Namaku,
Daun Sore
Cinung
Azizy
Bahkan bulan butuh kelam untuk menunjukkan warna
kekuningan terangnya.
Sebagaimana insan butuh cobaan untuk mengakumulasikan segenap
potensinya
DAFTAR
ISI
Catatan
Awal
Prolog
1. Istana
Kerinduan
2. Purwokerto
yang Bimbang
3. Titik
Awal
4. Kekaguman
5. Cinta
Dua Mata
6. Convertation
7. Kidung
Cinta Dalam Kenangan
8. Petuah
Tentang Cinta
9. Daun
dan Rahasia Senja Lalu
10.
Kotak Masa Lalu 1:
Suatu Masa
11.
Kotak Masa Lalu 2:
Keributan
12.
Kotak Masa Lalu 3:
Sayap Terhangat
13.
Kotak Masa Lalu 4:
Ketika Kesepian Menyapa
14.
Kotak Masa Lalu 5: Ibu
dan Keinginannya
15.Kotak
Masa Lalu 6:
Aku dan Jakarta
16.
Kotak Masa Lalu 7: Penyesalan
17.
Kotak Masa Lalu 8: Titik Cerah
18.
Sampai kapanpun
19.
Daun di Senja Hari
20.
Di Ujung Pasir
21.
Bangkit dari Kekalahan
22.
Wisuda
23.
Harapan Dan Mimpi Yang
Bersatu
24.
Daun Sore dalam Puisimu
25.
Titik Akhir: Bersama
Kupu-Kupu yang Indah
Epilog
Catatan Awal
Engkau, Bunga Aster
yang hanya tumbuh dalam taman hatiku. Dengarlah, rasakanlah dan baca setiap
kata yang kutulis. Dulu, setiap deret abjad inilah yang selalu menjadi kawan
setiaku. Hanya kepada Tuhan dan rangkaian abjad ini kutumpahkan segala
ceritaku, serta hukuman-hukuman malaikat dengan cambuk kenyataan.
Rasakan dan baca dengan hatimu. Aku
ingin kau tahu, betapa selama ini hidupku selalu berkalang duka. Resapilah dan
kau akan tahu betapa aku tak pernah sekalipun bertemu kedamaian walau dalam
alam lamunan sekalipun. Bacalah, maka kau akan tahu, bahwa rasa itu masih
bergelayut dalam hatiku, aku membutuhkanmu, sebagai penopang masa depanku. Aku
menginginkanmu sebagai penutup kelamnya masa laluku. Jangan patahkan bingkai
yang pernah kau tata rapi di hatiku, walau hanya dulu, tidak untuk sekarang.
Walau dalam matamu aku sudah layu sekalipun seperti daun yang berguguran di waktu senja.
Prolog
Dia
tidak pernah tahu, bahwa hati manusia tidak akan pernah tentram sebelum Ia
berdamai dengan dirinya sendiri. Yang ia tahu sekarang hanyalah bagaimana
mencari senang, bahagia, tertawa lepas serta mencari yang apa ia sebut damai,
walau itu salah.
Hidup menurutnya adalah
penderitaan yang harus dirubah dengan segala bentuk kesenangan. Dengan
sebungkus pil ekstasi, stimulant, depresant, hallucinogen, narkotika, atau bahkan cannabis yang selalu setia
menemaninya, tak pernah protes dan selalu membuatnya merasa tenang, bahkan
dengan desahan-desahan nafas wanita sebagai penghilang rasa nyeri yang selalu
menyerang jiwanya.
Seperti
sore ini, ketika ia merasa sangat lemah, gelisah, paranoid, dan lama-kelamaan
ia merasa tubuhnya menggigil lalu kejang-kejang, yang bisa menolongnya hanyalah
kawan setianya. Zat
alkaloid C17H21NO4 atau seperti biasa, shabu-shabu sebangsa
amfetamin yang menurutnya paling bisa menenangkan.
Lalu, ia meneguknya seperti orang yang
kesetanan, tanpa rasa ragu, beberapa butir masuk kedalam kerongkongan tenggorokannya.
Tenang, bahagia yang ia rasa, lalu melayang-layang dan berteriak seperti orang
yang gila.
“Dimana Tuhan? Tuhan yang pendusta
ataukah manusia yang mereka sebut Nabi yang gila. Mereka yang gila, mereka
tidak waras. jika Tuhan memang ada, mengapa sekarang ia tak menghukukmku atau
bahkan tidak menolongku ketika bahaya melucuti nyawa dan bahagia seluruh
orang-orang di sekitarku, apa itu yang disebut agama, yang membawa kasih
sayang, keadilan, kalian pendusta” lalu ia meneguk beberapa pil lagi.
Ia
terkapar dan merasa terbang dengan mulutnya sedikit berbusa.
***
1
Istana
Kerinduan
Aku
baru menyadari, bahwa hidupku jarang sekali didatangi masalah. Justru aku yang
selalu mencari masalah. Kesepian di tengah keramaian yang selalu menderaku
membuatku merasa semakin tidak hidup. Resah, gelisah dan tak mampu berfikir
dengan rasio yang sehat, mungkin itu sering kali yang aku rasakan sehingga pada
akhirnya hidupku hanya berujung masalah.
***
Purwokerto, masih
menyisakan awan-awan gelap bekas hujan tadi siang. Aku masih membenamkan
kepalaku diantara bantal yang tertata rapi. Lirik lagu Just A Dream-nya Nelly masih mengalun indah di kamar kostku yang
kini seperti kapal pecah. Celana Jeans yang
tergeletak di kursi dengan indahnya, gitar yang bersandar di tembok dekat meja
belajar, serta bekas segelas kopi yang nangkring dengan santainya di atas meja,
asbak dan sisa-sisa rokok yang masih menumpuk menambah lengkapnya status bagi
kamarku, kapal pecah.
Pusing,
capek dan enggan untuk melakukan hal apa pun, masih hinggap di tubuhku,
mengikat kakiku untuk berjalan, menutup mataku untuk menatap, lalu membelenggu
tanganku untuk bergerak. Buku-buku karya Plato, Danbrown, Adam Smith, Pramudiya
Ananta hingga tetraloginya Stephanie Mayer
maupun buku-buku life motivation dan novel-novel karya anak bangsa yang kini marak
menggerumuti penerbit hingga beredaran di pasaran, tercecer dan berserakan di sisi tempat tidurku.
Sepi...senyap…
Seringkali
hadir dalam hari-hariku, terkadang suasana seperti itulah yang enggan kujumpai.
Namun, minggu ini lain. Justru suasana yang seperti itulah yang terasa sangat
nyaman. Aku membalikan badanku lalu
menatap ke jendela kamar kostku yang memberikan pemandangan kelap-kelipnya
lampu serta lalu lalangnya para mahasiswa dan mahasiswi yang saling
bergandengan tangan hanya untuk sekedar mencari makan dan bertemu kekasih
mereka atau hanya bercuap-cuap dan konkow bersama. Masih memejamkan mata, aku
mencoba mencerna lagunya Katy Perry, Teenage
Dream.
Tanpa terasa
kini udara yang semakin terasa berbeda mengingatkanku bahwa larut telah
menjemput. Kulihat jarum jam yang kini menunjukan pukul 23.55 WIB. Aku masih
terdampar di ranjang kamar. Masih diam, membisu, lalu aku bangkit membuka
lemari, kulirik baju koko yang masih tertata rapi, peci yang masih terbungkus
lengkap dengan mereknya serta sajadah yang masih baru. Itu adalah hadiah dari
orang tua temanku yang baru pulang haji beberapa tahun lalu, mungkin baru dalam
hitungan jari aku memakainya.
Waktu terus bergerak tanpa bisa
kuhentikan karena hanya sia-sia semua usahaku jika aku berusaha melawan waktu
dan menghadangnya untuk berhenti berjalan.
Kini, dengan waktu juga, yang telah mengantarkanku pada umurku yang
genap dua-puluh dua tahun. Yah, dua
puluh dua tahun lalu lahirlah seorang bayi dari rahim Ibu, dua puluh dua tuhun
yang lalu juga tangis seorang bayi yang
mampu menggetarkan hati Ayah dan Ibunya, serta mampu mengulum senyum di bibir
mereka dengan tulusnya. Seiring tangis bahagia yang membuncah, rangkaian doa
tulus dikirimkannya pada sang
Pencipta agar kelak anak mereka menjadi cahaya bagi kegelapan dunia, serta
memperkokoh agama mereka. Sungguh rangkain doa yang kini masih terasa menjadi
beban dan menggantung di sendi-sendi relung jiwaku.
Kupaksakan
kakiku melangkah kekamar mandi untuk mengambil air wudlhu, terasa segar hingga
dingin membekas di wajahku, terasa sedikit pori-poriku membuka. Kembali dari
kamar mandi, kulihat lampu-lampu malam purwokerto yang seperti kunang-kunang
menandakan bahwa manusia diluar sana telah terbuai mimpi yang mereka bingkai
dengan harapan semoga indah.
Sajadah panjang kugelar, menghadap
kiblat lengkap dengan pakaian koko yang rapi serta peci yang kutangguhkan
dikepalaku, walau terasa masih longgar, kulirik cermin disampingku, terasa
lebih bijaksana aku dengan pakaian seperti ini. Lalu kuluruskan niat untuk
bersimpuh pada-Nya. Sebuah ritual yang
terasa asing karena telah lama tak kulakukan. Terasa berdebar hatiku saat ku
angkat kedua tanganku.
Terbayang semua kenangan dimasa silam
saat kuucapkan Takbir, ah aku semakin merasa tak pantas saja menghadapnya
kembali. Yah, aku merasa seperti pecundang yang bermuka tembok, setelah dulu
dengan dada besarku, kepala tegak kutinggalkan istana sejuknya dan kini dengan
suatu keterpaksaan bahwa akulah yang butuh dengan-Nya, aku mencoba kembali. Aku
meragukan itu, aku takut sang Raja di istana tak mau menerimaku kembali, bahkan
mengusirku dan membiarkanku kedinginan, kehausan, kesepian. Karena diluar sana
tak ada selimut cinta yang hangat, air minum yang menyejukan, serta kedamaian
yang hakiki.
Yah, memang diluar sana tersaji
gemerlap cahaya, namun hampa. Sinarnya yang tak pernah menenangkan dan membuat
silau dan gelap mata. Aku rindu lampu-lampu temaram teduh seperti di istana
itu. Aku rindu nyanyian kidung khidmatnya. Aku rindu ingin bersimpuh disana,
walau aku harus menanggung rasa malu karena dulu dengan segenap keyakinanku
bahwa dunia diluar sanalah kehidupan hakiki sebenarnya. Karena dulu aku begitu
bosan dengan segala tetek bengek
aturan yang membuatku terkungkung tak bisa berbuat apa-apa. Namun waktu adalah
benar-benar hakim sejati, memberi bukti tanpa harus banyak berteori, dan karena
waktulah yang dapat membalikan keadaan yang semestinya.
Aku masih terdiam dalam posisi
sholatku, mencoba berkosentrasi penuh agar dapat merasakan kehadiran_Nya dan
berdialog dengan_Nya. Namun, masih kurasakan hampa, setelah salampun sama
sekali tak ada yang membekas di hati. Sejenak aku berfikir, mungkinkah ini
penolakannya terhadapku, yang pernah menghinanya, bahkan siap melawannya. Aku
merasa harapan lewat ritualku sia-sia. Aku hanya bisa menundukan kepala, kebingungan dan akhirnyapun
butiran-butiran halus mengalir dari kelopak mataku yang sedari tadi sempat
tertahan.
Tak seperti yang pernah kubaca dalam buku
religious yang menjelaskan bahwa pemilik istana ramah, lembut dan mau menerima
siapa saja yang datang dan sekotor apapun. Tapi mengapa tidak denganku?
pertanyaan yang mengganjal dihatiku. Apakah aku terlanjur tidak pantas untuk
menapakan kakiku dilantai istana itu? Atau ada alasan yang lain? kebingungan
yang benar-benar menderaku. Selintas terbayang masa laluku yang kelam, Yah,
akulah seorang Daun, pemabuk berat, pecandu shabu-shabu yang paling over atau
penikmat daging-daging wanita, dan masih banyak kekelaman yang aku jalani.
Apakah karena itu Tuhan?
***
2
Purwokerto yang Bimbang
Tiga minggu berlalu,
Daun
masih termenung
sendirian. Sebentar-sebentar kemudian bibirnya yang indah tersenyum. Terkenang
ia akan masa lalunya. Terbayang olehnya gambaran keluarganya yang
menyebabkannya tinggal di salah satu kost yang sederhana. Dan harus melanjutkan
di salah satu Universitas di Purwokerto. Ketika sedang asik-asiknya mengembara
dan bermain dengan masa lalunya, terdengar langkah gontai mendatanginnya.
Rizal, temannya yang juga tinggal satu kost namun berbeda kamar dengannya itu
telah berdiri disampingnya.
“Ngapain kamu Daun?”Tanya Rizal.
Daun masih tidak menjawab, ia masih
asik dengan lamunananya.
“Daun, kamu tuh kenapa kayaknya serius
banget” Tanya Rizal lagi sambil menepuk pundak temannya itu.
Daun masih tidak menjawab. Namun,
kemudian iapun menoleh. Dan ia menatap wajah teman akrabnya itu. Selang
beberapa saat kemudian, mereka beradu pandang dan akhirnya Daun angkat bicara.
“Sedang bertamasya neh,” jawabnya
singkat.
“Tamasya dalam dunia bayangan? Atau
melamun yang tidak-tidak? Kayaknya serius banget. Memang apa yang sedang kamu
pikirkan?”
“Bertamasya, ke masa lalu”
“Alah, Daun kamu ini, sok melankolis”
sambung Rizal, mencoba melucu. Namun, sedikitpun tak merubah guratan wajah
sahabatnya itu.
“Aku, tiba-tiba teringat dengan semua
yang telah aku alami. Tentang kesedihanku di pagi hari, tangisku di sore hari
dan lukaku yang tak kunjung mengering di malam-malam selanjutnya semenjak enam
tahun lalu”
“Lho, tumben kamu seperti ini Daun,
bukannya kamu sudah berjanji akan mengubur semua kenangan itu?”
“Entahlah, aku juga tidak mengerti.
Semenjak dua minggu yang lalu, kisah hidupku di masa lalu begitu membuatku
takut untuk melangkah kemasa depan”
“Maksudmu?” Tanya Rizal tak mengerti.
Lalu, Daun menceritakan tentang
pertemuannya dengan seorang gadis yang membuatnya bermalam-malam susah untuk
tidur. Perempuan yang menurutnya berbeda dengan yang lain. Perempuan yang
menurutnya sangat pantas dicintai oleh mata yang sehat dan mengerti arti
kesempurnaan dan kesungguhan arti dari kecantikan yang sebenarnya dari seorang wanita. Dan, yang membuatnya
sedih ia adalah perempuan yang mebuatnya takut mengenal akan cinta. Mengerti
akan perasaan dan mengharap akan adanya penyatuan dua hati. Karena perempuan
itu sungguh berbeda dengannya. Perempuan yang sangat solekhah. Ia mengetahui
semua itu setelah ia mencari tahu selama dua mingu belakangan ini. Info dari
teman-temannya di kampus
dan info dari segelintir orang-orang yang mengenalnya.
“Sudahlah
Daun, jangan terlalu terlena akan hal itu” nasihat Rizal setelah mendengar
cerita dari Daun.
Daun hanya tersenyum. Lalu kemudian
sebentar-sebentar melihat ke luar jendela kamarnya, yang menyajikan pemandangan
pepohonan rindang.
“Semua orang mempunyai cerita hidup
sendiri-sendiri. Janganlah pernah berkutat pada salah satu masa lalu yang kelam
hingga kamu merasa tersisihkan untuk maju melangkan meniti masa depan” nasihat
Rizal lagi. lalu Dau menoleh padanya dan
tersenyum.
***
3
Titik Awal
Perhentian pertama pada kenangan masa
laluku adalah pada seorang gadis manis, sederhana, berhidung menggoda dan
berwajah seperti kebanyakan gadis belasteran. Nama itu mampu mengubah alirah
darahku. Ia mampu meruntuhkan segenap nilai-nilai dan membalikan kehidupan yang
selama ini aku anut. Berada didekatnya seakan mampu merubah hitam menjadi
putih, dan ia seakan telah mampu memenuhi semua kebutuhanku, sungguh aku tak
butuh kedamaian dari siapa-siapa, kawan atau bahkan Tuhan sekalipun.
Bersamanya, kesepian yang selama ini menderaku telah hilang, keramaian sejati
telah aku temukan, aku benar-benar mendapatkan kedamaian yang nyata. Tapi, Ia
seperti malaikat kecil yang tak berbanding
bahkan tak boleh bersanding denganku, yang hanya manusia seutuhnya.
Kemanisan wajahnya itu, mampu menaklukan kepongahan dan kepura-puraan hidupku
sebagai manusia.
Ah, Bunga Asterina Ayudiana, memang
sebuah nama yang menurutku bukanlah hanya sederet abjad, namun sebuah nama yang
hidup dalam sebuah kejujuran. Kejujuran seorang anak manusia yang penuh kasih
dan cinta.
Mataku nanar, mengingat perjalananku
bersamanya dahulu. Perjalanan kasih yang dahulu tak pernah aku rasa,
perjalanan cinta yang sejati, kasih yang
indah dan tak pernah kutemukan maknanya.
Ia memberiku arti kedewasaan dalam memaknai cinta. Ia menuntunku untuk tidak
terjerumus dalam gaung cinta itu sendiri. Jalan yang ditempuhnya adalah suci.
Namun aku tidak pernah menyadari. Hingga kini semua tak lagi bermakana.
perjalanan yang menurutku benar-benar berbuah penyesalan Seperti hari ini, kala
aku melihat senyum manisnya.
Aku sedikit
berfikir, jika dahulu aku merengkuhnya dengan segala kerendahan dan kasih
sayang mungkin ia takan pernah pergi dariku, tak akan pernah segala rasa sakit
aku alami. Tapi semua itu telah terjadi. Bahkan dengan sengaja dulu aku
mencampakannya.
Aku mengenal Bunga pertamakali pada
saat aku semester awal menjadi mahasiswa. Saat itu, kebetulan kost dan tempat
kerjaku dekat dengan kampusnya sehingga aku sering kali melihatnya pulang dan
berangkat kuliah.
Semenjak lulus SMA aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah
disalah satu Perguruan Tinggi Negeri di Purwokerto. Dan mencoba menabur mimpi
pada indahnya kota satria. Bayang-bayang kelam masa laluku yang membuatku
hingga terdampar disini dan mampu memompa semangatku untuk tidak cengeng pada
hidup. Awalnya, aku merasa hari-hariku terasa biasa saja, karena aku hanya
menjalaninya dengan nongkrong di boleveard kampus, menjelang malam kumpul lagi
di salah satu kafe dan akhirnya menjamah minuman keras. Selain itu, aku juga
masih frustasi dengan ekonomi keluargaku. Hingga membuatku sulit berbaur dengan
teman-teman. Mereka yang serba kecukupan dan tidak perlu pusing karena harus memikirkan
dompet mereka yang kering. Hingga semua itu membuatku terpaksa harus bekerja
disalah satu warnet.
“Ah, cemen cowo gak berani minum,
pulang tidak dengan hati senang, lelaki bodoh” begitu kata teman-temanku. Walau
aku menyadari justru orang yang seperti kamilah yang begitu bodoh, merusak diri
sendiri, merajut dosa dan menyia-nyiakan masa muda tidak untuk meraih prestasi
sebanyak-banyaknya. Tapi apa boleh buat, kita adalah remaja yang kesepian, tak
punya benteng apa-apa keculai penderitaan. Hingga aku harus rela bekerja lebih
keras dan sering lembur demi mendapatkan uang lebih untuk membeli botol panas
itu. Kehidupanku pun tak jauh berbeda dengan salah satu kawanku, Rizal.
Ia adalah anak yang kurang perhatian.
Sehingga mencari kesenangan tersendiri untuk menghapus kesepian, begitu juga
denganku, dengan setumpuk masa lalu yang membuatku tidak ada pilihan lain,
kecuali menghibur
diri dengan cara seperti ini, walau kadang hati kecilku tak menerima itu, tapi
aku sudah terlanjur
menjadi Daun yang benci dengan Tuhan.
Tuhan di masa lalu dan untuk seterusnya.
Tapi, setelah pertemuanku dengannya sore itu,
hidupku terasa ada yang lain hingga
kini, walau aku yakin bertemu dengannya, pasti aku akan bertemu dengan
orang-orang yang bahagia di balik nama Tuhan. Tapi entah mengapa aku tak
peduli, hatiku yang bicara kali ini.
Sore itu, aku sedang berada di teras
kostku, bersantai sambil menikmati dawai-dawai senja. Hujan rintik jalanan pun
sunyi. Kulihat Ia berjalan
tanpa payung, dan tubuh yang menurutku butuh naungan. Sore memang membawa aroma
lain yang begitu berbeda. Ia terlihat begitu cantik diantara rintik-rintik
gerimis, bagai tersihir lalu aku memanggilnya dan kupersilahkan Ia untuk
sekedar menunggu gerimis sedikit berkawan. Semakin dekat aku memandangnya, kecantikanya semakin tampak jelas.
“Aku sering melihatmu” ucapku
mengawali perbincangan.
“Oh iyah, aku sering mondar-mandir ke
kampus. banyak kegiatan. Selain itu aku juga sering ke Rizki net” jawabnya
singkat. Ternyat ia juga sering melihatku ketika sedang bekerja menjadi
operator warnet.
Dari singkatnya perbincangan basa-basi
kami, karena langit pun telah berubah warnanya dan gerimis sedikit-demi sedikit
telah berhenti, akhirnya ia pulang. Bunga Asterina.
Mengingatkanku pada salah satu kembang yang tumbuh di Surga Firdaus. Memang
sebuah nama yang menurutku pantas untuknya. Bagi seorang gadis berjilbab.
Ibarat bidadari yang berjalan di bawah cahaya terang, menuju kerah lingkar
bulan yang akan memberikan ketenangan, setenang wajahnya yang begitu elok.
Semenjak pertemuanku di sore yang
menurutku berbeda itu, hal yang paling sering kali aku lakukan di sore hari
ketika aku tidak bekerja adalah duduk dengan sengaja diteras, kadang seperti
orang yang kebingungan karena memang tak punya alasan untuk melakukan hal itu,
kecuali satu, melihat langkah anggunnya, dan melihta senyumnya yang simpul yang
selalu membuatku terkesima. langkah yang gontai namun pasti seakan mapu
menghentikan waktu dan desiran urat nadi kaum adam, anggun lenggok tubuhnya
ketika berjalan menambah lengkap ayu wajahnya yang memang memancarkan
kaeagungan yang tak dapat kujelaskan maknyana, Ah ia memang seperti bidadari. pikirku melayang.
Hingga pada
suatu ketika kebiasaanku
diketahui olehnya. Dan semua itu menjadi awal cerita dalam hidupku.
Semenjak
sore yang berbeda itu, ternyata ceritaku tentangnya belum usai. Masih terletak
tanda koma. Kata pun bergema, mendawai dengan bahasa hati. Awan-awan yang
menggantung dilangit, menyaksikan dengan senyumnya yang merekah. Berarak
menjanjikan mimpi.
Semenjak dua minggu lalu, di sore yang
berkawan hujan. Kini, aku berjumpa lagi dengannya. Masih dengan wajah cantiknya dan senyumnya
yang menjanjikan surga keabadian. Saat aku masih dengan kebiasaanku, duduk
termenung di beranda kost. Bermain dengan angin sore, mengharap berbincang
dengan senja untuk menghilangkan penat dan bosan menunggu langkah anggunnya
melewati jalan depan kostku. Menunggu langkahnya yang bersijingkat bagai
kata-kata. Dan menari dalam sajak kehidupanku. Aku terlena dengan semua itu. Hingga
seringkali membuatku melamun.
Seperti sore ini, aku benar-benar
menari-nari dengan semua yang ada pada dirinya. Hingga aku seperti hidup dalam
bayang-bayang. Dan terbang dari dunia yang penuh kenyataan.
“Permisi”
Sapa seseorang yang tiba-tiba membuatku tergagap.
“E-e.eh iya,” Jawabku tak beraturan.
“Maaf, aku menganggumu Daun,
sebenarnya aku ingin minta tolong padamu” ucapnya dengan nada bak alunan biola dari suurga.
“Iyah, kalau bisa aku pasti akan
menolongmu” Jawabku dengan detak jantung tak beraturan, karena aku begitu grogi
bertemu denganya dengan keadaan melamun.
“Daun, kalau tidak salah dulu pernah
bilang kamu mengambil fakultas Visip?”
“Iyah benar, Bunga, lantas aku bisa
membantu apa untukmu?” tanyaku dengan wajah cerah.
“Bunga ada tugas kuliah, analisis
ekonomi politik, sebenarnya bukannya aku tidak sempat mencari buku, tapi aku
hari ini ada acara yang sangat penting” jawabnya.
“Memang materinya tentang apah?”
tanyaku, terasa mengalir pembicaraan kami.
“Tentang Teori Rent-Seeking,”
“Ok, tapi aku perlu membaca untuk bisa
menerangkan padamu, kebetulan besok
hari minggu, bagaimana kalau kita belajar bersama di kostku?” tawarku.
“Memangnya kamu tidak jaga warnet”
Tanya Bunga.
“Oh, tidak. Aku bekerja
hanya malam hari sekitar pukul Sembilan
sampai jam 2 pagi. Dan, kebetulan besok aku free jadi kita bias sharing” jawabku dengan nada penuh
harap.
“Baiklah” jawabnya dengan wajah
gurat-gurat bidadari. Jilbab hitamnya sedikit berkibar terkena angin senja.
Jemarinya membetulkan beberapa anak rambut yang menyembul nakal dari balik
jilbab hitamnya. Lalu ia pamit untuk pulang.
Benar-benar awal yang indah, pikirku
sejenak sebelum benar-benar persimpangan jalan menutup langkahnya.
***
Setelah
pertemuan keduanya itu, aku
merasakan kegelisahan yang menderu aku
menjadi tidak tenang beraktivitas, padahal, ada sederet acara yang harus aku ikuti, tapi kini yang bisa aku kerjakan
hanya malas-malasan di kamar, menyanyi lagu-lagu mellow, terkadang
senyum-senyum sendiri.
“Daun, kamu ini kenapa? Akhir-akhir
ini kamu aneh” Tanya Rizal teman satu kostnya yang memang mengamati kelakuannya
akhir-akhir ini.
“Aku sedang memikirkan bola mata yang
begitu indah” jawabku
Ingin ku belai wajahmu yang cantik
Agar kau tahu kau memang cantik
Ingin ku rebut bola matamu yang indah
Agar kau tahu
memang benar-benar indah bola matamu.
“Oalah, dasar koe bocah playboy” jawab
Rizal dengan ngapak Banyumasnya.
“Yang ini lain Zal, Rena, Indah, Rindu,
semuanya lewat”Jawab Daun dengan nada semangat. Memang Daun semenjak SMA terkenal laki-laki playboy.
“Alah, setiap kali kamu mendekati cw pasti
alasane gitu, basi kamulah” jawab Rizal singkat. Lalu mereka berpandangan dan akhirnya,
“Ha-ha-ha”
mereka tertawa bersama.
“Mungkin,”
lanjut Daun. “Ini
adalah perhentian terakhir untuk aku
berkawan dengan semua penderitaanku. Aku telah lelah dengan semua itu.
Aku telah terlalu lama tertidur dalam kenisataan dan berujung nestapa yang
membuatku kehilangan orang-orang yang aku kasihi. Aku yakin, jika aku
dengannya, istana yang akan tercipta melebihi indah dan terangnya kastil diatas
bulan, tak seperti istana yang di bangun Ayahku”
Rizal
hanya diam. Mulutnya terkatup. Tak ada sedikitpun rangkaian kata yang hendak ia
lontarkan. Ia begitu mengerti, hanya diamlah yang harus ia lakukan ketika
sahabatnya sedang merasakan sakit itu lagi. Ia hanya mampu memahami dan
menemaninya.
“Zal,
ia begitu lain” lanjut Daun. Lalu mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Wahai
engkau gadisku,
Kuselipkan
kau di jajaran bulu mataku
Saat
hidungmu mencari aromaku
Dan
meremukan sendi-sendi tulangku, hingga berkeping-keping
Terpanggang
di bara api, panas rasa yang kian menggeliat.
Andai
engkau tahu, rasaku lebih ganas
dari
badai yang menghantam pesisirmu
kuselipkan
kau lekat-lekat di jajaran bulu mataku
saat
kau persilahkan untuk aku selipkan rumahmu di hatiku
jiwaku
terbangun, tersentak kerinduan.
Kini,
benar-benar aku selipkan kau di jajaran bulu mataku
Agar
setiap ku berkedip mampu melihatmu, walau dalam keremangan
Dan
di ujung samudra sekalipun yang akan aku sebrangi demi namanmu
Suara
dentang jarum jam yang kini menunjukan pukul 16.00, memporak-porandakan
rangkaian lamunan mereka. Akhirnya, mereka beranjak ke kamar masing-masing
untuk menyiapakan alat-alat yang harus mereka bawa. Pergi ke Gor dan mengasah
kelincahan motor mereka. Masih menjadi kegiatan rutin di sore hari menjelang
petang.
***
pagi
itu, angin berhembus agak kencang. Matahari terlihat sedikit redup. Tertutup
awan hitam yang menggelayut menyelimuti sebagian wajah kota purwokerto. Sinarnya
yang menyembul dari geseran-geseran awan terasa sedikit menghangatkan. Menyapa
setiap insan yang mula sibuk
dengan rutinitas masing-masing.
Bunga
masih sibuk dengan setumpukan
baju yang kini ada di tangan kananya. Setelah sebentar mematut diri di depan
cermin, akhirnya pilihannya jatuh pada baju biru muda yang begitu cerah. Ia
berdandan di depan cermin kamarnya dan memoles wajahnya dengan kuas-kuas
kecantikan. Membasahi bibirnya dengan lipe
ice merah muda, dan memanjakan kulitnya dengan han and body lotion serta
memberikan vitamin pada rambutnya. Ia
merasa sedikit lebih fresh hari ini. Lalu, memandang buku-buku yang akan ia
bawa. Dan sedikit termenung ketika melihat buku berjudul Ekonomi Politik.
Sedikit teringat tentang sesorang yang akan ia temui hari ini.
Yah, Daun. Empat huruf yang
tiba-tiba muncul dan memberikan warna baru dalam kehidupan rutin Bunga. Mungkin
seperti perasaan Tinkerbell tokoh peri dalam
dongeng anak-anak, saat Peter Pan hadir. Namun, cepat-cepat ia tepis
pikirannya itu, dan mengingatkan dirinya bahwa ia akan sepenuhnya belajar dari mahasiswa beda fakultas
dan Universitas itu. Agar ia mampu menyerap ilmu dari dunia yang berbeda.
Benar-benar wanita yang cerdas.
“Aku siap untuk mengerjakan tugas” ucapnya
lirih, lalu melangkah menuju kost teman barunya, Daun. Dengan sengaja tanpa
mengirimnya sms terlebih dahulu, bahwa ia akan ketempatnya sepagi ini.
***
Di
ruang yang berukuran 4x5 meter, Daun dengan gelisah mempersiapkan tata ruang
seindah mungkin, lalu mematut diri agar kelihatan istimewa dan tidak kelihatan
lusuh karena mata merahnya akibat semalaman tak mampu memejamkan mata.
Fikirannya terus melayang, bersama keindahan taman yang berhiaskan bunga-bunga, melayang
bersama rasa yang terus mengusiknya selama dua hari ini.
Sepuluh
menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hingga lima puluh menit berlalu, Daun
gelisah menunggu diruang tamu kosnya. Disamping kanan-kiri terdapat banyak
pohon mangga. Juga pohon-pohon pisang. Lurus tempat ia duduk, terdapat pohon
belimbing yang buahnya mulai berjatuhan.
Tempat yang begitu sejuk, pertanda sang pemilik kost menyukai buah-buahan.
Ia
gelisah, sambil menunggu. Ia membolak-balik majalah otomotifnya yang berisi model-model
motor, dan segala asesorisnya, karena ia memang begitu menyukai segala sesuatu
yang berhubungan
dengan motor, sehingga wajar saja kalau ia menjadi tracker yang handal, juara
balap diantara teman-temannya yang sama
menyukai track.
Tapi
yang ditunggu tidak datang juga, lalu ia menghempaskan tubuhnya di sofa,
mencoba mengusir gelisahnya. Berdiri, mondar-mandir lalu duduk lagi, membuka lembar-lembar yang sebenarnya telah
ia selesaikan. Hatinya terus menyimpan kelindan, tak tersa kantuk telah
menjamahnya, hingga ia tertidur pulas
disofa.
“Tok-Tok,
permisi” Bunga mencoba lagi mengetuk pintu kost Daun setelah tiga kali mengucap
salam dan mengetuk namun tak ada tanda-tanda sang pemilik akan membukanya. Lima
menit hingga 10 menit Bunga menunggu dengan setia didepan gagang pintu, dan
akhirnya,
“Bunga,
maaf yah, tadi aku ketiduran”ucap Daun dengan muka malu-malu.
“Iyah,
tak mengapa, tadi Bunga mampir kos temen dulu, tapi walau telat masih
diperbolehkan masuk kan?” Tanya Bunga yang sedari tadi berdiri. Lalu dengan
wajah memerah dan masih tergagap Daun mempersilahkannya masuk.
“Daun,
kost mu rapi sekali” basa-basi Bunga mengawali pembicaraan.
Daun
hanya tersenyum, lalu mereka mulai membuka buku dan mengerjakan Tugas. Dan
sederet demi sederet Daun
menjelaskan materi yang diminta Bunga.
“Bunga,
jadi deskripsi mengenai teori Rent-Seeking itu teori pilihan publik yang
dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu ekonomi klasik kedalam
bidang politik.”
“Oh,
gitu?” Bunga hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Daun yang begitu
tertata,
“Kalau
menurutku dalam kasus tersebut, konsep pendapatan (Income)
ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente, karena konsep ini sangat
penting bagi ilmu ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pengusaha,
politisi dan kelompok kepentingan” panjang lebar Daun menjelaskan.
“Iyah,
aku bisa memahami penjelasanmu,” tanggap Bunga, karena memang otaknya lumayan
jenius.
“Bunga,”
panggil Daun, karena Bunga sibuk
sendiri dengan laptopnya, merangkai paragraph-demi paragraph untuk
menyelesaikan makalahnya. Lalu Bunga menatapnya, dan tanpa sengaja mereka
beradu tatap mata.
“Aku
memang benar-benar harus mengakui, bahwa mata yang aku tatap bukanlah mata dari perempuan biasa,” batin
Daun,
Daun
punya, bahkan sudah menginventaris seluruh jenis perempuan cantik. Tapi
sepertinya, ia kali ini harus mempunyai kategori lain. Biasanya, perempuan yang
cantik , cantik saja, tidak pintar, dan pintar juga kurang cantik, ia tidak
percaya bahwa ada perempuan yang mempunyai keduanya, tapi pagi ini, ia memang
harus yakin.
“Daun,
kok jadi melamun?” tegur Bunga, sambil tersenyum, memperlihatkan gigi gingsul
kecilnya. Semakin menatapnya, Daun semakin mengakui bahwa perempuan yang kini
ada di hadapannya
memang cantik, ada beberapa tahi lalat yang menghias langsat kulitnya, jerawat
mungil menyembul menjadi bintang penghias dagunya yang membuatnya semakin
manis.
Lima
puluh menit berlalu, akhirnya Bunga menyelesaikan sebagian makalahnya, berkat
bantuan Daun.
“Oke,
Daun terimakasih yah,” ucap Bunga dengan senyum simpul dan syarat kekaguman,
“Sama-sama,
maaf aku tidak bisa membantu banyak,” jawabnya merendah, dan akhirnya mereka
pun berpisah, dengan senyum dihati masing-masing, dengan hati Daun yang berbunga. Daun berharap
putik-putik yang menghiasinya nanti akan menambah keindahan dunianya. Dunia
yang kini diliputi rasa cinta padannya.
4
Kekaguman
Hidup
Butuh alasan, begitu juga dengan cinta
Hubunganku
dengan Bunga semakin erat, berawal dari tugas-tugas yang kita kerjakan bersama
atau hanya basa-basi aku menyapanya ketika ia lewat depan kostku, karena aku
memang menunggunya. Semenjak itu, aku sering terlibat dalam diskusi seru
dengannya tentang banyak hal, entah tentang ekonomi, sastra, ataupun tentang
eksistensi Tuhan. Ia juga sering bercerita tentang impian masa kecilnya ingin
menjadi penulis seperti kahlil Gibran, dan seperti Robert Langdon dalam film
Davinci Kode.
Walaupun
berbeda kampus, aku dan Bunga sering bertemu, pada sore hari sehabis ia kuliah.
Duduk dibawah rindangnya pohon di
boulevard kampus, atau aku juga sering menemaninya ke gramedia untuk melihat
buku-uku baru dan sekedar baca-baca. Sungguh cw yang aneh bagiku, tempat
tongkrongannya saja perpus dan gramedia, tidak seperti wanita-wanita yang
kukenal dulu, hanya belanja dan belanja, “agar fashionable” begitu kata
mereka.
“Bunga,
menurutku kamu gadis yang sangat unik, disaat teman-teman berebut model pakaian
baru, model rambut baru, kamu masih nyante dengan novel dan buku-buku puisi”
“Hem,
karena aku lebih menyukai devinisi
cantik dan aplikasi bahagia pada zaman batu” jawabnya dengan senyum yang
syarat keindahan.
“Aku
tak begitu paham dengan maksudmu” tanyaku kebingungan
Lalu
ia menjelaskan dengan senyum simpul dan bait kata-kata yang membuatku semakin
mengaguminya. Bahwa bahagia
adalah ketika kita dapat memenuhi kehendak yang dicintai dan kita bisa
mencintai siapa yang harus dicintai.
Lalu cantik adalah
ketika kita dapat memberi gaun yang indah bagi hati , bukan tubuh, sering
sekali kita terlena dan menhghabiskan banyak waktu untuk membuatnya kelihatan
menarik, tapi sebenarnya ia tak pernah setia dengan diri kita, karena kalu kita
mati, ia akan meninggalkan kita, tapi seandainya kita memberi makan yang lezat
dan kesenangan pada hati kita, maka kita adalah sebaik-baik orang, karena ia
yang akan mengikuti kita kemanapun kita melangkah.
Ah,
Bunga. Gadis itu seperti bidadari bagiku. Kehadiranya mampu menghadirkan
kesejukan dan kedamaian dalam diriku yang gersang, ia ibarat lelehan salju yang
membekukan magma dalam relung hatiku. Bunga, seperti pujangga cinta yang
datang, yang mampu mebelai indah telaga di kalbuku, aku benar-benar jatuh hati
padanya
“Aku
benar-benar tertarik padanya, dan aku bersumpah untuk mendapatkannya” batin
Daun.
Dari
balik senyumu merekah, sorot mukamu membuatku terjamah, namun akupun tiada
resah karena bunga
hatikupun terus meruah, oh andai aku dapat terbang akan kurobek dadamu yang usang,
akan kutarik dan kubawa hatimu, akan kubelai, kupatrikan namaku disana, lalu
kubasuh hatimu dengan butir ketulusan, agar tiada apapun disana
“Woi,
nglamun ajah loe Daun kerjaanya,” suara Rizal
bagai petir menyambar memporak-porandakan seisi taman, taman hatinya dalam
bayangan.
“Zal,
kalau mau ngagetin bilang-bilang dong, jadi aku kan gak shock” protes Daun
dengan bersungut-sungut.
“lagiyan
elo, ngalamun mulu, kayak gak ada kerjaan saja, diajak konkow sama Andre”
“Ah,
males, paling dia mau ngajakin minum, aku kan udah bilang lagi mau menghindari”
jawabnya. Lalu rizal tertawa terbahak-bahak, melihat si Dewa botol panas eh
nyablak menghindari.
“Gak
syaraf kan Daun?” Tanya Rizal,
“Serius”
jawabnya, Daun pergi menuju kamarnya. Lalu, terdiam dalam hening, matanya
menatap kerlip bintang dalam malam pekat itu. Lalu ia bicara pada
bintang-bintang yang menggantung pada
atap langit rindu, dan sapuan angin malam yang sengaja meledek dedaunan.
Ia,
laksana cermin dalam resonansi jiwa, yang menggetarkan palung hati hingga
keraga, dan meghantarkan kehangatan bara dari bekunya hati sang pengelana, kesetiaan
agung pada dera kerinduan, laksana pantai menanti ombak dalam pelukan yang
teredam dalamnya kebisuan.
***
Daun,
meminta waktu pada Bunga. Sedikit memaksa, ia meminta Bunga untuk mencari waktu
disela kesibukannya.
Ia harus ungkapkan sesuatu yang penting. Perasaan yang membuatnya gelisah,
lebih dari sorot pancaran bola mata Bunga yang sempat membuatnya kelindan
dimalam hari. Ia ingin menatahkan perasaannya pada Bunga.
Entah, bukannya Bunga tidak
tahu akan perasaan ini. Ia dapat menagkap sinyal-sinyal ketertarikan dariku
dengan baik. Ia pun sebenarnya jatuh hati padaku saat obrolan pertama kami
dulu. Namun, entah mengapa, seakan ada tangan halus yang menahan langkah Bunga
untuk lebih meningkatkan status hubungannya denganku.
Setiap jengkal langkah kami seakan menambah satu meter tinggi tembok baja di
depan kami. Tapi, aku tetap akan berusaha untuk mendapatkan hatinya dan merebut
kehawatirannya, untuk menata hidup denganku. Seperti pagi ini, ketika aku
tenggelam dalam bola matanya, saat kita bertemu di taman Kampusku.
“Bunga,
aku ingin kita tetap bersama” Daun berkata diiringi sapuan angin yang
mengibarkan jilbab pink yang Bunga kenakan, semakin menambah ayu wajahnya.
Bunga
tergelak. Ia tahu, itu bahasa kiasan.
“Hey.
Ini terlalu tiba-tiba” jawab Bunga, walau ia juga memendam perasaan yang sama.
Ada sebentuk kehawatiran yang menyeruak dipalung hatinya. Tapi Daun, tak boleh
tahu. Jika ia tahu pasti ia akan menertawakannya dan menganggapnya terlalu
mistis terhadap cinta, dan tak mampu menerapkan problem solving teori
kecemasan.
“Kenapa
Bunga? Apa aku salah?”
“Tidak,
kamu tidak salah, hanya untuk saat ini menurutku sudah cukup” Bunga berusaha
tak terlihat salah tingkah. Ia mengaduk-aduk jus yang baru saja ia beli di
kantin kampus.
“Bunga,
aku tak ingin melewatkanmu, aku ingin membuatmu yakin bahwa aku tidak sekedar
main-main dengan rasaku” tegas Daun, penuh keyakinan.
Bunga
melenguh panjang, Ia pun sebenarnya punya rasa yang sama dengannya. Ia hanya
ragu, karena ia masih memegang teguh prinsipnya, takan pernah menyapa cinta
sebelum ia merengkuh cita-citanya.
“Bunga,
jiwamu telah memeluk jiwaku, jadi aku akan tetap menunggumu” lanjutnya dengan
tutur halus.
Daun
melenguh panjang. Menatap Bunga yang tampak acuh atas perasaanya. Gadisnya itu
malah mengajaknya berbincang tentang keinginannya berkunjung ke pulau Buru.
Melihat dari dekat perempuan jawa yang dulu sempat dijadikan gundik oleh
Belanda. Yang ditinggalkan begitu saja, setelah kasus Naghasaki dan Hiroshima.
Bunga begitu simpati atas perempuan-perempuan itu, yang barangkali sudah
dianggap lenyap oleh keluarga asli mereka. Mereka diperistri oleh penduduk
asli. Dipaksa mematuhi dan mengikuti kultur mereka, dan beranak pinak disana.
Bahkan perempuan-perempuan itu dilarang menggunakan bahasa Ibu mereka sendiri.
Daun
tak menanggapi. Ia tahu, Bunga hanya berusaha Daun tak menanggapi. Ia
tahu, Bunga hanya berusaha menutupi
gejolak hatinya. Ia tahu, Bunga
sebenarnya tak ingin membicarakan hal itu. Bunga hanya ingin agar Ia lupa pada
hal yang baru saja dikatakannya. Lalu, Daun akhirnya menanggapi, bahwa pergi ke
pulau Buru bukanlah ide yang cerdas, karena terlalu berbahya.
Bunga
mulai merajuk. Lalu ia menatap Daun dengan mata yang syarat keraguan.
“Daun,
aku datang kekota Satria ini, hanyalah berbekal mimpi”
Daun menatap mata bersinar itu, ia
hanya mendengarkan cerita mimpi-mimpi Bunga, bahwa Ia ingin seperti Kahlil
Gibran, Manusia yang sering disebut pejuang kemanusiaan yang dikaruniai Tuhan
dengan kamampuan bahasa tulis yang luar biasa, ia mampu mengolah isu-isu
sederhana menjadi sebuah karya yang menarik dibaca. Bunga juga ingin seperti
Aminah Qudsy dalam karya harapan cinta dan kematian kahlil Gibran.
Wanita yang begitu sabar dan penuh cinta.
“Bunga, aku mengerti hal itu, aku akan
selalu setia menunggumu walau dalam waktu yang lama sekalipun, walau dalam
resah dan perjalanan aku menemukan kesulitan ibarat berjalan samapai ke daerah jantung lautan pasir
sekalipun, aku tetap menantimu dengan rasaku, yang akan menciptakan sebongkah
istana untukmu” ucap Daun
Bunga hanya tersenyum kebingungan,
lalu mengajakanya pulang dengan alasan ada latihan kepenulisan. Lalu mereka
meninggalkan taman kampus itu.
“Mengapa rasanya langkah kita
seperti pergi meningalkan keindahan menuju selubung malam, tanpa menyalakan
cahaya dalam tatap mata atau dalam bingkai hati sekecil pun” batin Daun
sambil memandang langkah Bunga, yang ia yakin menyimpan seribu rahasia.
***
5
CINTA DUA MATA
Tiga bulan telah berlalu. Setelah
peristiwa di taman kampus, yang menurutku penuh penantian. Hubunganku dengan Bungapun
semakin dekat. Bahkan, walau ia tidak mau menerima rasaku untuk bersatu dengan
kesungguhan rasanya, tapi tak membuatnya berubah atau bahkan menjauhiku.
Sikapnya yang lemah lembut dan menghargai orang itulah yang membuatku semakin
tidak mampu memahami sesuatu tentang kehadirannya, serta ketidak mampuanku untuk
menggambarkannya dalam kata-kata duniawi, dia menurutku memang seperti jelmaan bunga dari firdaus-Nya,
seperti Bidadari yang tak bersayap.
Sabtu yang cerah, secerah sambutan
keluarga Bunga saat aku sengaja datang kerumahnya. Sebenarnya ini bukanlah kedatanganku
untuk pertama kalinya, tapi sudah lebih dari tiga kali aku datang dan menyapa
keluarganya. Hingga aku merasa semakin dekat saja dengan mereka.
Keluarga Bunga adalah keluarga yang
bahagia, membuatku miris dan nyeri karena aku telah kehilangan semua itu.
Keluarga Bunga adalah keluarga yang taat beragama, pandai bersosialisasi dengan
masyarakat, serta keluarga yang dermawan dan gemar menyantuni anak yatim. Yah,
itu semua terlihat dari sosok Ibu yang begitu rajin ke masjid walau di sela kesibukan sekalipun, yah
keluarga Bunga memang sempurna. Sering aku diajak oleh Ayah Bunga menghadiri
acara-acara yang berhubungan
dengan kegiatan Islam, seperti pengajian, bahkan ketika hari jum’at aku datang
kerumahnya, Ayahnya selalu mengajaku shalat jum’at. Tapi aku hanya bertahan
sebentar dengan keadan seperti itu, walau aku tidak menafikan ada sebongkah
kebahagiaan yang bermain di dalamnya. Tapi, aku sudah terlanjur benci pada
Tuhan, aku sudah membuang jauh-jauh pikiranku tentang Tuhan, yang menurutku
hanya sebuah nama, tanpa bukti yang jelas. Seperti ketika aku butuh
pertolongan_Nya Ia selalu acuh. Sehingga aku benar-benar meninggalkan jiwa
religiku dan menggadaikan imanku pada langit.
Ketika, aku berniat meninggalkan
Bunga, justru ia jujur kalau ia mencintaiku dan bersedia menjadi bidadari dalam
hidupku. Aku tak bisa memilih, antara cinta dan kebencianku pada agama.
Sehingga pada suau hari Ibunya mendekatiku.
“Daun, sini Ibu ingin bicara sama
kamu” panggil Ibu Bunga saat aku duduk di ruang tengah dan mengajaku bicara
dari hati ke hati di taman belakang.
“Ya, Bu ada apa?” tanyaku
Ibu
Bunga tersenyum padaku dan mengajaku duduk disebelahnya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Bunga?”
tanyanya membuatku bergemuruh tiba-tiba, karena aku sudah menyangka pasti ada
beberapa tuntutan yang harus aku penuhi, kembali pada agama, dan mengakui
Tuhan. Benar-benar hal yang tak bisa kulakukan karena kebencianku telah melumut
pada_Nya.
Lidahku terasa kelu dan seakan tak mau
diajak untuk merangkai kata, sehingga aku hanya tersenyum, senyum yang syarat
akan luka masa lalu.
“Sudah, jangan malu-malu, Ibu juga
pernah muda, dan sepertinya Bunga juga sangat suka padamu” lanjut Ibu Bunga
dengan senyum keanggunan.
