti mereka. Aku sangat yakin itu! yang harus kamu lakukan sekarang
adalah menuliskan kisah hidupmu dalam sebuah novel atau puisi. Di dalam dunia
jurnalistik, ada yang disebut dengan “bad news is good news” berita
buruk bisa menjadi berita baik karena banyak orang yang yang ingin mendengarkan
seperti berita skandal, gossip atau bahkan kriminalitas. Mungkin begitu juga
dengan sastra, “bad experience is good story”pengalaman pahitmu bisa
menjadi cerita yang baik untuk ditulis”
Fahita tersenyum, hari ini ia merasa
mendapat pencerahan dari seorang malaikat penjaga langit.
“Makasih mas, aku akan berusaha
yakin dan lebih pd, InsaAlloh besok aku akan menyerahkan novelku pada Mas Wawan”
“Bagus, ayo mulai sekarang kita
sama-sama berusaha mengubah pasir dan kerikil hidup kita menjadi mutiara yang
akan menyilaukan” mereka tertawa bersama. Benra-benar persahabatan yang
konstruktif.
Di pagi yang sunyi, berkas-berkas
cahaya jingga matahari pagi menembus lebatnya dedaunan, setitik embun masih
bergulirbdi selembar daun hijau, dan burung kutilang berkicau riuh di
tajuk-tajuk pohon. Betapia indahnya pagim itu, betapia damainya alam menyambut
manusia dengan segala kesegarannya, namun tidak bagi Fahita pagi ini.
perasaanya justru bercampur aduk menjadi satu.
Fahita melangkah ragu, ruang Mas
Wawan tinggal beberapa meter di hadapannya. Dadanya berdebar dua kali lipat,
naskah yang di tentengnya terasa semakin berat, padahal hanya tiga ratus
lembar. Pikiranya terbang tak menentu. yang jelas ia merasa takut, karyanya
akan mendapat begitu banyak kritikan, ia masih merasa tidak pd. Betapia ia
merasa kerdil, ia menyadari jiwa seperti itu tidak boleh dimiliki oleh seorang
penulis. Ia harus mampu menulis dan terus menulis, ia harus berani menerima
kritikan, karena itu adalah satu hal yang sangat membangun dan akan
memperkualitas diri seorang penulis. Karena hal yang paling dasar yang
dibutuhkan penulis adalah basic beliefs, kredo, bukan sikap pecundang
atau penakut akan salah. Karena itu hanya akan melemahkan.
“Hei Fa, kenapa hanya berdiri di
situ, ayo kemari, aku sudah melihatmu semenjak tadi sebenarnya”
Fahita merasa sedikit malu, ternyata
keraguannya untuk masuk diketahui oleh Mas Wawan.
“Kemarin Rendra sudah cerita sedikit
tentang novelmu, mana biar aku baca!”
“Tapi mas,”
“Tapi apah? Kamu tidak pd atau takut
ketahuan kalau hidupmu berkalang duka?”
Fahita hanya tersenyum, lalu ia
menyerahkan naskah yang ia bawa pada Mas Wawan dengan tangan sedikit gemetar. Mas
Wawan yang melihat rasa grogi pada diri Fahita hanya tersenyum. Ia hanya
berpikir, betapia kasihan jika manusia-manusia Indonesia seperti itu, tidak
punya keberanian, padahal mereka punya karya yang besar.
“Fa, kamu itu hebat dan cerdas, tapi
kamu tidak mempunyai mental yang besar, jikalau kamu terus begini nantinya kamu
tidak akan pernah bisa menghasilkan karya yang lebih besar dan diakui oleh
masyarakat” ucap Mas Wawan, lalu ia sedikit mengingatkannya pada ilmuan yang
bernama Helen Keller, yang telah berhasil menjadi penulis dan dosen terkenal.
“Kamu tahu, Hellen Keller menjadi
orang besar karena ia mempunyai tujuan, tekad dan setamina mental” Fahita
menunduk dan mencoba meresapi kata-kata Mas Wawan. Lalu Mas Wawan menyarankannya agar
mendalami prinsip seorang Julius Caesar
yang sampai sekarang dikristalkan menjadi sebuah motto dan banyak dipakai orang
sampai sekarang “Veni, Vidi, Vici! Aku datang, aku lihat, aku menang”
Fahita melangkahkan
kakinya keluar dari ruangan Mas Wawan dengan kredo yang besar, yang ia yakini
akan membawanya terbang membawa mimpi yang masih menggantung di langit biru.
***
Hari ini kuharap lepas
Saat aku menggali makam kerinduanku
Saat aku melukis garis-garis taqdir
Yang kuharap denganmu,
Jagad menyaksikan hening
Menjadi ajaran rahasia
Bahwa aku selalu mengajakmu pulang
Dengan sajak-sajak kerinduan.
***
“Fa, apa kamu masih
terlena dengan perasaanmu?” tanya Rendra yang selalu setia menemani dikala
musim lara akibat hujan rindu mengguyur setiap inci tulang dalam raganya.
“Kak,
tadi malam Fahita bermimpi Garra datang meneteskan rintik-rintik cinta dan
hujan terus-terusan seakan hanya ada satu musim. Musim percintaan diantara aku
dan dia”
“Sabarlah
kawan, sebentar lagi kamu kan semester akhir dan Garrapun akan segera selesai,
aku yakin ia akan datang seperti dalam mimpimu”
“Tapi
yang Fahita resahkan, dalam mimpi itu, Garra datang dengan senyuman lalu ia
terkulai dan menjerit kesakitan, seperti ada monster yang menyerang
tulang-tulangnya, lalu ia pergi dan berjanji akan menungguku sebagai
bidadarinya di surga nanti”
“Sudahlah,
kamu berdo’a saja semoga itu hanya bunga tidurmu, aku punya kabar baik untukmu”
“Apa
itu,?” Fahita penasaran,
“Mas
Wawan sangat tertarik dengan novelmu apalagi kata-kata romantis di dalamnya,
sungguh menggetarkan hati”
Rendra
membaca sepenggal puisi yang ada dalam novel Fahita, sedikit malu Fahita
mendengarnya,
“Sunyi batin lara masih berkawan denganku
Rasa sesak
tertutup gelapnya awan itu,
Menususk
hingga meruncing musim rinduku yang makin kemarau
Adakah
do’a-do’a yang kukirim ke alamat_Mu,
Tak sampai?
Ataukah aku
harus mengulangi menulis dan
Mengirim sebait
suart kecil
Hingga tak
ada lagi hujan air mata
“Fa, Mas Wawan akan mengirimkan novelmu ke
Jogjakarta, di penerbitan kawannya”
“Hah,
yang bener? Jangan ngaco ah, dibaca saja oleh Mas Wawan aku sudah seneng
banget, apalagi masuk penerbit” Fahita manyun, merasa di bohongi oleg Kak
Rendra,
“Aku
serius”
Fahita
bengong merasatidak percaya, mimpinya sebagai novelis akan terwujud. Semua itu
berkat kekasih tercintanya.
Garra, engkau datang benar-benar untuk memberii,
Aku tak mampu untuk
membalasnya,
Sejuta ungkapan cinta
dan kasih hanya kupersembahkan untukmu
Engkau tak pernah
mengeluh
Saat sepi mnyanyi
tanpaku, tak seperti aku,
Yang tak pernah puas
untuk bersandar pada tali yang berwarna pelangi.
Pelangi cinta darimu,
Yang bertudung suara
senja
Berhiaskan meriaknya
muka air kolam jiwamu
Hingga terbuka pintu
hidupku dan hidupmu,
Aku berjanji akan
terus mengecup jiwamu
Dengan bibir basah
cintaku,
Untukmu, untukmu, dan untukmu.
8
*Kembali
Bersama Hujan
Porong, Juli 2009
Kembali ke tanah kelahiran,
disambut angin yang begitu semilir,
udara yang penuh cinta ikut masuk
menelisik ke dalam tubuhnya.
Dua tahun menimba ilmu di Rusia
membuatnya begitu rindu pada segala yang ada di Indonesia. Terutama Porong.
Tanah yang pertama kali di injaknya ketika ia mampu menghirup nafas dunia.
Ayah
dan bundanya telah lebih dari tiga puluh menit yang lalu menunggu di bandara.
Tak sabar mereka mememeluk putra kebanggaannya. Kakak dan adiknya pun sama
tidak sabarnya untuk segera melihat senyumnya.
“Ibu,
Ayah,” Zein langsung berlari kea rah mereka,
“Nak,
kamu makin tampan dan gemuk saja, apa kuliahnya tidak pernah berangkat neh?”
canda Ayahnya, yang tak henti-henti menepuk bahunya dan memeluknya dengan
bangga, Bundanya begitu saja melelehkan air mata kebahagiaan untuknya. Betapia
lamanya mereka tak bertatapi senyum. Sungkem dan peluk berderai diantara
mereka. Pemimpin mereka telah kembali.
Mobil
Avanza meluncur dengan cepat. Seolah ingin cepat-cepat mengantarkan rindu Zein
pada halaman rumahnya. Obrolan kesana kemari mengalir begitu derasnya.
“Bunda,
sudah to Zein kan cape” tegur Ayah.
Bunda
hanya tertawa kecil,
“He-he,
Bunda masih terlalu kangen dan tidak sabar mendengar cerita Zein”
“Lho
Bunda, Zein akan selamanya di rumah mengapa harus dihabiskan mala mini
ceritanya?”
“Iyah
Bunda, Zein akan tetapi berada di Indonesia kok, tenang ajah” jawab Zein dengan
nada nakal menggoda ibunya. Seisi mobil hanya tertawa melihat tingkah tengil Zein
yang tidak berubah.
***
Seminggu lebih Zein berada di rumah, rasa capek dan pegalnya
pun perlahan telah menghilang. Rasa rindunya pada Widya pun telah tumbuh
semakin besar. Melamun dan mengharap untuk berjumpa pun telah menjadi hobinya.