“Iyah Bu, saya memang sangat
mencintainya” jawabku
dengan wajah tertunduk. Lalu, kulihat ia tersenyum. Aku tahu lampu hijau telah
nyala, namun aku justru semakin ragu untuk melanjutkannya.
“Ibu, hanya berpesan, jadilah kamu
imam yang sempurna untuknya, karena Bunga adalah gadis yang sederhana, dan
sangat taat pada Tuhan” mendengar kata-kata itu, kepalaku bagai tersambar
petir, hancur dan berantakan, mengapa justru aku mencintai wanita seperti Ibuku
dahulu yang begitu taat menjalankan lima waktunya, tapi itu telah berlalu
semenjak malam yang kelam itu. Lalu setelah berbicara panjang lebar dengan Ibu
Bunga, pembicaraan yang menurutku menjadi pisau pemisah tali antara aku dan
Bunga, yang membuatku semakin nanar, lalu aku pamit untuk pulang.
Dalam
perjalanan menembus malam, tak henti-hentinya aku memutar isi kepalaku untuk
mencerna sejernih mungkin permintaan Ibu Bunga. Aku memang begitu mencintai
Bunga, bahkan melebihi hidupku untuk saat ini. karena ia, taman hatiku yang
sempat gersang tersiram kembali. Namun, aku juga tak kuasa menerima permintaan
Ibunya, bahwa aku harus bisa seperti mereka. Kenapa di dunia ini harus ada
agama.
“Bukankah jika kita tidak memandang
berbagai agama itu, kita akan mendapati diri kita bersatu dan menikmati
kepercayaan dalam rangkuman persaudaraan” batinku gundah. Lalu, dengan jiwa
kelindan aku menerobos malam.
***
6
Convertation
Terdiam
merenung sendu, bersenandung rindu,
terbayang perjalanan waktu sebuah kisah masa lalu, tak ada lagi nyanyian surga,
tak ada lagi pelipur lara, tak ada lagi dalam jiwa, hanya ada bintang yang
merengek pada malam penuh derita, hanya ada langit yang berceceran nanah luka,
seakan membisik, inilah nafas kehidupanku.
“Woi,
Daun, kenapa kamu hanya melamun saja, tidak ingin latihan? Eh balap di sirkuit
kenjeran Surabaya tinggal sebentar lagi, mana semangatmu” suara Kak Rai
membuyarkan rangkaian fikirku.
Kak Rai adalah salah satu Rider
terhebat diantara kita, ia begitu menggilai olahraga dari Eropa yang diciptakan oleh Ayrton Senna itu. Ia yang
selalu mengajari kami latihan dan menjadi pompa semangat dikala kami tidak minat
latihan atau kebanyakan main-main saja. Menurutnya, olahraga termasuk balap
motor adalah suatu yang harus diawalai dengan kesungguhan. Ia adalah seorang
pembalap yang begitu handal. Beberapa perlombaan seperti Road Racing,
Circuit Racing, Classic Racing, Motokross telah ia ikuti hingga kini salah
satu keinginannya yang belum terpenuhi mengikuti Trial Motor.
Selain menjadi pelatih kami, Kak Rai
juga menjadi tempat keluh-kesah kawan-kawanku. Begitu pula denganku.
“Engga, Kak, aku hanya sedang menatap langit
saja” jawabku ngasal saat ia menegurku sedang bengong,
“Kamu ini kenapa Daun?” tanyanya
penasaran, mungkin bisa membaca setiap kedip mataku yang syarat kesedihan , dan tatapanku yang kosong.
“Ok. Kalau tidak apa-apa ayo mulai
latihan, kasihan motormu dicuekin” lanjut Ka Rai, lalu aku bangun dari tempatku
duduk dan menuju motor Yamaha Jupiter Z
2009 yang akan aku pakai untuk balap
Road race di sirkuit kenjeran Surabaya nanti.
Motor itu, hasil permintaanku pada
Ayahku enam bulan lalu, setelah sebelumnya aku memakai motor kelas MP4 atau
Bebek 4-Tak Tune Up 110CC pemula. yang
harganya tidak cukup jauh, namun karena model yang sudah lewat dan tergantikan
model itu, aku langsung meminta ganti. Alasan utamaku memilih model baru itu
karena aku begitu menyukai sepesifikasi teknisnya, dengan Karburator, mikuni
sudco 24MM. Noken as, custom durasi 227 derajat. Knalpot, YY Pang, Piston,
TDr 52MM, CDI Rextor Xtreme, Ban depan FDR 215.60x17 dan belakang 250.60x17.
Benar-benar sempurna fikirku. Itupun harus dengan perjuangan panjang, berantem dengan ibu dan terpaksa
harus minggat dari rumah. Bertengkar dan membuka kepingan masa lalu. Tapi aku
tak bisa apa-apa, Karena dengan minum, menelan pil serta bercumbu dengan wanita
serta track menjadi pelengkapnya, terasa bermakna kehidupanku. Tangan -tangan
belaian Ibu sudah tak berarti lagi, sabdanya bagai suara lalat yang
membisingkan telingaku.
“Glubrak”
“Kak Rai, Daun terjatuh,” teriak
Rizal, yang memang ia lawan balapku sore ini. Lalu ia berlari seusai memarkir motornya
di dekat tempatku terkapar.
“Daun, kau tidak apa-apa?” Tanya Kak Rai panik.
Aku hanya
menggeleng, karena menahan pusing dan perih di lenganku. Sebenarnya luka itu
tidak seberapa karena luka di hatikulah yang menyebabkan aku tidak konsentrasi
dan membuat pandanganku kabur. Lalu Rizal memapahku ke Gravel Gor Satria. Aku
mencoba mengatur nafas. Sirkulasi oksigen yang masuk secara perlahan memulihkan
stamina, tetapi aku tidak meneruskan latihan, hanya duduk di pinggir dan
melihat Ka Rai dan kawan-kawan lain latihan hingga selesai. Aku sedang
membereskan Wearpack, dan Racing Glove ketika Ka Rai datang
mendekatiku.
“Ka Rai,” aku tersenyum, sambil
memegangi lengan tanganku yang masih sakit.
“Daun, lain kali hati-hati” Ka Rai,
mengajaku bicara dan memberi isyarat dengan jemarinya agar aku mengikutinya
duduk. Ka Rai, selain pelatih motor kami
yang paling hebat, dia juga orang yang paling akrab denganku dan Rizal. Ia
selalu mengajari kami tehnik balap motor yang seportif dan menghargai lawan,
menghindari curang dan mematikan lawan dengan cara yang tidak seharusnya.
“Daun, Hidup itu seperti Racing
Line” ucapnya, aku mencoba mendengarkan dengan seksama dan sedikit bisa
mencerna maksud Kak Rai bahwa jika seseorang Rider mampu melewati jalur balap
dengan sempurna dan hati-hati, serta tidak terlena di Hairpin circuit
dan mampu menyeimbangkan berapa kecepatan yang harus ia ambil dalam menempuh
Racing Line dan hairpin,
pasti Ia akan menjadi pemenang dan Rider yang sesunggunhnya. Begitu pula
dengan manusia, jika ia mampu menghadapi setiap liku dalam perjalannya,
menghindari setiap lubang dan mampu menyeimbangkan gerak tubuhnya ketika ia
akan belok, maka ia akan sampai pada tujuan terakhirnya, dengan indah.
“Ayo, semangatlah Daun, Ingat Racing
Is in your Blood” ucapnya. Aku hanya diam dan tak berani menantap
matanya.
“Pertandingan ke Sirkuit Kenjeran
Surabaya tinggal sebentar lagi, mana
semangatmu, akhir-akhir ini kamu begitu terlihat kaku mengendalikan motormu dan
menyeimbangkan tubuhmu,” lanjut kak Rai, aku masih diam, karena sebenarnya aku
malu sampai ditegur seperti itu. Kak Rai begitu perhatian, dan begitu bangga
padaku. Aku tahu, walaupun tidak pernah secara lisan kak Rai memujiku, tapi aku
adalah salah satu Rider kebanggaannya, itu terlihat setiap ada even aku selalu
yang menjadi pilihan utamanya
“Maafkan Aku, ka” jawabku lirih.
“Ceritakan
padaku, sebenarnya ada apa di hatimu, sampai kamu lemah begini” tanyanya dengan
muka serius.
“Ka, walaupun aku cukup mahir dalam
melintasi hairpin, u- turn, tapi aku juga manusia yang justru kadang tak
mampu menguasai kelokan arah hati” jawabku,
“Tapi kamu bisa melakukan hal itu,
manusia yang bijaksanalah yang mampu mengarahkan hatinya hendak kemana, serta
akal yang sehat untuk mengikuti arah hati dengan mempertimbangkan segala
konsekuensinya, agar apa yang ia terima menjadi logis untuk di syukuri atau
menjadi bahan instropeksi untuk dirinya”
“Daun, sebenarnya apa yang sedang
berkecamuk dalam hati dan pikiranmu adalah cobaan untuk menunjukan eksistensimu
sebagai manusia seutuhnya, coba katakan apa yang tidak bisa kau hadapi dan
tidak mampu kau cerna dengan akal sehat dan hatimu?” kak Rai mencoba menatap
lurus bola mataku, aku tercekat tak
kuasa membalas tatapan matanya. Tiba-tiba tetrlintas wajah Bunga dalam
pikiranku .
“Kak Rai, seberapa besarkah kesempatan
orang bisa memilih dalam hidupnya?”
“Maksudmu?”
“Apakah kita bisa memilih dari rahim
sipakah kita dilahirkan, dari manakah asal kita, serupawan apa wajah kita, lalu
secerdas apakah otak kita, lalu siapakah yang akan di persalahkan dalam
pengaturan ini kak? Jika memang Tuhan punya rencana yang memang tidak kita
inginkan dapatkah kita menawar segala keputusannya?”
Kak Rai lama terdiam, mencoba mencerna arah fikiran
Rider andalannya.
“Apakah ikan pernah hidup di darat?”
Aku terdiam, tidak mengerti arah
perkataan Kak Rai.
“Daun,
pernahkah kamu melihat gunung protes ketika ia diciptakan harus menyimpan lahar
yang dapat membunuh manusia dan merusak lahannya? apa kamu pernah melihat hujan
keluar dari bumi lalu menyirami langit? Ikan, hujan, matahari, angin dan langit
serta semua yang ada di semseta ini setia pada hakikatnya. Matahari tidak
pernah protes, mengapa harus menerangi
bumi setiap hari, mengapa bulan harus muncul ketika gelap, mengapa bintang
harus menjadi penghias malam, mereka tidak pernah protes, mereka senantiasa
setia pada hakikatnya. Begitu juga dirimu, Daun, kamu diciptakan dengan segala
takdir-takdirmu. Dirimu sebagai manusia bukannya tidak mempunyai hak memilih,
bahkan, hidupmu sendiri pada hakikatnya adalah pilihan.”
Aku manggut-manggut mendengarkan
penejelasan kak Rai. Sedikit
memahami. Ia memang benar bahwa
hidup ini memanglah merupakan sebuah pilihan antara baik dan buruk, antara jalan Tuhan dan jalan syetan, antara
surga dan neraka, antara ya atau tidak, antara maju atau mundur, bahkan
menurutnya hidup adalah kumpulan proses memilih.
“Tidak ada yang salah dengan hidup
kita, seandainya kita dilahirkan dengan
buta, tuli atau cacat fisik lainnya, bahkan dilahirkan dari rahim
seorang pelacur sekalipun, kita tidak boleh menyalahkan hidup. Hidup tidak
pernah salah. Justru ketika kita berfikir hidup kita salah, disitulah letak
kesalahan hidup, selalu menyalahkan dan menyalahkan”
Aku masih menyimak, mencoba
menguraikan satu persatu ucapan kak Rai yang begitu bijaksana, sehingga tidak
salah ia menjadi panutan diantara kita.
“Matamu menyimpan cerita yang berujung
kegundahan Daun, tidak ada yang bisa menolongmu, kecuali keyakinan dalam hatimu
sendiri, bahwa semua akan bisa diatasi”
“Justru saat ini kak, hati saya tak
punya keyakinan dan kemantapan. Semua telah limbung sejak malam itu hingga hari
ini, apakah selamanya hati bisa dijadikan sebagai panutan, apakah suara hati
yang paling benar, ataukah hati selalu menyediakan jawaban atas sebuah
kegundahan, atau, bahkan justru sebaliknya hati adalah pusat persoalan hidup
kita?”
“Daun, perlu kau ingat, sebuah perkara
akan menjadi mudah hanya dengan seulas senyum dari orang yang hatinya bersih
serta biasa menghiasinya dengan kejujuran, karena hati kitalah yang menjadi
cerminan diri kita. Layaknya sebuah cermin, jika setiap hari kau bersihkan
dengan tishu basah yang harum dan membuatnya mengkilap, ia akan memberikan
pantulan yang bening dan bersih, tapi jika kamu biarkan ia berkarat dan kotor,
ia akan memberikan pantulan yang buram. Tinggal kamu yang memilih, akan
membersihkan dan menjaga hatimu atau membiarkan berkarat”
“Tapi kak, bagaimana cara menjaganya
agar tetap bening dan tidak berkarat?”tanyaku kebingungan.
“Daun, Daun, darah yang mengaliri
tubuhmu memang masih muda dan menggelora,” jawab kak Rai dengan tawa kecil
sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Ikhlas dan bersukur, serta jangan
pernah biarkan ada tempat-tempat gelap dalam perjalananmu, sebab cahaya telah
tersedia tinggal kamu bisa menyalakannya pelita itu atau tidak, serta bisa
memasukanya kedalam hati atau tidak sehingga hatimu senantiasa bersinar dan
memantulkan kesetiap inci tubuhmu, terutama kedalam fikiranmu”
Aku semakin pusing, rasa di dalam
dadaku semakin menggelayut dan menyesakan dada. Hubunganku dengan Bunga semakin dekat. Aku
semakin merasa tersiksa, pada setiap momen pertemuanku dengannya, aku sungguh
ingin mendekapnya dan mencium keningnya, dan berbisik ditelingannya, meyakinkan
hatinya, bahwa jiwaku telah benar-benar memeluk jiwanya, tapi lagi-lagi
benar-benar aku tak bisa, selalu ada sekat yang menghalangiku.
Salahkah aku, mencintai gadis yang
benar-benar suci, salahkah aku jika harus bertentangan dengan keyakinannya,
membenci apa yang ia cintai dan ia yakini, bukankah cinta yang mendatangi
manusia dalam kenyataan, jauh lebih mulia dari pada kearifan yang tersimpan di
sudut-sudut tempat peribadatan.
“Kenapa cinta dan benci bermain-main
dalam jiwaku, yang hanya manusia biasa?” tanyaku dalam hati, bimbang haruskah
aku menyalahkan diriku sendiri ataukah menyalahkan masa laluku yang membuatku
membenci Tuhan, benar-benar membenci-Nya. Lalu aku pamit pada Kak Rai, karena
memang hari sudah sore, dan langit mulai gelap, sebentar lagi akan turun hujan.
Aku
memandang kiri-kanan
jalanan, hanya sepintas karena
selain sedang naik motor aku juga benar-benar tidak fokus dengan apa yang ada
dihadapanku, memang kondisi yang tidak
baik untuk mengemudi apappun termasuk membawa motor, resiko kecelakaan hampir 80%, tapi aku tak
peduli yang ingin segera aku lakukan adalah sampai dikost dan segera mandi lalu
berkumpul dengan kawan-kawan untuk menikmati sebatang rokok.
“Hai Riki, apakah Rizal belum
pulang?”sapaku pada salah satu kawan kostku, walau tidak terlalu akrab, tetapi
aku tetap harus menyapanya demi menjaga hubungan
baik dengan kawan walau hanya sebatas Say hallo
merupakan ungkapan yang sangat penting untuk menunjukan penghargaan untuk
menganggap orang lain.
“Rizal sudah pulang kok 30m enit yang lalu, katanya
kamu kecelakaan?” tanyanya,
“Ah, tidak apa-apa, hanya luka kecil,
biasa lama tak mencium Racing Line, jadi darahku kangen” hehehe jawabku
dengan lagak sok humor, sebenarnya hanya untuk menghibur diri sendiri. Lalu
aku menuju kamarku dan bergegas membersihkan penatku sore ini, sebelum kemudian
menghampiri Rizal.
“Zal, ada rencana nongkrong gak malam
ini?”
“Ada, Zaki ngajakin kita ke atas,
katanya banyak barang baru neh?” jawab Rizal, lalu aku tak banyak bertanya
lagi, karena memang aku sudah paham kemana arah pembicaraannya, ke atas,
berarti ke Puri Baturaden dan akhirnya
menyusuri Gank Sadar, tempat faforit Zaki dan kita semua, minum sepuasnya serta
membelai daging mulus wanita, serta menikmati desahan-desahan manjanya dimalam
larut nanti, hanya dengan modal 40 ribu hingga 60 ribu, penginapan kelas
melati, terpuaskan semalaman suntuk menghangatkan badan. Cukuplah bagi kita
mahasiswa yang hidup di kost. Setelah
kita semua puas dengan botol panas yang membuat kita melayang.
Sebenarnya
aku sudah bosan dengan hidup seperti itu, sejak SMP aku sudah akrab dengan hal
semacam itu, tapi apa boleh buat, tak ada yang mampu menyelesaikan rasa
hancurnya hatiku, serta gelisah dan keringnya ladang jiwaku. Karena memang
setelah malam itu, dunia sudah tak memberikan kedamaian lagi.
“Ok, nanti kita jam 9 berangkat”
jawabku semangat.
***
7
Kidung Cinta dalam Kenangan
Tak
kenal Maka Tak sayang, Sudah kenal Tinggal
kenangan
Malam minggu, seperti biasa Purwokerto
ramai dengan gadis-gadis dan pasanganya, berjalan bergandengan tangan, naik
motor dengan berpelukan dan saling bermanjaan, begitu pula malam minggu yang
merubah aroma dan suasana Gor Satria yang biasa dipakai untuk latihan balap motor, karate,
silat, dan berlatih basket di sore hari, tergantikan cumbu rayu, suara
lirih-lirih yang manja, serta berakhir dengan hubungan seksual jika matahari telah
benar-benar terbenam dengan mega merahnya.
Begitu pula ketika aku sengaja
melewati jalan yang terkenal dengan daerah terminal lama, walau tujuanku
sebenarnya untuk ke Baturaden, tapi aku sedikit ingin menyegarkan mata terlebih
dahulu, terlihat laki-laki yang berparas ayu, menggunakan gincu, dan bedak
sebagai pelengkapnya, serta sepasang baju yang menurutnya membuatnya cantik
seperti perempuan pada umumnya, sungguh membuatku ingin tertawa,
Tapi aku tak pernah tahu, bahwa malam
ini adalah malam terakhirku untuk benar-benar tertawa dengan lepasnya, andai
aku tahu, aku takan pernah melakukan hal bodoh ini lagi, hingga aku benar-benar
harus kehilangan penyejuk
sebagian jiwaku.
Malam ini, Aku mabok dengan senangnya
dipinggir jalan dengan kawan-kawan. Kawan yang menurutku mempunyai rasa sakit
yang tak tertahankan sama seperti sakit dalam jiwaku, kawan yang benar-benar
merasa kesepian ditengah keramaian sepertiku. Kawan yang benar-benar merasa
kehilangan jiwanya, serta tak tahu lagi bagaimana membuat bahagia serta mencari
makna bahagia, tiba-tiba ada sosok yang begitu membuatku bagai kejatuhan bulan, bagai
merasakan terhatam batu berukuran berat
satu ton yang membuat kepala hancur dan membuat tubuhku remuk sampai tak mampu
mengeluarkan darah lagi, karena sudah
tak lagi bisa merasakan sakit, tapi amat sakit hingga tak sadarkan diri.
“Kenapa, kamu harus memegang botol yang seharusnya
tidak pantas seorang mahasiswa sentuh, mengapa kamu duduk dalam kegelapan dan
lingkar syaitan seperti ini, yang seharusnya kamu memikirkan bagaiman kamu
membuat angka dilembaran-lemabaran yang menjadi kebanggaanmu untuk mencapai
tiga sampai empat?” ucapnya dengan bhibir bergetar dan mata meleleh.
“Maafkan aku, aku memang tak
sepantasnya seperti ini di hadapanmu” ucapku dengan badan lemas dan hampir
limbung tak lagi mampu merasakan angin malam, semua terasa berputar.
Lalu, ia pergi dan tak berkata
apa-apa, hanya lelehan butir mutiara yang mengisyaratkan kekecewaan yang
mendalam. Kecewa terhadap seseorang yang menurutnya menciptakan surga tapi
justru menjadi jahanam baginya. Malam yang benar-benar tak mampu menunjukan
kuningnya rembulan. Aku hancur untuk kedua kalinya. untuk memperoleh penyejuk jiwaku,
aku hancur dengan segenap kebodohanku.
***
“Sudahlah Bunga, anggap saja dia Daun
Sore bagimu, Daun yang benar-benar tak pernah berwarna hijau tapi justru Daun
yang telah kering, dan sebentar lagi akan gugur terkena angin. Daun yang
benar-benar layu” nasihat Aina, sahabatku, yang malam ini bersamaku mengikuti
pelatihan di Baturaden. Sebenarnya, awalnya aku benar-benar tak begitu berminat
mengikuti latihan kepenulisan ini, tapi ternyata Tuhan punya rencana lain, Ia
benar-benar membuka mata dan menunjukan jalan untuku.
“Aku, hanya tidak pernah menyangka,
kenapa justru aku harus jatuh cinta terhadap orang yang salah, orang yang
memang benar-benar tak pantas menjadi pemimpin bagi kaum hawa, seseorang yang
tak mampu menyempurnakan sholatnya
serta tak mampu mentadzaburi Al-Qur’an, bahwa bersentuhan dengan wanita yang
bukan mukhrimnya, serta menyentuh suatu yang memabukan adalah haram” sesalku
dengan air mata. Aku benar-benar menjadi wanita yang tak mampu menjadi hambanya
yang sempurna, serta tak mampu menjaga mataku dari yang indah, yang jutsru
menyesakanku dan mengurangi imanku.
“Tuhan itu, mengingatkan hambanya
dengan berbagai cara Bunga, sudahlah tak perlu menyesal, ingat orang yang
terlalu larut dalam penyesalan justru akan menjadi kawan syaitan karena ia tak
pernah memikirkan bahwa ia harus memperbaiki dirinya” lanjut Aina, karena dia
memang salah satu sahabatku yang bijaksana.
Tiba-tiba hpku berdering tanda sms
masuk,
“Bukan aku tak menghargaimu Bunga
Asterku, tapi aku memang justru tak mampu menghargai jasadku sendiri, aku
adalah Daun yang kering sebelum aku mengenalmu, walau sempat menghijau karna
putikmu yang bermekaran, maafkan aku yang memang sudah tak mampu merasakan sentuhan batinku sendiri
hingga aku harus membawamu ke liang penderitaanku, suatu saat akan kurangkulkan
segala deritaku agar kau tahu, hidupku selalu berkalang duka, hanya satu yang
aku persembahkan padamu kata cintaku yang belum sempat aku buktikan, karena
teduhnya matamu dan anggunnya jilbabmu telah terpatri dalam jiwaku, mengalir
bersama darahku”
Tak
terasa lelehan butir-butir kristal
menghiasi pipinya yang mulus, kekecewaan
malam ini membuatnya terpuruk, merasa menjadi manusia paling bodoh, merasa tak
tak tahu apa-apa. Ia lupa pada seluruh pengetahuannya, ia lupa pada seluruh capaian-capaiannya,
dan prestasinya. Ya, Ia lupa. Ia hanya tahu bahwa ia memang pantas terpuruk dan
lemah.
Hatinya berucap lirih, inikah hidup?
Inikah cinta? Inikah rasa? Ia tak tahu siapa yang harus dipersalahkan. Hatinya
semakin sakit, ia terlanjur mencintai Daun. Daun yang sebelumnya, menurutnya
seperti sosok malaikat, tidak seperti malam ini, Daun benar telah-telah kering
dan hampir tertutup senja yang merangkak malam. Ia menangis seirama gerimis
yang turun perlahan. Tersedu. Rasa kehilangan yang tak pernah ia kehendaki.
Hatinya brontak, memekik memanggil nama Tuhan, ingin menagih pada Tuhan. Mana
kebahagiaan yang ia janjikan?
“Aina, andai aku dapat memutar malam,
akan aku putar malam ini, lalu akan aku buang saja, kugantikan dengan
malam-malam lain yang hanya ada rembulan dan bintang keindahan” ucapku pada
Aina, sambil menatap gerimis yang mengetuk jendela.
Aina hanya tersenyum, mencoba memahami
perasaan Bunga yang hancur.
“Sudahlah, pejamkan saja matamu malam
ini, persiapkan jiwamu menyambut pagi yang indah, dan rangkai kembali
mimpi-mimpimu bersama pena itu, lalu kejarlah sampai kamu mampu tersenyum
dengan penamu” ucap Aina, mengingatkan Bunga pada satu mimpinya menjadi
penulis.
Lalu Bunga beranjak tidur, bersama
rasa sakit yang sepertinya akan merenggut sebagian hidup dan harapannya lalu
merobek hati. Namun ia yakin esok akan lebih indah bersama pagi yang cerah, dan
malam ini menjadi kenangan yang takan pernah terbuang.
Gerimis perlahan membasahi
tatapanku
Sebaris bintang merangkak redup
Menyamarkan temram kemilaunya
Pekat mencekat jiwa
Hening mengiris sembilu
Tak perlu disalahkan,
Dewa rembulan yang bertahtakan malam
berhak bermuram durja
Lihatlah wahai angin malam…
Ada sudut penyimpan seonggok hati yang
tak berdaya
Mulai lelah memekik lalu memeberontak
Hanya berkawan satwa malam
Perih aroma luka merajut kesadaran
Jurang antara aku dan kamu,
Tercipta diantara lentera pucuk-pucuk
mala keindahan
Bersama dingin dan angin malam Puri
indah Baturaden,
Karenanya,
Biarkanlah, Dewa rembulan tetap
bermuram durja
Meratapi ketidak berdayaan cinta ini
Cinta terakhir dan berakhir di Batur
yang tinggi
***
Hujan turun pagi ini, menawarkan aroma
tanah basah yang khas. Menciptakan hawa dingin. Lalu menggelitik sum-sum
memenuhi setiap rongga dengan air.
Langkahnya melemah, bersama hujan dan
payung yang melindunginya saat melewati pelataran rumahnya. Bunga-bunga tanaman Ibunya
bagai layu ditatap matanya. Empat hari ia berada di Baturaden, untuk mengikuti
pelatihan menulis serasa
bagai sebulan. Berbagai pengalaman Ia dapat, begitu pula dengan rasa sakit yang menampar hatinya
semalam lalu. Malam terakhirnya, yang ia harap menjadi kenangan
bersama kawan-kawan barunya. Tetapi malamnya punya cerita lain.
Matanya yang basah oleh air mata,
membuat langit semakin gelap terselimuti awan hitam. Ia ingin segera bertemu
Ibu, hingga tak sadar akan sapaan pembantunya, yang sedang membersihkan teras
yang kotor akibat percikan air hujan. Ibu keluar dan menyapanya dengan hangat,
semakin deras air mata yang keluar dari matanya.
“Bunga, ada apa, kok pulang pelatihan
malah nangis?” Tanya Ibu sambil merangkul pundaknya. Dan berteriak meminta
tolong kepada pembantunya untuk segera menyiapkan air hangat untuk mandi.
Ia semakin tersedu, tak tahan menahan
lara dalam hati, akibat tamparan malam lalu. Ibu merangkulnya ke kamar. Lukisan
lautan berhiaskan karang-karang yang tergantung di ruang tamu terlihat masih
sangat indah. Andai saja ia seperti batu karang disana, ia takan pernah
menangis karena terpaan dahsyatnya ombak lautan, dan ia akan tetap setia
menjadi penghias tepi pantai. Tapi ia hanya perempuan biasa.
Ia benamkan kepalanya di pangkuan Ibu,
hingga pakaian yang Ibu kenakan basah oleh air matanya.
“Ada apa, peri kecilku?” Tanya Ibu
dengan panggilan sayangnya pada Bunga. Karena memang Bunga senantiasa seperti
peri kecilnya, manja tapi mandiri, lemah lembut, walau kadang-kadang banyak
maunya, namun ia tetap wanita remaja yang bsangat baik dan mempunyai tutur yang
sopan.
Bunga terdiam. Ia takut untuk
mengadukan kekalahannya pada Ibu. Seharusnya dari awal ia selalu mendengar
nasihat Ibu, hati-hati memilih kawan dekat, dan lebih baik berkawan dengan
orang yang mampu mengajarkan sesuatu yang memang Bunga belum tahu. Karena akan
lebih bermanfaat. Karena menurut Ibu, sebaik-baik manusia adalah yang mampu
memberi manfaat bagi alam
sekitar, dan manusia sekiatrnya.
“Ibu, mimpiku kalah oleh rasaku”ucap
Bunga lirih.
Ibu
mengernyitkan alis. Tak begitu paham dengan maksud Bunga. Tatapan mata Ibu yang
dalam tak mampu lagi membuat Bunga tidak mengadu. Lalu, ditengah isakannya,
mengalirlah cerita dari mulutnya. Tentang peristiwa tadi malam. Tentang Daun
yang hancur, tentang Bunga yang sakit.
Ibunya tertegun. Ingin marah pada peri
kecilnya. Ingin marah pada Daun, dan kebohongannya. Namun, Ibu menyembunyikan
amarah itu, karena tak ingin menambah beban di hati peri kecilnya itu.
“Kamu hebat Bunga,”ucap Ibunya sambil
membelai rambut Bunga karena jilbabnya telah Ia lepas.
“Tidak Bu, Bunga bodoh, Bunga tidak
seharusnya dekat dengan lelaki bejat seperti Daun”cerca Bunga pada dirinya.
Karena ia begitu menyesal harus dekat dengan lelaki seperti Daun.
“Sudah, tidak boleh seperti itu,
lapangkanlah hatimu, mengadulah pada Tuhan, karena disanalah sebaik-baik tempat
kamu menangis. Sekarang sembuhkan lukamu, bangkitlah. Cintamu pada Daun tak
harus kamu binasakan. Biarkan ia tumbuh di hatimu, dan jika datang waktu yang
tepat berikan pada orang lain yang juga kamu tepat untuknya” lanjut Ibu, lalu
Bunga bangkit dan mandi dan berniat langsung mengadu pada Tuhannya.
***
Bunga
baru menyadari, bahwa ia terlalu lama berkutat pada pusara hatinya. Terlalu
lama urusan hati merampas tenaga yang seharusnya ia gunakan untuk memeluk
mimpinya. Cintanya pada Daun telah membuatnya terlena.
Kata-kata yang awalnya hanya untuk
menghibur diri, tiba-tiba
membuatnya semangat.
“Ibu sayang kamu, Bunga. Ibu selalu berdoa
semoga lukamu cepat sembuh”
Bunga memeluk Ibunya, harta yang
paling berharga yang ia miliki, tempat pengusir gelisahnya dan menghapus air
matanya. Ibu ladang surga baginya.
“Ingat Bunga, setiap musibah yang
datang pada kita adalah penasihat terbaik” lanjut Ibu, menasihati putrinya.
Jemari halus Ibu membelai wajah Bunga
yang cantik. Terus menasihati bahwa kepahitan dan sakitnya luka adalah tergantung
pada perasaan tempat kita meletakannya. Jadi, ketika merasa sakit dan terluka,
hanya satu obatnya, lapangkan dada dan ikhlas menerima semua itu.
“Hatimu, adalah pemeran utama Bunga”
lanjut Ibu. Bunga lalu menatap Ibu dan memcoba mencari makna dalam ucapannya.
Kini Bunga mengerti, bahwa hatinya
adalah wadah setia peristiwa, dan perasaannya
adalah tempatnya. Kalbunya tempat memanampung semuanya. Jadi jika ia
menjadikan kalbunya sempit seperti gelas, akan selalu sedikit mampu menampung
air dan tumpah jika terlalu berlebih, tapi jika membuat hatinya luas sepreti
telaga, maka tidak akan keruh karena debu dan selalu segar terasa. Lalu Bunga
tersenyum kembali.
***
Sementara
itu, di kamarnya yang sepi berwaktu-waktu Daun tenggelam dalam kegundahan. Dalam
perasaan yang tak menentu. Semenjak bertemu Bunga dalam keadaan mabuk. Ia
merasa sangat malu, telah mengotori hati bidadarinya. Tapi ia tak bisa berkata
apa-apa. Ia tak mampu menyalahkan perasaannya pada Bunga. Ia hanya benci pada
masa lalunya yang membuatnya seperti ini. Benci pada semua malam setelah malam
itu.
“Bunga, tak ada hari-hari yang indah
semenjak aku mengenalmu di sore yang berbeda itu, berhiaskan cintamu dan
rasaku. Sungguh, tiada yang menyakitkan, kecuali setelah malam-malam aku
ditinggalkanmu dan cintamu dengan nistaku” batin Daun, dengan tersiksa.
“Wahai engkau penghias taman
hatiku, andai engkau tahu, dibelakang cinta yang pernah terucap padamu, ada
sebuah hati yang kesepian, ada jiwa yang menganga karena luka yang tak mau
kering lalu tersiram air garam. Berbentuk seperti awan yang aneh, yang selalu
mengharap dengan sia-sia pembalut jiwanya dalam jiwamu. Di balik gelapnya ruh
jiwaku, ingin ku hantarkan maaf pada sucinya kalbumu” message send, tertera
di hp Daun, dan tertuju pada ponsel Bunga. Lalu Daun menuju tempat tidurnya dan
membaringkan raga yang hanya tinggal raga yang
ia punya, tanpa ruh ia rasa,
Angin, biarkan aku terbaring dalam
lelapku, karena jiwaku telah kosong kecuali hanya satu pengisinya. Ruh wewangian
Bunga yang telah engkau tiupkan padaku. Dan biarkan aku istirahat, karena batin
ini telah lelah bersama siang dan malam.
Dan biarkan aku terlelap dalam ranjang ini, karena kedua bola mataku
telah lelah menatap morgana.
***
Senin yang
sepoi, matahari tak begitu menyengat. Bunga masih tenggelam dengan novelnya.
Duduk sendiri di Bolevard kampus, sambil menikmati angin-angin kecil yang
menggelitik hatinya. Novel The alchemist karya Paulo Coelho, telah
sampai halaman 112 Ia baca, namun kali ini ia tak begitu bisa mengikuti jalan
ceritanya, lima halaman ia bolak-balik. Namun ia masih merasa kesusahan untuk
mencerna novel petualangan dan perjuangan seorang gembala dari Andalusia, Spanyol itu.
“Membaca novel itu juga perlu
konsentrasi” suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu, dan tiba-tiba duduk di
dekatnya, membuat Bunga tercekat.
“Siapa yang menyuruhmu datang kesini?”
Tanya Bunga sinis. Bunga benar-benar tak ingin lagi bertemu dengan laki-laki
yang sekarang sangat di bencinnya itu.
“Aku hanya ingin minta maaf padamu
Bunga, salahku tak pernah jujur dari awal, kalau akau adalah sosok laki-laki
yang hancur”
Bunga masih diam bahkan membuang
pandangannya ke arah lain. Karena ia takut, jika ia menatap laki-laki yang
pernah menjadi tambatan hatinya itu, matanya akan meleh. Bunga tidak ingin
terlihat lemah dimatanya.
“Aku tahu Bunga, kita memang sangat
berbeda, dari sisi manapun”
“Aku
memang wanita yang tidak tahu dunia, Daun. Tapi mengapa kamu justru
mempermainkan perasaanku?” Tanya Bunga lirih. Sambil mengingat perlakuan Daun
padanya sebelum malam itu. Awalnya Ia tak ingin mempercayai cerita yang Ia
dengar dari teman-teman kepenulisan yang kebetulan satu kampus dengan Daun.
Bahwa Daun adalah seorang pemabuk, pecinta wanita, seorang yang arogan dan suka
track motor, jarang masuk kuliah dan pernah sekali ngedrugs hingga tak
sadarkan diri, lalu dua kali masuk penjara, karena kasus narkoba.
“Bunga, aku
sangat mencintaimu”ucap Daun malam itu,
“Iyah, Bunga tahu, karena Bunga juga
Punya rasa yang sama” jawab Bunga lembut.
Lalu tiba-tiba Daun mendekati Bunga
dan hendak meraih tangannya lalu mencium keningnya. Namun, Bunga berhasil
menghindar.
“Daun, caramu mengungkapkan cinta
belum sepenuhnya tepat” kilah Bunga, lalu Daun minta maaf. Semenjak itu rasa
ragu mencuat dari hati Bunga dan juga Daun.
“Maafkan Aku, Bunga,? Jawabnya lemas,
berikan aku kesempatan sekali lagi, akan aku perbaiki semua” Pintanya memelas.
Namun, Bunga menolak. Karena Bunga
terlanjur sakit hati, serta tak mampu menyatukan perbedaan yang menjadi sekat
mereka.
“Kenapa Bunga? Kau meragukanku tak
mampu menjadi Imam?” Tanya Daun dengan tegas. Bunga masih terdiam. Lalu Daun
melanjutkan lagi.
“Aku tahu, Bunga. Aku sadar atas resiko yang akan
kuterima. Kamu dan keluargamu memang seorang religious, tak seperti aku yang telah
meninggalkan semua. Tapi, apa aku salah menyayangimu Bunga? Salahkah aku jika
mencintaimu dan bermimpi menjadikanmu pelabuhan terakhir pencarianku?”
“Seandainya cinta bisa memilih. Aku
takan memilih dirimu, yang jelas aku tak pantas untukmu. Yang berbeda keyakinan
denganku sekarang. Yang memang tak punya agama sebagai panutan hidup.
Seandainya rasa cinta ini bisa diatur, aku akan mengaturnya Bunga. Tapi rasa
ini tumbuh tanpa aku minta. Ia adalah janin suci yang tumbuh dalam hatiku dan
aku tak mampu memggugurkannya. Maafkan aku Bunga, yang telah mencintaimu dan
membuatmu mengenal jalan hidupku”
Bunga kali ini benar-benar meneteskan
air mata. Sepoi angin sebagai saksi kejujuran mereka berdua. Bunga sedih karena
ia tak mampu menahan rasa sakit, karena sebenarnya ia juga sangat mencintai
Daun. karena Daun adalah lelaki pertama yang masuk dalam hatinya. Tapi justru
membuatnya sadar, bahwa ia telah salah melabuhkan cintanya.
“Daun, kamu tahu? Bunga pun sangat
sayang padamu, tapi kita berbeda, pemahaman, keyakinan, dan cara menghargai
Tuhan”
“Bunga, Aku
tahu. Tapi, apa kita tidak bisa mencobanya?”
“Mencoba untuk apa Daun? semua sudah
jelas,” suara Bunga terdengar parau.
“Daun, kadang kita harus mencoba
memendam dan mengorbankan perasaan untuk sesuatu yang bagi kita sulit kita
pahami”
“Bunga, izinkan aku mencintaimu. Jika
laki-laki yang beragama dan taat seperti kamu dan keluargamu yang kamu cari,
aku ikhlas untuk kembali pada jalan itu. Jalan yang sebenarnya sangat aku
benci. Tapi demi dirimu. Biarkan aku membentangkan sayap cinta yang ada di
jiwaku untuk menyatu dengan jiwamu” pinta Daun.
“Daun, aku tidak suka dengan ucapanmu”
seru Bunga, dengan wajah yang memerah.
Daun terperangah, karena ia tidak
menyadari kesalahan dari ucapannya.
“Kamu ingin kembali pada Tuhan hanya
karena aku, Daun?” selidiknya.
“Em, tidak Bunga, maksudku, akupun
sekarang sama sekali tak mempunyai keyakinan. Tak berpihak pada agama manapun.
Hatiku gersang, Bunga. Namun, hadirnya dirimu dalam mataku, mampu menghidupkan
hatiku yang pernah mati, mampu menyirami ladang jiwaku yang hampir tandus. Aku
bukan kembali pada Islam karena dirimu, tapi aku hanya ingin bersamamu, Bunga.
Untuk selamanya. Samapai kita tak mampu menatap langit, hingga kita sampai di
pembaringan terakhir” Daun mencoba menjelaskan.
“Daun, aku memang sangat menyayangimu,
Aku juga bangga denganmu, hidup berkawan miras, dan dunia malam, tapi otakmu
mampu menghantarkan pada nilai-nilai yang pantas kamu banggakan. Namun, agama
bukan Tuhan semata, Daun. Bukan masalah
dosa
atau pahala, neraka atau surga. Kau hendak sholat atau tidak,
tapi agama adalah kebutuhan,
Daun.”
Daun masih belum mampu menangkap arah
pembicaraan Bunga. Lalu Bunga melanjutkan.
“Sebenarnya, manusialah yang
membutuhkan agama. Bukan agama yang butuh manusia. Karena manusia tanpa agama
takan pernah menemukan kebenaran. Yang aku maksud adalah bukan agama Kristen,
Islam, hindhu, Budha, maupun katolik. Tapi, agama secara umumnya. Aku percaya
manusia sangat membutuhkan agama dalam menjalani hidupnya. Seperti keluargaku
butuh Islam sebagai lentera kegelapan dalam hidup ini, sebagai pengantar
menemukan kebenaran yang hakiki. Paling tidak seperti kamu Daun, setelah
kejuaraan track kamu dapat, setelah materi berlimpah dan setelah separuh
kesenangan dunia kamu dapatkan sekarang ini. Pada saat semua telah berpihak
padamu, tapi ternyata jiwamu gersang dan kosong. Kamu, hidup diatas dendam masa
lalumu. Sampai kapanpun kamu tidak pernah akan maju menjadi manusia. Hidupmu
hanya dihiasi amarah. Bukankah kau masih yakin pada mimpi-mimpimu menjadi salah
satu petinggi di Negara ini? Jika hanya masalah seperti ini kamu kalah, kamu
takan pernah dianggap di dunia ini sebagai pejuang kehidupan, untuk mimpi saja
kamu butuh keyakinan, apalagi untuk hidupmu, keyakinan apa yang akan kamu
anut?”
Daun
masih menunduk mendengar penjelasan Bunga.
“Daun, coba kamu lihat, seberapa
lamakah manuisa mampu hidup di bulan? Apa yang terjadi pada manusia itu, jika
manusia itu kehabisan bekal oksigen yang ia bawa dari bumi, maka ia akan mati
sia-sia diatas sana. Sama seperti kita dan agama, Daun. Agama adalah bumi, dan manusia
sebagai penghuninya. Kamu butuh bumi tempatmu berpijak dan tempatmu bernafas,
walau bumi tak butuh adanya kamu. Seperti kamu butuh agama sebagai tempatmu
hidup, walau agama tak membutuhkanmu untuk mengisinya. Manusialah yang butuh bumi dan segala oksigen
serta segala tetek bengek yang ada di dalamnya. Bukan bumi yang membutuhkanmu”
Suara Bunga terdengar parau.
“Lantas, aku harus bagaimana Bunga?
Aku sudah bosan bahkan muak dengan agama. Aku benci dengan agama yang selalu
mengikatku dengan segala aturan, membuatku kerdil karena berkutat pada
hukum-hukumnya. Toh, agama, tak pernah memberiku kontribusi apapun, apalagi
kebahagiaan dan ketenangan! Justru pada saat dulu aku benar-benar menundukan
jiwa dan kalbuku pada_Nya, apa yang aku
dapat? Hanya kenistaan dan kehancuran semata. Apa yang itu kamu sebut manusia
butuh bumi sebagai pijakan,
dan manusia butuh agama sebagai lentera?” jawabku mencoba memprotes.
“Fikiranmu terlalu sempit memandang
suatu problem Daun!, masalah menderita atau tidaknya hidup manusia, kaya,
maupun miskin, cantik ataupun buruk rupa, bahkan pintar atau bodoh, itu
hanyalah cobaan. Tanda sebagai roda kehidupan masih berputar di dunia ini.
Bukan masalah manusia beragama atau tidak. Karena agama hanyalah sebagai
penolongmu, pengantarmu memilih jalan mana, lenteramu dalam kegelapan
perjalananmu, serta penuntunmu memilih mana yang sebaiknya atau mana yang tidak
seharusnya. Karena agama
bagai tongkat berpegang, bahkan sebagai penuntun. Tapi, jika kau tidak
berkeyakinan, siapakah yang akan menuntunmu, apakah yang akan menjadi tempatmu
berpegang dan mengarahkanmu? Selamanya jiwamu akan kosong dan gelap, serta tak
ada jalan bagimu keluar dari kegelapan
itu”
Aku hanya diam, ingin rasanya aku
menjerit atas ketidak setujuanku dengan semua pemikiran Bunga. Tapi itu hanya
sia-sia. Karena akupun sudah tak punya argument apa-apa. Akhirnya aku hanya
diam dan menunduk lemas, tak kuasa lagi mataku memandang mata Bunga. Terlalu
berdosa jika aku memandang mata itu lagi. Terlalu suci bagiku.
“Daun, aku memang tidak tahu
seutuhnya, seberapa gersang hatimu, tapi aku hanya ingin katakan padamu, bahwa
pahitnya hidupmu tak lebih seperti serbuk pahit, yang jika kamu tuangkan dalam
gelas akan kamu rasakan pahit yang begitu dahsyat, tapi jika kamu tuangkan
dalam sebuah telaga maka tidak akan merubah sedikitpun warna dan rasanya.
Begitu pula seperti hatimu, jika kau menjadikannya sepert gelas, maka kau akan
merasakan pahit yang tak berkesudahan. Namun, jika hatimu luas seperti telaga,
ia akan mampu menampung kepahitan tersebut dan merubahnya menjadi kesegaran
serta jauh dari warna keruh, dan mendekatkanmu dalam kedamain” lanjut Bunga,
dengan lembut.
Lidahku beriak hampa, tak sanggup lagi
aku mengulum senyum. Terkunci dan terasingkan dalam diriku sendiri. Hanya itu
yang aku rasakan detik itu juga.
“Aku mungkin terlalu terlihat Naif di
matamu, terlau mencintaimu, karena memang kamu adam yang pertama hadir
mengenalkanku pada rasa dan menghargai rasa, tapi jalanku tak mungkin bersatu
dengan jalanmu. Raihlah bahagiamu, temukan yang belum kau tahu. Karena
kemuliaan hanya akan diberikan pada mereka yang bersabar” ucapnya, sambil pergi
meninggalkanku dalam kebisuan dan keterasingan di boulevard kampus yang kini
tak terasa rindang lagi untukku.
***
Celah
mataku terbuka sedikit. Bola matahari. Keemasan. Sejauh pandang mata hanyalah
warna jingga. Rasa kantuk masih terasa, matakupun terasa berat terbuka.
Sisa-sisa tangis tadi malam membekas menyebabkan bengkak kantung mataku. Boneka
berby yang berjajar terta rapi bersama figura yang membingkai kenanganku
bersama Aina saat mengikuti ospek pertama kali masuk kuliah dulu, saat berjalan
mendaki gunung saat kita masih sama-sama mengikuti kegiatan PA (Pencinta Alam),
terasa terulang kembali kebahagiaan saat itu, walau hanya dalam gambar.
“Selamat pagi, Nona Bunga” sapa Aina,
ketika melihatku menggeliat dalam ranjang kamarnya yang terbungkus bad cover
ungu muda. Sudah dua malam, semenjak aku bertemu Daun di boulevard kampus,
aku menginap di Kost Aina. Selain tempatnya terjangkau dari kampus juga alasan
aku tak pulang pada Ibu adalah pemadatan jadwal kuliah menjelang semester.
Sebenarnya bukan itu alasan utamaku. Aku ingin bersama sahabatku, saat ak
sedang kalut seperti ini, tak ingin membebani Ibu dengan ketidak dewasaanku
atas nama kehilangan.
“Pagi juga, Aina” jawabku dengan mata
setengah tertutup. Kantung mataku tak mau kompromi denganku pagi itu, mungkin
terlalu lelah menjadi saksi atas sedihku semalam suntuk, hingga mengalirlah
air, mungkin tanda terlalu panas dan tak kuat menahan magma yang menggumpal
dalam hati.
“Bunga, hpmu berkali-kali berdering
tadi pagi, kayaknya Daun panik mencarimu” lanjut Aina.
Lalu kuraih hpku yang tergeletak dekat
rak buku, dan ternyata 5 misscall, dari Daun. Berpuluh-puluh tanya di hatiku,
ada apalagi dia menghubungiku, seharusnya dia mengerti apa yang kita bicarakan
kemarin dan benar-benar pergi dari kehidupanku.
“Kenapa, Bunga, malah melamun?” tegur
Aina keheranan.
“Kenapa, Daun masih mencariku Aina,
seharusnya dia mengerti apa yang kuinginkan” keluhku pada Aina. Sembari ku
berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlhu, untuk menyambut
matahari Dzuha. Dan sempat kulirik Aina hanya tersenyum, tanda membenarkan
langkahku untuk mengadukan pada Tuhan terlebih dahulu. Karena guru agamaku saat di SMP dulu pernah
mengatakan, sebaik-baik manusia diwaktu pagi adalah bersyukur pada Tuhan dan
mengawali harinya atas nama Tuhan serta menutup malamnya atas nama Tuhan, serta
mengadu setiap inci kehidupannya hanyalah pada Tuhan. Karena disanalah
sebaik-baik tempat tersenyum dan menangis.
Pernah aku meragukan hal itu, bukankah
Tuhan maha melihat dan mendengar. Mengapa harus kita mengadu dan meminta? Tapi
itulah hakikat manusia diberi anggota tubuh yang lengkap serta berbagai macam
bahasa yang indah. Hingga kita boleh bertanya sepuas hati kita pada Tuhan sebab
Tuhan telah menciptakan banyak pintu ke arah kebenaran yang dibukanya untuk setiap
manusia yang mengetuknya dengan jari iman.