Widya, sudah berkali-kali aku berusaha untuk sedikit
lupa warna matamu yang begitu indah untuk aku tatapi, bukan berkehendak serupa buta atau amnesia, tapi
sekenangan masih saja menunggu di senja pertama, sebelum malam sekali yang
menghapusnya, sungguh tersiksa dan membuatku bimbang pada sebidang putih cinta
yang mengungkungkudi akhir malam.
Layar
ponselnya yang berwarna tiba-tiba menyala. Wajah Zein segera berubah menjadi
cerah, mentari pagi yang menyalapun terkalahkan oleh kecerahan wajah dan hatinya
yang menyerukan kerinduan tanpa batas. Sigap ia menutup pintu kamarnya yang tadi
setengah terbuka, ia ingin menikmati telpon itu tanpa di ganggu, ia ingin
mencurahkan belenggu rindunya, yang selama ini memenjarakannya dalam kesunyian
cinta.
“Asalamualaikum
Zein,”
“Waalaikum
salam, hai sayang telah seminggu lebih menanti telpon mu,”
“Ok,
I’m Sory Honey, I miss you already” Widya
tertwa ringan.
Kepulangan
mereka memang tak berjarak lama, hanya seminggu, begitu sampai di Indonesia
memang Widya berjanji akan segera menelpon Zein. Dan akhirnya pagi ini mereka
memadu kasih lewat jaringan cinta yang mentransfer kerinduan selama dua tahun
ini.
“Widya,
aku ingin menatapi matamu yang menenggelamkan jiwa cintaku”
“Iyah
Zein, akupun ingin segera menatapi senyumu yang mampu membawaku ke langit
cinta”
“Minggu
depan aku akan menemui tatapimu yang menggetarkan seluruh jiwaku, tunggu aku di
taman kenangan kita, taman yang menyatukan rasa kita, hingga tumbuh mawar-mawar
di hati kita dan kita semaikan hingga kini”
“Ok.
Aku menunggumu di sini”
“Pakailah
gaun ungu pink yang paling aku sukai, aku ingin melihatmu lebih indah”
“Bukan
hanya gaun ungu pink yang akan aku kenakan, tapi seluruh tat arias bidadadari
surga akan aku kerahkan, agar aku terlihat semakin cantik untuk kalbumu yang
haus dengan semua yang ada pada kalbuku”
Zein
menutup telphonnya dengan nada-nada kangen yang begitu mendalam, sebenarnya ia
ingin seharian pagi ditemani oleh suara manja kekasihnya, tapi apalah daya,
rasa cape dan lelah telah menggelayutu tubuh bidadarinya itu.
***
Bandung yang Hampa
Malam semakin memudar terbiaskan
oleh cahaya matahari. Gumpalan gelap
yang membungkus bumi sebentar lagi akan pecah. Gelap akan tergantikan oleh
terang dan bulan akan tergantikan oleh matahari. Disaat-saat gelap akan mulai
beranjak pergi, Widya duduk di depan meja belajarnya, Ibunya menghampirinya
ketika ia tengah asik membuka-buka album kenangannya sewaktu berada di
Amsterdam. Kawan-kawannya yang berfose semaunya menambah kenangan indah untuk
diabadikan.
“Wid, sedang apah kayaknya asik
sekali?” suara Ibunya mengagetkan,
“Lho, Ibu, datang kok bilang-bilang.
Widyakan jadi kaget Bu,”
“Nah, Ibu udah mengucap salam sejak
tadi kok, kamu diam saja”
Widya nyengir, lalu menatapi Ibunya dengan manja.
“Widya, gimana kabar Zein,?” ibunya
tiba-tiba bertanya dengan rona yang berbeda, Widya menjadi sedikit curiga. Ada
apa sebenarnya.
“Apah Bu?!!,,, Ayah telah menodohkan
Widya sejak kecil dengan Kak Reza?”
Jantung Widya tiba-tiba berdetak
kencang, matanya memerah dan tanganya merinding. Tiba-tiba ia terjatuh dengan
lemas, ibunya segera memapahnya ke ranjang yang ada di sebelah meja belajarnya.
Widya tidak habis pikir, telah lebih
dari lima tahun ia menjalin hubungan dengan Zein, tapi ternyata Ayahnya tidak
menyetujuinya dan telah menjodohkanya dengan Kak Reza semenjak kecil. Kak Reza
adalah anak dari sahabat Ayahnya yang sama-sama kuliah di Amsterdam, hubungan
mereka juga lumayan dekat. Komunikasi selama ini berjalan lancar. Tapi menurut Widya
itu hanyalahsebatas hubungan antara seorang adik kaka saja. Tapi ternyata orang
tua mereka berkehendak lain. Tanggal pernikahanpun sudah ditentukan dan yang
paling menyakitkan adalah Kak Reza mengetahui ini semua dan mendiamkannya serta
rela selama ini menjadi pendengar setia akan rintihan kerinduannya pada Zein.
Dunia sungguh tidak adil baginya. Menusuknya dan menjeratnya lewat ketidak
berdayaan.
***
“Apah,
mereka telah menjodohkanmu?” Tanya Zein dengan nada sedikit keras. Selama lima
tahun memadu kasih dan menyatukan jiwa dengan Zein, baru kali ini Widya melihat
Zein semarah dan terluka begitu dalamnya.
“Itukonyol
dan tidak mungkin! Bagaimana bisa mereka semua memperlakukan kita seperti itu,
mereka tidak menghargai kita Widya, mereka meremehkan cinta kita” Zein melelhkan
air mata untuk pertama kalinya. Betapia semua yang ada dalam hatinya tercerabut
dan tergantikan tetesan timah yang terpanggang bara api berhari-hari. Panas dan
sangat menyakitkan.
Widya
hanya terdiam dan menangis. Ia sudah tak bisa berbuat apa-apa. Usahanya untuk
meyakinkan orang tuanya pun sia-sia. Keputusan
mereka sudah tidak bisa dibatalkan karena itu janji puluhan tahun yang lalu.
Kak Reza begitu mencintai Widya semasa kecil hingga sekarang.
“kamu
tahu Widya, apa yang aku bawa selama lima tahun ini? cinta Widya, cinta, yang
keadaan sifatnya sangat kuat. Cinta yang menakjubkan, mendalam dan penuh
kekuatan. Serta perasaan halus yang meyusup tanpa aku pernah sadari hingga
membuat malamku selalu resah karena merindukanmu. Tapi ternyata kini semua
sia-sia dan akan menjadi angin lalu saja”
“Tidak
Zein cinta dan perasaanku selama ini tidak akan pernah sia-sia. Walaupun aku
tidak bisa menemanimu mengarungi lutan kasih bersama biduk cinta yang kita
dambakan selama ini, namun kamu akan terus dan akan selalu menjadi taman di
hatiku. Taman yang selalu mampu memberiiku keindahan, taman yang selalu memberiikan
warna yang mencerahkan dan taman yang akan selalu memberiikan keharuman
bunga-bunga yang tumbuh di dalamnya atas nama cinta”
Zein
menangis dan tertunduk, bunga mawar yang tumbuh di hadapannya pun sudah merah
lagi dalam tatapiannya. Semua terasa menjadi ungu yang kelabu. Seperti hatinya
yang pekat syarat kesakitan akan kehilangan.
***
Zein
pulang membawa kekalahan. Ia melangkah tak pasti. Berbeda ketika pertama kali
ia menginjakan kakinya di bandara sepulangnya dari Rusia. Semangat dan begitu bergairah untuk melepas
rindu serta akan segera meminang Widya. Kini Ia merasa sia-sia meredam hatinya pada penantian, hingga
terbangun rindu pad ataman-taman kesunyian. Ia tak mampu lagi menyembunyikan
gelisah dan kesakitan yang menggerogotinya.
“Zein,
ayo makan, Ayah sudah menunggumu di ruang makan” panggil ibunya. Zein hanya
mengangguk pelan, tak berdaya raganya hendak bertingkah banyak. Semenjak
kepulangannya dari Bandung yang ia lakukan hanyalah menyepi di kamar, sampai
tetes mata mulai membasuh menggenangi satu wajah yang penuh luka. Ibunya begitu
meiris melihat keadannya.
“Ayah,
Zein masih sangat terpukul dengan keadaannya” ucap Ibunya dengan sangat
khawatir.
“Ibu,
biarkanlah dulu, nanti kalau ia sudah setabil pasti kembali bersama
santri-santri dan berbagi ilmu, sekarang ia sedang ingin bergumul dengan
perasaanya”
“Tapi,
ayah, Zein itukan laki-laki mengapa menjadi cengeng begitu?”
“Ibu,
yang namanya cinta dan kepedihan tidak mengenal jenis kelamin. Cinta itu datang
tanpa mengenal batas, wilayah maupun umur” Ibudan adik perempuannya yang
mendengarkan hanya terssenyum. Ternyata Ayahnya yang terkenal begitu zuhud
sangat mengagungkan cinta, dan mampu memahami keadaan anak laki-lakinya yang
sedang patah hati. Begitulah seorang ayah yang bijaksana.
Widya,
aku hanya ingin belajar menjadikan ketiadaanmu di sampingku bukan sebagai luka,
namun sebagai angin segar yang akan menyapu lelahku dengan aroma lembutmu, namun
terkadang bisikan atas nama luka yang tak kuingini datang juga. Betapia
pintarnya cinta membuatku lemah. Do’akan aku saja semoga aku kuat tanpamu dan
tanpa senyumu. Walau aku yakin di taman hatimu masih ada aku dan cintaku yang
senantiasa menyemaikan dan menyirami bunga-bunga cintamu yang semakin hari
semakin mekar.
9
*Yang Hilang
Januari 2010
Semester 7
telah terlewati.
Kini
liburan kuliah telah menjemput.
Saatnya
para santri Al-Amien angkat tas
dan pulang
menuju rumahnya masing-masing.
Terasa begitu lama waktu berputar. Fahita ingin sekali berjumpa dengan Garra.
Ia ingin segera melihat senyumanya. Entah mengapa senyumnya begitu berarti bagi
setiap sel tubuhnya. Apalagi sel-sel dalam tubuhnya mengetahui bahwa itu adalah
senyum kekasihnya. Ia begitu bahagia ketika menatapi wajah Garra dan sesungging
senyum yang menghiasi bibir tipisnya. Hatinya hatinya akan melompat dan seluruh
tubuhnya berdawai ria.
Avanza silver di halaman
pondok telah menunggunya, terlihat Ibu dan Ayah melambaikan tangan. Fahita
segera menghampirinya dan siap untuk kembali menghirup udara cinta di Kebumen.
***
Pagi Cinta,,,,
Pagi ini, Fahita bangun
dengan semangat. Fajar yang menjemputnya seakan menjanjikan kemerahan cinta, ia
segera melaksanakan dua rakaat cintanya pada Tuhan. Agar ia selalu menjadi
umat_Nya yang selalu diselimuti dengan kasih cinta_Nya. Sudah lebih dari tiga
tahun senyumnya tidak terukir dengan cerianya. Hari ini semua itu akan
berakhir. Tepat jam 09.00 wib. Garra menunggunya di taman kota. Mereka ingin saling
membuang rindu yang menyiksa.
***
Kubangan rindu takan lagi membuat kita
terperosok dalam kesedihan dan kenistaan sakitnya tanpa menatapi. Batin Fahita ketika memasuki Taman kota.
Ia sudah tak sabar hendak bertemu kekasih tercintanya. Langkahnya disambut oleh
bunga-bunga yang tengah mekar bersama segaranya pagi.
Garra, bahkan bunga tak mampu menyatukan
harumnya ke matamu, lukamu ada di relung hatiku, namun, kamu masih saja tegar.
Biarlah aku akan datang dan menyembuhkan batin laramu atas nama kerinduan. Aku
akan membuat harimu kini indah kembali, aku tak peduli jika Tuhanpun harus
cemburu, karena aku selau ingin menyemaikan cintaku di matamu.
Dari jarak tiga puluh meter, Fahita melihat Garra
tengah duduk melawan angin dan menatapi bunga melati yang tengah mekar dengan
indahnya. Ia mengenakan kaus warna biru donker lengkap dengan jens yang juga
biru donker kehitaman. Terlihat sangat menawan. Rambutnya yang dipotong model
harajugu membuatnya semakin cakep. Huh dasar orang cakep mau diapa-apakan saja pasti
cakep. Batin Fahita.
Ketika jarak hanya berbatas satu meter, mereka
justru hanya saling pandang, vivir terkatup dan mata tak berkedip untuk
beberapa menit. Akhirnya saling senyum dan Fahita tampak sedikit grogi.
“Kamu tambah cantik Fahita” ucap Garra mengawali
perbincangan,
“Garra juga semakin menawan, makanya tadi Fahita
sedikit pangling”
“Fa, lebih dari tiga tahun kita tidak bertemu,
padahal jarak jogja dan purwokerto hanya sekitar 100 km. Maafkan aku yah Fa,
yang tidak berdaya untuk menemuimu”
“Fahita juga seharusnya minta maaf karena tak bisa
membuat kerinduanmu berakhir dan selalu membuat Garra teringat Fahita” hehehe Fahita
tertawa.
Fahita, andai kau tahu, sungguh selama
tiga tahun ini, aku tak mampu menggambarkan lukisan tentangmu di dinding-dinding
yang sempat aku lewati, karena benaku telah penuh relief, namamu, wajahmu.
Terimakasih untuk penantian dan kesabaranmu yang panjang. Aku semakin bergairah
menjadikanmu bidadari surgaku.
Mereka akan menghabiskan waktu hingga senja
menjemput. Untuk saling melepas rindu dan bercerita tentang semua hari dan
peristiwa yang menimpa ketika tak bersama. Sungguh indah hari ini, hari yang
mempertemukan dan hari yang memutus rindu dianatara hati keduanya. Itulah
indahnya perpisahan ketika terbingaki pertemuan. Mendebarkan dan memcau
andrenalin berlipat-lipat dari biasanya.
***
Lebih dari satu setengah bulan liburan yang Fahita
dan Garra nikmati. Tanpa ada waktu yang tersisa tanpa kebersamaan. Seakan hari
milik berdua. Seakan waktu telah tunduk terhadap cinta mereka. Fajar di ufuk
turut mengamini doa cinta mereka, mentari pagi seolah mendukung setiap
perbincangan saat pertemuan dan senja selalu punya cerita indah saat mengakhiri
dan menutup hari. Untuk menanti hari esok. Malampun selalu bernuansa cinta.
Seperti mala mini, ketika Garra
sedang asik menuliskan hari cintanya, lembaran demi lembaran terisi coretan
tinta cintanya,
Fahita,
bidadariku,
Aku mencintaimu, bukan karena apa yang
telah kau berikan padaku
Aku tetapi mencintaimu bukan karena apa
yang telah kau janjikan untukku
Aku mencintaimu karena Tuhan terus
berbisik,
agar
aku terus menghangatkanmu.
Aku
ingin setiap malam kita mendawaikan mimpi
yang
belum sempat terjamah
hanya
langit kita bernaung,
angin
dingin yang merasuk bersama khayalan,
ranting
dan dedaunan kita rantai menjadi dawai asamara.
“Garra, ayo makan,
jangan di depan meja belajar terus,”panggil ibunya, Garra bergegas hendak
menghampirinya, tapi,,,
“Braak,
praaaang”
“Suara
apa itu Ayah, kayaknya dari kamar Garra,” Ayah dan kakanya yang tengah
bersiap-siap untuk menyantapi hidangan segera berlari. Ternyata Garra pingsan,
laptop yang ada di sampingnya jatuh terkena tangannyayang oleng sehingga
menimbulkan bunyi yang mengagetkan.
“Garra,
kamu kenapa nak?” tangis Ibunya membuncah, memecahkan ruangan dan menambah
kepanikan orang-orang yang berada dalam ruangan itu, kaka serta Ayahnya segera
membawanya ke rumah sakit.
***
“Keluarganya
Garra?”
“Iyah
Dokter saya ayahnya, bagaimana keaadaan anak saya?”
“Dugaan
sementara, anak anda mengidap penyakit leukimia, saran saya cobalah untuk
periksa darah”
Ayahnya
sangat terpukul ketika mendengar pernyataan dokter, ibunya yang tidak sengaja
pun menangis histeris ketika mengetahui bahwa Alloh menakdirkan anaknya untuk
menderita penyakit yang serius.
Kegalauannya untuk memberiitahu Garra atau
tidak atas sakit tulang yang sering dikeluhkannya bukanlah penyakit biasa.
Kesedihan mereka sungguh sangat luar biasa, karena mereka harus menerima
kenyataan bahwa kebersamaan mereka dengan anaknya yang sangat cerdas tinggal
sebentar lagi. Mengingat dokter sendiri berkata belum ada penyembuhan yang jitu
untuk kanker yang satu ini. Namun, untuk hasil yang lebih positif, mereka akan
segera melakukan cek darah, dan akan bertekad memberiitahu bahwa Garra secara
jujur penyakit yang di idapnya.
***
Fahita dan
keluarganya sedang tidak menentu menunggu hasil dari cucu darah yang telah
dilakukan sejak pagi. Ibu dan ayah Garra terlihat semakin pucat. Waktu pun
terasa berjalan begitu pelan, seakan untuk melangkah ke detik selanjutnya
begitu terasa berat.
“Ma’af
Ibu atau keluarga Garra Ganinda, hasil cuci darah sudah bisa diambil di
ruangan, salah satu diantara kalian bisa ikut saya ke ruangan ada yang ingin
saya bicarakan”
Ayah
Garra segera bergegas mengikuti dokter, menuju ruangan,
“Saya
harap anda dan keluarga yang tabah, hasil dari cek darah menunjukan hasil yang
positif saudara Garra mengidap leukimia bahkan lebih dari 6 bulan yang lalu,
saat saya memrikanya kemarin rambutnya pun sudah mulai rontok hanya saudara Garra
menyembunyikannya” bagai tersambar petir Ayahnya mereima kabar yang tidak
seharusnya ia dengar, air matanya meleleh, hatinya terasa hancur
berkeping-keping.
Ayahnya
segera keluar dan memebritahu Ibu dan keluarga Fahita, dengan deraian air mata Fahita
mendekati ibu Garra dan serta merta memeluknya. Ia merasa sangat lemah dan tak
berdaya, taqdir Tuhan telah berkata lain. Tuhan lebih menyayangi Garra hingga memberii
batas yang sangat singkat untuknya menghirup udara di dunia dan harus segera kembali
ke sisi_Nya.
Dunia memang
selalu berputar, kadang manusia di atas dan terkadang harus menempati posisi
terbawah dengan segala penderitaan yang menderannya. Hari kemarin bahagia saat
bertemu, hari ini harus menangisi keadaaanya, dan mungkin esok akan lebih bersedih
dan harus kehabisan air mata. Hari ini masih mamppu tersenyum dan hari esok
harus sudah menghadap pada_Nya. Manusia sebagai hambanya hanya bisa menjalani
taqdir yang telah di gariskan, jika kebahagian yang ada pada manusia akan
segera diambil maka manusia hanya harus mengikhlaskannya.
***
Garra
terlihat begitu kuat menjalani hari-hari leukimiannya. Senyum dan canda tawa tetapi
menjadi ciri khasnya. Semenjak pulang dari rumah sakit, ia diharuskan banya
istirahat oleh dokter sehingga ibu melarangnya untuk sering-sering keluar
rumah. Setiap pagi, Fahita selalu datang menemaninya. Fahita sebenarnya merasa
sangat hancur dengan hari-harinya yang ia lalui walau Garra selalu memintanya
untuk tersenyum, tapi ia benar-benar tidak mampu dan belum siap untuk kehilangan
Garra tiga bulan atau bahkan satu tahun kedepan.