Lantunan shalawat dan pujian telah
kupanjatkan dan kutitipkan bersama angin dari timur dan sinar matahari yang
menuju barat. Kupinta pada Tuhan untuk membukakan pintu yang menuju kebenaran dan kebaikan itu,
lalu kupandang sajadah yang kugelar,
fikirku melayang bersama doa yang tak pernah putus kulantunkan pagi itu.
“Tuhan,
Engkaulah Maha Suci, yang memiliki segenap waktuku, hidupku dan seluruh
taqdirku, Engkau Maha mencintai dan pemberi cinta. Tapi kenapa Tuhan, dikala
Engkau tumbuhkan ranting cinta di hatiku, tiba-tiba kau uji imanku, dengan Kau
patahkan ranting itu, Kau ganti dengan kegelapan. Haruskah aku menjadi lentera
diantara kegelapan itu, ataukah aku harus lari dari kegelapan itu dan membunuh
cintaku? aku
tak kuasa dengan urusan hati, hanya engkau pemberi dan pencabut cinta itu
Tuhan.dimanakah cinta yang Kau janjikan kepada hamba_Mu yang beriman? Aku
menantinya”
Bulir-bulir air mata mengalir.
Membasahi pipi merah meronanya.Tak mampu Bunga menahan rasa sesak di
dadanya. Lalu ia memejamkan mata dan mencoba
mencari secercah sinar yang akan menuntunnya.
Setelah puas ia mengadu pada yang Maha
Memilikinya, lalu ia pergi menyambut harinya di Kampus. Dalam perjalanan ia
hanya terdiam. Mendung pagi itu, seakan mengamini kesedihannya.
“Sudahlah, Bunga. Ingat mimpimu ketika
pertama kali kamu datang ke Purwokerto” ucap Aina, yang berjalan beriringan
bersamaku.
Mimpi. Lima kata itu, tiba-tiba
menyengat kulit ariku. Menjadi kebangganan Ibu dan menarikan pena diatas
kertas, merangkai bait-bait yang penuh makna dan pemahaman dari orang lain.
Itulah keinginanku sejak kecil. Menjadi penulis. Tapi seminggu yang lalu aku
telah lupa dengan hal itu. Aku juga telah terlena akan cinta yang sebenarnya
bukan mengantarkanku pada cinta yang hakiki. Aku benar-benar telah lupa. Bahwa
mencintai seseorang yang terpenting adalah agamanya. Aku lupa dengan sosok imam
dambaan setiap kaum hawa.
Seperti Imam
Syafi.i. Seseorang yang mau dinikahkan dengan wanita yang buta, tuli dan tak
mengerti apa-apa. Tapi, justru maha dahsyat kehenndak Tuhan, wanita itu adalah wanita
yabng teramat cantik. Imam yang tak pernah mengagungkan cinta pada manusia
semata. Aku benar-benar merasa menjadi hamba yang paling ingkar hari itu.
“Aku, begitu bodoh Aina. Aku terlena
dengan penyakit hati dan morgana semata”
“Sudahlah, jangan menyesali apa yang
terjadi. Bila ingin maju dan bahagia. Tinggalkan dan lupakanlah masa lalumu
yang menurutmu buruk. Kejarlah masa depanmu dan mimpimu dengan semangat bahwa
engkau mampu menjadi lentera setelah kegelepan menyapa”
Aina sungguh bijak. Dialah sahabatku
satu-satunya yang kuanggap seperti saudara. Sahabat yang selalu membelaku
dikala aku benar dan mengatakan sekaligus mengingatkanku dikala akau salah.
Sahabat yang tak hanya datang dikala aku tersenyum namun sahabat yang selalu
datang dan menyediakan bahunya untuku bersandar.
Lalu Aina melanjutkan ucapannya dengan
mengingatkanku pada salah satu sahabat Nabi yang pernah melakukan kesalahan.
Umar Bin Khatab, seorang sahabat yang dikenal begitu kejam dan keras. Dialah satu-satunya
sahabat yang berani mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Tapi sekarang tak
ada satu mulut di muka bumi ini yang mencelannya kecuali ia adalah pemimpin
yang adail dan dicintai rakyatnya. Itu semua terjadi karena Ia tak ingin larut
dalam masa lalunya yang kelam dan jahiliyah. Dan ia mengubahnya menjadi
kenangan yang kini terpatri dalam fikiran manusia yaitu dengan kebaikan. Dan
terakhir kata Aina yang menyejukan jwaku. Bahwa kita mampu seperti Umar jika
kita mempunyai kemauan dan mempunyai semangat yang tinggi.
“Bunga, mari kita satukan niat kita,
berbahagia dan mulailah hidup baru dengan langkah kebaikan” lalu aku menyambut
uluran tangan Aina, tangan yang menurutku mengajaku bersama-sama meraih surga.
Lalu kami berjalan bergandengan tangan dan siap memasuki gerbang Universitas
kami.
***
8
Petuah Tentang Cinta
Sajak-sajak kehidupanku terus
melangkah. Seperti matahari timur yang menciptakan mega kuning di sore hari.
Seperti kapas yang berterbangan terbawa angin, entah kemana tak dapat ditebak.
Mungkin tetap beterbangan semakin tinggi hingga menyampai gumpalan kemukus yang
memutih hingga menggumpal dan serupa tanah hingga turun barisan air yang siap
menggempur bumi. Dan menciptakan Pelangi yamg indah. Dan membuat bahagia anak-anak
yang melihatnya.
Bahagi. Seperti yang aku rasakan saat
ini. Mungkin tidak hanya aku. Karena
sesungguhnya bahagia adalah dambaan setiap orang yang masih berakal sehat.
Kadangkala mereka berjuang mendapatkan tujuh abjad itu. Walaupun setiap kepala mendevinisikan
bahagia berbeda-beda.
Mahasiswa pada umumnya yang
mendapatkan nilai A berjajar hingga mendapatkan IPK cumlaude itulah bahagia.
Seorang pujangga yang sanggup merangkai puisi dengan makna dan tutur bahasa
yang indah itulah bahagia. Dan seorang penulis yang mampu berfikir dengan cinta
dan menuangkannya dengan segala perasaan, dihiasi seni dan membuat orang takjub
dan terbuai akan karyanya itulah bahagia yang penuh makna.
Seorang kekasih yang dapat membuat
pasangannya tersenyum dan mengatakan bahwa ia begitu mencintainya, itulah
kebahagian yang paripurna. Dan seorang presiden sekalipun yang dapat
mengentaskan kemiskinan di Negaranya itulah kebahagian diatas cita-cita yang
tercapai.
Disisi lain ada seseorang yang percaya
bahwa bahagia adalah mensyukuri atas apa yang ia terima baik berupa penderitaan
atau rizki sekalipun. Bahkan seorang sufi seperti Syeh Siti Jenar, ketika dapat
menyatu dengan Tuhan itulah kebahagian yang hakiki. Disisi lain, ada yang mencapai kurva bahagia itu dengan
tertatih-tatih, dengan mengisi otaknya dengan berbagai revrensi buku, bahkan
dengan mengikuti Life Motivation dari orang-orang bijak.
Begitu banyak definisi bahagia. Karena
bahagia sesungguhnya adalah cahaya yang bersembunyi dibalik bayangan kita
sendiri. Ibarat air dan udara. Semau orang boleh memilikinya, kaya, miskin,
jelek, cantik bahkan tunanetra sekalipun karena bahagia adalah rasa yang
sebenarnya mampu kita ciptakan sendiri. Bukan orang-orang yang hidup mewah,
bisa berfoya-foya dan harta melimpah. Tapi bahagia adalah dalam diri kita
sendiri. Maka dari itu, kita harus mengerahkan semua upaya untuk menggali
kebahagiaan yang tersimpan jauh dalam diri kita. Bahkan cara sederhana yang
paling mudah menggali dan mencarinya adalah diperlukanya orang-orang yang
mencari dan menggalinya bersedia bahagia.
Seperti hari ini, aku mencoba
merangkai bahagiaku bersama angin sore di kampus. Mataku lurus menatap
lembaran-lambaran Daun beringin yang bergoyang, bercanda bersama burung-burung
yang berterbangan diantaranya. Terasa begitu
ringan fikiranku, setelah 2 minggu berlalu tenggelam dalam materi kuliah.
Tenggelam dalam ilmu ekonomi.
Ilmu yang dikembangkan Adam Smith
semenjak abad 18 lalu. Dimulai dari karya besarnya Wealth Of Nations, ia mulai mencari tahu perkemabngan Negara-negara
Eropa. Secara garis besar, perkembangan aliran pemikiran ekonomi diawali oleh
apa yang disebut aliran ekonomi klasik. Yang menekankan adanya invisible hand dalam pembagian sumber
daya. Sehingga intervensi pemerintah sangat dibatasi karena hanya akan mengganggu. Konsep Invisible
hand, kemudian dipresentasikan sebagai mekanisme pasar melalui harga
sebagai instrument utamanya.
Selain pemikiran Adam Smith, otaku
masih dipusingkan dengan pemikiran-pemikiran Keynes setelah tahun 1930 aliran
klasik mengalami kegagalan akibat pasar
tidak mampu bereaksi terhadap gejolak di pasar saham, Ia mengajukan teori
yang terangkum dalam karyanya
yang berjudul General Theory Of
Employment, Interest and Money,
bahwa pasar tidak selamanyamenciptakan keseimbangan, lalu intervensi pemerintah
sangat diperlukan agar distribusi
sumber daya mencapai sasarnnya.
Aliran-aliran yang muncul setelah
keduanya yaitu New Classical, Neo Klasik, New Keynes, Monetarians hingga
pertentangan dari karl Marx, Fried Engels, serta aliran institusional yang
pertama kali dikembangkan oleh Thorstein Veblen dan kemudian oleh peraih Nobel
Douglass C. North. Yang membuatku
terpaksa ketika aku sampai di rumah harus kubuka lagi dan kubaca ulang-ulang,
hingga sampai lupa pada yang namamnya makan. Demi nilai yang membanggakan Ibu.
Langkah kuayunkan menuju kantin
faforitku, biasanya mahasiswa menyebutnya Kafe M2N “Murah Meriah And Nikmat” di
kafe tersebut selain tersedia makanan yang enak serta lezat, harga juga
terjangkau yang membuat para mahasiswa sepertiku tidak merogoh saku terlalu
dalam. Aku menatap kanan kiri penuh dengan Mahasiswa yang begitu menjunjung
tinggi prinsip selera
kos harga bos
sedang bersantai dan menikmati hidangan mereka. Dunia kampus memang tidak
pernah sepi, siang maupun malam. Tetap ada saja kegiatan yang dilakukan,
benar-benar Agent Of Change pikirku.
Akhirnya, aku menemukan tempat yang
sangat setrategis. Bangku di pojok
kantin menurutku tempat yang sangat tepat untuku sore ini. Selain ingin mengisi perutku yang meraungt-raung
sejak tadi siang, aku juga berniat mengerjakan tugas Akuntansi yang harus
dikumpulkan pada saat semesteran. Tapi aku buru-buru mengerjakannya. Karena
materi yang baru diberikan dikelas tidak akan bertahan lama otak mengingatnya
dan seringkali mengalami kesusahan jika
dalam jangka waktu 3 jam sampai lima jam kita tidak mencoba mengulanginnya
lagi.
Akuntansi sebenarnya membuatku pusing
sekali. Karena selain harus teliti terhadap jajaran angka nol hingga 9, aku
harus benar-benar menguras fikiranku karena lagi-lagi aku harus tenggelam dalam
teori-teori yang menuntut peningkatan kuliatas laporan keuangan. Mulai dari
siklus akuntansi perusahaan Dagang, , HPP,
penyusunan Nerca Saldo, hingga posting dan Jurnal penutup, hah terlebih
analisis laporan keuangan yang membuat mataku kadang tak sempat untuk berkedip.
Ketika makanan secara lahap kusantap
dan tanganku mulai menari mengerjakan soal-soal terkait pembukuan jurnal
penyesuaian ke buku
besar, tiba-tiba ada suara yang begitu kenal, menyapaku. Membuatku terperanjat
kaget dan memacu andrenalinku dua kali lipat hingga makanan yang baru saja
dicerna dalam perutku harus cepat-cepat menggantikan tenaga yang hilang.
“Bunga, aku sengaja mencarimu, ada
sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu” ucapnya dengan lembut. Kelembutan
itulah yang selalu membuatku tersiksa, karena kelembutan nada suaranya, aku
benar-benar terlena dalam penilaian sementaraku, bahwa ia adalah laki-laki yang
baik. Tidak suka kekerasan dan mengerti bahasa perasaan.
“Apalagi yang hendak kamu katakan?
Semua sudah selesai,” jawabku, dengan nada lirih. Karena pertemuan itu,
benar-benar pertemuan yang tak kuinginkan. Setelah hampir sebulan, aku mengusir
namanya dari fikiranku ia datang lagi, dan terpaksa setelah ini, pasti aku
mengingatnya.
“Bunga, aku memang tidak pernah jujur
padamu, kalau aku adalah sang pemabuk, pengonsumsi pil ekstasi bahkan aku
penikmat wanita, aku mengingkari adanya Tuhan,
tapi aku tidak pernah bohong bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan
segenap kesadaranku” jawab Daun, yang membuatku tiba-tiba melehkan air panas
dari mataku. Lalu memerah hingga terisak .
“Bunga, aku memang salah, tapi jangan
siksa aku dengan diamu, dengan langkahmu yang semakin menjauhiku, kamu boleh
menamparku, bahkan membawaku kepenjara, tapi pliss aku tak bisa membendung rasa
ini, aku siap melakukan apa saja demi kita tetap bersama”
“Entahlah” jawabku dengan
terbata-bata.
“Aku juga tidak yakin sampai kapan aku
dapat benar-benar mampu melupakanmu, karena kamu memang benar-benar yang
pertama, yang mengenalkanku pada dunia
yang mampu mengikat dua hati, pada dunia yang mengajarkanku bagaimana
mengerti orang yang kita cintai dan memahaminya atas dasar cinta. Tapi aku
benar-benar tak mampu menerima alasanmu,
untuk kembali pada Islam hanya karena ingin bersamaku, itu cara yang tidak
adil, dan membuatku menghianati Tuhan. Bukankah agama yang pada akhirnya harus
berkutat dengan aturan-aturan adalah hal yang sama sekali tak dapat kamu
yakini?” jawabku.
Suasana hening menyelimuti kita
berdua, penghuni kantin sore itu sudah tidak terlalu ramai seperti saat aku
datang 1 jam lalu.
“Oh, jadi karena itu alasanmu Bunga,
apa kamu pernah tahu sejauh mana sebenarnya dengan keyakinanku, dengan yang
kurasakan selama ini, dengan yang kupendam hingga selalu membuatku tersiksa dan
berujung pada minuman keras ssebagai obat pelupaku terhadap rasa nyeri itu,
tapi aku sadar betul dengan apa yang aku ucapkan, dengan apa yang akan
kulakukan demi kamu, Bunga”
Aku terperanjat dengan jawabannya.
Disisi lain membuatku begitu
bahagia karena dia begitu mencintaiku, dia rela melakukan apa saja demi orang
yang ia cintai. Tapi disisi lain aku begitu kasihan mengapa jika ia ingin
kembali pada Tuhannya, yang pernah ia hianati harus karena aku. Sungguh cara
yang picik menurutku, karena bukan karena hidayah yang sebenarnya, tapi karena nafsunya
semata terhadap wanita. Aku yakin cintanya pada Tuhan pada akhirnya tidak akan
pernah sempurna. Karena sebaik-baik cinta pada Tuhannya adalah cinta yang
berlipat-lipat melebihi cintanya pada manusia. Karena manusia hanya sebagai
instrument saja. Tidak seperti sore ini,
kenyataan yang benar-benar ada dihadapanku.
“Kesadaranmu, ucapanmu, dan semua
logika yang kamu agungkan membuatku sangat kecewa Daun” jawabku. Karena rasa
cinta baik untuk manusia dan terlebih untuk Agama adalah cinta yang tak dapat
didevinisikan dengan logika semata, dan dapat dIbuktikan dengan nalar manusia.
Padahal separuh dari agama adalah sesuatu yang tak kasat mata, apalagi cinta
terhadap Tuhan adalah cinta yang tak dapat didevinisikan dengan kata dan bahasa
apapun karena cinta pada Tuhan adalah cinta yang Ghaib, cinta yang bisa dirasa
dan diyakini sepenuhnya, cinta yang irasional
yang justru akan menundukan rasional, bukan rasional yang menundukan
hati. Dan pada akhirnya, akan jelas terlihat bahwa otak manusia begitu
terbatas, karena hatilah yang sepenuhnya berperan.
Cinta memang seperti cahaya. Tapi
cinta pada Tuhan melalui agama tidaklah sebatas cahaya yang dapat
didefinisikan. Seperti Renne Descrates mendevinisikan cahaya melalui teori
Implusnnya, atau teori partikel cahaya yang diungkap oleh Newton bahkan Teori
gelombang cahaya yang dijelaskan Huygens, Young- Frensel, dan teori Maxwell
melalui Elektromagnetik cahaya. Tapi cinta
seperti cahaya pada Tuhan adalah cinta yang benar-benar dikaruniakan
Tuhan melalui Nur Muhamad. Nabi yang mengakhiri Zaman ini. Cahaya itu, hanya
terdapat pada hati orang yang benar-benar dikehendakinnya, bukan berdasarkan
teori logika semata.
“Bunga, kenapa kamu tidak memberiku
kesempatan membuktikan rasaku ini padamu?”
‘Tidak perlu kamu buktikan Daun, aku
bisa melihat kesungguhan rasamu melalui tatapanmu, tapi aku benar-benar tidak
bisa menerima semua alasanmu, rupanya kamu belum paham apa yang aku maksudkan
dan yang aku inginkan” jawabku.
Suasana kantin semakin sepi hanya
beberapa meja yang terisi, karena memang jam sudah menunjukan pukul lima sore.
“Daun, seandainya aku menjadi wanita
yang tidak begitu mengagungkan Islam dan hanya menjadi manusi kebanyakan saat
ini, Islamnya hanya tertera pada KTP, apa kamu akan melakukan seperti yang kamu
lakukan sore ini, memaksakan diri untuk kembali pada agam Islam yang pernah
kamu rengkuh itu” tanyaku menyelidik’
Daun gelagapan dengan pertanyan itu,
kerongkongannya terasa kering secara tiba-tiba, bingung memikirkan jawaban apa
yang hendak ia berikan pada Bunga, karena ia sendiri tak yakin dengan apa yang
ada dihatinya tentang agama dan Tuhan. Yang ada dalam fikirannya hanyalah Tuhan
tidak adil dan pembawa petaka. Islam hanyalah teori dan janji. Sehingga ketika
Ia mengalami penderitaan tak ada bukti nyata atas uluran tangan cinta Tuhan
sedikitpun.
“Aku juga tidak yakin akan hal itu
Bunga” akhirnya Daun jujur karena memang aku tidak punya jawaban lain selain
itu. Terlihat gurat-gurat kekecewaan di
wajahnya.
“Pliss, Bunga kembalilah kepadaku,
jangan kamu permasalahkan lagi tentang keyakinan itu. Aku yakin padamu, aku
juga punya mimpi denganmu, aku juga yakin dengan kekuatan mimpi dan keyakinanku
denganmu, lambat-laun aku akan mengikutimu”
“Aku sungguh tidak bisa merajut itu
kembali denganmu, mungkin disisi lain aku sangat hancur karena aku tak bisa
bersamamu. Tapi disatu sisi lain lagi aku merasa bahagia, karena atas kejadian
semua ini aku mampu mempertahankan cintaku pada Tuhan yang harus lebih besar
dari pada cintaku terhadap ciptaan_Nya. Karena aku ingin mencintai manusia
dengan cinta_Nya”
Jawaban Bunga membuat Daun terkulai,
serasa dua kali kehilangan orang yang benar-benar ia cintai.
“Bunga, aku ingin menunjukan sesuatu
padamu, aku janji setelah ini, aku tak akan datang lagi padamu” pinta Daun
“Baiklah,”
“Besok jam Sembilan, aku tunggu kamu
di depan kampus” lalu Daun pergi meninggalkan Bunga yang terdiam dan tak
bergerak laksana patung batu pualam. Rasa penasaran menggelayuti fikirannya.
***
Malam
meyelimuti segenap udara di Purwokerto. Diikuti hiasan rintik air turun diatas
hamparan jalan, taman dan atap-atap. Rintik gerimis itu melukiskan mirisnya
perasaan yang gundah, hingga bertambahnya detik membukit menjadi kebimbangan
yang tiada tara. Awan hitam yang
bergelantungan diatap langit mengguratkan garis-garis tajam perasaanya yang
kalut. Suara petir yang tiba-tiba terdengar meningkahi gemuruh hatinya, dan
meminta segala penyelesaian dan jawaban yang indah.
“Daun, dari mana saja baru
kelihatan”sapa Rizal, ketika Daun membuka Pintu kost, dengan badan yang basah
kuyup, muka kusam dan mata yang menyiratkan kesedihan serta keputus asaan.
Tidak tahan dengan dingin yang
menyelimuti tubuhnya, Daun langsung menuju kamarnya dan tak sempat menjawab
pertanyan Rizal. Langsung ia lucuti pakaian yang bercampur air itu, ia ganti
dengan yang kering, terasa sedikit hangat tubuhnya. Lalu ia pandang bingkai di
pojok meja kamarnya. Gambar yang tak berlatar seperti bidadari dalam dongeng.
Balutan jilbab ungu muda yang membuatnya tambah ayu, membuat Daun semakin tak
kuasa lama-lama memandangnya. Waktu tiga bulan, memang waktu yang sangat
singkat untuk mengenal wanita dan bicara cinta. Biasanya, diwaktu-waktu seperti
itu, masih dalam tahap adaptasi mencari kecocokan. Namun, lain dengan yang
dirasakan Daun kali ini.
Berpuluh-puluh wanita yang pernah
singgah dalam cerita hidupnya, hanyalah menjadi pelengkap sasaran penderitaan
yang ia rasakan selama ini, tidak berbeda dengan mabuk dan pil ekstasi yang dianggapnya
menenangkan. Tapi apa yang ia rasakan terhadap Bunga lain. Begitu membuatnya
bangkit dari tidur panjang setelah peristiwa yang membuatnya hancur. Membuat
dirinya mengenal apa arti bahagia untuk orang yang ia cintai. Begitu berharga
Bunga dengan segala lemah lembut yang ia miliki. Syarat akan wanita sempurna.
Pikrnya.
Lalu Daun mendekati Rizal yang masih
asyik dengan majalah otomotifnya.
“Zal, apa kamu benar-benar percaya
bahwa Tuhan benar-benar ada?” tanyaku sambil mendaratkan tubuhku disampingnya.
“Hahaha, tumben kowe iki nanyane sok Religious,
kesambet syetan mana?” jawabnya meledekku.
‘Aku serius”
“Daun, walaupun aku ini hanya Islam
KTP, tidak pernah Shalat. Puasa apalagi menginjakan kaki di masjid, paling Cuma
satu tahun sekali ketika hari Raya Idul fitri, itu juga karena aku tidak enak
pada Ibuku. Tapi aku tetap percaya bahwa Tuhan benar-benar ada”
“Alah, kamu ini sok banget Zal”
“Ealah, koe dasar Bocah ndableg,
gak percaya dengan ucapanku” lanjut rizal.
“Daun, aku pernah dengar cerita dari
salah satu ustadzku, ketika aku kecil dulu, bahwa raja Firaun yang mengaku
Tuhan pun ketika hampir mati tenggelam ditengah lautan ia memanggil nama Tuhan. Apalagi
kita sebenarnya yang manusia biasa” lanjut Rizal
“Hem,
gak mutu banget dweh kamu, gak nyadar neh, raja mabok, raja seks bebas, raja
pil ekstasi, berbicara kematian dan butuh Tuhan” ejek Daun sambil tersenyum
lebar yang mendekati tertawa.
Lalu Daun, menceritakan kebimbangannya
belakangan ini. Kebimbangan antara dendamnya dengan taqdir Tuhan serta dengan
cintanya pada Bunga.
“Huff, Daun, kamu tidak bisa Egois
seperti itu, kamu tidak bisa menyandingkan cintamu pada Bunga dengan kembali
pada keyakinan yang pernah kau tinggalkan, dua hal yang benar-benar tidak bisa
kamu jadikan sejalan” argument Rizal.
“Aku, juga bingung dengan keputusanku
sendiri, sebenarnya aku tidak bermaksud mendalihkan nama Tuhan dan keyakinanku
untuk mendapatkan cintaku, tetapi, aku sendiri kini pun bimbang, sudah lebih
dari empat tahun aku tidak menghadirkan nama Tuhan di hatiku, yang sekarang aku
rasakan hanyalah aku cinta pada Bunga dan aku membutuhkannya sebagai penopang
masa depanku” tegasku. Namun Rizal tidak menjawab, mungkin ia juga bingung apa
yang harus ia komentari. lalu ia msuk kekamarnya dan mengambil buku yang
berjudul “Antara Cinta dan Keyakinan”
“Ini, Bro. kamu baca, siapa tahu ada
setitik pencerahan untukmu”
Tepat dilembar enam puluh lima, aku
menemukan kata-kata yang yang membuatku terpukau.
“Jangan jadikan cinta sebagai
landasan atas suatu alasan pembenaran. menjadikan Inti dari cinta adalah
keyakinan, yakni adanya sebuah
kepasrahan kepada pasangan kita, kejujuran dan keterbukaan. Rasa cinta
yang sesungguhnya adalah anugrah Ilahi kepada hambanya. Sesungguhnya, Antara
cinta dengan nafsu hanya bersekat tipis. Yakni cinta adalah suatu yang putih
sedangkan nafsu adalah suatu perwujudan cinta yang hitam dan akan menjerumuskan
pada lembah kenistaan. Sedangkan cinta pada ragawi dan apa-apa yang ada di
dunia dan rela melakukan pengorbanan sedemikian rupa adalah perwujudan cinta yang
berlebihan dan akan berujung pada morgana semata dan akan menghapus cinta pada
ke abadian yang menciptakan”
Aku limbung membaca kata itu, apakah
benar cintaku pada Bunga adalah suatu pelarian belaka. Cinta yang termasuk
dalam kategori hitam atu bahkan putih. Ah, aku tidak peduli mau masuk kategori
manakah cintaku pada Bunga, hitam maupun putih. Yang jelas, hatiku terpaut
dengannya. Hati ini, benar-benar merasa tenang bersamannya. Tiada kedamaian
yang aku temui kecuali bersamanya. Aku telah lelah menderita, hingga aku
benar-benar melabuhkan rasaku padanya. Hingga aku tak mampu menggali kejujuran
dari hatiku sendiri.
“Sukmaku
nyeri memeluk kehidupan ini, haruskah aku kembali pada lorong-lorong yang
pernah meyesatkanku” berontak Daun dalam hati. Karena ia benar-benar merasa
lemah setelah menyadari kenyataan yang benar-benar ada di depan matanya.
Kehilangan Bunga selamanya hanya krena masalah sepele yaitu kemantapan dalam
Agama. Benar-benar tak adil pikirku,
karena agama benar-benar memisahkan cinta kita.
“Tuhan, jika Engkau benar-benar ada,
datang dan tunjukan kuasamu” berontak dalam alam fikir. Lalu aku masuk kedalam
kamar dan meninggalkan Rizal yang tengah asyik dengan majalahnya.
***
9
Daun dan Rahasia Senja Lalu
Hari ini, ditemani matahari yang masih
menyehatkan pori-pori kulitku. Tepat pukul Sembilan, seperti janjiku kemaren pada Bunga, aku
menunggunya di depan kampusnya. Hari ini, bersama siang sebagai saksi, akan aku
bangunkan lagi kenanganku dalam masa silam, akan kurangkulkan ceritaku padanya.
“Pagi, Bunga” sapaku saat ia baru
datang menghampiriku. Bunga begitu cantik pagi ini, seperti bidadari yang
diutus malaikat menjaga hati yang rapuh, menguatkan jiwa yang patah, seperti
hatiku.
“Kamu, mau ajak aku kemana
Daun?”tanyanya dengan nada cuek.
Aku hanya menjawabnya dengan simpul.
Bahasa tubuhku yang bicara, ikutlah saja denganku, Bunga. Akan aku ajak kamu
ketempat yang belum pernah kamu kunjungi, pada tempat yang akan meyakinkanmu
untuk menerima cintaku dan kembali
merajutnya dengan benang-benang Pelangi cinta kita.
Aku memabawanya dengan motor Jupiterku
menuju kearah selatan, melewati kali indah serayu. Sepanjang perjalanan, aku
hanya diam, konsentrasi menatap persimpangan jalan yang aku lewati. Begitu pula
dengan Bunga. Ia menerka-nerka kemana akan aku membawanya.
“Daun, kemana kita? Ke Cilacap?”
tanyanya saat aku mengarahkan motorku kearah persimpangan jalan antara teluk
penyu dan Cilacap kota.
“Jangan takut, Bunga, aku akan
membawamu ketempat mungil dan penuh kekelaman yang belum pernah kamu kunjungi.
Sebenarnya, aku juga tidak ingin kita kesana, tapi ini terpakasa” jawabku. Aku
membawanya ketempat itu karena memang terpaksa, karena aku yakin setelah Bunga
mengetahui sisa-sisa hidupku di masa lalu, ia akan memutar arah 90 deracat
celcius isi hatinya dan terlebih niatnya padaku.
Matahari tepat berada di ubun-ubun.
Begitu terasa panasnya, sepanas fikiran dan hatiku kali ini. Datang ketempat
itu lagi, sama seperti kembali pada hari-hari yang silam. Kembali merasakan
sakit dan kehilangan. Saat sampai pada ujung perempatan, kuarahkan motorku
menuju arah kanan.
“Kini, jarak antara aku dan masa lalu
tinggal lima puluh meter” batinku saat memasuki gank kecil setelah perempatan.
Tepat di depan gank melati terdapat rumah berpagar warna coklat penuh karat.
Menunjukan warna yang sangat kusam, pertanda rumah yang sudah hampir lebih dari
lima tahun tak berpenghuni. Lalu aku masuki pagar yang sudah rusak dan tak
berpintu lagi. Kuparkirkan motorku dihalaman
yang terlihat begitu kotor.
Aku begitu ragu untuk melangkah
meninggalkan motorku. Ingin rasanya aku kembali memutar roda motor dan pergi
dari halaman itu. Aroma bayang-bayang masa lalu semakin tercium di hidungku.
Aku mulai gelisah, andrenalinku berpacu dua kali lipat tak beraturan. Lalu
kupaksakan kakiku pelan-pelan menuju teras halaman, kupandangi setiap inci
lantai berkeramik yang masih tersisa menutupi tanah, walalu sudah tak jelas
warnannya.
“Daun, kok kita kesini? Rumah siapa
ini?” Tanya Bunga kebingungan. Gurat-gurat gelisah terlihat di wajahnya.
Mungkin saja bergelayut asosiasi negative dalam benaknya. Mengapa aku
membawanya kerumah yang sudah tua renta dan tak berpenghuni.
“Sebentar lagi kamu akan tahu Bunga.
Tenanglah sebentar” jawab Daun.
Saat aku melangkah menuju halaman samping,
tiba-tiba ada seorang perempuan
paruh baya yang memanggilku. Kuamati dan sepertinya tak asing lagi bagiku.
Ternyata benar, Ia adalah salah satu
wanita yang pernah begitu dekat denganku. Ialah saksi kehidupanku dengan segala
masa laluku.
“Mas Daun, kok ada disini?”
“Eh, Bu Sumi, iyah Bu lagi pengen
lihat tanah” jawabku kaget, karena ternyata ia masih mengingatku setelah lima 5
tahun hampir tidak pernah bertemu.
“Sekarang dimana Mas? Semenjak pindah
kok tidak pernah nengok rumah disini?” tanyannya. Dulu, ia adalah salah satu
tetanggaku, saat aku masih menempati rumah sederhana yang sekarang ada di
depanku. Rumah sederhana yang pernah menjadi surga bagiku, Ibu, Ayah dan dan kedua saudaraku.
Tapi kini rumah itu bagai neraka yang pernah membakar seonggok hatiku.
“Sekarang masih kuliah di Purwokerto
Bu” jawabku, lalu aku minta ia menemaniku masuk kedalam rumah, karena aku ingin
mengambil sesuatu. Lalu, pelan-pelan kubuka pintu rumah yang sudah reot dan
tidak terkunci, hanya terganjal dengan sebuah batu seberat 2kg saja. Saat itu
pula, terbuka masa silam yang pernah kita lewati disini. Teringat saat Ayah
memeluku diruang tamu, Ibuku memasak dan memanggil kita semua dengan aroma lezatnya,
kakaku yang begitu rajin dengan buku-bukunya, dan adek perempuanku yang sangat
cantik yang selalu manja dengan aku dan kakaku. Tapi itu semua tiba-tiba
hilang. Tergantikan dengan hari-hari yang mencekam dan malam-malam yang
mengerikan.
Tak ada lagi pelukan hangat Ayah. Tak
ada lagi waktu bersama Ayah, tak ada senyum Ayah. Yang ada hanyalah ambisi Ayah
dan ringan tangannya yang tak segan-segan mendarat di tubuh kita.
Kulirik Bunga yang masih bingung
dengan semau ini. Mengapa aku membawanya ke rumah reyot dan sudah dapat aku
pastikan, pertanyaan demi pertanyaan yang masih mengambang di kepalannya. Rumah
siapa ini, dan siapa Bu Sumi yang tiba-tiba mendatangiku dengan mata penuh
kerinduan, serta apa kaitanya dengan hidupku. Yah, hanya satu jawaban yang
telah ku persiapkan, yaitu masa lalu dan masa depan yang ingin kurajut dengannya.
“Daun, aku masih tidak paham dengan
semua ini!” protesnya, kebingungan. Begitu lucu aku memandang wajahnya, penuh
dengan gurat-gurat ketakutan, penasaran dan kebingungan.
“Tenanglah, Bunga, dulu ini rumahku,
sebelum lima tahun lalu, aku dan keluargaku
pindah ke daerah Cilacap timur,” jawabku. Lalu aku menjelaskan tentang sebagian
perjalanan keluargaku. Mengapa pindah dari daerah Cilacap dekat laut ke daerah
Gebangsari.
Kini, kami sampai di depan ruangan
yang berukuran 3x4 meter. Ruangan yang dulu pernah mejadi kamar tempat ku
baringkan tubuh, ruangan yang pernah menjadi saksi senang dan sendunya batinku.
Kubuka perlahan pintu yang mulai keropos, terlihat rayap-rayap berlarian dan
beranak pinak di sana, menggerogoti kayunya sedikit demi sedikit. Lalu kami
masuk dan aku segera mendekati lemari besi yang berada di pojok ruangan.
Terlihat karat yang telah mengganti warna aslinya.
“Daun,
kita mau apa di dalam ruangan ini, apa yang sedanga kamu cari?”Tanya Bu Sumi
heran. Karena melihat tanganku yang bergetar dan mataku yang mulai memanas.
Bunga hanya tampak semakin bingung. Dengan ruangan ini, dengan perubahan raut
mukaku saat membuka lemari dan mengambil sebuah kotak kaleng biskuit yang
berada di laci.
“Bunga, kotak inilah yang ingin
kutunjukan padamu” ucapku. Kebingungan Bunga terlihat semakin bingung dan tak mengerti.
Mengapa aku jauh-jauh mengajaknya ke Cilacap hanya untuk menunjukan sebuah
kotak biskuit. Tapi bagiku, kotak itu begitu berharga. Keringat di keningku
tiba-tiba mengalir, tanganku masih gemetar saat perlahan aku membukannya.
Seperti hendak membuka peti mati rasanya. Jika kubuka kotak itu, sukma masa
laluku yang telah ku pendam dan kupasung dalam kotak tersebut akan
melayang-layang di angkasa dan menjerit merasa kesakitan. Tapi jika tidak aku
buka, Bunga tidak akan pernah tahu hidupku yang sebenarnya. Dan sudah dapat
kupastikan, pupuslah masa depan yang aku dambakan dengannya.
Aku sangat berharap, setelah Bunga
mengetahui masa laluku Ia akan berubah pikiran. Kulihat, ia semakin menerka-nerka apa yang sebenaranya ada di dalamnya
dan mengapa aku tunjukan padanya. dan,
“Bunga, aku ingin menunjukan ini
padamu” kataku memecahkan kesunyian dan sambil menyerahkan isi dalam kotak
biscuit. Berupa sebuah album yang mulai pudar foto-fotonya dan sebuah buku
setebal 350 halaman bersampul panorama lautan dan pepohonan yang rindang di
sampingnya. Terlihat kumal sudah buku itu. Sekumal hatiku saat ini.
“lihatlah Bunga, dan baca dengan mata
hatimu. Hanya dengan sederet abjad itulah serta kamar ini, aku tumpahkan segala
rasa ynag bergelayut dalam hatiku. Resapilah, maka kamu akan tahu bahwa hidupku
hanyalah berkalang duka dan bersanding dengan nestapa, jauh dari rasa bahagia
dan tak ada senyum yang meningkahinya. Bacalah, bahwa aku selama ini mencitaimu
dengan alasan yang begitu kuat, aku merasakan Tuhan telah menggantikan bidadari
dan belaian manjanya ketika aku dipangkuannya, dengan kehadiranmu” ucapku
sambil menahan air mata yang kini telah menggenang di pelupuk mataku.
Bunga tampak ragu menerima buku
catatan dan album itu. Perlahan ia membuka album itu. Dan betapa ia kaget dan
terperanjat saat menemukan sosok yang begitu
mirip dengannya.
“Bunga, itu Ibuku, ia sangat mirip
denganmu. Itu sewaktu ia muda dulu. Ia sama cantiknya denganmu” jawabku. Karena
itu adalah salah satu alasanku mencintai Bunga. Dari awal aku melihatnya
berjalan di depan kostku, aku merasa ruh Ibu berjalan bersamanya. Wajahnya yang
teduh seteduh wajah Ibu, ketika bersama kami. Lalu perlahan-lahan ia mulai
membuka lembaran-lembaran buku yang berisi catatan perjalan kelamku.
10
Kotak
Masa Lalu1: Suatu Masa
Tiga
belas april, adalah tanggal dan bulan yang begitu bermakna bagiku. Tahun 1989
lalu, aku terlahir dari rahim Ibu yang sangat cantik, hingga kata orang-orang,
walaupun aku terlahir dengan jenis kelamin laki-laki aku mewarisi sebagian dari
keindahan parasnya. Hidungnya yang mbangir seperti hidung orang-orang india.
Kulitnya yang bersih, putih dan bola matanya yang bulat seperti bulan purnama.
Saat itu, Ayahku sangat menyukai berbagai
jenis tumbuhan khususnya yang berdaun
lebat dan indah. Sehingga ia menamaiku DaunIndra laksmana. Aku juga heran,
mengapa Ayahku menamaiku seperti itu. Padahal, masih banyak sekali sederet nama-nama
yang bagus dan bermakna indah, seperti Azkal Azkia, ataupun nama-nama yang
menyamai artis atau tokoh ulama.
Pada saat aku berumur Sembilan tahun,
pernah aku menanyakannya pada Ayah. Karena pada saat itu, aku sering diledek
oleh teman sekelasku. Katanya namaku tidak ranting saja atau bahkan pohon
sekalian. Jawaban Ayah kala itu sangat membuatku melonjak kegirangan. Bahwa
alasan Ayah memberi nama Daun adalah karena Ayah begitu mencintai
dedaunan. Selain itu, manfaat daun yang
begitu besar. Memberi kesejukan serta mampu berkawan dengan angin, memberi
manfaat pada manusia yaitu memberi keteduhan serta sebagai penawar rasa sakit
dan penawar racun. Selain itu, ada
daun-daun tertentu yang bisa dimasak dan mengandung banyak vitamin serta
menjadi obat bagi orang yang terkena luka atau keracunan. Intinya, menurut
Ayah, aku harus bisa seperti daun dalam pohon yang sesungguhnya. Karena dalam
hidupku Ayah dan Ibuku adalah bagai pohon dan rantingnya. Aku harus bisa
bermanfaat bagi diriku sendiri, orang lain serta kehadiranku mampu menjadi obat
bagi orang lain. Sungguh mulia harapan Ayahku lewat sebaris namaku.
Saat itu, aku dan keluargaku sangat
bahagia. Walaupun hanya tinggal dirumah yang sangat sederhana. Di daerah
pesisir pantai teluk penyu dan tak jauh dari tempat penyulingan minyak. Jika
sore hari, kami bersama-sama berjalan menuju pesisir pantai. Melihat indahnya
deburan ombak serta para nelayan yang pulang dengan ikan-ikan di prahunya.
Betapa bangga kami saat itu tinggal di Cilacap.
Cilacap
adalah sebuah kabupaten yang memiliki wilayah
terluas di jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari kawasan yang didukung area industry atau
perusahaan yang berdiri cukup banyak. Selain itu, yang menjadi kebanggaan kami
Cilacap adalah kota penghasil ikan laut yang cukup tinggi. Terlihat dari nilai
produksi ikan pertahun dengan jumlah
15.153,12 ton. Tujuh dermaga juga menambah lengkap indah dan kekayaan kota
Cilacap. Dulu Ayahku bekerja dipasar
dekat pantai. Menyalurkan ikan yang masih segar pada para pedagang di
pasar-pasar daerah lain. Seperti pasar daerah kabupaten banyumas bahkan
merambah ke kabupaten kebumen. Selain itu, Ayah juga membudidayakan ikan
kerapu. Saat itu, budidaya ikan kerapu di kota Cilacap cukup banyak. Berjumlah
sekitar 891 Ha yang terletak di sebelah pulau Nusa Kambangan dengan sistim
keramba. Dengan kerja keras Ayah tak pernah kenal lelah, sehingga Pendapatan Ayah cukup tinggi. Dan dapat menyekolahkanku serta
dua saudaraku.
Aku terlahir sebagai anak ke dua dari
tiga bersaudara. Kakaku yang bernama lintang pramudiana adalah anak yang
pertama. Ia adalah seorang yang sangat cerdas dan pendiam serta sangat perhatian dengan kedua adiknya.
Mungkin karena anak pertama sehingga ia memiliki rasa tanggung jawab. Termasuk
pada diriku yang terkenal banyak tingkah dan pada adik perempuan satu-satunya.
Mungkin juga karena pengaruh sederet namanya. Ayah memang begitu fikirku.
memberi nama dengan makna yang berat. Lintang sebagai penerang dan harus
sealalu bercahaya karena ia berada diatas dan harus bisa menerangi suasana
dibawahnya, menjadi obor jalan yang gelap bagi apapun yang berada dibawahnya.
Entahlah, aku ingat-ingat lupa tentang
cerita hidup masa lalu kakaku. Karena selain tidak akrab, kakaku juga jarang
bicara pada kami kecuali hal yang penting. Pada umur 10 tahun kakaku tinggal
bersama Tante dan Omku di Kebumen . Menambah lengkap huBungan kami yang awalnya
tidak erat karena sikap pendiamnya.
Adik perempuanku yang bernama Pelangi
Indah Sukma Indriani. Dan biasa dipanggil dengan Pelangi. Ia terpaut dua tahun
setengah denganku. tumbuh dengan wajah cantik dan sikap yang lembut serta rasa
kasih sayang yang begitu tinggi sehingga membuatku semakin merasa memiliki
terhadapnya.
Pelangi lebih dekat denganku. Selain
memilki hobi yang sama, ia juga mempunyai tabiyat yang manja dengan kakanya, terutama
denganku. jika ada pelajaran sekolah yang ia tak bisa ia selalu datang padaku,
minta uang jajan jika kurang yang diberikan oleh Ibuku jug padaku. Sehingga
pada saat tumbuh remaja sekitar umur enam belas tahun, masalah perasaannya dan
hari-hari pubertasnya pun selalu ia ceritakan padaku. Sungguh aku sangat
menyayanginya.
Sedangkan Ibuku, adalah seorang wanita
yang berparas cantik. Berkulit kuning langsat. Betis yang indah serta
kulit-kulit di kukunya berwarna putih segar. Tutur bicaranya yang pelan dan
lembut manambah sempurna kecantikannya. Khususnya kecantikan dalam bagi seorang
wanita. Atau orang biasanya menyebutnya inerbeauty. Kata kakeku, sewaktu
kecil Ibu adalah seorang anak bungsu yang tangkas. Tidak seperti kebanyakan
anak bungsu lainnya yang cenderung manja. Otaknya yang cerdas serta hidupnya
yang visisoner membuat sederet prestasi berpihak padanya. Tak sedikit pemuda
yang dahulu datang kerumah dan mendekati kakeku demi mendapatkan putri
bungsunya yang cantik.
Tapi,
hingga umur dua puluh dua tahun, kakek tidak pernah mengizinkan Ibu dekat
dengan laki-laki. Takut kebablasan katanya. Yah, kakeku memang seorang yang
mengidap kecemasan tinggi, selain orangnya sangat berhati-hati juga ia juga
sesorang yang sangat memilah dan memilih hal yang sangat minimalis mengandung
resiko. Hal itu, menjadi awal Ayahku kenal dengan Ibuku.
Kata kakeku,
Ayah adalah seorang yan sangat pantas menjadi seorang kepala kelaurga, walaupun
umurnya masih dibilang muda. Hal itu,
terlihat dari sikap Ayah yang bijaksana. Namun, yang sangat disayangkan
Ayah berbeda keyakinan dengan Ibuku. Ayah beragama Kristen sedangkan kelurga
Ibu beragama Islam. Namun, semua itu akhirnya tidak menjadi masalah.karena
menurut kakeku, Ayah adalah orang yang sangat menjunjung tinggi demokrasi dan
begitu menghormati perbedaan. Selain itu, Ayah adalah seorang yang pendiam,
serta rasa tanggung jawab yang tinggi. Hal itu, terbukti ketika Ayah menikahi
Ibuku. Ia langsung membawa Ibuku dan selang beberapa tahun kemudian, berkat
kegigihan kerja Ayah, akhirnya mampu membeli rumah sendiri. Walau hanya
sederhana
Sebenarnya tidak ada cerita masa kecilku
yang begitu istimewa. Bahkan berbanding terbalik dari bahagia. Karena aku harus
dewasa sebelum masanya. Hal yang gak seharusnya aku tahu, justru menuntut untuk
aku fikirkan. Sebenarnya otaku belum siap menerima itu semua, kala itu. Tapi
aku tidak mampu berbuat apa-apa. Justru orang didekatku yang menuntutku merasa,
berfikir dan membaca keadaan tidak dengan mataku, tapi dengan rasio
penyelesaianku. Sungguh menyakitkan bagi jiwa kecilku. Hal itu, bermula dari
ambisius Ayahku untuk membahagiakan aku dan keluargaku. Tapi justru semua
kebablasan dan membawa kita kejurang
serta liang penderitaan.
Hutang-hutang, serta hilangnya keprawanan adiku, Pelangi.
***
Latar
belakang Ayah dan Ibu yang sangat berbeda. Hal itulah yang sering menjadi bahan
percekcokan diantara mereka. Ayah, berasal dari keluarga
yang boleh dibilang serba kecukupan. Sedangkan Ibuku berasal dari keluarga yang
sangat sederhana. Hingga modal ia sekolah
dulu hanyalah keceradasan dan tekad yang kuat. Selain itu, ternyata perbedaan
agama menjadi masalah yang sangat krusial bagi perjalanan hidup keluarga.
Namun, pada akhirnya hanya kakaku yang mengikuti keyakinan Ayah. Aku dan
Pelangi beragama Islam.
Semenjak
sekolah dulu, Ayah terbiasa dengan uang saku yang lebih. Sehingga membuatnya
tidak sekedar membeli makan dikantin. Namun, ia mulai berani membeli sebungkus
rokok. Awalnya ia hanya coba-coba. Lama-kelamaan zat nikotin membuatnya
ketagihan. Hingga setelah menikah dengan Ibuku, kebiasaan itupun justru semakin
mejadi. Ayah selalu menyempatkan membeli rokok
walalupu kebuTuhan rumah tangga
belum sepenuhnya tercukupi.
Umurku waktu itu, menginjak 11 tahun. Aku
memulai sekolah pertamaku di SMP Purnama Cilacap. Jarak antar rumah dan sekolah
cukup jauh. Sehingga membuatku harus naik angkot dua kali. Biaya pulang pergi
bila dikalkulasi dalam sebulan cukup besar. Dan yang menjadi masalah, tempat
Ayah bekerja mengalami kebangkrutan.
Ikan
yang dibudidayakannya dengan
sistim keramba banyak yang mati. Dan penjualan ikan pada waktu pagi pun semakin
menurun. Gajih Ayahku pun semakin tidak menentu. uang dapur semakin tidak
teratur, sehingga membuat Ibu bingung harus memutarkan uang itu, belum lagi
Ayah jarang sekali mau untuk makan sekedar dengan sayur, atau tahu tempe.
Kegilaan Ayah dengan rokokpun tidak berhenti malah semakin menjadi. Akhirnya,
dengan berat hati Ibu menggadaikan perhiasan hasil tabungannya. Mulai dari
cincin yang ia pakai hingga kalung dan liontin, dan akhirnya habis, Ibupun tak
punya apa-apa lagi. Ayah selalu marah-marah jika menu tidak enak, rokok tidak
ada. Belum lagi, aku mendekati ujian semester. Kebiasaan Ayah yang selalu
menunda-nunda pembayaran SPPku hingga menumpuk.
“Ayah,
Daun hari senin ujian semester, dan Daun tidak boleh ikut ujian kalau belum
membayar SPP” ucapku pada Ayah, saat duduk di beranda rumah.