Garra,
aku begitu mendambakan kita hidup bersama, menjadi pasangan dan teman setia
mengarungi hari-hari serta malam yang sunyi. Terasa percuma hidupku tanpamu,
aku pastikan duniaku haru biru dan pikiran terus tak menentu.
“Fa, kenapa kamu kok melamun?” tanya Garra.
Fahita
hanya menoleh dan tersenyum, air matanya kembali meleleh namun ia buru-buru
mengusapnya. Ia tidak ingin Garra melihatnya, ia tidak ingin Garra merasa sedih
karenannya. Semenjak pulang dari rumah sakit, Fahita sudah berjanji akan
mencurahkan segalanya buat Garra. Fahita ingin sekali sellau bisa berada di
sisinya dan membuat Garra bahagia karena cintannya. Garra sendiri selalu berdoa
agar dia diberi jalan yang khusnul khatimah ketika menghadap Tuhan
nantinya.
Hari
demi hari mereka lalui bersama dengan bahagia, walau sebenarnya bahagia itu tak
sempurna atau bahkan suatu kepura-puraan bagi Fahita. Yang ia rasakan
sebenarnya adalah suatu perasaan yang sangat menyakitkan dan menakutkan. Tapi apalah daya, Garra memintanya untuk
selalu tersenyum, ia ingin sellau melihat senyum Fahita, karena senyumnya
begitu berarti dengan waktunya yang tidak banyak. Setiap detik, menitjam, hari
yang mereka lalui bersama Garra berharap tidak ada syetan yang bermain tangan
di dalamnya, karena ia hanya ingin mengundang keridlhoan Tuhan terhadap
keberadaanya.
Karena sebenranya
yang paling berharaga adalah setiap detik yang baru saja manusia lewati, karena
manusia tak mampu mereplaynya bahkan membelinya dengan apapun yang ada
di dunia ini, jadi Garra tidak ingin menjadi orang yang merugi dengan waktu yang ia lewati dengan hal yang sia-sia.
***
Satu bulan
terlewat sudah, kondisi Garra semakin melemah. Pagi itu, tangis kembali
membuncah, ketika Fahita sedang memperhatikan dan menyimak Garra menghapal
Al-Qur’annya, tiba-tiba Garra pingsan dan lebih dari tiga puluh menit tidak
sadarkan diri. Ayahnya langsung membawanya ke rumah sakit. Mereka lebih tenang
jika Garra di jaga oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Setelah satu hari
penuh di rumah sakit ia sadarkan diri, ketika itu ia mengajukan permintaan
untuk bertemu Guru ngajinya atau lebih tepatnya Kyainya saat ia masih nyantri
di porong, saat awal menghapal al-Qur’an. Sudah bebrapa hari ia memimpikannya
dan mencium tangannya serta memberiikan sebagian hatinya pada salah satu
putrannya. Orang tuannya langsung menyetujui permintaannya dan segera menelpon
keluarga Guru ngajinya saat di porong dan alhamdulilah mereka siap akan datang
sehabis ashar.
Sehabis
isya, ruangan tempat Garra di rawat menjadi ramai, keluarga dan sepupunya yang
berada di jogjakarta telah datang serta kawan-kawan saat di Madrasah Aliyah
seperti Reyhan dan Andre juga telah datang, tidak ketinggalan juga Rendra juga telah datang. Kedatangan mereka
semua mengurangi beban di hati Garra, mereka semua bercanda dan tersenyum,
bercerita kesana kemari tentang masa lalu.
Setelah
rombongan kawan-kawan dan keluarga dari Jogja pulang, bahkan ada yang menginap
di rumah Garra, datanglah keluarga Kyainya yang di Porong. Garra langsung menyambutnya dengan cium
tangan ketakdzimannya, Ibunyai serta anak laki-laki mereka yang bernama Zein
pun datang.
“Garra,
kamu sakit apah?” tanya Pak Kyai, dulu saat Garra masih menimba ilmu di porong,
ia termasuk santri kesayangan kyainya, selain cerdas Garra juga sangat Takdzim,
“Alhamdulilah,
Alloh mentaqdirkan saya leuikimia pak Kyai”
Pak
kyai tersenyum dengan jawaban Garra, ia merasa betapia santrinya adalah salah
satu mahluk pilihan Tuhan. Ia mengerti mengapa Tuhan mengambilnya begitu cepat.
“Kamu
ingat kan Nak, suatu penyakit adalah suatu anugerah sekaligus sebagai ujian
untuk hambanya, seberapa besarkan sebenarnya iman seorang hamba terhadap
Tuhannya” Garra mengangguk tersenyum, lalu bergantian berbincang-bincang dengan
Gus Zein, dulu mereka adalah sahabat
karib, ketika menghapal al-Qur’an mereka sering bergantian menyimak bacaan satu
sama lain. Walaupun anak seorang kiyai, Zein juga tidak pernah sombong terhadap
santrinya, justru ia selalu membudayakan hidup srawung. Mereka berada di ruang Garra
sampai jam besuk habis. Kini di ruang Garra hanya tersisa Fahita dan ibu serta
ayahnya. Garra terlihat sudah istirahat, Fahita meminta izin pada Ibu Garra
untuk shalat isyadan membeli makan. Perutnya terasa melilit, ia baru ingat
ternyata telah dua hari tidak menjamah makanan.
***
Bidadariku,
pergilah ke daerah timur dahulu tempatku menimba ilmu. Hatiku yang tadinya
tersedia hanya untukmu sudah akau titipkan pada salah satu orang di sana,
ambilah serta tukarlah hatimu dengan hatiku. Yang memegang amantku lebih mulia
derajatnya dari pada aku. Aku yakin, ia lebih pantas mendampingimu mengadu
cinta di dunia yang fana ini. Aku akan senantiasa menunggumu dalam tahta
surgaku di sana. Aku akan selalu menunggumu menjadi bidadri sejatiku. Janganlah
menangis karena ragaku yang sudah tak mampu memelukmu. Karena jiwaku sebenarnya
telah memelukmu sejak dahaulu, tapi Tuhan telah memberiikan batas waktu untukku
menjagamu, ia mengalihkan tugasnya pada sosokm yang lebih mulia.
Teruskanlah dakwahmu
lewat setiap tulisan-tulisanmi, aku sangat menyukai inspirasimu yang tinggi,
aku yakin semua orangpun akan meyukainya, maknanya sangan dalam sedalam senyumu
untukku. Maafkan aku sayangku, walau aku sudah tak menemanimu di dunia ini,
namun jiwaku akan terus memeluk jiwamu. Engkau akan selalu menjadi bidadariku
walau aku sudah tak sejajar denganmu dalam ala mini, namun aku akan
mengabadikanmu dalam alam yang benar-benar abadi. Biarlah aku pergi membawa cintamu
yang sellau memayungiku dari panas dan hujan penyakit hati, dan aku selalu
menantimu untuk menjadi permaisuriku. Namun, kau harus menjadi permaisuri orang
mulia terdahulu di dunia yang fana ini. Maafkan aku yang telah membuatmu
meneteskan air mata hingga kau sempat berprasangka pada Tuhan yang maha baik.
Lintasan kalimat
yang begitu jelas, harapan kekasihnyayang dengan berat hati meninggalkanku
sendiri, yang selama ini ia telah memberii semangat, ia telah menemani dalam
perjalanan hidup dalam suka dan duka, dalam kelebihan dan kekurangan, dalam mengarungi
bahtera cinta.
Tuhan bersama
engkau duhai Fahita, tidak mungkin Tuhan menyusahkanmu, Tuhan tidak mungkin memberiikan
cobaan yang tidak bisa engkau lampaui, sabarlah, hari cinta akan datang
untukmu. Kini aku harus pergi menemui cinta sejati yang Tuhan persiapkan
semenjak aku masih di lorong gelap hingga aku mampu melihat dunia dan akhirnya
bertemu denganmu.
“Tidak-tidak Garra,
jangan tinggalkan aku. Tidaaaaaaaaaaaaaaaak”
“Fahita bangun, Fahita
sadar, istighfar”
Ternyata Fahita
hanya mimpi, air matanya berderai tanpa terasa. Ibu Garra lalu memeluknya dan
menenangkannya.
“Ibu, Garra harus
sembuh, dua bulan lagi kita akan menikah Bu,” rengek Fahita, ia berharap pernikahan
itu tetapi berjalan dan Garra sembuh. Karena rencana itu sudah terencana semenjak
lulus dari Madrasah Aliyah, mereka akan menikan ketika selelsai semester tujuh.
Tapi ternyata rencana itu terkalahkan oleh rencana Tuhan yang mungkin lebih
nulia dan benar.
“Sudah sayang,
kita berdo’a saja yah” nasihat Ibu Garra yang juga menetskan air matanya.
***
Fahita serta semua
keluarga melepas kebahagiaan yang ada diantara mereka dengan tawa. Tawa yang
begitu berarti dan sangat berharga, karena nanti pada saatnya tiba mereka tidak
akan bisa melihat senyum dan tawa Garra lagi. Tidak bisa mendengar candaan Garra
dan nasihat Garra yang begitu berharga bagi Fahita. Begitu lemah dan tersiksanya Fahita dalam
ruangan bersama Garra, ia benar-benar tak sanggup emnghadapi ini sendirian,
setelah tiga tahun tidak bertemu, mereka harus berpisah lagi untuk selamanya. Ia
merasa separuh jiwanya menghilang meninggalkannya, ia kebingungan harus
mmengalamatkan pada siapakah jika rindunya meraung dan memanggil namanya.
Sungguh semua di luar perkirannya.