“Ya sudah, besok Ayah cari pinjaman”
jawab Ayah singkat.
Berawal dari pinjaman-pinjaman kecil,
sekedar untuk membiayai SPP ku dan memenuhi kebutuhan rumah tangga yang masih kurang,
lama-kelamaan menjadi kebiasaan Ayah meminjam uang kepada kawannya yang bernama
Hendra.
“Ayah, jangan meminjam uang lagi pada
Bang Hendra, nanti tidak bisa membayar cicilan dan bungannya semakin
menumpuk” nasihat Ibu. Karena Bang Hendra memang terkenal sebagai lintah darat
di kampung kami. Sawahnya yang luas serta penghasilan dari kebon karet di luar
jawa membuatnya hidup dengan harta melimpah. Serta menjadi bank peminjaman uang
di desa kami yang mayoritas perekonomiannya sangat minim. Sehingga Bang Hendra
memanfatkan momen tersebut sebagai ajank mencari penghasilan tambahan. Karena
memang pada akhirnya pembayaran bunga
melebihi uang yang ia hutangkan.
Namun, Ayah tidak pernah mendengar
nasihat Ibuku. Dengan alasan kepepet. Sehingga tak terasa hutang semakin
menumpuk.
“Pak Ardi, bagaimana dengan cicilan
hutangmu? Kamu sudah nunggak dua bulan” tagih Bang Hendra pada sutau sore.
Ayahku hanya berjanji dan berjani akan membayarnya. Namun, karena sering kali
Ayah bohong, membuat Bang
Hendar marah dan memukul Ayah.
“Baik, Bang Hendra, saya akan menjamin
hutang-hutang saya dengan sertifikat rumah” ucap Ayahku, dengan mengambil
selembar sertifikat rumah.
“Ayah, jangan, itu satu-satunya yang kita
miliki sekarang” tangis Ibu, ketika Ayah memintannya dengan paksa. Dan akhirnya
sertifikat itu pun jatuh ketangan lintah darat itu. Kami pun tidak punya
apa-apa lagi hanya rumah tempat kami berteduh dari panas dan hujan yang
sebentar lagi akan dirampas orang dan kami akan terusir dari rumah kami
sendiri.
Dua bulan berlalu. Ketika sore hari, Ayah
duduk diberanda dengan santainya, sambil menghisap rokoknya, Ibu duduk
disampingnya dan berucap lirih.
“Ayah, bagaimana kalau Ibu bekerja saja
menjadi TKW di Malaysia”
Ayahku sedikit kaget, namun ada gurat
senang diwajahnya. Mungkin berfikir dengan Ibu bekerja di luar negri akan
mendapat gaji tinggi dan semua hutang akan terlunasi serta akan mampu hidup
normal kembali seperti sebelum usahannya gagal dan Ayahpun tidak perlu kerepotan
hutang rokok lagi di warung dan harus mendengarkan pemilik warung yang cerewet
karena memang hutang Ayah sudah menumpuk.
“Baiklah, Bu. Jika itu keinginan Ibu.”
Jawab Ayah enteng.
Lalu, selang beberapa hari Ibu dan Ayah
mengurus surat-surat persayaratan untuk mendaftar menjadi TKW. Dan akhirnya,
setelah melalui proses tiga bulan semau beres dan Ibupun siap berangkat ke
negri Jiran, untuk mencari ringgit demi
kelangsungan hidup kelaurga tercintaanya.
“Daun, Jaga Pelangi. Ibu titipkan ia
padamu” ucap Ibu sambil memeluku. Ada rasa kehilangan yang begitu mendalam
dihatiku. Akan ada rasa kosong dihari-hari kedepanku. Lalu Ibu mencium keningku
dan memeluk Pelangi serta pamitan pada Ayah. Dan ia melangkah menuju bis yang sudah
menantinya dan akan memabawanya menuju Jakarta. Benar-benar sore yang hampa
bagiku.
Namun, aku tidak bisa apa-apa kecuali mendoakannya agar
semua pengorbannanya demi kami akan mendapat ridlho dari Tuhan dan di berikan
jalan kemudahan. Selamat jalan Ibu, semoga engkau disana bersama kasih sayang
Tuhan yang selalu kita agungkan.
***
Lebih
dari sebelas tahun kami hidup bersama. Ia adalah salah satu premepuan
terpenting dalam hidupku. Suara lembutnya yang selalu menenangkanku, wajah
riang yang selalu menghiasi hari-hariku, nasihatnya yang selalu memberiku
semangat. Ia tak pernah lelah menemaniku, ia bagai bidadari dari surga yang
selalu menghangatkanku dengan sayap-sayap cintannya.
Setiap hari, setelah aku pulang dari
sekolah, kami saling bercerita. Semua duka yang aku alami selalu ia redamkan
dengan senyum di bibirnya. Semua gelisah dalam hariku ada dalam dekapannya. Tapi, setelah tiga bulan lalu ia pergi
menyebrangi selat malaka, hari-hariku terasa kosong, hatiku terasa hampa,
semangatku lemah dan jiwaku rapuh. Hanya pada lautan yang membentang luas aku
ungkapkan kekosongan itu. Hanya pada ombak yang berlarian aku curahkan
kerapuhan itu. Hanya pada butir-butir pasir aku
rengkuhkan rinduku padanya. seperti sore ini, aku tumpahkan segala
rasaku pada lautan yang membentang. Laut Teluk
Penyu.
“Ibu, di sebrang air asin, di ujung selat
malaka, engkau pasti mendengar tangisanku yang tersembunyi. Aku tahu, lewat
angin sore di pesisir
pantai ini engkau titipkan pesan nasihatmu, jangan khawatir Ibu! Aku akan selalu berusaha
membuka pintu langit rahmat Ilahi agar selalu tertuju padamu. Perempuan
terindah dalam hidupku” lirihku dalam hati.
Lalu, aku titipkan sebait rinduku pada angin yang
mengajaku bermain. Dan, kurangkai bersama butir-butir pasir.
Wahai angin, sampaikan rinduku padanya
Kini, tetap kubayangkan butir-butir air
mata memenuhi pelupuk matanya.
Saat kau benar-benar membacakan
baris-baris kasih sayang
Berbingka rinduku padanya.
Aku adalah buah hatinya,
wujud cinta kasihnya beriringan
penyempurnaannya separuh pada Ilahi.
Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini,
Tetap seperti hari kemarin, hingga esok
dan senja yang menjelang
Mulutku kan tetap membisu
Terkunci tahta rindu yang membekukan
kata-kataku.
Hingga hari ini,
Coba kutuliskan sederet kata berlatar
hormatku padanya
Yang telah benar-benar beriak hampa
menunggu hadirnya.
Angin, sore ini kau menjadi saksiku
Aku ingin menciptakan hariku
Melihat matanya memeluk mataku
Agar benar-benar bahagia, sebahagia
lantunan nyanyian semilirmu.
Lalu, aku pergi meninggalkan ombak
yang berlarian. Berjalan menuju tempatku berteduh. Sore hari, saatnya aku
menemani Pelangiku. Agar tetap indah dan cerah. Sambil melangkah, menyusuri
jalanan. Aku mencoba sekuat hati untuk membendung dan menutupi jalan keluranya
air mataku. Yang mungkin, sebentar lagi takuat menahan nganga luka hidupku
tanpa sayap cintanya yang terhangat. Hingga mungkin mengajaku berteman dengan
air mata.
Sambil berjalan, aku berusaha
mengingat-ingat suatu nasihat yang kini baru aku mampu memahami. Ucapan Ustadz
Faiz. Saat aku mengaji di masjid kamis lalu. Mengapa ia mengajarkanku, untuk
tiga kali lipat menghormatimu. Ternyata engkau lebih agung dari pada seorang
Ayah, yang selalu mempertahankan nafas-nafas kehidupan. Engkau lebih mulia dari pada jajaran langit
hingga tingkat ketujuh. Sepercik darahmu, saat engkau mempertahankan nafas buah
hatimu. Aku kini mengerti saat itulah kau membangun dinding-dinding surga.
Untuk kau ajak aku dan orang-orang terkasihmu bermain bersama dan berlarian di
taman-taman indahnya. Bersama keindahan bungannya.
Seindah senyumu. Namun, kini senyumu tak bisa kulihat lagi, karena engkau telah
pergi bersama ombak di pantai itu. Demi membela aku dan orang-orang terkasihmu.
Terima kasih Ibu. Takan pernah terukir kata tanpa cinta dan pengabdian untukmu.
Aku berjanji bersama romansa senja ini, yang menjadi saksi, jika malaikat nanti
menagihnya.
“Aku, begitu menyayangimu Ibu” ucapku
sambil menatap jauh ketengah air yang dalam. Lalu, aku cepat-cepat dan setengah
berlari untuk pulang. Karena aku yakin adiku, Pelangi telah menantiku di
beranda rumah. Dengan buku-buku sekolahnya. Dan segera memintaku mengajarinya,
mengulang pelajaran siang tadi, saat ia masih di sekolah. Ia adalah perempuan
mungil yang paling kusayang setelah Ibuku.
***
11
Kotak Masa Lalu 2:
Keributan
Setelah
kepergian Ibu ke Malaysia, hal yang sering aku lakukan adalah termenung bersama
angin sore, di tepi pantai menunggu sunset. Seperti sore yang rapuh ini, aku mengajak karang-karang
bercerita tentang perjalananku tiga hari yang lalu. Aku meminta butir-butir
pasir untuk mendengarkan keluhku.
Tiga hari yang lalu, membuatku ingin
berlama-lama menatap ombak. Tiga hari yang lalu membuat rumahku yang dulu bagai
surga, kini berubah menjadi neraka. Yang membakar penghuninya. Tiga hari yang
lalu pula, membuat aku begitu membenci orang yang seharusnya aku hormati. Dan
tiga hari yang lalu juga memahat dendamku padanya. Ayah.
Seminggu yang lalu, saat Paman Hendra
datang kerumahku dan memberitahu Ayah bahwa Ibu mengirimkan uang untuk kami,
aku langsung melonjak kegirangan. Umurku yang masih sebelas tahun, hanyalah
memikirkan betapa senangnya mendapat kiriman uang dari Ibu. Bisa membeli baju seragam baru untuk sekolah,
sepatu baru sebagai ganti sepatu yang telah rusak dan tidak layak pakai lagi.
Tapi tiba-tiba keinginan dan kegirangan itu terhenti. Saat aku melihat Bang
Hendra datang dan menagih hutang pada Ayahku. Aku bisa menerima saat itu. Aku
merelakan keinginanku dan permintaan Ibuku untuk menyisihkan uang yang ia kirimkan
untuk kebuTuhanku dan Pelangi. Tapi selang beberapa hari, aku baru mengetahui
kalau Ayah tidak menggunakan kiriman Ibu untuk mencicil hutang pada Bang
Hendra. Tapi ia menggunakan uang itu untuk kebuTuhannya sendiri. Membeli rokok
dan hal yang terakhir aku tahu dan begitu mengagetkanku, Ayah berani bermain
judi.
“Ayah jahat” teriaku sambil berlari
menerobos gelapnya malam di desaku.
Lampu-lampu jalan yang masih jarang menunjukan betapa masih terpinggirkannya
desaku. Rumah-rumah yang masih sangat sederhana berjajaran di pinggir jalan.
Aku melewati rumah-rumah itu. Dengan hati yang hampa. Sehampa rumahku semenjak
ditinggal Ibu.
“Heh, berhenti kamu Daun,
berani-beraninnya membuntuti Ayah keluar rumah” teriak Ayah sambil mengejarku.
Namun aku tetap berlari. Hingga sampai di depan rumah lalu aku menuju kamarku
dan menguncinya. Dan, menangis sejadi-jadinya.
Masih terdengar samar-samar suara
marah-marah Ayah diluar. Mungkin ia tak menyangka kalau aku malam itu
mengikutinya. Memang sudah seminggu ini aku curiga padanya. Selalu keluar malam, dan pulang pagi. Hingga malam ini aku
sengaja mengikutinya. Dan ternyata ia mangkal bersama teman-temanya dan bermain
judi. Sungguh aku membencinya. Aku membencinya karena ia menghianati Ibu.
Aku hanya menangis merengkuh
bantal-bantal yang ada disampingku. Lalu kubuka buku catatan kesayanganku dan
kutumpahkan segala emosiku. Betapa nestapa kurasa malam ini.
Sekitar pukul satu malam, aku keluar
kamar. Kulihat kamar Ayah sudah gelap lampu lima wath yang biasa meneranginya
sudah dimatikan. Tanda Ayah sudah terlelap. Lalu, dengan langkah gontai aku
menuju kamar mandi. Rasanya ingin kubasuh wajahku malam itu. Dengan air suci
yang mengalir dari bejana tempat yang biasa aku pakai untuk wudlhu.
Terasa begitu segar ketika air mengaliri
wajahku yang kusam. Terasa jernih kembali fikiranku. Lalu, segera aku dirikan
sholat. Seperti yang diajarkan oleh Ustadz di tempatku mengaji. Bahwa sholat di
malam hari akan mendinginkan hati yang sedang panas dan menjernihkan fikiran
yang terasa sempit. Selain itu, beribu-ribu
malaikat berkeliaran di Bumi. Mencatat orang-orang yang sedang khusyu dengan
sujudnya. Jadi, besar kemungkinan akan mudah terkabulnya doa-doa yang manusia
panjatkan pada Tuhan. Kerena semakin malam, semakin sedikit manusia yang
meminta padanya. Sungguh mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, doa yang paling
mudah sampai dan mudah di dengar oleh Tuhan adalah doanya di sepertiga malam.
Selesai salam, aku tengadahkan kedua
tanganku. Berusaha aku mengetuk pintu rumah Tuhan. Kupanjatkan doa hanya untuk
Ibuku yang jauh disana.
“Ya Allah, ya Tuhanku. Di hadapan
siapapun Engkau kukuh. Ampunilah kelemahanku, karena tak mampu menghadapi semua
ini tanpa mengeluh. Hanya satu pintaku, janganlah Engkau lewatkan segala
rahmat-Mu dari Ibuku, yang telah rela memercikan darahnya demi tangisku.
Jauhkanlah Perempuan cantik itu dari nestapa dan gelisah, gantikanlah setiap
senyumku demi menukar rasa sedihnya. Aku sangat mencintai Ibuku.”tak terasa
lelehan butir-butir air mata membasahi pipiku. Aku begitu rindu pada Ibu.
Ingin rasanya aku menyusulnya ke Negri
Jiran itu. Ingin aku adukan segala tingkah Ayah semenjak Ibu pergi. Aku begitu
muak melihatnya. Menggunakan uang kiriman hasil Ibu hanya untuk bermain judi.
Hingga hutang-hutang Ayah tidak segera terlunasi. Justru semakin menumpuk. Dan
semakin dalam tergali lobang penderitaan karena terjerat hutang pada lintah
darat bernama Bang Hendra
***
Hari itu, adalah hari dimana genap
delapan belas bulan Ibu di Malaysia. Itu berarti kontrak kerja Ibu menjadi TKW
tinggal setengah tahun lagi. entah mengapa harus dalam waktu dua tahun kontrak
menjadi tenaga kerja di luar
negri. Mengapa tidak
satu tahun setengah saja atau bahkan
satu tahun. Agar lebih cepat pulang ke tanah air. Walau hal itu ku cari jawabannya,
tetap sia-sia dan takan merubah keinginan yang sebatas dalam fikiranku.
“Karena itu memang sudah perjanjian
dengan pemerintahan luar negri. Bahwa tenaga kerja dari luar atau khususnya TKW
kontraknya dua tahun” Begitu jawaban Ibu Anis. Guru sejarahku. Ketika
kutanyakan hal tersebut.
Terasa begitu lama, aku menanti hari itu
datang. Hingga malam-malam yang kulewati pun terasa hampa. Seperti malam ini.
Yang telah luruh dan kegelapan menyelimuti
seluruh perkampungan. Sementara lampu yang hanya berukuran dua koma lima
wath menggantung dengan batang yang menjulang. Kira-kira dengan ukuran satu
koma lima meter. Yang sengaja digunakan untuk menerangi jalan-jalan
perkampungan yang semakin rusak. Begitu memperlihatkan perkampungan yang
terpinggirkan dan tidak terfikirkan oleh pemerintah sekitar.
Sudah lebih dari satu jam aku duduk
termenung di beranda rumah. Sambil menatap bintang yang menggantung di langit.
Aku melihat lurus ke jalan dihadapanku. Dan tiba-tiba aku sangat terkejut
melihat seorang laki-laki yang jalan dengan sempoyongan. Kudekati dia. Ternyata
benar. Seperti apa yang berkelebat dalam fikiranku. Bahwa itu Ayah. Pulang
lebih dari jam dua belas malam. Tak sengaja aku mencium bau nafasnya. Bau tidak
enak menyembul dari bibirnya. Aku tidak tahu bau apa itu. Yang jelas Ayah tidak
seperti biasanya. Ia seperti dalam film-film yang kulihat dalam sinetron bila
habis minum alkohol.
Aku benar-benar terperanjat dan berkata
dalam hati.
“Ayah, dalam keadaan mabok. Ayah kini
selain berjudi juga telah berani meneguk air haram” begitu hancur perasaanku
malam itu. Langsung terbayang wajah Ibu yang lelah dengan pekerjaanya. Wajah
Ibu yang menahan rindu pada anak-anaknya. Dan wajah Ibu yang manangis pada
Tuhan, seperti malam-malam biasanya, ketika ia masih dirumah.
“Heh, minggir kamu, anak tidak
berguna”ucap Ayah, sambil meneguk botol yang ada di tangan kirinya. Dan
bertuliskan, Wine. Yah aku tidak terlalu asing dengan kata-kata itu. Sedikit
ingat penjelasan Guru biologiku di semester awal kelas tiga kemarin. Bahwa Wine
adalah sejenis minuman keras atau minuman beralkohol yang diperoleh dari
fermentasi buah anggur warna merah atau jingga bersama kulitnya yang mengandung
pigmen merah. Dengan cara pembuatannya,
anggur-anggur tersebut melalui
proses penghancuran untuk mengandung sari buah yang banyak mengandung gula.
Lalu, kalium atau natrium metabisulfit ditambah pada hancuran anggur tersebut
yang disebut lumut (must). Guna
menghambat bakteri pembusukan. Lalu didiamkan berbulan-bulan dengan di campur S.Cerevisae
atau S.Ellipseidous, sampai fermentasi benar-benar sempurna. Hingga
citarasanya benar-benar terbentuk.
Aku, benar-benar kecewa pada Ayah. Ia
berani mengkomsumsi minuman yang mengandung bahan psikoaktif dan menyebabkan
GMO (Gangguan Mental Organik), yang bisa benar-benar menurunkan kesadarannya.
Minuman yang jelas-jelas di haramkan dalam agama. Tertoreh satu lagi perih
dalam hatiku. Membekas dendan dalam fikiranku. Bahwa ia adalah manusia yang tak
pantas aku hormati dan aku patuhi. Benar-benar malam yang memahat dendam dan
kebencian. Namun, aku menyadari bahwa aku berbeda keyakinan dengannya. Aku
tidak tahu, apakah agama Ayah sama dengan agamaku mengharamkan minuman yang
mengandung alkohol
berkadar tinggi atau tidak.
Namun, semua itu tetap
tak menghalangiku, bahwa aku benar-benar membenci Ayah.
“Tuhan, aku hanya takut. Jika nanti karma
untuk Ayah terbagi denganku. aku takut menjadi rapuh ketika berhadapan dengan
masalah yang engkau rangkulkan padaku”
lalu, aku pergi dan masuk menuju kamarku dan menutupnya rapat-rapat.
***.
Enam
bulan telah terlewati. Kini aku telah menyelesaikan sekolah tingkat pertamaku.
Dengan nilai-nilai yang cukup memuaskan, aku siap melanjutkan ke tingkat SMA.
Sempat aku bingung, harus melanjutkan kemana. Akhirnya SMA Negri 1 Cilacap
menjadi tempatku melanjutkan menggapai mimpi serta menimba ilmu
sebanyak-banyaknya.
Alasan
utamaku, mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah tersebut adalah system
belajar mengajarnya yang benar-benar mampu di acungi jempol. Serta output yang
benar-benar diakui masyarakat. Selain itu, sekolah tersebut merupakan The
Fafourite School In Cilacap. Sekolah yang sudah bertaraf internasional.
Benar-benar kebanggan tersendiri jika aku mampu berjajar dengan orang-orang
jenius disana.
Akhirnya,
dengan sederet nilai-nilaiku yang cukup bagus. Aku dapat melewati standar yang
ditentukan di sekolah tersebut. Dan aku siap untuk menjalani hari-hariku.
Namun, kebahagianku bisa masuk sekolah faforit tersebut tak lengkap. Justru
lebih hampa terasa. Karena aku melanjutkan sekolah, berarti Ibu tidak pulang ke
Indonesia tahun ini. Ayah menyuruhnya menambah kontraknya. Dengan alasan, biaya
sekolah untuku dan Pelangi begitu mahal. Hingga tidak mungkin hanya
mengandalkan Ayahku. Yang hanya bekerja serabutan. Gajih pun tidak mencapai
Standar UMR, yang di tetapkan di Indonesia. Walau UMR tersebut pun masih
tergolong rendah, jika di bandingkan dengan Negara-nagara tetangga. Dan
akhirnya Ibupun menyetujuinya untuk menambah kontraknya dua tahun lagi. memang
benar-benar nasib selalu menganaktirikan keluargaku. Hingga harus menempuh
jalan yang susah itu.
Sebulan,
dua bulan, hingga enam bulan terlewati. Kini aku tengah menempuh ujian
semester. Begitu pula dengan Pelangi. Ia tengah sibuk mempersiapkan tryoutnya
menjelang ujian nasional. Umurku dengannya memang tidak terpaut terlalu jauh.
Hanya dua tahun setengah saja. Hingga
jenjang pendidikan pun hanya sekelas dibawahku. Hingga aku dan Pelangi, selain
sebagai saudara yang saling menyayangi juga seperti sahabat yang sangat kompak
dan saling mengisi. Kesibukanku
disekolah membuatku terlena dan luput dari perhatian Pelangi. Hingga aku tak
menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya
belakangan ini.
Pelangi,
adalah gadis yang sangat jelita. Parasnya yang cantik membuat tidak sedikit
teman laki-lakinya yang tertarik padanya. Badannya yang tumbuh subur,
membuatnya semakin kelihatan seperti gadis yang lebih dewasa dari pada umur
sesungguhnya. Mungkin karena akibat menstruasi dini. Ketika ia kelas enam SD,
ia sudah mengalami menstruasi. Hngga lekuk tubuhnyapun terlihat, buah dadanya
yang mulai membesar. Walau, jika dilihat dari tingkah lakunya, ia sama sekali
tak pantas untuk disebut dewasa, atau bahkan mulai menginjak masa pubertas.
Tapi, bentuk tubuhnya memang berkata lain. Mungkin itu yang membuat Ayahkupun
tertarik.
Aku
baru mengetahuinya setelah selang dua bulan.
Saat itu, secara tidak sengaja, aku memergoki Ayah sedang mengintip
Pelangi mandi. Awalnya, aku tidak percaya dengan apa yang dilakukan Ayah. Tapi
setelah tiga puluh menit aku perhatikan, tiba-tiba membuatku lebih dari tidak
percaya. Ayah justrus masuk ke kamar Pelangi, menunggunya hingga selesai mandi.
Dan ternyata,
“Ayah,
benar-benar kau manusia biadab. Ingat dia darah dagingmu, anak kandungmu,
adiku” teriaku sambil memukul Ayah dengan sebuah kayu yang aku ambil di
belakang rumah. Semua yang kulihat membuatku menggigil. Ayah begitu tega
memperlakukan Pelangi bukan seperti anak kandungnya sendiri. Meremas payudarnya
lalu melepas handuk yang ia kenakan, dan memaksa Pelangi untuk terlentang
kemudian menindihi badan bongsornya. Diikuti dengan nafas-nafas dari neraka.
Aku benar-benar merasa duniaku telah menghitam. Ayah bukan hanya merebut
kebahagian kebersamaan kami dengan Ibu, tapi ia telah menoreh warna hitam untuk
titian masa depanku dan Pelangi.
Lalu,
dengan menggunakan pakaian seadannya, Pelangi mendekatiku dan memeluku.
Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan dadaku.
“Kenapa,
kaka baru datang ka?” ucap Pelangi ditengah isaknya. Ayahku masih terkapar
pingsan dengan darah dipelipisnya. Mungkin terlalu keras pukulanku hingga
membuatnya lama tak sadarkan diri.
“Sejak
kapan kamu merasakan penderitaan ini?” tanyaku pada Pelangi.
“Semenjak
dua bulan lalu. Semenjak
Kaka sering pulang sore dan Pelangi dirumah sendirian hanya bersama Ayah”
jawabnya. lalu ia menceritakan dengan nafas sesaknya. Ketika dua bulan lalu
Ayah tiba-tiba datang kekamarnya dan memeluknya.
“Pelangi,
sini Ayah kengen denganmu, kamu kan anak perempuan Ayah, kenapa tidak pernah
sekalipun manja dengan Ayah” ucapnya, dengan mendekati Pelangi.
“Eh,
Ayah, kenapa masih dirumah, biasanya sudah melihat budidaya ikannya?”
“Tidak,
Ayah sedang cape, maukah kamu memijiti Ayah” pinta Ayah
“Baiklah”
jawab Pelangi mengiyakan,
Namun,
selang tiga puluh menit Pelangi merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Ayah.
Tiba-tiba iya menatapnya dengan tatapan yang aneh dan tidak wajar. Setelah itu,
ia mulai memegang tangannya hingga memeluknya, lalu meremas kedua payudaranya.
Lalu memaksanya membuka semua pakainnya. Dengan sederet ancaman. Bahwa Ayah
akan membunuhnya, membuangnya dan masih banyak lagi. Dengan wajah memerah, air
mata menglir serta tubuh yang memnggigil ia hanya bisa pasrah. Ketika Ayah
memburunya dengan nafas-nafas syaitan lalu menindihinya. Hingga ia merasakan sakit
yang luar biasa. Percikan darah pun mengalir dari daerah kewanitaannya. Dan
membelah keprawanannya.
Dua
bulan berturut-turut Ayah menikmati semua itu. Dua bulan, Ayah memahat luka dan
noda dalam tubuh putrinya. Dua bulan Ayah menyalakan api jahanam dan
menghancurkan keluarga yang sempat terbangun dengan keindahan senyum tawa dan
kini harus berbuah nestapa yang benar-benar teragungkan. Aku benar-benar tak
bisa memaafkan Ayah. Aku benar-benar muak melihat jasadnya yang terbalut dengan
ruh Syetan. Walaupun aku sedikit mengerti, lewat keterangan yang dipaparkan
oleh guru biologiku. Bahwa kebutuhan
seks bagi seorang laki-laki yang telah beristri cenderung menjadi kebutuhan primer. Apalagi
untuk manusia bejad seperti Ayahku. Manusia yang tak berbingkai iman, manusia
yang hanya menjadi budak syaithan. Dengan segala aturan-aturannya, hingga wine,
wiskhey dan judi menjadi hal yang sangat penting baginya. Aku sungguh membenci
Ayahku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terlanjur dalam tubuhku
mengalir setetes darahnya.
“Pelangi,
maafkan kaka, yang tak bisa menjagamu. Kaka tak mampu menjaga amanat dari Ibu.
Kaka jahat” ucapku. Bernada kesedihan. Lelehan air mata yang membasahi pipiku,
menjadi bukti nyata perihnya hatiku. Dan semakin menganganya luka di jiwaku.
Pelangi semakin erat memeluku. Aku tahu, iya ketakutan. Ketakutan menatap masa
depannya. Ketakutan akan hidupnya yang kini sudah terenggut dan masuk dalam
jurang kenistaan.
“Kaka,
janji. Kaka akan menjagamu dan akan menata masa depanmu walau harus
mengorbankan diri kaka sendiri. Karena kakalah semua ini terjadi” janjiku
pada Pelangi. Janji yang bukan sekedar janji. Tapi, janji seorang kaka pada
adiknya. Yang begitu disayang.
“Tuhan,
mengapa ini semua harus terjadi padaku dan keluargaku” protesku pada Tuhan
dalam hati. Karena aku merasa begitu rapuh dan tak berdaya. Aku benar-benar
merasa menjadi manusia yang paling lemah. karena aku tak mapu menjadi Daun yang diharapkan oleh semua keluargaku seperti
sebaris namaku.
“Pelangi,
Kaka sayang Pelangi” ucapku sambil mengusap air mata yang masih mengalir
membasahi pipinnya.
“Tuhan,
mengapa Pelangiku sayang harus dalam buram? Mengapa Pelangiku harus mengalami
semua ini?” tanyaku setengah memaki Tuhan. Yang kuanggap tak mau lagi
mendengarkan keluhku, tangisku dan tak sudi lagi melihat atau sedikit merasa
iba pada nasibku
dan keluargaku. Pelangi masih dalam pelukanku, wajahnya masih berlinang air
mata. Dan tubuhnya masih menggigil karena terkoyak oleh manusia jelmaan dari
syaithan yang diutus dari jahanam. Lalu aku mengusap rambutnnya yang indah dan
membiarkannya tenang dalam pelukan kasih sayangku dan rasa khawatirku serta
rasa memilikinya. Aku tahu ia juga merasakan betapa ia tak sendirian karena masih
ada aku yang begitu mencintainya.
“Sabarlah
Pelangi, takan selamanya kamu seperti ini. Yakinlah, bahwa ini adalah awal dari
bahagiamu dimasa mendatang. Kaka yakin, pasti kamu nantinya akan mendapat suami
yang sangat pengertian dan mau menerima. Tuhan tak pernah tidur, Pelangi”
“Terimakasih
Ka. Doa’mu adalah senjata buatku. Senjata yang akan membelaku ketika dalam
bahaya dan akan mampu membuatku semangat. Walau Pelangi rasa, hidup Pelangi
tinggal separuh. Semua telah hilang. Pelangi tak mempunyai mahkota yang indah
lagi” ucapnya. Namun, aku terus membesarkan hatinya. Agar ia tak rapuh. Aku berjanji pada malam yang
menyaksikan penderitaan kami. Pelangi takan pernah menangis lagi. Akan
kubentangkan seluruh kekuatanku untuk mengembalikan seluruh senyumnya.
***
Waktu merangkak meninggalkan peristiwa
yang menjadi cerita, hingga berujung menjadi sejarah. Kini, enam bulan telah
terlewati. Meninggalkanku dengan segala ceritanya. Masih terasa denting-denting
petikan masa lalu. Yang menoreh luka dan memahat dendam di batin laraku.
Masih seperti biasanya, di sore hari aku
dan Pelangi sibuk
memandang sunset dan berlarian berkejaran dengan ombak, yang siap
menerpa tubuh ringkih kami. Lalu, menjelang petang, kami pulang dengan langkah
gontai. Menuju rumah yang menurutku tak pantas lagi disebut rumah. Semenjak
enam bulan lau, aku tak menganggap rumah kecil dengan cat berwarna hijau,
berpelataran yang dihiasi Bunga-Bunga, dan telah tujuh belas tahun aku tempati,
sebagai rumah tempatku mendinginkan segala pelita hidup yang menerjangku diluar
dan tempatku berlindung dari teriknya matahari yang membakar kulitku. Serta
meneduhkanku dari hujan. Namun, fungsi yang kasat mata itu, tinggalah fungsi
yang hanya dirasa namun tak memiliki makna apapun.
Semenjak Ayah merubah warna hidup Pelangi
menjadi hitam pekat, semenjak itulah aku menganggap rumah itu adalah neraka
tempat berkumpulnya api dan segala syaitahan-syaithan yang terkutuk. Hingga tak
pernah membuatku sekalipun nyaman untuk berlama-lama berdiam diri di dalamnya.
Hanya satu alasanku, menjaga Pelangi dari ancaman birahi Ayah.
“Kaka,
minggu depan penerimaan pengumuman kelulusan”Ucap Pelangi sambil mengatur
nafasnya. Karena ia terlalu
capek untuk berlari,
bekerjaran dan bermain denganku di pantai.
“Baiklah, Pelangiku yang cantik, kaka
akan datang ke sekolahmu dan mengambil pengumumanmu” jawabku sambil merangkul
pundaknya.
“Kak, maafkan Pelangi jika hasilnya tidak
memuaskan” lanjut Pelangi, dengan wajah tertunduk. Terlihat gurat-gurat
kecemasan dan keterpurukan di wajahnya. Semenjak peristiwa enam bulan lalu,
ketika Ayah memperkosannya. Pelangi berubah menjadi gadis yang sangat pendiam
dan murung. Jiwannya yang dulu selalu optimis dan semangat yang tinggi, kini
telah hilang. Tergantikan dengan wajah yang pemurung, rapuh dan mudah putus
asa. Serta keyakinan yang jarang sekali menghampiri dirinya.
“Sudahlah, sayang. Pelangi adik kaka yang
paling pandai. Di mata kaka dan Ibu, Pelangi tetap nomor satu. Ayo yakinlah,
Ibu menunggu semangatmu di sana” nasihatku. Kulihat sedikit senyum merekah di
bibirnya. Aku sangat memahami perubahan Pelangi yang sangat drastis. Jiwanya
yang rapuh, semangatnya yang hilang, itu semau karena Ayah. Ayah yang telah
menghancurkan semuannya.
Aku sangat mengerti, betapa hancur hati
seorang wanita, apalagi yang masih belia seperti Pelangi. Jika harus melakukan hubungan seks tidak pada
waktunya. Bahkan bukan saja bagi gadis
yang berumuran sepertinya. Siapa saja yang melakukan hubungan seks tidak dengan
jalan halal. Pasti ia akan merasa menjadi manusia yang paling tidak bermoral.
Menjadi wanita yang tak pernah mampu menjaga kehormatan, serta menjadi manusia
yang tersisihkan, karena ia telah dianggap sampah masyarakat. Aku sangat
mengerti, pasti Pelangi tengah merasakan kegundahan dan rasa sakit karena hal
itu.
Sesampainya dirumah, aku melihat Ayah
yang sedang duduk termenung di beranda rumah. Tiba-tiba Pelangi memegang
tanganku dengan kencang. Terlihat rasa takut dan traumatik yang begitu
mendalam. Aku langsung membawa Pelangi masuk dan menemaninya dikamar. Terlihat
cucuran air mata yang membasahi pipinya. Ketakutan itu kini terlihat semakin
nyata. Lalu, aku memeluknya dengan erat. Bahasa tubuhku yang berbicara, bahwa
dia tidak sendiri. Aku, sebagai kakanya, akan selalu ada untuk dirinya.
“Kaka, Pelangi ingin bertemu Ibu” ucapnya
dengan suara gemetar. Tiba-tiba hatiku terasa begitu perih. Terlintas di depan
mataku, semua bayangan bahagia masa lalu kami dengan Ibu.
“Pelangi yang sabar yah, Ibu sebentar
lagi akan pulang” jawabku menghiburnya.
***
Pagi yang cerah. Secerah gaun merah muda
yang dikenakan Pelangi pagi ini. Wisuda
terakhirnya, sebagai siswa sekolah menengah pertama, menyimpan kebahagian dan
kesan tersendiri. Hingga ia tak mau terlihat murung atau bahkan naik keatas
panggung dengan wajah yang terlalu biasa. Sejak pagi tadi, ia sudah ribut memintaku
mengantarnya ke salon. Hari ini, Pelangi begitu cantik dan anggun. Tubuhnya yang tinggi semampai dan rambutnya
yang lurus, hitam panjang. Membuat kaum adam terpesona. Wajar saja jika Ayah
yang sudah lama ditinggalkan Ibu, tertarik untuk menikmati tubuhnya yang begitu
molek.
“Ah, sungguh biadab laki-laki itu”
umpatku dalam hati.
Mataku masih menatap lurus ke atas
panggung. Telingaku masih memperhatikan nama-nama yang dipanggil oleh kepala
sekolah. Murid-murid berprestasi yang hendak menerima hadiah. Sungguh aku tidak
menyangka. Pagi ini, cahaya matahari bagai benar-benar menerangiku. Setelah aku
dan Pelangi menyusuri jalan-jalan perih. Melayang dalam badai dan meniti tangga
langit kelam. Tiba-tiba secercah mentari itu memberikan sengatan semangat lewat
sinarnya. Hatiku terasa bergetar, kaki terasa berat melangkah, mataku tiba-tiba
berlinang. Tanda aku takuasa menerima bahagia yang sudah lama tak ku mengerti
kemana perginya.
Bumi yang kupijak terasa sejuk,
pemandangan disekelilingku kini seperti berubah menjadi taman-taman yang
menghijau. Betapa bahagia hatiku. Saat kepala sekolah SMP Purnama memanggil
nama siswa yang menduduki peringkat pertama.
“Inilah siswa teladan kita yang pertama,
Pelangi” terasa terbang semua beban berat yang selama ini menindihi badanku.
Hingga sering aku terengah-engah untuk bernafas. Kulihat Pelangi tersenyum, wajahnya yang pias
dan murung kini tergantikan segar merah merona. Secercah kebahagiaan yang
sempat menghilang dari hidupnya kini kembali menyapa dan membaur dengan batinnya.
“Selamat, adik anda adalah siswi kami
yang cerdas” ucap Pak Kepala sekolah saat aku berdiri di panggung untuk
menerima hadiah. Hadiah dari segala kerja kerasnya. Hadiah pengganti semua
hidup kelamnya. Lalu aku tersenyum dan mencium tangan pak kepala sekolah.
Aku berjalan cepat-cepat menghampiri
Pelangi. Ingin ku peluk dan kudekap hatinya.
“Pelangi, selamat yah. Kaka bangga
padamu”
“Terimakasih kaka, ini buat Kaka dan Ibu,
karena kalianlah aku mampu seperti ini, karena pelukan Kakalah aku mampu
berfikir jernih. Hingga aku dapat menghadapi dan melewati ujian ini semua kak,”
jawab Pelangi. Aku tidak menyangka bahwa pelukanku, Pelukan seorang kaka begitu
berarti bagi seorang adik. Pelukan seorang kaka mampu memberikan lebih dari
perlindungan lahir saja. Namun, pelukan seorang kaka benar-benar mampu
memberikan perlindungan batin untuk seorang adik.
Setelah semau acara selesai, aku langsung
mengajak Pelangi jalan-jalan. Mengelilingi kota Cilacap. Ke mall, membelikan
apa yang Ia mau, dan mengajaknya keliling taman kota. Aku tak ingin segera
pulang kerumah. Karena sama saja, kebahagian itu akan sirna jika melihat wajah
biadab Ayah.
“Pelangi, kaka ingin kamu melanjutkan
sekolah di SMA Negeri 1”
“Tapi, Kak, Pelangi sudah tidak betah
dirumah, Pelangi ingin melanjutkan sekolah di tempat Om Arif, bersama Kak
Lintang” pinta Pelangi.
“Tapi kaka, pasti akan kesepian”
“Tidak kak, doaku dan rasa rinduku akan
selalu menemanimu” jawabnya memanja. Lalu aku mengangguk. Tandaku mengiyakan
permintaanya. Walau aku harus kesepian menunggu Ibu pulang. Tapi semua tak
menjadi masalah, aku rela demi kebahagiaannya
***
Pucuk-pucuk
Daun masih basah. Embun masih bertahta. Kabut pagi itu menjelma mejadi rahasia.
Pagar rumahku bergoyang. Saat aku dan Pelangi melangkahkan kaki.
Meninggalkannya. Embun-embun itu bergulir saat
langkahku melewatinya. Lalu jatuh ke tanah.
Masih dalam jarak lima meter.
Tiba-tiba Pelangi membalikan badan dan menatap pagar halaman rumah kami. Air
matanya mengalir. Bibirnya bergetar. Hendak mengucapkan sesuatu.
“Kaka, hari ini, mungkin hari terakhir
Pelangi menatap pagar yang membalut kenangan kita” ucapnya sambil mengusap air
matanya dengan tisyu yang baru saja ia ambil dari tas kecilnya.
“Sudahlah Pelangi, ayo cepat kita
jalan, sudah siang”
Ada yang lebih buram dibalik pagar
yang buram itu. Kusam. Dan aku melihat bayangan wajahku dan Pelangi.
Menggeliyat dan mengatup kedua bibirku. Ada yang meleleh tiba-tiba membasahi
pipiku.
“Ah, sungguh nasib yang menyesakan
jiwa” bathin laraku, menyeruak.
Lalu, kami berjalan menuju halte bus. Selang beberapa
menit, akhirnya kami mendapat bus yang akan mengantarkan
kami menuju terminal. Akhirnya kami sampai di terminal kota Cilacap. Dan kini
kami mencari Bus
jurusan Cilacap-Jogjakarta. Karena dengan bus itu kami akan melewati kota
Kebumen. kota Beriman. Kota yang dikenal dengan kota santri. Kota yang kini di tempati oleh kakaku. Dan
akan menjadi tempat Pelangi meniti hari-hari
Mataku menatap keluar jendela bus yang kami tumpangi.
Terlihat pohon-pohon rindang yang melambai-lambai. Akhirnya, setelah cukup
bosan aku dengan aroma bus
dan panas yang sedari tadi membuat keringat bercucuran. Roda bus tak terasa telah mengantarkan kami melewati kabupaten
Banyumas. Akhirnya, kami smapai di
simpang lima. Dan langsung naik angkutan Jurusan Wonoyoso. Daerah tempat Om dan
Tante tinggal. Cukup sepuluh menit kami sampai disana.
“Tante, tolong jaga Pelangiku” ucapku
setelah berbasa-basi, dan akhirnya aku menceritakan peristiwa pemerkosaan
Pelangi, yang dilakukan oleh Ayahku sendiri. Tiba-tiba Kak Lintang menangis dan
memeluk kami berdua.
“Maafkan Kaka, adik-adiku.” Ucap kaka
dengan bibir bergetar. Ada sedikit gurat-gurat rasa bersalah di wajahnya. Aku
mengerti mungkin ia merasa tak bisa menjadi panutan. Tak bisa menjadi lintang
yang benar-benar menerangi adik-adiknya dikala dalam kegelapan. Namun, aku
tak ingin menyalahkannya. Karena ini
memang suratan yang telah menjadi kehendak_Nya.
Setelah dua hari menginap dikebumen,
akhirnya aku pulang menuju Cilacap. Meninggalkan Pelangi. Ada rasa kehilangan
di hatiku. Ada rasa kesepian yang menyeruak dari batinku. Lalu, aku mencium
keningnya, dan,
“Pelangi, Kaka pulang dulu, ada Kak
Lintang yang akan menemanimu dan menggantikan pelukan-pelukan Kaka, kalau rindu
pada Kaka, kirim Doa buat kaka dan datanglah ke pesisir laut tempat kita
mencurahkan air mata ketika menunggu Ibu. Semangat belajar. Dan gapai mimpimu”
“Kaka, baik-baik yah” ucapnya sambil
melepas pelukanku. Ada seulas senyum di bibirnya. Senyum yang begitu manis. Aku
yakin ketakutannya telah hilang. Lalu, setelah aku berpamitan dengan Kak
Lintang, Tante dan Om Arif,
aku melangkahkan kaki menuju kota bercahaya, cahaya yang menurutku telah redup,
meninggalkan Pelangi dengan harapannya.
Harapan meniti masa depan dengan menghapus kekelaman yang pernah singgah
untuk sementara.
***
Senja
menjemput nafas dalam diriku. Jarak yang jauh terasa dalam ketukan.
Meninggalkan bayangan-bayangan ombak di pesisir pantai. Yang selalu
bersitatatap dengan wajahku. Hingga aku tak lagi pernah menyapannya.
Menjauhinya dan lari meninggalkannya.
Sore itu, angin berhembus kencang.
Menyapaku yang tengah asik berbincang dengan pohon-pohon di halaman belakang.
Kupandangi mereka satu persatu, tak terasa ternyata pohon-pohon itu telah
tumbuh meninggi. Meninggalkan masa kecil hingga kini tumbuh dan berusaha
menyangga langit. Seperti yang tengah bergulir dalam fikikrku. Masa laluku kini
tengah lari. Masa depan pun bergantian datang menjemput walau akhirnya kelam
tak ada bedanya. Mungkin sejarah kehidupanku harus bertahtakan hitam pekat,
hingga tiada akhir putih yang menjemput.
Lima bulan berlalu. Setelah aku tak
bersama Pelangi lagi, hidupku benar-benar terasa sepi. Tak mampu aku
menggeliyat dalam kesepian itu. Hingga aku lari mencari keramaian. Rumah yang
terasa bagai neraka yang tertimbun reruntuhan sejarah masa lalu, membuatku
enggan berlama-lama menutup pintu dan berdiam diri di balik pintu itu. Wajah
Ayah yang semakin hari membuat isi perutku makin panas hingga ingin keluar
ceceran muntahan nanah kebencian. Menjadi pelangkap untuk aku enggan di rumah.
Semenjak kelas dua SMA, hidupku
semakin tidak jelas. Aku mulai senang keluyuran malam. Hingga aku mulai
mengenal minuman. Awalnya aku sangat menikmati itu. Hingga membuatku kecanduan.
Tak pernah ada malam-malamku yang tersisa di rumah. Berdiam diri dan membaca
buku seperti dahulu.
“Aku memang tak ada bedanya dengan
Ayah sekarang” ucapku lirih. Ketika aku merenungi nasibku sendiri. Yang kian
hancur. Tapi tak adil bagiku jika aku menyalahkan diriku sendiri. Justru
Ayahlah yang berperan besar mengantarkanku dan mengenalkanku pada dunia yang
kini aku nikahi. Dan membuatku berjanji untuk setia dengannya. Setia dengan
minuman kerasku, setia dengan pil ekstasi. Dan setia pada malam-malam yang
selalu menemani. Hingga tak pernah sedikitpun aku melewatkan malamku dengan
memejamkan mata.
Seperti hari ini, ketika aku begitu
muak dengan Ayah. Muak dengan sandiwaranya membohongi Ibu diluar sana. Huh,
begitu membuatku miris. tak ada kebencian yang memuncak kecuali ketika Ayah
membohongi Ibu, dengan sederet cerita palsunya. Sudah tak sabar aku menunggu
kepulangan Ibu.
“Ibu, Daun masih memerlukan biaya
besar sampai lulus SMA. Bertahanlah Ibu di Malaysia. Ayah akan menjaga mereka
dengan seluruh waktu Ayah dan kasih sayang Ayah” ucap Ayahku ketika Ibu
menelfon di Suatu pagi. Aku langsung lari mendengar itu semua. Tak kuat hatiku
menerima semua itu. Aku langsung mencari kawan-kawanku dan mencurahkan perihku
hingga benar-benar hilang.
“Zal, malam ini kita mabok sepuasnya” ucapku pada Rizal.
Salah satu sahabatku dari kelas satu SMA. Berawal dari nasib yang sama-sama
menyesakan. Kami semakin akrab dan berjanji untuk selalu bersama. karena hanya
dia yang tahu seluruh masalahku. Begitu pula denganku. yang selalu menjadi keluh
kesahnya dikala melihat orang tuannya bertengkar. Kami memang kumpulan
orang-orang yang terbuang dari kasih sayang dan rengkuhan keluarga.
Yang aku herankan, mereka tak pernah
sadar. Bahwa kami menderita dengan tingkah laku mereka. Mereka tak pernah mengerti
bahwa kita adalah orang-orang yang tertindas dengan segala ucapan mereka dan
tingkah mereka yang tidak sedikitpun memperlihatkan bahwa mereka telah dewasa.
“Mengapa mereka tak pernah memberikan
contoh yang baik” teriaku sambil meneguk wine yang ada ditanganku. Lalu, aku menghabiskannya dan terasa
melayang. Terbang seluruh masalahku.
Yah, Tuhan tak lagi ingin berkawan
denganku. lihatlah wahai Tuhan, kini aku telah punya kawan baru. Yang justru
lebih mengerti penderitaanku. Ia mengerti apa yang aku butuhkan, ia membawaku
terbang bersama malam dan mengajariku melupakan masalah. Tidak seperti Engkau
yang hanya diam membisu melihatku berdarah-darah meniti hari. Lalu, aku meneguk
minuman itu lagi. hingga botol terasa ringan dan tubuhku melayang. Semua terasa
gelap. Melayang, indah dan terasa ringan.
***
Tiga hari bertarung sebagai pembuktian belajar
selama tiga tahun, kini telah terlewati. Hari yang kutunggu akhirnya datang
juga. Hari dimana semua siswa berpacu dengan andrenalinnya. Haruskah ia menerima
hasil dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kiri penuh tangis darah dan
penutup wajah. Yah, ujian nasional memang membuat kami para siswa mengalami
stress yang berlebihan. Kontrol jantung yang kurang. Hingga penguasaan rasa
was-was yang sangat lemah. Karena rasa takut yang berlebihan akan hasil yang
mengecewakan.
Seperti
aku dan Rizal hari ini. Hanya duduk termenung di bawah pohon beringin
dibelakang sekolah. Ayahku yang datang dengan sepeda motornya, sama sekali tak
kusapa. Masih enggan aku bertegur sapa dengannya. Walau aku tahu, ia datang
kemari untuk menyaksikan keberhasilanku. Tapi, aku tetap tak bisa menerimannya
dan mengucapkan terimakasih padanya. Karena pagi ini, dibalik penampilannya
yang rapih, senyumnya yang ramah pada setiap orang yang duduk dikanan kirinya.
Hanyalah sebuah topeng yang menutupi semua tingkah bejadnya. Aku tetap akan
membencinya sampai kapanpun.
Kebencianku
padamu telah melumut
Mengalir bersama darah hingga mennyatu menjadi kulit
Bersama luka-luka yang kau torehkan
Hingga
menganga dan membusuk
Entah
sampai kapan aku tak mampu menjahitnya
Sampai
benar-benar aku temukan benang untuk menjahit lukaku
Yang
telah menganga begitu lebar.
“Daun, selamat
yah, akhirnya kamu lulus dengan nilai-nilai yang bagus” ucap Bu Yanah, guru
matematikaku. Guru yang begitu perhatian dan begitu sayang denganku. Teringat
empat bulan lalu, ketika aku melewati satu minggu tak mendatangi sekolah. Bu
Yanah lah yang selalu sibuk mencariku dan akhirnya, ia menemukanku sedang di
rel kereta api. Duduk sendiri dan memeluk satu botol wine.
“Daun, sudah
tiga hari ini Ibu mencarimu” ucap Bu yanah mengagetkanku. Aku hanya menoleh.
Tak berani lama-lama aku menatap matanya, terasa menghujam ke hatiku. Ada rasa
kalah yang menyeruak jika aku menatap matanya yang bening itu. Lalu, ia
mendekatiku dan memeluku. Terasa begitu hangat sehangat pelukan Ibuku dahulu,
huh begitu lama aku merindukan pelukannya.
“Ibu dan
kawan-kawanmu menantimu di bangku panjang itu. Ibu dan kawan-kawanmu merindukan
kata-katamu yang terata rapi ketika menjelaskan teori logaritma, integral,
persamaan linier” lanjut Bu Yanah mengingatkanku pada saat asiknya belajar
matematika bersama teman-teman. Aku sebenarnya sangat merindukan masa-masa itu.
Tapi semenjak aku mengenal minuman keras, dan terbiasa bergaul dengan malam,
terasa malas aku mengenalnya lagi. Walau aku tahu, efek minuman dan begadangku
membuat otaku kerdil. Tapi aku tak punya jalan lain. Hanya itu yang membuatku
tenang. Hanya degan jalan itu semau beban dipundaku terasa terangkat.
Aku hanya
tertunduk malu. Lalu Bu Yanah duduk disampingku. Dan mengajaku berbicara dari
hati ke hati.
“Daun, hidup tak
cuma sejengkal. Pahitmu dan rasa kotormu hanya secuil. Seharusnya kamu malu
dengan lautan yang setiap sore kamu ajak berbincang. Apakah lautan itu pernah
mengeluh walau menjadi pembuangan limbah. Apa ia pernah berteriak ketika ia
menjadi tempat terakhir kotoran-kotaran yang sungai bawa. Apa ia pernah
menangis ketika menyaksikan seorang nelayan yang tidak beradab mengahancurkan
kehidupan di bawahnya? Tidak kan? Karena lautan itu luas dan selalu bisa
menetralisir apa yang ia terima. Hingga bagi orang-orang Islam ia bisa untuk
bersuci” ucap Bu Yanah panjang lebar. Seperti ada sengatan sinar yang
menyentuhku. Tubuhku terasa panas, dan bergetar. Aku kini berani menatapnya. Ia
benar-benar memberiku kekuatan.
Lalu, aku
berjalan beriringan dengan Bu Yanah. Dan ia mengantarkanku pulang kerumah.
“Daun, memang
hebat Bu” ledek Rizal dengan menyentuh sikuku.
“Daun, aku
bangga padamu. Sudah beberapa botol masuk kedalam tubuhmu. Kamu masih mampu
menghafal teori Roucekn Warent tentang sosiologi, interaksi sosial. Hingga
teori para filosofis yunani seperti Aristhoteles, Plato dan Socrates” puji
Rizal lagi.
Bu yanah masih
tersenyum dan memegang pundaku. Aku hanya balas tersenyum dengan pujian Rizal.
Lalu,
“Jangan salah
Zal, walau aku nakal begini, Tuhan masih menganugrahi otak tingkat medium
bagiku dan aku tergolong anak yang
mempunyai kelebihan giftedness. Yah, tidak tinggi-tinggi si paling sekor
IQ ku ya sekitar 140 lah” jawabku. Lalu tak segan-segan ia menimpuku dengan
buku yang ada ditangannya. Dan kami tertawa bersama.
“Sialan Lho,
emangnya kamu kira aku ini tergolong mentally retarded?” balasnya dengan
nada bercanda. Bu Yanah yang dari tadi pasang wajah serius ikut tersenyum.
Aku pulang ke
rumah mendahului Ayah. Masih tak sudi aku berjalan beriringan dengannya. Terasa
ingin cepat-cepat membalikan badan jika aku tak sengaja bertatapan dengannya.
Walau Ayah sudah berkali-kali meminta
maaf padaku dan mengajaku berbicara. Tapi aku selalu sengaja menghindar dan
mengatupkan bibirku. Terasa berat untuk menjawab semua pertanyannya. Hingga
hari ini. Baru saja tiga puluh menit aku sampai dirumah. Ada beberapa polisi datang kerumahku dan
mengabarkanku bahwa Ayah mengalami kecelakaan. Sepeda motornya terserempet oleh
sebuah truk. Aku tersenyum, ada sedikit rasa bahagia. Dan, Justru aku mengamini
kabar mereka.
Namun, dengan
segala kepura-puraanku aku datang kerumah sakit dan menjenguk kamarnya. Kulihat
Ayah tak berdaya. Watak kepongahnnya telah tertundukan oleh perban yang
membalut kepalanya. Ada sedikit senyum yang menguasai hatiku. Dendamku terasa
terbalas.
“Saudara Daun,
pasien ingin berbicara dengan Anda. Ia sudah siuman” panggil dokter yang
merawat Ayahku. Lalu, aku mengiyakannya. Dan dengan langkah berat aku memasuki
kamar Ayah. Masih dengan wajah acuh aku menyambut senyumnya. Ketika aku duduk
disamping ranjangnya, tiba-tiba Ayah
memegang tanganku. Kulihat ia meneteskan air mata.
“Daun, kamu selalu menjadi kebanggaan
Ayah. Tetaplah menjadi Daun yang selalu bisa bermanfaat untuk orang lain dan
dirimu sendiri. Maafkan Ayah yang telah meracuni ranting hidupmu. Maafkan Ayah
yang telah mematahkan batang-batang masa depanmu” ucap Ayah dengan nafas
tersengal-sengal. Aku masih membisu. Terasa tersentuh hatiku yang paling dalam.
Sebenarnya aku sangat merindukan Ayah yang seperti ini. Aku sangat rindu dengan
sabda Ayah yang begitu menyejukan hati. Aku sangat merindukan itu semua.
Selang beberapa
menit, aku tak sengaja melihat Electro kardio grafi yang berada di kanan
tempat tidur Ayah mulai mendatar. Gerakan gelombang naik turunnya sudah tak
menentu. Makin lama makin menurun hingga benar-benar membentuk garis lurus. Aku
langsung berlari memanggil dokter. Nafasku memburu tak beraturan. Tangan Ayah
semakin dingin. Dan lama-kelamaan matanya menutup. Kulihat ada senyum yang
simpul.
“Ayah. Bangun.
Ayah” teriaku sambil mengoyang-goyangkan tangannya. Ada rasa kehilangan
bercampur kebahagiaan yang kurasakan. Jiwa terdalamku merasakan sedih, bahwa
aku kini menjadi seorang anak yatim. Namun, rasioku mnegatakan bahwa inilah
akhir dari penderitaan. Namun, aku tak kuasa akhirnya aku memeluk jasadnya.
Jasad yang dulu membuatku mual. Jasad yang dulu selalu membuatku berkalang
duka. Ada setetes air mata dari jiwa kanak-kanaku yang dulu selalu dipeluknya. Ada setetes kesedihanku.
Tapi, aku menyadari ia tetap Ayahku. Ayah yang mengajariku banyak hal. Lalu,
aku menutup wajahnya dengan kain putih. Selamat jalan Ayah. Aku hanya bisa
membalas semua uluran kasih sayang yang pernah kau curahkan dengan sebaris doa
dari lubuk hatiku. Terimakasih untuk semuannya. Walau di akhir hidup engkau
benar-benar mengjarakan bagaimana melukis dengan warna darah yang hitam pekat.
12
Kotak Masa Lalu 3:
Sayap Terhangat
Aku merasa
begitu bahagia. Ketika Paman Hendra datang dan mengabarkan bahwa Ibu akan
Pulang. Sudah empat puluh hari semenjak ditinggal Ayah, aku hidup dalam kesendirian. Rumah begitu terasa
dingin dan sepi. Kini, dalam waktu lima hari lagi akan terasa hangat.
Malam-malamnya akan terjaga seperti dahulu. aku akan kembali mendengarkan suara
dan dongeng malam yang menentramkan hati. Suara yang akan mendinginkan dari
bisikan kehidupan yang sempat memelas dan merintih sangat dalam. Aku akan kembali
merasakan sentuhan sayap-sayap putih yang begitu menghangatkan.
“Aku sudah tak
sabar menunggu hari itu” lirih ku. sambil menantap bulan yang tergantung di
langit luas. Betapa indah bulan malam ini. Seindah perasaan aku, seindah
tatapan rembulan padaku.
Dua hari kemudian, Bu Yanah datang dengan
setumpukan formulir ditangannya. Berbagai macam nam Universitas ia bacakan
satu-satu. Dari UNY, UGM, hingga UNSOED yang paling dekat dari Cilacap. Namun,
aku hanya menggeleng lemah. Bukannya aku tidak ingin kuliah. Tapi aku ingin
menunggu Ibu. Semua keputusan hanya ada ditangan Ibu.
“Bu, maaf.
Bukannya Daun menolak. Tapi Daun ingin meminta izin pada Ibu dulu” ucapku
ketika Bu Yanah tengah sibuk merayuku. Akhirnya ia mengalah dan berjanji akan
datang ketika aku sudah mempunyai jawaban.
“Ya sudah. Yang
penting kamu melanjutkan S1. Agar kamu punya bekal pendidikan dan mengurangi
satu dari sekian juta manusia yang berjajar dengan kebodohannya” nasihat Bu
yanah dan ia pun pamit pulang.
Sebelum
berangkat menjemput Ibu bersama Paman Hendra, aku mneyempatkan diri untuk
menabur Bunga diatas tanah yang kini menyembunyikan jasad Ayah. Lalu, aku
pamitan dengannya.
“Ayah. Aku yakin
kau mendengarku di bawah sana. Hari ini, aku akan menjemput kepak sayap yang
pernah terbang karena kita. Hari ini aku akan menjemput senyum yang pernah jauh
dari tatapan mata kasatku. Apa Ayah ingin titip salam untuknya atau sekedar
bosa-basi untuk meminta maaf? Pasti aku akan meyampaikanya.” Ucapku ditengah
kesepian makam. Dengan ditemani Daun kamboja yang berguguran. Lalu, setelah
mengirim doa untuknya aku keluar dari area pemakaman. Dan siap-siap pergi
dengan mobil Paman Hendra yang tengah menungguku. Dan akan mengantarkan kami
menuju bandara Adi Sutjipto.
Setelah pukul tujuh malam, akhirnya, mobil
yang kami tumpangi memasuki area parkir bandara. Terasa pegal-pegal badanku.
Tak terasa perjalanan selama lima jam telah kami tempuh. Rasa bosan dan penat
tak terasa. Karena semua itu akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada
tara. Tergantikan dengan rengkuhan tangan-tanangnya yang lembut.
Sudah tak sabar
aku menunggu pesawat Boeing 737-400.
Yang dioperasikan oleh Malaysia Air lines. Yang akan mendarat pukul delapan
malam. Ibuku sengaja ikut jadwal penerbangan itu. Karena selain cepat, juga Ibu
sudah ingin berjumpa denganku. tak sedikitpun rasa kantuk menyerangku.
Pertahananku lebih kuat dari pada rasa capek yang kini menggeluti badanku.
Hanya rasa bosan yang membuatku merasakan lama. Akhirnya, aku bangkt dari
tempatku duduk dan melihat-lihat area bandara. Sungguh indah dan luas. Batinku.
Aku menjadi
teringat tentang sejarah bandara adi Sutjipto
ini. Guru sejarahku pernah menjelaskan bahwa nama asli dari bandara ini
dulu bukanlah Adi sutjipto melainkan Maghuwo dengan luas : 88,690 m²,.
Sesuai dengan nama tempatnya yaitu di desa Maghuwoharjo. Penggantian nama dilakukan setelah
pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikan oleh Marsekal Muda Anumerta Agustinus
Adisutjipto ditembak jatuh oleh pesawat Belanda tanggal 29 Juli 1947. Semula
merupakan lapangan udara militer namun penggunaannya diperluas untuk
kepentingan sipil. Hingga sekarang masih terdapat bagian yang merupakan daerah
tertutup (terbatas untuk kegiatan militer). Bandar udara ini juga merupakan
bandar udara pendidikan Akademi Angkatan Udara dari TNI Angkatan Udara. Juga
Skadron Pendidikan 101 (FFA AS-202-18A, T-41D) dan Skadron Pendidikan 102
(T-34C, KAI KT-1).
Suara sirine
disusul dengan suara wanita dari bagian informasi terdengar begitu jelas.
Menandakan sebentar lagi pesawat dari Malaysia yang kami tunggu akan segera
mendarat. Lalu, aku mendekati Paman Hendra. Dan bersiap-siap menuju bagian
tempat tunggu bagi para penjemput. Tiba-tiba aku merasakan gelisah yang sangat
dalam. Darahku mengalir begitu cepat. Andrenalinku berpacu lebih dari biasanya.
Tanganku begitu dingin. Suhu badanku kini tak menentu Mungkin hampir melebihi 36.8 °C
± 0.7 °C, atau 98.2 °F ± 1.3 °. Huh aku kehilangan kendali.
Mungkin karena aku telah begitu lama merindukannya. Lebih dari lima tahun aku
tak berjumpa dengan Ibu.
Selang dua puluh
menit, wajah yang dulu begitu aku kenal mendekati kami. Mungkin karena papan
nama yang telah di junjung tinggi-tinggi oleh Paman Hendra. Ia langsung
mendekati kami. Ibuku begitu terlihat cantik.
“Daun, kamu
sudah besar. Ibu sangat merindukanmu” ucapnya sambil memeluku. Air matanya
jatuh. Terasa hangat menetesi pundakku. Tak mampu aku menahan rindu yang selama
ini terpendam. Dan kini begitu saja aku tumpahkan, Air mataku pun mengalir.
Betapa bahagianya aku malam ini. Ibu merangkulku di balik air matanya. Ibuku
telah kembali mendawaikan nada-nada surga.
“Ibu. Daun
begitu Rindu dengan Ibu” lirihku ditelinga Ibu. Telah hilang semua kesedihan di
dalam hidupku yang seperti dalam kematian. Telah hilang nestapaku yang selama
ini menantang kesunyian dan telah beranak pinak menjadi kesengsaraan. Tapi hari
ini, malam ini, Ibu telah menghapusnya. Dengan nada-nada kasih sayangnya dan
senyum yang lebih indah dari pada taman kota atau taman-taman yang berisi
sejuta bunga sekalipun. Karena senyum Ibu lebih menjanjikan surga buatku dan
buat semua anak-anaknya.
Lalu, Aku, Ibu,
dan Paman Hendra berjalan beriringan. Ibu masih merangkul pundaku. Aku tahu,
arti dekapan tangannya mengisyaratkan bahwa rindu yang ia pendam begitu besar.
Bahkan lebih besar dari pada bandara Adi Sudjipto ini. Kami segera menuju
mobil. Sudah tak sabar aku ingin berbagi kebahagiaan dengan Pelangi dan Kak
Lintang. Yang sengaja tadi sore pulang kerumah. Hanya ingin bertemu dengan
pemberi kasih sayang yang tiada akhir,. Pemberi kehidupan dari air susunya yang
selalu mengalir kedalam tubuhnya. Kami
siap menmpuh perjalan selama lebih dari lima jam lagi. Namun, perjalanan untuk
kembali kerumah menurutku tidak akan terasa. Seperti saat tadi siang. Ketika
Ibu belum di sampingku.
“Oh, Ibu. Memang
kasih sayang dan senyumu mewakili keindahan surga.” Batinku dalam hati, lalu
aku terlelalp masih dalam pelukan Ibu.
aku yakin, hari-hari aku akan terasa lebih indah dan berwarna. Aku takan
pernah lagi merasakan kesepian dan nestapa seperti senja kemarin sebelum Ibu
datang. Sebelum Ibu pulang. Oh Ibu, tanganmu begitu beraromakan surga. Senyumu
adalah seperuh hidupku. Betapa bahagiannya, bila dalam hidup ini selalu dalam
rengkuhan kasih sayang Ibu. semua akan terasa ringan. Semua akan terasa indah.
***
Tepat jam tiga
pagi kami sampai dirumah. Lelah, lusuh bercampur menjadi satu. Kulihat Pelangi
yang sudah terlelap di samping Kak Lintang. Mungkin Kak Lintang sengaja tidak
tidur. Karena menunggu kami. Dengan langkah perlahan ia mendekati kami. Lalu
memeluk Ibu. Walau ia tak pernah tingal serumah dengan kami. Tapi terlihat dari
pancaran matanya. Ia juga begitu rindu pada Ibu. Yah, memang sejauh apapun anak
dari Ibunya. Ia akan tetap menyayangi dan mengaharap belaiannnya. Walau ia tak
begitu dekat seperti anak-anak yang tinggal bersama. Tapi, darah yang mengalir
dalam tubuhnya, selalu menarik dan mengikat untuk tetap sayang dan mengharap
pelukan dari Ibunya. Wanita yang telah bersusah payah mengelauarkan darah untuk
kelahirannya.
“kamu sudah
dewasa anakku” ucap Ibu sambil mengusap rambut Kak Lintang. Lalu Ibu mngecup
keningnnya. Kami memang sengaja tak membangunkan Pelangi. Agar di pagi hari
menjadi pagi harinya yang indah.
Terdengar Adzan
berkumandang dari menara masjid. Asholatu khairuminannaum. lebih baik
medirikan sholat dari pada tidur. Pertanda akan dimulainnya aktivitas dengan
diawali dua rakaat. Sudah lama aku tak menginjakan kakiku di masjid itu. Tak
seperti dikala aku masih kecil. Berlarian dipelataran hingga mengaji dengan
Ustadz Faiz. Untuk mengucapkan lafadz sholatpun kini lidahku telah kelu. Semua
peristiwa lalu membuatku lupa gerakan sholat. Membuatku lupa bagaimana membaca
al-Qur’an.
“Ka Lintang, apa
Ibu dan Kak Daun sudah sampai?” Tanya Pelangi saat ia terbangun dar tidur.
Terlihat matanya yang masih setengah tertutup. Dan sebentar-sebentar menguap.
Tanda ia masih mengantuk.
“Tidak tahu,
coba kamu lihat saja dikamarnya” jawab kak Lintnang sedikit berbohong. Kami
ingin memberi kejutan padanya. lalu Pelangi berjalan dengan setengah sadar.
Mata yang masih mengantuk terlihat setengah-setengah ketika ia membukannya.
Lalu, ketika ia membuka kamar Ibu. Kontan matanya terbuka lebar. Rasa kantuk
yang menguasainya buru-buru pergi. lalu ia berlari mendekati Wanita yang tengah
berdiri membereskan barang-barang di koper yang ia bawa tadi malam.
“Ibu,” teriak
Pelangi lalu memeluk tubuhnya yang kini terlihat kurus. Aku dan Kak Lintang
mersa bahagia. Melihat si bungsu yang selalu manja bertemu dengan Ibu. Lalu
kami pergi ke ruang tamu. Karena kami tidak ingin mengaggangu mereka. Aku tahu,
sudah lama Pelangi menantikan masa-masa ini. Selang beberapa menit mereka
menyusul kami keruang tamu. Pelangi masih merangkul Ibu dengan manja. Terlihat
lebih ringan hidupnya sekarang. Wajahnya terlihat begitu sumringah walau bangun
tidur. Mungkin karena beban hidup yang selama ini ia tanggung telah meleleh
dalam pelukan Ibu. Begitu ajaib memang pelukan Ibu. Melebihi hangatnya sinar
mentari. Bahkan melebihi terangnya sinar rembulan di antara gelapnya malam.
Pelukan Ibu tidak hanya sekedar menghangatkan, namun juga pelipur lara dan
menenangkan. Alangkah malangnya, jika manusia menyia-nyiakan seorang Ibu.karena
sama saja ia telah menyia-nyiakan surga yang dijanjikan Tuhan.
***
Hampir selama tiga minggu kami
melewati kebersamaan yang begitu menenangkan dan membahagiakan. Aku, Kak
Lintang, Ibu dan juga Pelangi, selalu
menghabiskan waktu dengan tertawa dan bercanda. Jika di siang hari, kami pergi
berbelanja, mengunjungi tempat wisata dan mengunjungi tempat-tempat saudara
kami yang jauh. Ketika di malam hari, kami selalu menghabiskan waktu di beranda
rumah. Memandang cahaya bulan yang begitu terasa indah dengan warna kuningnya.
Langit yang kami tatap terasa berbeda dari biasanya. Hingga malam larut,
terkadang kami masih sangat asyik bercanda ini, itu. Kami tidur selalu bersama.
Dalam satu ranjang. Terasa lengkap kebahagiaan kami karena hadirnya seorang
Ibu.
Namun, kebersamaan kami harus
terhenti. Dengan hadirnya tuntutan pendidikan. Pelangi harus masuk sekolah dan
mempersiapkan bekal untuk menghadapi ujian nasional. Karena ia kini telah
menjadi siswa kelas tiga. Begitu juga dengan Kak Lintang. Ia kini telah
menduduki semester tiga. Tugas yang begitu melelahkan harus ia selesaikan.
Hanya tinggal aku dan Ibu serta bersama rumah sederhana yang selalu setia
sebagai saksi bisu perjalanan kami.
“Ibu, Pelangi dan Kak Lintang Pamit
yah. Kami harus sekolah” pamit Pelangi disuatu pagi. Sambil membereskan
pakiannya ke dalam tas. Terasa berat Ibu melepas mereka. Walau Ibu tahu,
kepulangan mereka kerumah Om dan Tante Arif di Kebumen demi menyelesaikan
sekolah. Namun, naluri seorang Ibu jika ditinggalkan seorang anak tetap merasa
khawatir dan sedih walau dengan tujuan yang baik.
“Baiklah sayang. Belajarlah dengan
baik. Perkualitas dirimu agar nanti engkau mendapatkan sesuatu yang lebih
berkualitas. Karena jika kamu menjadi orang yang berkulitas maka apa yang kamu
peroleh akan lebih berkulitas. Baik jodoh maupun rizki” ucap Ibu memberi
nasihat. Pelangi dan Kak Lintang mengangguk. Tanda mereka mengiyakan. Terasa
begitu sebentar kebersamaan kami. Baru sebentar aku merasakan keluraga yang
utuh. Walau sesungguhnya tidak utuh. Karena tanpa hadirnya seorang Ayah. Namun,
jika Ayah seperti Ayah kami sama saja hanya merusak kebahagian kami. Lalu
mereka berpamitan. Aku dan Ibu mengantarkannya menuju terminal.
“Kini,
hanya tingal aku dan Ibu yang akan memulai babak kehidupan yang baru” ucapku
dalam hati. Lalu aku dan Ibu melangkahkan kaki pulang ke rumah.
Terasa begitu hampa hari-hari yang
kami lewati. Rumah tak seramai seperti
ketika ada Kak Lintang dan Pelangi. terasa sepi kembali menyapa kami. Kulihat
Ibu yang semakin hari semakin bosan. Tak seperti dahulu lagi ketika masih ada
Ayah. Ibu selalu menunggu Ayah pulang dengan hidangan-hidangannya di meja. Ibu
selalu menemani kami belajar. Tapi, semenjak kepergian Pelangi dan Kak Lintang.
Kulihat ia merasa begitu kesepian. Begitu juga denganku.
Semenjak
lulus dari SMA kemarin, hal yang sering aku lakukan hanyalah duduk di beranda
rumah, dan bolak-balik ke tempat tidur. Hanya dengan buku harian aku curahkan
semua kebosananku. Walaupun Ibu sudah ada disisiku, namun aku tetap merasa ada
yang kurang. Kebahagian kurasa tak sempurna. Karena beberapa hari belakangan,
pelukan Ibu terasa dingin di tubuhku. Aku juga merasa menjadi tak sedekat dulu
dengan Ibu. Namun, bukan berarti aku tak sayang lagi dengannya. Hanya aku
merasa belum terbiasa. Aku masih merasa kaku bila ingin mengungkapkan sesuatu
dengannya. Hingga aku berbicara hanya pada batas yang penting saja. Mungkin,
karena lebih dari lima tahun Ibu meninggalkanku.
‘Daun,
Ibu besok mau mencari kerja” ucap Ibuku di suatu pagi. Ketika aku sedang duduk
melamun memandang pepohonan yang melonggok-lenggok karena tertiup angin.
Rantingnya yang melambai-lambai sepertinya hendak mengajaku bermain.
Ranting-ranting di atas sana sepertinya mengerti kalau aku membutuhkan teman.
“Ibu
mau kerja apah?” tanyaku bingung.
“Yah,
nanti kalau ada yang cocok pasti Ibu akan bekerja. Otot-otot Ibu terasa kaku
sama sekali tidak pernah bergerak. Selain itu, uang tabungan Ibu juga pasti
lama-lama menipis. Sedangkan hidup kita juga butuh biaya” terang Ibu. Aku hanya
mengangguk-angguk saja. Aku juga tidak bisa menolak keinginan Ibu. Karena
memang ekonomi sangat menuntut kami. Sedangkan aku sudah mendaftar kemana-mana
tetap saja masih gagal. Mungkin hanya berbekal ijasah SMA. Mereka meragukanku.
Sedangkan sarjana saja masih banyak yang menganggur. Huft makin berat saja
hidup ini kujalani.
“Mengapa
aku selalu begini” keluhku dalam hati. Lalu, aku bangun dari tempatku duduk dan
mebiarkan Ibu termenung sendirian. Aku tahu mungkin Ibu berfikir sama dengan
yang aku fikirkan. Bingung dan merasa kesepian. Kesepian karena tidak punya
kegiatan, kesepian karena kehilangan Ayah. Kesepian karena tidak ada yang bisa
di jadikannya tempet berkeluh kesah. Tidak seperti dulu ketika masih ada Ayah. Ketika Ayah belum berubah
tidak seperti seorang Ayah. Namun, aku hanya bisa mengenang masa lalu itu. Tak
mungkin semua akan kembali.
Lalu,
aku mengambil buku catatan kesayanganku. Aku mulai menuliskan bait-bait
kehidupanku.
Buat
selembar kehidupanku:
Engkau buku biru yang setia menjadi sahabatku. Andaikan
kau tak membisu, Pasti sudah kuajak kau bermain dan bercerita. Tentang
malangnya nasibku dan penderitaan yang selalu berpihak padaku. Engkau selembar
putih sahabatku, Engkau yang selalu menjadi saksiku. Betapa hidup ini tak
pernah berarti. Hidupku yang seperti diambang kematian. Berkalang duka dan
berkawan kesepian yang perlahan ingin merampas nafasku. hanya satu bisiku pada
rembulan. Kembalikan sahabatku, kekasihku dan surgaku. Agar sepi tak memeluku.
Disetiap malamku dan hariku. hingga aku mampu tersenyum menyapamu.
Tak terasa, saat ku tutup buku
saksi kehidupanku. Malam telah larut. Seakan dingin menggigit hati. Berkawan
sepi yang bertepi di pinggir derita. Lalu, kupejamkan mata. Melepas impian
nyata diatas peraduan khayalan. Khayalan untuk menjemput kebahagiaan dan
melepas derita yang selama ini membelengguku. Walau itu adalah hal terkonyol
yang aku inginkan. Karena aku tahu Tuhan begitu bahagia melihat tangisku
disetiap pagi. Dan perihku yang meleleh dibawah teriknya siang. Lalu. Aku
mematikan lampu lima wath yang menggantung di atas ranjangku. Lalu, perlahan
kupejamkan mataku dan kulepaskan segala penatku.
13
Kotak Masa Lalu 4:
Ketika Kesepian Menyapa
Pagi yang cerah, ketika aku termenung di
beranda rumah. Burung-burung meliuk di angkasa. Bersembunyi di balik awan putih
pada pelataran birunya langit. Bak bersautan dengan tatapan matanya yang
melayari langit lepas. Duduk terdiam dan
mengatupkan kedua bibirku, sembari merenungi nasib. Adalah hal yang sering kali aku lakukan. Bosan dan bimbang. Rasa yang bergelayut dalam
hatiku, mengikuti arah perjalananku.
Semenjak pengumuman kelulusan Ujian
nasional tiga bulan yang lalu, serta
hasil yang sangat memuaskan. Nilai-nilai
Sembilan dan delapan, berderet mengisi ijasah SMA ku. Tersembunyi
harapan-harapan di balik angka-angka yang membentuk senyuman itu. Namun,
setelah kepulangan Ibu dari Malaysia, nilai-nilai itu juga yang selalu
mencabik-cabik ulu hatiku. Hingga membuatku putus asa. Lamaran telah aku
masukan ke setiap perusahaan yang membuka lowongan. Namun, nasib baik belum
berpihak padaku. Aku semakin membenci Tuhan dan menjauhi rapalan-rapalan sebagi
bentuk pemujaan terhadapnya.
“Tuhan,
apa Engkau benar-benar telah membisu dan menutup mata terhadap kehidupanku?”
teriakku, di tengahnya terik matahari yang siap membakar kulitku. Telah
berjam-jam aku mengelilingi kota Cilacap. Menawarkan ijasah SMA yang kupunya.
Demi mendapatkan pekerjaan. Namun, hasilnya tetap nihil. Hingga Aku berujung
menyalahkan Tuhan. Aku begitu mebenci Tuhan. Lalu, aku begitu merasa putus asa.
Aku tidak tahu apakah Tuhan sedang mengujiku atau benar-benar membenciku. Yang
aku tahu hanyalah tentang kebisuan Tuhan. Tentang kebutaan mata Tuhan terhadap
semua tragedi yang menimpaku. Yang aku
tahu sekarang, Tuhan sedang mempermainkanku. Hingga Aku tidak pernah
sekalipun menyebut nama Tuhan dengan embel-embel kebaikan dan pemujaan dengan
penuh hasrat cinta.
Lalu, setelah itu, hal yang sering
aku perbuat hanyalah duduk di beranda rumah. Memandangi halaman yang penuh
ranting-ranting pepohonan yang subur. Lalu, ketika aku lelah, pergi dan masuk
kedalam kamar. Hingga begitu seterusnya hingga lebih dari tiga bulan. Hingga
pada suatu ketika Ibu menegurku.
“Daun,
kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini sepertinya banyak sekali pikiran?” Tanya Ibu
heran. Namun, aku hanya menjawab dengan senyuman. Yang mengisyaratkan bahwa aku
baik-baik saja. Lalu kembali menoleh dan menekuri lamunananku. Sebenarnya aku
ingin mengatakan. Kalau di fikiranku sedang penuh dengan kata-kata yang ingin
kucurahkan padanya. Namun itu semua kutahan.
Aku sebenarnya juga tidak tega melihat Ibu yang kesepian. Kalau Ibu
ingin kerja. Kalau Ibu bosan dirumah dan semua badannya pegal-pegal karena Ibu
tak lama menggerakan ototnya untuk bekerja. Mungkin karena sudah kebiasannya di
Malayasia. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga tanpa kenal lelah. Hingga ia
merasa kaku karena harus banyak menggunakan waktunya untuk beristirahat dan
bersantai.
Aku tahu, bahwa
Ibu merindukan Ayah. Aku juga tahu kalau uang tabungan Ibu semakin menipis.
Seberapapun banyaknya uang tabungan pasti habis jika selalu di gunakan dan
tidak ada pemasukan sama sekali. Fikirku sekilas. Huh, sekilas terlihat dari
raut wajah Ibu bahwa ia merasakan hal yang sama denganku. Bingung dan bosan dan
tak kunjung memenukan jalan.
Sebenarnya, aku tak begitu menyukai
alur tuntutan kehidupan ini. Apalagi, ketika melihat Ibu belanja. Teringat
bahwa biaya hidup semakin melangit. Semua serba mahal.
“Jangan-jangan
sepuluh tahun kedepan bernafas harus
menggunakan recehan” batinku ngilu. Akhirnya. Dengan kondisi yang serba memaksa
ini aku mengizinkan Ibu bekerja. Awalnya aku tak tega melihat seorang wanita
yang sudah berumur masih harus mencari nafkah. Namun, taqdir memang
menghendakinya seperti itu. tuntutan ekonomi siap melanda siapa saja. Tak
pernah memandang umur atau bahkan setatus sosial.
***
Mentari
mulai menampakan wajah cerahnya. Tanda hari yang baik untuk memulai aktifitas.
Cuaca yang begitu mendukung, membuat orang-orang terlihat lebih bersemangat.
Wajah yang sumringah, baju yang tertata rapih lengkap dengan dasi yang
menggantung di leher, sepatu yang mengkilap. Menambah lengkapnya penampilan
yang begitu rapih. Menandakan bahwa mereka adalah sederatan orang-orang
ambisisus. Aku masih memperhatikan mereka, terlihat senyum yang sederhana
menambah kewibawaan mereka. Tiba-tiba teringat pepatah jawa yang mengatakan Ajining raga soko busana. Betapa
pentingnya selembar pakain yang mampu menutupi
mereka dari karakter asli mereka.
Lalu, mataku menunduk. Mengingat
bahwa tujuan aku dan Ibuku pergi sepagi ini bukanlah ke gedung-gedung tempat
mereka duduk bergelut dengan pena dan segudang pemikiran mereka. Namun, kami
menuju sebuah pabrik yang berada di pinggiran kota Cilacap. Kira-kira tiga kilo
meter jarak yang kami tempuh dari kota Cilacap. Hingga kami harus menggunkan
angkutan desa. Sebuah pabrik jamu yang berada di kecamatan kesugihan.
Ibu
mendapat informasi dari Bu Supi, salah satu tetanggaku. Kalau di tempat
kerjanya sedang membutuhkan karyawan.
Betapa senangnya Ibu saat itu, bagai pungguk yang benar-benar menemukan bulan.
Begitu susah hingga hampir putus asa Ibu mencari kerjaan. Namun, tiba-tiba
pekerjaan itu yang menghampiri Ibu lewat tangan BuSupi. Memang suatu kebetulan
yang dinanti. Keberuntungan yang ditunggu. Memang tak ada suatu hal yang lebih
baik dan mnyenangkan dari suatu kebetulan dan berujung menjadi keberuntungan.
Pikirku.
Sekitar jam delapan
kami sampai di pabrik jamu. Tertulis di gapura Pabrik Jamu Jaya Guna. Begitu luas, sekitar tanah tiga hektar menjadi
tempat berdirinya gedung pengolahan jamu tradisional, dengan memperkarjakan
karyawan sekitar seratus lima puluh orang. Benar-benar mengangkat pengangguran.
Begitulah salah satu manfaat suatu perusahaan atau sejenisnya. Seandainya
Negara Indonesia dominan dengan area industri pasti akan menjadi salah satu
Negara maju dan mampu melunasi hutang-hutangnya. Lalu kami masuk, mencari ruangan bapak
direktur. Terlihat dikanan kiri, karyawan yang tengah sibuk dengan tugasnya
masing-masing. Terlihat dipojok kanan, dengan ruangan mewah. Mungkin itulah
ruangan bapak direktur. Ternyata benar. Akhirnya aku dan Ibu masuk dan menyerahkan
surat lamaran pekerjaan yang telah Ibu persipakan dua hari lalu. Benar-benar
cara yang formal. Selang tiga puluh menit kami pulang, membawa senyuman. Karena
Ibu langsung diterima dan esok harus sudah bekerja.
***
Ibu adalah sosok
yang sangat ulet ketika bekerja. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun ketika
Sedang membantu tetangga ketika sedang hajatan.
Selain itu, Ibu juga sangat pandai mengurus anak-anaknya. Begitu sabar
dan penyayang. Sehingga ketika bekerja di pabrik jamu, ia sering mendapat pujian.
Pantas saja jika dalam waktu lebih dari empat bulan Ibu sudah mendapat
kepercayaan dari atasannya untuk mmegang jabatan di bidang pemasaran.
Benar-benar kabar yang sangat baik buatku.
“Daun,
mungkin tahun depan kamu bisa melanjutkan kuliah, Ibu sudah mendapat pekerjaan
tetap dan gajih yang cukup untuk sekedar menopang kehidupan kita sehari-hari.
Ibu juga masih bisa menabung” ucap Ibu di suatu sore. bagai tersapu angin yang
menyejukan. Aku mnerima kabar itu. Aku
akan sekolah lagi dan meneruskan cita-citaku yang sempat tertunda. Menjadi
seorang ekonom yang handal yang akan mampu mengatur perekonomian negara dengan
cerdas. Hingga tak ada lagi rakyat yang miskin maupun terjadi inflasi yang
dapat menaikan harga semauanya. Dan menindas masyarakat kecil. Betapa
menyedihkan ketika dalam posisi yang seperti itu. Posisi yang sedang aku
rasakan. Merasakan bagaimana hausnya akan uang, merasakan betapa mahalnya biaya
hidup.
“Ibu serius”
tanyaku penasaran.
“Ibu
tidak pernah bohong sayang” jawab Ibu meyakinkanku. lalu aku memeluk Ibu. Aku
benar-benar meluapkan kebahagiaan dalam pelukannya. Serasa hidupku kembali
berhembus dengan nada-nada kesejukan. Seperti angin sore ini yang menyapaku dengan kesejukannya.
***
14
Kotak masa Lalu 5:
Ibu dan Keinginannya
Selain rajin dan
ulet, Ibu adalah seorang wanita yang sangat cantik, pantas saja jika dimasa
muda ia menjadi kembang desa. Dan menjadi rebutan para jejaka. Di usianya yang
hampir lebih dari empat puluh tahun, Ibu masih kelihatan seperti wanita berumur
27 tahun. Mukanya yang beby face membuatnya selalu awet muda.
Garis-garis di wajahnya juga tidak begitu terlihat. Kantung matanya juga tidak
menyiratkan garis-garis tanda penuaan. Pantas saja jika begitu. Pada saat Ibu
masih muda, ia adalah wanita yang gemar merawat kecantikan. Baik dari kulitnya,
kesehatannya maupun rambutnya. Hingga ia bekerja di Malaysia pun ia masih
sempat merawat semua itu. Katanya, kecantikan adalah mahkota perempuan. Jika
wanita tak mampu menjaga kecantikannya, maka sudah terlihat bahwa ia tak
menyayangi diri sendiri lantas bagaimana ia mampu menyayangi yang di
sekitarnya.
Mungkin, karena
sifatnya yang energik ditambah dengan kecantikan wajahnya yang belasteran
indo-arab, membuatnya tampil berbeda dengan kawan sebayanya. Berawal dari hal
tersebutlah. Ibu menganal seorang laki-laki yang bernama Arif. Seorang
laki-laki yang ahirnya merebut pelukan seorang Ibu dari ankanya. Merebut waktu
dan perhatian seorang Ibu dari buah hatinya. Dan akhirnya membuatku harus pupus
harapan untuk melanjutkan kuliah.
Setelah lebih
dari dua bulan Ibu menenpati jabatan kerja yang baru, relasinya semakin banyak.
Dan jam kerjanya juga semakin bertambah. Hingga aku menjadi jarang sekali
bersama dengannya. Ia berangkat ketika aku masih tertidur pulas dan pulang
sudah hampir senja. Rasa cape telah menggerayanginnya. Sehingga menuntutnya
untuk istirahat.
“Tuhan,
dimanakah Engkau sebenarnya? Mengapa Engkau selalu membiarkanku sepi dalam
sendiri?” rintihku lirih di sutu malam. Sambil memandang bulan yang tinggal
separuh. Menyerupai sabit. Nanar aku melihat keindahannya. Entah karena
perasaanku sedang gundah. Hingga memandang sesuatu yang indah tidak objektif.
Ketika aku sedang menengadahkan jariku kearah langit lepas. Mencoba menghitung
bintang yang sebenarnya tak dapat aku hitung. Ibu datang mendekatiku dan duduk
disampingku. Sempat aku meliriknya sebentar, namun kembali aku menatap langit.
Tiba-tiba Ibu mengajaku bicara.
“Daun, berapa
umurmu sekarang?” Tanya Ibu, membuatku sedikit kaget. Pertanyaan yang sangat
konyol menurutku. Karena tak seperti biasanya Ibu menannyakan hal yang tidak
penting. Namun, yang aku herankan, Ibu menanyakannya dengan wajah serius. Tak
ada nada bercanda sedikitpun. Matannya mengisyaratkan bahwa ia meminta sesuatu
padaku. Ternyata benar. Di balik pertannyaan sederhannya, Ibu menginginkan
sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
benaku. Walau sekali.
“Apa, Ibu ingin
menikah lagi?” tanyaku setengah kaget, mendengar pernyataannya. Bahwa ia sedang
dekat dengan seorang laki-laki. Yang menurutnya sangat pantas ia jadikan
sebagai pendampingnya di hari tua.
Awalnya aku tak bisa menerima itu semua. Aku selalu breontak terhadap
keinginannya. Aku selalu berusaha menjauhi Ibu. Aku selalu menghindar jika Ibu
mengajaku bicara. Aku jarang sekali berada di rumah jika Ibu dirumah. Lebih dari 2 bulan sikapku seperti itu.
Hingga pada suatu hari aku mencurahkan perasaan benciku pada Rizal.
“Zal, aku tidak bisa menerima ketika Ibu minta izin
untuk menikah lagi” keluhku padannya.
“Daun, aku tahu
itu memang berat. Kalau aku menjadi kamu mungkin aku akan melakukan hal yang
sama. Tapi aku sadar, seorang wanita
memang mebutuhkan seorang laki-laki. Begitu juga dengan Ibumu yang membutuhkan pendamping hidup” jawab Rizal. Aku hanya tertunduk. Aku bingung
haruskah aku mengatakan ia atau atau tidak. Jika aku mengiyakan permintaan Ibu,
sama saja aku akan kehilangannya dan aku akan mempunyai Ayah tiri. Aku masih
trauma dengan sosok Ayah. Yang telah menorehkan luka pada hidupku.
Lalu, Rizal
menyarankanku untuk meminta pendapat pada Ibu Yanah. Dan selang dua hari kami
berkunjung ke rumahnya. Di daerah Adipala. Setelah menempuh jarak sekitar dua
kilo meter, dan memakan waktu sekitar
empat puluh menit kami sampai di rumahnya. Begitu terlihat asri dan
menyejukan. Berbagai macam bunga dan tanaman lain menyambut kami dengan
lambaian tangkainnya. Mengisyaratkan senyuman yang indah dan bahagia akan
kedatangan seorang tamu. Mungkin bunga dan tanaman-tanaman lain juga mengerti
bahwa seorang tamu yang datang ke rumah membawa rizki tersendiri. Bu Yanah
menyambut kami dengan senyum hangatnya. Benar-benar sosok seorang Ibu yang
meneduhkan. Batinku.
“Daun, Rizal,
mari masuk, Ibu sudah kangen sekali dengan kalian” ucapnya lembut. Lalu,
setelah berbasa-basi cukup lama, aku mengutarakan maksudku datang kerumahnya.
Bahwa aku mmebutuhkan wejangannya yang menyejukan.
“Ibu,
bagaimanakah pendapat Ibu jika orang tua kita ingin menikah lagi?” tanyaku,
dengan nada serius dan penuh harap, Bu Yanah mampu menjernihkan fikiranku dan
mampu memberikanku solusi yang baik.
“Daun, menikah
adalah sunah Nabi, dan merupakan kebutuhan manusia. Ada tiga hukum yang harus
manusia mengerti jika ingin melakukan pernikahan. Yang pertama adalah wajib.
Yaitu ketika manausia benar-benar sudah memiliki keinginan yang besar untuk
menikah dan ia takut akan adanya fitnah. Dan yang kedua sunah. Yaitu ketika
seorang manusia sudah mempunyai keinginan kuat untuk menikah namun ia masih
mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang buruk. Dan yang terakhir ketika manusia
diharamkan untuk melangsungkan akad pernikahan, ketika tidak adanya keinginan
kuat untuk melakukan pernikahan dan tidak ada jaminan sedikitpun bahwa ia mampu
memberikan nafkah lahir maupun batin.” Terang Bu Yanah. Membuatku semakin
pusing.
“Menurut Ibu,
Tidak ada salahnya jika kamu mengizinkan
Ibumu untuk menikah lagi. Jika seseorang mempunyai keinginan seperti itu dan ia
sudah mempertimbangkan baik buruknya maka segerakanlah. Ibumu membutuhkan
pendamping hidup. Entah untuk menemani hari tuannya, atau ia juga sudah lelah
dan ingin menyandarkan hidupnya pada seorang suami. Karena menjaga kehormatan
sebagai seorang wanita sangatlah sulit. Terlebih Ibumu adalah seorang janda.
Yang sangat rentan terhadap fitnah”
Aku hanya mampu
mengangguk dan mengatupkan kedua bibirku. Mencoba sedikit demi sedikit
menyaring nasihatnya. Lalu, setelah
merasa cukup, aku dan Rizal pamit untuk pulang. Di jalan aku hanya
terdiam dan mencoba merenungi setiap kata yang Bu Yanah ucapkan. Aku tak bisa memungkiri,
memang ada benarnya, bahwa wanita memang mebutuhkan laki-laki sebagai penopang
hidupnya. Sebagai tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Kepalaku terasa
berputar. Aku memandang keluar jendela angkutan yang aku tumpangi. Terasa
pepohonan yang aku tatap berlalari meninggalkanku. Serasa seperti hari-hari
yang meninggalkanku dengan segala ceritanya. Dan akhirnya mengguris luka
dihatiku.
***
Dengan berlinang
air mata, Aku berdiri tegak dan
memandang hamparan air yang berlarian hingga ketepian. Kesedihan yang mendalam
begitu menyayat hatiku hingga lelehan
air mata yang jatuh menyiratkan warna
berbeda. Seandainya, seseorang yang memiliki mata hati yang jernih, mungkin
akan mampu melihat, bahwa warna air mataku menyerupai darah. Merah menyala.
Menyimpan bara kesengsaraan dan kerinduan.
Lalu
aku berterikak pada lautan yang
terhampar luas. Mencoba melepas perih yang mendekam dalam ulu hatiku.
Benar-benar membuatku limbung.
“Aku
benci padannya. Ia benar-benar membuat jiwaku terguris luka. Aku benci padanya.
Insan yang hanya tahu menelurusi nadi desakan. Insan yang hanya tahu mendaki
segunung keegoan. Insan yang menghirup udara dingin yang mencemarkan lubuk
perasaan. Insan yang membuatku hidup dalam kedapan jiwa yang tertekan. Aku
benar-benar membencinya. Setiap kayuh langkahnya menciptakan bukit-bukit
amarhku” teriaku dengan nada kesal. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Semenjak
satu setengah bulan lalu akau pulang dari rumah Bu Yanah dan mengizinkan Ibu
menikah lagi.
Om
Arif, nama laki-laki yang kini menjadi Ayah tiriku. Telah merebut semua
pelukan-pelukan hangatku. Semenjak sebulan lalu, ia benar-benar melangsungkan
akad nikah dengan Ibu, ia bagai seorang raja yang benar-benar bagai seorang
raja yang absolute. Menguasai rakyatnya dengan sekehandaknya sendiri. Aku
benar-benar menyesal telah mengizinkan Ibu menikah lagi. Aku benar-benar
sengsara dengan keputusanku sendiri. Aku benar-benar membenci malam itu, malam
yang telah menjadi saksi atas pembicaraanku dengan Ibu. Malam bersama sinar
rembulannya yang menjadi saksiku merelakan Ibu untuk menikah lagi.
Malam
itu, sekitar pukul delapan malam. Ketika
rembulan yang bundar hampir menyerupai kuning telur. Baru beranjak dari
arah barat. Aku mendekati Ibu yang sedang duduk sambil mengerjakan
laporan-laporan mingguan pekerjaanya. Mungkin Ibu menangkap sikapku yang aneh.
Hingga ia langsung menoleh dan menatap mataku dengan berbagai pertannyaan.
“Daun, ada apa?
Sini duduk dekat Ibu!” lalu, aku duduk disampingnya. Tercium segar wangi
kenanga dari tubuhnya. Bau minyak wangi ciri khas Ibu.
“Ibu, Daun ingin
bertanya sesuatu” jawabku dengan nada hati-hati. Lalu, tiba-tiba bibirku kelu.
Terasa susah sekali untuk meneruskan perbincanganku dengan Ibu. Namun tetap
kupaksakan. Karena aku sudah terlanjur memulainya. Jadi aku pikir aku juga
harus mengatakan semuanya.
“Ada apa Daun?
sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu?”
Tanya Ibu penasaran. Sekaligus keheranan. Melihat sikapku yang salah
tingkah. Karena aku bingung akan memulainya dari mana. Namun dengan usahaku
untuk benar-benar memaksakan lidahku merangkai kata-kata. Akhirnya sederet
rangkaian abjad keluar dari mulutku.
“Ibu, Daun tahu,
seorang wanita memang sangat membutuhkan pendamping hidup. Begitu pula dengan
Ibu. Jika benar-benar Ibu membutuhkan
seorang suami sebagai penopang hidup dan tempat berkeluh kesah, juga sebagai
tempat menghindari fitnah. Maka menikahlah!” ucapku. Tiba-tiba Ibu memeluku.
Aku merasakan aliran kebahagian dari setiap inci darahnya. Lalu aku menarik
nafas panjang. Mencoba mneyerap kebahagiaan Ibu. Walau terasa sulit dan aku
masih belum mampu.
“Daun,
terimakasih. Akhirnya kamu mengizinkan Ibu untuk menikah dengan Om Arif. Tapi
apa sebenarnya yang membuatmu mengizinkan Ibu? Ibu tidak mau jika kamu
terpaksa” ucap Ibu.