Garra,
detik-detik yang terlalui sungguh indah, hingga kuterbuai di buatnya. Menjamahi
keindahan karya Tuhan bersamamu kekasih hatiku. Tapi kini, engkau membuatku
terdiam merenungi bisik angin, memejamkan mata seraya mengaduh kesakitan. Hanya
mentari yang tahu rasaku wahai engkau
pemilik cintaku, hingga ia takuasa tuk kembali menerangi ufuk timurnya dan
tergantikan hujan. Kasihku, lihatlah senja pun menyambut, tetes air mata
berlinang di hamparannya deras entah mengapa, tapi akhirnya ku mengerti inilah senja perpisahan kita kasih.
Hari
demi hari, sampai akhirnya kondisi Garra semakin memburuk. Hal itu membuat Fahita
dan keluarga lainnya merasakan kecemasan yang luar biasa disetiap detik yang
melangkah. Fahita memutuskan untuk menunda sekripsinya, hingga Garra
benar-benar mampu mempertahankan nyawannya. Ia menunda kepulangannya ke
Purwokerto. Naskah yang sudah dijanjikannya pada penerbit pun ia abaikan,
jadwal untuk mengisis workhshop pun ia batalkan, semua yang berkaitan dengan
menulis dan kuliah ia tinggalkan. Garra yang ia harapkan menjadi masa depannya
lebih penting dari apapun.
Siang
malam ia menungguinya di rumah sakit. Sepertinya, rumahnya telah pindah ke
rumah sakit. Teman san keluarga lain yang melihat kondisi Fahita banyak
menyarankan agar ia juga lebih bisa menjaga diri dan istirahat, kalau tidak
pasti ia akan jatuh sakit sendiri dan itu akan menambah kesedihan Garra.
Malam
ini, badan Fahita terasa bagai tertimpa barang yang berat. Terasa pegal dan
sakit semua, akhirnya ia memutuskan untuk sekejap memejamkan mata. Namun, ia
masih bisa mendengarkan Garra lamat-lamat berbincang dengan Ibunya.
“Ibu,
Garra mohon walau nanti Garra sudah tidak ada ibu tetapi menyayangi Fahita
seperti anak sendiri”
“Iyah
Nak, sudahlah jangan bicara macam-macam, kamu harus optimis kalau akan sembuh”
“Tidak
Bu, Garra sudah merasa cukup ada di dunia ini, Garra ingin segera bertemu
dengan Tuhan yang selama ini menyayangi Garra. Bu, Garra ingin sekali nantinya Fahita
mendapatkan pengganti Garra seperti Gus
Zein, ia adalah seorang yang salih Bu, tolong sampaikan ini pada Fahita ataupun
Gus Zein bu,”
Garra,
sungguh aku tidak yakin aku akan mampu menghapus namamu dari sanubariku. Engkau
terdalam di hatiku, walau sebenarnya aku butuh keluarga dan menikah, tapi
sungguh itu hanya kuinginkan denganmu. Bukan dengan laki-laki lain, aku takut
aku tidak mampu seutuhnya mencintainnya seperti aku begitu tulus mencintaimu.
Aku ingin selalu mengenangmu walau jalan kehidupan kita tak menyatu. Tapi aku
yakin kau akan setia menungguku di surga sana, di tempat penantian yang
terindah.
Mata Fahita kembali basah dengan air mata yang mengalir. Pada detik-detik
terakhir kehidupannya, Garra tidak pernah mengaduh kesakitan, ia selalu
terlihat semangat dan tersenyum, walau ia sedikit malu kepalanya kini sudah
tidak ada rambutnya, semua rontok dan berjatuhkan meninggalkannya. Tapi ia tetapi optimis bahwa ini hanyalah
ujian keimanannya. Alloh memberiikan penyakit padanya sebagai ujian, maka Garra
harus sellau tegar dan kuat menghadapinya, hingga ia bisa jadi pemenang.
Semua yang memiliki
nafas
Semua pemilik hati
Pewaris tahta jiwa
Dan semua insan
Semua pemilik hati
Pewaris tahta jiwa
Dan semua insan
Pernahkah kau
mengenalnya
Mengenal kematian
Yang datang tanpa diundang
tapi karena takdir Tuhan Semua tergaris lewat tanggal penggaris
Sebentar lagi saatnya kita
Seberapa gelintir detik lagi detik kita
Tak akan lama.
Mengenal kematian
Yang datang tanpa diundang
tapi karena takdir Tuhan Semua tergaris lewat tanggal penggaris
Sebentar lagi saatnya kita
Seberapa gelintir detik lagi detik kita
Tak akan lama.
***
Hari jum,at menjelang pukul 10.00
wib, wajah Garra terlihat sangat berbeda. Semakin pucat namun cerah, selintas
terlihat sangat bercahaya namun terkadang redup terkalahkan oleh pucat pasi
penyakitnya. Beberapa hari yang lalu ia terlihat masih sehat, gurat-gurat
senyumpun masih sangat kentara, berbeda dengan hari ini, hanya kilatan cahaya
bercampur pasi yang sangat mengkhawatirkan.
Badanya
hanya sedikit bergerak, terlalu lemah, kepalanya pun sudah tidak berambut.
Matanya terlihat sangat cekung, dulu jenaka yang banyak menyimpan keceriaan dan
keoptimisan, kini hanya memandang Fahita dengan layu. Seakan-akan ada yang
ingin di ungkapkannya. Fahita menghampiri tubuh yang lemah itu, dan ia menatapinya
dengan senyum, ia tak ingin erlihat sedih di depan Garra sesuai permintaannya
semenjak di rumah sakit.
“Ada
apa sayang?” Tanya Fahita.
Dan
suara tilawah al-Qur’an Ibu Garra terhenti seketika menyadari ada sesuatu yang
diminta Garra.
“Kenapa,
Sayang? Ada yang sakit? Tanya Ibu Garra dengan parau, telah sekian hari ia
memang telah banyak menangis untuk Garra. Di tiap malam yang terlewati, Ibu Garra
menangis memohon pada Tuhan, untuk mau mendengar do’anya. Agar Tuhan bersedia
mengulur waktu Garra sampaibeberapa waktu saja. Mulut Garra bergerak-gerak,
Ibunya segera mendekatinya dan menggenggam tangannya, lalu ia mendekatkan telingannya pada wajah Garra
agar bisa mendengar apa yang diungkapkannya.
“La-illa-ha-illa”
Tiba-tiba
Fahita Ibu dan Fahita menyadari, bahwa waktu yang dijanjikan Tuhan sudah dekat,
Ibunya menoleh pada Fahita dan sepertinya ia mengerti.mlalu Fahita bergegas
menuju pintu dan memanggil Ayah dan Kaka Garra. Dua orang yang akan kehilangan
bagian dari hidupnya segera masuk dan menanti apa yang terjadi kemudian.
Ibu
memakaikannya surban putih di kepala yang tanpa rambut itu dan semakin melemah.
Ia melakukannya karena pesan terakhir Garra, ia tidak ingin menghadap Tuhan
sang maha cinta dengan telanjang. Ibu dan semua yang ada berusaha ikhlas, walau
sebenarnya hati Fahita hancur berkeping-keping. Pernikahannya yang tinggal
beberapa bulan lagi gagal, ia akan berpisah dengan kekasihnya untuk jangka
waktu yang sangat lama, hanya surga harapannya terakhir untuk memadu kasih
dengan ridlho_Nya.
Dokter
Rahmawan yang selama ini bertugas menangani Garra bergegas masuk dan akan
menjalankan tugasnya. Namun Fahita melarangnya,
“Biarlah,
Dokter, Insa Alloh kami semua sudah ikhlas”
Fahita
berkata dengan tegar.
Dokter Rahmawan mengangguk seraya
berkata “ mudah-mudahan Garra diberi kemudahan oleh Sang Pencipta”
Perlahan-lahan
Fahita dan Ibu Garra membantu Garra mengucapkan kalimat syahadat dan dzikir di
telinga Garra. Mulut Garrabergerak-gerak dengan mudah. Dan genggaman tangannya
mulai melemah, ada butiran air mata yang mengalir dari matanya yang terpejam.
‘Sakitkah
Garra, sayang?”
Batin
Fahita dengan pengl. ihatan kabur karena terhalang air mata. Ia melihat wajah Garra
yang sedang bertarung melepas nyawa. Napas Garra satu-satu, jaraknya makin
lama-makin panjang. Kakak dan Ayah serta semua yang ada di ruaangan membaca
kalimath Syahadat berkali-kali dan nafas Garra pun terhenti.
Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
***
Acara pemakaman telah selelasi,
sanak saudara yang mengantarpun telah beranjak, suasana kembali hening. Hanya
tinggal Fahita dan gundukan tanah merah di depannya yang mulai basah oleh
rintik gerimis dari langit serta hujan air mata. Ia melihat lambaian tangan Ibu dan Kaka Garra,
yang mengjakanya untuk pulang, namun ia menolaknya,
“Insa
Alloh Garra, Syahid, Ukh Fahita. Karena ia begitu tawakal dan pasrah, ia juga
seorang Khafid yang insa Alloh Shalih” ucap Gus Zein yang juga turut rombongan pemakaman
beserta keluarganya. Mereka datang pagi-pagi sekali setelah mendapat kabar
lelayu.
Fahita
mengangguk dan matanya kembali basah. Di detik-detik terakhir kehidupannya, Garra
memang begitu tegar dan tak pernah sekalipu mengeluh dan menampakan
keputusasaannya. Dia tetapi optimis Tuhan memberiinya leukemia sebagai ujian
keimannya sebagai manusia biasa. Ia harus mampu melewatinya. Ia benar-benar pergi
meninggalkan sebongkah cinta untuk orang-orang yang juga mencintainnya.
“Silahkan
Gus, duluan, Fahita masih ingin di sini”
Gus Zein pun berlalu meninggalkannya,
Sayang
walaupun engkau sudah tidak menemaniku menjalani hidup di dunia ini, namun engkau
akan tetapi menjadi kekasih jiwaku, yang
selalu menjaga jiwaku dari kesunyian serta menemaninya membuka tabir
rahasia-rahasia Tuhan yuang lain, bukan hanya sekedar kematian namun rahasia
cinta yang masih disediakan Tuhan.
Sebelum pergi, engkau telah melukis matahari di hatiku sebagai penerang dan
penuntunku di siang hari dan juga rembulan sebagai kawan kesunyian menembus
malamku yang akan selalu sendiri, serta bintang sebagai penghiasnya. Aku
berjanji akan selalu menaga lukisanmu di hatiku, sebagai penuntun hidupku agar
aku mampu menghadap Tuhan seperti engkau menghadap_Nya. Dengan senyum dan
ketegaran yang luar biasa.
***
10
*Cerita di Pantai Kuta
Aku termenung di tengah gelapnya malam.
Di bawah cahaya rembulan aku terdiam,
Gemerincing hujan yang datang nyanyikan lagu rindu.
Semilir angin itu hembuskan kenangan. Goreskan
luka yg takkan pernah sirna. Aku di sini bertemankan sunyi yg tak jua pergi. Aku
tak prnah tau arti sunyi saat kau disampingku, Aku tak pernah mengerti sakitnya
luka saat kita masih bersama, Setelah dirimu pergi, barulah aku sadar bahwa
kaulah arti hidupku, bahwa cintamulah pengobat luka kesendirianku, tanpamu aku
benar-benar tak berarti, karena dirimulah yang membuatku berarti.
Fahita mengusap air matanya, gambar tak
berlatar yang ia padangi semakin membuatnya terhanyut dalam alam rindu.
“Garra apa kau melihat di tiap malam sinar
bintang berkedip terkadang redup dan membuai gulita yang semakin membahana,
ketika siang datang bukan mentari yang tenggelam tapi awan-awan hitam yang menggenag
dan sampai menggelayut di hatiku serta menutup peredaran alur pikirku. Garra,
apakah kau merasakan apa yang jua kurasakan? Apakah kau mendengar lagu
kerinduan yang selalu ditiupkan dedaunan,yang bergema sepanjang petang? Taukah
rindu itu Garra, rindu yang lahir dari rahim hati!” ia terus memandangi foto Garra
dengan senyumnya yang menawan. Hingga malam kembali berkelebat menelan senja.
***
Dua
tahun berlalu, hari ini tepat pula dua tahun Garra meninggalkan cinta yang
selalu tumbuh dan subur tersirami dalam hati Fahita. Walau ia sudah tiada,
namun cintanya masih begitu besar. Tak seorangpun mampu menggantikan tahta
cinta seorang Garra. Telah banyak yang mencoba mendekatinya, bahkan melamarnya
namun ia tetapi menolak. Ibu Garra pun sudah habis kata-kata untuk
menasihatinya. Ia tidak ingin anak laki-lakinya bersedih karena melihat Fahita
yang masih membisu dalam kungkungan cintanya.
Setelah prosesi wisuda enam bulan
lalu, sebenarnya, tidak hanya dua kali Fahita dilamar oleh teman kuliahnya,
bahkan pernah ada seorang manager penerbitan melamranya, namun ternyata ia
masih benar-benar menutup hati.
“Ibu, Fahita belum siap untuk
menjalin hubungan itu dengan orang lain, Fahita takut tidak total malah
nantinya akan hancur berantakan. Tolong mengertilah, pasti nantinya Fahita juga
akan menikah, tapi tidak untuk sekarang”
Ibu hanya bisa menarik nafas
panjang. Ia tidak ingin memaksa kehendak anaknya. Akhirnya ia hanya mengikuti
keinginannya.
Sampai disuatu siang, Rendra dan Mas
Wawan datang menemuinya, ia mendengar kabar bahwa Fahita masih terpuruk dan
belum stabil menjalani hari-harinya.
Mereka datang membawa rencana yang akhirnya disetujui oleh Fahita,
“Fa, kami berencana mengajakmu
berlibur serta meneliti kearifan local di Bali_ panati Kuta”
“Lho, kok mendadak si mas?” Tanya Fahita
pada Mas Wawan.
“Sebenarnya ini tidak mendadak, kami
dan kawan Rumah Ajaib lainya sudah merencanakannya semenjak tiga bulan yang
lalu”
“kapan rencana akan berangkat?”
“Minggu depan”
***
Senja
di Bali
Senja di
manapun berada memang terlihat begitu sempurna bagi mata Fahita. Senja selalu membawa cerita indah dan
menguning dengan sendirinya. Seperti senja yang kini telah genap warnanya,
setelah dua tahun silam terlelap bersama perginya Garra. Tak ada lagi kekosongan
yang harus di isi. Namun senja itu telah menggariskan takdir
***
Pagi-pagi sekali Fahita
dan rombongan kawan-kawan Rumah Ajaib telah sampai di Bali. Terasa pegal semua
badan. Hanya jiwa yang masih segar, karena kedatangan mereka disambut dengan keindahan
nuansa Bali dan pantai Kuta yang eksotic.
Tujuan utama mereka
adalah hotel, tempat yang paling menjanjikan ketenangan. Terutama untuk
otot-otot yang telah merasa dianiyaya sehari semalam perjalan Purwokerto-Bali. Berjalan
kaki lebih dari 10 menit parkiran mobil dan hotel, menjadi kesempatan unik bagi
mereka untuk melihat sekitar jalan, ternyata banyak sekali restoran serta
tempat pemandian, seperti menjamur saja. Belum lagi berbagai macam jenis
hiburan lainya yang ditawarkan. Rosovivo, Ocean Beach Club, Kamasutra,
adalah beberapa club paling ramai di sepanjang pantai Kuta.
Pantai Kuta adalah
pantai tujuan mereka. Pantai yang selama ini di idam-idamkan selama bergabung
dalam kepenulisan. Akhirnya tercape. Pantai yang terletak di sebelah selatan
Denpasar, Ibu Kota Bali. Kuta terletak di kabupaten Badung,. Daerah ini
merupakan salah satu daerah di Bali yang menjadi tujuan para turis mancanegara.
Dan telah menjadi objek wisata andalan pulau Bali sejak awal tahun 70_an.
Pantai Kuta juga sering disebut dengan pantai matahari terbenam atau sunset
beach lawan dari pantai Sanur.
Pantai
Kuta yang juga memiliki ombak yang sangat bagus untuk surving, terutama
bagi para pemula. Pantai ini juga tidak jauh dari bandara 1 Gusti Ngurah Rai. Kuta
mulai dikenal ketika para pedagang dari Denmark membuka kantor perwakilan
dagang di Bali. Hubungan dagang yang terjalin antara perwakilan dagang tersebut
dengan penduduk pribumi asli kemudian berkembang dengan sangat pesat.
Sekitar tahun 1930 ada sepasang suami istri asal
California Amerika sangat terkesan dengan keindahan pantai Kuta yang waktu itu
sama sekali belum terjamah campur tangan manusia, alias masih alami. Kuta Beach
Hotel adalah hotel pertama yang berdiri di kawasan ini, namun sayang harus
ditutup karena tentara Jepang menyerbu pulau Bali pada waktu itu. Pada tahun
1960 ketika banyak turis Australia yang harus singgah di Bali untuk perjalanan
ke Eropa, Kuta mulai semakin dikenal kembali. Dalam perkembangannya, area Kuta
semakin menarik kunjungan para wisatawan tidak hanya dari Australia, namun juga
dari berbagai belahan dunia yang lain.
Dengan cepat berdirilah
berbagai hotel di sepanjang kawasan pantai Kuta. Biasanya hotel-hotel dikawasan
ini bertaraf internasional atau setidaknya sebuah grup hotel internasional.
Berawal dari awal ujung pantai Kuta terdapat Inna Kuta Beach Hotel, Hard Rock
Hotel, Mercure Hotel, dll. Juga berdiri sebuah penginapan yang sangat nyaman
bergaya butik resort yaitu Alam KulKul Boutique and Resort.
Para pengunjung paling ramai di kawansan pantai Kuta adalah
ketika sore hari atau sewaktu matahari
terbenam (sunset). Semua turis mancanegara ataupun lokal berkumpul menjadi
satu pesisir pantai. Apalagidi pantai juga sering ada momen-momen khusus di dalam negeri seperti
liburan sekolah, liburan Lebaran Idul Fitri atau liburan tahun baru, bisa
dipastikan manusia-manusia memadati pantai Kuta, sehingga diibaratkan bukan
menikmati pantai tapi melihat manusia yang hilir mudik karena keramaian itu
semakin menjadi.
Fahita
tengah menikmati sunset bersama dengan manusia lain yang juga tengah
menikmatinya. Ia berharap bersama terbenamnya matahari di atas sana,
kerinduannya pula akan seorang raja di kalbu cintanya.
Selama dua tahun
belakangan ia begitu merasa tersiksa sehingga tawaran ke Bali ia terima begitu
saja, karena ia berharap ia dapat membuang segala kesedihannya bersama ombak
yang berlarian di pesisir Kuta. Ia ingin menenggelamkannya bersama banyu biru
itu, ia ingin menerbangkannya bersama angin sepoi dan menyembunyikannya bersama
senja yang ditelan malam. Ia ingin bangkit.
Ketika matahari
telah melambaikan tangannya dan menutup wajahnya dengan warna kemerahan, Fahita
melangkahkan kakinya menuju hotel tempatnya bermalam,. Ketika lebih dari lima
belas langkah, tiba-tiba suara seseorang yang pernah taka sing baginya
memanggil dan membuat Fahita terbengong-bengong.
“Antum, mengapa di
sini?” Tanya Fahita kaget,
“Aku sedang ada
urusan dengan risetku”
“Riset? Mengenai
apah?” Tanya Fahita lagi.
“Mengenai pelestarian ekosistem pantai dan pemberdayaan
masyarakat pesisir” jawabnya ringan, lalu mereka berjalan beriringan dan saling
bercerita semejak dua tahun silam tak berjumpa.
“Jadi kamu
akan melanjutkan kuliah lag Fahita?” tanyanya,
“Iyah Gus,
aku ingin sekali di UNS”
“Mengapa?”
“Karena
kampus itulah yang dulu menjadi kampus pertama aku mempresentasikan karya
tulisku, saat itu aku lolos lomba karya tulis ilmiah di UNS dengan tema
Keraifan Lokal dan menjadi finalis ke tiga dari 218 peserta, semenjak itulah
budaya menulisku semakin berkembang”
“Alasan yang
bagus, em Fahita”
“Iyah,”
“Aku begitu
menykai novel-novelmu terutama yang berjudul Lintang di Sudut Jogja, sangat
dalam sekali”
“Terimaksih,
tapi antum terlalu berlebihan”
“Aku harap
kishmu dengan Garra bisa kamu abadikan lewat tulisanmu”
“Rencanaku
begitu, aku juga sudah memiliki judul untuk novelku yang ketiga”
“Waow, kau
gadis yang sangat produktif, apa itu judulnya?”
“Melukis
Rembulan Di Hatimu”
“Waow, dalam
sekali”
Kebersamaan
mereka terpisahkan oleh koridor hotel yang berlawanan. Saatnya istirahat.
***
Ra,
cintaku padamu masih tergantung di langit-langit hatiku. Aku belum mampu
memenuhi amatmu untuk mencari penggantimu. Walau aku tahu, lambat launpun Tuhan
mentaqdirkan diriku untuk bertemu jodohku di dunia ini, sebagai pengantarku
bertemu dirimu dalam penantian abadi.
Ra,
bukankah takk salah aku memiliki cinta yang begitu besar denganmu? Aku tahu aku
tak perlu bertanya seperti itu, tapi pada akhirnya aku takan pernah bisa lari
dari rasa cinta itu, ia terus memburuku bahkan lebih cepat dari langkahku. Aku
tak mampu berbuat apa-apa Ra, kecuali diam dan sendiri. Aku benar-benar tak
berdaya.
Sesekali
aku ingin menjerit dan mennagis dengan puasnya, agar semau rindu dalam hati
keluar bersama jerit dan tangisku. Aku terkadang ingin menyalahkan Tuhan
mengapa kepergianmu begitu dini?bagiku kepergianmu terlalu cepat. Kau pergi Tuk Slamanya, kau pergi meninggalkan
semuanya. Semua yang berada di dekatmu, semua keluargamu dan semua orang yang
menyayangimu. kau tinggalkan
kenangan yang teramat indah. Tawa dan celotehanmu, akan slalu terukir di hati aku
belum relakan kau pergi. Pergi menuju
nirwanamu, yang bagiku begitu gelap.
“Hei,
pagi-pagi kok udah ngelamun, hayu-hayu”
“Eh
Gus Zein, mengagetkan saja, mengapa
tidak bilang-bilang kalau datang?”
“Lho,
nanti kalau aku bilang tidak bisa mengagetkanmu. Aku perhatikan lebih dari lima
belas menit, raga dan jiwamu tidak menyatu. Ada apakah gerangan wahai penulis
cantik?”
“Aku
teringat Garra, aku begitu merindukannya”
“Sabra Fa,
oyah dari pada kamu terus melamun disni bagaimana kalau kita jalan-jalan ke
pantai Sanur, mumpung masih pagi, pasti semburat fajar masih terlihat”
Lalu Fahita
mengikuti langkah Zein menuju mobilnya.
Di
perjalanan, mereka hanya diam membisu, bergumul dengan perasaan masing-masing. Zein
sebentar-sebentar melirik Fahita yang mengatupkan bibir mungilnya, ia tahu
sepenuhnya yang ada dalam hatinya hanyalah Garra dan Garra, tapi ia bisa apa,
rasa cinta semenjak melihatnya untuk pertama kali di rumah sakit, bukan karena
kecantikan atau kecerdasannya, tapi ia begitu setia terhadap cintanya, walau
sudah jelas akan meninggalkannya. Untuk selamannya. Ah ia teringat Widya, betapia
dunia begitu kejam terhadap mereka berdua, dipaksa meninggalkan dan beralih
cinta. Hanya berbeda tipis dengan takdir Fahita.
Mobil Yaris
silver Zein memasuki area parkir panati Sanur. Mereka berhenti dan berjalan
kaki menuju pantai, karena jarak parkir dan pantai masih sekitar sepuluh menit.
Udara begitu terasa sejuk membelai kulit ari, jilbab ungu yang dikenakan Fahita
melambai-lambai. Rambut nakalnya sedikit menyembul di sela-sela jilbabnya. Ah
dia terlihat begitu cantik diantara kilauan mentari pagi.
“Fa, dulu
aku pernah mempunyai kisah sama denganmu”
Fahita
menoleh, manatapi mata Zein dalam, menandakan rasa prihatin dan respectnya.
“Yah, tapi
hanya berbeda taqdir, Garra meninggalkanmu karena di jemput oleh Tuhan,
sedangkan kekasihku meninggalkanku karena jodohku tak di ridlhoi Tuhan”
“Apakaha dia
meninggalkanmu? Dan menikah dengan orang lain?”
“Lebih
tepatnya, ia dipaksakan untuk menikah dengan orang lain!”
“Terus, Gus Zein hanya menerima saja?”
“Yah, aku
tahu dengan jalan menerima dan diam Tuhan akan menggantikan emasku yang hilang
dengan Permata yang jauh lebih berkilau. Karena ridlho dan kehendak orang tua
akan lebih mulia dan Tuhan tidak akan pernah murka”
Astaghfirullah
hal adzim. Dalam
hati Fahita beristighfar, ternyata selama ini ia adalah manusia yang tidak
mampu ikhlas dengan takdir dan kehendak Tuhan. Padahal Tuhan adalah pemilik
segalanya. Jodoh adalah taqdir yang digariskan Tuhan, dan apapun yang bernyawa
akan kembali pada_Nya.
***
Senja ini
adalah senja terakhir Fahita di Bali. Ia ingin menikmatinya dengan sempurna.
Setelah puas jalan-jalan seharian, mencari oleh-oleh dan mengambil gambar yang
unik dan meninggalkan cerita tersendiri. Kini Fahita duduk termenung sendiri,
ia sengaja ingin bercerita pada angin yang menyapanya dan meminta pendapat
lautan tentang bagaimanakah nasib hatinya untuk hari esok. Ia ingin sekali
berusaha mengakhiri kerinduannya yang tanpa pelabuhan tempatnya bersinggah, ia
ingin mengakhiri penderitaan cintanya yang seperti terisi seperti kosong.
“Ra,
mungkin setelah aku bercerita dengan laut yang maha luas, aku akan kembali
meikirkan amanatmu, untuk segera bertaaruf dengan laki-laki yang pernah engkau
tunjukan padaku.
Di
dalam hotelnya, Zein sedang teramat gelisah, ia ingin sekali menyampaikan amanat
sahabatnya, ketika mendekati ajalnya. Bahwa ia harus menjaga dan mencintai
gadis yang mampu membuatnya kuat selama mengahadapi penyakitnya. Ternyata,
setelah ia bertemu beberapa hari terakhirnya di Bali, ia teramat suka dengan
gadisnya.
“Ra,
aku berjanji akan menjaga cinta gadismu seutuhnya, karena ia memang pantas
dicintai. Kamu tidak perlu khawatir, cintaku takan pernah menggantikan posisimu
tapi aku akan mempunyai tempat tersendiri di hatinya yang mungkin tak bisa
sejajar denganmu. Karena engkau begitu mulia mencintainya dan mampu
memposisikannya sebagai wanita mulia”
***
Semua
kawan-kawan telah selesai packing. Kini saatnya meluncur menuju dunia
masing-masing di Purwokerto. Saat Fahita melangkah menuju mobil, Zein telah
menunggunya di pintu utama untuk keluar, ia ingin sekali menyampaikan semua
beban yang disimpannya sendirian. Ia ingin menunaikan amanat sahabatnya.
Bukankah dalam hadist pun di jelaskan bahwa sampaiakanlah kebenaran dan
kejujuran walau itu pahit. Zein tidak ingin berdosa dan sebelum semuanya
terlambat.
“Fa, sebelum kamu pulang aku ingin menyampaiakn sesuatu
padamu”
“Sampaikanlah!”
“Dulu Garra pernah memintaku untuk bertaaruf denganmu, tapi
aku menyerahkan semua itu padamu, aku hanya inginmenyampaikan pesan terakhir Garra
saja, selebihnya itu adalah hak Fahita”
Fahita kaget setengah mati, jantungnya berdetak begitu
kencang. Ternyata, amanat Garra bukan hanya dengan dirinya tapi dengan sosok
yuang bersangKutan, ia merasa begitu btidak enak karena menjadi beban dan membuat
langkah Gus Zein terhenti untuk mencari
sosok pengganti kekasihnya.
“Dulu, Garra juga berpesan dengan pesan yang sama disampaikan Gus, namun sampai sekarang
hati Fahita belum siap.biarlah Fahita bermunajat dengan Tuhan”
“Baiklah, aku hanya berdo;a untuk yang terbaik saja.
Selamat jalan dan hati-hati semoga Rahmat Tuhan tetapi tercurahkan untuk kita
semua”
“Amin”
Fahita melangkah dengan iringan beban yang memberiatkan,
namun ia berjanji untuk meminta petunjuk agar mendapat yang terbaik. Bukankah
sebaik-baik manusia adalh yang mendekatkan diri dan meminta petunjuk pada Tuhan
agar ia tidak mendapat jalan yang ditunjukan syetan.
11
*Rahasia Itu Bernama Cinta
Empat bulan terlewati sudah.
Fahita semakin
yakin dengan jalan yang akan ia tempuh,
setelah melalui proses shalat hajat dan bermunajat pada
Tuhan,
ia kini mendapat pencerahan. Pendapat orang-orang terdekatnya pun mulai ia
saring.
Selanjutnya,
ia mulai berkomunikasi dengan Gus Zein. Walau hanya lewat telepon genggam saja.
Fahita dan Zeinpun mulai banyak bercerita tentang masa lalunya. Hingga kemudian
bisa saling mengerti dan mengenal kepribadian masing-masing.
Mengenal masa lalu dan
kehidupan Zein adalah sangat luar biasa bagi Fahita. Walau ia dilahirkan di
tengah keluarga Kiyai yang masih keturunan darah biru, ia tidak pernah menjadi
sosok yang sok ningrat atau gila hormat. Tapi ia justru sangat zuhud. Ia
menghapal Al-Qur,an sejak SMP serta
melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan biaya sendiri dan beasiswa. Sampai
menginjakan kaki di Rusiapun itu adalah hasil dari kerja kerasnya selama ini,
hasil risetnya telah diakui oleh pemerintah hingga akhirnya ia di fasilitasi
untuk kuliah di MGU.
Hari demi hari terlewati, Fahita
merasa semakin cocok dengan car hidup Zein, karena ternyata ia lebih mirip
dengan Garra, kesopanan dan senang bercanda mengingatkannya pada sosok Garra.
Ah sungguh luar biasa Tuhan menganugerahkannya. Banyak hal yang kini telah
dilakukan Zein dalam hidupnya. Sehingga
ia kembali bersemangat dari keterpurukan kehilangan. Saat satu kata tak lahir
jadi cerita, saat tak satu puisisi menjadi arti. Dan Zein hadir yang kemudian
menjadikan kata-kata dalam dirinya yang menjelma cerita baru. Zein membuat puisisi-puisinya
lebih berarti dan bermakna.
Seusai menyelesaikan
pekerjaan rumah di pagi hari, Fahita beranjak menuju pembaringan terakhir Garra,
ia ingin bersimpuh dan mencurahkan segala apa yang ia rasakan setelah pulang
dari Bali. Ia ingin menyampaiakn bahwa ia telah mampu menunaikan amanatnya.
Garra sayang, kini Fahita
telah siap menjalankan amanat yang
engaku berikan padaku. Namun, aku tidak bisa memungkiri bahwa aku masih
merindukanmu . dan saat aku benar-benar merindukan kehadiranmu, aku buka kembali
álbum cinta kita, terlihat senyummu dan senyumku dalam satu rasa, aku merasa seolah-olah
kau hadir di sisiku dan membelai rambutku.
Aku
teramat sedih ketika kau meninggalkanku begitu cepat menjelang hari-hari
pernikahan kita. Tapi tak apa, aku sudah belajar ikhlas. Sayang, hampir dua
tahun setengah kau meninggalkanku, tapi rasa itu masih bergelayut dalam hati
dan jiwaku. Namun, aku teringat bukankah kau selalu mengajariku untuk mencari
hikmah di balik taqdir, aku kini tahu, bahwa kesabaran dan keihklasan yang
membuatku bertahan hingga menjadi perempuan seutuhnya.
Dua rahasia yang aku temui dalam hidupku
hingga kini Ra, ketika kematian membuatku kaget setengah mati, yaitu kematian
ibuku yang selalu dirahasiakan ayah dan ibuku. Dan kini kau pergi melepas
ragamu. Kematian dan kematian yang selalu disembunyikan Tuhan. Ra, kini aku
berjanji ketiadaanmu di dunia ini takan pernah lagi kurasakan menjadi luka,
namun sebagai penuntun dan angin segar yang menerbangkan kesabaran luar biasa,
serta keikhlasan tiada tara. Karena engkau selalu memberii contoh melepas yang
kita cintai dengan indah. Makasih Ra, aku sekarang ingin mengungkap rahasia
sebagai ganti kematian.
Dalam gerimis, Fahita melangkah pulang, ia kini
mulai yakin dengan Zein dan aka segera memberiitahu Zein tentang niyatnya
mememnuhi amanat Garra.
***
Fahita telah memberiitahukan kesiapannya menerima
Zein sebagai pendamping hidupnya. Tak lupa pula ia memberiitahukan kelaurga Garra,
mereka menyambut degan begitu gembira, akhirnya Fahita mendapatkan ganti yang
lebih shalih. Sedikit rasa lega dalam hati Fahita. Akhirnya ia dapat melepas
kebimbangan yang selama ini menutupi mata batinnya, gemuruh kekuatan hidupnya kembali
terpancar, semangatnya kembali membahana, waktu yang dulu pernah ia sia-siakan
untuk meratapi nasibnya, ingin ia perbaiki. Bukankah seburuk-buruk manusia
adalah mereka yang membiarkan waktu berjalan tanpa manfaat.
Keluarga Zein akan datang untuk melamar minggu
depan. Fahita kini benar-benar mantapi untuk mengakhirinya.
“Ya Tuhan, aku menyadari bahwa ada banyak pilihan yang terbentang di
hadapanku. Namun pagi ini aku berdoa, biarlah takdir-Mu sendiri yang senantiasa
menuntunku untuk dapat menentukan pilihan terbaik bagiku yang sungguh-sungguh
sesuai dengan kehendak-Mu."
***
Waktu lamaran datang juga, semua keluarga sudah
berkumpul, Ibu dan Ayah duduk do sova sebelah kiri Ibu dan keluarga Garra,
terlihat pancaran kebahagian yang begitu mendalam dari wajah-wajah yang hadir,
ternyata semua hari-hari dimana Fahita terpuruk menjadi kesedihan yang luar
biasa bagi semua yang menyayanginya.
Prosesi lamaran berjalan
lancar, tanggal pernikahan pun sudah ditetapikan. Bulan depan akan
dilangsungkannya pernikahan itu. Akhirnya Tuhan memberii kemudahan.
Tuhan kini aku mengerti
rahasiamu yang teragung adalah cinta yang tumbuh dari manusia-manusia
terkasih_Mu. Cinta yang akan membawa terbang ke sisi_Mu. Cinta yang akan
meninggikan derajat manusia-manusia yang Engkau ciptakan dari derajat tetesan
air terendah. Berkat cinta Engkau ajarkan sabar dan ikhlas, berkat cinta Engkau
ajarkan melepas cinta pula dengan indah. Terimakasih Tuhan.
***
*Epilog
Pernikahan
itu berjalan lancar, semua
tamu undangan yang hadir membawa keceriaan dalam senyuman. Gaun merah muda yang
dikenakan Fahita semakin membuatnya menjadi wanita paripurna. Tak ada tangis
atau semburat kesedihan yang ada hanyalah cinta dan senyuman.
“Garra, hari ini aku dan
Zein akan menjalankan amanatmu, mudah-mudahan aku mampu mencintainya seperti
aku mencintaimu dulu. Semoga aku mampu menjadi istri salihah seperti yang dulu
engkau harapkan padaku, aku tidak ingin mengecewakan Zein dan ingin
mencintainya dengan tulus”
Acara walimatul ursnya
sudah selesai, Fahita masih duduk di kamarnya, semua orang yang hadir meminta
Zein untuk menjenghampiri pengantinnya dalam kamar, akhirnya ia mengetuk pintu
dan,
“Fahita, mengapa kamu
terlihat pucat? Kamu sakit?”
“Enggak, Fahita cuma grogi dan malu Kak,”
“Ya sudah, Kaka keluar
lagi yah biar kamu enggak grogi lagi,”
“Jangan, sini ajah, jangan
tinggalkan Fahita,”
“Lho, katany malu?” Fahita
tertunduk, dadanya semakin berdebar kencang.
Lalu, Zein mendekatinya
dan memeluk tubuh rampingnya, lalu mencium keningnya.
“Itu perasaan yang wajar,
perasaan kita menjadi sensitif jika berdekatan. Kita salah tingkah tapi
sebenarnya ingin selalu dekat”
Sejenak melirik ke meja
yang ada di pojok ruangan kamar Fahita, ternyata masih ada foto Garra yang
terbingkai dengan rapi, bahkan dalam bingkai berbentuk hati. Ia ingin bertanya tapi
tidak enak, dan ternyata Fahita tahu langkah matanya.
“Kak Zein, jangan cemburu
atau salah persepsi, aku ingin selalu mengenang Garra sampai kapanpun karena ia
adalah kenangan terindahku, aku tahu, sebagai manusia biasa tidak ada yang
ingin diduakan, walau hanya dengan sebuah foto saja dan walaupun itu sahabatnya
sendiri. Tapi percayalah, kini aku menjadikannya sebagai taman yang luas dalam
hatiku dimana Kaka adalah penananam bungannya dan selalu menyiraminya dengan
cinta”
“Ia sayangku, Kaka
Mengerti, kaka berjanji akan selalu menyirami taman hatimu dengan cinta kakak”
Lalu Zein kembali memeluknya dan mencium bibirnya dengan mesra. Tiba-tiba saja,
ketika mereka akan bercumbu rayu, hp Fahita berdering, tanda panggilan masuk,
“Maaf kak, Fahita angkat
telpon dulu,”
“Halo, Fa, selamat yah,
novelmu yang berjudul Melukis Rembulan di Hatimu akan segera terbit”
Alhamdulilah, kini
kebahagiaan lengkap dan meyatu.
Diawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.
BalasHapusDiawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.
Diawali dari sebuah perkenalan (yang mungkin tidak sengaja), pertemanan, lama-lama bukan hanya sebatas teman saja dan lebih dari itu –persahabatan-. Mulai dari berbagi cerita, rasa bahagia, keluh kesah, persamaan hobi, berbagi makanan sampai berbagi ranjang pun rela dilakukan (eits, jangan porno duluan... maksudnya tidur seranjang yang sejenis lah..), berbagi materi yang mungkin tak sedikit pun ikhlas dikorbankan untuk yang namanya sahabat.
BalasHapusmembantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW
BalasHapusmembantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW
membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi KI ANGEN JALLO dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan KI ANGEN JALLO meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan KI ANGEN JALLO kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik KI ANGEN JALLO sekali lagi makasih yaa KI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja KI ANGEN JALLO DI 0 8 5-2 8 3-7 9 0-4 4 4 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW
BalasHapus