“Ibu, tiada
kebahagiaan seorang anak melebihi kebahagian Ibunya. Jika Ibu bahagia, Daun
juga bahagia. Karena Daun tidak ingin Ibu kesepian dan selalu sendiri” jawabku.
Lalu, Ibu mencium keningku. Kulihat ada sesungging senyum di bibir mungilnya.
Aku tahu, malam ini Ibu benar-benar merasa bahagia. Karena ia tidak akan merasakan
kesepian lagi. ia takan pernah merasa sendiri lagi.
Sebulan
kemudian, akad nikah pun berlangsung. Walau acara sangat sederhana, namun tetap
saja terlihat meriah. Meriah dengan senyum dan tawa orang-orang yang datang.
Ibu memang sengaja tidak mengundang banyak orang. Hanya kerabat dan tetangga
dekat saja. Kak Lintang dan Pelangi pun tidak bisa datang. Kerena mereka sedang
menghadapi ujian semester. Hanya titipan doa dan bahagia bisa mereka berikan.
Tidak ada makanan mewah atau acara meriah lainnya. Setelah akad nikah selesai
rumahku kembali sepi. Terasa sunyi yang mulai menggerogoti batinku. Aku begitu
merasa sangat asing di rumahku sendiri. Aku merasa sungkan menyapa Ibu. Ia
seperti orang lain sekarang. Ia seperti sangat jauh semenjak kehadirannya.
Semenjak
Ibu menikah lagi, semua perhatiannya luput dariku. Ia tak pernah lagi
menhujaniku dengan butiran-butiran permata cintanya. Ia jarang sekali
membanjiri aku dengan kata-kata perhatiannya. Benar-benar aku merasa terkubur
dalam kesepian dalam rumahku sendiri. Ditambah lagi hubunganku dengan Ayah tiriku yang sangat
dingin. Membuatku semakin jauh dari kehangatan Ibu. Ia benar-benar hanya
memperhatikan suami barunya.
“Daun,
mengapa Ibu jarang sekali melihatmu berbicara dengan Ayah” tegur Ibu di suatu pagi.
Namun, aku hanya meliriknya sebentar. Lalu aku pura-pura sibuk dengan gitar
kesayanganku. Gitar yang selama ini selalu menemaniku. Dalam kesepian dan kesendirian. Gitar yang
benar-benar sangat berharga. Ibu membelikannya sewaktu baru pulang dari Malaysia
dulu.
“Daun,
Kamu Ibu ajak bicara kenapa hanya diam?” lanjut Ibu. karena melihatku tidak
bergeming sama sekali.
“Ibu,
Daun tidak apa-apa” jawabku singkat.
“Apa,
kamu mebenci Ayah?” tanyanya lagi. Belum sempat aku menjawab, kami mendengar
suara laki-laki mengucap salam. Lalu Ibu cepat-cepat membukakan pintu. Ternyata
benar, Om Arif sudah pulang kerja. Seperti biasanya, Ibu selalu sibuk
menyambutnya dan mempersiapkan ini itu. Sebenarnya memang tidak ada yang salah
dengan sikap dan perhatian Ibu. Aku sangat meyadari bahwa seperti itulah tugas
seorang istri. Namun aku belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran seorang Ayah.
Masih sedikit tersimpan rasa trauma dan benciku pada sosok Ayah. Walau aku
tahu, Om Arif sedikit berbeda dengan Ayahku dulu.
Om
Arif, sebenarnya sosok yang baik. Ia juga terkadang perhatian denganku. Namun,
aku dengan sengaja menepis perhatiannya. Aku hanya menganggap bahwa itu adalah
trik dia untuk mendekatiku. Walau aku mengerti, kerinduannya akan sosok seorang
anak. Lebih dari sepuluh tahun ia menjalin rumah tangga dengan mantan istrinya.
Namun, nasib malang telah memisahkan mereka.
Hasil pemeriksaan dokter mengharuskan mereka harus bercerai. Om Arif
dinyatakan mandul. Sedangkan istrinya benar-benar tidak mau memahaminya. Untuk
mengadopsi anak pun tidak mau. Akhirnya mereka harus berpisah tepat di usia
sepuluh tahun pernikahan mereka. Dan Om Arif harus benar-benar hidup sendiri
sebelum ia bertemu dengan Ibuku. Namun, sampai sekarang aku belum mampu untuk
menerimannya. Hingga aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
“Ibu,
Daun ingin merantau ke Jakarta” Ucapku pada Ibu yang sedang duduk di samping Om
Arif.
“Daun
apa tidak cukup gajih Ayah untuk membiayaimu” tamya Om Arif.
“Aku
sudah dewasa, aku tidak ingin merepotkan. Aku hanya ingin mencari uang untuk
aku bekal kuliah nanti” jawabku.
“Daun,
Ayah sangat mendukungmu untuk kuliah. Dan Ayah sudah mempersiapkan dana untuk
kamu kuliah” lanjutnya. Namun aku tetap menolak. Karena aku ingin sekali pergi
dan mencari suasana baru. Aku ingin mencari kehangatan di luar sana. Aku ingin
mencari sayap yang menghangatkanku seperti sayap cinta Ibu yang menghangatkanku
kala dulu. Namun, kini semua terasa dingin. Hingga membuatku tak nyaman.
Awalnya, Ibu tetap tidak mengizinkanku. Namun, aku mencoba keras pada
keinginanku. Hanya satu kali ini benar-benar melawan keinginan Ibu. Aku memang
benar-benar sudah tidak merasakan kenyaman itu lagi dan aku telah bosan
menyimpan kesepian dalam hati. Aku ingin hidup ditengah keramaian.
“Baiklah,
Daun. Ibu mengizinkanmu. Tapi, kamu harus hati-hati dan sering-seringlah
pulang. Ibu sebenarnya tidak tenang melepasmu”
“Tenaglah
Bu. Daun sudah cukup besar untuk menghirup udara di luar sana. Dan Daun pun
sudah mampu untuk menahan panas matahari di kota besar itu” jawabku meyakinkan.
Akhirnya, selang satu minggu aku pergi ke Jakarta. Dengan berbekal Ijazah SMA.
Aku nekat mencari kerja di Ibu Kota. Melayari nasib di tengah panasnya kota
metropolitan.
15
Kotak Masa Lalu
9:
Aku dan Jakarta
Sekitar pukul
tujuh malam. Aku sudah berada di Stasiun kereta api. Om Arif dan Ibu
mengantarku dan menunggu hingga kereta yang kutunggu datang. Kereta Ekonomi
yang akan membawaku menuju jakarta. Lalu, aku akan mencari alamat yang di
berikan Rizal. Alamat dimana ia bekerja.
Aku,
mungkin memang seharusnya mengikuti perkataan Om Arif. Untuk bersabar menunggu
waktu beberapa bulan, untuk mengikuti ujian seleksi masuk kuliah. Namun, hati kecilku menolak
untuk menyetujuinya. Rasa sepi dan takut merepotkan akhirnya akan membawaku
hingga menuju Jakarta.
“Aku
tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang aku ambil. Karena aku akan
bertanggung jawab dengan semua langkahku” batinku. Sambil menatap wajah Ibu
yang menunduk. Begitu banyak pertanyaan Ibu yang tak bisa kujawab. Mengapa aku
harus pergi merantau. Tapi aku yakin perjalanan ini lebih dari sekedar mencari
materi belaka. Tapi belajar bertanggung jawab dan mencari kehangatan seperti
yang pernah Ibu berikan walau dengan jalan yang berbeda.
Rasa
rindu dengan hangatnya keramaian serta mencari suasana baru adalah benar-benar
alasan utamaku untuk pergi setelah aku mendiamkan Ibu dan merasakan dinginnya
rumah.
“Daun,
apa kamu tidak bisa disini bersama Ibu? Kamu pasti tidak akan betah di sana.
Kamu tidak terbiasa hidup di luar sendiri” Ibu menahan nafas. Berusaha meredam
emosinya karena ia benar-benar tidak ingin anak laki-lakinya pergi ke Ibu kota
menghadapi panas terik matahari sendirian.
“Ibu,
Daun harus pergi. Daun sudah besar Bu, tenanglah. Daun pasti akan pulang dengan
senyum yang berbeda” ucapku menenangkannya.
Suara
sirine, pengumuman bahwa kereta yang akan aku tumpangi akan segera tiba. Lalu,
aku bersiap-siap menuju area tempat silih berganti penumpang. Aku melihat Ibu
benar-benar berat melepasku.
“Daun,
berhati-hatilah. Jangan lupa senantiasa berdoa” pesan Ibu. Lalu ia memeluku.
Aku merasakan sedikit kehangatan pelukannya. Namun, aku tetap tidak akan
membatalkan tekadku melayari kota Jakarta. Aku mencium tangan Om Arif. Lalu, aku melangkahkan kaki, menuju kereta
yang telah menantiku.
Sekitar
jam lima pagi. Aku sampai di setasiun. Gedung-gedung menjulang tinggi hampir
menyentuh langit menyambutku dengan senyum kemegahannya. Di pojok setasiun aku
melihat Rizal yang sudah menungguku. Ia memang berjanji akan menjemputku.
“Zal,
kamu sudah lama?” tanyaku.
“Tidak,
aku baru saja nyampai. Ayo kita ke kosku. Lalu, aku dan ia berjalan menuju
pintu keluar. Udara dingin Jakarta masih terasa. Kulihat jalan-jalan masih
sepi. Tak seperti yang sering aku lihat di televisi. Kemacetan lalu lintas yang
selalu menjadi ciri khas kota Jakarta. Memang belum dimulai. Kami menuju Kost
Rizal memakai sepeda motornya. Sekitar tiga puluh menit kami sampai . Terlihat
rapi dan sederhana. Hanya ada ruang yang menjadi kamarnya. Kira-kira berukuran
4x4meter. Terlihat buku-buku tentang computer berjajar tertata rapi di meja. Ia
memang identik dengan computer. Selalu merasa nyaman jika tenggelam dalam dunia
yang mampu membawanya ke dunia maya. Wajar saja jika ia sekarang bekerja di bagian administrasi. Pandai mengoperasikan
MS. Excel dan teliti adalah kelebihannya. Jadi, ia cukup mudah mendapatkan
pekerjaan itu.
“Istirahatlah
terlebih dahulu. Nanti baru kita survey tempat yang aku ceritakan kemaren” ucap
Rizal. Lalu aku membersihkan badanku dan membaringkannya, untuk sekedar
mendiamkan panggilan rasa lelahnya.
Lalu, sekitar jam sebelas, ia mengajaku melihat tempat kerja yang ia
janjikan.
“Daun, bagaimana
kamu cocok dengan tempatnya?” Tanya Rizal. Bekerja sebagai operator warnet.
Merupakan hal baru bagiku.Awalnya aku ingin menolaknya. Namun, aku mengingat
tekadku dari rumah. Bahwa aku akan pulang dengan sebongkah senyuman.
Senen
yang padat untuk kota Jakarta. Hari baru, saat tugas-tugas menumpuk. Jalan
padat dan angkot berjejal. Hari pertama aku berangkat kerja. Aku benar-benar di
sambut oleh suasana yang bising, kanan kiri orang-orang yang berlari cepat.
Polusi yang melambung tinggi menambah lengkap hari pertamaku yang menyesakan.
Belum lagi aku harus adaptasi dengan tempat yang baru dan suasana yang baru.
Aku menarik nafas panjang. Memang sesuatu yang baru butuh kesabaran dan
kecermatan untuk menciptakan suatu kebiasaan.
Bekerja
mulai dari pukul delapan pagi hingga pukul delapan malam. Begitulah seterusnya
aktifitas rutinku. Hingga aku dan Rizal tak terasa telah lebih dari satu tahun
di Jakarta. Lelah dan letih selalu mencabik-cabik tubuh kami. Namun, kami
selalu dengan riang menyambut pekerjaan itu di pagi hari. Walau di malam hari kami harus merasakan
pegal-pegal yang luar biasa. Namun, demi menyambung hidup, kami tetap harus
semangat. Menjadi operator warnet bagiku, sebagai seseorang yang tak mempunyai
ketrampilan khusus kecuali di materi-materi khusus pelajaran sekoalah, memang
suatu kebetulan yang luar biasa. Jaman sekarang yang di butuhkan memanglah
suatu ketrampilan dan potensi yang tinggi. Jika manusia tidak mempunyai
keduannya pastia akan di tinggal oleh nasib yang selalu berlari kencang. Nasib
memang berawal dari usaha. Sebesar apa usaha kita sebesar itulah kita mendapat.
***
Setelah lebih
dari satu tahun di Jakarta, aku memang selalu
berlari-lari mengejar nasib. Hingga aku benar-benar merasa lumpuh dan
tak mapu lagi untuk sekedar berjalan mengejarnya. Sebenarnya, aku sudah sangat
terbiasa dengan pekerjaanku menjadi operator di warnet. Semua system yang
berhubungan dengan seluk beluk computer
telah aku kuasai. Karena, aku hanya cukup waktu dua bulan memahami billing system warnet tempatku bekerja.
Namun, berawal dari usaha bosku yang
bangkrut, warnet yang menjadi tempatku
bekerjapun harus gulung tikar. Bosku dan keluarganya pindah ke kampung halaman
asal mereka tinggal dulu.
Aku
telah berusaha mencari pekerjaan baru. Map warna merah yang berisi
berkas-berkas surat lamaran pekerjaan pun telah siap dan tertata rapih. Namun,
aku selalu mendapat penolakan dari tempat yang aku datangi.
“Maaf
Mas, perusahaan kami sedang tidak menerima karyawan baru. Silahkan datang lgi
jika kami sudah membuka lowongan”
“Maaf
mas, tempat kami sudah kelebihan karyawan. Jadi sudah tidak bisa menerima lagi.
silahkan mencari di tempat lain saja” dan masih banyak lagi
penolakan-penolakan. Hingga lebih dari satu bulan aku selalu berkejaran dengan
panasnya matahari. Menghirup aroma bensin dan solar yang mencemari udara. Dan
harus menyaksikan angkot-angkot yang berjejalan di jalan raya. Mendengarkan
teriakan sopir angkot menarik para penumpang. Hingga aku benar-benar merasa
lelah dan hampir putus asa.
“Zal,
sudah sebulan lebih aku menganggur. Aku takut lama-lama uang tabunganku akan
habis” ucapku pada Rizal di suatu malam. Karena aku merasa tidak enak selalu
merepotkan dia.
“Sudahlah,
Daun. jangan sungkan begitu. Jika kamu tak mendapat pekerjaan bulan ini, siapa
tahu bulan depan atau bahkan tiga bulan ke depan. Kamu hanya butuh sabar. Dan
harus tetap berusaha” jawab Rizal. Ia memang satu-satunya kawanku yang sangat
bijaksana. Sejak SMA kita selalu bersama dan kita mempunyai jalan cerita hidup
yang hampir mirip. Tercampakan oleh sebuah keluarga. Memang mengukir luka
sendiri dalam hati.
Sahabat.
Mungkin nama itu yang pantas untuk Rizal. Kata sederhana yang tak mudah aku
temukan dalam kenyataan. Aku begitu
sadar, bahwa semua yang dekat tidak bisa
berlabelkan sahabat. Tapi, ia selalu terasa dekat. Kala aku jatuh dan hilang
asa sekali pun. Ia selalu sabar mendengar kisahku. Walau angin membawa berita
buruk, busuk tentangku sekalipun. Ia selalu mengerti tentang diriku. Ia selalu
memandangku dengan kaca mata kebijaksanannya.
Kala
itu, dalam masa menganggurku yang sangat menjenuhkan. Aku sering kali keluar malam
dan akhirnya aku bertemu dengan seseorang. Yang bernama Mamih Dara. Dan terbisa
adi panggil Mamih. Awalnya aku menganggap pertemuanku dengannya adalah suatu
kebetulan yang berujung pada keberuntungan. Tapi ternyata, ia justru membawaku
dalam dunia kelam untuk kedua kalinya.
Mamih,
adalah seorang bos. Karyawannya mayoritas adalah seorang perempuan. Awalnya aku
begitu tergiur dengan usahannya. Hanya mengajak wanita yang berwajah cantik dan
bertubuh seksi tanpa harus berbekal ijasah khusus untuk bregabung dengannya.
Dan gajih yang ia tawarkan menurutku sangat tinggi. Dan aku menjadi karyawan
tetapnya untuk mengantar jemput wanita dan mengantarkannya pada sebuah
pertemuan-pertemaun. Yang aku kira orang-orang yang ia temui adalah seorang bos
besar. Dan ternyata benar. Mereka adalah para ekselon dan pemimpin perusahaan.
Aku begitu bangga bekerja dengannya. Walau hanya menjadi supir pribadinya.
Karena aku kerap mendapat uang tips yang menurutku sangat berlebihan.
Namun,
selang tiga bulan, aku harus berurusan dengan polisi. Dan akhirnya aku
mengetahui bahwa Mamih adalah seporang germo. Dan polisi menyangka aku bekerja
sama dengan mereka. Seteleh diperiksa, aku akhirnya masuk tahanan. dan Mamih
yang menurutku menjadi tersangaka utama lolos. Karena ia melimpahkan semau
tuduhan-tuduhan terhadapku. Dan aku memang tak mampu membantah. Karena tidak
mempunyai penguasa hukum dan tidak punya uang dalam jumlah yang diminta oleh
polisi, akhirnya aku tak berdaya. Mau tidak mau harus menerima semuanya. Begitu menyedihkan Nasibku. Tak mempunyai
uang di negara ini hanya sebagai bahan buangan.
Namun
akhirnya, hanya lima bulan mendekam dalam penjara. Lagi-lagi Rizal
menyelamatkanku. Ia datang bersama kawannya. Yang kebetulan bekerja sebagai
pengacara. Dan setelah melalui proses panjang aku kembali bebas.
“Zal,
terimakasih. Kamu telah menolongku”
“Ia
kawan, aku tahu kamu tidak bersalah” ucapnya. Lalu kami melangkah meninggalkan
rumah yang berjendela jeruji besi itu.
Rizal
memang baik. Begitulah arti seorang kawan. Tak pernah enggan untuk datang
ketika kawan membutuhkan. Bahkan ia lebih dari seorang kawan bagiku. Jiwaku telah
menyatu dengan jiwannya dalam ikatan persaudaraan. Betapa indah hidupku terasa.
Jika lebih dari sepuluh aku mempunyai kawan seperti dia. Aku berjalan sambil
merangkul pundaknnya. Terasa begitu berarti persahabatan kami. Persahabatan
yang kami jalani dengan tulus dan ikhlas untuk saling membahu.
16
Kotak
Masa Lalu 10:
Penyesalan
Setelah dua
bulan aku keluar dari penjara, aku mulai menemukan titik terang. Roda mulai
bergerak sedikit saat aku diterima bekerja sebagai tukang foto copy di toko
Bang Yudha. Ia beragama Kristen tapi ia sangat baik padaku, dan sangat
menghormati orang yang berbeda agama. Dikala hari raya idhul fitri ia juga sering
memberikan ampau kepada anak-anak kecil yang berdatangan ke tokonya. Begitu
pula pada saat umat Islam menjalankan ibadah puasa ramadlhan ia tidak akan
sekalipun makan di tempat umum. Bahkan toko yang biasa menjual makanan basah
pun ia tutup. Begitu pula ketika hari raya nyepi atau bahkan hari-hari besar
agama yang berbeda dengannya. Yang membuatku salut dan kagum dengannya adalah
prinsipnya untuk saling menyayangi sesama dan menghormati Tuhan dan kepercayaan
masing-masing. Karena menurutnya konflik yang paling sensitive adalah ketika
berhububungan dengan agama.
Aku
mulai betah bekerja di sana. Kebetulan toko Bang Yudha dekat dengan dengan
sekolah SMA Negeri yang cukup terkenal
di Jakarta. Begitu suatu kebetulan bagiku. Karena hobiku membaca akhirnya masih
bisa tersalurkan. Buku-buku yang aku fotocopy sering kali aku baca terlebih
dahulu karena aku berharap bisa menjadi bekalku ketika aku benar-benar kuliah
nanti. Begitu seterusnya hingga tepat pada waktu empat bulan aku bekerja
sebagai tukang foto kopi Ibuku menelfonku dan memintaku untuk pulang. Namun, aku tetap bersikeras untuk tidak
pulang sebelum aku mampu berdikari. Hingga pada suatu pagi lagu Dua Cinta Satu hati, milik Calvin Jeremy
yag terbiasa menjadi Ringtone handphoneku berdering. Ternyata Om Arif yang
memanggilku. Terasa ogah-ogahan aku mengangkatnya. Dan akhirnya aku
membiarkannya. Hingga lebih dari tiga hari ia menghubungiku. Dan akupun bosan
akhirnya aku menjawabnya.
“Daun,
mengapa dari kemarin tidak menjawab panggilan Ayah? Ibu sakit dan masuk Rumah
sakit” ucapnya dengan nada khawatir. Aku begitu kaget menerima kabar itu.
Awalnya aku benar-benar tidak percaya. Namun akhirnya Om Arif berhasil
meyakinkanku. dan aku pulang. Dan ternyata benar. Ibu sedang terbaring di rumah
sakit.
“Ayah,
Ibu sakit apah?”
“Ibu
terkena stroke,” jawab Ayah. Aku begitu
kaget mendengar jawabnnya. Ibu terkena stroke
hemoragik. Aku sedikit teringat bahwa penyakit Strooke termasuk penyakit serebrovaskuler yang
diesbabkan karena pecahnya pembuluh otak dan ditandai dengan kematian
jaringan otak atau biasa disebut dengan Infark serebal yang diawali
denga berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.
Badanku
terasa begitu lemas. Nadiku berdetak kencang. Tak terasa air mataku meleleh.
Aku tak sanggup membayangkan Ibu akan berjalan dengan kursi roda. Lalu, aku
mendekati ranjang tempat ia berbaring. Selang infuse yang membuatnya semakin
terlihat tak berdaya juga telah menyedot sebagian tenagaku.
“Ibu,
maafkan Daun. Daun tidak berbakti pada Ibu” tangisku sambil membelai rambut
Ibu. Begitu pucat wajahnya.
“Tuhan,
Aku berjanji. Jika Ibu Engkau berikan kesempatan hidup aku akan benar-benar
mengabdi padanya dan menuruti semua keinginannya, serta merawatnya dengan
segenap cinta” kembali aku memandangi wajah Ibu. kuperhatikan dengan seksama
wajahnya yang kini telah berumur 46 tahun.
Kerut-kerut wajahnya menandakan betapa beratnya beban hidup yang selama
ini harus ia pikul sebelum datangnya Om Arif.
Tiba-tiba aku menyesali sikap dan kebodohanku selama ini yang selalu
mengabaikannya dan menganggap dingin pelukannya.
Terbayang-bayang
saat Ibu untuk sekedar membelaiku, tetapi aku justru menghindar dan kutepis
tangan lembutnya. Kutepis semua kehangatan pelukannya yang ia tawarkan padaku.
Ia tak pernah marah, Ibu selalu tersenyum dan sabar menghadapiku. Namun, aku
jarang sekali membalas senyumnya.
Terkenang
kembali saat aku masih kecil, Ibu memberikan kado sepesial di hari ulang
tahunku. Walau kemudian ia pergi mencari nafkah dan setelah itu hancurlah
keluargaku. Karena Ayah yang begitu bejad dan seterusnya aku mengacuhkan Ibu
karena ia tega menikah lagi dan sengaja aku pergi merantau.
Dulu,
di kompleks tempat tinggal kami. Di pesisir kota Cilacap, sedang musim Gameboard. Hampir setiap anak yang
sebaya denganku mempunyai permainan itu. Mereka saling menantang bermain game
mario bahkan sepak bola. Tawa mereka lepas saat sebagaian dari mereka
menunjukan kelihainnya bermain game. Bahkan tidak jarang yang bersorak dan
tertawa kegirangan jika mereka menang dan lebih unggul dari kawannya. Waktu itu, aku ingin sekali memiliki
permainan itu. Tapi itu tidak mungkin.
Aku tidak mau merepotkan Ayahku dengan
meminta barang yang mahal itu. Karena aku tahu, keadaan ekonomi keluargaku saat
itu sedang kembang kempis. Untuk membeli bumbu dapur saja, terkadang kesulitan.
Hingga
pada sutu sore, aku tak kuasa ingin menjajal permainan gameboard itu. Akupun memberanikan diri untuk meminjam dan bermain
dengan gemboard itu. Aku mencoba
meminjam milik Rudi. Namun, ternyata ia tak mengizinkanku. Dengan sombong ia
berkata,
“Kalau
kamu mau, beli saja di toko masih banyak”
Aku sangat
sedih, Hasratku untuk sekedar mencoba meminjam dan bermain sebentar tidak
kesampaian. Akhirnya aku hanya bisa diam. Untung saja ada Rizal yang
menenangkanku dan menghiburku. Lalu, ia mengajaku pulang. Kami berpisah di
ujung jalan yang memisahkan letak rumah kami. Lalu, aku masuk kedalam rumah dan
menatap keluar jendela. Mataku kosong menatap teman-temanku yang sedang tertawa
riang bermain.
Malamnya,
ketika sedang belajar di kamar, tiba-tiba Ibu datang mendekatiku sambil membawa
bungkusan berwarna biru. Awalnya, aku tidak begitu memperhatikan dengan apa
yang Ibu bawa. Dan kulihat Pelangi tersenyum di balik pintu.
Dan sebuah gameboard yang ada dalam bungkusan itu. Mungkin lebih
bagus dari punya teman-temanku. Model perminannya juga sangat banyak. Ada
mario. balapmotor, sepak bola. Dan masih banyak lagi. Aku berteriak girang.
Lalu aku memeluk Ibu. Dan tak
henti-hentinya aku mengagumi gameboard
itu. Hingga hampir semalam suntuk aku mencoba perminan-permainnya.
Selang tiga
hari, aku memberanikan diri bertanya pada Ibu, bagaimana ia bisa tahu aku ingin
sekali memiliki gameboard itu. Dengan
lembut ia bercerita, sepulang dari pasar
Rizal menceritakan padanya, aku sedih karena tidak di izinkan meminjam gameboard milik Rudi. Mendenagar cerita itu, Ayah langsung
mengatakan pada Ibu dan menyuruh Ibu pergi ke Kota Gede untuk membelikan Gameboard untuku. Walau padaa sat itu,
Ayah sama sekali tidak punya uang. Untung saja Ibu mempunyai uang tabungan sisa
hasil belanja sehari-hari. Lalu, Ibu membelikan gameboard yang sekarang ada ditanganku.
“Biar Kamu gak
diejek sama temen-temen lagi” begitu kata Ibu singkat sambil membelai kepalaku.
Aku merasa
sangat bodoh sekali dengan sikapku selama
ini pada Ibu. kulihat nafas Ibu masih tersengal dibantu alat pernafasan.
Tubuhnya yang semakin kurus, otot-ototnya menyembul terlihat dari balik
kulitnya. Menandakan bahwa ia telah semakin tua dan lemah. Kutanyakan pada
suster bagaimana keadaan Ibu. Dan jawabannya membuatku menangis,
“Kamu yang sabar
yah, Ibumu perlu perawatan yang intens. Mungkin untuk sementara Ibu harus
berjalan dengan kursi roda. Karena kaki yang kiri mengalami masalah” aku hanya menunduk. Betapa sesak dadaku
menerima kenyataan itu. Kaki Ibu lumpuh. Dan harus berjalan dengan kursi roda.
Dengan perasaan sedih, aku terkulai
duduk disamping Ibu.
Kembali
kupandangi lekat-lekat wajahnya. Kusapu peluh yang membasahi wajahnya.
“Ibu, maafkan
aku. Maafkan aku, Ibu” bisiku pelan ditelingannya. Aku ingin Ibu mendengar penyesalanku. Tetapi ia masih
terdiam dalam komanya.
Siluet
perjalannanku dengan Ibu membuatku jatuh tersungkur di sudut ruangan yang gelap
gempita. Aku ingin keluar namun aku tidak tahu pintu mana yang hendak kubuka.
Justru aku melihat bayang-bayang wajah Ayah yang menangis dan mencoba meraih
tanganku. Namun, aku menepisnya. Aku lihat Ia semakin menangis histeris. Aku
mencoba lari darinya. Karena Ialah semua penderitaan ini harus kurasakan. Aku
semakin kencang berlari, sembari memanggil nama Ibu. entah berapa lama aku
memanggil namanya, sambil kurapalkan doa-doa untuknya. Agar Tuhan mengampuninya
dan mengembalikan tubuhnya yang kini separuh telah mati. Namun, tiba-tiba aku
terjatuh dan kurasakan semua gelap. Hingga mataku tak mampu lagi melihat.
“Daun, kamu
sudah sadar” suara lelaki yang sangat kukenal. Ternyata Om Arif sudah ada di
dekatku. Sambil membelai rambutku.
“Kamu pingsan
lebih dari lima jam. Saat kamu masuk ke ruang ICU untuk melihat Ibu tiba-tiba
kamu menangis dan pingsan” ucapnya lagi. aku masih terdiam. Lalu, tiba-tiba
tanganku tergerak untuk meraih tangannya.
“Ayah, maafkan
aku” ucapku. Lelehan air mata tak terasa menghangatkan kedua pipiku. Lalu, ia
hanya tersenyum. Terlihat wajah bijaksananya. Oh betapa ia tak seperti yang aku
pikirkan.
“Sudahlah,
Daun. yang sudah tidak perlu kau fikirkan. Ayah hanya mencoba untuk memahami.
Betapa kamu begitu trauma terhadap seorang Ayah. Yang pernah membuat hidupmu
terluka” jawabnya. Aku begitu malu mendengar jawabnnya. Ternyata ia begitu
menyayangiku. Menganggapku seperti darah dagingnya. Dan begitu sabar menerima
semua sikap acuhku.
“Ayah bgitu
mendambakan seorang anak. Bertahun-tahun
lamannya Ayah menginginkannya. Tapi ternyata Tuhan tidak memberikannnya. Dan
Ayah tahu hadirnya Ibu dan kamu adalah jawaban dari doa-doa Ayah selama ini.
Tuhan menggantikan kalian sebagai keluarga Ayah. Sebagai keluarga dambaan yang
begitu Ayah impikan. Lengkap dengan seorang Ibu dn anak.” Terangnya panjang.
Membuatku semakin merasa menyesal dengan perbuatanku selama ini. Betapa sifat
buruk yang aku tanamkan pada diriku telah membuat orang-orang di sekitarku
menderita. Aku begitu menyesal.
“Ayah, Daun
berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi” janjiku pada Ayah. Janji
seorang anak yang kini benar-benar mennyayangi Ayah dan Ibunya.
Selama lebih
dari seminggu Ibu dirumah sakit, akhirnya Ibu
siuman. Kulihat ada yang berbeda dari Ibu. kini, Ibu begitu sulit untuk
berbicara. Dan kakinya benar-benar tak mampu lagi bisa difungsikan untuk berjalan.
“Aku berjanji
akan selalu merawatmu Ibu” lirihku.
“Da-daa-Daun,
Ibu me-memerindukanmu” ucapnya. Dengan nafas tersengal-sengal. Suara Ibu
menjadi gagap. Aku tiba-tiba menangis.
“Iyah, Bu. Daun
di sini” jawabku dengan merengkuh tangannya.
“Ibu. maafkan
Daun. maafkan Daun” ucapku selanjutnya. Kulihat ia tersenyum. Dan, Om Arif datang dengan membawa sebungkus obat.
“Ibu, seminggu
lagi Ibu diperbolehkan pulang” ucapnya, membuatku girang.
“Daun siap
merawat Ibu” dengan semangat aku menyambut kabar gembira itu. Lalu Om ariif
meraih tanganku dan menggenggam erat tangan Ibu. betapa kurasakan bahagia saat
itu. Betapa indahnya keluarga yang saling mnyayangi. Seperti keluarga yang saat
ini kurasakan.
17
Kotak Masa Lalu 11:
Titik Cerah
Kesadaran adalah
anugrah yang tak terhingga, telah mampu memberikan perubahan baik. Aku
benar-benar mensyukurinya. Takan kubiarkan lagi
kesedihan menyeruak diantara kita. Aku takan membiarkan hatiku membuta
seperti dahulu. Aku takan membiarkan peristiwa dahulu terulang kembali. Aku
akan segera megakhirinya dengan tawa yang
selalu membasahi bibirku. Aku mencoba meniatkan semua itu dengan hati.
Karena aku begitu menyayangi Ibuku. Aku benar-benar takan menyia-nyiakan untuk
kedua kalinya.
Semenjak
Ibu pulang dari rumah sakit, akulah yang praktis mengurus kebutuhannya. Setiap
pagi, selepas subuh aku membersihkan rumah, mengisi bak mandi dan mencuci
piring serta mempersiapkan sarapan untuk Ayah yang akan berangkat ke kantor.
Lalu aku mempersiapkan peralatan mandi untuk Ibu. Ketika sore hari, aku
menyetrika pakaian dan membuatkan kopi untuk Ayah. Kadangkala, ketika malam
hari Ayah cape, aku memijitnya. Begitulah seterusnya hingga hampir setahun.
Hubunganku dengan Ayahpun semakin dekat. Aku begitu merasakan kehangatan dan
perlindungan dari seorang Ayah. Ayah begitu sabar merawat Ibu. walau Ibu tak
berdaya karena penyakit strooknya, Ayah tetap menyayanginya dan berusaha
memperhatikannya. Aku begitu salut dengan tanggung jawabnya. Walau kami tinggal
seonggok daging, namun Ayah tetap menghormati dan menyayangi kami.
“Demi
langit yang menjulang tinggi, dan awan-awan yang menggantung bersamannya. Demi
bumi yang selalu setia dengan setiap pijakan kaki manusia, dan demi laut yang
menghampar dengan segala takdirnya. Demi malam yang kian berselimut dingin.
Sedingin hatiku, yang dulu pernah tertusuk duri, seperih- perihnya perasaan.
Menyiksa hati disetiap waktu. Seandainya waktu mampu kuputar, akan kuputar semauku dan akan kutata
agar ia tak terluka seperti dahulu. Namun, semua hanyalah mimpi. Waktu berjalan
dengan kakinya ssendiri, hingga menjemputku sampai detik ini. Detik yang kurasa
berbeda, karena kini luka lama yang dulu tertoreh telah terobati. Dengan
hamparan cinta dan kasih sayang yang merambati jiwaku” batinku ketika aku
menemani Ibu duduk di beranda rumah sambil menatap bintang di langit.
“Daun,
terimakasih kamu selalu menemani Ibu” ucap Ibu tiba-tiba.
“Ibu,
seharusnya Daun yang harus meminta maaf. Karena Daun belum bisa berbakti pada
Ibu. Daun telah banyak merepotkan Ibu dan pernah meninggalkan Ibu” ucapku
sambil menggenggam erat jemarinya. Lalu Ayah duduk disampingku dan membelai
rambutku.
“Daun,
semua manusia itu mempunyai potensi untuk berbuat salah. Janganlah pernah
menangisi hari kemarin. Karena waktu
terus bergulir, lebih baik menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Yang
mampu meberikan keindahan kedepan. Karena waktu akan hilang seandainya hanya
dipakai untuk menyesali hari kemarin tanpa ada tindakan baru” ucap Ayah, membesarkan hatiku. Lalu, aku mencium
tangannya. Kebiasaan itulah yang akhir-akhir ini kulakukan. Karen aku ingin
benar-benar menghormatinya. Kata orang, mencium tangan orang yang lebih tua
adalah bentuk penghormatan.
Hampir delapan bulan Ibu berjalan dengan kursi
roda. Ternyata seiring berjalannya waktu, kondisinya semakin membaik. Harapan
untuk sembuh kian besar. Saat itu, bulan Juni,
bulan yang aku tunggu-tunggu lebih dari setahun lalu. Bulan Juni yang
berbeda. Karena bulan juni tahun ini, aku akan menjemput mimpiku. Mimpi untuk
mengukir sejuta harapan masa depan di dunia pendidikan.
“Daun,
Ayah punya kabar gembira untukmu” ucap Ayah. Di suatu sore ketika Ia baru
pulang kerja. Kulihat Ia membawa amplop kuning besar.
“Kabar
apa Ayah?” tanyaku sambil mencium tangannya. Lalu, Ia memberikan amplop yang ia
bawa. Segera aku membukannya. Ternyata, ada dua arsip yang membuatku melonjak
kegirangan. Yang pertama, Ayah naik pangkat menjadi wakil direktur di
Perusahaan Jamu Jaya Guna tempatnya bekerja. Dan kebahagiaan ke dua adalah
ketika aku membaca arsip pendaftaran masuk kuliah di Universitas Jendral
Soedirman.
“Daun,
pergilah ke Purwokerto besok pagi, Ayah sudah mengurusi pendaftaranmu. Besok
jadwal ujian masuknya”
“Ia,
Ayah,” jawabku.
Pagi
hari yang cerah. Secerah hatiku dengan berjuta harapan yang berkilau, dengan
berbekal uang secukupnya aku pergi ke Purwokerto. Selama dua jam perjalanan,
bis Asli jurusan Cilacap-Sampang-Purwokerto mengantarkan aku menuju kota Satria
itu. Dengan menggunakan Angkutan kecil, yang berlabelkan B2, dari Tanjung dan
tepat di depan Patung kuda Jenderal Soedirman aku turun. Tumpah ruah telah
berjejal para calon mahasiswa yang akan mengikuti ujian masuk. Lebih dari 5000
calon peserta ujian masuk, telah siap dengan nomor ujiannya masing-masing.
Buku-buku yang mereka bawa membuat dadaku bergemuruh. Ternyata hanya aku yang
tak mempersiapkan semua itu. Aku pasti akan tenggelam diantara mereka, calon
peserta yang telah matang dengan materi-materi nanti.
Tepat pukul delapan, ujian dimulai. Soal sekitar pengetahuan umum, fisika, kimia dan matematika serta soal-soal pengetahuan sosial lainya, dengan lihai aku selesaikan. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk mneyelesaikannya.
Yang membuatku berkeringat deras adalah ketika aku menghadapi soal-soal pendidikan Islam. Soal seputar Fiqih dan sejarah Islam serta kerajaan-kerajaan Islam di masa kekhalifahan. Seperti Umar bin Abdul Aziz, Muawiyah telah membuatku semakin tidak yakin bisa lolos. Belum lagi ketika merambah soal nomor lima puluh, filsafat. Telah menambah kegilaanku siang itu. Berjajar soal mengenai pemikiran-pemikiran Filosof Yunani kuno seperti Plato, Socrates, Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Heraclitos. Aku terus berfikir, mengerahkan tenaga dan memutar otaku sampai aku benar-benar memecahkan soal-soal itu. Tepat jam sepuluh aku menyelesaikan enam puluh soal pilihan ganda itu. Berbekal lupa-lupa ingat dengan buku karangan Paul Strathern dan Emile Durkheim yang pernah kubaca telah banyak membantuku menyelesaikan soal-soal filsafat yang hampir memeras otaku. Ternyata filsafat lebih gila dari segalannya.
Ujian materi
kedua dilaksanakan pukul dua siang. Setelah mengerjakan soal-soal umum, kini
sesi kedua adalah mengerjakan soal-soal khusus yang berhubungan dengan fakultas
dan jurusan yang diambil. Ilmu sosial dan politik adalah jurusan yang aku
ambil. Alasan utamaku mengambil jurusan itu,
karena aku begitu tertarik dengan kajian-kajian ilmu politik. Aku
menjadi teringat tentang penjelasan guru agamaku, mengenai hubungan antara
agama dan politik. Terutama agama Islam. Bahwa Islam bukanlah sebatas religion
namun juga merupakan sebuah system politik. Berawal dari kata itulah aku
sering membaca buku tentang politik. Berawal dari hal tersebut juga, aku
menjadi sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran ilmuwan politik. Terutama
tentang pemikiran-pemikiran para ilmuan seperti Hobbes, Locke, dan Rosseau pada
konteks State of Nature, yang
mengatakan, dimana kelahiran sebuah negara ditandai kohesi sosial yang
didasarkan pada kesepakatan bersama. Selain itu, pemikiran-pemikiran Karl marx,
Edmund Burke yang terkenal dengan salah satu pemikirannya yaitu menganai
konservatisme politik.
Tepat
enam puluh menit aku selesai menggarap semua soal pilihan ganda. Kini aku
keluar dengan penuh harapan. Aku ingin di terima di Universitas Jendral
Soedirman. Aku pulang, karena aku tahu pasti Ibu di rumah sangat kesepian.
Ternyata benar, saat aku sampai di rumah, Ayah belum pulang. Dan Ibu masih
terdiam di kamarnya. Belum mandi dan rumah masih terlihat belum rapih. Aku
langsung menyiapkan air dan membersihkan rumah serta membuatkan kopi menyambut
Ayah pulang. Tepat jam lima sore, Ayah sampai di rumah. Kulihat wajahnya begitu
berseri-seri.
“Ibu,
Insa Allah Ibu akan secepatnya sembuh. Kita akan membawa Ibu ke tempat terapi.
Agar Ibu bisa cepat bisa jalan lagi” ucap Ayahku menggebu-gebu. Aku masih
bingung dengan ucapan Ayah. Setengah berfikir, bukankah membawa Ibu terapi sama
saja harus mengeluarkan uang banayk. Namun, semenit kemudian, kebingunganku
terjawab. Ayah naik pangkat dan gajihnya pun naik menjadi dua kali lipat.
Selain itu, Ayah mendapat fasilitas rumah. Dan sebulan lagi kami akan pindah.
Aku menarik nafas lega. Akhirnya kami akan lepas dari segala penderitaan.
Dua
puluh delapan hari berlalu. Hari ini, adalah hari yang aku tunggu. Hari selasa
yang akan bersejarah dalam hidupku. Pagi-pagi sekali aku telah pergi menuju
toko Bang Aman. Dengan membawa uang 2500
aku membeli Koran. Begitu aku mendapatkan Koran yang aku cari, aku langsung
mencari halaman yang memuat pengumuman nama-nama mahasiswa yang lolos seleksi
SMPTN. Di kolom satu, aku tidak menemukan namaku. Aku begitu putus asa.
Keringat telah meleleh membanjiri pelipis. Namun, di kolom dua tepat dengan
nomor urut 345 tertera namaku “Daun Indra”
aku melonjak kegirangan. Betapa dunia terasa berbeda pagi itu. Halaman
Bang Aman terasa bagai taman yang indah berhiaskan bunga-bunga yang bermekaran.
Sungguh menyejukan karena di sampingnya berdiri air mancur yang menambah
kesejukannya. Sesejuk hatiku pagi ini. Mungkin hingga seterusnnya.
“Aku yakin, mulai hari ini nestapa
takan lagi berpihak padaku. Aku akan balas dendam pada masa laluku yang
berhiaskan hampa, beraromakan derita, dan terasa menyakitkan. Hingga hati harus
tertoreh luka” batinku sambil memeluk Koran. Lalu, aku pulang membawa senyuman.
“Daun,
selamat yah. Ayah bangga padamu” ucap Ayah sambil membereskan barang-barang
yang akan kami bawa kerumah baru kami. karena sore nanti kami akan segera
pindah.
Saat matahari
akan menempati arah barat, kami telah siap untuk berangkat ke rumah baru
kami. mobil Avanza Ayah telah memuat
semua barang-barang kami. Aku menoleh sebentar ke rumah kecil kami. Aku
benar-benar akan meninggalkan rumah yang mungil itu. Beribu kenangan dan peristiwa
di dalamnya kusimpan dalam lemari di
sudut kamarku. Kubalut dengan sekotak kaleng biskuit, agar tetap awet, dan
rayap-rayap tak menggerogotinya. Biarlah semua cerita ini tertutup dan terkunci
dengan sebuah gembok besi. Biarlah langit biru akan menaungi setiap langkahku
di Purwokerto nanti. Kota yang benar-benar aku tuju untuk menimba ilmu.
Sedikit
meneteskan air mata. Mengingat semua itu. Lalu, aku mengalihkan pikiranku agar
aku tak larut pada dendamku. Aku berjalan menuju halaman depan, aku mengucapkan
salam perpisahan pada tetangga-tetanggaku. Mereka yang menyaksikan perjalanan
hidupku selama ini, tak tahan menahan haru. Kulihat, tak sedikit dari mereka
yang meneteskan air mata saat memeluk tubuhku. Bapak-bapak yang menyalamiku
tampak berkaca-kaca matanya. Lalu, aku
pamit meninggalkan mereka menuju mobil Ayahku. Kulihat Ayah dan Ibu telah tidak
sabar untuk meninggalkan rumah ini. Lalu, aku menutup pintu dan mobil kami
melaju menuju jalan tol. Ada rasa lega di dadaku. Aku yakin roda kehidupanku
akan segera berputar. Seperti roda mobil Avanza yang kami naiki. Berputar dari
bawah hingga atas. Langit senja pun terasa begitu indah bagiku. Mega yang akan
menjemputnya kupastikan lebih indah. Seindah senyum Ibuku sore ini, saat
menatap jalan diluar sana.
***
18
Sampai
Kapanpun
Bunga menutup
buku harian milikku. Hingga halaman terakhir ia membacannya. Tangannya
bergetar. Wajahnya memerah, matanya panas menahan tangis. Di depannya, aku
hanya terdiam dan membisu. Seolah turut menyaksikan episode-episode kehidupan
yang tak mau aku lihat lagi. Bagiku, luka masa lalu itu telah menyatu bersama
kulit. Bahkan menjadi daki. Hingga kini terkadang masih menyeretku dan
membuatku oleng ketika badai kehidupan menerpa. Seakan aku telah kehilangan
tembok besi dalam hidupku.
Bunga
belum mampu berkata-kata, hanya lelehan air matanya yang menari-nari diatas
pipinya. Mewakili semua kata-kata yang ingin ia rangkai namun tak jadi-jadi.
Namun, setelah lebih dari 20 menit kami terdiam, Bunga mencoba mengatur
nafasnya. Agar tak terdengar lagi senggukan alunan tangisannya. Lalu, ia
membuka bibirnya, mencoba merangkai kata.
“Daun,
susah sekali aku menggerakan bibirku untuk berkata-kata. Kerongkonganku
benar-benar terasa kering. Aku benar-benar kehabisan akal hingga aku bingung
harus berkata apa. Buku ini, tiap bait yang terangkai dalam buku ini, aku tidak
menyangka, bahwa beban hidupmu begitu berat” Ucap Bunga dengan tertunduk lemas.
Masih terdengar lirih isakan tangisnya.
“Sudah
sejak awal aku ingin mengajakmu kesini. Namun, aku masih ragu. Hingga hari ini,
aku sengaja mengajakmu kesini. Aku ingin menunjukan catatan buku dan foto ini
padamu. Kepada gadis yang benar-benar aku cintai” ucap Daun. aku hanya ingin
Bunga tahu, bahwa masa laluku yang suram dan terasa berat, tiada artinya dan
akan terobati dengan kehadiran sosok Bunga. Gadis yang begitu indah. Gadis yang
perangainya begitu berbeda dengan gadis-gadis lain pada umumnya. Dan Gadis yang
begitu mirip dengan Ibuku. Aku merasa begitu yakin, bahwa pertemuanku dengan
Bunga adalah suatu anugrah dari Tuhan.
Aku merasa bahwa Bunga adalah lebih dari sebuah hadiah terindah yang diberikan Tuhan padaku. sebagai
pengganti atas semua detik-detik yang membuatku menderita. Dan jawaban atas
doa-doaku selama ini.
“Maafkan
Bunga, Daun. Bunga telah menyakitimu. Tapi Bunga benar-benar tidak bisa bersamamu”
ucap Bunga memalingkan muka. Daun terhenyak dengan kata-katanya. Mukanya
memerah. Aliran darahnya serasa berhenti dan wajahnya memutih. Terlihat sangat
pucat.
“Perjuanganmu
untuk hidup terlalu mulia untuk sekedar kau memilihku. Jangan pernah kau meilih
untuk kembali pada agamamu karena pamrih. Apalagi karena demi meluluhkan hati
seorang wanita. Daun, aku yakin Tuhan menciptakanmu untuk rencananya yang lebih
indah dari pada sekedar bertemu denganku. Entahlah, aku tidak ingin munafik.
Satu sisi hatiku sangat menginginkanmu dan membutuhkanmu sebagai pelengkap
hidupku dan menyempurnakan agamaku. Tapi, satu sisi hatiku mengatakan bahwa
keputusanmu kurang tepat” terang Bunga
panjang lebar.
Bunga
menunduk. Memandangi tanah kering yang ada dihadapannya. Sambil memikirkan sesuatu yang seharusnya tak
perlu terlalu dalam ia fikirkan. Namun, satu keinginan Bunga, bukannya ia tidak
ingin membantu Daun kembali pada Agamannya. Namun, ia ingin Daun menyadarinya
sendiri. Bahwa tanpa dirinya pun, agama adalah suatu hal yang sangat vital
dalam hidup manusia. Karena tanpa agama manusia sama saja hanya hidup dengan
raga yang kosong. Karena ruhnya telah mati. Bersama hilangnya agama tersebut.
Bunga hanya ingin Daun tahu, bahwa agama bukanlah sekedar cinta, bukan sekedar
pengorbanan. Namun, agama adalah suatu suatu yang menjadikan diri kita lebih
baik dan lebih sempurna. Dan agama bukanlah sekedar pengakuan akal saja. Namun
agama adalah sesuatu yang irasionalitas. Karena tanpa agama manusia takan bisa
memaknai hakikat dari “ hidup sejengkal”
“Daun,
aku tahu kamu memang pernah mempunyai pengalaman pahit dalam hidup. Namun, tak
pernah sekalipun kamu menyadari, bahwa sesuatu yang pahit akan bertambah pahit
jika ia di tambah dengan serbuk yang pahit. Tapi, ketika kamu menambahnya
dengan pemanis, ia akan berubah rasa walau sedikit, itu sama halnya dengan
hidupmu selama ini, terasa lebih berat karena kamu tak pernah meminta Tuhan
untuk meringankan bebanmu. Kamu hanya mencacinya. Bahkan kamu meninggalkan
media sebagai pengantarmu untuk meminta padanya” lanjut Bunga. Kali ini, ia tidak terlihat
meneteskan airmata lagi. mungkin ia tidak ingin terlihat cengeng di depan Daun dalam menyikapi masalah yang sedang ia
hadapi.
Daun
terlihat semakin limbung. Perasannya tak menentu. ia begitu takut kehilangan
Bunga. Karena Bunga adalah satu-satunya wanita yang ia harapkan. Ia
menengadahkan kepala. Mencoba mencari kembali dimanakah Tuhan yang dulu sangat
ia cintai bersemayam.
“Bunga,
mengapa kau tampik cintaku, jika kamupun mengharapkannya dan sangat
merindukannya? Apakah dirimu terlalu takut untuk menyandingkan cintamu dan
cintaku hanya karena masalah agama?” Tanya Daun. Di depannya Bunga hanya
terdiam. Berputar-putar lebih dari sepuluh jawaban dikepalnnya. Namun, ia lebih
mencondongkan satu kalimat yang kini menggantung di alam fikirnya. Bahwa “Agama
seorang Ayah dan Ibu adalah hal yang sangat Vital untuk anak-anaknya di masa
depan. Dan ia juga teringat perkataan guru ngajinya. Bahwa perlakuan seseorang
adalah cerminan bagi keturunanya nanti. Bukannya ia ingin egois tapi ia ingin
yang terbaik untuk keturunannya nanti. Hingga selama ini ia selalu menjaga
hatinya dan berusaha menjaga setiap tingkah lakunya. Biarlah Daun mencari
jalannya sendiri. Jalan yang akan membawanya menuju pada hakikat Tuhan yang
sebenarnya.
“Bunga,
aku sadar dan sangat rela untuk kembali melakukan semua ritual-ritual dalam
agama yang dulu pernah aku yakini dan kini juga sangat kamu yakini. Ini
kulakukan bukan hanya sekedar untuk mendapatkan dirimu. Tapi hati sudah
terlanjur yakin dan nyaman denganmu. Aku ingin selalu bersamamu untuk
selamanya” Daun membulatkan tekad untuk mendapatkan Bunga walau bagaimanapun
caranya. Karena aku begitu takut hidupku
akan lebih hancur tanpannya. Karena Bunga lebih dari sekedar wanita biasa namun
ia seperti bidadari yang tak bersayap yang akan menuntunya mencari surga.
Bunga,
hanya termangu sedikit mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Daun. Antara
percaya atau tidak. Tapi apa yang ia dengar tadi bukanlah dalam alam mimpi.
Bu
Supi hanya terdiam di belakang mereka. Ia begitu terkesima melihat adegan dua
remaja yang ada di hadapannya. Ia seperti merasa sedang menonton drama korea
seperti yang sering ia tonton sore hari. Lalu, ia menengahi mereka dan mengajak
mereka beranjak dari kamar yang pengap ini. Karena tidak terlalu baik di dalam
kamar yang kedap udara. Menggganggu pernafasan dan mengotori paru-paru. Lalu,
mereka keluar beriringan.
Sebelum
beranjak meninggalkan rumah yang berbingkai lukisan peristiwa masa lalu itu,
Daun berpamitan kepada Bu Supi dan mencium tangannya. Bu Supi hanya berpesan
sepatah kata untuk Daun.
“Daun, masalah
bukan berarti tanda akan berakhirnya kehidupan. Namun, masalah adalah awal dari
perjuangan untuk menuju kehidupan hakiki. Dan perlu di ingat sebelum Tuhan
menurunkan masalah padamu, terlebih dahulu Tuhan telah menurunkan jalan keluar
untuk masalah yang akan kau hadapi ingat Daun, jangan pernah kamu tergelincir
pada pemaknaan taqdir yang salah hingga kamu berujung mencaci dan menyalahkan
Tuhan, tapi belajarlah yakin, ikhlas dan sabar untuk setiap peristiwa yang
menghampirimu”
Lalu, aku dan
Bunga pergi meninggalkan rumah itu. Aku merasa sedikit lega. Beban yang selama
ini aku simpan telah coba kubagi dengan
orang yang paling aku cintai. Dan aku tetap berharap Bunga akan mengerti diriku
dan masa laluku. Di jalan kami diam membeku. Hanya angin sepoi yang mengajak
kami bercanda. Namun, kami menepisnya.
Justru kami sibuk dengan fikiran kami sendiri. Tepat di pertigaan jalan Gatot Subroto, aku membelokan motorku.
Menuju arah kiri.
“Daun, kita kok
lewat jalan yang berbeda? Kita mau kemana?” Tanya Bunga kebingungan. Karena ia
sedikit merasa takut, aku akan membawanya ketempat yang tidak ia kenal dan
berbuat nekat. Aku hanya terdiam. Hanya angin yang menjawabnya. Lewat bau amis
ikan yang kini tercium oleh Bunga. Ia mengerti, bahwa Daun membawanya menuju
Laut Teluk Penyu. Ternyata benar. Kurang dari 100 meter terlihat laut tehampar
luas di depannya. Terlihat ombaknya yang berlarian berkejaran menuju pesisir.
Angin laut yang berhembus menyapannya. Terasa begitu indah. Terlihat Kota
Cilacap yang begitu kaya dan indah. Dengan berpenghasilan dari laut serta
adanya kilang minyak.
Aku mengerem
motorku tepat di depan rumah makan Sari Bahari. Rumah makan faforitku sejak
dulu, yang menyediakan berbagai macam
masakan laut. Seeafood, loopster dan masih banyak lagi.
“Bunga, ayo kita
makan dulu! Dulu, aku sering sekali makan disisni bersama Ayah dan Ibu. kamu
tidak akan menyesal, karena masakan-masakannnya begitu khas dan lezat” ajakku.
Bunga hanya menjawab dengan senyuman lalu melangkah mengikutiku. Masih terasa
kekakuan diantara kami. Di dalam kami hanya diam menunggu makanan yang telah
kupesan. Bunga semakin terlihat canggung. Sebentar-senentar menggigit bibir
lalu mengalihkan pandangannya. Hanya lirik lagu
Sampai Kapanpun milik Ungu
yang menemani kami. Mengalir lembut dan membuai alam bawah sadar. Aku begitu menikmati, terasa mewakili perasanku.
Semakin Ku menyayangimu, Semakin
Kau menyakitiku
Semakin Ku mencintaimu, semakin kau
menghancurkanku
Entah Sampai kapanpun Kau akan
menyadarinya
Bahwa hanya diriku yang pantas
memiliki dirimu
Yang rela korbankan semuanya untukmu
Sampai kapanpun kau akan kucintai
Walau kau tak pernah membalas
cintaku padamu
Walau apapun kau akan kusayangi
Setulus hatiku, Seumur hidupku
kumencintaimu
Takan pernah bisa melupakanmu
Walau sekejap saja
Takan pernah mampu
Tuk memggantimu dalam seluruh hidupku
Sampai kapanpun kau kan kucintai
Walau kau tak pernah membalas cintaku padamu
Walaupun apapun kau akan kusayangi
Setulus hatiku, seumur hidupku, kumencintaimu.
***
Aku tersungkur lemas di sudut
kamar. Hatiku terasa rapuh. dan jiwaku terasa kosong. Aku merasakan kerinduan
yang dalam pada Bunga. Terpendam hingga membusuk. Selepas pertemuan di Cilacap,
Aku jarang sekali bertemu dengannya.
Hanya sesekali. Selain karena kmpus kami yang berbeda, jadwal kuliah pun
menuntut kami untuk tidak bersantai diluar kampus. Rupanya, Bungapun sengaja
menyibukan diri. Sebagai satu alasan untuk menjaga jarak denganku. Aku merasa,
Bunga seolah benar-benar hilang dari peredaran hidupku
Aku
selalu berusaha menghubunginnya namun tidak pernah bisa. Bahkan, beberap kali aku datang ke kost Bunga. Namun,
ia tidak pernah ada. Teman-temannya hanya mengatakan bahwa Bunga sedang sibuk
dengan kegiatan di kampusnya. Sehingga ia jarang di kost.
Lebih dari dua
bulan aku tidak bertemu dengannya. Kabar terakhir yang kudengar, Bunga sedang
di Semarang mengurus kegiatan di organisasi yang ia ikuti. Oh, Bunga, betapa
aku merindukanmu.
Aku
terjebak dalam kata-kata
Tak adalagi tanda baca,
ataupun koma,
Hanya bayangan abjad
yang renta dan bahasa yang makin menua
Katakan saja dengan
hatimu
jika tak mampu mengurai
makna
yang disimpan cahaya
pada senja
atau aku harus
menggunakan bahasa batu
Agar kau tahu aku
tercabik-cabik rindu
***
Suatu
sore yang cerah, saat aku sedang bersantai di warnet, karena memang tidak
begitu banyak pengunjung yang datang, tiba-tiba terdengar suara yang membuatku
terperanjat. Suara yang benar-benar terasa menyejukan, suara yang pernah
memanjakan hatiku. Semua harapan yang tadi sempat aku lamunkan buyar begitu
saja.
“Hai,
Daun.” sapanya. Suara itu membuatnya menoleh dengan cepat. Andrenalinku berpacu
dua kali lipat. Terasa begitu lemas bercampur bahagaia. Di belakang tampak seorang gadis yang sedang
tersenyum manis.
“Bunga”
ucapku dengan nada lirih. Benar-benar suaraku tertahan. Takuasa lagi
tenggorokanku menyebut namannya. Terlalu indah dan berat. Nama itu sungguh
benar-benar menjanjikan surga buatku. Namun, kini surga itu semakin jauh dari
jangkaun tanganku dan pandangan mata liarku.
“Bagaimana
kabarmu?” tanyanyan, singkat. Mataku
masih lekat memandangnya. Berbinar memandang pujaan hatiku yang kini berada di
depanku. Permaisuri hatiku yang selama ini menghilang dan begitu membuatku
tersiksa kini hadir tiba-tiba. Oh sungguh Tuhan memang tahu kemampuan
hamban-Nya dalam menghadapi sebuah cobaan. Kala hampir punah haran-harapan yang
tertata dan merasa benar-benar putus asa,
ia mnghadirkan anugrah dengan caranya sendiri. Seperti detik ini ketika
aku tak mampu lagi menahan rindu yang benar-benar mencabik-cabik ulu hatiku.
Daun
masih memandang bola mata Bunga yang indah. Namun justru Bunga memalingkan pandangannya. Daun
tak begitu memperdulikannya. Yang terpenting kini Bunga telah kembali. Cahaya
hatinya telah bersinar kembali.
Oh…. syahdu
sekali. Kalau sedang jatuh cinta siapapun bisa merangkai kata seindah syair
kahlil Gibran. Beberapa menit kami membisu, seolah tenggorokan kami tersumbat.
Jantungku berdebar. Aku tidak mampu lagi mendevinisikan filosofis cinta yang
ada di hatiku. Benih-benih rasa suka dan sayang di hatiku memang begitu sulit
untuk di mengerti. Kadang membuatku semangat untuk meniti hari-hari esok.
Terkadang membuatku tersungkur lemas dan tak berdaya.
“Kamu kemana saja Bunga. Setiap hari aku
menantikan kehadiranmu. Aku selalu berusaha mencari jejakmu. Tapi kamu bagai
menghilang ditelan bumi. Hanya temanmu yang mengatakan bahwa kamu tengah sibuk
dengan kegiatan-kegiatan organisasi kampusmu. Aku benar-benar kehilanganmu. Aku
begitu merindukanmu Bunga” ucap Daun. semakin dalam ia menatap mata Bunga.
“Maafkan
Aku Daun. Aku ada acara mendadak di Semarang. Jadi aku tidak sempat memberitahumu.
Selain itu juga aku ingin benar-benar mengalihkan fikiran dan hatiku darimu.
Aku ingin mendinginginkan hatiku. Dan ingin berdialog dengan hatiku dengan
tenang” jawabnya. Lalu. Ia mengatupkan bibirnya.
‘Bunga,
aku benar-benar tidak bisa tanpamu aku benar-benar mencintaimu” ucapku lagi.
Namun Bunga tak terlalu mendengarkan kata-kataku. Tak seperti biasanya ketika
aku bertemu dengannya. Kali ini suasana begitu beku.
“Maafkan
aku Daun. Sebulan kemaren, Ibu telah mengenalkanku dengan seorang laki-laki.
Dan aku mencoba bertaaruf dengannya,” ucap Bunga. Menatap lurus mata Daun.
Tiba-tiba air matanya mengalir.
“Apa,
kamu ngomong apa?” tanyaku. Telingaku serasa tersiram cairan timah mendidih
mendengar perkataan Bunga. Aku ambruk.
Tersungkur kekursi di belakangku.
Beberapa
menit kemudian keadaan menjadi senyap. Hatiku terasa berantakan dalam sekejap
akibat ledakan dinamit kesedihan didadaku. Hatiku hancur. Sungguh tak bisa aku
melupakan wajah gadis manis yang selalu bisa menenangkan. Nama Itu, harapanku,
inspirasiku, sekaligus perihku.
Aku
telah benar-benar terpatri dengan bayangan Bunga sampai berkarat dalam jiwaku.
Dan kini, hari ini, detik ini aku harus bisa melupakannya. Berat, sungguh
berat. Oh, sungguh bodohnya aku mengharap Bunga Desember tumbuh di musim
kemarau. Menunggu orang yang tak pernah merasa ditunggu. Bangunan harapanku runtuh, terkubur bersama
imajinasi bodoh sang pemimpi.
Air
mataku meleleh. Aku merasa menjadi manusia yang paling gagal. Merasa menjadi
manusia yang hanya penuh dengan angan-angan musykil. Mimpi diatas angin, tidur
di awan-awan dan seketika terjaga dikolong langit dengan untaian masalah.
Aku merasa terperangkap dalam jerami
yang kusut beraliran listrik tegangan tinggi. Hingga terbakar dan hangus.
Oh,
begitu menyedihkan. Aku merasa benar-benar lemas dan tak berdaya. Menghadapi
hawa hening yang meniupkan kesedihan di relung hatiku. Aku benar-benar tak
mampu lagi melangkahkan kaki menuju dermaga harapan di sebrang sana. Bersama
Bunga impianku. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang paling hancur.
Detik-detik
waktu yang melenggang melangkahiku terasa mencekam dan menakutkan. Sebagian
kebahagiaan yang pernah mampir dalam hidupku lenyap bersama kepergiannya.
Berjuta rasa dan asa yang tercipta kini hangus bersama langkahnya. Beribu
kenangan indah itu menusuk bagai duri-duri tajam yang menusuk ulu hatiku. Bunga
yang selama ini menjadi anganku telah melenggang dan mennyebrang ke hati yang
lain.
“Bunga,
mengapa kau tega menyiramkan timah yang mendidih diatas kulit ariku” ucapku
dengan nada kandas.
“Maafkan
Aku Daun. Semenjak kejadian itu, Ibu benar-benar tidak mengizinkanku untuk
dekat lagi denganmu. Ia begitu mendukung keputusanku untuk melepasmu. Aku hanya
yakin semua keputusan dan pilihan-pilahan orang tua adalah yang terbaik. Jadi
aku mencoba untuk menurutinnya. Yakinlah Tuhan tidak tidur. Ia pasti akan
menggantikan yang lebih baik dari pada aku untukmu. Yang mampu membimbingmu dan
mejadi permaisurimu di dunia dan akhiratmu nanti” tutur Bunga menjelaskan
padaku.
Daun,
melenguh panjang. Semua penjelasannya terasa mustahil bagiku. Bagaimana
mungkin, Bunga yang menaruh hati padanya, serta aku adalah laki-laki pertama
baginya, tiba-tiba hanya dalam waktu dua bulan berpaling dan menyebrang pada
sosok lain. Bahkan dengan mantap Bunga berkata ia telah begitu cocok dan yakin
dengan calon pendamping hudupnya itu. Aku
terdiam. sungguh tak habis pikir.
“Bunga,
mengapa kamu tega padaku? Setelah aku korbankan semua untuk mu dan aku ingin
mencoba kembali pada agamaku yang dulu? inikah balasanmu” aku tak kuasa menahan
emosi dan laraku.
Bunga
hanya diam mematung. Menatapku tajam tanpa sepatah katapun keluar dari
mulutnya.
“Cerita
kita telah usai, Daun. sudahlah tidak perlu kau ungkit lagi masa yang sudah
terlewat. Memang diantara kita pernah ada rasa, tapi tidak selamanya cinta
harus berakhir dengan kebersamaan. Aku telah memilih pendampingku yang lain.
Aku pun berharap begitu juga denganmu”
“Mustahil.
Aku mampu melupakanmu Bunga. Mungkin kamu bisa berganti-ganti pasangan sesukamu,
namun aku tidak bisa. Bunga, aku begitu kecewa denganmu. Tidak kusangka kamu
yang selama ini kuanggap sebagai Bunga Firdaus, bahkan bagai seorang peri, yang
mampu memberikan cahaya di hatiku, tak ubahnya racun yang kini membunuhku
pelan-pelan” Daun berteriak marah dan kecewa. Di hadapannya, Bunga nampak sedih
melihat Daun patah arang. Tapi yang aku herankan, Bunga begitu tegar, tanpa
sedikitpun air mengalir dari matanya.
“Maafkan
aku Daun! Kamu memang lebih pantas mendapatkan yang lebih dariku. Aku memang
tak ubahnya seperti racun. Yang membunuh orang-orang mulia seperti dirimu. Aku
memang egois. Hanya memikirkan yang terbaik untuk diriku sendiri. Jika
pilihanku nanti salah biarlah aku akan menanggungnya sendiri. Hiduplah menurut
keyakinan hatimu sendiri. Jika kemantapanmu kembali pada Tuhanmu, janganlah
karena kamu ingin meraih dunia yang serasa madu untukmu. Tapi kembalilah karena
engkau ingin mengharap Ridlho_Nya” Bunga mengakhiri pembicaraanya. Kali ini,
matanya memerah menahan air yang telah menggenang di sudut matanya. Lalu, ia
pergi dengan ucapan terimakasih yang membuatku lebih tersiksa.
Setiap
langkahnya membuatku menjerit kesakitan. Membuat tubuhku berguncang dan
tersungkur lemas. Sementara itu, di
balik pintu Bunga menahan haru memandang orang yang sangat dicintainnya jatuh
terkulai. Ia menahan isak kesedihan yang kini menggerogoti hatinya.
***
Aku
merasa limbung. Jiwaku merasa telah kering. Keputusan Bunga membuat luka yang
dalam di hatiku. Tuhan seakan belum puas untuk menghukumku. Semenjak peristiwa
di warnet tempo kemarin, aku merasa benar-benar seperti daun sore di mata
Bunga. Daun yang telah kering terkena sinar matahari. Dan jatuh terhempas
angin. Hilang tertutup senja. Dan terbuang oleh malam.
“Aku
benar-benar tak ubahnya seperti daun sore. Daun, sang mantan yang terbuang
begitu saja” teriaku membelah keheningan senja. Matahari barat hampir
tenggelam. Aku merasa semakin jauh dengan Bunga. Masih beberapa kali aku nekat
untuk menghubungi handphonnya. Namun selalu tidak aktif. Tak hanya sekali
mendatangi kostnya, namun ia telah pindah. aku telah benar-benar kehilangan
jejaknya.
“Mengapa
semua ini Engkau limpahkan padaku Tuhan?” jeritku lagi. Kini, aku benar-benar tak mampu lagi
menguasai diriku. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang paling menderita.
Dunia di hadapanku serasa neraka. Getah racun cinta yang kini menjalar di
darahku semakin menyebar. Serpihan hati yang terluka membuatku semakin gila.
Tak mudah aku menatannya kembali. Aku benar-benar kehilangan semangat bekerja
dan belajar. Sudah beberapa hari ini aku meminta Rizal untuk menggantinya
menjadi operator warnet. Aku sama sekali
tak bergairah dalam belajar. Inilah salah satu pengaruh buruk cinta.
Keadaan
ini membuat kawan satu kostku, Rizal. Kebingungan dan ikut pusing. Karena
keadaan sahabatnya semakin hari semakin tidak jelas. Rambut awut-awutan. Mandi
malas, hanya bengong saja kerjannya. Jika diajak berbicara matanya nanar
menatap ke arah yang tidak jelas. Seolah hatinya yang kini mampu bicara.
Mulutnya terkunci. Terlalu berat membongkar kesedihan dan kesakitan yang aku
rasa.
Namamu,
masih menggantung di rumah hatiku
Melumut
dan membeku
Tatapanmu,
masih menancap di relungku
Membuat
langit-langit hatiku runtuh
Bersama
hujan air mata
“Daun,
mau sampai kapan kamu begini terus? Ingatlah, Dunia takan pernah kiamat hanya
karena putus cinta” ucap Rizal menghIburnya. Namun aku hanya menanggapi Rizal
dengan senyuman kecut. Senyuman yang hanya tipuan. Begitulah aku yang sangat berbeda dengan
sahabat karibku itu. yang tak pernah menganggap urusan asmara sebagai perkara
serius.
Selera
bicaraku tak muncul juga. Hingga membuat Rizal kalang kabut akhirnya
mengucapkan beberapa kata yang membuatku terhentak sadar.
“Daun!
Ayolah, dimana semangatmu yang selalu membara. Lihatlah dirimu! kamu pikir kamu
hebat? Merasa menjadi pahlawan cinta dengan terus menyiksa diri karena hanya
sebatas asmara yang tertunda?” aku masih diam. Tak berani menimpali ucapannya.
Hanya mataku yang menyiratkan bahwa semangatku perlahan telah kembali.
“Mengapa
manusia-manusia seperti dirimu tidak mati saja. Biar kaum-kaum sebangsamu
dikenang oleh dunia sebagai pejuang cinta sejati yang konyol” aku masih tak
berani menatap mata sahabatku itu. Rizal masih mekanjutkan kata-katanya. Ia
tidak ingin sahabatnya itu tenggelam dalam keadaan seperti ini.
Selera
bicaraku tak muncul juga. Hingga membuat Rizal kalang kabut akhirnya
mengucapkan beberapa kata yang membuatku terhentak sadar.
“Daun!
Ayolah, dimana semangatmu yang selalu membara. Lihatlah dirimu! kamu pikir kamu
hebat? Merasa menjadi pahlawan cinta dengan terus menyiksa diri karena hanya
sebatas asmara yang tertunda?” aku masih diam. Tak berani menimpali ucapannya.
Hanya mataku yang menyiratkan bahwa semangatku perlahan telah kembali.
“Mengapa
manusia-manusia seperti dirimu tidak mati saja.
Biar kaum-kaum sebangsamu dikenang oleh dunia sebagai pejuang cinta
sejati yang konyol” aku masih tak berani menatap mata sahabatku itu. Rizal
masih mekanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin sahabatnya itu tenggelam dalam keadaan
seperti ini.
“Daun-Daun.
kamu benar-benar telah terbuai oleh ratu cinta. Ia telah benar-benar
membutakanmu. Menyihirmu dan membuatmu gila. Inilah akibatnya jika dunia telah
direcoki kisah-kisah cinta seperti Romeo dan Laila Majnun” Aku mulai sedikit
berani mengangkat kepalannya.
“Daun,
aku yakin kamu adalah lelaki yang kuat.
Kamu adalah lelaki yang mampu menaklukan kesedihan dan penderitaanmu
dimasa lalumu. Hingga kamu menjadi seperti sekarang ini. Kamu adalah laki-laki
dengan sejuta potensi. Kenapa kamu lupa dengan semua pengalaman hidupmu yang
membutamu tegar. Kenapa kamu harus terpuruk karena satu urusan yang sangat
sepele. Ayolah belajar memaknai kehadiran wanita dari berbagai sudut”
“Rizal,
maafkan aku” ucapku. Aku merasa sangat
malu. Merasa menjadi laki-laki yang kuat. Tapi, justru terkapar tak berdaya
karena cinta. Sungguh menyedihkan. Aku tak menyangka, ternyata Rizal
benar-benar peduli dengan diriku hingga detik ini. Ia benar-benar sahabat yang
begitu berarti. Aku begitu terharu.
“Daun,
aku sadar. Aku memang tak bisa membantumu apa-apa. Namun sungguh, aku
benar-benar tak rela melihatmu begini” ucap Rizal lagi. Sambil memberikan
sebuah buku untukku. Buku yang berjudul, “Antara Cinta dan Tuhan” Aku
benar-benar terheran-heran dengan buku itu. Mungkin Rizal tahu apa yang aku
butuhkan ada di buku itu.
“Daun,
semoga kamu bisa memaknai kata cinta yang sesungguhnya dari buku itu” Ucapnya
sambil meninggalkanku. Lalu menghilang di balik pintu.
Aku
membolak-balikan buku itu. Mulai kubuka.
Dari kata pengantarnya, aku mampu menangkap maksud dari buku itu, yaitu tentang
makna cinta yang hakiki cinta pada Tuhan. Aku menemukan devinisi cinta yang
membuatku terkagum-kagum.
“Cinta
adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam amalan lahiriah. Sedangkan
cinta kepada Tuhan adalah cinta yang dibangun berdasarkan keihlasan dan karena
mengharap Ridlho_Nya. Dan akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang berujung
pahala”
Lembar
pertama belum selesai kubaca, aku sudah
terkesima dengan kata pengantar dari Ibnul Qayim. Bahwa sebab-sebab cinta
kepada Tuhan itu ada sepuluh perkara. Detik saat mataku mengarah ke sepuluh
perkara itu, tiba-tiba saja tubuhku bergetar. Mengingatkanku pada dosa-dosa
yang pernah kulakukan
“Membaca
kalam-kalam_Nya. Mendekatkan diri pada_Nya, sering menyebut naman_Nya,
mengutamakan cinta pada_Nya dari pada manusia. Hati selalau memanggil nama_Nya
dalam keadan apapun. Tunduknya hati pada_Nya. dan menyendiri demi berkhalwat
pada_Nya. Duduk bersama orang-orang yang berilmu dan menjauhi perkara yang
menutup cinta pada_Nya.” Aku menarik
nafas dalam-dalam. Masih mencoba mencerna apa yang habis kubaca. Jajaran sepuluh perkara itu,
membuatku berfikir dalam. Ternyat hidup yang ku jalani sekarang memang melewati
jalan kiri. Jalan yang menjauhkan dari Tuha_Nya. Sehingga aku seringkali merasa
gelisah dan kesepian hatinya di tengah keramaian.
Kini,
aku baru tahu bahwa setetes minuman yang aku teguk membuatku menjauhi Tuhan
lebih dari sejengkal. Membelai tangan wanita serta mengajaknya bercumbu rayu membuatku
sama saja selama empat puluh tahun hidup sia-sia tanpa pahala sedikitpun. Pil
ekstasi yang menemaniku justru membuatku mendekati panasnya api yang siap
menelan kulitku. Aku menangis tertunduk
lemas. Kini aku menyadari bahwa kehadiran Bunga lebih dari sorang peri yang
menghiasi hatiku, namun bagia malaikat yang menunjukan jalan menuju kebaikan.
“Tuhan,
aku baru mengerti arti kebahagiaan di balik kesedihan” aku tersengguk menahan
isak. Lalu, mencoba bangkit dan menatap
diriku dalam cermin. Ada yang lain dengan sosok yang kulihat dalam cermin itu. Sosok laki-laki
yang lemah dan cengeng. Aku berjanji. Untuk mengganti semua yang pernah aku
lakukan dengan setetes demi setetes kebaikan. Tuhan maafkan aku.
20
di ujung Pasir
Setelah membaca buku yang di beri oleh Rizal, tiba-tiba
aku merasakan seperti ada kekuatan gaib yang menggerakan fikiranku untuk
mengetahui lebih dalam makna cinta yang sesungguhnya. Akhirnya,
beberapa hari kemudiana aku mencari
buku-buku lain yang berkaitan tentang Cinta kepada Tuhan. Aku menemukan
beberapa judul yang menurutku menarik. Tuhan dan Manusia, Cinta Sejati dan Tuhan,
Cinta yang Hakiki. Namun, aku belum merasa puas. Lalu, aku meminta pendapat
pada temanku Rahman. Ia adalah temanku yang biasa di panggil dengan sebutan
Ikhwan. Mungkin panggilan untuk seorang yang alim. Pikirku. Pertama kali
mendengar kata itu.
“Daun,
mengapa kamu tiba-tiba bertanya tentang Islam?” tannyanya saat aku menanyakan
tentang kaitan Islam dan cinta pada Tuhan. Mungkin ia mengetahui tabiyatku selama
ini. Seorang mahasiswa yang begitu sakaw dengan botol panas.
“Aku
hanya ingin tahu saja” jawabku singkat. Karena aku tidak ingin ia tahu
sebenarnya apa tujuanku bertanya padanya. Namun, ia hanya memberiku penjelasan
yang tidak banyak. Justru menyarankanku berdiskusi dengan salah satu guru
ngajinya yang bernama Ustadz Jakfar.
Menurut
cerita Rahman, Ustadz Jakfar adalah seorang manusia soleh. Ia adalah sosok
Ustadz yang sangat bijaksana dan alim. Ia Termasuk salah satu tipe manusia yang
wajahnya memancarkan aura kedamaian.
Konon, menurut para Alim ulama, hanya orang-orang yang berhati bersihlah
yang seperti itu.
“Daun,
nanti malam seusai aku mengurusi diklat jurnalistik aku akan mampir ke rumah
Beliau, untuk menyampaikan kalau kamu ingin bersilaturahmi” ucap Rahman.
Akhirnya,
selang satu minggu aku pergi menuju daerah Purwokerto Barat, Desa Pasir. Desa yang ditunjukan oleh
Rahman. Ternyata, daerah tersebut terkenal dengan daerah yang berpenduduk
agamis. Mayoritas penduduknya berbasis pesantren. Dan di sana terdapat salah
satu makam seorang Syaikh yang bernama Syaikh Makdum Wali.
Kurang
lebih selama lima puluh menit menempuh perjalanan, aku sampai di depan rumah
yang sangat sederhana. Dengan pagar anyaman bambu. Lantai masih beralaskan
tanah. Benar-benar menunjukan sang pemilik rumah sangat sederhana. Kulihat di
sebrang jalan rumahnya berdiri pabrik kecil-kecilan. Ternyata pabrik itu adalah
pabrik sendal jepit yang terkenal. Dan sudah banyak orang memakainnya.
Setelah
beberapa menit aku mengetuk pintu rumah yang kini ada di depanku, aku tak
mendapatkan jawaban apapun. Kecuali suara seorang laki-laki yang sedang membaca
al-Qur.an. Begitu merdu suarannya. Membuat hatiku sedikit bergetar. Aku menjadi
teringat ketika dulu masih sering mendengar Ibu membaca al-Qur’an sebelum
tidur.
“Berwudlhu
dan membaca al-Qur’an sebelum tidur itu sangat baik. Karena Alloh menganggap
tidur kita adalah ibadah. Karena kita dalam keadaan suci”
Aku
mencoba mengetuk untuk yang ke tiga kalinya. Ternyata belum ada ciri-ciri sang
pemilik rumah akan membukannya. Selang lima menit aku mendengar ucapan “Sudakalloh
hul adzim” lalu, di iringi langkah kaki yang menuju arah pintu dimana aku
berdiri. Ternyata benar. Aku melihat sosok yang berwajah begitu teduh. Dengan
balutan pakaian serba putih. Dalam bayanganku Ia seperti malaikat. Terdengar
nada pintu terbuka.
“Maaf,
tadi saya lagi tanggung membaca al-Qur’an. Anda ini siapa?” tanyannya membuatku
kikuk. Karena aku merasa tidak enak telah mengganggunya.
“Maaf,
nama saya Daun, saya temannya Rahman” ucapku dengan nada ragu-ragu. Lalu, ia
manggut-manggut dan kulihat ia seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Oh,
ya saya ingat. Seminggu yang lalu Rahman memang datang kesini dan mengatakan
bahwa kawannya akan datang” ucapnya. Lalu, ia mempersilahkanku masuk. Dan ia
melangkah menuju dapur, ternyata membawa dua cangkir kopi dan sepiring ubi
rebus yang masih mengepulkan asap.
Setelah mempersilahkan untuk menyantapnya, ia mengajaku berbicara.
“Kemarin,
Rahman sudah sedikit bercerita tentang keadaanmu. Apa benar begitu?” Tanya
Ustadz Jakfar langsung membuka percakapan serius.
“Hemm,
kurang lebih begitu Ustadz” jawabku mantap. Karena aku memang benar-benar ingin
mendapat pencerahan. Sudah banyak hariku yang terbuang sia-sia dan tenagaku
serta fkiran yang tersita hanya karena masalah ini. Bahkan hampir membuatku
gila seperti Qois yang pernah mencintai Laila dalam kisah Laila Majnun itu.
“Jika
saya tidak merepotkan, saya ingin meminta nasihat dari Ustadz. Maka dari itu
saya sengaja datang kemari” lanjutku. Lalu, ia sedikit tersenyum, mungkin
menganggapku aneh dan tidak mampu berfikir panjang menjadi seorang laki-laki.
Namun, aku masa bodoh dan tidak peduli karena aku benar-benar ingin mendapat
pencerahan.
“Saudara
Daun, tidak hanya saudara yang mendapat masalah seperti itu. Namun, itu sebuah
masalah yang wajar dan komplek di alami oleh pemuda dan pemudi seumuran
saudara” jawabnya. Lalu ia bercerita tentang mahasiswanya yang tidak jarang
datang kemari untuk mengajaknya berdiskusi atau hanya sekedar ingin curhat
saja. Benar-benar seorang Dosen dan Guru Ngaji yang hebat. Fikirannya tidak
fanatik dan kolot seperti kebanyakan para Ustadz atau Kyai lainnya yang
memandang remeh masalah itu bahkan mencela para pemuda yang sedang merasakan
hal tersebut.
“Daun”
ia melanjutkan ucapannya. “Urusan Cinta dan kasih sayang hanyalah di sini” ia
menunjuk dadanya.
“Tidak
ada ceritannya, cinta itu hasil kompromi bahkan diskusi. Karena cinta itu tidak
dapat di rasio. Karena jika cinta semakin di rasio itu namanya bukan cinta. Namun
hasil pemkiran dan akan berujung menjadi kepura-puraan” aku hanya
manggut-manggut mendegar ucapannya. Ucapan yang begitu menyejukan hatiku dan
mampu menembus tebal dinding hatiku.
“Lalu,
bagaimanakah penyelesainnya jika menghadapi masalah seperti yang sedang aku
hadapi”
“Hehehehe”
Ustadz Jakfar tertawa, sambil menyeruput kopinya.
“Sebenarnya,
tidak ada yang salah dari dirimu karena kamu mencintai wanita itu. Karena
memang datangnya cinta tidak ada yang mampu memprediksi, kapan dan bagaimana
lalu ditunjukan untuk siapa. Namun,” ia tidak melanjutkan kata-katanya. Mungkin
menyuruhku untuk berfikir sejenak. Namun, jusru aku bingung dan hanya mampu
menatapnya dengan kekosongan.
“Tapi,
ada satu hal yang kurang tepat”
“Apa
itu, Ustadz?” tanyaku buru-buru. Karena aku merasa sangat penasaran dan ingin
segera mendapat pencerahan.
“Kamu,
terlalu menggunakan akalmu. Sehingga wanita yang kamu sukai itu, ingin
benar-benar kamu mengetahui apa arti hidup dan cinta yang sebenarnya” aku masih
terbengong-bengong. Sama sekali penjelasanya tak bisa aku cerna. Justru
membuatku semakin pusing.
“Daun
jika kamu begitu mencintainya dan rela berkorban apapun itu hal yang wajar dan
seharusnya. Karena memang darah pun harus kita berikan jika pasangan kita
membutuhkan. Tapi, semua harus melihat
situasi dan kondisi. Nah, jika wanita itu, menghargai agama lebih penting dari
suatu apapun dan menghargainya di atas egonya sendiri justru itulah wanita yang
baik. Karena orientasimu saat ini hanyalah ingin mendapatkannya bukan?” aku
sedikit membenarkan pernyataan sekaligus pertannyaan Ustadz jakfar yang
memberondongku tajam seperti batu kerikil.
Untuk
beberapa saat kami terdiam. Lalu, ia menjelaskan makna cinta yang sesungguhnya
padaku. Yaitu cinta pada Sang Pencipta. Kata-kata penjelasannya begitu runtut
dan tertata rapi, terlihat sang empunya suara dan penjelasan adalah orang yang
cerdas. Ia memberiku penjelasan bahwa cinta sebenarnya adalah sesuatu yang tak
bisa di devinisikan menggunakan akal.
“Sebenarnya,
cinta sejati adalah perasaan yang bisa menuntun kita untuk mencari Ridlhonya
Sang Pencipta. Yang lain hanyalah fata morgana dan omong kosong. Tak mungkin
engkau bisa mendapatkan cinta sejati kalau engkau mencintai bukan karena Allah”
suara Ustadz jakfar lembut sekali selembut sutra Kashmir.
Karena
Tuhan, karena Tuhan. Kata itu masih menggantung di kepalaku. Lalu, aku
memberanikan diriku untuk bertanya. Seindah apakah devinisi untuk Tuhan. Aku
yakin aku bertanya pada orang yang benar. Karena ia adalah dosen filsafat.
Pasti mampu menjelskan.
“Tuhan?”
ia masih memikirkan jawaban yang tepat. Mungkin sambil mengangan-angan kata
seperti apakah yang pantas ia lontarkan untuk manusia seperti aku. Yang telah
meninggalkan Tuhan begitu lamannya. Hingga kini harus di pertemukan kembali
dengan urusan seperti itu.
Lalu,
ia menjelasan dengan bahasa yang membuatku terkagum-kagum dan benar-benar
diluar dugaanku. Bahwa Konsep Tuhan dalam Islam adalah perwujudan wahyu yang
tak bisa dibandingkan dengan konsep lain, benda apapun. Tuhan dalam hal ini,
adalah Dzat yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan. Tuhan yang azali dan
abadi. Dia maha Esa. Yang Dzat_Nya tak bisa dibagi-bagi” Dosen Filsafat yang
cerdas. Ia tak mencondongkan pada pendapat para ilmuan filsafat satupun.
Seperti penggerak awal dalam filsafat. Aristoteles. Yang membagi dimensi Tuhan
dalam tiga oknum trinitas yang rancu. Dan tidak pula mengambil salah satu
pemikiran dari ilmuan Islam seperti Al-Farabi atau Ibnu maskawaih atau ilmuan
yang sekaliber dengannya.
Aku
menatap langit-langit ruang tamu. Aku terkesima memandang Ustadz Jakfar. Ingin
sekali aku selalu dekat denganya. Ia, bagiku sungguh sang pencerah.
“Jadi
Tuhan dalam konsep Islam adalah Dzat yang memang pantas menjadi Tuhan”kataku
menimpali. Aku sedikit mendapat pencerahan.
‘Kurang
lebih begitu. Sungguh celaka manusia yang mecintai wanita lebih dari ia
mencintai agama yang menuntunnya menemukan Tuhan. Karena itu bukan cinta tapi
itu hawa nafsu. Yang ditancapkan oleh Syaitan kepada hati manusia yang lemah”
“Lantas
apa yang harus aku lakukan?” tanyaku kebingungan.
Lalu,
justru ia menyuruhku untuk berfikir atas semua penjelasan yang ia berikan
tadi. Aku merenung sejenak. Pikiranku
sungguh kini bercampur aduk. Meihat kebingunganku, mungkin ia tidak tega atau
takut justru aku salah langkah. Lalu, Ia melanjutkan penjelasannya.
“Daun,
akal, dan semua rapalan atau bentuk peribadatan lainya hanyalah sebuah
instrument untuk mendekatkan diri pada_Nya. Begitu juga cinta. Jika kamu
mencintai serang wanita, berarti ia adalah instrument untukmu lebih mendekatkan
diri pada_Nya. Dan mencoba menggali hikmah di balik ciptaanya, agar kelak
tumbuh rasa cinta yang semakin menggunung kepada_Nya” ucapnya. Kini aku
mengerti. Bahwa semua pangkal dan ujung cinta adalah cinta hanya kepada Sang
Pencipta. Bahkan derajat cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Tuhan.
Bukan kepada manusia, harta, maupun tahta.
Oh
sunguh indah cara Tuhan mengenalkan dirinya lewat cinta. Lewat hati. bukan
rasionalitas yang berperan. Aku memejamkan mata menikmati hembusan angin yang
masuk di celah-celah jendela. Kini angin itu terasa berbeda, lebih sejuk,
sesejuk hatiku setelah semua cerah dihadapanku. Lalu, aku pamit pulang. Dan
kucium tanggannya tanda hormatku kepada orang yang berilmu. Senja telah
menyapaku. Mengajaku untuk berjalan bersama. Menuju purwokerto utara.
***
21
Bangkit dari Kekalahan
Dalam perjalanan
hidup, manusia takan pernah luput dari kesalahan, kekalahan, maupun kemenangan.
Namun, kekalahan dan kemenangan tidaklah harus diartikan secara sempit. Yang
hanya terjadi dalam suatu kompetisi. Tetapi banyak hal di dalam hidup ini dapat
diartikan sebagai kekalahan dan kemenangan diri. Walau hidup memang sebenarnya adalah
kompetisi. Seperti pepatah arab yang mengatakan “ Fastabiqul Khairat” berlomba-lombalah
dalam kebaikan.
Hari ini, aku
mencoba merangkai kemenanganku dengan mulai berdiri tegak di pagi buta. Mataku
redup menatap gumpalan awan-awan putih yang bergelantungan hanya sejengkal dari
pucuk gunung Slamet. Oh sungguh indah. Sudah beberapa hari ini, bangun pagi dan
memncoba sedikit-demi sedikit menghafalkan rapalan doa-doa sholat dengan
ditemani angin timur yang sering kali meledeku. Seakan mereka saling berbisik.
Saling menertawakanku. Mengapa aku yang sudah besar dan bahkan hampir lulus
kuliah masih menenteng-nenteng buku tajwid dan tuntunan sholat? Tapi, aku
pura-pura tak mendengar itu semua. Karena tekadku kini sudah bulat. Untuk
bangkit dari kehidupanku yang kelam dan telah melemahkanku hingga membuatku
cengeng dan akhirnya aku menjadi seorang pecundang yang hidup berlimang dosa.
Berkawan botol panas, butiran-butiran pil bahkan kadang kala ketika libidoku
tinggi aku mencoba menggerayangi wanita sebagai pemuas.
Dulu,
aku memang merasa bahagia hidup dengan cara seperti itu, namun ternyata aku
adalah sebodoh-bodohnya manusia yang selalu ingin memeluk kekalahanku dalam
hidup ini. Tapi, mulai lima hari yang lalu, aku telah berjanji pada diriku,
pada langit yang menyangga bumi, pada seluruh alam bahwa aku akan berubah. Aku
akan membalas semua kekalahanku. Aku akan mencoba berlari mengejar kekalahanku.
One
down, one more to go. Pertarungan melawan badai kehidupan telah di depan
mata. Going the extra miles. Berusaha di atas rata-rata orang lain.
Itulah yang harus aku lakukan. Karena sungguh berat bagi seorangku. Hidup yang
telah terbiasa menenggak minuman dan sebagai pecandu penghisap ganja sepertiku.
Harus meninggalkan itu semua. Sering kali tubuhku terasa lemah, menggigil dan
meraung-raung memanggil benda haram itu. Namun, hati kecilku tak gentar. Karena
kini tekadku lebih besar dan tinggi melebihi gunung slamet yang menjulang
tinggi seperti dalam pandangan mataku.
Selain
hafalan, keinginanku untuk bangkit dan berubah juga aku mulai dari membaca
buku-buku religious dan tentunya tetap rajin untuk membaca buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu politik, aku juga berusaha untuk tidak alpha. Setiap mata
kuliah juga aku ikuti dengan serius. Karena aku yakin diri kitalah yang membuat kehidupan ini
berharga. Bukan orang lain.
Akhirnya,
saat ujian semester pun tiba. Ini adalah semester terakhirku mengikuti kuliah
di kelas. Karena tahun depan aku menginjak semester delapan. Itu artinya, aku
takan memperoleh materi-materi dari dosen. Namun, aku harus menggarap
skkrisipku sebagai syaratku memperoleh gelar S1. Aku belajar mati-matian. Aku
meninggalkan semua aktifitas yang tidak penting. Yang aku kerjakan hanyalah
belajar dan belajar. Membolak-balikan satu halaman ke halaman lain. Hingga
buku-buku berserakan dikamarku. Mungkin kamarku lebih mirip seperti toko buku
loakan. Saat Rizal membawa majalah motor kekamarkupun aku tak tertarik. Bahkan
kulempar jauh-jauh. Karena aku ingin benar-benar fokus.
“Jangan
diganggu” begitu tulisan besar yang aku tempel di pintu kamar. Pintu kamar aku
kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri di kamar, hanya ditemani
bukit-bukit buku. Bahkan ketika Rizal diam-diam mengintipku dari balik pintu,
aku halau dia.
“Rizal, tolong
jauhi aku sebentar. Aku ingin melalap habis semua buku-buku yang ada di
hadapanku” ucapku. Bahkan ketika kawan-kawan nongkrongku datang aku menolaknya
mentah-mentah. Walau mereka menghujaniku dengan berbagai peluru rayuan, aku
tetap menolak. Bahkan ada salah satu dari mereka yang melontarkan omongan buruk
“Alah. Kamu
Daun, mau sok insaf. Aku jamin, tidak sampai lima bulan kamu akan mati kaku
tanpa heroin dan vodka” namun, aku hanya menanggapinya dengan senyum simpul.
Aku tak peduli pada mereka. Seburuk apapun masa lalu pasti akan terhapus dengan
semua perbuatan-perbuatan baik.
Akhirnya, ujian
semesterpun datang. Aku memasuki ruang kelas dengan hati yakin bahwa aku mampu
untuk mengerjakan semua. Aku tidak boleh kalah dan aku tidak akan mengulangi
nilai D yang mendarat di KHSku. Aku sudah bosan dengan warna merah itu. Warna
yang selalu membodoh-bodohkanku. Bahwa aku manusia paling bodoh, yang
memperoleh nilai B saja tak mampu. Aku menggarap soal-soal ujian dengan hati
tenang. Setiap baris jawaban yang kutulis membuatku yakin tidak hanya nilai B
yang akan aku dapat bahkan nilai A akan bertengger di barisan nilai-nilaiku
nanti.
Ternyata benar,
dua minggu setelah ujian. Nilai-nilaiku rata-rata A. IP 3,5 kini tertera di
kalkulasi seluruh nilaiku. Aku begitu bersukur. Dan sangat bahagia. Ternyata
Tuhan takan pernah membiarkan hamba_Nya yang berusaha. Ia akan memberikan hasil
sesuai usahanya. Kini, aku siap mnghadapi semester delapan. Aku berjanji pada
diriku sendiri, bahwa semester ini adalah semester terakhirku menginjakan
kakiku di Universitas Jendral Soedirman.
***
Matahari hampir
tenggelam. Sinarnya menciptakan ilusi lautan jingga di kaki langit. Jajaran
pohon yang menjulang tinggi, melambai-lambai menebar hawa kesejukan. Angin
bermain dan bercanda dengannya. Hingga menerbangkan debu-debu halus.
Saat
merebahkan badan pada batuan yang datar, aku merasakan getaran kepuasan tersendiri.
Karena berhasil menaklukan jalanan yang menanjak demi melihat air terjun yang
indah. Mungkin rasa inilah yang dirasakan oleh para pecinta alam, sehingga
mereka mau bersusah payah berpetualang mendaki gunung, menyusuri dan menapaki
jalan terjal.
Pohon-pohon,
suara burung-burung dan sungai-sungai yang indah sepanjang jalan, serta
perkebunan tomat, seledri dan cabai menambah indahnya pemandangan. Tak salah
jika banyak kawan-kawanku menggilai tempat ini. Tempat yang begitu indah masih
terasa hawa-hawa yang dapat menyatukan kita dengan alam. Udara pun masih terasa
sangat bersih. Suasana yang sangat cocok untuk mendinginkan hati dan fikiran
setelah penat menjalani hari-hari yang melelahkan.
Aku duduk
dibawah pohon dammar, mataku lurus memandang air yang berjatuhan dari atas.
Benar-benar indah air terjun yang ada di hadapanku itu, ternyata hidupku
seperti air yang mengalir di bawahnya.
Tetap mengalir walau terkadang menabrak bebatuan yang menghalangi
jalannya. Namun, air itu tak pernah berhenti mengalir. fikiranku melayang,
melukis wajah seorang bidadari yang mampu membalikan hidupku hingga 180 derjat.
Karena bidadri berwajah manis itulah hidupku terbebas dari belenggu dosa bahkan
ia telah mengajariku untuk menghidupkan hati yang telah lama mati. Ia yang telah
menunjukan jalan buatku untuk meraih mimpi dengan cinta. Tapi kini ia telah
lepas dari genggamanku. Ia lebih memilih jalannya. Jalan yang ia anggap suci
demi meraih cinta_Nya. Dulu aku memang tak pernah membenarkan keinginannya.
Namun, kini aku tahu, bahwa dengan caranya itulah, ia menjadi wanita sangat
berharga. Tak pernah mengandalkan egonnya, bahkan selalu berusaha
menyeimbangkan akal dan hati nuraininya. Tak terasa fikiranku mengajak terbang
ke masa lalu. Saat aku mempertahankan egoku untuk mendapatkan Bunga Asterku
yang paling indah.
“Daun, ingat!
Tak selamannya akal itu benar”
“Tapi, bukankah
akal mampu menjawab seluruhnnya. Termasuk untuk mencintai seseorang”
“Tidak” jawabnya
tegas. Lalu, ia melanjutkan kata-katannya.
“Itulah
kesalahanmu. Yang menunjukan bahwa kamu egois” aku masih terdiam. Masih belum
mampu mencerna kata-katannya.
“Daun, kita
sebagai manusia biasa tak boleh hanya menggunakan akal. Jangan pernah
membiarkan akal menguasai dirimu. Kamu terlalu mendewakan akal. Kamu tak pernah
mempertimbangkan instrument lainnya.”
Aku
belum mampu menyanggah kata-katannya. Ia begitu runtut menjelaskannya.
Membuatku semakin mengaguminnya. Ia benar-benar wanita cerdas dan penuh
kekuatan. Hati dan otaknnya benar-benar berisi. Tak salah jika wajahnya memancarkan
cahaya keindahan.
“Lantas
apa yang harus aku lakukan”
“Hanya
satu yang perlu kamu ingat Daun! akal memang instrument manusia yang paling
penting. Namun, akal juga mempunyai keterbatasan. Ada dimensi lain yang kadang
manusia lupa. Yaitu relung hatinya yang paling dalam. Hati yang mampu
mengantarkanmu untuk berbincang dengan Tuhan. Maka jangan sekali-kali kamu
mengotori hatimu. Jika hatimu kotor maka kamu akan kesulitan mencari jalan
untuk bertemu dengan yang memberimu cinta, untuk mencintai sesamamu. Termasuk
lawan jenis” aku hanya melongo. Mungkin aku sudah terlalu tergila-gila padanya.
Hingga aku tak memperdulikan bagaimana aku mencintainnya.
“Bunga,
dimanakah kamu sekarang? Tak sadarkah bahwa aku begitu merindukan senyumu”
rintihku dalam hati. Hanya angin dipucuk-pucuk daun akasia yang menjawabnnya.
Mungkin ia tahu kalau aku begitu merindukannya.
Oh,
Bunga,,,
Jajaran
batu yang sempat terwujud
Hingga
bisa terbaca mawar di hatimu
Aroma
keindahan, titian rasa
Menuju
halaman kastil di atas bulan
Kini
hanya batu yang terbaca
Hingga
riak tak sampai kemuara bayanganmu yang menjelma
Aku
enggan ketepian itu, terjal menelan jurang jasadku
Sedang asik-asiknya
bermain dengan bayangannya, Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara yang
pernah kukenal. Ya ternyata benar, itu adalah suara Aina. Teman dekat Bunga.
“Daun,
bagaimana kabarmu? Apa yang kamu lakukan dsini?” tanyanya.
“Aku
sedang ingin menikmati angin segar saja. Ingin melempar penat hidup di
hingar-bingar kota saja” jawabku. Lalu, kami saling bercerita keadaan kami
masing-masing setelah lebih dari dua tahun tak bertemu.
“Bunga
sekarang sedang sibuk dengan novel perdananya yang akan terbit bulan april
depan” jawabnya ketika aku menanyakan dimanakah sosok bidadariku itu.
“Bagaimana
kuliahmu sekarang?” lanjutnya berbalik tanya padaku. Aku hanya menjawab
singkat. Kalau aku tengah menggarap sekripsi dan datang ke Cipendok adalah
salah satu alasanku. Karena aku memang berniat untuk beberapa minggu menetap di
salah satu desa karang tengah. Cilongok. Aku yakin dengan suasana yang begitu
sejuk dan tenang aku mampu menyelesaikan sekripsiku. Karena memang
ketenanganlah yang dicari oleh orang-orang yang sedang memikirkan sesuatu. Agar
hati dan fikirannya mampu menyatu. Pantas saja jika Bunga lebih menyukai suasana
sepi. Bermain bersama kesendirian. Suasana yang akan menciptakan berbagai
imajinasi.
Matahari barat
hampir menjemput. Lalu, kami berpisah dengan senyum simpul. Aku berjalan menuju
rumah kost yang sudah dua minggu ini aku tempati. Bersama sore yang mengukir
indah setiap peristiwa. Seperti sore ini, ternyata mengukir cerita indah untuk
masa mendatang. Aina, nama itu kini menjadi sebuah misteri bagiku.
***
22
Wisuda
Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh
cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan
oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak
ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah
berasal dari hati kita.
Yah,
kesuksesan bukanlah semata-mata berawal dari betapa keras otot kita bekerja dan
betapa tajam otak kita. Namun juga betapa lembut hati kita dalam menjalani
semuanya.
Seperti hari
ini, aku akan merangkai kesuksesanku dengan senyumku. Menghadapi semua cobaan
yang menghujaniku seperti peluru satu persatu menggores kulitku. Hingga memerah
lalu berdarah. Semenjak kepergian Bunga, hingga hari ini, kesedihan yang
menggerogoti relung jiwaku semakin mendalam. Seakan Tuhan belum puas menghukumku
dan menguji sejauh mana tekadku untuk berubah. Namun, aku tak menghiraukan itu
semua. Aku tidak akan mengulang sejarah. Hidup hanya mengandalkan perasaan yang
lemah.
Semakin hari,
sedikit demi sedikit aku berusaha menutupi masa laluku bersama Bunga dengan
segala bentuk kesibukan. Diktat-diktat untuk sekripsiku menjadi salah satu
pelipurnya. Hanya satu tekad yang kini berkobar dalam diriku, segera lulus dan
merengkuh ssemua dunia yang selama ini lari dariku.
Akhirnya,
setelah melalui proses panjang, menyepi selama lebih dari dua bulan di Curug
Cipendok dan menyelesaikan ujian kompre serta pendadaran. Kini waktu wisuda
telah datang menjemput. Mataku masih lurus menatap Toga yang mengantung di
dekat lemari. Pakaian itulah yang akan menjadi saksiku menjemput mimpi-mimpiku.
“Sifat dari
harapan-harapan kita akan menentukan kualitas dari tindakan kita” terlintas
ucapan Bu Yanah beberapa tahun lalu, ketika aku masih terpuruk dalam gelimang
kesesatan masa lalu. Ternyata, ucapan Bu Yanah memang tidak salah. Hari ini aku
membuktikan semua itu. aku menjadi Wisudawan terbaik di fakultasku. Begitu
banyak keheranan yang aku terima dari orang-orang di lingkunganku. Mungkin
mereka melihat keanehan di depan mata mereka. Seorang yang begitu nakal kini
berdiri di depan podium untuk menyampaikan kata sambutan.
Seminggu yang
lalu, aku di daulat oleh dekan untuk mewakili Fakultas fisip. Memberikan
sambutan sebagai perwakilan dari Mahasiswa. Dengan jiwa bergetar aku menaiki podium. Kutatap
satu persatu mata-mata yang kini ada di depanku. Hatiku sedikit menggigil.
Wajahku memerah, tanganku berbalik suhu. Menjadi dingin memancing keringat
dinginku bercucuran. Namun ku beranikan diriku membuka sambutan.
Bapak
Rektor, Bapak Dekan serta para Staf yang
kami hormati,
Bapak- Ibu Dosen Fakultas Fisip yang kami banggakan
Kawan-kawan satu perjuangan yang kami cintai
Para orang tua mahasiswa yang kami muliakan
Serta semua hadirin yang hadir dan menyaksikan
Prosesi
yang agung ini,
Tak terasa perahu ilmu yang kami dayung
selama empat tahun ini,
kini
telah sampai hingga ujung kemenagan
Suka dan duka telah kami lewati bersama
Hari ini telah membuktikan bahwa tak ada yang sia-sia
dan
telah berakhir dengan indah.
Sebuah
mimpi yang kami pahat dalam sebongkah harapan,
Yang
menggelorakan sebuah cita-cita
Kini
telah terlahir dalam sebuah nyata.
Semua
pengorbana orang tua kami, tiada tandingannya
Yang
terus mendorong kami. mencari demi memberi receh pada kami
Mereka
lebih bersemangat dari pada kita
Terus
berlari bersama subuh yang pekat,
walau
berhias tubuh yang lusuh
namun,
hati mereka tak pernah rapuh.
semua
itu mereka lakukan demi kami semua
hingga
detik ini kami mampu berdiri memakai toga kebanggaan
Terimakasih
untukmu
Wahai
Ibu sang penyulut api semangat hingga
membunuh
luluh dihati kami
wahai
Ayah, pejuang Subuh sejati,
hingga rela menantang matahari demi langkah kami terus melaju
melawan
desah yang berserah.
Hadirin
yang saya cintai,
Izinkan
saya pada hari ini, mewakili semua rekan mahasiswa
yang
telah mendapat gelar kesajarnaan
untuk
mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang kami agungkan
izinkan
saya dan rekan lainnya pula,
yang
tak selengkap kebahagiaan mereka, di
damping orang tua
untuk
mengucapkan terimakasih yang besar tiada tara
dalam
sujud rendah kami.
kami
yakin, dimanapun orang Tua kami berada
mereka
akan tersenyum bangga
karena
anaknya kini telah meraih gelar sarjana.
Ibu,
Ayah terimakasih untuk Doa kalian.
Semata-mata
ini kami persembahkan untuk kalian
Pejuang
kami, pejuang yang tak mudah melemas
Pejuang
yang tak mudah memelas,
Dan tak pernah melunglai sebelum batas.
Terimakasih.
Seusai
menyampaikan sambutan, aku turun dari podium dan langsung bersimpuh di kaki
kedua orang tua Rizal. Yang hari ini datang menyaksikan prosesi wisuda anaknya.
Air mataku meleleh. jiwaku terasa begitu rapuh. andai Ayahku dapat menyaksikan
anak laki-lakinya telah membuktikan makna dari sederet abjad namanya, pasti ia
akan tersenyum. Ayah semoga engkau tenang disana. Dan mampu bercengkrama dengan
malaikat-malaikat yang mengantarkanmu bertemu Tuhan. Ibu, aku akan segera
pulang membawa kemenangan ini.
Semua hadirin
larut dalam suasana haru, mereka memberikan aplous kepada kita semua. Para
wisudawan tak mampu menahan isak tangis bahagia kala paduan suara mahasiswa
menyanyikan koor Ibu.
Di deretan kursi
belakang auditorium, tampak Aina tak kuasa menahan haru. Semenjak pertemuanku
di Cipendok itu, kami menjadi akrab dan sering bertemu. Tidak jarang kami
terlibat dalam diskusi tentang ekonomi, filsafat maupun tentang agama. Aku
banyak belajar dari dia. Kulihat di genggamannya ada seuntai mawar putih.
Mungkin itu buatku. Ternyata benar, setelah acara prosesi wisuda selesai, aku
menghampirinnya. Lalu ia menyerahkan mawar yang ada ditangannya. sungguh, yang
membuatku kaget, ternyata mawar itu bukan darinnya. Melainkan titipan dari
Bunga.
Tanganku gemetar
menerima mawar itu. kupandangi lekat-lekat mawar putih yang diikat dengan tali
berwarna merah. Di sampingnya, tampak sebuah sampul surat berwarna biru
tertanda B. A2. aku paham symbol nama itu, itu adalah nama Bunga. Bunga Aster
Ayudiyana. Perlahan aku buka sampul surat tersebut dan kubaca rangkain kata
ucapan selamat dan permohonan maafnya.
Hari
Ini, Dunia telah membuktikan bahwa engkau adalah pemenang
Engkau
telah menaklukan puncak-puncak kehidupanmu
Yang
dulu engkau anggap sebagai mimpi belaka.
Hari
ini, dunia kembali menyaksikan
Senyum
indah penuh mimpi yang merekah di bibirmu
Seperti
pertama kulihat empat tahun yang lalu.
Daun,
tetaplah menjadi kebanggan dalam hidup ini.
Maafkan
aku jika pernah menggores luka di hatimu,
maafkan
aku yang hanya ingin mengabadikanmu dalam kenangan
Daun,
selamata atas wisudamu,,
Selamat
atas prestasi yang membanggakan.
Di
balik masa lalu yang penuh derita
Percayalah,
bahwa hari ini Tuhan begitu manyayangimu
Lewat
karunia yang kamu terima.
Tetap
hadirkanlah Ia dalam hatimu
Daun,
Tuhan mengutusku bukan untuk merengkuh tanganmu
Namun,
aku cukup bahagia telah mengantarmu
Kedepan
gerbang mimpi-mimpi yang dulu masih
Kamu
gantung dilangut-langit harapan hampa
Dan
kamu semai pada hamparan muka bumi ini.
Daun,
aku akan senantiasa menyelipkan namamu,
Dalam
setiap riak air laut yang kusebrangi,
Setiap
pasir yang kutapaki, dan setiap jengkal langkahku
meniti
hari-hariku,
skali
lagi, selamat atas keberhasilanmu
semoga
engkau bisa istiqomah menjadi seperti matahari terbit
yang
dapat menyinari dunia dengan sinar lembutnya
dan
mampu menerangi dalam tiap langkahmu sendiri
dalam
menelusuri kehidupan ini,
aku
yakin, mimpimu akan selalu menjagamu,
Ia
adalah utusan terkasih Tuhan
untuk
mengungkapkan tabir cinta dan kasih sayang_Nya padamu
BA2
Aku
terduduk lemas, lalu kurengkuh surat itu.
***
23
Harapan
dan Mimpi yang Bersatu
Harapan.
Kata itu sungguh berharga, bahkan melebihi emas, permata, ataupun perak. Karena
jika manusia kehilangan harapan, berarti ia telah kehilangan seluruh kekuatan
untuk menghadapai dunia.
Hari ini, waktu
telah membuktikan padaku, bahwa sebongkah harapan dapat menciptakan seribu
dunia. Dunia keindahan, dunia kesenangan, dunia yang penuh senyum bahkan dunia
yang berujung dengan kepuasan batin.
Semua
yang aku rasakan hari ini, berawal dari sakitnya masa lalu. Hingga aku
benar-benar balas dendam terhadap penderitaan, kemiskinan dan segala kekurangan
yang mampu terbayar dengan materi.
Seiring
berjalannya waktu, dan setiap detak jarum jam yang berputar meninggalkanku dan
hukum alam pun mulai merangkak untuk bekerja. Awan mimpiku yang dulu masih
kugantungkan dilangit-langit, kini mulai turun sebagai rintik gerimis, bahkan hujan
lebat yang menyirami hidupku. Membasahi tanah hidupku yang tandus dan
menyejukan ragaku yang panas. Sedikit demi sedikit, dunia mulai menampakan
wajah ceriannya padaku.
Dunia
benar-benar berpihak padaku. Setelah diwisuda, aku terbang melayari langit
Jakarta untuk kedua kalinya setelah dulu aku gagal dan akhirnya, setelah
berusaha dengan segenap tenaga aku diterima bekerja disebuah Bank. Awalnya aku
terheran-heran, Sarjana Visip diterima sebagai salah satu pegawai bank. Namun,
setelah melihat posisi yang akan aku tempati sebagai pengawas dampak kebijakan
terhadap ekonomi, aku baru mengerti
bahwa semua memang berkaitan dengan fak yang aku ambil ketika aku kuliah.
Benar-benar sebuah keberuntungan bagiku. Bekerja di sebuah bank yang bergengsi,
jaringan internasional. Kantorku berada dikawasan bilangan Sudirman Jakarta
selatan. Setiap hari, aku Kekantor
menggunakan Dasi, Jas. Waow benar-benar mimpiku telah menjadi kenyataan.
Awalnya,
aku diterima sebagai junior atau staf saja, namun sekali lagi aku mebuktikan
bahwa Tuhan menciptakanku benar-benar dengan otak yang cerdas. Hingga aku dapat
membalas dendamku atas nama kemiskinan dan segala bentuk penderitaan masa lalu,
membuat karieku meroket dengan cepat. Baru beberapa bulan, aku naik pangkat.
Menjadi ketua dewan pengawas kepercayan bos. Aku tidak sombong. Banyak yang
berkata, bahwa aku memang jenius dan mampu melakukan analisis yang dalam dan
dapat mengambil langkah-langkah cerdas. Sedikit pun aku tak pernah melewatkan
hal sekecil apapun yang beresiko mengancam karirku. Serta dapat menjatuhkan
nama bank yang telah membesarkanku. Aku selalu berusaha menerapkan Win-win
solution dalam kerjaku. Hingga aku
mulai berfikir untuk mengumpulkan dana hingga aku mampu membangun lembaga
keuangan sendiri, yang dapat mendorong laju perekonomian negara.
Dendamku
atas masa lalu yang pahit dan kehidupanku yang getir membuatku ingin merengkuh
dunia dengan segala isinya. Semua kebahagiaan yang dulu ternistakan kini aku
raih dengan kerja keras. Pengorbananku tak sia-sia. Kini materi menjadi sesuatu
sangat mudah. Tak seperti dahulu, aku harus bersusah payah hanya untuk
mendapatkan upah enam ratus ribu sebagai penjaga warnet.
Ayah,
kini telah berumur hinggai mencapai kepala enam. Sisa-sisa tulang kerja
kerasnya semakin rapuh. hingga ia harus memperbanyak istirahat dirumah. Ibuku
yang kini mulai sembuh, walau harus ekstra hati-hati menjaga tubuhnya yang
semakin ringkih pun harus banyak menyediakan waktu memenemani waktu istirahat
Ayah. Aku melunasi kewajibanku sebagai
seorang anak. Membiayai kehidupan mereka dihari tua. Hingga setiap bulan aku
harus mengirimkan uang untuk mereka. Aku sedikit lega, karena akhirnya orang
tuaku tak sedikitpun merasakan kekurangan.
Saat
lebih dari empat tahun aku bekerja di Bank ini, semua kebutuhan materiku
benar-benar terpenuhi. Mobil mewah, apartemen mewah, serta deposito rautusan
juta telah ada digenggamanku. Tak ada lagi air mata yang menetes karena susah
dan miskin.
Namun,
setelah dunia ada digenggamanku, aku merasakan sesuatu yang kurang dalam
diriku. Perasaan resah dan gelisah akhir-akhir ini sering manghantui fikiranku,
hingga membuat kerjaku tidak konsen. Apartemen mewah, mobil mewah, serta harta
yang berlimpah tidak mampu menyerap keruhnya hatiku. Aku seperti hidup dalam
ruang kosong dan tak punya warna. Semua terasa hampa.
Hingga
suatu hari, aku mendapat tugas dari divisi tertinggi untuk membantu mengawasi
tugas para karyawan bidang marketing. Untuk memasarkan produk-produk
perbankkan. Karena memang bank kami sedang mengalami diss posision. Nasabah semakin menurun. Semua itu disebabkan adanya
inflasi yang hampir abadi. Hingga terjadi penurunan tabungan, berkurangnnya
investasi karena mereka lebih memilih untuk melarikan modal mereka keluar
negeri, hingga berakibat pada lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Tepat
jam sepuluh, aku masuk ke perusahaan yang cukup besar. Tertera di gapura depan
gedungnya, CV Muri Finance. Itulah nama dari perusaahan yang aku masuki. Aku
telah siap membantu mengawasi para kawanku memasarkan produk-produk yang menjadi
fasilitas khusus dalam bank kami. ternyata, kurang dari 15 menit, aksiku
bersama kawanku harus terhenti. Karena terjadi keributan diluar. Setelah
mendapat informasi, ternyata penyebabnya adalah aksi mogok kerja dari para
karyawan. Dengan dua alasan gajih yang sangat minim dan akan tergusurnya
mushola sebagai tempat beribadah mereka selama bekerja di perusahaan ini.
Bu
Yuni, yang menjabat sebagai manager di perusahaan ini, terlihat masih diam,
malah menyuruhku untuk kembali melanjutkan pemasaran yang kami lakukan dan
sempat tertunda. Namun, kami tak kuasa untuk melanjutkan, masa semakin heboh.
Kami keluar bersama Bu Yuni yang akan mencoba menenangkan masa di bantu dengan
staf lainnya.
“Semua
ini gara-gara Ayudiana. Dasar pahlawan kesiangan yang sok ingin membela rakyat
kecil” ucap Bu Yuni pada managernya. Aku masih berdiri dibelakangnya, dan
memncoba sedikit demi sedikit memahami duduk perkara yang kini ada dihadapanku.
“Iyah Bu, memang
Ayudiyana menjadi dalang di balik ini semua. Ia yang bermain menjadi profokator
licik. Ia sengaja mengompori karyawan untuk mogok kerja. Dengan alasan gajih
yang mereka terima tidaklah layak jika dibandingkan dengan kerja dan waktu yang
mereka sumbangkan pada perusahaan kita. Terlebih ia juga telah menghasut para
karyawan untuk menolak pemindahan mushola dengan alasan mushola yang baru
kurang resprentatif karena letaknya di basement dan dekat ruang produksi” ucap
manager Bu Yuni.
“Mana si
Ayudiyana itu, mengapa ia sama sekali tak menampakan hidungnnya” umpat bu Yuni
kesal. Tiba-tiba aku mendengar suara lantang dan tegas dengan nada pasti dan
sang pemilik suara berjalan dengan langkah yang tegak menunjukan sang empunya
adalah orang yang tegas. Yah saat ku mendengar suarannya, serasa jantungku
berdenyut lebih keras, mataku seakan ingin melompat dari tempatnnya. Aku begitu
kaget melihat sosoknya yang kini berada di depan masa yang sedang berdemo.
“Bunga” ucapku.
Tanpa kusadari ternyata Bu Yuni direktur perusahaan ini, yang selama ini
menjadi nasabah tetap kami. mendengar ucapanku. Lalu, ia berbalik lalu menatap
mataku.
“kamu kenal dia?
Yah, ia adalah Ayudiana yang kami sebut-sebut tadi” ucapnya. Aku samar-samar
mendengar pertannyaan bu Yuni. Fikiranku melayang, mataku semakin nanar
menatapnya. Oh, Tuhan, drama apalagikah yang tengah kau pentaskan kali ini?
Hingga Engkau pertemukan kembali aku dengannya. Setelah bertahun-tahun aku
menguburnya. Hatiku miris.
Terjawab sudah
semua kegundahanku selama ini. Bahwa hatiku riuh renta karena aku memang
merasakan kehampaan tanpa cinta seorang bidadari yang akan setia mengisi
hari-hariku. Lalu, aku pamit pada Bu
Yuni. Aku biarkan mereka menyelesaikan urusan intern mereka. Walau sebagai
relasi, aku tetap tak boleh ikut campur terhadap urusan yang bukan dalam
ranahku. Lalu, aku berjalan meninggalkan perusahaan yang menurutku seperti area
pertemuan dalam duniaku yang kedua dengannya. Aku melenggang melewati masa yang
masih berkobar dengan keinginannya. Kulihat wajah Bunga yang memerah ketika
melihatku. Lalu, aku mendekatinnya dan aku menyapannya dengan senyum simpul.
Lalu, ia sedikit
bercerita padaku mengapa ia berada ditengah kerumunan orang-orang yang tengah
panas.
“Daun, aku hanya
ingin membela rakyat kecil seperti
mereka. Aku hanya ingin membantu mereka menyalurkan aspirasinnya yang selama
ini terpendam. Semenjak satu tahun lalu aku bekerja di sini, aku begitu banyak
menemukan ganjalan. Mereka tidak pernah memperlakukan karyawan mereka dengan
seharusnya. Uang makan, gajih yang mereka berikan terkadang tidak tepat pada
waktunnya. Bahkan gajih yang mereka berikan tak sepadan dengan keringat yang
mereka peras. Ditambah lagi dengan kasus yang membuatku tak bisa hanya tinggal
diam. Mushola yang biasannya kami gunakan untuk beribadah akan mereka gusur.
Karena mereka kekurangan ruang produksi. Benar-benar diskriminasi” ucapnnya.
Bunga memang masih seperti dulu. Sikap solidaritas yang begitu ia junjung
tinggi dan kekukuhannya terhadap agama membuatnya menjadi wanita paling
istimewa. Oh, ia benar-benar seperti bidadari yang tak bersayap yang dikirimkan
Tuhan di bumi katulistiwa ini.
“Bunga,
lakukanlah yang menurutmu benar. Aku yakin, kamu berdiri tegap di sini karena
kamu ingin membela kebenaran” ucapku.
lalu aku
berlalu meninggalkannya. Senyum manisnya yang mengiringi langkahku,
hingga aku tutup kaca pintu mobilku. Oh sungguh indah hari ini. Aku mengerti, hidup bergelimang
harta sebanyak apapun takan pernah merasa bahagia jika tanpa cinta. Hidup
merasa berkecukupan seperti apapun takkan pernah tentram tanpa kehadiran
bidadari pembawa cinta yang akan menghiasai rumah kita dengan setiap ungkapan
cintannya disetiap pagi.
***
24
Daun Sore dalam Puisimu
Hari
minggu adalah hari yang begitu menyenangkan bagiku. Sealain libur kerja, aku
bisa memanjakan badanku dalam kolam renang yang akan menarik otot-otot penatku
yang selama satu minggu telah lelah aku ajak bekerja.
Minggu
ini, sekitar pukul sepuluh siang. Ketika aku lebih dari empat puluh lima menit
meregangkan ototku di kolam renag serta memberi makan kulitku dengan mandi air
yang bersih dan membelainnyadengan sabun kesehatan, lalu mematut tubhku dengan
pakaian kaos oblong dan celana jens panjang. Aku siap melenggangkan kakiku
menuju toko buku. Sesuai rencanaku tiga hari yang lalu, minggu ini akan aku
puastakan dengan membaca majalah otomotif terutama yang menyajikan
rubrik-rubrik tentang motor.
Ketika
aku sedang asik-asiknnya mencari majalah-majalah otomotif, tiba-tiba mataku
tertuju pada sebuah novel yang lumayan tebal. Enatah tertarik magnet apa,
tiba-tiba aku mendekati novel itu. Dan kulihat ternyata novel itu berjudul
“Namaku, Daun Sore” sebuah judul yang unik. Batinku. Lalu, aku membaliknnya dan
membaca bait-bait yang tertera di sampul belakang. Aku terperanjat ketika
membaca puisi yang tersusun rapi menjadin penghias sekaligus pengantar di cover
belakang novel Itu.
“Inikan
puisi yang pernah Bunga berikan padaku ketika kami akan berpisah dulu” ucapku
sambil membalik-balik novel itu. Puisi berjudul Daun Sore. puisi yang
mengisyaratkan tentang sepasang kekasih yang harus kandas ditengah jalan dan
akhirnya Tuhan mempertemukan mereka kembali, namun rasa dihati mereka telah
kering walau sedikit tumbuh tersiram dengan keakraban dan kedekatan
persahabatan mereka. Namun, mereka takan pernah bersatu, karena diantara mereka
telah ada yang memiliki. Lalu, aku mebaca ulang puisi itu, tersaa aku seperti
terbang kembali pada masa laluku bersamannya.
Daun Sore
Di Sore itu,
Tujuh
belas Daun gugur seperti bintang yang tidak mau terbit.
Kecuali
di setiap ranting ada puisi-puisi
yang
belum sempat genap kugubah karena kamu terburu mimpi.
Jadi
kubiarkan kata-kata itu mengering di tahun-tahun yang tidak sepi. Bergerak tiap
ranting,
bergesek
tiap detak-detak di pucuk yang puisikan lagi namamu.
Kemarin, di sore yang berbeda, kamu
seperti lagi dan terumbai.
Bermain dengan petang dan keabadian masa
silam
Sentuhlah dua mimpi yang berpasrah dan
mengerjap-ngerjap
Maka akan kudatangi kamu lagi dengan
setiap helai rupa cuaca yang ada
Sudah
lama kita tidak berangkul rindu.
Sore
ini, mari bercerita tentang hidupmu
dan
malaikat-malaikat yang sempat menghukummu
dengan
cambuk kenyataan,
serta
aku dengan setiap mata yang kamu anggap sebagai cahaya,
Daun
sore, atau lantunan sajak yang tak jadi-jadi.
Walaupun
sudah bosan aku menghitung awan,
tapi
biar saja tetap kulakukan demi beberapa lembar Daun
yang
sekering senja.
Kemudian
semua bergetar ketika pohon cinta mulai berbuah lagi,
setelah
rIbuan surga menolaknya
untuk
menjadi perhiasan sementara.
Dari
itu, aku menDaunkan setiap sajak lagi.
Tapi
lagi-lagi ada aksara
yang
enggan keluar untuk mengkailnya.
Mungkin
kata-kata perihal bayangan, langkah,
pusara
atau tanah yang kamu dan aku pijak dengan sia-sia.
Jadi
sementara,
kuserahkan
selembar Daun
kepada
petuah malaikat di atap langit rindu.
Semoga
dia bisa membasahi kota-kota itu dengan namamu,
tapi
dia sembunyikan diantara pohon-pohon yang lebih kokoh
namun
tidak lebih bercerita dari diammu.
Tidak
perlu sungkan,
aku
tetap mengenangmu di ukiran nisan ceritaku.
Jadi
saat kamu datang,
masih
ada beberapa Daun yang tersedia buatmu.
Sedikit
kering, hujan dan mendanau hijau.
Sepertinya
aku harus menjaga lagi hijau-hijau itu.
Agar
tidak ada kubangan nyawa, atau Daun-Daun yang terlalu sore.
Dan
maaf untuk beberapa pinta,
Aku sudah ada yang punya.
Bunga
Asterina Ayudiyana. Nama itulah yang tertera di sampul depan. Sebagai nama
pengarang novel yang kini ada di tanganku. Bunga, kamu memang hebat. Kamu
berbeda dengan gadis lain. Alasan itulah yang dulu membuatku mencintaimu. Kamu
seorang wanita yang selalu berusaha membuktikan setiap omonganmu. Namun, aku
menyadari aku memang bukan seorang malaikat yang patut bersanding dengan
seorang biadadri sepertimu.
“Daun,
apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
sebuah suara yang membuyarkan lamunanku. Dan lebih mengagetkanku dua
kalilipat dari pada bom molotof yang meledak berjarak sepuluh senti dari telingaku.
“Bunga,”
ucapku. Aku masih tak berkedip melihatnnya. Aku kembali menyaksikan matanya
yang indah dan wajahnya yang cantik dengan balutan jilbab berwarna violet.
“Bunga,
selamat yah, akhirnya cita-citamu terwujud. Kamu telah menjadi penulis dan
karyamu kini tengah dinikmati banyak orang” ucapku memberinya selamat. Kulihat
wajahnnya yang memerah. Kebiasannya belum hilang dari dulu. Nervous jika
mendapat pujian. Namun, ia pura-pura tenang dan berusaha untuk tenang.
“Terimakasih
Daun. kamu terlalu berlebihan. Itu hanyalah naskah sampah yang sebenarmya tak
pantas berada di s ni” ucapnnya merendah. Begitulah ia, selalu merendah dengan
segala kemampuan yang ia miliki. Benar-benar manusia pilihan yang diutus Tuhan
menjadi peri bagi insan yang berhak mendapatkannya nanti.
Aku
teringat ketika aku masih belum menjadi kekasihnya dulu. Begitu banyak
laki-laki yang berusaha mendekatinnya. Bahkan tak sungkan-sungkan mereka
memberinnya puisi yang menurutku norak. Pernah sekali Bunga membacakan puisi
yang diterimannya dari seorang pemuda bernama andi. Mahasiswa jurusan
matematika yang berasal dari brebes.
Bunga,
Namamu telah melumut,
Tertoreh di tangan-tangan hingga
menjalar di hati
Lihatlah garisnya tak mampu di
ubah walau oleh kenangan
Wajahmu telah membeku
Menjelma bagai patung pualam
Lihatlah tegaknya
Tak mampu mencair hingga memutih
Karena terbingkai kulit ari
Dan telah kusulam dengan darah
yang semakin menua
Bunga,
Wajahmu telah benar-benar
terpatri dalam sanubariku
Hingga hatiku tak ingin lepas
darimu
Izinkanlah rasaku ini membingkai
hatimu dengan cinta yang suci ini
“Daun.
aku juga ingin mengucapkan selamat padamu. Akhirnnya kamu mampu menebus masa
lalumu yang pahit dengan kesuksesanmu yang besar sseperti sekarang” ucap Bunga.
“Terimakasih
Bunga. Semua ini juga karenamu yang menunjukan jalan buatku. Dan membuatku
mengerti bagaimana makna cinta dan bagaiman cara mencintai Tuhan” jawabku.
Lalu, kami saling bercerita tentang hidup kita yang sempat tak bersama beberapa
tahun lalu.
“Daun,
sebenarnnya, aku ingin sekali melanjutkan kuliah S2, namun itu masih hanya
sebatas angan. Hingga aku harus mengisi waktuku selama satu tahun ini dengan
bekerja di CV Puri Indah, dan akhirnya
aku bertemu denganmu”
“Mungkin
Tuhan mempunyai cerita lain” jawabku menanggapi cerita Bunga. “Lalu,” aku
melanjutkan tanggapanku terhadapnnya. Karena aku sebenarnnya ingin mengetahui
lebih banyak cerita hidupnnya selama lebih dari empat tahun ini tidak berjumpa
dengannya.
“Lalu,
apa yang akan kamu lakukan setelah kamu
berhenti dari tempat kerjamu di CV?” setelah kejadian tempo lalu, ia memang
memilih untuk berhenti dari tempat kerjannya, ia merasa ia tak butuh waktu
lama-lama untuk bekerja disana. Yang terpenting ia telah meninggalkan banyak
cerita tentang kebenaran yang harus dilakukan bersama teman-temannya.
“Sesuai
rencanaku tadi, aku akan melanjutkan S2 di Jogjakarta dan aku akan
menyelesaikan novelku yang kedua” jawabnnya. Ia benar-benar wanita yang
menyalakan gairah semangat dalam menapaki hari-hari. Tak pernah ia melewatkan
tiap detiknnya dari mimpi-mimpi yang agung.
“Mimpi
itu ibarat tongkat yang akan menuntun kita mencari masa depan. Hidup tanpa
mimpi sama saja hidup dalam bayangan kematian. maka dari itu, rengkuhlah setiap
mimpimu, dan kejarlah walau badai nestapa selalu menghantammu. Tuhan tidak
pernah tidur” aku teringat ucapannya ketika dulu ia begitu ingin menjadi
penulis. Ia akan belajar dengan sekuat matannya. Selama nafas masih melewati
rongga dadannya, menapaki tenggorokannya dan melayang lewat hidungnya. Ia akan
tetap mengejarnnya. Benar-benar wanita yang penuh semangat.
“Bunga,
mengapa kamu begitu indah di ciptakan oleh Tuhan?” aku langsung menutup
mulutku. Entah mengapa tiba-tiba lidahku mengucapkan itu. ada sedikit rasa
menyesal dan tidak enak. Kulihat wajah Bunga yang memerah. Mungkin ia merasakan
hawa yang tidak enak. Atas omonganku tadi. Aku langsung berusaha mencairkan
suasana. Karena aku dulu sudah berjanji untuk memenuhi keinginannya. Memendam
jauh-jauh rasa itu. walau sebenarnya masih menghiasi langit-langit hatiku.
Lagu
Aisiteru milik Zivilia bersatu bersama ritme yang menggetarkan hp milik Bunga
dan harus memisahkan kita. Karena dari perbincangan antara ia dengan orang yang
menelfonnya terlihat penting, membuat Bunga harus buru-buru pergi.
“Maaf
Daun, aku ada sedikit urusan. Terimakasih telah menemaniku ngobrol” ucapnnya
lalu berlalu meninggalkanku.
Langkah
anggunnya masih seperti dulu. Ketika empat tahun lalu ia meninggalkanku.
Tiba-tiba darahku berdesir terasa lemas tubuhku ketika aku mengingat bahwa ia
bukan lagi miliku.
Dua
minggu telah berlalu. Kulihat jarum jam tengah menempati posisi antara angka
empat dan lima. Ternyata brau jam 4.30. kudengar samar-samar suara adzan dari
menara masjid yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari apartemenku. Saat
sedang malas-malasnya untuk melepas selimut yang membalut tubuhku, aku
dikagetkan oleh lagu Mely Guslaw “Jika” yang begitu aku suka, hingga aku menjadikannya
nada dering sms. Lalu, aku membukannya. Tertera nama pengirimnnya, “Bunga
aster” mataku seakan tak mampu untuk terpejam lagi.
“Selamat
pagi Mentari, segeralah terbit. Sinari seantero dunia. Aku ingin sinarmu
kembali cerah secerah hatiku pagi ini. Ternyata Tuhan benar-benar memeluk
mimpiku. Esok hari aku akan terbang ke Jogjakarta. Aku akan menikahi
mimpi-mimpiku di sana. Berkat doa dan semangat yang selalu kau terbarkan lewat
hangatnya sinarmu, akhirnya, aku menemukan jalan untuk melanjutkan S2. Tulisan
yang kurangkai bersama malam ternyata memberiku sayap dan keberanian untuk
melangkah bersama harapan. Kini, beasiswa telah berpihak padaku. Doakan aku
kawan. Agar aku mampu mengarungi nestapa disana. Dan akupun selalu mendoakanmu
agar kelak kamu menemukan wanita yang mampu membawamu terbang menuju kastil di
atas bulan sana agar engkau semakin dekat dengan Surga. Semoga kamu akan segera
menemukan kupu-kupu yang bersayap indah itu. Berwarnakan cinta dan beraromakan
melati kebahagiaan. Terimakasih untuk segala inspirasi dari mata indahmu. Aku
tak ingin mengabadikanmu dalam hatiku tapi aku selalu berusaha mengabadikanmu
dalam puisiku. Peluklah lembar-lembar itu. disana ada cintaku bersama masa
lalu. yang akan membawaku terbang kemasa depan.” “Bunga aster”
Hatiku beregetar
membaca SMs dari Bunga. Tanganku terasa menggigil. Seakan ada angin puting
beliung yang memporak-porandakanku dan seluruh isi rumahku. Terasa jungkir
balik perasaanku. Aku merasa ia semakin jauh dariku. Tuhan benar-benar tak
mengizinkan kami bersama. Tapi, aku sedikit berfikir bahwa semua itu telah
menjadi kehendaknya. Jodoan. rizki dan mati adalah taqdir yang tak mampu
dilawan dengan teori apapun. Namun, walau ia tak menjadi bidadari abadiku, aku
tetap akan mengenangnya. Seperti ia yang selalu akan mengenangku dalam ukiran
nisan ceritannya. Untuk menjadi sahabat. Indah terasa walau pernah punya cinta
dan berakhir, namun kita masih diikat dalam satu kata, persahabatan.
\\
25
Titik Akhir,
Bersama
Kupu-Kupu yang Indah
Waktu
telah berlari meninggalkanku, kalender dikamarku pun harus bergeser bergantikan
dengan yang baru. Waktu telah berputar selama setahun benar-benar tak terasa. Namun, Rasa kehilangan masih menggelayut dalam
hatiku. Tapi , aku bertekad tidak akan pernah mengulang sejarah kebodohanku.
Tenggelam dalam pekat cinta yang membuatku hampa. Membuat hari-hariku terasa di
neraka dan membuat tiap detik waktuku seperti jarum yang menusuk kulitku. Aku
mencoba menanggapi semua itu dengan positif thingking. Bahwa kehadirannya adalah
penutup masa laluku dan kepergiannya adalah kunci pembuka kebahagiaanku. Hanya
dengan itu aku mampu menguatkan hatiku. Hingga aku benar-benar mampu untuk
menggantinya dengan Bunga yang lain.
Seiring
detik yang terus berlari meninggalkanku dan matahari terus berjalan hingga aku
kembali bertemu dengan sinar rembulan. Akhirnya, aku mampu menutup halaman
kenanganku dengannnya. Bukan berarti semua kata cintaku padanya hanyalah
sebatas sulaman di atas kain kasar yang mudah lepas dan rusak. Bukan berarati
ungkapan sayangku padanya seperti lukisanku di atas pasir yang hilang jika
diterpa ombak. Namun, setiap bait ungkapan cinta dan sayangku padanya seperti
sandi yang terpahat dalam patung yang tak pernah hilang walau bertahun-tahun.
Hingga aku tak mampu menghapusnnya dan hanya bisa memolesnya dengan sedikit
warna, tulisan yang indah dan hiasan di sekelilingnya.
Itulah
yang aku lakukan ketika aku tak mampu memiliki apa yang aku cintai, namun aku
sedikit merubahnnya. Menjadi lebih indah dan akan kugariskan pada perjalananku
yang lain.
Seperti
hari ini, ketika aku mulai yakin, bahwa ia mampu menjadi penerangku ketika
matahari hidupku mulai tenggelam. Ia mampu menyalakan lentera ketika semangat
dalam hatiku redup. Lalu tenggelam kedasar kegagalan.
Aina,
nama itulah yang sempat menggantung di langit-langit hatiku. Semenjak
pertemuanku di Telaga Indah di atas Cipendok, hatiku mulai merasa tersinari
kembali. Tersinari oleh kelembutnnya dan kecantikan wajahnya. Ia benar-benar
seperti kupu-kupu yang hinggap di antara tangkai kehidupanku. Menebarkan aroma
surga dan menawarkan segala kenikmatannya.
Awalnya,
aku begitu sulit meyakinkan hatinnya, bahwa aku menginginkannya sebagai
pendamping hidupku. Mejadi permaisuri dalam kastil yang kubangun dengan penuh
cinta.
“Daun,
semua itu tidak mungkin. Dulu, kamu adalah kekasih sahabatku. Bunga. Aku tidak
ingin menjadi seperti kupu-kupu yang bersandar dalam satu tangkai
kehidupan” jawabnya. Ketika aku
memintannya menemaniku dalam meniti hari-hari kedepan.
“Bunga
adalah wanita terindah yang pernah hadir dalam perjalananku. Namun, ia telah
memilih jalannya sendiri. Mekar dengan indah perjalanan yang akan menjadi saksi
mewanginnya di suatu hari nanti. Aku adalah Daun yang membutuhkan putikmu.
Untuk mengindahkan seluruh tangkai kehidupanku. Bukannya aku ingin menghianati
masa laluku, namun masa lalu akan aku jadikan langkah meniti masa depan yang
indah dan aku menjadikannya cermin agar aku tak buram lagi seperti dahulu”
ucapku mencoba meyakinkannya.
Dia
memintaku memberinya waktu untuk berfikir dan mendinginkan hati. Agar ia bisa
berfikir dengan obyektif. Begitu ucapnya saat pamit akan pulang. Begitulah
cinta dan perasaan. Tak hanya asal menerima dan memebrikan jawaban . Namun,
harus berfikir.
Selang
dua bulan, ia memintaku menemuinnya. Taman Mini, itulah tempat yang ia minta.
Saat aku sampai ditempat yang kita janjikan, aku ragu untuk melangkah. Karena
wanita yang mengenakan baju biru bermotif bunga cemara bukanlah Aina. Namun, ia
adalah wanita yang sangat kukenal. Wanita yang berparas seperti bidadari.
Wanita yang berperangai seperti putri
Cinderlela. Yah tak salah lagi, ia adalah Bunga Aster. Bunga yang pernah tumbuh
dalam taman hatiku. Langkahku kaku untuk menemuinnya. Oh, Tuhan, cerita apalagi
ini. Duka apalagi yang akan kau suapkan untuku. Aku sedikit berprasangka pada
Tuhan.
“Daun,
bagaimana kabarmu?” tannyannya. Saat aku sudah berada di hadapannya. Aku
menjadi semakin limbung dengan keadaan ini. Aku benar-benar tidak tahu mengapa
justru aku bertemu dengannya.
“Daun,
aku sengaja mengajak Bunga kesini” ucap Aina, yang tiba-tiba muncul
dibelakangku.
“Aku
tidak mengerti dengan semua ini” aku kebingungan.
“Aku
datang hanya ingin menyaksikan kalian bersatu. Aku benar-benar bahagia ketika
mendengar kamu ingin bersama Aina. Sahabatku” ucap Bunga. Aku semakin pusing.
Keringat di keningku semakin banyak.
“Daun,
Aina, Aku benar-benar ingin kalian bersatu merangkai istana bersama. Menata
hari mencapai kasih pemberi cinta. Jangan pernah ragu untuk melangkah hanya
karena masa lalu. Masa lalu yang pernah kamu rangkai bersama denganku. Aku
begitu menyadari lewat kisah kitalah Tuhan menunjukan permata yang indah”
ucapnya. Aku baru mengerti. Ternyata Bunga mencoba meyakinkan Aina. Sungguh
mulia hatinya. Memandang masa lalu dengan indah. Dan menjadikannya pijakan
untuk masa depan.
“Bunga,
terimakasih untuk segala kebaikanmu” ucapku.
“Sama-sama
Daun soreku” jawabnya membuatku tertawa. Nama yang indah untuk seorang mantan
kekasih. Daun sore. Daun yang sudah hampir kering tak segar karena tertiup
angin dan seharian menahan terikannya matahari. Lalu, ia berpamitan
meninggalkan kami berdua. Karena ia harus pergi ke kota pelajar. Liburannya
telah usai. Waktu dua minggu telah cukup buatnya melepas penat yang membuatnya
harus berfikir. Jakarta menjadi tempat yang baik untuknya.
Kami
menyaksikan langkah Bunga yang penuh mimpi dan keyakinan menjalani
kehidupan. Ia akan tetap menjadi Bunga
dalam hidupku. Bunga yang akan membuatku menambah kecintaanku pada wanita yang
kini ada dihadapanku. Terimakasih Bunga untuk setiap tatapanmu yang mebuatku
mampu melayari langit kehidupan dan menemukan cinta kembali. Terimakasih telah
hadir dalam hidupku. Semoga engkau mampu mensejajarkan cita-cita dan cintamu.
Yang akan membawamu menuju surga yang akan menyemaikan Bunga Astermu dalam
keabadian tamannya.
Lalu,
aku berjalan bersama Aina menuju mobilku. Aku kan membawannya hari ini menuju
kota bercahaya untuk menemui Ayah dan Ibuku. Agar aku benar-benar mampu
mebuktikan cintaku padannya dan segera menyempurnakan separuh agamaku. Dalam
bingkai pernikahan yang berbalut cermin keridloan_Nya.
Sinar mentari
mengiringi perjalanan kami. sungguh indah terasa hari ini. Hari yang menurutku
penuh cinta. Aku kini benar-benar kembali membuktikan bahwa Tuhan memang
menyayangiku. Dan mengganti dengan Bunga yang tak kalah indahnnya. Serta dalam
balutan jilbab yang memancarkan Sholihahnya. Terimakasih Tuhan untuk segala
Cintamu.
Wahai
Bunga, aku takan pernah mampu menghapus
halaman
kenangan kita.
Namun,
kini kau telah membantuku menghias halaman setaman
yang
dulu pernah menjadi pijakan untuk kita
lewat
tatapan indah bola matamu kamu telah mengarahkanku
mencari
cinta sejati. Seperti hari ini,
aku
benar-benar berharap Tuhan memberiku cinta
yang
akan mengantarkanku menemukan cintannya.
Terimakasih.
Engkau sungguh indah,
Semoga
kamu menemukan permata yang kamu cari.
Terimakasih
sahabat yang dulu pernah kucinta
Namun,
kini engkau telah mengajariku
bagaimana
mengikat persaudaraan
semoga
aku akna selalu menjadi saudaramu.
Message send,
menjadi tanda smsku telah terkirim. Bebarpa menit kemudian ia membalasnya.
“Bahagiakan Aina,
dan berikan cinta yang lebih besar agar kamu tahu bagaiman cara mencintai Tuhan
yang sesungguhnya. Tuhan yang memang pantas disebut Tuhan, Tuhan yang mempunyai
seluruh sifat kesempuranaan. Aku akan selalu mendoakan kalian, semoga kita
tetap dalam naungan cinta Tuhan.” aku bejanji dalam hati untuk selalu
mencintai ciptaanya. Karena aku hanya ingin mennggapai ridlho_Nya. Terimakasih
kawan. Terimakasih cinta, terima kasih Bunga dan terimakasih yang teragung
hanya pada_Mu Tuhanku yang Tunggal.
***
Epilog
Aku masih
terpekur dalam sujudku. Disampingku, Aina tampak tertidur pulas. Aku lama
memandang wajah suci itu. bidadari yang kini menghiasi kastil yang kami bangun
bersama dalam ikatan cinta di atas altar suci. Setelah perjalanan panjang dalam
hidupku, ternyata inilah kebahagiaan dan ketenangan yang sejati. Aina dan calon
putraku yang kini masih dalam kandungannya adalah hadiah terindah dari_Mu. Aku
berjanji Tuhan akan selalu bersamanya lewat raga maupun jiwa. Takan pernah lagi
kusia-siakan lagi hari-hariku tanpa kata cinta yang akan berujung menuju
pada_Mu. Tuhan, hanya satu pintaku, ampunilah hari-hariku dulu, dan lindungilah
aku serta istriku dan calon anaku, tetapkanlah aku dalam jalan_Mu yang indah.
Aku
beranjak sholat, dua rakaat ditengah malam. Bertemu malaikat di tengah
kesunyian. Lalu, kutengadahkan kedua tanganku bersama cintaku dan ucap
syukurku. Seusai sholat, aku mendekati jasad yang begitu indah, lengkap dengan
ruh yang begitu sempurna.
“Selamat
ulang tahun sayang” ucapku sambil mencium lembut keningnya. Dan ia terbangun
dari tidurnya,
“Terimakasih
sayang, wajahmu bercahaya sekali, sudahkah engkau bertemu malaikat yang akan
menyampaikan rasa syukur kita pada Tuhan?” ucapnya dengan manja. Aku hanya
mengangguk, lalu aku memeluknya. Betapa bahagia aku mempunyai seorang istri
yang sholihah sepertinya. Lalu, aku mematikan lampu dan kuteruskan memeluk
malam bersamannya. Membingkai cinta lewat ranjang persaksian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar