Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

novel



Namaku, Daun Sore

Cinung Azizy






















Bahkan bulan butuh kelam untuk menunjukkan   warna  kekuningan terangnya.
Sebagaimana insan butuh cobaan untuk mengakumulasikan segenap potensinya
























DAFTAR ISI



Catatan Awal
Prolog
1.    Istana Kerinduan
2.    Purwokerto yang Bimbang
3.    Titik Awal
4.    Kekaguman
5.    Cinta Dua Mata
6.    Convertation
7.    Kidung Cinta Dalam Kenangan
8.    Petuah Tentang Cinta
9.    Daun dan Rahasia Senja Lalu
10.                        Kotak Masa Lalu 1: Suatu Masa
11.                        Kotak Masa Lalu 2: Keributan
12.                        Kotak Masa Lalu 3: Sayap Terhangat
13.                        Kotak Masa Lalu 4: Ketika Kesepian Menyapa
14.                        Kotak Masa Lalu 5: Ibu dan Keinginannya
15.Kotak Masa Lalu 6: Aku dan Jakarta
16.                        Kotak Masa Lalu 7: Penyesalan
17.                        Kotak Masa Lalu 8: Titik Cerah
18.                        Sampai kapanpun
19.                        Daun di Senja Hari
20.                        Di Ujung Pasir
21.                        Bangkit dari Kekalahan
22.                        Wisuda
23.                        Harapan Dan Mimpi Yang Bersatu
24.                        Daun Sore dalam Puisimu
25.                        Titik Akhir: Bersama Kupu-Kupu yang Indah
Epilog






                                                                                                Catatan Awal


          Engkau, Bunga Aster yang hanya tumbuh dalam taman hatiku. Dengarlah, rasakanlah dan baca setiap kata yang kutulis. Dulu, setiap deret abjad inilah yang selalu menjadi kawan setiaku. Hanya kepada Tuhan dan rangkaian abjad ini kutumpahkan segala ceritaku, serta hukuman-hukuman malaikat dengan cambuk kenyataan.
          Rasakan dan baca dengan hatimu. Aku ingin kau tahu, betapa selama ini hidupku selalu berkalang duka. Resapilah dan kau akan tahu betapa aku tak pernah sekalipun bertemu kedamaian walau dalam alam lamunan sekalipun. Bacalah, maka kau akan tahu, bahwa rasa itu masih bergelayut dalam hatiku, aku membutuhkanmu, sebagai penopang masa depanku. Aku menginginkanmu sebagai penutup kelamnya masa laluku. Jangan patahkan bingkai yang pernah kau tata rapi di hatiku, walau hanya dulu, tidak untuk sekarang. Walau dalam matamu aku sudah layu sekalipun seperti daun yang berguguran di waktu senja.


















Prolog


        Dia tidak pernah tahu, bahwa hati manusia tidak akan pernah tentram sebelum Ia berdamai dengan dirinya sendiri. Yang ia tahu sekarang hanyalah bagaimana mencari senang, bahagia, tertawa lepas serta mencari yang apa ia sebut damai, walau itu salah.
           Hidup menurutnya adalah penderitaan yang harus dirubah dengan segala bentuk kesenangan. Dengan sebungkus pil ekstasi, stimulant, depresant, hallucinogen, narkotika,  atau bahkan cannabis yang selalu setia menemaninya, tak pernah protes dan selalu membuatnya merasa tenang, bahkan dengan desahan-desahan nafas wanita sebagai penghilang rasa nyeri yang selalu menyerang jiwanya.
          Seperti sore ini, ketika ia merasa sangat lemah, gelisah, paranoid, dan lama-kelamaan ia merasa tubuhnya menggigil lalu kejang-kejang, yang bisa menolongnya hanyalah kawan setianya. Zat alkaloid C17H21NO4   atau seperti biasa, shabu-shabu sebangsa amfetamin yang menurutnya paling bisa menenangkan.
          Lalu, ia meneguknya seperti orang yang kesetanan, tanpa rasa ragu, beberapa butir masuk kedalam kerongkongan tenggorokannya. Tenang, bahagia yang ia rasa, lalu melayang-layang dan berteriak seperti orang yang gila.
          “Dimana Tuhan? Tuhan yang pendusta ataukah manusia yang mereka sebut Nabi yang gila. Mereka yang gila, mereka tidak waras. jika Tuhan memang ada, mengapa sekarang ia tak menghukukmku atau bahkan tidak menolongku ketika bahaya melucuti nyawa dan bahagia seluruh orang-orang di sekitarku, apa itu yang disebut agama, yang membawa kasih sayang, keadilan, kalian pendusta” lalu ia meneguk beberapa pil lagi.
          Ia terkapar dan merasa terbang dengan mulutnya sedikit berbusa.
***






1
                                                        Istana Kerinduan







            Aku baru menyadari, bahwa hidupku jarang sekali didatangi masalah. Justru aku yang selalu mencari masalah. Kesepian di tengah keramaian yang selalu menderaku membuatku merasa semakin tidak hidup. Resah, gelisah dan tak mampu berfikir dengan rasio yang sehat, mungkin itu sering kali yang aku rasakan sehingga pada akhirnya hidupku hanya berujung masalah.
                                                                 ***

        Purwokerto, masih menyisakan awan-awan gelap bekas hujan tadi siang. Aku masih membenamkan kepalaku diantara bantal yang tertata rapi. Lirik lagu Just A Dream-nya Nelly masih mengalun indah di kamar kostku yang kini seperti kapal pecah. Celana Jeans yang tergeletak di kursi dengan indahnya, gitar yang bersandar di tembok dekat meja belajar, serta bekas segelas kopi yang nangkring dengan santainya di atas meja, asbak dan sisa-sisa rokok yang masih menumpuk menambah lengkapnya status bagi kamarku, kapal pecah.
          Pusing, capek dan enggan untuk melakukan hal apa pun, masih hinggap di tubuhku, mengikat kakiku untuk berjalan, menutup mataku untuk menatap, lalu membelenggu tanganku untuk bergerak. Buku-buku karya Plato, Danbrown, Adam Smith, Pramudiya Ananta hingga tetraloginya Stephanie Mayer maupun buku-buku life motivation dan novel-novel karya anak bangsa yang kini marak menggerumuti penerbit hingga beredaran di pasaran, tercecer dan berserakan di sisi tempat tidurku.
          Sepi...senyap…
          Seringkali hadir dalam hari-hariku, terkadang suasana seperti itulah yang enggan kujumpai. Namun, minggu ini lain. Justru suasana yang seperti itulah yang terasa sangat nyaman.  Aku membalikan badanku lalu menatap ke jendela kamar kostku yang memberikan pemandangan kelap-kelipnya lampu serta lalu lalangnya para mahasiswa dan mahasiswi yang saling bergandengan tangan hanya untuk sekedar mencari makan dan bertemu kekasih mereka atau hanya bercuap-cuap dan konkow bersama. Masih memejamkan mata, aku mencoba mencerna lagunya Katy Perry, Teenage Dream.
Tanpa terasa kini udara yang semakin terasa berbeda mengingatkanku bahwa larut telah menjemput. Kulihat jarum jam yang kini menunjukan pukul 23.55 WIB. Aku masih terdampar di ranjang kamar. Masih diam, membisu, lalu aku bangkit membuka lemari, kulirik baju koko yang masih tertata rapi, peci yang masih terbungkus lengkap dengan mereknya serta sajadah yang masih baru. Itu adalah hadiah dari orang tua temanku yang baru pulang haji beberapa tahun lalu, mungkin baru dalam hitungan jari aku memakainya.
          Waktu terus bergerak tanpa bisa kuhentikan karena hanya sia-sia semua usahaku jika aku berusaha melawan waktu dan menghadangnya untuk berhenti berjalan.  Kini, dengan waktu juga, yang telah mengantarkanku pada umurku yang genap dua-puluh dua tahun.  Yah, dua puluh dua tahun lalu lahirlah seorang bayi dari rahim Ibu, dua puluh dua tuhun yang lalu juga tangis  seorang bayi yang mampu menggetarkan hati Ayah dan Ibunya, serta mampu mengulum senyum di bibir mereka dengan tulusnya. Seiring tangis bahagia yang membuncah, rangkaian doa tulus dikirimkannya pada sang Pencipta agar kelak anak mereka menjadi cahaya bagi kegelapan dunia, serta memperkokoh agama mereka. Sungguh rangkain doa yang kini masih terasa menjadi beban dan menggantung di sendi-sendi relung jiwaku.
Kupaksakan kakiku melangkah kekamar mandi untuk mengambil air wudlhu, terasa segar hingga dingin membekas di wajahku, terasa sedikit pori-poriku membuka. Kembali dari kamar mandi, kulihat lampu-lampu malam purwokerto yang seperti kunang-kunang menandakan bahwa manusia diluar sana telah terbuai mimpi yang mereka bingkai dengan harapan semoga indah.
          Sajadah panjang kugelar, menghadap kiblat lengkap dengan pakaian koko yang rapi serta peci yang kutangguhkan dikepalaku, walau terasa masih longgar, kulirik cermin disampingku, terasa lebih bijaksana aku dengan pakaian seperti ini. Lalu kuluruskan niat untuk bersimpuh pada-Nya.  Sebuah ritual yang terasa asing karena telah lama tak kulakukan. Terasa berdebar hatiku saat ku angkat kedua tanganku.
          Terbayang semua kenangan dimasa silam saat kuucapkan Takbir, ah aku semakin merasa tak pantas saja menghadapnya kembali. Yah, aku merasa seperti pecundang yang bermuka tembok, setelah dulu dengan dada besarku, kepala tegak kutinggalkan istana sejuknya dan kini dengan suatu keterpaksaan bahwa akulah yang butuh dengan-Nya, aku mencoba kembali. Aku meragukan itu, aku takut sang Raja di istana tak mau menerimaku kembali, bahkan mengusirku dan membiarkanku kedinginan, kehausan, kesepian. Karena diluar sana tak ada selimut cinta yang hangat, air minum yang menyejukan, serta kedamaian yang hakiki.
          Yah, memang diluar sana tersaji gemerlap cahaya, namun hampa. Sinarnya yang tak pernah menenangkan dan membuat silau dan gelap mata. Aku rindu lampu-lampu temaram teduh seperti di istana itu. Aku rindu nyanyian kidung khidmatnya. Aku rindu ingin bersimpuh disana, walau aku harus menanggung rasa malu karena dulu dengan segenap keyakinanku bahwa dunia diluar sanalah kehidupan hakiki sebenarnya. Karena dulu aku begitu bosan dengan segala tetek bengek aturan yang membuatku terkungkung tak bisa berbuat apa-apa. Namun waktu adalah benar-benar hakim sejati, memberi bukti tanpa harus banyak berteori, dan karena waktulah yang dapat membalikan keadaan yang semestinya.
          Aku masih terdiam dalam posisi sholatku, mencoba berkosentrasi penuh agar dapat merasakan kehadiran_Nya dan berdialog dengan_Nya. Namun, masih kurasakan hampa, setelah salampun sama sekali tak ada yang membekas di hati. Sejenak aku berfikir, mungkinkah ini penolakannya terhadapku, yang pernah menghinanya, bahkan siap melawannya. Aku merasa harapan lewat ritualku sia-sia. Aku hanya bisa menundukan  kepala, kebingungan dan akhirnyapun butiran-butiran halus mengalir dari kelopak mataku yang sedari tadi sempat tertahan.
           Tak seperti yang pernah kubaca dalam buku religious yang menjelaskan bahwa pemilik istana ramah, lembut dan mau menerima siapa saja yang datang dan sekotor apapun. Tapi mengapa tidak denganku? pertanyaan yang mengganjal dihatiku. Apakah aku terlanjur tidak pantas untuk menapakan kakiku dilantai istana itu? Atau ada alasan yang lain? kebingungan yang benar-benar menderaku. Selintas terbayang masa laluku yang kelam, Yah, akulah seorang Daun, pemabuk berat, pecandu shabu-shabu yang paling over atau penikmat daging-daging wanita, dan masih banyak kekelaman yang aku jalani. Apakah karena itu Tuhan?
                
***






                                                             2
                                                     Purwokerto yang Bimbang    


          Tiga minggu berlalu,
          Daun masih termenung sendirian. Sebentar-sebentar kemudian bibirnya yang indah tersenyum. Terkenang ia akan masa lalunya. Terbayang olehnya gambaran keluarganya yang menyebabkannya tinggal di salah satu kost yang sederhana. Dan harus melanjutkan di salah satu Universitas di Purwokerto. Ketika sedang asik-asiknya mengembara dan bermain dengan masa lalunya, terdengar langkah gontai mendatanginnya. Rizal, temannya yang juga tinggal satu kost namun berbeda kamar dengannya itu telah berdiri disampingnya.
          “Ngapain kamu Daun?”Tanya Rizal.
          Daun masih tidak menjawab, ia masih asik dengan lamunananya.
          “Daun, kamu tuh kenapa kayaknya serius banget” Tanya Rizal lagi sambil menepuk pundak temannya itu.
          Daun masih tidak menjawab. Namun, kemudian iapun menoleh. Dan ia menatap wajah teman akrabnya itu. Selang beberapa saat kemudian, mereka beradu pandang dan akhirnya Daun angkat bicara.
          “Sedang bertamasya neh,” jawabnya singkat.
          “Tamasya dalam dunia bayangan? Atau melamun yang tidak-tidak? Kayaknya serius banget. Memang apa yang sedang kamu pikirkan?”
          “Bertamasya, ke masa lalu”
          “Alah, Daun kamu ini, sok melankolis” sambung Rizal, mencoba melucu. Namun, sedikitpun tak merubah guratan wajah sahabatnya itu.
          “Aku, tiba-tiba teringat dengan semua yang telah aku alami. Tentang kesedihanku di pagi hari, tangisku di sore hari dan lukaku yang tak kunjung mengering di malam-malam selanjutnya semenjak enam tahun lalu”

          “Lho, tumben kamu seperti ini Daun, bukannya kamu sudah berjanji akan mengubur semua kenangan itu?”
          “Entahlah, aku juga tidak mengerti. Semenjak dua minggu yang lalu, kisah hidupku di masa lalu begitu membuatku takut untuk melangkah kemasa depan”
          “Maksudmu?” Tanya Rizal tak mengerti.
          Lalu, Daun menceritakan tentang pertemuannya dengan seorang gadis yang membuatnya bermalam-malam susah untuk tidur. Perempuan yang menurutnya berbeda dengan yang lain. Perempuan yang menurutnya sangat pantas dicintai oleh mata yang sehat dan mengerti arti kesempurnaan dan kesungguhan arti dari kecantikan yang sebenarnya  dari seorang wanita. Dan, yang membuatnya sedih ia adalah perempuan yang mebuatnya takut mengenal akan cinta. Mengerti akan perasaan dan mengharap akan adanya penyatuan dua hati. Karena perempuan itu sungguh berbeda dengannya. Perempuan yang sangat solekhah. Ia mengetahui semua itu setelah ia mencari tahu selama dua mingu belakangan ini. Info dari teman-temannya di kampus dan info dari segelintir orang-orang yang mengenalnya.
          “Sudahlah Daun, jangan terlalu terlena akan hal itu” nasihat Rizal setelah mendengar cerita dari Daun.
          Daun hanya tersenyum. Lalu kemudian sebentar-sebentar melihat ke luar jendela kamarnya, yang menyajikan pemandangan pepohonan rindang.
          “Semua orang mempunyai cerita hidup sendiri-sendiri. Janganlah pernah berkutat pada salah satu masa lalu yang kelam hingga kamu merasa tersisihkan untuk maju melangkan meniti masa depan” nasihat Rizal lagi.  lalu Dau menoleh padanya dan tersenyum.
***








3
       Titik Awal      

          Perhentian pertama pada kenangan masa laluku adalah pada seorang gadis manis, sederhana, berhidung menggoda dan berwajah seperti kebanyakan gadis belasteran. Nama itu mampu mengubah alirah darahku. Ia mampu meruntuhkan segenap nilai-nilai dan membalikan kehidupan yang selama ini aku anut. Berada didekatnya seakan mampu merubah hitam menjadi putih, dan ia seakan telah mampu memenuhi semua kebutuhanku, sungguh aku tak butuh kedamaian dari siapa-siapa, kawan atau bahkan Tuhan sekalipun.
          Bersamanya, kesepian yang selama  ini menderaku telah hilang, keramaian sejati telah aku temukan, aku benar-benar mendapatkan kedamaian yang nyata. Tapi, Ia seperti malaikat kecil yang tak berbanding  bahkan tak boleh bersanding denganku, yang hanya manusia seutuhnya. Kemanisan wajahnya itu, mampu menaklukan kepongahan dan kepura-puraan hidupku sebagai manusia.
          Ah, Bunga Asterina Ayudiana, memang sebuah nama yang menurutku bukanlah hanya sederet abjad, namun sebuah nama yang hidup dalam sebuah kejujuran. Kejujuran seorang anak manusia yang penuh kasih dan cinta.
          Mataku nanar, mengingat perjalananku bersamanya dahulu. Perjalanan kasih yang dahulu tak pernah aku rasa, perjalanan  cinta yang sejati, kasih yang indah  dan tak pernah kutemukan maknanya. Ia memberiku arti kedewasaan dalam memaknai cinta. Ia menuntunku untuk tidak terjerumus dalam gaung cinta itu sendiri. Jalan yang ditempuhnya adalah suci. Namun aku tidak pernah menyadari. Hingga kini semua tak lagi bermakana. perjalanan yang menurutku benar-benar berbuah penyesalan Seperti hari ini, kala aku melihat senyum manisnya.
Aku sedikit berfikir, jika dahulu aku merengkuhnya dengan segala kerendahan dan kasih sayang mungkin ia takan pernah pergi dariku, tak akan pernah segala rasa sakit aku alami. Tapi semua itu telah terjadi. Bahkan dengan sengaja dulu aku mencampakannya.
          Aku mengenal Bunga pertamakali pada saat aku semester awal menjadi mahasiswa. Saat itu, kebetulan kost dan tempat kerjaku dekat dengan kampusnya sehingga aku sering kali melihatnya pulang dan berangkat kuliah.
          Semenjak lulus SMA  aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah disalah satu Perguruan Tinggi Negeri di Purwokerto. Dan mencoba menabur mimpi pada indahnya kota satria. Bayang-bayang kelam masa laluku yang membuatku hingga terdampar disini dan mampu memompa semangatku untuk tidak cengeng pada hidup. Awalnya, aku merasa hari-hariku terasa biasa saja, karena aku hanya menjalaninya dengan nongkrong di boleveard kampus, menjelang malam kumpul lagi di salah satu kafe dan akhirnya menjamah minuman keras. Selain itu, aku juga masih frustasi dengan ekonomi keluargaku. Hingga membuatku sulit berbaur dengan teman-teman. Mereka yang serba kecukupan dan tidak perlu pusing karena harus memikirkan dompet mereka yang kering. Hingga semua itu membuatku terpaksa harus bekerja disalah satu warnet.
          “Ah, cemen cowo gak berani minum, pulang tidak dengan hati senang, lelaki bodoh” begitu kata teman-temanku. Walau aku menyadari justru orang yang seperti kamilah yang begitu bodoh, merusak diri sendiri, merajut dosa dan menyia-nyiakan masa muda tidak untuk meraih prestasi sebanyak-banyaknya. Tapi apa boleh buat, kita adalah remaja yang kesepian, tak punya benteng apa-apa keculai penderitaan. Hingga aku harus rela bekerja lebih keras dan sering lembur demi mendapatkan uang lebih untuk membeli botol panas itu. Kehidupanku pun tak jauh berbeda dengan salah satu kawanku, Rizal.
          Ia adalah anak yang kurang perhatian. Sehingga mencari kesenangan tersendiri untuk menghapus kesepian, begitu juga denganku, dengan setumpuk masa lalu yang membuatku tidak ada pilihan lain, kecuali menghibur diri dengan cara seperti ini, walau kadang hati kecilku tak menerima itu, tapi aku sudah terlanjur menjadi Daun yang benci dengan Tuhan. Tuhan di masa lalu dan untuk seterusnya.
           Tapi, setelah pertemuanku dengannya sore itu, hidupku terasa ada  yang lain hingga kini, walau aku yakin bertemu dengannya, pasti aku akan bertemu dengan orang-orang yang bahagia di balik nama Tuhan. Tapi entah mengapa aku tak peduli, hatiku yang bicara kali ini.
          Sore itu, aku sedang berada di teras kostku, bersantai sambil menikmati dawai-dawai senja. Hujan rintik jalanan pun sunyi. Kulihat Ia berjalan tanpa payung, dan tubuh yang menurutku butuh naungan. Sore memang membawa aroma lain yang begitu berbeda. Ia terlihat begitu cantik diantara rintik-rintik gerimis, bagai tersihir lalu aku memanggilnya dan kupersilahkan Ia untuk sekedar menunggu gerimis sedikit berkawan. Semakin dekat aku memandangnya,  kecantikanya semakin tampak  jelas.
          “Aku sering melihatmu” ucapku mengawali perbincangan.
          “Oh iyah, aku sering mondar-mandir ke kampus. banyak kegiatan. Selain itu aku juga sering ke Rizki net” jawabnya singkat. Ternyat ia juga sering melihatku ketika sedang bekerja menjadi operator warnet.
          Dari singkatnya perbincangan basa-basi kami, karena langit pun telah berubah warnanya dan gerimis sedikit-demi sedikit telah berhenti, akhirnya ia pulang. Bunga Asterina. Mengingatkanku pada salah satu kembang yang tumbuh di Surga Firdaus. Memang sebuah nama yang menurutku pantas untuknya. Bagi seorang gadis berjilbab. Ibarat bidadari yang berjalan di bawah cahaya terang, menuju kerah lingkar bulan yang akan memberikan ketenangan, setenang wajahnya yang begitu elok.
          Semenjak pertemuanku di sore yang menurutku berbeda itu, hal yang paling sering kali aku lakukan di sore hari ketika aku tidak bekerja adalah duduk dengan sengaja diteras, kadang seperti orang yang kebingungan karena memang tak punya alasan untuk melakukan hal itu, kecuali satu, melihat langkah anggunnya, dan melihta senyumnya yang simpul yang selalu membuatku terkesima. langkah yang gontai namun pasti seakan mapu menghentikan waktu dan desiran urat nadi kaum adam, anggun lenggok tubuhnya ketika berjalan menambah lengkap ayu wajahnya yang memang memancarkan kaeagungan yang tak dapat kujelaskan maknyana, Ah ia memang seperti bidadari. pikirku melayang.
Hingga pada suatu ketika kebiasaanku diketahui olehnya. Dan semua itu menjadi awal cerita dalam hidupku.
     Semenjak sore yang berbeda itu, ternyata ceritaku tentangnya belum usai. Masih terletak tanda koma. Kata pun bergema, mendawai dengan bahasa hati. Awan-awan yang menggantung dilangit, menyaksikan dengan senyumnya yang merekah. Berarak menjanjikan mimpi.
          Semenjak dua minggu lalu, di sore yang berkawan hujan. Kini, aku berjumpa lagi dengannya.  Masih dengan wajah cantiknya dan senyumnya yang menjanjikan surga keabadian. Saat aku masih dengan kebiasaanku, duduk termenung di beranda kost. Bermain dengan angin sore, mengharap berbincang dengan senja untuk menghilangkan penat dan bosan menunggu langkah anggunnya melewati jalan depan kostku. Menunggu langkahnya yang bersijingkat bagai kata-kata. Dan menari dalam sajak kehidupanku. Aku terlena dengan semua itu. Hingga seringkali membuatku melamun.
          Seperti sore ini, aku benar-benar menari-nari dengan semua yang ada pada dirinya. Hingga aku seperti hidup dalam bayang-bayang. Dan terbang dari dunia yang penuh kenyataan.
        “Permisi” Sapa seseorang yang tiba-tiba membuatku tergagap.
          “E-e.eh iya,” Jawabku tak beraturan.
          “Maaf, aku menganggumu Daun, sebenarnya aku ingin minta tolong padamu” ucapnya dengan nada bak alunan  biola dari suurga.
          “Iyah, kalau bisa aku pasti akan menolongmu” Jawabku dengan detak jantung tak beraturan, karena aku begitu grogi bertemu denganya dengan keadaan melamun.
          “Daun, kalau tidak salah dulu pernah bilang kamu mengambil fakultas Visip?”
          “Iyah benar, Bunga, lantas aku bisa membantu apa untukmu?” tanyaku dengan wajah cerah.
          “Bunga ada tugas kuliah, analisis ekonomi politik, sebenarnya bukannya aku tidak sempat mencari buku, tapi aku hari ini ada acara yang sangat penting” jawabnya. 
          “Memang materinya tentang apah?” tanyaku, terasa mengalir pembicaraan kami.
          “Tentang Teori Rent-Seeking,”
          “Ok, tapi aku perlu membaca untuk bisa menerangkan padamu, kebetulan besok hari minggu, bagaimana kalau kita belajar bersama di kostku?” tawarku.
          “Memangnya kamu tidak jaga warnet” Tanya Bunga.
          “Oh, tidak. Aku bekerja hanya malam hari sekitar pukul Sembilan  sampai jam 2 pagi. Dan, kebetulan besok aku  free jadi kita bias sharing” jawabku dengan nada penuh harap.
          “Baiklah” jawabnya dengan wajah gurat-gurat bidadari. Jilbab hitamnya sedikit berkibar terkena angin senja. Jemarinya membetulkan beberapa anak rambut yang menyembul nakal dari balik jilbab hitamnya. Lalu ia pamit untuk pulang.
          Benar-benar awal yang indah, pikirku sejenak sebelum benar-benar persimpangan jalan menutup langkahnya.
***

          Setelah pertemuan keduanya itu, aku merasakan kegelisahan yang menderu aku menjadi tidak tenang beraktivitas, padahal, ada sederet  acara yang harus aku ikuti, tapi kini yang bisa aku kerjakan hanya malas-malasan di kamar, menyanyi lagu-lagu mellow, terkadang senyum-senyum sendiri.
          “Daun, kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini kamu aneh” Tanya Rizal teman satu kostnya yang memang mengamati kelakuannya akhir-akhir ini.
          “Aku sedang memikirkan bola mata yang begitu indah” jawabku

Ingin ku belai wajahmu yang cantik
Agar kau tahu kau memang cantik
Ingin ku rebut bola matamu yang indah
Agar kau tahu  memang benar-benar indah bola matamu.



   “Oalah, dasar koe bocah playboy” jawab Rizal dengan ngapak Banyumasnya.
   “Yang ini lain Zal, Rena, Indah, Rindu, semuanya lewat”Jawab Daun dengan nada semangat. Memang  Daun semenjak SMA terkenal laki-laki playboy.
   “Alah, setiap kali kamu mendekati cw pasti alasane gitu, basi kamulah” jawab Rizal singkat.  Lalu mereka berpandangan dan akhirnya,
   “Ha-ha-ha”  mereka tertawa bersama.
“Mungkin,” lanjut Daun.  “Ini adalah perhentian terakhir untuk aku  berkawan dengan semua penderitaanku. Aku telah lelah dengan semua itu. Aku telah terlalu lama tertidur dalam kenisataan dan berujung nestapa yang membuatku kehilangan orang-orang yang aku kasihi. Aku yakin, jika aku dengannya, istana yang akan tercipta melebihi indah dan terangnya kastil diatas bulan, tak seperti istana yang di bangun Ayahku”
Rizal hanya diam. Mulutnya terkatup. Tak ada sedikitpun rangkaian kata yang hendak ia lontarkan. Ia begitu mengerti, hanya diamlah yang harus ia lakukan ketika sahabatnya sedang merasakan sakit itu lagi. Ia hanya mampu memahami dan menemaninya.
“Zal, ia begitu lain” lanjut Daun. Lalu mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Wahai engkau gadisku,
Kuselipkan kau di jajaran bulu mataku
Saat hidungmu mencari aromaku
Dan meremukan sendi-sendi tulangku, hingga berkeping-keping
Terpanggang di bara api, panas rasa yang kian menggeliat.
Andai engkau tahu, rasaku lebih ganas
dari badai yang menghantam pesisirmu

kuselipkan kau lekat-lekat di jajaran bulu mataku
saat kau persilahkan untuk aku selipkan rumahmu di hatiku
jiwaku terbangun, tersentak kerinduan.
Kini, benar-benar aku selipkan kau di jajaran bulu mataku
Agar setiap ku berkedip mampu melihatmu, walau dalam keremangan
Dan di ujung samudra sekalipun yang akan aku sebrangi demi namanmu

Suara dentang jarum jam yang kini menunjukan pukul 16.00, memporak-porandakan rangkaian lamunan mereka. Akhirnya, mereka beranjak ke kamar masing-masing untuk menyiapakan alat-alat yang harus mereka bawa. Pergi ke Gor dan mengasah kelincahan motor mereka. Masih menjadi kegiatan rutin di sore hari menjelang petang.


***
          pagi itu, angin berhembus agak kencang. Matahari terlihat sedikit redup. Tertutup awan hitam yang menggelayut menyelimuti sebagian wajah kota purwokerto. Sinarnya yang menyembul dari geseran-geseran awan terasa sedikit menghangatkan. Menyapa setiap insan yang mula sibuk dengan rutinitas masing-masing.
            Bunga masih sibuk dengan setumpukan baju yang kini ada di tangan kananya. Setelah sebentar mematut diri di depan cermin, akhirnya pilihannya jatuh pada baju biru muda yang begitu cerah.  Ia berdandan di depan cermin kamarnya dan memoles wajahnya dengan kuas-kuas kecantikan. Membasahi bibirnya dengan lipe ice merah muda, dan memanjakan kulitnya dengan han and body lotion serta memberikan vitamin pada rambutnya.  Ia merasa sedikit lebih fresh hari ini. Lalu, memandang buku-buku yang akan ia bawa. Dan sedikit termenung ketika melihat buku berjudul Ekonomi Politik. Sedikit teringat tentang sesorang yang akan ia temui hari ini.
Yah, Daun. Empat huruf yang tiba-tiba muncul dan memberikan warna baru dalam kehidupan rutin Bunga. Mungkin seperti perasaan Tinkerbell tokoh peri dalam  dongeng anak-anak, saat Peter Pan hadir. Namun, cepat-cepat ia tepis pikirannya itu, dan mengingatkan dirinya bahwa ia akan sepenuhnya belajar dari mahasiswa beda fakultas dan Universitas itu. Agar ia mampu menyerap ilmu dari dunia yang berbeda. Benar-benar wanita yang cerdas.
 “Aku siap untuk mengerjakan tugas” ucapnya lirih, lalu melangkah menuju kost teman barunya, Daun. Dengan sengaja tanpa mengirimnya sms terlebih dahulu, bahwa ia akan ketempatnya sepagi ini.

***

Di ruang yang berukuran 4x5 meter, Daun dengan gelisah mempersiapkan tata ruang seindah mungkin, lalu mematut diri agar kelihatan istimewa dan tidak kelihatan lusuh karena mata merahnya akibat semalaman tak mampu memejamkan mata. Fikirannya terus melayang, bersama keindahan taman yang berhiaskan bunga-bunga, melayang bersama rasa yang terus mengusiknya selama dua hari ini.
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hingga lima puluh menit berlalu, Daun gelisah menunggu diruang tamu kosnya. Disamping kanan-kiri terdapat banyak pohon mangga. Juga pohon-pohon pisang. Lurus tempat ia duduk, terdapat pohon belimbing yang buahnya mulai berjatuhan. Tempat yang begitu sejuk, pertanda sang pemilik kost menyukai buah-buahan.
Ia gelisah, sambil menunggu. Ia membolak-balik majalah otomotifnya yang berisi model-model motor, dan segala asesorisnya, karena ia memang begitu menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan motor, sehingga wajar saja kalau ia menjadi tracker yang handal, juara balap diantara teman-temannya  yang sama menyukai track.
Tapi yang ditunggu tidak datang juga, lalu ia menghempaskan tubuhnya di sofa, mencoba mengusir gelisahnya. Berdiri, mondar-mandir lalu duduk lagi,  membuka lembar-lembar yang sebenarnya telah ia selesaikan. Hatinya terus menyimpan kelindan, tak tersa kantuk telah menjamahnya, hingga ia tertidur pulas  disofa.
“Tok-Tok, permisi” Bunga mencoba lagi mengetuk pintu kost Daun setelah tiga kali mengucap salam dan mengetuk namun tak ada tanda-tanda sang pemilik akan membukanya. Lima menit hingga 10 menit Bunga menunggu dengan setia didepan gagang pintu, dan akhirnya,
“Bunga, maaf yah, tadi aku ketiduran”ucap Daun dengan muka malu-malu.
“Iyah, tak mengapa, tadi Bunga mampir kos temen dulu, tapi walau telat masih diperbolehkan masuk kan?” Tanya Bunga yang sedari tadi berdiri. Lalu dengan wajah memerah dan masih tergagap Daun mempersilahkannya masuk.
“Daun, kost mu rapi sekali” basa-basi Bunga mengawali pembicaraan.
Daun hanya tersenyum, lalu mereka mulai membuka buku dan mengerjakan Tugas. Dan sederet demi sederet Daun menjelaskan materi yang diminta Bunga.
“Bunga, jadi deskripsi mengenai teori Rent-Seeking itu teori pilihan publik yang dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu ekonomi klasik kedalam bidang politik.”
“Oh, gitu?” Bunga hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Daun yang begitu tertata,
“Kalau menurutku dalam kasus tersebut, konsep pendapatan (Income) ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente, karena konsep ini sangat penting bagi ilmu ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi dan kelompok kepentingan” panjang lebar Daun menjelaskan.
“Iyah, aku bisa memahami penjelasanmu,” tanggap Bunga, karena memang otaknya lumayan jenius.
“Bunga,” panggil Daun, karena Bunga sibuk sendiri dengan laptopnya, merangkai paragraph-demi paragraph untuk menyelesaikan makalahnya. Lalu Bunga menatapnya, dan tanpa sengaja mereka beradu tatap mata.
Aku memang benar-benar harus mengakui, bahwa mata yang aku  tatap bukanlah mata dari perempuan biasa,” batin Daun,
Daun punya, bahkan sudah menginventaris seluruh jenis perempuan cantik. Tapi sepertinya, ia kali ini harus mempunyai kategori lain. Biasanya, perempuan yang cantik , cantik saja, tidak pintar, dan pintar juga kurang cantik, ia tidak percaya bahwa ada perempuan yang mempunyai keduanya, tapi pagi ini, ia memang harus yakin.
“Daun, kok jadi melamun?” tegur Bunga, sambil tersenyum, memperlihatkan gigi gingsul kecilnya. Semakin menatapnya, Daun semakin mengakui bahwa perempuan yang kini ada di hadapannya memang cantik, ada beberapa tahi lalat yang menghias langsat kulitnya, jerawat mungil menyembul menjadi bintang penghias dagunya yang membuatnya semakin manis.
Lima puluh menit berlalu, akhirnya Bunga menyelesaikan sebagian makalahnya, berkat bantuan Daun.
“Oke, Daun terimakasih yah,” ucap Bunga dengan senyum simpul dan syarat kekaguman,
“Sama-sama, maaf aku tidak bisa membantu banyak,” jawabnya merendah, dan akhirnya mereka pun berpisah, dengan senyum dihati masing-masing, dengan hati Daun yang berbunga. Daun berharap putik-putik yang menghiasinya nanti akan menambah keindahan dunianya. Dunia yang kini diliputi rasa cinta padannya.
























4
    Kekaguman
            


          Hidup Butuh alasan, begitu juga dengan cinta
Hubunganku dengan Bunga semakin erat, berawal dari tugas-tugas yang kita kerjakan bersama atau hanya basa-basi aku menyapanya ketika ia lewat depan kostku, karena aku memang menunggunya. Semenjak itu, aku sering terlibat dalam diskusi seru dengannya tentang banyak hal, entah tentang ekonomi, sastra, ataupun tentang eksistensi Tuhan. Ia juga sering bercerita tentang impian masa kecilnya ingin menjadi penulis seperti kahlil Gibran, dan seperti Robert Langdon dalam film Davinci Kode.
Walaupun berbeda kampus, aku dan Bunga sering bertemu, pada sore hari sehabis ia kuliah. Duduk dibawah rindangnya pohon  di boulevard kampus, atau aku juga sering menemaninya ke gramedia untuk melihat buku-uku baru dan sekedar baca-baca. Sungguh cw yang aneh bagiku, tempat tongkrongannya saja perpus dan gramedia, tidak seperti wanita-wanita yang kukenal dulu, hanya belanja dan belanja, “agar fashionable” begitu kata mereka.
“Bunga, menurutku kamu gadis yang sangat unik, disaat teman-teman berebut model pakaian baru, model rambut baru, kamu masih nyante dengan novel dan buku-buku puisi”
“Hem, karena aku lebih menyukai devinisi  cantik dan aplikasi bahagia pada zaman batu” jawabnya dengan senyum yang syarat  keindahan.
“Aku tak begitu paham dengan maksudmu” tanyaku kebingungan
Lalu ia menjelaskan dengan senyum simpul dan bait kata-kata yang membuatku semakin mengaguminya. Bahwa bahagia adalah ketika kita dapat memenuhi kehendak yang dicintai dan kita bisa mencintai siapa yang harus dicintai. Lalu cantik adalah ketika kita dapat memberi gaun yang indah bagi hati , bukan tubuh, sering sekali kita terlena dan menhghabiskan banyak waktu untuk membuatnya kelihatan menarik, tapi sebenarnya ia tak pernah setia dengan diri kita, karena kalu kita mati, ia akan meninggalkan kita, tapi seandainya kita memberi makan yang lezat dan kesenangan pada hati kita, maka kita adalah sebaik-baik orang, karena ia yang akan mengikuti kita kemanapun kita melangkah.
Ah, Bunga. Gadis itu seperti bidadari bagiku. Kehadiranya mampu menghadirkan kesejukan dan kedamaian dalam diriku yang gersang, ia ibarat lelehan salju yang membekukan magma dalam relung hatiku. Bunga, seperti pujangga cinta yang datang, yang mampu mebelai indah telaga di kalbuku, aku benar-benar jatuh hati padanya
“Aku benar-benar tertarik padanya, dan aku bersumpah untuk mendapatkannya” batin Daun.
Dari balik senyumu merekah, sorot mukamu membuatku terjamah, namun akupun tiada resah karena bunga hatikupun terus meruah, oh andai aku dapat terbang akan kurobek dadamu yang usang, akan kutarik dan kubawa hatimu, akan kubelai, kupatrikan namaku disana, lalu kubasuh hatimu dengan butir ketulusan, agar tiada apapun disana
“Woi, nglamun ajah loe Daun kerjaanya,” suara Rizal bagai petir menyambar memporak-porandakan seisi taman, taman hatinya dalam bayangan.
“Zal, kalau mau ngagetin bilang-bilang dong, jadi aku kan gak shock” protes Daun dengan bersungut-sungut.
“lagiyan elo, ngalamun mulu, kayak gak ada kerjaan saja, diajak konkow sama Andre”
“Ah, males, paling dia mau ngajakin minum, aku kan udah bilang lagi mau menghindari” jawabnya. Lalu rizal tertawa terbahak-bahak, melihat si Dewa botol panas eh nyablak menghindari.
“Gak syaraf kan Daun?” Tanya Rizal,
“Serius” jawabnya, Daun pergi menuju kamarnya. Lalu, terdiam dalam hening, matanya menatap kerlip bintang dalam malam pekat itu. Lalu ia bicara pada bintang-bintang yang  menggantung pada atap langit rindu, dan sapuan angin malam yang sengaja meledek dedaunan.
Ia, laksana cermin dalam resonansi jiwa, yang menggetarkan palung hati hingga keraga, dan meghantarkan kehangatan bara dari bekunya hati sang pengelana, kesetiaan agung pada dera kerinduan, laksana pantai menanti ombak dalam pelukan yang teredam dalamnya kebisuan.
***
                                                              
Daun, meminta waktu pada Bunga. Sedikit memaksa, ia meminta Bunga untuk mencari waktu disela kesibukannya. Ia harus ungkapkan sesuatu yang penting. Perasaan yang membuatnya gelisah, lebih dari sorot pancaran bola mata Bunga yang sempat membuatnya kelindan dimalam hari. Ia ingin menatahkan perasaannya pada Bunga.
Entah, bukannya Bunga tidak tahu akan perasaan ini. Ia dapat menagkap sinyal-sinyal ketertarikan dariku dengan baik. Ia pun sebenarnya jatuh hati padaku saat obrolan pertama kami dulu. Namun, entah mengapa, seakan ada tangan halus yang menahan langkah Bunga untuk lebih  meningkatkan status hubungannya denganku. Setiap jengkal langkah kami seakan menambah satu meter tinggi tembok baja di depan kami. Tapi, aku tetap akan berusaha untuk mendapatkan hatinya dan merebut kehawatirannya, untuk menata hidup denganku. Seperti pagi ini, ketika aku tenggelam dalam bola matanya, saat kita bertemu di taman Kampusku.
“Bunga, aku ingin kita tetap bersama” Daun berkata diiringi sapuan angin yang mengibarkan jilbab pink yang Bunga kenakan, semakin menambah ayu wajahnya.
Bunga tergelak. Ia tahu, itu bahasa kiasan.
“Hey. Ini terlalu tiba-tiba” jawab Bunga, walau ia juga memendam perasaan yang sama. Ada sebentuk kehawatiran yang menyeruak dipalung hatinya. Tapi Daun, tak boleh tahu. Jika ia tahu pasti ia akan menertawakannya dan menganggapnya terlalu mistis terhadap cinta, dan tak mampu menerapkan problem solving teori kecemasan.
“Kenapa Bunga? Apa aku salah?”
“Tidak, kamu tidak salah, hanya untuk saat ini menurutku sudah cukup” Bunga berusaha tak terlihat salah tingkah. Ia mengaduk-aduk jus yang baru saja ia beli di kantin kampus.
“Bunga, aku tak ingin melewatkanmu, aku ingin membuatmu yakin bahwa aku tidak sekedar main-main dengan rasaku” tegas Daun, penuh keyakinan.
Bunga melenguh panjang, Ia pun sebenarnya punya rasa yang sama dengannya. Ia hanya ragu, karena ia masih memegang teguh prinsipnya, takan pernah menyapa cinta sebelum ia merengkuh cita-citanya.
“Bunga, jiwamu telah memeluk jiwaku, jadi aku akan tetap menunggumu” lanjutnya dengan tutur halus. 
Daun melenguh panjang. Menatap Bunga yang tampak acuh atas perasaanya. Gadisnya itu malah mengajaknya berbincang tentang keinginannya berkunjung ke pulau Buru. Melihat dari dekat perempuan jawa yang dulu sempat dijadikan gundik oleh Belanda. Yang ditinggalkan begitu saja, setelah kasus Naghasaki dan Hiroshima. Bunga begitu simpati atas perempuan-perempuan itu, yang barangkali sudah dianggap lenyap oleh keluarga asli mereka. Mereka diperistri oleh penduduk asli. Dipaksa mematuhi dan mengikuti kultur mereka, dan beranak pinak disana. Bahkan perempuan-perempuan itu dilarang menggunakan bahasa Ibu mereka sendiri.
Daun tak menanggapi. Ia tahu, Bunga hanya berusaha Daun tak menanggapi. Ia tahu, Bunga hanya berusaha menutupi gejolak  hatinya. Ia tahu, Bunga sebenarnya tak ingin membicarakan hal itu. Bunga hanya ingin agar Ia lupa pada hal yang baru saja dikatakannya. Lalu, Daun akhirnya menanggapi, bahwa pergi ke pulau Buru bukanlah ide yang cerdas, karena terlalu berbahya.
Bunga mulai merajuk. Lalu ia menatap Daun dengan mata yang syarat keraguan.
“Daun, aku datang kekota Satria ini, hanyalah berbekal mimpi”
          Daun menatap mata bersinar itu, ia hanya mendengarkan cerita mimpi-mimpi Bunga, bahwa Ia ingin seperti Kahlil Gibran, Manusia yang sering disebut pejuang kemanusiaan yang dikaruniai Tuhan dengan kamampuan bahasa tulis yang luar biasa, ia mampu mengolah isu-isu sederhana menjadi sebuah karya yang menarik dibaca. Bunga juga ingin seperti Aminah Qudsy dalam karya harapan cinta dan kematian kahlil Gibran. Wanita yang begitu sabar dan penuh cinta.
          “Bunga, aku mengerti hal itu, aku akan selalu setia menunggumu walau dalam waktu yang lama sekalipun, walau dalam resah dan perjalanan aku menemukan kesulitan ibarat berjalan  samapai ke daerah jantung lautan pasir sekalipun, aku tetap menantimu dengan rasaku, yang akan menciptakan sebongkah istana untukmu” ucap Daun
          Bunga hanya tersenyum kebingungan, lalu mengajakanya pulang dengan alasan ada latihan kepenulisan. Lalu mereka meninggalkan taman kampus itu.
          “Mengapa rasanya langkah kita seperti pergi meningalkan keindahan menuju selubung malam, tanpa menyalakan cahaya dalam tatap mata atau dalam bingkai hati sekecil pun” batin Daun sambil memandang langkah Bunga, yang ia yakin menyimpan seribu rahasia.
***








                                                            5
CINTA DUA MATA

          Tiga bulan telah berlalu. Setelah peristiwa di taman kampus, yang menurutku penuh penantian. Hubunganku dengan Bungapun semakin dekat. Bahkan, walau ia tidak mau menerima rasaku untuk bersatu dengan kesungguhan rasanya, tapi tak membuatnya berubah atau bahkan menjauhiku. Sikapnya yang lemah lembut dan menghargai orang itulah yang membuatku semakin tidak mampu memahami sesuatu tentang kehadirannya, serta ketidak mampuanku untuk menggambarkannya dalam kata-kata duniawi, dia menurutku memang seperti jelmaan bunga dari firdaus-Nya, seperti Bidadari yang tak bersayap.
          Sabtu yang cerah, secerah sambutan keluarga Bunga saat aku sengaja datang kerumahnya. Sebenarnya ini bukanlah kedatanganku untuk pertama kalinya, tapi sudah lebih dari tiga kali aku datang dan menyapa keluarganya. Hingga aku merasa semakin dekat saja dengan mereka.
          Keluarga Bunga adalah keluarga yang bahagia, membuatku miris dan nyeri karena aku telah kehilangan semua itu. Keluarga Bunga adalah keluarga yang taat beragama, pandai bersosialisasi dengan masyarakat, serta keluarga yang dermawan dan gemar menyantuni anak yatim. Yah, itu semua terlihat dari sosok Ibu yang begitu rajin ke masjid walau di sela kesibukan sekalipun, yah keluarga Bunga memang sempurna. Sering aku diajak oleh Ayah Bunga menghadiri acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan Islam, seperti pengajian, bahkan ketika hari jum’at aku datang kerumahnya, Ayahnya selalu mengajaku shalat jum’at. Tapi aku hanya bertahan sebentar dengan keadan seperti itu, walau aku tidak menafikan ada sebongkah kebahagiaan yang bermain di dalamnya. Tapi, aku sudah terlanjur benci pada Tuhan, aku sudah membuang jauh-jauh pikiranku tentang Tuhan, yang menurutku hanya sebuah nama, tanpa bukti yang jelas. Seperti ketika aku butuh pertolongan_Nya Ia selalu acuh. Sehingga aku benar-benar meninggalkan jiwa religiku dan menggadaikan imanku pada langit.
          Ketika, aku berniat meninggalkan Bunga, justru ia jujur kalau ia mencintaiku dan bersedia menjadi bidadari dalam hidupku. Aku tak bisa memilih, antara cinta dan kebencianku pada agama. Sehingga pada suau hari Ibunya mendekatiku.
          “Daun, sini Ibu ingin bicara sama kamu” panggil Ibu Bunga saat aku duduk di ruang tengah dan mengajaku bicara dari hati ke hati di taman belakang.
          “Ya, Bu ada apa?” tanyaku
          Ibu Bunga tersenyum padaku dan mengajaku duduk disebelahnya.
          “Bagaimana hubunganmu dengan Bunga?” tanyanya membuatku bergemuruh tiba-tiba, karena aku sudah menyangka pasti ada beberapa tuntutan yang harus aku penuhi, kembali pada agama, dan mengakui Tuhan. Benar-benar hal yang tak bisa kulakukan karena kebencianku telah melumut pada_Nya.
          Lidahku terasa kelu dan seakan tak mau diajak untuk merangkai kata, sehingga aku hanya tersenyum, senyum yang syarat akan luka masa lalu.
          “Sudah, jangan malu-malu, Ibu juga pernah muda, dan sepertinya Bunga juga sangat suka padamu” lanjut Ibu Bunga dengan senyum keanggunan.
          “Iyah Bu, saya memang sangat mencintainya” jawabku dengan wajah tertunduk. Lalu, kulihat ia tersenyum. Aku tahu lampu hijau telah nyala, namun aku justru semakin ragu untuk melanjutkannya.
          “Ibu, hanya berpesan, jadilah kamu imam yang sempurna untuknya, karena Bunga adalah gadis yang sederhana, dan sangat taat pada Tuhan” mendengar kata-kata itu, kepalaku bagai tersambar petir, hancur dan berantakan, mengapa justru aku mencintai wanita seperti Ibuku dahulu yang begitu taat menjalankan lima waktunya, tapi itu telah berlalu semenjak malam yang kelam itu. Lalu setelah berbicara panjang lebar dengan Ibu Bunga, pembicaraan yang menurutku menjadi pisau pemisah tali antara aku dan Bunga, yang membuatku semakin nanar, lalu aku pamit untuk pulang.
          Dalam perjalanan menembus malam, tak henti-hentinya aku memutar isi kepalaku untuk mencerna sejernih mungkin permintaan Ibu Bunga. Aku memang begitu mencintai Bunga, bahkan melebihi hidupku untuk saat ini. karena ia, taman hatiku yang sempat gersang tersiram kembali. Namun, aku juga tak kuasa menerima permintaan Ibunya, bahwa aku harus bisa seperti mereka. Kenapa di dunia ini harus ada agama.
          “Bukankah jika kita tidak memandang berbagai agama itu, kita akan mendapati diri kita bersatu dan menikmati kepercayaan dalam rangkuman persaudaraan” batinku gundah. Lalu, dengan jiwa kelindan aku menerobos malam.         
***


6
Convertation

         
          Terdiam merenung sendu,  bersenandung rindu, terbayang perjalanan waktu sebuah kisah masa lalu, tak ada lagi nyanyian surga, tak ada lagi pelipur lara, tak ada lagi dalam jiwa, hanya ada bintang yang merengek pada malam penuh derita, hanya ada langit yang berceceran nanah luka, seakan membisik, inilah nafas kehidupanku.
          “Woi, Daun, kenapa kamu hanya melamun saja, tidak ingin latihan? Eh balap di sirkuit kenjeran Surabaya tinggal sebentar lagi, mana semangatmu” suara Kak Rai membuyarkan rangkaian fikirku.
          Kak Rai adalah salah satu Rider terhebat diantara kita, ia begitu menggilai olahraga dari Eropa yang  diciptakan oleh Ayrton Senna itu. Ia yang selalu mengajari kami latihan dan menjadi pompa semangat dikala kami tidak minat latihan atau kebanyakan main-main saja. Menurutnya, olahraga termasuk balap motor adalah suatu yang harus diawalai dengan kesungguhan. Ia adalah seorang pembalap yang begitu handal. Beberapa perlombaan seperti Road Racing, Circuit Racing, Classic Racing, Motokross telah ia ikuti hingga kini salah satu keinginannya yang belum terpenuhi mengikuti Trial Motor.
          Selain menjadi pelatih kami, Kak Rai juga menjadi tempat keluh-kesah kawan-kawanku. Begitu pula denganku.
          “Engga, Kak, aku hanya sedang menatap langit saja” jawabku ngasal saat ia menegurku sedang bengong,
          “Kamu ini kenapa Daun?” tanyanya penasaran, mungkin bisa membaca setiap kedip mataku yang  syarat kesedihan , dan tatapanku yang kosong.
          “Ok. Kalau tidak apa-apa ayo mulai latihan, kasihan motormu dicuekin” lanjut Ka Rai, lalu aku bangun dari tempatku duduk dan menuju motor Yamaha Jupiter  Z 2009 yang akan aku pakai  untuk balap Road race di sirkuit kenjeran Surabaya nanti.
          Motor itu, hasil permintaanku pada Ayahku enam bulan lalu, setelah sebelumnya aku memakai motor kelas MP4 atau Bebek 4-Tak Tune Up 110CC pemula.  yang harganya tidak cukup jauh, namun karena model yang sudah lewat dan tergantikan model itu, aku langsung meminta ganti. Alasan utamaku memilih model baru itu karena aku begitu menyukai sepesifikasi teknisnya, dengan Karburator, mikuni sudco 24MM. Noken as, custom durasi 227 derajat. Knalpot, YY Pang, Piston, TDr 52MM, CDI Rextor Xtreme, Ban depan FDR 215.60x17 dan belakang 250.60x17. Benar-benar sempurna fikirku. Itupun harus dengan perjuangan panjang, berantem dengan ibu dan terpaksa harus minggat dari rumah. Bertengkar dan membuka kepingan masa lalu. Tapi aku tak bisa apa-apa, Karena dengan minum, menelan pil serta bercumbu dengan wanita serta track menjadi pelengkapnya, terasa bermakna kehidupanku. Tangan -tangan belaian Ibu sudah tak berarti lagi, sabdanya bagai suara lalat yang membisingkan telingaku.
          “Glubrak”
          “Kak Rai, Daun terjatuh,” teriak Rizal, yang memang ia lawan balapku sore ini. Lalu ia berlari seusai memarkir motornya di dekat tempatku terkapar.
            “Daun, kau tidak apa-apa?” Tanya Kak Rai panik.
Aku hanya menggeleng, karena menahan pusing dan perih di lenganku. Sebenarnya luka itu tidak seberapa karena luka di hatikulah yang menyebabkan aku tidak konsentrasi dan membuat pandanganku kabur. Lalu Rizal memapahku ke Gravel Gor Satria. Aku mencoba mengatur nafas. Sirkulasi oksigen yang masuk secara perlahan memulihkan stamina, tetapi aku tidak meneruskan latihan, hanya duduk di pinggir dan melihat Ka Rai dan kawan-kawan lain latihan hingga selesai. Aku sedang membereskan Wearpack, dan Racing Glove ketika Ka Rai datang mendekatiku.
          “Ka Rai,” aku tersenyum, sambil memegangi lengan tanganku yang masih sakit.
          “Daun, lain kali hati-hati” Ka Rai, mengajaku bicara dan memberi isyarat dengan jemarinya agar aku mengikutinya duduk. Ka Rai,  selain pelatih motor kami yang paling hebat, dia juga orang yang paling akrab denganku dan Rizal. Ia selalu mengajari kami tehnik balap motor yang seportif dan menghargai lawan, menghindari curang dan mematikan lawan dengan cara yang  tidak seharusnya.
          “Daun, Hidup itu seperti Racing Line” ucapnya, aku mencoba mendengarkan dengan seksama dan sedikit bisa mencerna maksud Kak Rai bahwa jika seseorang Rider mampu melewati jalur balap dengan sempurna dan hati-hati, serta tidak terlena di Hairpin circuit dan mampu menyeimbangkan berapa kecepatan yang harus ia ambil dalam menempuh Racing Line dan hairpin,   pasti Ia akan menjadi pemenang dan Rider yang sesunggunhnya. Begitu pula dengan manusia, jika ia mampu menghadapi setiap liku dalam perjalannya, menghindari setiap lubang dan mampu menyeimbangkan gerak tubuhnya ketika ia akan belok, maka ia akan sampai pada tujuan terakhirnya, dengan indah.
          “Ayo, semangatlah Daun, Ingat Racing Is in your Blood” ucapnya. Aku hanya diam dan tak berani menantap matanya.
          “Pertandingan ke Sirkuit Kenjeran Surabaya  tinggal sebentar lagi, mana semangatmu, akhir-akhir ini kamu begitu terlihat kaku mengendalikan motormu dan menyeimbangkan tubuhmu,” lanjut kak Rai, aku masih diam, karena sebenarnya aku malu sampai ditegur seperti itu. Kak Rai begitu perhatian, dan begitu bangga padaku. Aku tahu, walaupun tidak pernah secara lisan kak Rai memujiku, tapi aku adalah salah satu Rider kebanggaannya, itu terlihat setiap ada even aku selalu yang menjadi pilihan utamanya
          “Maafkan Aku, ka” jawabku lirih.
“Ceritakan padaku, sebenarnya ada apa di hatimu, sampai kamu lemah begini” tanyanya dengan muka serius.
          “Ka, walaupun aku cukup mahir dalam melintasi hairpin, u- turn, tapi aku juga manusia yang justru kadang tak mampu menguasai kelokan arah hati” jawabku,
          “Tapi kamu bisa melakukan hal itu, manusia yang bijaksanalah yang mampu mengarahkan hatinya hendak kemana, serta akal yang sehat untuk mengikuti arah hati dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya, agar apa yang ia terima menjadi logis untuk di syukuri atau menjadi bahan instropeksi untuk dirinya”
          “Daun, sebenarnya apa yang sedang berkecamuk dalam hati dan pikiranmu adalah cobaan untuk menunjukan eksistensimu sebagai manusia seutuhnya, coba katakan apa yang tidak bisa kau hadapi dan tidak mampu kau cerna dengan akal sehat dan hatimu?” kak Rai mencoba menatap lurus bola mataku, aku tercekat  tak kuasa membalas tatapan matanya. Tiba-tiba tetrlintas wajah Bunga dalam pikiranku .
          “Kak Rai, seberapa besarkah kesempatan orang bisa memilih dalam hidupnya?”
          “Maksudmu?”
          “Apakah kita bisa memilih dari rahim sipakah kita dilahirkan, dari manakah asal kita, serupawan apa wajah kita, lalu secerdas apakah otak kita, lalu siapakah yang akan di persalahkan dalam pengaturan ini kak? Jika memang Tuhan punya rencana yang memang tidak kita inginkan dapatkah kita menawar segala keputusannya?”
          Kak Rai  lama terdiam, mencoba mencerna arah fikiran Rider andalannya.
          “Apakah ikan pernah hidup di darat?”
          Aku terdiam, tidak mengerti arah perkataan Kak Rai.
          “Daun, pernahkah kamu melihat gunung protes ketika ia diciptakan harus menyimpan lahar yang dapat membunuh manusia dan merusak lahannya? apa kamu pernah melihat hujan keluar dari bumi lalu menyirami langit? Ikan, hujan, matahari, angin dan langit serta semua yang ada di semseta ini setia pada hakikatnya. Matahari tidak pernah  protes, mengapa harus menerangi bumi setiap hari, mengapa bulan harus muncul ketika gelap, mengapa bintang harus menjadi penghias malam, mereka tidak pernah protes, mereka senantiasa setia pada hakikatnya. Begitu juga dirimu, Daun, kamu diciptakan dengan segala takdir-takdirmu. Dirimu sebagai manusia bukannya tidak mempunyai hak memilih, bahkan, hidupmu sendiri pada hakikatnya adalah pilihan.”
          Aku manggut-manggut mendengarkan penejelasan kak Rai. Sedikit memahami. Ia memang benar bahwa hidup ini memanglah merupakan sebuah pilihan antara baik dan buruk,  antara jalan Tuhan dan jalan syetan, antara surga dan neraka, antara ya atau tidak, antara maju atau mundur, bahkan menurutnya hidup adalah kumpulan proses memilih.
          “Tidak ada yang salah dengan hidup kita, seandainya kita dilahirkan dengan  buta, tuli atau cacat fisik lainnya, bahkan dilahirkan dari rahim seorang pelacur sekalipun, kita tidak boleh menyalahkan hidup. Hidup tidak pernah salah. Justru ketika kita berfikir hidup kita salah, disitulah letak kesalahan hidup, selalu menyalahkan dan menyalahkan”
          Aku masih menyimak, mencoba menguraikan satu persatu ucapan kak Rai yang begitu bijaksana, sehingga tidak salah ia menjadi panutan diantara kita.
          “Matamu menyimpan cerita yang berujung kegundahan Daun, tidak ada yang bisa menolongmu, kecuali keyakinan dalam hatimu sendiri, bahwa semua akan bisa diatasi”    
          “Justru saat ini kak, hati saya tak punya keyakinan dan kemantapan. Semua telah limbung sejak malam itu hingga hari ini, apakah selamanya hati bisa dijadikan sebagai panutan, apakah suara hati yang paling benar, ataukah hati selalu menyediakan jawaban atas sebuah kegundahan, atau, bahkan justru sebaliknya hati adalah pusat persoalan hidup kita?”
          “Daun, perlu kau ingat, sebuah perkara akan menjadi mudah hanya dengan seulas senyum dari orang yang hatinya bersih serta biasa menghiasinya dengan kejujuran, karena hati kitalah yang menjadi cerminan diri kita. Layaknya sebuah cermin, jika setiap hari kau bersihkan dengan tishu basah yang harum dan membuatnya mengkilap, ia akan memberikan pantulan yang bening dan bersih, tapi jika kamu biarkan ia berkarat dan kotor, ia akan memberikan pantulan yang buram. Tinggal kamu yang memilih, akan membersihkan dan menjaga hatimu atau membiarkan berkarat”
          “Tapi kak, bagaimana cara menjaganya agar tetap bening dan tidak berkarat?”tanyaku kebingungan.
          “Daun, Daun, darah yang mengaliri tubuhmu memang masih muda dan menggelora,” jawab kak Rai dengan tawa kecil sambil menepuk-nepuk bahuku.
          “Ikhlas dan bersukur, serta jangan pernah biarkan ada tempat-tempat gelap dalam perjalananmu, sebab cahaya telah tersedia tinggal kamu bisa menyalakannya pelita itu atau tidak, serta bisa memasukanya kedalam hati atau tidak sehingga hatimu senantiasa bersinar dan memantulkan kesetiap inci tubuhmu, terutama kedalam fikiranmu”
          Aku semakin pusing, rasa di dalam dadaku semakin menggelayut dan menyesakan dada. Hubunganku dengan Bunga semakin dekat. Aku semakin merasa tersiksa, pada setiap momen pertemuanku dengannya, aku sungguh ingin mendekapnya dan mencium keningnya, dan berbisik ditelingannya, meyakinkan hatinya, bahwa jiwaku telah benar-benar memeluk jiwanya, tapi lagi-lagi benar-benar aku tak bisa, selalu ada sekat yang menghalangiku.
          Salahkah aku, mencintai gadis yang benar-benar suci, salahkah aku jika harus bertentangan dengan keyakinannya, membenci apa yang ia cintai dan ia yakini, bukankah cinta yang mendatangi manusia dalam kenyataan, jauh lebih mulia dari pada kearifan yang tersimpan di sudut-sudut tempat peribadatan.
          “Kenapa cinta dan benci bermain-main dalam jiwaku, yang hanya manusia biasa?” tanyaku dalam hati, bimbang haruskah aku menyalahkan diriku sendiri ataukah menyalahkan masa laluku yang membuatku membenci Tuhan, benar-benar membenci-Nya. Lalu aku pamit pada Kak Rai, karena memang hari sudah sore, dan langit mulai gelap, sebentar lagi akan turun hujan.
          Aku memandang kiri-kanan jalanan, hanya sepintas karena selain sedang naik motor aku juga benar-benar tidak fokus dengan apa yang ada dihadapanku, memang  kondisi yang tidak baik untuk mengemudi apappun termasuk membawa motor, resiko kecelakaan hampir 80%, tapi aku tak peduli yang ingin segera aku lakukan adalah sampai dikost dan segera mandi lalu berkumpul dengan kawan-kawan untuk menikmati sebatang rokok.
          “Hai Riki, apakah Rizal belum pulang?”sapaku pada salah satu kawan kostku, walau tidak terlalu akrab, tetapi aku tetap harus menyapanya demi menjaga hubungan baik dengan kawan walau hanya sebatas Say hallo merupakan ungkapan yang sangat penting untuk menunjukan penghargaan untuk menganggap  orang lain.
          “Rizal sudah pulang kok 30m enit yang lalu, katanya kamu kecelakaan?” tanyanya,
          “Ah, tidak apa-apa, hanya luka kecil, biasa lama tak mencium Racing Line, jadi darahku kangen” hehehe jawabku dengan lagak sok humor, sebenarnya hanya untuk menghibur diri sendiri. Lalu aku menuju kamarku dan bergegas membersihkan penatku sore ini, sebelum kemudian menghampiri Rizal.
          “Zal, ada rencana nongkrong gak malam ini?”
          “Ada, Zaki ngajakin kita ke atas, katanya banyak barang baru neh?” jawab Rizal, lalu aku tak banyak bertanya lagi, karena memang aku sudah paham kemana arah pembicaraannya, ke atas, berarti ke  Puri Baturaden dan akhirnya menyusuri Gank Sadar, tempat faforit Zaki dan kita semua, minum sepuasnya serta membelai daging mulus wanita, serta menikmati desahan-desahan manjanya dimalam larut nanti,  hanya dengan modal 40 ribu hingga 60 ribu, penginapan kelas melati, terpuaskan semalaman suntuk menghangatkan badan. Cukuplah bagi kita mahasiswa yang hidup di kost.  Setelah kita semua puas dengan botol panas yang membuat kita melayang.
          Sebenarnya aku sudah bosan dengan hidup seperti itu, sejak SMP aku sudah akrab dengan hal semacam itu, tapi apa boleh buat, tak ada yang mampu menyelesaikan rasa hancurnya hatiku, serta gelisah dan keringnya ladang jiwaku. Karena memang setelah malam itu, dunia sudah tak memberikan kedamaian lagi.
          “Ok, nanti kita jam 9 berangkat” jawabku semangat.
***















                                                                  7
                                                         Kidung Cinta dalam Kenangan


Tak kenal Maka Tak sayang, Sudah kenal  Tinggal kenangan
          Malam minggu, seperti biasa Purwokerto ramai dengan gadis-gadis dan pasanganya, berjalan bergandengan tangan, naik motor dengan berpelukan dan saling bermanjaan, begitu pula malam minggu yang merubah aroma dan suasana   Gor Satria yang biasa  dipakai untuk latihan balap motor, karate, silat, dan berlatih basket di sore hari, tergantikan cumbu rayu, suara lirih-lirih yang manja, serta berakhir dengan hubungan seksual jika matahari telah benar-benar terbenam dengan mega merahnya.
          Begitu pula ketika aku sengaja melewati jalan yang terkenal dengan daerah terminal lama, walau tujuanku sebenarnya untuk ke Baturaden, tapi aku sedikit ingin menyegarkan mata terlebih dahulu, terlihat laki-laki yang berparas ayu, menggunakan gincu, dan bedak sebagai pelengkapnya, serta sepasang baju yang menurutnya membuatnya cantik seperti perempuan pada umumnya, sungguh membuatku ingin tertawa,
          Tapi aku tak pernah tahu, bahwa malam ini adalah malam terakhirku untuk benar-benar tertawa dengan lepasnya, andai aku tahu, aku takan pernah melakukan hal bodoh ini lagi, hingga aku benar-benar harus kehilangan penyejuk sebagian jiwaku.
          Malam ini, Aku mabok dengan senangnya dipinggir jalan dengan kawan-kawan. Kawan yang menurutku mempunyai rasa sakit yang tak tertahankan sama seperti sakit dalam jiwaku, kawan yang benar-benar merasa kesepian ditengah keramaian sepertiku. Kawan yang benar-benar merasa kehilangan jiwanya, serta tak tahu lagi bagaimana membuat bahagia serta mencari makna bahagia, tiba-tiba ada sosok yang begitu membuatku bagai kejatuhan bulan, bagai merasakan terhatam batu  berukuran berat satu ton yang membuat kepala hancur dan membuat tubuhku remuk sampai tak mampu mengeluarkan darah lagi, karena  sudah tak lagi bisa merasakan sakit, tapi amat sakit hingga tak sadarkan diri.
          “Kenapa, kamu harus memegang botol yang seharusnya tidak pantas seorang mahasiswa sentuh, mengapa kamu duduk dalam kegelapan dan lingkar syaitan seperti ini, yang seharusnya kamu memikirkan bagaiman kamu membuat angka dilembaran-lemabaran yang menjadi kebanggaanmu untuk mencapai tiga sampai empat?” ucapnya dengan bhibir bergetar dan mata meleleh.
          “Maafkan aku, aku memang tak sepantasnya seperti ini di hadapanmu” ucapku dengan badan lemas dan hampir limbung tak lagi mampu merasakan angin malam, semua terasa berputar.
          Lalu, ia pergi dan tak berkata apa-apa, hanya lelehan butir mutiara yang mengisyaratkan kekecewaan yang mendalam. Kecewa terhadap seseorang yang menurutnya menciptakan surga tapi justru menjadi jahanam baginya. Malam yang benar-benar tak mampu menunjukan kuningnya rembulan. Aku hancur untuk kedua kalinya. untuk memperoleh penyejuk jiwaku, aku hancur dengan segenap kebodohanku.
***
          “Sudahlah Bunga, anggap saja dia Daun Sore bagimu, Daun yang benar-benar tak pernah berwarna hijau tapi justru Daun yang telah kering, dan sebentar lagi akan gugur terkena angin. Daun yang benar-benar layu” nasihat Aina, sahabatku, yang malam ini bersamaku mengikuti pelatihan di Baturaden. Sebenarnya, awalnya aku benar-benar tak begitu berminat mengikuti latihan kepenulisan ini, tapi ternyata Tuhan punya rencana lain, Ia benar-benar membuka mata dan menunjukan jalan untuku.
          “Aku, hanya tidak pernah menyangka, kenapa justru aku harus jatuh cinta terhadap orang yang salah, orang yang memang benar-benar tak pantas menjadi pemimpin bagi kaum hawa, seseorang yang tak mampu menyempurnakan sholatnya serta tak mampu mentadzaburi Al-Qur’an, bahwa bersentuhan dengan wanita yang bukan mukhrimnya, serta menyentuh suatu yang memabukan adalah haram” sesalku dengan air mata. Aku benar-benar menjadi wanita yang tak mampu menjadi hambanya yang sempurna, serta tak mampu menjaga mataku dari yang indah, yang jutsru menyesakanku dan mengurangi imanku.
          “Tuhan itu, mengingatkan hambanya dengan berbagai cara Bunga, sudahlah tak perlu menyesal, ingat orang yang terlalu larut dalam penyesalan justru akan menjadi kawan syaitan karena ia tak pernah memikirkan bahwa ia harus memperbaiki dirinya” lanjut Aina, karena dia memang salah satu sahabatku yang bijaksana.
          Tiba-tiba hpku berdering tanda sms masuk,
          Bukan aku tak menghargaimu Bunga Asterku, tapi aku memang justru tak mampu menghargai jasadku sendiri, aku adalah Daun yang kering sebelum aku mengenalmu, walau sempat menghijau karna putikmu yang bermekaran, maafkan aku yang memang sudah tak mampu merasakan sentuhan batinku sendiri hingga aku harus membawamu ke liang penderitaanku, suatu saat akan kurangkulkan segala deritaku agar kau tahu, hidupku selalu berkalang duka, hanya satu yang aku persembahkan padamu kata cintaku yang belum sempat aku buktikan, karena teduhnya matamu dan anggunnya jilbabmu telah terpatri dalam jiwaku, mengalir bersama darahku”
          Tak terasa lelehan butir-butir kristal menghiasi pipinya yang mulus,  kekecewaan malam ini membuatnya terpuruk, merasa menjadi manusia paling bodoh, merasa tak tak tahu apa-apa. Ia lupa pada seluruh pengetahuannya, ia lupa pada seluruh capaian-capaiannya, dan prestasinya. Ya, Ia lupa. Ia hanya tahu bahwa ia memang pantas terpuruk dan lemah.
          Hatinya berucap lirih, inikah hidup? Inikah cinta? Inikah rasa? Ia tak tahu siapa yang harus dipersalahkan. Hatinya semakin sakit, ia terlanjur mencintai Daun. Daun yang sebelumnya, menurutnya seperti sosok malaikat, tidak seperti malam ini, Daun benar telah-telah kering dan hampir tertutup senja yang merangkak malam. Ia menangis seirama gerimis yang turun perlahan. Tersedu. Rasa kehilangan yang tak pernah ia kehendaki. Hatinya brontak, memekik memanggil nama Tuhan, ingin menagih pada Tuhan. Mana kebahagiaan yang ia janjikan?
          “Aina, andai aku dapat memutar malam, akan aku putar malam ini, lalu akan aku buang saja, kugantikan dengan malam-malam lain yang hanya ada rembulan dan bintang keindahan” ucapku pada Aina, sambil menatap gerimis yang mengetuk jendela.
          Aina hanya tersenyum, mencoba memahami perasaan Bunga yang hancur.
          “Sudahlah, pejamkan saja matamu malam ini, persiapkan jiwamu menyambut pagi yang indah, dan rangkai kembali mimpi-mimpimu bersama pena itu, lalu kejarlah sampai kamu mampu tersenyum dengan penamu” ucap Aina, mengingatkan Bunga pada satu mimpinya menjadi penulis.
          Lalu Bunga beranjak tidur, bersama rasa sakit yang sepertinya akan merenggut sebagian hidup dan harapannya lalu merobek hati. Namun ia yakin esok akan lebih indah bersama pagi yang cerah, dan malam ini menjadi kenangan yang takan pernah terbuang.

          Gerimis perlahan membasahi tatapanku
          Sebaris bintang merangkak redup
          Menyamarkan temram kemilaunya
          Pekat mencekat jiwa
          Hening mengiris sembilu
          Tak perlu disalahkan,
          Dewa rembulan yang bertahtakan malam berhak bermuram durja
          Lihatlah wahai angin malam…
          Ada sudut penyimpan seonggok hati yang tak berdaya
          Mulai lelah memekik lalu memeberontak
          Hanya berkawan satwa malam
          Perih aroma luka merajut kesadaran
          Jurang antara aku dan kamu,
          Tercipta diantara lentera pucuk-pucuk mala keindahan
          Bersama dingin dan angin malam Puri indah Baturaden,
          Karenanya,
          Biarkanlah, Dewa rembulan tetap bermuram durja
          Meratapi ketidak berdayaan cinta ini
          Cinta terakhir dan berakhir di Batur yang tinggi

***

          Hujan turun pagi ini, menawarkan aroma tanah basah yang khas. Menciptakan hawa dingin. Lalu menggelitik sum-sum memenuhi setiap rongga dengan air.
          Langkahnya melemah, bersama hujan dan payung yang melindunginya saat melewati pelataran rumahnya. Bunga-bunga tanaman Ibunya bagai layu ditatap matanya. Empat hari ia berada di Baturaden, untuk mengikuti pelatihan menulis serasa bagai sebulan. Berbagai pengalaman Ia dapat, begitu  pula dengan rasa sakit yang menampar hatinya semalam lalu. Malam terakhirnya, yang ia harap menjadi kenangan bersama kawan-kawan barunya. Tetapi malamnya punya cerita lain.
          Matanya yang basah oleh air mata, membuat langit semakin gelap terselimuti awan hitam. Ia ingin segera bertemu Ibu, hingga tak sadar akan sapaan pembantunya, yang sedang membersihkan teras yang kotor akibat percikan air hujan. Ibu keluar dan menyapanya dengan hangat, semakin deras air mata yang keluar dari matanya.
          “Bunga, ada apa, kok pulang pelatihan malah nangis?” Tanya Ibu sambil merangkul pundaknya. Dan berteriak meminta tolong kepada pembantunya untuk segera menyiapkan air hangat untuk mandi.
          Ia semakin tersedu, tak tahan menahan lara dalam hati, akibat tamparan malam lalu. Ibu merangkulnya ke kamar. Lukisan lautan berhiaskan karang-karang yang tergantung di ruang tamu terlihat masih sangat indah. Andai saja ia seperti batu karang disana, ia takan pernah menangis karena terpaan dahsyatnya ombak lautan, dan ia akan tetap setia menjadi penghias tepi pantai. Tapi ia hanya perempuan biasa.
          Ia benamkan kepalanya di pangkuan Ibu, hingga pakaian yang Ibu kenakan basah oleh air matanya.
          “Ada apa, peri kecilku?” Tanya Ibu dengan panggilan sayangnya pada Bunga. Karena memang Bunga senantiasa seperti peri kecilnya, manja tapi mandiri, lemah lembut, walau kadang-kadang banyak maunya, namun ia tetap wanita remaja yang bsangat baik dan mempunyai tutur yang sopan.
          Bunga terdiam. Ia takut untuk mengadukan kekalahannya pada Ibu. Seharusnya dari awal ia selalu mendengar nasihat Ibu, hati-hati memilih kawan dekat, dan lebih baik berkawan dengan orang yang mampu mengajarkan sesuatu yang memang Bunga belum tahu. Karena akan lebih bermanfaat. Karena menurut Ibu, sebaik-baik manusia adalah yang mampu memberi manfaat bagi alam sekitar, dan manusia sekiatrnya.
          “Ibu, mimpiku kalah oleh rasaku”ucap Bunga lirih.
          Ibu mengernyitkan alis. Tak begitu paham dengan maksud Bunga. Tatapan mata Ibu yang dalam tak mampu lagi membuat Bunga tidak mengadu. Lalu, ditengah isakannya, mengalirlah cerita dari mulutnya. Tentang peristiwa tadi malam. Tentang Daun yang hancur, tentang Bunga yang sakit.
          Ibunya tertegun. Ingin marah pada peri kecilnya. Ingin marah pada Daun, dan kebohongannya. Namun, Ibu menyembunyikan amarah itu, karena tak ingin menambah beban di hati peri kecilnya itu.
          “Kamu hebat Bunga,”ucap Ibunya sambil membelai rambut Bunga karena jilbabnya telah Ia lepas.
          “Tidak Bu, Bunga bodoh, Bunga tidak seharusnya dekat dengan lelaki bejat seperti Daun”cerca Bunga pada dirinya. Karena ia begitu menyesal harus dekat dengan lelaki seperti Daun.
          “Sudah, tidak boleh seperti itu, lapangkanlah hatimu, mengadulah pada Tuhan, karena disanalah sebaik-baik tempat kamu menangis. Sekarang sembuhkan lukamu, bangkitlah. Cintamu pada Daun tak harus kamu binasakan. Biarkan ia tumbuh di hatimu, dan jika datang waktu yang tepat berikan pada orang lain yang juga kamu tepat untuknya” lanjut Ibu, lalu Bunga bangkit dan mandi dan berniat langsung mengadu pada Tuhannya.
  ***
         
          Bunga baru menyadari, bahwa ia terlalu lama berkutat pada pusara hatinya. Terlalu lama urusan hati merampas tenaga yang seharusnya ia gunakan untuk memeluk mimpinya. Cintanya pada Daun telah membuatnya terlena.
          Kata-kata yang awalnya hanya untuk menghibur diri, tiba-tiba membuatnya semangat.
          “Ibu sayang kamu, Bunga. Ibu selalu berdoa semoga lukamu cepat sembuh”
          Bunga memeluk Ibunya, harta yang paling berharga yang ia miliki, tempat pengusir gelisahnya dan menghapus air matanya. Ibu ladang surga baginya.
          “Ingat Bunga, setiap musibah yang datang pada kita adalah penasihat terbaik” lanjut Ibu, menasihati putrinya.
          Jemari halus Ibu membelai wajah Bunga yang cantik. Terus menasihati bahwa kepahitan dan sakitnya luka adalah tergantung pada perasaan tempat kita meletakannya. Jadi, ketika merasa sakit dan terluka, hanya satu obatnya, lapangkan dada dan ikhlas menerima semua itu.
          “Hatimu, adalah pemeran utama Bunga” lanjut Ibu. Bunga lalu menatap Ibu dan memcoba mencari makna dalam ucapannya.
          Kini Bunga mengerti, bahwa hatinya adalah wadah setia peristiwa, dan perasaannya  adalah tempatnya. Kalbunya tempat memanampung semuanya. Jadi jika ia menjadikan kalbunya sempit seperti gelas, akan selalu sedikit mampu menampung air dan tumpah jika terlalu berlebih, tapi jika membuat hatinya luas sepreti telaga, maka tidak akan keruh karena debu dan selalu segar terasa. Lalu Bunga tersenyum kembali.
***

          Sementara itu, di kamarnya yang sepi berwaktu-waktu Daun tenggelam dalam kegundahan. Dalam perasaan yang tak menentu. Semenjak bertemu Bunga dalam keadaan mabuk. Ia merasa sangat malu, telah mengotori hati bidadarinya. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Ia tak mampu menyalahkan perasaannya pada Bunga. Ia hanya benci pada masa lalunya yang membuatnya seperti ini. Benci pada semua malam setelah malam itu.
          “Bunga, tak ada hari-hari yang indah semenjak aku mengenalmu di sore yang berbeda itu, berhiaskan cintamu dan rasaku. Sungguh, tiada yang menyakitkan, kecuali setelah malam-malam aku ditinggalkanmu dan cintamu dengan nistaku” batin Daun, dengan tersiksa.
          Wahai engkau penghias taman hatiku, andai engkau tahu, dibelakang cinta yang pernah terucap padamu, ada sebuah hati yang kesepian, ada jiwa yang menganga karena luka yang tak mau kering lalu tersiram air garam. Berbentuk seperti awan yang aneh, yang selalu mengharap dengan sia-sia pembalut jiwanya dalam jiwamu. Di balik gelapnya ruh jiwaku, ingin ku hantarkan maaf pada sucinya kalbumu” message send, tertera di hp Daun, dan tertuju pada ponsel Bunga. Lalu Daun menuju tempat tidurnya dan membaringkan raga yang hanya tinggal raga yang  ia punya, tanpa ruh ia rasa,
          Angin, biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwaku telah kosong kecuali hanya satu pengisinya. Ruh wewangian Bunga yang telah engkau tiupkan padaku. Dan biarkan aku istirahat, karena batin ini telah lelah bersama siang dan malam.  Dan biarkan aku terlelap dalam ranjang ini, karena kedua bola mataku telah lelah menatap morgana.
***
Senin yang sepoi, matahari tak begitu menyengat. Bunga masih tenggelam dengan novelnya. Duduk sendiri di Bolevard kampus, sambil menikmati angin-angin kecil yang menggelitik hatinya. Novel The alchemist karya Paulo Coelho, telah sampai halaman 112 Ia baca, namun kali ini ia tak begitu bisa mengikuti jalan ceritanya, lima halaman ia bolak-balik. Namun ia masih merasa kesusahan untuk mencerna novel petualangan dan perjuangan seorang  gembala dari Andalusia, Spanyol itu.
          “Membaca novel itu juga perlu konsentrasi” suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu, dan tiba-tiba duduk di dekatnya, membuat Bunga tercekat.
          “Siapa yang menyuruhmu datang kesini?” Tanya Bunga sinis. Bunga benar-benar tak ingin lagi bertemu dengan laki-laki yang sekarang sangat di bencinnya itu.
          “Aku hanya ingin minta maaf padamu Bunga, salahku tak pernah jujur dari awal, kalau akau adalah sosok laki-laki yang hancur”
          Bunga masih diam bahkan membuang pandangannya ke arah lain. Karena ia takut, jika ia menatap laki-laki yang pernah menjadi tambatan hatinya itu, matanya akan meleh. Bunga tidak ingin terlihat lemah dimatanya.
          “Aku tahu Bunga, kita memang sangat berbeda, dari sisi manapun”
          “Aku memang wanita yang tidak tahu dunia, Daun. Tapi mengapa kamu justru mempermainkan perasaanku?” Tanya Bunga lirih. Sambil mengingat perlakuan Daun padanya sebelum malam itu. Awalnya Ia tak ingin mempercayai cerita yang Ia dengar dari teman-teman kepenulisan yang kebetulan satu kampus dengan Daun. Bahwa Daun adalah seorang pemabuk, pecinta wanita, seorang yang arogan dan suka track motor, jarang masuk kuliah dan pernah sekali ngedrugs hingga tak sadarkan diri, lalu dua kali masuk penjara, karena kasus narkoba.
“Bunga, aku sangat mencintaimu”ucap Daun malam itu,
          “Iyah, Bunga tahu, karena Bunga juga Punya rasa yang sama” jawab Bunga lembut.
          Lalu tiba-tiba Daun mendekati Bunga dan hendak meraih tangannya lalu mencium keningnya. Namun, Bunga berhasil menghindar.
          “Daun, caramu mengungkapkan cinta belum sepenuhnya tepat” kilah Bunga, lalu Daun minta maaf. Semenjak itu rasa ragu mencuat dari hati Bunga dan juga Daun.
          “Maafkan Aku, Bunga,? Jawabnya lemas, berikan aku kesempatan sekali lagi, akan aku perbaiki semua” Pintanya memelas.
          Namun, Bunga menolak. Karena Bunga terlanjur sakit hati, serta tak mampu menyatukan perbedaan yang menjadi sekat mereka.
          “Kenapa Bunga? Kau meragukanku tak mampu menjadi Imam?” Tanya Daun dengan tegas. Bunga masih terdiam. Lalu Daun melanjutkan lagi.
          “Aku tahu,  Bunga. Aku sadar atas resiko yang akan kuterima. Kamu dan keluargamu memang seorang religious, tak seperti aku yang telah meninggalkan semua. Tapi, apa aku salah menyayangimu Bunga? Salahkah aku jika mencintaimu dan bermimpi menjadikanmu pelabuhan terakhir pencarianku?”
          “Seandainya cinta bisa memilih. Aku takan memilih dirimu, yang jelas aku tak pantas untukmu. Yang berbeda keyakinan denganku sekarang. Yang memang tak punya agama sebagai panutan hidup. Seandainya rasa cinta ini bisa diatur, aku akan mengaturnya Bunga. Tapi rasa ini tumbuh tanpa aku minta. Ia adalah janin suci yang tumbuh dalam hatiku dan aku tak mampu memggugurkannya. Maafkan aku Bunga, yang telah mencintaimu dan membuatmu mengenal jalan hidupku”
          Bunga kali ini benar-benar meneteskan air mata. Sepoi angin sebagai saksi kejujuran mereka berdua. Bunga sedih karena ia tak mampu menahan rasa sakit, karena sebenarnya ia juga sangat mencintai Daun. karena Daun adalah lelaki pertama yang masuk dalam hatinya. Tapi justru membuatnya sadar, bahwa ia telah salah melabuhkan cintanya.
          “Daun, kamu tahu? Bunga pun sangat sayang padamu, tapi kita berbeda, pemahaman, keyakinan, dan cara menghargai Tuhan”
“Bunga, Aku tahu. Tapi, apa kita tidak bisa mencobanya?”
          “Mencoba untuk apa Daun? semua sudah jelas,” suara Bunga terdengar parau.
          “Daun, kadang kita harus mencoba memendam dan mengorbankan perasaan untuk sesuatu yang bagi kita sulit kita pahami”
          “Bunga, izinkan aku mencintaimu. Jika laki-laki yang beragama dan taat seperti kamu dan keluargamu yang kamu cari, aku ikhlas untuk kembali pada jalan itu. Jalan yang sebenarnya sangat aku benci. Tapi demi dirimu. Biarkan aku membentangkan sayap cinta yang ada di jiwaku untuk menyatu dengan jiwamu” pinta Daun.
          “Daun, aku tidak suka dengan ucapanmu” seru Bunga, dengan wajah yang memerah.
          Daun terperangah, karena ia tidak menyadari kesalahan dari ucapannya.
          “Kamu ingin kembali pada Tuhan hanya karena aku, Daun?” selidiknya.
          “Em, tidak Bunga, maksudku, akupun sekarang sama sekali tak mempunyai keyakinan. Tak berpihak pada agama manapun. Hatiku gersang, Bunga. Namun, hadirnya dirimu dalam mataku, mampu menghidupkan hatiku yang pernah mati, mampu menyirami ladang jiwaku yang hampir tandus. Aku bukan kembali pada Islam karena dirimu, tapi aku hanya ingin bersamamu, Bunga. Untuk selamanya. Samapai kita tak mampu menatap langit, hingga kita sampai di pembaringan terakhir” Daun mencoba menjelaskan.
          “Daun, aku memang sangat menyayangimu, Aku juga bangga denganmu, hidup berkawan miras, dan dunia malam, tapi otakmu mampu menghantarkan pada nilai-nilai yang pantas kamu banggakan. Namun, agama bukan Tuhan semata, Daun. Bukan masalah dosa atau pahala, neraka atau surga. Kau hendak sholat atau tidak, tapi agama adalah kebutuhan, Daun.”
          Daun masih belum mampu menangkap arah pembicaraan Bunga. Lalu Bunga melanjutkan.
          “Sebenarnya, manusialah yang membutuhkan agama. Bukan agama yang butuh manusia. Karena manusia tanpa agama takan pernah menemukan kebenaran. Yang aku maksud adalah bukan agama Kristen, Islam, hindhu, Budha, maupun katolik. Tapi, agama secara umumnya. Aku percaya manusia sangat membutuhkan agama dalam menjalani hidupnya. Seperti keluargaku butuh Islam sebagai lentera kegelapan dalam hidup ini, sebagai pengantar menemukan kebenaran yang hakiki. Paling tidak seperti kamu Daun, setelah kejuaraan track kamu dapat, setelah materi berlimpah dan setelah separuh kesenangan dunia kamu dapatkan sekarang ini. Pada saat semua telah berpihak padamu, tapi ternyata jiwamu gersang dan kosong. Kamu, hidup diatas dendam masa lalumu. Sampai kapanpun kamu tidak pernah akan maju menjadi manusia. Hidupmu hanya dihiasi amarah. Bukankah kau masih yakin pada mimpi-mimpimu menjadi salah satu petinggi di Negara ini? Jika hanya masalah seperti ini kamu kalah, kamu takan pernah dianggap di dunia ini sebagai pejuang kehidupan, untuk mimpi saja kamu butuh keyakinan, apalagi untuk hidupmu, keyakinan apa yang akan kamu anut?”
          Daun masih menunduk mendengar penjelasan Bunga.
          “Daun, coba kamu lihat, seberapa lamakah manuisa mampu hidup di bulan? Apa yang terjadi pada manusia itu, jika manusia itu kehabisan bekal oksigen yang ia bawa dari bumi, maka ia akan mati sia-sia diatas sana. Sama seperti kita dan agama, Daun. Agama adalah bumi, dan manusia sebagai penghuninya. Kamu butuh bumi tempatmu berpijak dan tempatmu bernafas, walau bumi tak butuh adanya kamu. Seperti kamu butuh agama sebagai tempatmu hidup, walau agama tak membutuhkanmu untuk mengisinya.  Manusialah yang butuh bumi dan segala oksigen serta segala tetek bengek yang ada di dalamnya. Bukan bumi yang membutuhkanmu” Suara Bunga terdengar parau.
          “Lantas, aku harus bagaimana Bunga? Aku sudah bosan bahkan muak dengan agama. Aku benci dengan agama yang selalu mengikatku dengan segala aturan, membuatku kerdil karena berkutat pada hukum-hukumnya. Toh, agama, tak pernah memberiku kontribusi apapun, apalagi kebahagiaan dan ketenangan! Justru pada saat dulu aku benar-benar menundukan jiwa dan kalbuku pada_Nya, apa yang aku dapat? Hanya kenistaan dan kehancuran semata. Apa yang itu kamu sebut manusia butuh bumi sebagai pijakan, dan manusia butuh agama sebagai lentera?” jawabku mencoba memprotes.
          “Fikiranmu terlalu sempit memandang suatu problem Daun!, masalah menderita atau tidaknya hidup manusia, kaya, maupun miskin, cantik ataupun buruk rupa, bahkan pintar atau bodoh, itu hanyalah cobaan. Tanda sebagai roda kehidupan masih berputar di dunia ini. Bukan masalah manusia beragama atau tidak. Karena agama hanyalah sebagai penolongmu, pengantarmu memilih jalan mana, lenteramu dalam kegelapan perjalananmu, serta penuntunmu memilih mana yang sebaiknya atau mana yang tidak seharusnya. Karena agama bagai tongkat berpegang, bahkan sebagai penuntun. Tapi, jika kau tidak berkeyakinan, siapakah yang akan menuntunmu, apakah yang akan menjadi tempatmu berpegang dan mengarahkanmu? Selamanya jiwamu akan kosong dan gelap, serta tak ada jalan bagimu keluar dari kegelapan itu”
          Aku hanya diam, ingin rasanya aku menjerit atas ketidak setujuanku dengan semua pemikiran Bunga. Tapi itu hanya sia-sia. Karena akupun sudah tak punya argument apa-apa. Akhirnya aku hanya diam dan menunduk lemas, tak kuasa lagi mataku memandang mata Bunga. Terlalu berdosa jika aku memandang mata itu lagi. Terlalu suci bagiku.
          “Daun, aku memang tidak tahu seutuhnya, seberapa gersang hatimu, tapi aku hanya ingin katakan padamu, bahwa pahitnya hidupmu tak lebih seperti serbuk pahit, yang jika kamu tuangkan dalam gelas akan kamu rasakan pahit yang begitu dahsyat, tapi jika kamu tuangkan dalam sebuah telaga maka tidak akan merubah sedikitpun warna dan rasanya. Begitu pula seperti hatimu, jika kau menjadikannya sepert gelas, maka kau akan merasakan pahit yang tak berkesudahan. Namun, jika hatimu luas seperti telaga, ia akan mampu menampung kepahitan tersebut dan merubahnya menjadi kesegaran serta jauh dari warna keruh, dan mendekatkanmu dalam kedamain” lanjut Bunga, dengan lembut.
          Lidahku beriak hampa, tak sanggup lagi aku mengulum senyum. Terkunci dan terasingkan dalam diriku sendiri. Hanya itu yang aku rasakan detik itu juga.
          “Aku mungkin terlalu terlihat Naif di matamu, terlau mencintaimu, karena memang kamu adam yang pertama hadir mengenalkanku pada rasa dan menghargai rasa, tapi jalanku tak mungkin bersatu dengan jalanmu. Raihlah bahagiamu, temukan yang belum kau tahu. Karena kemuliaan hanya akan diberikan pada mereka yang bersabar” ucapnya, sambil pergi meninggalkanku dalam kebisuan dan keterasingan di boulevard kampus yang kini tak terasa rindang lagi untukku.
***
         
          Celah mataku terbuka sedikit. Bola matahari. Keemasan. Sejauh pandang mata hanyalah warna jingga. Rasa kantuk masih terasa, matakupun terasa berat terbuka. Sisa-sisa tangis tadi malam membekas menyebabkan bengkak kantung mataku. Boneka berby yang berjajar terta rapi bersama figura yang membingkai kenanganku bersama Aina saat mengikuti ospek pertama kali masuk kuliah dulu, saat berjalan mendaki gunung saat kita masih sama-sama mengikuti kegiatan PA (Pencinta Alam), terasa terulang kembali kebahagiaan saat itu, walau hanya dalam gambar.
          “Selamat pagi, Nona Bunga” sapa Aina, ketika melihatku menggeliat dalam ranjang kamarnya yang terbungkus bad cover ungu muda. Sudah dua malam, semenjak aku bertemu Daun di boulevard kampus, aku menginap di Kost Aina. Selain tempatnya terjangkau dari kampus juga alasan aku tak pulang pada Ibu adalah pemadatan jadwal kuliah menjelang semester. Sebenarnya bukan itu alasan utamaku. Aku ingin bersama sahabatku, saat ak sedang kalut seperti ini, tak ingin membebani Ibu dengan ketidak dewasaanku atas nama kehilangan.
          “Pagi juga, Aina” jawabku dengan mata setengah tertutup. Kantung mataku tak mau kompromi denganku pagi itu, mungkin terlalu lelah menjadi saksi atas sedihku semalam suntuk, hingga mengalirlah air, mungkin tanda terlalu panas dan tak kuat menahan magma yang menggumpal dalam hati.
          “Bunga, hpmu berkali-kali berdering tadi pagi, kayaknya Daun panik mencarimu” lanjut Aina.
          Lalu kuraih hpku yang tergeletak dekat rak buku, dan ternyata 5 misscall, dari Daun. Berpuluh-puluh tanya di hatiku, ada apalagi dia menghubungiku, seharusnya dia mengerti apa yang kita bicarakan kemarin dan benar-benar pergi dari kehidupanku.
          “Kenapa, Bunga, malah melamun?” tegur Aina keheranan.
          “Kenapa, Daun masih mencariku Aina, seharusnya dia mengerti apa yang kuinginkan” keluhku pada Aina. Sembari ku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlhu, untuk menyambut matahari Dzuha. Dan sempat kulirik Aina hanya tersenyum, tanda membenarkan langkahku untuk mengadukan pada Tuhan terlebih dahulu. Karena  guru agamaku saat di SMP dulu pernah mengatakan, sebaik-baik manusia diwaktu pagi adalah bersyukur pada Tuhan dan mengawali harinya atas nama Tuhan serta menutup malamnya atas nama Tuhan, serta mengadu setiap inci kehidupannya hanyalah pada Tuhan. Karena disanalah sebaik-baik tempat tersenyum dan menangis.
          Pernah aku meragukan hal itu, bukankah Tuhan maha melihat dan mendengar. Mengapa harus kita mengadu dan meminta? Tapi itulah hakikat manusia diberi anggota tubuh yang lengkap serta berbagai macam bahasa yang indah. Hingga kita boleh bertanya sepuas hati kita pada Tuhan sebab Tuhan telah menciptakan banyak pintu ke arah kebenaran yang dibukanya untuk setiap manusia yang mengetuknya dengan jari iman.
          Lantunan shalawat dan pujian telah kupanjatkan dan kutitipkan bersama angin dari timur dan sinar matahari yang menuju barat. Kupinta pada Tuhan untuk membukakan pintu yang menuju kebenaran dan kebaikan itu, lalu kupandang sajadah yang kugelar, fikirku melayang bersama doa yang tak pernah putus kulantunkan pagi itu.
          Tuhan, Engkaulah Maha Suci, yang memiliki segenap waktuku, hidupku dan seluruh taqdirku, Engkau Maha mencintai dan pemberi cinta. Tapi kenapa Tuhan, dikala Engkau tumbuhkan ranting cinta di hatiku, tiba-tiba kau uji imanku, dengan Kau patahkan ranting itu, Kau ganti dengan kegelapan. Haruskah aku menjadi lentera diantara kegelapan itu, ataukah aku harus lari dari kegelapan itu dan membunuh cintaku? aku tak kuasa dengan urusan hati, hanya engkau pemberi dan pencabut cinta itu Tuhan.dimanakah cinta yang Kau janjikan kepada hamba_Mu yang beriman? Aku menantinya”
          Bulir-bulir air mata mengalir. Membasahi pipi merah meronanya.Tak mampu Bunga menahan rasa sesak di dadanya.  Lalu ia memejamkan mata dan mencoba mencari secercah sinar yang akan menuntunnya.
          Setelah puas ia mengadu pada yang Maha Memilikinya, lalu ia pergi menyambut harinya di Kampus. Dalam perjalanan ia hanya terdiam. Mendung pagi itu, seakan mengamini kesedihannya.
          “Sudahlah, Bunga. Ingat mimpimu ketika pertama kali kamu datang ke Purwokerto” ucap Aina, yang berjalan beriringan bersamaku.
          Mimpi. Lima kata itu, tiba-tiba menyengat kulit ariku. Menjadi kebangganan Ibu dan menarikan pena diatas kertas, merangkai bait-bait yang penuh makna dan pemahaman dari orang lain. Itulah keinginanku sejak kecil. Menjadi penulis. Tapi seminggu yang lalu aku telah lupa dengan hal itu. Aku juga telah terlena akan cinta yang sebenarnya bukan mengantarkanku pada cinta yang hakiki. Aku benar-benar telah lupa. Bahwa mencintai seseorang yang terpenting adalah agamanya. Aku lupa dengan sosok imam dambaan setiap kaum hawa.
           Seperti Imam Syafi.i. Seseorang yang mau dinikahkan dengan wanita yang buta, tuli dan tak mengerti apa-apa. Tapi, justru maha dahsyat kehenndak Tuhan, wanita itu adalah wanita yabng teramat cantik. Imam yang tak pernah mengagungkan cinta pada manusia semata. Aku benar-benar merasa menjadi hamba yang paling ingkar hari itu.
          “Aku, begitu bodoh Aina. Aku terlena dengan penyakit hati dan morgana semata”
          “Sudahlah, jangan menyesali apa yang terjadi. Bila ingin maju dan bahagia. Tinggalkan dan lupakanlah masa lalumu yang menurutmu buruk. Kejarlah masa depanmu dan mimpimu dengan semangat bahwa engkau mampu menjadi lentera setelah kegelepan menyapa”
          Aina sungguh bijak. Dialah sahabatku satu-satunya yang kuanggap seperti saudara. Sahabat yang selalu membelaku dikala aku benar dan mengatakan sekaligus mengingatkanku dikala akau salah. Sahabat yang tak hanya datang dikala aku tersenyum namun sahabat yang selalu datang dan menyediakan bahunya untuku bersandar.
          Lalu Aina melanjutkan ucapannya dengan mengingatkanku pada salah satu sahabat Nabi yang pernah melakukan kesalahan. Umar Bin Khatab, seorang sahabat yang dikenal begitu kejam dan keras. Dialah satu-satunya sahabat yang berani mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Tapi sekarang tak ada satu mulut di muka bumi ini yang mencelannya kecuali ia adalah pemimpin yang adail dan dicintai rakyatnya. Itu semua terjadi karena Ia tak ingin larut dalam masa lalunya yang kelam dan jahiliyah. Dan ia mengubahnya menjadi kenangan yang kini terpatri dalam fikiran manusia yaitu dengan kebaikan. Dan terakhir kata Aina yang menyejukan jwaku. Bahwa kita mampu seperti Umar jika kita mempunyai kemauan dan mempunyai semangat yang tinggi.
          “Bunga, mari kita satukan niat kita, berbahagia dan mulailah hidup baru dengan langkah kebaikan” lalu aku menyambut uluran tangan Aina, tangan yang menurutku mengajaku bersama-sama meraih surga. Lalu kami berjalan bergandengan tangan dan siap memasuki gerbang Universitas kami.

***




















8
                            Petuah Tentang Cinta


          Sajak-sajak kehidupanku terus melangkah. Seperti matahari timur yang menciptakan mega kuning di sore hari. Seperti kapas yang berterbangan terbawa angin, entah kemana tak dapat ditebak. Mungkin tetap beterbangan semakin tinggi hingga menyampai gumpalan kemukus yang memutih hingga menggumpal dan serupa tanah hingga turun barisan air yang siap menggempur bumi. Dan menciptakan Pelangi yamg indah. Dan membuat bahagia anak-anak yang melihatnya.
          Bahagi. Seperti yang aku rasakan saat ini. Mungkin tidak hanya aku. Karena sesungguhnya bahagia adalah dambaan setiap orang yang masih berakal sehat. Kadangkala mereka berjuang mendapatkan tujuh abjad itu. Walaupun setiap kepala mendevinisikan bahagia berbeda-beda.
          Mahasiswa pada umumnya yang mendapatkan nilai A berjajar hingga mendapatkan IPK cumlaude itulah bahagia. Seorang pujangga yang sanggup merangkai puisi dengan makna dan tutur bahasa yang indah itulah bahagia. Dan seorang penulis yang mampu berfikir dengan cinta dan menuangkannya dengan segala perasaan, dihiasi seni dan membuat orang takjub dan terbuai akan karyanya itulah bahagia yang penuh makna.
          Seorang kekasih yang dapat membuat pasangannya tersenyum dan mengatakan bahwa ia begitu mencintainya, itulah kebahagian yang paripurna. Dan seorang presiden sekalipun yang dapat mengentaskan kemiskinan di Negaranya itulah kebahagian diatas cita-cita yang tercapai.
          Disisi lain ada seseorang yang percaya bahwa bahagia adalah mensyukuri atas apa yang ia terima baik berupa penderitaan atau rizki sekalipun. Bahkan seorang sufi seperti Syeh Siti Jenar, ketika dapat menyatu dengan Tuhan itulah kebahagian yang hakiki. Disisi lain,  ada yang mencapai kurva bahagia itu dengan tertatih-tatih, dengan mengisi otaknya dengan berbagai revrensi buku, bahkan dengan mengikuti Life Motivation dari orang-orang bijak.
          Begitu banyak definisi bahagia. Karena bahagia sesungguhnya adalah cahaya yang bersembunyi dibalik bayangan kita sendiri. Ibarat air dan udara. Semau orang boleh memilikinya, kaya, miskin, jelek, cantik bahkan tunanetra sekalipun karena bahagia adalah rasa yang sebenarnya mampu kita ciptakan sendiri. Bukan orang-orang yang hidup mewah, bisa berfoya-foya dan harta melimpah. Tapi bahagia adalah dalam diri kita sendiri. Maka dari itu, kita harus mengerahkan semua upaya untuk menggali kebahagiaan yang tersimpan jauh dalam diri kita. Bahkan cara sederhana yang paling mudah menggali dan mencarinya adalah diperlukanya orang-orang yang mencari dan menggalinya bersedia bahagia.
          Seperti hari ini, aku mencoba merangkai bahagiaku bersama angin sore di kampus. Mataku lurus menatap lembaran-lambaran Daun beringin yang bergoyang, bercanda bersama burung-burung yang berterbangan diantaranya.  Terasa begitu ringan fikiranku, setelah 2 minggu berlalu tenggelam dalam materi kuliah. Tenggelam dalam ilmu ekonomi.
          Ilmu yang dikembangkan Adam Smith semenjak abad 18 lalu. Dimulai dari karya besarnya Wealth Of Nations, ia mulai mencari tahu perkemabngan Negara-negara Eropa. Secara garis besar, perkembangan aliran pemikiran ekonomi diawali oleh apa yang disebut aliran ekonomi klasik. Yang menekankan adanya invisible hand dalam pembagian sumber daya. Sehingga intervensi pemerintah sangat dibatasi karena hanya akan mengganggu.  Konsep Invisible hand, kemudian dipresentasikan sebagai mekanisme pasar melalui harga sebagai instrument utamanya.
          Selain pemikiran Adam Smith, otaku masih dipusingkan dengan pemikiran-pemikiran Keynes setelah tahun 1930 aliran klasik mengalami kegagalan akibat  pasar tidak mampu bereaksi terhadap gejolak di pasar saham, Ia mengajukan  teori  yang  terangkum dalam karyanya yang berjudul General Theory Of Employment, Interest and Money, bahwa pasar tidak selamanyamenciptakan keseimbangan, lalu intervensi pemerintah sangat diperlukan agar distribusi sumber daya mencapai sasarnnya. 
          Aliran-aliran yang muncul setelah keduanya yaitu New Classical, Neo Klasik, New Keynes, Monetarians hingga pertentangan dari karl Marx, Fried Engels, serta aliran institusional yang pertama kali dikembangkan oleh Thorstein Veblen dan kemudian oleh peraih Nobel Douglass C. North. Yang  membuatku terpaksa ketika aku sampai di rumah harus kubuka lagi dan kubaca ulang-ulang, hingga sampai lupa pada yang namamnya makan. Demi nilai yang membanggakan Ibu.
          Langkah kuayunkan menuju kantin faforitku, biasanya mahasiswa menyebutnya Kafe M2N “Murah Meriah And Nikmat” di kafe tersebut selain tersedia makanan yang enak serta lezat, harga juga terjangkau yang membuat para mahasiswa sepertiku tidak merogoh saku terlalu dalam. Aku menatap kanan kiri penuh dengan Mahasiswa yang begitu menjunjung tinggi prinsip selera kos harga bos sedang bersantai dan menikmati hidangan mereka. Dunia kampus memang tidak pernah sepi, siang maupun malam. Tetap ada saja kegiatan yang dilakukan, benar-benar Agent Of Change pikirku.
          Akhirnya, aku menemukan tempat yang sangat setrategis. Bangku di pojok kantin menurutku tempat yang sangat tepat untuku sore ini. Selain   ingin mengisi perutku yang meraungt-raung sejak tadi siang, aku juga berniat mengerjakan tugas Akuntansi yang harus dikumpulkan pada saat semesteran. Tapi aku buru-buru mengerjakannya. Karena materi yang baru diberikan dikelas tidak akan bertahan lama otak mengingatnya dan seringkali  mengalami kesusahan jika dalam jangka waktu 3 jam sampai lima jam kita tidak mencoba mengulanginnya lagi.
          Akuntansi sebenarnya membuatku pusing sekali. Karena selain harus teliti terhadap jajaran angka nol hingga 9, aku harus benar-benar menguras fikiranku karena lagi-lagi aku harus tenggelam dalam teori-teori yang menuntut peningkatan kuliatas laporan keuangan. Mulai dari siklus akuntansi perusahaan Dagang, , HPP,  penyusunan Nerca Saldo, hingga posting dan Jurnal penutup, hah terlebih analisis laporan keuangan yang membuat mataku kadang tak sempat untuk berkedip.                                                                                         
          Ketika makanan secara lahap kusantap dan tanganku mulai menari mengerjakan soal-soal terkait pembukuan jurnal penyesuaian ke buku besar, tiba-tiba ada suara yang begitu kenal, menyapaku. Membuatku terperanjat kaget dan memacu andrenalinku dua kali lipat hingga makanan yang baru saja dicerna dalam perutku harus cepat-cepat menggantikan tenaga yang hilang.
          “Bunga, aku sengaja mencarimu, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu” ucapnya dengan lembut. Kelembutan itulah yang selalu membuatku tersiksa, karena kelembutan nada suaranya, aku benar-benar terlena dalam penilaian sementaraku, bahwa ia adalah laki-laki yang baik. Tidak suka kekerasan dan mengerti bahasa perasaan.
          “Apalagi yang hendak kamu katakan? Semua sudah selesai,” jawabku, dengan nada lirih. Karena pertemuan itu, benar-benar pertemuan yang tak kuinginkan. Setelah hampir sebulan, aku mengusir namanya dari fikiranku ia datang lagi, dan terpaksa setelah ini, pasti aku mengingatnya.
          “Bunga, aku memang tidak pernah jujur padamu, kalau aku adalah sang pemabuk, pengonsumsi pil ekstasi bahkan aku penikmat wanita, aku mengingkari adanya Tuhan,  tapi aku tidak pernah bohong bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan segenap kesadaranku” jawab Daun, yang membuatku tiba-tiba melehkan air panas dari mataku. Lalu memerah hingga terisak .
          “Bunga, aku memang salah, tapi jangan siksa aku dengan diamu, dengan langkahmu yang semakin menjauhiku, kamu boleh menamparku, bahkan membawaku kepenjara, tapi pliss aku tak bisa membendung rasa ini, aku siap melakukan apa saja demi kita tetap bersama”
          “Entahlah” jawabku dengan terbata-bata.
          “Aku juga tidak yakin sampai kapan aku dapat benar-benar mampu melupakanmu, karena kamu memang benar-benar yang pertama, yang mengenalkanku pada dunia  yang mampu mengikat dua hati, pada dunia yang mengajarkanku bagaimana mengerti orang yang kita cintai dan memahaminya atas dasar cinta. Tapi aku benar-benar tak mampu menerima alasanmu, untuk kembali pada Islam hanya karena ingin bersamaku, itu cara yang tidak adil, dan membuatku menghianati Tuhan. Bukankah agama yang pada akhirnya harus berkutat dengan aturan-aturan adalah hal yang sama sekali tak dapat kamu yakini?” jawabku.
          Suasana hening menyelimuti kita berdua, penghuni kantin sore itu sudah tidak terlalu ramai seperti saat aku datang 1 jam lalu.
          “Oh, jadi karena itu alasanmu Bunga, apa kamu pernah tahu sejauh mana sebenarnya dengan keyakinanku, dengan yang kurasakan selama ini, dengan yang kupendam hingga selalu membuatku tersiksa dan berujung pada minuman keras ssebagai obat pelupaku terhadap rasa nyeri itu, tapi aku sadar betul dengan apa yang aku ucapkan, dengan apa yang akan kulakukan demi kamu, Bunga”
          Aku terperanjat dengan jawabannya. Disisi lain membuatku begitu bahagia karena dia begitu mencintaiku, dia rela melakukan apa saja demi orang yang ia cintai. Tapi disisi lain aku begitu kasihan mengapa jika ia ingin kembali pada Tuhannya, yang pernah ia hianati harus karena aku. Sungguh cara yang picik menurutku, karena bukan karena hidayah yang sebenarnya, tapi karena nafsunya semata terhadap wanita. Aku yakin cintanya pada Tuhan pada akhirnya tidak akan pernah sempurna. Karena sebaik-baik cinta pada Tuhannya adalah cinta yang berlipat-lipat melebihi cintanya pada manusia. Karena manusia hanya sebagai instrument saja.  Tidak seperti sore ini, kenyataan yang benar-benar ada dihadapanku.
          “Kesadaranmu, ucapanmu, dan semua logika yang kamu agungkan membuatku sangat kecewa Daun” jawabku. Karena rasa cinta baik untuk manusia dan terlebih untuk Agama adalah cinta yang tak dapat didevinisikan dengan logika semata, dan dapat dIbuktikan dengan nalar manusia. Padahal separuh dari agama adalah sesuatu yang tak kasat mata, apalagi cinta terhadap Tuhan adalah cinta yang tak dapat didevinisikan dengan kata dan bahasa apapun karena cinta pada Tuhan adalah cinta yang Ghaib, cinta yang bisa dirasa dan diyakini sepenuhnya, cinta yang irasional  yang justru akan menundukan rasional, bukan rasional yang menundukan hati. Dan pada akhirnya, akan jelas terlihat bahwa otak manusia begitu terbatas, karena hatilah yang sepenuhnya berperan.
          Cinta memang seperti cahaya. Tapi cinta pada Tuhan melalui agama tidaklah sebatas cahaya yang dapat didefinisikan. Seperti Renne Descrates mendevinisikan cahaya melalui teori Implusnnya, atau teori partikel cahaya yang diungkap oleh Newton bahkan Teori gelombang cahaya yang dijelaskan Huygens, Young- Frensel, dan teori Maxwell melalui Elektromagnetik cahaya. Tapi cinta  seperti cahaya pada Tuhan adalah cinta yang benar-benar dikaruniakan Tuhan melalui Nur Muhamad. Nabi yang mengakhiri Zaman ini. Cahaya itu, hanya terdapat pada hati orang yang benar-benar dikehendakinnya, bukan berdasarkan teori logika semata.
          “Bunga, kenapa kamu tidak memberiku kesempatan membuktikan rasaku ini padamu?”
          ‘Tidak perlu kamu buktikan Daun, aku bisa melihat kesungguhan rasamu melalui tatapanmu, tapi aku benar-benar tidak bisa menerima semua alasanmu, rupanya kamu belum paham apa yang aku maksudkan dan yang aku inginkan” jawabku.
          Suasana kantin semakin sepi hanya beberapa meja yang terisi, karena memang jam sudah menunjukan pukul lima sore.
          “Daun, seandainya aku menjadi wanita yang tidak begitu mengagungkan Islam dan hanya menjadi manusi kebanyakan saat ini, Islamnya hanya tertera pada KTP, apa kamu akan melakukan seperti yang kamu lakukan sore ini, memaksakan diri untuk kembali pada agam Islam yang pernah kamu rengkuh itu” tanyaku menyelidik’
          Daun gelagapan dengan pertanyan itu, kerongkongannya terasa kering secara tiba-tiba, bingung memikirkan jawaban apa yang hendak ia berikan pada Bunga, karena ia sendiri tak yakin dengan apa yang ada dihatinya tentang agama dan Tuhan. Yang ada dalam fikirannya hanyalah Tuhan tidak adil dan pembawa petaka. Islam hanyalah teori dan janji. Sehingga ketika Ia mengalami penderitaan tak ada bukti nyata atas uluran tangan cinta Tuhan sedikitpun.
          “Aku juga tidak yakin akan hal itu Bunga” akhirnya Daun jujur karena memang aku tidak punya jawaban lain selain itu.  Terlihat gurat-gurat kekecewaan di wajahnya.
          “Pliss, Bunga kembalilah kepadaku, jangan kamu permasalahkan lagi tentang keyakinan itu. Aku yakin padamu, aku juga punya mimpi denganmu, aku juga yakin dengan kekuatan mimpi dan keyakinanku denganmu, lambat-laun aku akan mengikutimu”
          “Aku sungguh tidak bisa merajut itu kembali denganmu, mungkin disisi lain aku sangat hancur karena aku tak bisa bersamamu. Tapi disatu sisi lain lagi aku merasa bahagia, karena atas kejadian semua ini aku mampu mempertahankan cintaku pada Tuhan yang harus lebih besar dari pada cintaku terhadap ciptaan_Nya. Karena aku ingin mencintai manusia dengan cinta_Nya”
          Jawaban Bunga membuat Daun terkulai, serasa dua kali kehilangan orang yang benar-benar ia cintai. 
          “Bunga, aku ingin menunjukan sesuatu padamu, aku janji setelah ini, aku tak akan datang lagi padamu” pinta Daun
          “Baiklah,”
          “Besok jam Sembilan, aku tunggu kamu di depan kampus” lalu Daun pergi meninggalkan Bunga yang terdiam dan tak bergerak laksana patung batu pualam. Rasa penasaran menggelayuti fikirannya.
***
          Malam meyelimuti segenap udara di Purwokerto. Diikuti hiasan rintik air turun diatas hamparan jalan, taman dan atap-atap. Rintik gerimis itu melukiskan mirisnya perasaan yang gundah, hingga bertambahnya detik membukit menjadi kebimbangan yang tiada tara.  Awan hitam yang bergelantungan diatap langit mengguratkan garis-garis tajam perasaanya yang kalut. Suara petir yang tiba-tiba terdengar meningkahi gemuruh hatinya, dan meminta segala penyelesaian dan jawaban yang indah.
          “Daun, dari mana saja baru kelihatan”sapa Rizal, ketika Daun membuka Pintu kost, dengan badan yang basah kuyup, muka kusam dan mata yang menyiratkan kesedihan serta keputus asaan.
          Tidak tahan dengan dingin yang menyelimuti tubuhnya, Daun langsung menuju kamarnya dan tak sempat menjawab pertanyan Rizal. Langsung ia lucuti pakaian yang bercampur air itu, ia ganti dengan yang kering, terasa sedikit hangat tubuhnya. Lalu ia pandang bingkai di pojok meja kamarnya. Gambar yang tak berlatar seperti bidadari dalam dongeng. Balutan jilbab ungu muda yang membuatnya tambah ayu, membuat Daun semakin tak kuasa lama-lama memandangnya. Waktu tiga bulan, memang waktu yang sangat singkat untuk mengenal wanita dan bicara cinta. Biasanya, diwaktu-waktu seperti itu, masih dalam tahap adaptasi mencari kecocokan. Namun, lain dengan yang dirasakan Daun kali ini.
          Berpuluh-puluh wanita yang pernah singgah dalam cerita hidupnya, hanyalah menjadi pelengkap sasaran penderitaan yang ia rasakan selama ini, tidak berbeda dengan  mabuk dan pil ekstasi yang dianggapnya menenangkan. Tapi apa yang ia rasakan terhadap Bunga lain. Begitu membuatnya bangkit dari tidur panjang setelah peristiwa yang membuatnya hancur. Membuat dirinya mengenal apa arti bahagia untuk orang yang ia cintai. Begitu berharga Bunga dengan segala lemah lembut yang ia miliki. Syarat akan wanita sempurna. Pikrnya.
          Lalu Daun mendekati Rizal yang masih asyik dengan majalah otomotifnya.
          “Zal, apa kamu benar-benar percaya bahwa Tuhan benar-benar ada?” tanyaku sambil mendaratkan tubuhku disampingnya.
          “Hahaha, tumben kowe iki nanyane sok Religious, kesambet syetan mana?” jawabnya meledekku.
          ‘Aku serius”
          “Daun, walaupun aku ini hanya Islam KTP, tidak pernah Shalat. Puasa apalagi menginjakan kaki di masjid, paling Cuma satu tahun sekali ketika hari Raya Idul fitri, itu juga karena aku tidak enak pada Ibuku. Tapi aku tetap percaya bahwa Tuhan benar-benar ada”
          “Alah, kamu ini sok banget Zal”
          “Ealah, koe dasar Bocah ndableg, gak percaya dengan ucapanku” lanjut rizal.
          “Daun, aku pernah dengar cerita dari salah satu ustadzku, ketika aku kecil dulu, bahwa raja Firaun yang mengaku Tuhan pun ketika hampir mati tenggelam ditengah lautan ia memanggil nama Tuhan. Apalagi kita sebenarnya yang manusia biasa” lanjut Rizal
          “Hem, gak mutu banget dweh kamu, gak nyadar neh, raja mabok, raja seks bebas, raja pil ekstasi, berbicara kematian dan butuh Tuhan” ejek Daun sambil tersenyum lebar yang mendekati tertawa.
          Lalu Daun, menceritakan kebimbangannya belakangan ini. Kebimbangan antara dendamnya dengan taqdir Tuhan serta dengan cintanya pada Bunga.
          “Huff, Daun, kamu tidak bisa Egois seperti itu, kamu tidak bisa menyandingkan cintamu pada Bunga dengan kembali pada keyakinan yang pernah kau tinggalkan, dua hal yang benar-benar tidak bisa kamu jadikan sejalan” argument Rizal.
          “Aku, juga bingung dengan keputusanku sendiri, sebenarnya aku tidak bermaksud mendalihkan nama Tuhan dan keyakinanku untuk mendapatkan cintaku, tetapi, aku sendiri kini pun bimbang, sudah lebih dari empat tahun aku tidak menghadirkan nama Tuhan di hatiku, yang sekarang aku rasakan hanyalah aku cinta pada Bunga dan aku membutuhkannya sebagai penopang masa depanku” tegasku. Namun Rizal tidak menjawab, mungkin ia juga bingung apa yang harus ia komentari. lalu ia msuk kekamarnya dan mengambil buku yang berjudul “Antara Cinta dan Keyakinan
          “Ini, Bro. kamu baca, siapa tahu ada setitik pencerahan untukmu”
          Tepat dilembar enam puluh lima, aku menemukan kata-kata yang yang membuatku terpukau.
          “Jangan jadikan cinta sebagai landasan atas suatu alasan pembenaran. menjadikan Inti dari cinta adalah keyakinan, yakni adanya sebuah  kepasrahan kepada pasangan kita, kejujuran dan keterbukaan. Rasa cinta yang sesungguhnya adalah anugrah Ilahi kepada hambanya. Sesungguhnya, Antara cinta dengan nafsu hanya bersekat tipis. Yakni cinta adalah suatu yang putih sedangkan nafsu adalah suatu perwujudan cinta yang hitam dan akan menjerumuskan pada lembah kenistaan. Sedangkan cinta pada ragawi dan apa-apa yang ada di dunia dan rela melakukan pengorbanan sedemikian rupa adalah perwujudan cinta yang berlebihan dan akan berujung pada morgana semata dan akan menghapus cinta pada ke abadian yang menciptakan”
          Aku limbung membaca kata itu, apakah benar cintaku pada Bunga adalah suatu pelarian belaka. Cinta yang termasuk dalam kategori hitam atu bahkan putih. Ah, aku tidak peduli mau masuk kategori manakah cintaku pada Bunga, hitam maupun putih. Yang jelas, hatiku terpaut dengannya. Hati ini, benar-benar merasa tenang bersamannya. Tiada kedamaian yang aku temui kecuali bersamanya. Aku telah lelah menderita, hingga aku benar-benar melabuhkan rasaku padanya. Hingga aku tak mampu menggali kejujuran dari hatiku sendiri.
     “Sukmaku nyeri memeluk kehidupan ini, haruskah aku kembali pada lorong-lorong yang pernah meyesatkanku” berontak Daun dalam hati. Karena ia benar-benar merasa lemah setelah menyadari kenyataan yang benar-benar ada di depan matanya. Kehilangan Bunga selamanya hanya krena masalah sepele yaitu kemantapan dalam Agama.  Benar-benar tak adil pikirku, karena agama benar-benar memisahkan cinta kita.
          “Tuhan, jika Engkau benar-benar ada, datang dan tunjukan kuasamu” berontak dalam alam fikir. Lalu aku masuk kedalam kamar dan meninggalkan Rizal yang tengah asyik dengan majalahnya.
                                                            ***



9
Daun dan Rahasia Senja Lalu


          Hari ini, ditemani matahari yang masih menyehatkan pori-pori kulitku. Tepat pukul Sembilan,  seperti janjiku kemaren pada Bunga, aku menunggunya di depan kampusnya. Hari ini, bersama siang sebagai saksi, akan aku bangunkan lagi kenanganku dalam masa silam, akan kurangkulkan ceritaku padanya.
          “Pagi, Bunga” sapaku saat ia baru datang menghampiriku. Bunga begitu cantik pagi ini, seperti bidadari yang diutus malaikat menjaga hati yang rapuh, menguatkan jiwa yang patah, seperti hatiku.
          “Kamu, mau ajak aku kemana Daun?”tanyanya dengan nada cuek.
          Aku hanya menjawabnya dengan simpul. Bahasa tubuhku yang bicara, ikutlah saja denganku, Bunga. Akan aku ajak kamu ketempat yang belum pernah kamu kunjungi, pada tempat yang akan meyakinkanmu untuk menerima cintaku dan kembali  merajutnya dengan benang-benang Pelangi cinta kita.
          Aku memabawanya dengan motor Jupiterku menuju kearah selatan, melewati kali indah serayu. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, konsentrasi menatap persimpangan jalan yang aku lewati. Begitu pula dengan Bunga. Ia menerka-nerka kemana akan aku membawanya.
          “Daun, kemana kita? Ke Cilacap?” tanyanya saat aku mengarahkan motorku kearah persimpangan jalan antara teluk penyu dan Cilacap kota.
          “Jangan takut, Bunga, aku akan membawamu ketempat mungil dan penuh kekelaman yang belum pernah kamu kunjungi. Sebenarnya, aku juga tidak ingin kita kesana, tapi ini terpakasa” jawabku. Aku membawanya ketempat itu karena memang terpaksa, karena aku yakin setelah Bunga mengetahui sisa-sisa hidupku di masa lalu, ia akan memutar arah 90 deracat celcius isi hatinya dan terlebih niatnya padaku.
          Matahari tepat berada di ubun-ubun. Begitu terasa panasnya, sepanas fikiran dan hatiku kali ini. Datang ketempat itu lagi, sama seperti kembali pada hari-hari yang silam. Kembali merasakan sakit dan kehilangan. Saat sampai pada ujung perempatan, kuarahkan motorku menuju arah kanan.
          “Kini, jarak antara aku dan masa lalu tinggal lima puluh meter” batinku saat memasuki gank kecil setelah perempatan. Tepat di depan gank melati terdapat rumah berpagar warna coklat penuh karat. Menunjukan warna yang sangat kusam, pertanda rumah yang sudah hampir lebih dari lima tahun tak berpenghuni. Lalu aku masuki pagar yang sudah rusak dan tak berpintu lagi.  Kuparkirkan motorku dihalaman yang  terlihat begitu kotor.
          Aku begitu ragu untuk melangkah meninggalkan motorku. Ingin rasanya aku kembali memutar roda motor dan pergi dari halaman itu. Aroma bayang-bayang masa lalu semakin tercium di hidungku. Aku mulai gelisah, andrenalinku berpacu dua kali lipat tak beraturan. Lalu kupaksakan kakiku pelan-pelan menuju teras halaman, kupandangi setiap inci lantai berkeramik yang masih tersisa menutupi tanah, walalu sudah tak jelas warnannya.
          “Daun, kok kita kesini? Rumah siapa ini?” Tanya Bunga kebingungan. Gurat-gurat gelisah terlihat di wajahnya. Mungkin saja bergelayut asosiasi negative dalam benaknya. Mengapa aku membawanya kerumah yang sudah tua renta dan tak berpenghuni.
          “Sebentar lagi kamu akan tahu Bunga. Tenanglah sebentar” jawab Daun.
          Saat aku melangkah menuju halaman samping, tiba-tiba ada seorang perempuan paruh baya yang memanggilku. Kuamati dan sepertinya tak asing lagi bagiku. Ternyata benar,  Ia adalah salah satu wanita yang pernah begitu dekat denganku. Ialah saksi kehidupanku dengan segala masa laluku.
          “Mas Daun, kok ada disini?”
          “Eh, Bu Sumi, iyah Bu lagi pengen lihat tanah” jawabku kaget, karena ternyata ia masih mengingatku setelah lima 5 tahun hampir tidak pernah bertemu.
          “Sekarang dimana Mas? Semenjak pindah kok tidak pernah nengok rumah disini?” tanyannya. Dulu, ia adalah salah satu tetanggaku, saat aku masih menempati rumah sederhana yang sekarang ada di depanku. Rumah sederhana yang pernah menjadi surga bagiku, Ibu, Ayah dan dan kedua saudaraku. Tapi kini rumah itu bagai neraka yang pernah membakar seonggok hatiku.
          “Sekarang masih kuliah di Purwokerto Bu” jawabku, lalu aku minta ia menemaniku masuk kedalam rumah, karena aku ingin mengambil sesuatu. Lalu, pelan-pelan kubuka pintu rumah yang sudah reot dan tidak terkunci, hanya terganjal dengan sebuah batu seberat 2kg saja. Saat itu pula, terbuka masa silam yang pernah kita lewati disini. Teringat saat Ayah memeluku diruang tamu, Ibuku memasak dan memanggil kita semua dengan aroma lezatnya, kakaku yang begitu rajin dengan buku-bukunya, dan adek perempuanku yang sangat cantik yang selalu manja dengan aku dan kakaku. Tapi itu semua tiba-tiba hilang. Tergantikan dengan hari-hari yang mencekam dan malam-malam yang mengerikan.
          Tak ada lagi pelukan hangat Ayah. Tak ada lagi waktu bersama Ayah, tak ada senyum Ayah. Yang ada hanyalah ambisi Ayah dan ringan tangannya yang tak segan-segan mendarat di tubuh kita.
          Kulirik Bunga yang masih bingung dengan semau ini. Mengapa aku membawanya ke rumah reyot dan sudah dapat aku pastikan, pertanyaan demi pertanyaan yang masih mengambang di kepalannya. Rumah siapa ini, dan siapa Bu Sumi yang tiba-tiba mendatangiku dengan mata penuh kerinduan, serta apa kaitanya dengan hidupku. Yah, hanya satu jawaban yang telah ku persiapkan, yaitu masa lalu dan masa depan yang ingin kurajut dengannya.
          “Daun, aku masih tidak paham dengan semua ini!” protesnya, kebingungan. Begitu lucu aku memandang wajahnya, penuh dengan gurat-gurat ketakutan, penasaran dan kebingungan.
          “Tenanglah, Bunga, dulu ini rumahku, sebelum lima tahun lalu, aku dan  keluargaku pindah ke daerah Cilacap timur,” jawabku. Lalu aku menjelaskan tentang sebagian perjalanan keluargaku. Mengapa pindah dari daerah Cilacap dekat laut ke daerah Gebangsari.
          Kini, kami sampai di depan ruangan yang berukuran 3x4 meter. Ruangan yang dulu pernah mejadi kamar tempat ku baringkan tubuh, ruangan yang pernah menjadi saksi senang dan sendunya batinku. Kubuka perlahan pintu yang mulai keropos, terlihat rayap-rayap berlarian dan beranak pinak di sana, menggerogoti kayunya sedikit demi sedikit. Lalu kami masuk dan aku segera mendekati lemari besi yang berada di pojok ruangan. Terlihat karat yang telah mengganti warna aslinya.
          “Daun, kita mau apa di dalam ruangan ini, apa yang sedanga kamu cari?”Tanya Bu Sumi heran. Karena melihat tanganku yang bergetar dan mataku yang mulai memanas. Bunga hanya tampak semakin bingung. Dengan ruangan ini, dengan perubahan raut mukaku saat membuka lemari dan mengambil sebuah kotak kaleng biskuit yang berada di laci.
          “Bunga, kotak inilah yang ingin kutunjukan padamu” ucapku. Kebingungan Bunga terlihat semakin bingung dan tak mengerti. Mengapa aku jauh-jauh mengajaknya ke Cilacap hanya untuk menunjukan sebuah kotak biskuit. Tapi bagiku, kotak itu begitu berharga. Keringat di keningku tiba-tiba mengalir, tanganku masih gemetar saat perlahan aku membukannya. Seperti hendak membuka peti mati rasanya. Jika kubuka kotak itu, sukma masa laluku yang telah ku pendam dan kupasung dalam kotak tersebut akan melayang-layang di angkasa dan menjerit merasa kesakitan. Tapi jika tidak aku buka, Bunga tidak akan pernah tahu hidupku yang sebenarnya. Dan sudah dapat kupastikan, pupuslah masa depan yang aku dambakan dengannya.
          Aku sangat berharap, setelah Bunga mengetahui masa laluku Ia akan berubah pikiran. Kulihat, ia semakin  menerka-nerka apa yang sebenaranya ada di dalamnya dan mengapa aku tunjukan padanya. dan,
          “Bunga, aku ingin menunjukan ini padamu” kataku memecahkan kesunyian dan sambil menyerahkan isi dalam kotak biscuit. Berupa sebuah album yang mulai pudar foto-fotonya dan sebuah buku setebal 350 halaman bersampul panorama lautan dan pepohonan yang rindang di sampingnya. Terlihat kumal sudah buku itu. Sekumal hatiku saat ini.
          “lihatlah Bunga, dan baca dengan mata hatimu. Hanya dengan sederet abjad itulah serta kamar ini, aku tumpahkan segala rasa ynag bergelayut dalam hatiku. Resapilah, maka kamu akan tahu bahwa hidupku hanyalah berkalang duka dan bersanding dengan nestapa, jauh dari rasa bahagia dan tak ada senyum yang meningkahinya. Bacalah, bahwa aku selama ini mencitaimu dengan alasan yang begitu kuat, aku merasakan Tuhan telah menggantikan bidadari dan belaian manjanya ketika aku dipangkuannya, dengan kehadiranmu” ucapku sambil menahan air mata yang kini telah menggenang di pelupuk mataku.
          Bunga tampak ragu menerima buku catatan dan album itu. Perlahan ia membuka album itu. Dan betapa ia kaget dan terperanjat saat menemukan sosok yang begitu mirip dengannya.
          “Bunga, itu Ibuku, ia sangat mirip denganmu. Itu sewaktu ia muda dulu. Ia sama cantiknya denganmu” jawabku. Karena itu adalah salah satu alasanku mencintai Bunga. Dari awal aku melihatnya berjalan di depan kostku, aku merasa ruh Ibu berjalan bersamanya. Wajahnya yang teduh seteduh wajah Ibu, ketika bersama kami. Lalu perlahan-lahan ia mulai membuka lembaran-lembaran buku yang berisi catatan perjalan kelamku.








10
                                Kotak Masa Lalu1: Suatu Masa
     

      Tiga belas april, adalah tanggal dan bulan yang begitu bermakna bagiku. Tahun 1989 lalu, aku terlahir dari rahim Ibu yang sangat cantik, hingga kata orang-orang, walaupun aku terlahir dengan jenis kelamin laki-laki aku mewarisi sebagian dari keindahan parasnya. Hidungnya yang mbangir seperti hidung orang-orang india. Kulitnya yang bersih, putih dan bola matanya yang bulat seperti bulan purnama.
       Saat itu, Ayahku sangat menyukai berbagai jenis tumbuhan khususnya yang berdaun lebat dan indah. Sehingga ia menamaiku DaunIndra laksmana. Aku juga heran, mengapa Ayahku menamaiku seperti itu. Padahal, masih banyak sekali sederet nama-nama yang bagus dan bermakna indah, seperti Azkal Azkia, ataupun nama-nama yang menyamai artis atau tokoh ulama.
       Pada saat aku berumur Sembilan tahun, pernah aku menanyakannya pada Ayah. Karena pada saat itu, aku sering diledek oleh teman sekelasku. Katanya namaku tidak ranting saja atau bahkan pohon sekalian. Jawaban Ayah kala itu sangat membuatku melonjak kegirangan. Bahwa alasan Ayah memberi nama Daun adalah karena Ayah begitu mencintai dedaunan.  Selain itu, manfaat daun yang begitu besar. Memberi kesejukan serta mampu berkawan dengan angin, memberi manfaat pada manusia yaitu memberi keteduhan serta sebagai penawar rasa sakit dan penawar racun. Selain itu,  ada daun-daun tertentu yang bisa dimasak dan mengandung banyak vitamin serta menjadi obat bagi orang yang terkena luka atau keracunan. Intinya, menurut Ayah, aku harus bisa seperti daun dalam pohon yang sesungguhnya. Karena dalam hidupku Ayah dan Ibuku adalah bagai pohon dan rantingnya. Aku harus bisa bermanfaat bagi diriku sendiri, orang lain serta kehadiranku mampu menjadi obat bagi orang lain. Sungguh mulia harapan Ayahku lewat sebaris namaku.
       Saat itu, aku dan keluargaku sangat bahagia. Walaupun hanya tinggal dirumah yang sangat sederhana. Di daerah pesisir pantai teluk penyu dan tak jauh dari tempat penyulingan minyak. Jika sore hari, kami bersama-sama berjalan menuju pesisir pantai. Melihat indahnya deburan ombak serta para nelayan yang pulang dengan ikan-ikan di prahunya. Betapa bangga kami saat itu tinggal di Cilacap.
       Cilacap adalah sebuah kabupaten yang memiliki wilayah terluas di jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari   kawasan yang didukung area industry atau perusahaan yang berdiri cukup banyak. Selain itu, yang menjadi kebanggaan kami Cilacap adalah kota penghasil ikan laut yang cukup tinggi. Terlihat dari nilai produksi ikan  pertahun dengan jumlah 15.153,12 ton. Tujuh dermaga juga menambah lengkap indah dan kekayaan kota Cilacap.  Dulu Ayahku bekerja dipasar dekat pantai. Menyalurkan ikan yang masih segar pada para pedagang di pasar-pasar daerah lain. Seperti pasar daerah kabupaten banyumas bahkan merambah ke kabupaten kebumen. Selain itu, Ayah juga membudidayakan ikan kerapu. Saat itu, budidaya ikan kerapu di kota Cilacap cukup banyak. Berjumlah sekitar 891 Ha yang terletak di sebelah pulau Nusa Kambangan dengan sistim keramba. Dengan kerja keras Ayah tak pernah kenal lelah, sehingga  Pendapatan Ayah cukup tinggi. Dan  dapat menyekolahkanku  serta dua saudaraku.
       Aku terlahir sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakaku yang bernama lintang pramudiana adalah anak yang pertama. Ia adalah seorang yang sangat cerdas dan pendiam serta  sangat perhatian dengan kedua adiknya. Mungkin karena anak pertama sehingga ia memiliki rasa tanggung jawab. Termasuk pada diriku yang terkenal banyak tingkah dan pada adik perempuan satu-satunya. Mungkin juga karena pengaruh sederet namanya. Ayah memang begitu fikirku. memberi nama dengan makna yang berat. Lintang sebagai penerang dan harus sealalu bercahaya karena ia berada diatas dan harus bisa menerangi suasana dibawahnya, menjadi obor jalan yang gelap bagi apapun yang berada dibawahnya.
       Entahlah, aku ingat-ingat lupa tentang cerita hidup masa lalu kakaku. Karena selain tidak akrab, kakaku juga jarang bicara pada kami kecuali hal yang penting. Pada umur 10 tahun kakaku tinggal bersama Tante dan Omku di Kebumen . Menambah lengkap huBungan kami yang awalnya tidak erat karena sikap pendiamnya.
       Adik perempuanku yang bernama Pelangi Indah Sukma Indriani. Dan biasa dipanggil dengan Pelangi. Ia terpaut dua tahun setengah denganku. tumbuh dengan wajah cantik dan sikap yang lembut serta rasa kasih sayang yang begitu tinggi sehingga membuatku semakin merasa memiliki terhadapnya.
       Pelangi lebih dekat denganku. Selain memilki hobi yang sama, ia juga mempunyai tabiyat yang manja dengan kakanya, terutama denganku. jika ada pelajaran sekolah yang ia tak bisa ia selalu datang padaku, minta uang jajan jika kurang yang diberikan oleh Ibuku jug padaku. Sehingga pada saat tumbuh remaja sekitar umur enam belas tahun, masalah perasaannya dan hari-hari pubertasnya pun selalu ia ceritakan padaku. Sungguh aku sangat menyayanginya.
       Sedangkan Ibuku, adalah seorang wanita yang berparas cantik. Berkulit kuning langsat. Betis yang indah serta kulit-kulit di kukunya berwarna putih segar. Tutur bicaranya yang pelan dan lembut manambah sempurna kecantikannya. Khususnya kecantikan dalam bagi seorang wanita. Atau orang biasanya menyebutnya inerbeauty. Kata kakeku, sewaktu kecil Ibu adalah seorang anak bungsu yang tangkas. Tidak seperti kebanyakan anak bungsu lainnya yang cenderung manja. Otaknya yang cerdas serta hidupnya yang visisoner membuat sederet prestasi berpihak padanya. Tak sedikit pemuda yang dahulu datang kerumah dan mendekati kakeku demi mendapatkan putri bungsunya yang cantik.
Tapi, hingga umur dua puluh dua tahun, kakek tidak pernah mengizinkan Ibu dekat dengan laki-laki. Takut kebablasan katanya. Yah, kakeku memang seorang yang mengidap kecemasan tinggi, selain orangnya sangat berhati-hati juga ia juga sesorang yang sangat memilah dan memilih hal yang sangat minimalis mengandung resiko. Hal itu, menjadi awal Ayahku kenal dengan Ibuku.
      Kata kakeku, Ayah adalah seorang yan sangat pantas menjadi seorang kepala kelaurga, walaupun umurnya masih dibilang muda. Hal itu,  terlihat dari sikap Ayah yang bijaksana. Namun, yang sangat disayangkan Ayah berbeda keyakinan dengan Ibuku. Ayah beragama Kristen sedangkan  kelurga  Ibu beragama Islam. Namun, semua itu akhirnya tidak menjadi masalah.karena menurut kakeku, Ayah adalah orang yang sangat menjunjung tinggi demokrasi dan begitu menghormati perbedaan. Selain itu, Ayah adalah seorang yang pendiam, serta rasa tanggung jawab yang tinggi. Hal itu, terbukti ketika Ayah menikahi Ibuku. Ia langsung membawa Ibuku dan selang beberapa tahun kemudian, berkat kegigihan kerja Ayah, akhirnya mampu membeli rumah sendiri. Walau hanya sederhana
       Sebenarnya tidak ada cerita masa kecilku yang begitu istimewa. Bahkan berbanding terbalik dari bahagia. Karena aku harus dewasa sebelum masanya. Hal yang gak seharusnya aku tahu, justru menuntut untuk aku fikirkan. Sebenarnya otaku belum siap menerima itu semua, kala itu. Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa. Justru orang didekatku yang menuntutku merasa, berfikir dan membaca keadaan tidak dengan mataku, tapi dengan rasio penyelesaianku. Sungguh menyakitkan bagi jiwa kecilku. Hal itu, bermula dari ambisius Ayahku untuk membahagiakan aku dan keluargaku. Tapi justru semua kebablasan dan membawa kita kejurang  serta liang  penderitaan. Hutang-hutang, serta hilangnya keprawanan adiku, Pelangi.
***
       Latar belakang Ayah dan Ibu yang sangat berbeda. Hal itulah yang sering menjadi bahan percekcokan  diantara mereka. Ayah, berasal dari keluarga yang boleh dibilang serba kecukupan. Sedangkan Ibuku berasal dari keluarga yang sangat sederhana.  Hingga modal ia sekolah dulu hanyalah keceradasan dan tekad yang kuat. Selain itu, ternyata perbedaan agama menjadi masalah yang sangat krusial bagi perjalanan hidup keluarga. Namun, pada akhirnya hanya kakaku yang mengikuti keyakinan Ayah. Aku dan Pelangi beragama Islam.
       Semenjak sekolah dulu, Ayah terbiasa dengan uang saku yang lebih. Sehingga membuatnya tidak sekedar membeli makan dikantin. Namun, ia mulai berani membeli sebungkus rokok. Awalnya ia hanya coba-coba. Lama-kelamaan zat nikotin membuatnya ketagihan. Hingga setelah menikah dengan Ibuku, kebiasaan itupun justru semakin mejadi. Ayah selalu menyempatkan membeli rokok  walalupu kebuTuhan rumah tangga  belum sepenuhnya tercukupi.
       Umurku waktu itu, menginjak 11 tahun. Aku memulai sekolah pertamaku di SMP Purnama Cilacap. Jarak antar rumah dan sekolah cukup jauh. Sehingga membuatku harus naik angkot dua kali. Biaya pulang pergi bila dikalkulasi dalam sebulan cukup besar. Dan yang menjadi masalah, tempat Ayah bekerja mengalami kebangkrutan.
       Ikan yang dibudidayakannya dengan sistim keramba banyak yang mati. Dan penjualan ikan pada waktu pagi pun semakin menurun. Gajih Ayahku pun semakin tidak menentu. uang dapur semakin tidak teratur, sehingga membuat Ibu bingung harus memutarkan uang itu, belum lagi Ayah jarang sekali mau untuk makan sekedar dengan sayur, atau tahu tempe. Kegilaan Ayah dengan rokokpun tidak berhenti malah semakin menjadi. Akhirnya, dengan berat hati Ibu menggadaikan perhiasan hasil tabungannya. Mulai dari cincin yang ia pakai hingga kalung dan liontin, dan akhirnya habis, Ibupun tak punya apa-apa lagi. Ayah selalu marah-marah jika menu tidak enak, rokok tidak ada. Belum lagi, aku mendekati ujian semester. Kebiasaan Ayah yang selalu menunda-nunda pembayaran SPPku hingga menumpuk.
                                                    “Ayah, Daun hari senin ujian semester, dan Daun tidak boleh ikut ujian kalau belum membayar SPP” ucapku pada Ayah, saat duduk di beranda rumah.
       “Ya sudah, besok Ayah cari pinjaman” jawab Ayah singkat.
       Berawal dari pinjaman-pinjaman kecil, sekedar untuk membiayai SPP ku dan memenuhi kebutuhan rumah tangga yang masih kurang, lama-kelamaan menjadi kebiasaan Ayah meminjam uang kepada kawannya yang bernama Hendra.
       “Ayah, jangan meminjam uang lagi pada Bang Hendra, nanti tidak bisa membayar cicilan dan bungannya semakin menumpuk” nasihat Ibu. Karena Bang Hendra memang terkenal sebagai lintah darat di kampung kami. Sawahnya yang luas serta penghasilan dari kebon karet di luar jawa membuatnya hidup dengan harta melimpah. Serta menjadi bank peminjaman uang di desa kami yang mayoritas perekonomiannya sangat minim. Sehingga Bang Hendra memanfatkan momen tersebut sebagai ajank mencari penghasilan tambahan. Karena memang pada akhirnya pembayaran bunga melebihi uang yang ia hutangkan.
       Namun, Ayah tidak pernah mendengar nasihat Ibuku. Dengan alasan kepepet. Sehingga tak terasa hutang semakin menumpuk.
       “Pak Ardi, bagaimana dengan cicilan hutangmu? Kamu sudah nunggak dua bulan” tagih Bang Hendra pada sutau sore. Ayahku hanya berjanji dan berjani akan membayarnya. Namun, karena sering kali Ayah bohong, membuat Bang Hendar marah dan memukul Ayah.
       “Baik, Bang Hendra, saya akan menjamin hutang-hutang saya dengan sertifikat rumah” ucap Ayahku, dengan mengambil selembar sertifikat rumah.
       “Ayah, jangan, itu satu-satunya yang kita miliki sekarang” tangis Ibu, ketika Ayah memintannya dengan paksa. Dan akhirnya sertifikat itu pun jatuh ketangan lintah darat itu. Kami pun tidak punya apa-apa lagi hanya rumah tempat kami berteduh dari panas dan hujan yang sebentar lagi akan dirampas orang dan kami akan terusir dari rumah kami sendiri.
       Dua bulan berlalu. Ketika sore hari, Ayah duduk diberanda dengan santainya, sambil menghisap rokoknya, Ibu duduk disampingnya dan berucap lirih.
       “Ayah, bagaimana kalau Ibu bekerja saja menjadi TKW di Malaysia”
       Ayahku sedikit kaget, namun ada gurat senang diwajahnya. Mungkin berfikir dengan Ibu bekerja di luar negri akan mendapat gaji tinggi dan semua hutang akan terlunasi serta akan mampu hidup normal kembali seperti sebelum usahannya gagal dan Ayahpun tidak perlu kerepotan hutang rokok lagi di warung dan harus mendengarkan pemilik warung yang cerewet karena memang hutang Ayah sudah menumpuk.
       “Baiklah, Bu. Jika itu keinginan Ibu.” Jawab Ayah enteng.
       Lalu, selang beberapa hari Ibu dan Ayah mengurus surat-surat persayaratan untuk mendaftar menjadi TKW. Dan akhirnya, setelah melalui proses tiga bulan semau beres dan Ibupun siap berangkat ke negri Jiran, untuk mencari ringgit demi kelangsungan hidup kelaurga tercintaanya.
       “Daun, Jaga Pelangi. Ibu titipkan ia padamu” ucap Ibu sambil memeluku. Ada rasa kehilangan yang begitu mendalam dihatiku. Akan ada rasa kosong dihari-hari kedepanku. Lalu Ibu mencium keningku dan memeluk Pelangi serta pamitan pada Ayah. Dan ia melangkah menuju bis yang sudah menantinya dan akan memabawanya menuju Jakarta. Benar-benar sore yang hampa bagiku.
       Namun, aku tidak bisa apa-apa kecuali mendoakannya agar semua pengorbannanya demi kami akan mendapat ridlho dari Tuhan dan di berikan jalan kemudahan. Selamat jalan Ibu, semoga engkau disana bersama kasih sayang Tuhan yang selalu kita agungkan.
***


      Lebih dari sebelas tahun kami hidup bersama. Ia adalah salah satu premepuan terpenting dalam hidupku. Suara lembutnya yang selalu menenangkanku, wajah riang yang selalu menghiasi hari-hariku, nasihatnya yang selalu memberiku semangat. Ia tak pernah lelah menemaniku, ia bagai bidadari dari surga yang selalu menghangatkanku dengan sayap-sayap cintannya.
       Setiap hari, setelah aku pulang dari sekolah, kami saling bercerita. Semua duka yang aku alami selalu ia redamkan dengan senyum di bibirnya. Semua gelisah dalam hariku  ada dalam dekapannya.  Tapi, setelah tiga bulan lalu ia pergi menyebrangi selat malaka, hari-hariku terasa kosong, hatiku terasa hampa, semangatku lemah dan jiwaku rapuh. Hanya pada lautan yang membentang luas aku ungkapkan kekosongan itu. Hanya pada ombak yang berlarian aku curahkan kerapuhan itu. Hanya pada butir-butir pasir aku  rengkuhkan rinduku padanya. seperti sore ini, aku tumpahkan segala rasaku pada lautan yang membentang. Laut Teluk Penyu.
       “Ibu, di sebrang air asin, di ujung selat malaka, engkau pasti mendengar tangisanku yang tersembunyi. Aku tahu, lewat angin sore di pesisir pantai ini engkau titipkan pesan nasihatmu, jangan khawatir Ibu! Aku akan selalu berusaha membuka pintu langit rahmat Ilahi agar selalu tertuju padamu. Perempuan terindah dalam hidupku” lirihku dalam hati.
       Lalu, aku titipkan sebait rinduku pada angin yang mengajaku bermain. Dan, kurangkai bersama butir-butir pasir.
       Wahai angin, sampaikan rinduku padanya
       Kini, tetap kubayangkan butir-butir air mata memenuhi pelupuk matanya.
       Saat kau benar-benar membacakan baris-baris kasih sayang
Berbingka rinduku padanya.
       Aku adalah buah hatinya,
       wujud cinta kasihnya beriringan penyempurnaannya separuh pada Ilahi.
       Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini,
       Tetap seperti hari kemarin, hingga esok dan senja yang menjelang
       Mulutku kan tetap membisu
       Terkunci tahta rindu yang membekukan kata-kataku.
       Hingga hari ini,
       Coba kutuliskan sederet kata berlatar hormatku padanya
       Yang telah benar-benar beriak hampa menunggu hadirnya.
       Angin, sore ini kau menjadi saksiku
       Aku ingin menciptakan hariku
       Melihat matanya memeluk mataku
       Agar benar-benar bahagia, sebahagia lantunan nyanyian semilirmu.

       Lalu, aku pergi meninggalkan ombak yang berlarian. Berjalan menuju tempatku berteduh. Sore hari, saatnya aku menemani Pelangiku. Agar tetap indah dan cerah. Sambil melangkah, menyusuri jalanan. Aku mencoba sekuat hati untuk membendung dan menutupi jalan keluranya air mataku. Yang mungkin, sebentar lagi takuat menahan nganga luka hidupku tanpa sayap cintanya yang terhangat. Hingga mungkin mengajaku berteman dengan air mata.
       Sambil berjalan, aku berusaha mengingat-ingat suatu nasihat yang kini baru aku mampu memahami. Ucapan Ustadz Faiz. Saat aku mengaji di masjid kamis lalu. Mengapa ia mengajarkanku, untuk tiga kali lipat menghormatimu. Ternyata engkau lebih agung dari pada seorang Ayah, yang selalu mempertahankan nafas-nafas kehidupan.  Engkau lebih mulia dari pada jajaran langit hingga tingkat ketujuh. Sepercik darahmu, saat engkau mempertahankan nafas buah hatimu. Aku kini mengerti saat itulah kau membangun dinding-dinding surga. Untuk kau ajak aku dan orang-orang terkasihmu bermain bersama dan berlarian di taman-taman indahnya. Bersama keindahan bungannya. Seindah senyumu. Namun, kini senyumu tak bisa kulihat lagi, karena engkau telah pergi bersama ombak di pantai itu. Demi membela aku dan orang-orang terkasihmu. Terima kasih Ibu. Takan pernah terukir kata tanpa cinta dan pengabdian untukmu. Aku berjanji bersama romansa senja ini, yang menjadi saksi, jika malaikat nanti menagihnya.
       “Aku, begitu menyayangimu Ibu” ucapku sambil menatap jauh ketengah air yang dalam. Lalu, aku cepat-cepat dan setengah berlari untuk pulang. Karena aku yakin adiku, Pelangi telah menantiku di beranda rumah. Dengan buku-buku sekolahnya. Dan segera memintaku mengajarinya, mengulang pelajaran siang tadi, saat ia masih di sekolah. Ia adalah perempuan mungil yang paling kusayang setelah Ibuku.
***
      
























11
Kotak Masa Lalu 2:
Keributan

    Setelah kepergian Ibu ke Malaysia, hal yang sering aku lakukan adalah termenung bersama angin sore, di tepi pantai menunggu sunset. Seperti sore yang    rapuh ini, aku mengajak karang-karang bercerita tentang perjalananku tiga hari yang lalu. Aku meminta butir-butir pasir untuk mendengarkan keluhku.
       Tiga hari yang lalu, membuatku ingin berlama-lama menatap ombak. Tiga hari yang lalu membuat rumahku yang dulu bagai surga, kini berubah menjadi neraka. Yang membakar penghuninya. Tiga hari yang lalu pula, membuat aku begitu membenci orang yang seharusnya aku hormati. Dan tiga hari yang lalu juga memahat dendamku padanya. Ayah.
       Seminggu yang lalu, saat Paman Hendra datang kerumahku dan memberitahu Ayah bahwa Ibu mengirimkan uang untuk kami, aku langsung melonjak kegirangan. Umurku yang masih sebelas tahun, hanyalah memikirkan betapa senangnya mendapat kiriman uang dari Ibu.  Bisa membeli baju seragam baru untuk sekolah, sepatu baru sebagai ganti sepatu yang telah rusak dan tidak layak pakai lagi. Tapi tiba-tiba keinginan dan kegirangan itu terhenti. Saat aku melihat Bang Hendra datang dan menagih hutang pada Ayahku. Aku bisa menerima saat itu. Aku merelakan keinginanku dan permintaan Ibuku untuk menyisihkan uang yang ia kirimkan untuk kebuTuhanku dan Pelangi. Tapi selang beberapa hari, aku baru mengetahui kalau Ayah tidak menggunakan kiriman Ibu untuk mencicil hutang pada Bang Hendra. Tapi ia menggunakan uang itu untuk kebuTuhannya sendiri. Membeli rokok dan hal yang terakhir aku tahu dan begitu mengagetkanku, Ayah berani bermain judi.
       “Ayah jahat” teriaku sambil berlari menerobos  gelapnya malam di desaku. Lampu-lampu jalan yang masih jarang menunjukan betapa masih terpinggirkannya desaku. Rumah-rumah yang masih sangat sederhana berjajaran di pinggir jalan. Aku melewati rumah-rumah itu. Dengan hati yang hampa. Sehampa rumahku semenjak ditinggal Ibu.
       “Heh, berhenti kamu Daun, berani-beraninnya membuntuti Ayah keluar rumah” teriak Ayah sambil mengejarku. Namun aku tetap berlari. Hingga sampai di depan rumah lalu aku menuju kamarku dan menguncinya. Dan, menangis sejadi-jadinya.
       Masih terdengar samar-samar suara marah-marah Ayah diluar. Mungkin ia tak menyangka kalau aku malam itu mengikutinya. Memang sudah seminggu ini aku curiga padanya. Selalu keluar  malam, dan pulang pagi. Hingga malam ini aku sengaja mengikutinya. Dan ternyata ia mangkal bersama teman-temanya dan bermain judi. Sungguh aku membencinya. Aku membencinya karena ia menghianati Ibu.
       Aku hanya menangis merengkuh bantal-bantal yang ada disampingku. Lalu kubuka buku catatan kesayanganku dan kutumpahkan segala emosiku. Betapa nestapa kurasa malam ini.
       Sekitar pukul satu malam, aku keluar kamar. Kulihat kamar Ayah sudah gelap lampu lima wath yang biasa meneranginya sudah dimatikan. Tanda Ayah sudah terlelap. Lalu, dengan langkah gontai aku menuju kamar mandi. Rasanya ingin kubasuh wajahku malam itu. Dengan air suci yang mengalir dari bejana tempat yang biasa aku pakai untuk wudlhu.
       Terasa begitu segar ketika air mengaliri wajahku yang kusam. Terasa jernih kembali fikiranku. Lalu, segera aku dirikan sholat. Seperti yang diajarkan oleh Ustadz di tempatku mengaji. Bahwa sholat di malam hari akan mendinginkan hati yang sedang panas dan menjernihkan fikiran yang terasa sempit. Selain itu, beribu-ribu malaikat berkeliaran di Bumi. Mencatat orang-orang yang sedang khusyu dengan sujudnya. Jadi, besar kemungkinan akan mudah terkabulnya doa-doa yang manusia panjatkan pada Tuhan. Kerena semakin malam, semakin sedikit manusia yang meminta padanya. Sungguh mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, doa yang paling mudah sampai dan mudah di dengar oleh Tuhan adalah doanya di sepertiga malam.
       Selesai salam, aku tengadahkan kedua tanganku. Berusaha aku mengetuk pintu rumah Tuhan. Kupanjatkan doa hanya untuk Ibuku yang jauh disana.
       Ya Allah, ya Tuhanku. Di hadapan siapapun Engkau kukuh. Ampunilah kelemahanku, karena tak mampu menghadapi semua ini tanpa mengeluh. Hanya satu pintaku, janganlah Engkau lewatkan segala rahmat-Mu dari Ibuku, yang telah rela memercikan darahnya demi tangisku. Jauhkanlah Perempuan cantik itu dari nestapa dan gelisah, gantikanlah setiap senyumku demi menukar rasa sedihnya. Aku sangat mencintai Ibuku.”tak terasa lelehan butir-butir air mata membasahi pipiku. Aku begitu rindu pada Ibu.
       Ingin rasanya aku menyusulnya ke Negri Jiran itu. Ingin aku adukan segala tingkah Ayah semenjak Ibu pergi. Aku begitu muak melihatnya. Menggunakan uang kiriman hasil Ibu hanya untuk bermain judi. Hingga hutang-hutang Ayah tidak segera terlunasi. Justru semakin menumpuk. Dan semakin dalam tergali lobang penderitaan karena terjerat hutang pada lintah darat bernama Bang Hendra
***

       Hari itu, adalah hari dimana genap delapan belas bulan Ibu di Malaysia. Itu berarti kontrak kerja Ibu menjadi TKW tinggal setengah tahun lagi. entah mengapa harus dalam waktu dua tahun kontrak menjadi tenaga kerja di luar negri. Mengapa tidak satu tahun  setengah saja atau bahkan satu tahun. Agar lebih cepat pulang ke tanah air. Walau hal itu ku cari jawabannya, tetap sia-sia dan takan merubah keinginan yang sebatas dalam fikiranku.
       “Karena itu memang sudah perjanjian dengan pemerintahan luar negri. Bahwa tenaga kerja dari luar atau khususnya TKW kontraknya dua tahun” Begitu jawaban Ibu Anis. Guru sejarahku. Ketika kutanyakan hal tersebut.
       Terasa begitu lama, aku menanti hari itu datang. Hingga malam-malam yang kulewati pun terasa hampa. Seperti malam ini. Yang telah luruh dan kegelapan menyelimuti  seluruh perkampungan. Sementara lampu yang hanya berukuran dua koma lima wath menggantung dengan batang yang menjulang. Kira-kira dengan ukuran satu koma lima meter. Yang sengaja digunakan untuk menerangi jalan-jalan perkampungan yang semakin rusak. Begitu memperlihatkan perkampungan yang terpinggirkan dan tidak terfikirkan oleh pemerintah sekitar.
       Sudah lebih dari satu jam aku duduk termenung di beranda rumah. Sambil menatap bintang yang menggantung di langit. Aku melihat lurus ke jalan dihadapanku. Dan tiba-tiba aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki yang jalan dengan sempoyongan. Kudekati dia. Ternyata benar. Seperti apa yang berkelebat dalam fikiranku. Bahwa itu Ayah. Pulang lebih dari jam dua belas malam. Tak sengaja aku mencium bau nafasnya. Bau tidak enak menyembul dari bibirnya. Aku tidak tahu bau apa itu. Yang jelas Ayah tidak seperti biasanya. Ia seperti dalam film-film yang kulihat dalam sinetron bila habis minum alkohol.
       Aku benar-benar terperanjat dan berkata dalam hati.
       “Ayah, dalam keadaan mabok. Ayah kini selain berjudi juga telah berani meneguk air haram” begitu hancur perasaanku malam itu. Langsung terbayang wajah Ibu yang lelah dengan pekerjaanya. Wajah Ibu yang menahan rindu pada anak-anaknya. Dan wajah Ibu yang manangis pada Tuhan, seperti malam-malam biasanya, ketika ia masih dirumah.
       “Heh, minggir kamu, anak tidak berguna”ucap Ayah, sambil meneguk botol yang ada di tangan kirinya. Dan bertuliskan, Wine. Yah aku tidak terlalu asing dengan kata-kata itu. Sedikit ingat penjelasan Guru biologiku di semester awal kelas tiga kemarin. Bahwa Wine adalah sejenis minuman keras atau minuman beralkohol yang diperoleh dari fermentasi buah anggur warna merah atau jingga bersama kulitnya yang mengandung pigmen merah. Dengan cara pembuatannya,  anggur-anggur tersebut  melalui proses penghancuran untuk mengandung sari buah yang banyak mengandung gula. Lalu, kalium atau natrium metabisulfit ditambah pada hancuran anggur tersebut yang disebut lumut (must).  Guna menghambat bakteri pembusukan. Lalu didiamkan berbulan-bulan dengan di campur S.Cerevisae atau S.Ellipseidous, sampai fermentasi benar-benar sempurna. Hingga citarasanya benar-benar terbentuk.
       Aku, benar-benar kecewa pada Ayah. Ia berani mengkomsumsi minuman yang mengandung bahan psikoaktif dan menyebabkan GMO (Gangguan Mental Organik), yang bisa benar-benar menurunkan kesadarannya. Minuman yang jelas-jelas di haramkan dalam agama. Tertoreh satu lagi perih dalam hatiku. Membekas dendan dalam fikiranku. Bahwa ia adalah manusia yang tak pantas aku hormati dan aku patuhi. Benar-benar malam yang memahat dendam dan kebencian. Namun, aku menyadari bahwa aku berbeda keyakinan dengannya. Aku tidak tahu, apakah agama Ayah sama dengan agamaku mengharamkan minuman yang mengandung alkohol berkadar tinggi atau tidak. Namun, semua itu tetap tak menghalangiku, bahwa aku benar-benar membenci Ayah.
       “Tuhan, aku hanya takut. Jika nanti karma untuk Ayah terbagi denganku. aku takut menjadi rapuh ketika berhadapan dengan masalah yang engkau rangkulkan padaku”  lalu, aku pergi dan masuk menuju kamarku dan menutupnya rapat-rapat.
***.

             








            Enam bulan telah terlewati. Kini aku telah menyelesaikan sekolah tingkat pertamaku. Dengan nilai-nilai yang cukup memuaskan, aku siap melanjutkan ke tingkat SMA. Sempat aku bingung, harus melanjutkan kemana. Akhirnya SMA Negri 1 Cilacap menjadi tempatku melanjutkan menggapai mimpi serta menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
            Alasan utamaku, mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah tersebut adalah system belajar mengajarnya yang benar-benar mampu di acungi jempol. Serta output yang benar-benar diakui masyarakat. Selain itu, sekolah tersebut merupakan The Fafourite School In Cilacap. Sekolah yang sudah bertaraf internasional. Benar-benar kebanggan tersendiri jika aku mampu berjajar dengan orang-orang jenius disana.
            Akhirnya, dengan sederet nilai-nilaiku yang cukup bagus. Aku dapat melewati standar yang ditentukan di sekolah tersebut. Dan aku siap untuk menjalani hari-hariku. Namun, kebahagianku bisa masuk sekolah faforit tersebut tak lengkap. Justru lebih hampa terasa. Karena aku melanjutkan sekolah, berarti Ibu tidak pulang ke Indonesia tahun ini. Ayah menyuruhnya menambah kontraknya. Dengan alasan, biaya sekolah untuku dan Pelangi begitu mahal. Hingga tidak mungkin hanya mengandalkan Ayahku. Yang hanya bekerja serabutan. Gajih pun tidak mencapai Standar UMR, yang di tetapkan di Indonesia. Walau UMR tersebut pun masih tergolong rendah, jika di bandingkan dengan Negara-nagara tetangga. Dan akhirnya Ibupun menyetujuinya untuk menambah kontraknya dua tahun lagi. memang benar-benar nasib selalu menganaktirikan keluargaku. Hingga harus menempuh jalan yang susah itu.
            Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan terlewati. Kini aku tengah menempuh ujian semester. Begitu pula dengan Pelangi. Ia tengah sibuk mempersiapkan tryoutnya menjelang ujian nasional. Umurku dengannya memang tidak terpaut terlalu jauh. Hanya dua tahun setengah  saja. Hingga jenjang pendidikan pun hanya sekelas dibawahku. Hingga aku dan Pelangi, selain sebagai saudara yang saling menyayangi juga seperti sahabat yang sangat kompak dan saling mengisi. Kesibukanku disekolah membuatku terlena dan luput dari perhatian Pelangi. Hingga aku tak menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya belakangan ini.
            Pelangi, adalah gadis yang sangat jelita. Parasnya yang cantik membuat tidak sedikit teman laki-lakinya yang tertarik padanya. Badannya yang tumbuh subur, membuatnya semakin kelihatan seperti gadis yang lebih dewasa dari pada umur sesungguhnya. Mungkin karena akibat menstruasi dini. Ketika ia kelas enam SD, ia sudah mengalami menstruasi. Hngga lekuk tubuhnyapun terlihat, buah dadanya yang mulai membesar. Walau, jika dilihat dari tingkah lakunya, ia sama sekali tak pantas untuk disebut dewasa, atau bahkan mulai menginjak masa pubertas. Tapi, bentuk tubuhnya memang berkata lain. Mungkin itu yang membuat Ayahkupun tertarik.
            Aku baru mengetahuinya setelah selang dua bulan.  Saat itu, secara tidak sengaja, aku memergoki Ayah sedang mengintip Pelangi mandi. Awalnya, aku tidak percaya dengan apa yang dilakukan Ayah. Tapi setelah tiga puluh menit aku perhatikan, tiba-tiba membuatku lebih dari tidak percaya. Ayah justrus masuk ke kamar Pelangi, menunggunya hingga selesai mandi. Dan ternyata,
            “Ayah, benar-benar kau manusia biadab. Ingat dia darah dagingmu, anak kandungmu, adiku” teriaku sambil memukul Ayah dengan sebuah kayu yang aku ambil di belakang rumah. Semua yang kulihat membuatku menggigil. Ayah begitu tega memperlakukan Pelangi bukan seperti anak kandungnya sendiri. Meremas payudarnya lalu melepas handuk yang ia kenakan, dan memaksa Pelangi untuk terlentang kemudian menindihi badan bongsornya. Diikuti dengan nafas-nafas dari neraka. Aku benar-benar merasa duniaku telah menghitam. Ayah bukan hanya merebut kebahagian kebersamaan kami dengan Ibu, tapi ia telah menoreh warna hitam untuk titian masa depanku dan Pelangi.
            Lalu, dengan menggunakan pakaian seadannya, Pelangi mendekatiku dan memeluku. Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan dadaku.
            “Kenapa, kaka baru datang ka?” ucap Pelangi ditengah isaknya. Ayahku masih terkapar pingsan dengan darah dipelipisnya. Mungkin terlalu keras pukulanku hingga membuatnya lama tak sadarkan diri.
            “Sejak kapan kamu merasakan penderitaan ini?” tanyaku pada Pelangi.
            “Semenjak dua bulan lalu. Semenjak Kaka sering pulang sore dan Pelangi dirumah sendirian hanya bersama Ayah” jawabnya. lalu ia menceritakan dengan nafas sesaknya. Ketika dua bulan lalu Ayah tiba-tiba datang kekamarnya dan memeluknya.
            “Pelangi, sini Ayah kengen denganmu, kamu kan anak perempuan Ayah, kenapa tidak pernah sekalipun manja dengan Ayah” ucapnya, dengan mendekati Pelangi.
            “Eh, Ayah, kenapa masih dirumah, biasanya sudah melihat budidaya ikannya?”
            “Tidak, Ayah sedang cape, maukah kamu memijiti Ayah” pinta Ayah
            “Baiklah” jawab Pelangi mengiyakan,
            Namun, selang tiga puluh menit Pelangi merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Ayah. Tiba-tiba iya menatapnya dengan tatapan yang aneh dan tidak wajar. Setelah itu, ia mulai memegang tangannya hingga memeluknya, lalu meremas kedua payudaranya. Lalu memaksanya membuka semua pakainnya. Dengan sederet ancaman. Bahwa Ayah akan membunuhnya, membuangnya dan masih banyak lagi. Dengan wajah memerah, air mata menglir serta tubuh yang memnggigil ia hanya bisa pasrah. Ketika Ayah memburunya dengan nafas-nafas syaitan lalu menindihinya. Hingga ia merasakan sakit yang luar biasa. Percikan darah pun mengalir dari daerah kewanitaannya. Dan membelah keprawanannya.
            Dua bulan berturut-turut Ayah menikmati semua itu. Dua bulan, Ayah memahat luka dan noda dalam tubuh putrinya. Dua bulan Ayah menyalakan api jahanam dan menghancurkan keluarga yang sempat terbangun dengan keindahan senyum tawa dan kini harus berbuah nestapa yang benar-benar teragungkan. Aku benar-benar tak bisa memaafkan Ayah. Aku benar-benar muak melihat jasadnya yang terbalut dengan ruh Syetan. Walaupun aku sedikit mengerti, lewat keterangan yang dipaparkan oleh guru biologiku. Bahwa kebutuhan seks bagi seorang laki-laki yang telah beristri cenderung menjadi kebutuhan primer. Apalagi untuk manusia bejad seperti Ayahku. Manusia yang tak berbingkai iman, manusia yang hanya menjadi budak syaithan. Dengan segala aturan-aturannya, hingga wine, wiskhey dan judi menjadi hal yang sangat penting baginya. Aku sungguh membenci Ayahku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terlanjur dalam tubuhku mengalir setetes darahnya.
“Pelangi, maafkan kaka, yang tak bisa menjagamu. Kaka tak mampu menjaga amanat dari Ibu. Kaka jahat” ucapku. Bernada kesedihan. Lelehan air mata yang membasahi pipiku, menjadi bukti nyata perihnya hatiku. Dan semakin menganganya luka di jiwaku. Pelangi semakin erat memeluku. Aku tahu, iya ketakutan. Ketakutan menatap masa depannya. Ketakutan akan hidupnya yang kini sudah terenggut dan masuk dalam jurang kenistaan.
            “Kaka, janji. Kaka akan menjagamu dan akan menata masa depanmu walau harus mengorbankan diri kaka sendiri. Karena kakalah semua ini terjadi” janjiku pada Pelangi. Janji yang bukan sekedar janji. Tapi, janji seorang kaka pada adiknya. Yang begitu disayang.
            “Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi padaku dan keluargaku” protesku pada Tuhan dalam hati. Karena aku merasa begitu rapuh dan tak berdaya. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang paling lemah. karena aku tak mapu menjadi Daun  yang diharapkan oleh semua keluargaku seperti sebaris namaku.
            “Pelangi, Kaka sayang Pelangi” ucapku sambil mengusap air mata yang masih mengalir membasahi pipinnya.
            “Tuhan, mengapa Pelangiku sayang harus dalam buram? Mengapa Pelangiku harus mengalami semua ini?” tanyaku setengah memaki Tuhan. Yang kuanggap tak mau lagi mendengarkan keluhku, tangisku dan tak sudi lagi melihat atau sedikit merasa iba pada nasibku dan keluargaku. Pelangi masih dalam pelukanku, wajahnya masih berlinang air mata. Dan tubuhnya masih menggigil karena terkoyak oleh manusia jelmaan dari syaithan yang diutus dari jahanam. Lalu aku mengusap rambutnnya yang indah dan membiarkannya tenang dalam pelukan kasih sayangku dan rasa khawatirku serta rasa memilikinya. Aku tahu ia juga merasakan betapa ia tak sendirian karena masih ada aku yang begitu mencintainya.
            “Sabarlah Pelangi, takan selamanya kamu seperti ini. Yakinlah, bahwa ini adalah awal dari bahagiamu dimasa mendatang. Kaka yakin, pasti kamu nantinya akan mendapat suami yang sangat pengertian dan mau menerima. Tuhan tak pernah tidur, Pelangi”
            “Terimakasih Ka. Doa’mu adalah senjata buatku. Senjata yang akan membelaku ketika dalam bahaya dan akan mampu membuatku semangat. Walau Pelangi rasa, hidup Pelangi tinggal separuh. Semua telah hilang. Pelangi tak mempunyai mahkota yang indah lagi” ucapnya. Namun, aku terus membesarkan hatinya. Agar ia tak rapuh. Aku berjanji pada malam yang menyaksikan penderitaan kami. Pelangi takan pernah menangis lagi. Akan kubentangkan seluruh kekuatanku untuk mengembalikan seluruh senyumnya.
***
       Waktu merangkak meninggalkan peristiwa yang menjadi cerita, hingga berujung menjadi sejarah. Kini, enam bulan telah terlewati. Meninggalkanku dengan segala ceritanya. Masih terasa denting-denting petikan masa lalu. Yang menoreh luka dan memahat dendam di batin laraku.
       Masih seperti biasanya, di sore hari aku dan Pelangi sibuk memandang sunset dan berlarian berkejaran dengan ombak, yang siap menerpa tubuh ringkih kami. Lalu, menjelang petang, kami pulang dengan langkah gontai. Menuju rumah yang menurutku tak pantas lagi disebut rumah. Semenjak enam bulan lau, aku tak menganggap rumah kecil dengan cat berwarna hijau, berpelataran yang dihiasi Bunga-Bunga, dan telah tujuh belas tahun aku tempati, sebagai rumah tempatku mendinginkan segala pelita hidup yang menerjangku diluar dan tempatku berlindung dari teriknya matahari yang membakar kulitku. Serta meneduhkanku dari hujan. Namun, fungsi yang kasat mata itu, tinggalah fungsi yang hanya dirasa namun tak memiliki makna apapun.
       Semenjak Ayah merubah warna hidup Pelangi menjadi hitam pekat, semenjak itulah aku menganggap rumah itu adalah neraka tempat berkumpulnya api dan segala syaitahan-syaithan yang terkutuk. Hingga tak pernah membuatku sekalipun nyaman untuk berlama-lama berdiam diri di dalamnya. Hanya satu alasanku, menjaga Pelangi dari ancaman birahi Ayah.
            “Kaka, minggu depan penerimaan pengumuman kelulusan”Ucap Pelangi sambil mengatur nafasnya. Karena ia terlalu
         capek untuk berlari, bekerjaran dan bermain denganku di pantai.
       “Baiklah, Pelangiku yang cantik, kaka akan datang ke sekolahmu dan mengambil pengumumanmu” jawabku sambil merangkul pundaknya.
       “Kak, maafkan Pelangi jika hasilnya tidak memuaskan” lanjut Pelangi, dengan wajah tertunduk. Terlihat gurat-gurat kecemasan dan keterpurukan di wajahnya. Semenjak peristiwa enam bulan lalu, ketika Ayah memperkosannya. Pelangi berubah menjadi gadis yang sangat pendiam dan murung. Jiwannya yang dulu selalu optimis dan semangat yang tinggi, kini telah hilang. Tergantikan dengan wajah yang pemurung, rapuh dan mudah putus asa. Serta keyakinan yang jarang sekali menghampiri dirinya.
       “Sudahlah, sayang. Pelangi adik kaka yang paling pandai. Di mata kaka dan Ibu, Pelangi tetap nomor satu. Ayo yakinlah, Ibu menunggu semangatmu di sana” nasihatku. Kulihat sedikit senyum merekah di bibirnya. Aku sangat memahami perubahan Pelangi yang sangat drastis. Jiwanya yang rapuh, semangatnya yang hilang, itu semau karena Ayah. Ayah yang telah menghancurkan semuannya.
       Aku sangat mengerti, betapa hancur hati seorang wanita, apalagi yang masih belia seperti Pelangi. Jika harus melakukan hubungan seks tidak pada waktunya.  Bahkan bukan saja bagi gadis yang berumuran sepertinya. Siapa saja yang melakukan hubungan seks tidak dengan jalan halal. Pasti ia akan merasa menjadi manusia yang paling tidak bermoral. Menjadi wanita yang tak pernah mampu menjaga kehormatan, serta menjadi manusia yang tersisihkan, karena ia telah dianggap sampah masyarakat. Aku sangat mengerti, pasti Pelangi tengah merasakan kegundahan dan rasa sakit karena hal itu.
       Sesampainya dirumah, aku melihat Ayah yang sedang duduk termenung di beranda rumah. Tiba-tiba Pelangi memegang tanganku dengan kencang. Terlihat rasa takut dan traumatik yang begitu mendalam. Aku langsung membawa Pelangi masuk dan menemaninya dikamar. Terlihat cucuran air mata yang membasahi pipinya. Ketakutan itu kini terlihat semakin nyata. Lalu, aku memeluknya dengan erat. Bahasa tubuhku yang berbicara, bahwa dia tidak sendiri. Aku, sebagai kakanya, akan selalu ada untuk dirinya.
       “Kaka, Pelangi ingin bertemu Ibu” ucapnya dengan suara gemetar. Tiba-tiba hatiku terasa begitu perih. Terlintas di depan mataku, semua bayangan bahagia masa lalu kami dengan Ibu.
       “Pelangi yang sabar yah, Ibu sebentar lagi akan pulang” jawabku menghiburnya.
***
       Pagi yang cerah. Secerah gaun merah muda yang dikenakan Pelangi pagi ini.  Wisuda terakhirnya, sebagai siswa sekolah menengah pertama, menyimpan kebahagian dan kesan tersendiri. Hingga ia tak mau terlihat murung atau bahkan naik keatas panggung dengan wajah yang terlalu biasa. Sejak pagi tadi, ia sudah ribut memintaku mengantarnya ke salon. Hari ini, Pelangi begitu cantik dan anggun.  Tubuhnya yang tinggi semampai dan rambutnya yang lurus, hitam panjang. Membuat kaum adam terpesona. Wajar saja jika Ayah yang sudah lama ditinggalkan Ibu, tertarik untuk menikmati tubuhnya yang begitu molek.
       “Ah, sungguh biadab laki-laki itu” umpatku dalam hati.
       Mataku masih menatap lurus ke atas panggung. Telingaku masih memperhatikan nama-nama yang dipanggil oleh kepala sekolah. Murid-murid berprestasi yang hendak menerima hadiah. Sungguh aku tidak menyangka. Pagi ini, cahaya matahari bagai benar-benar menerangiku. Setelah aku dan Pelangi menyusuri jalan-jalan perih. Melayang dalam badai dan meniti tangga langit kelam. Tiba-tiba secercah mentari itu memberikan sengatan semangat lewat sinarnya. Hatiku terasa bergetar, kaki terasa berat melangkah, mataku tiba-tiba berlinang. Tanda aku takuasa menerima bahagia yang sudah lama tak ku mengerti kemana perginya.
       Bumi yang kupijak terasa sejuk, pemandangan disekelilingku kini seperti berubah menjadi taman-taman yang menghijau. Betapa bahagia hatiku. Saat kepala sekolah SMP Purnama memanggil nama siswa yang menduduki peringkat pertama.
       “Inilah siswa teladan kita yang pertama, Pelangi” terasa terbang semua beban berat yang selama ini menindihi badanku. Hingga sering aku terengah-engah untuk bernafas.  Kulihat Pelangi tersenyum, wajahnya yang pias dan murung kini tergantikan segar merah merona. Secercah kebahagiaan yang sempat menghilang dari hidupnya kini kembali menyapa dan membaur dengan batinnya.
       “Selamat, adik anda adalah siswi kami yang cerdas” ucap Pak Kepala sekolah saat aku berdiri di panggung untuk menerima hadiah. Hadiah dari segala kerja kerasnya. Hadiah pengganti semua hidup kelamnya. Lalu aku tersenyum dan mencium tangan pak kepala sekolah.
       Aku berjalan cepat-cepat menghampiri Pelangi. Ingin ku peluk dan kudekap hatinya.
       “Pelangi, selamat yah. Kaka bangga padamu”
       “Terimakasih kaka, ini buat Kaka dan Ibu, karena kalianlah aku mampu seperti ini, karena pelukan Kakalah aku mampu berfikir jernih. Hingga aku dapat menghadapi dan melewati ujian ini semua kak,” jawab Pelangi. Aku tidak menyangka bahwa pelukanku, Pelukan seorang kaka begitu berarti bagi seorang adik. Pelukan seorang kaka mampu memberikan lebih dari perlindungan lahir saja. Namun, pelukan seorang kaka benar-benar mampu memberikan perlindungan batin untuk seorang adik.
       Setelah semau acara selesai, aku langsung mengajak Pelangi jalan-jalan. Mengelilingi kota Cilacap. Ke mall, membelikan apa yang Ia mau, dan mengajaknya keliling taman kota. Aku tak ingin segera pulang kerumah. Karena sama saja, kebahagian itu akan sirna jika melihat wajah biadab Ayah.
       “Pelangi, kaka ingin kamu melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1”
       “Tapi, Kak, Pelangi sudah tidak betah dirumah, Pelangi ingin melanjutkan sekolah di tempat Om Arif, bersama Kak Lintang” pinta Pelangi.
       “Tapi kaka, pasti akan kesepian”
       “Tidak kak, doaku dan rasa rinduku akan selalu menemanimu” jawabnya memanja. Lalu aku mengangguk. Tandaku mengiyakan permintaanya. Walau aku harus kesepian menunggu Ibu pulang. Tapi semua tak menjadi masalah, aku rela demi kebahagiaannya
***
          Pucuk-pucuk Daun masih basah. Embun masih bertahta. Kabut pagi itu menjelma mejadi rahasia. Pagar rumahku bergoyang. Saat aku dan Pelangi melangkahkan kaki. Meninggalkannya. Embun-embun itu bergulir saat  langkahku melewatinya. Lalu jatuh ke tanah.
          Masih dalam jarak lima meter. Tiba-tiba Pelangi membalikan badan dan menatap pagar halaman rumah kami. Air matanya mengalir. Bibirnya bergetar. Hendak mengucapkan sesuatu.
          “Kaka, hari ini, mungkin hari terakhir Pelangi menatap pagar yang membalut kenangan kita” ucapnya sambil mengusap air matanya dengan tisyu yang baru saja ia ambil dari tas kecilnya.
          “Sudahlah Pelangi, ayo cepat kita jalan, sudah siang”
          Ada yang lebih buram dibalik pagar yang buram itu. Kusam. Dan aku melihat bayangan wajahku dan Pelangi. Menggeliyat dan mengatup kedua bibirku. Ada yang meleleh tiba-tiba membasahi pipiku.
          “Ah, sungguh nasib yang menyesakan jiwa” bathin laraku, menyeruak.
          Lalu, kami berjalan menuju halte bus. Selang beberapa menit, akhirnya kami mendapat bus yang akan mengantarkan kami menuju terminal. Akhirnya kami sampai di terminal kota Cilacap. Dan kini kami mencari Bus jurusan Cilacap-Jogjakarta. Karena dengan bus itu kami akan melewati kota Kebumen. kota Beriman. Kota yang dikenal dengan kota santri.  Kota yang kini di tempati oleh kakaku. Dan akan menjadi tempat Pelangi meniti hari-hari
          Mataku menatap keluar jendela bus yang kami tumpangi. Terlihat pohon-pohon rindang yang melambai-lambai. Akhirnya, setelah cukup bosan aku dengan aroma bus dan panas yang sedari tadi membuat keringat bercucuran. Roda bus tak terasa  telah mengantarkan kami melewati kabupaten Banyumas.  Akhirnya, kami smapai di simpang lima. Dan langsung naik angkutan Jurusan Wonoyoso. Daerah tempat Om dan Tante tinggal. Cukup sepuluh menit kami sampai disana.
          “Tante, tolong jaga Pelangiku” ucapku setelah berbasa-basi, dan akhirnya aku menceritakan peristiwa pemerkosaan Pelangi, yang dilakukan oleh Ayahku sendiri. Tiba-tiba Kak Lintang menangis dan memeluk kami berdua.
          “Maafkan Kaka, adik-adiku.” Ucap kaka dengan bibir bergetar. Ada sedikit gurat-gurat rasa bersalah di wajahnya. Aku mengerti mungkin ia merasa tak bisa menjadi panutan. Tak bisa menjadi lintang yang benar-benar menerangi adik-adiknya dikala dalam kegelapan. Namun, aku tak  ingin menyalahkannya. Karena ini memang suratan yang telah menjadi kehendak_Nya.
          Setelah dua hari menginap dikebumen, akhirnya aku pulang menuju Cilacap. Meninggalkan Pelangi. Ada rasa kehilangan di hatiku. Ada rasa kesepian yang menyeruak dari batinku. Lalu, aku mencium keningnya, dan,
          “Pelangi, Kaka pulang dulu, ada Kak Lintang yang akan menemanimu dan menggantikan pelukan-pelukan Kaka, kalau rindu pada Kaka, kirim Doa buat kaka dan datanglah ke pesisir laut tempat kita mencurahkan air mata ketika menunggu Ibu. Semangat belajar. Dan gapai mimpimu”
          “Kaka, baik-baik yah” ucapnya sambil melepas pelukanku. Ada seulas senyum di bibirnya. Senyum yang begitu manis. Aku yakin ketakutannya telah hilang. Lalu, setelah aku berpamitan dengan Kak Lintang, Tante dan Om Arif, aku melangkahkan kaki menuju kota bercahaya, cahaya yang menurutku telah redup, meninggalkan Pelangi dengan harapannya.  Harapan meniti masa depan dengan menghapus kekelaman yang pernah singgah untuk sementara.
***

          Senja menjemput nafas dalam diriku. Jarak yang jauh terasa dalam ketukan. Meninggalkan bayangan-bayangan ombak di pesisir pantai. Yang selalu bersitatatap dengan wajahku. Hingga aku tak lagi pernah menyapannya. Menjauhinya dan lari meninggalkannya.
          Sore itu, angin berhembus kencang. Menyapaku yang tengah asik berbincang dengan pohon-pohon di halaman belakang. Kupandangi mereka satu persatu, tak terasa ternyata pohon-pohon itu telah tumbuh meninggi. Meninggalkan masa kecil hingga kini tumbuh dan berusaha menyangga langit. Seperti yang tengah bergulir dalam fikikrku. Masa laluku kini tengah lari. Masa depan pun bergantian datang menjemput walau akhirnya kelam tak ada bedanya. Mungkin sejarah kehidupanku harus bertahtakan hitam pekat, hingga tiada akhir putih yang menjemput.
          Lima bulan berlalu. Setelah aku tak bersama Pelangi lagi, hidupku benar-benar terasa sepi. Tak mampu aku menggeliyat dalam kesepian itu. Hingga aku lari mencari keramaian. Rumah yang terasa bagai neraka yang tertimbun reruntuhan sejarah masa lalu, membuatku enggan berlama-lama menutup pintu dan berdiam diri di balik pintu itu. Wajah Ayah yang semakin hari membuat isi perutku makin panas hingga ingin keluar ceceran muntahan nanah kebencian. Menjadi pelangkap untuk aku enggan di rumah.
          Semenjak kelas dua SMA, hidupku semakin tidak jelas. Aku mulai senang keluyuran malam. Hingga aku mulai mengenal minuman. Awalnya aku sangat menikmati itu. Hingga membuatku kecanduan. Tak pernah ada malam-malamku yang tersisa di rumah. Berdiam diri dan membaca buku seperti dahulu.
          “Aku memang tak ada bedanya dengan Ayah sekarang” ucapku lirih. Ketika aku merenungi nasibku sendiri. Yang kian hancur. Tapi tak adil bagiku jika aku menyalahkan diriku sendiri. Justru Ayahlah yang berperan besar mengantarkanku dan mengenalkanku pada dunia yang kini aku nikahi. Dan membuatku berjanji untuk setia dengannya. Setia dengan minuman kerasku, setia dengan pil ekstasi. Dan setia pada malam-malam yang selalu menemani. Hingga tak pernah sedikitpun aku melewatkan malamku dengan memejamkan mata.
          Seperti hari ini, ketika aku begitu muak dengan Ayah. Muak dengan sandiwaranya membohongi Ibu diluar sana. Huh, begitu membuatku miris. tak ada kebencian yang memuncak kecuali ketika Ayah membohongi Ibu, dengan sederet cerita palsunya. Sudah tak sabar aku menunggu kepulangan Ibu.
          “Ibu, Daun masih memerlukan biaya besar sampai lulus SMA. Bertahanlah Ibu di Malaysia. Ayah akan menjaga mereka dengan seluruh waktu Ayah dan kasih sayang Ayah” ucap Ayahku ketika Ibu menelfon di Suatu pagi. Aku langsung lari mendengar itu semua. Tak kuat hatiku menerima semua itu. Aku langsung mencari kawan-kawanku dan mencurahkan perihku hingga benar-benar hilang.
            “Zal, malam  ini kita mabok sepuasnya” ucapku pada Rizal. Salah satu sahabatku dari kelas satu SMA. Berawal dari nasib yang sama-sama menyesakan. Kami semakin akrab dan berjanji untuk selalu bersama. karena hanya dia yang tahu seluruh masalahku. Begitu pula denganku. yang selalu menjadi keluh kesahnya dikala melihat orang tuannya bertengkar. Kami memang kumpulan orang-orang yang terbuang dari kasih sayang dan rengkuhan keluarga.
          Yang aku herankan, mereka tak pernah sadar. Bahwa kami menderita dengan tingkah laku mereka. Mereka tak pernah mengerti bahwa kita adalah orang-orang yang tertindas dengan segala ucapan mereka dan tingkah mereka yang tidak sedikitpun memperlihatkan bahwa mereka telah dewasa.
          “Mengapa mereka tak pernah memberikan contoh yang baik” teriaku sambil meneguk wine yang ada ditanganku.  Lalu, aku menghabiskannya dan terasa melayang. Terbang seluruh masalahku.
          Yah, Tuhan tak lagi ingin berkawan denganku. lihatlah wahai Tuhan, kini aku telah punya kawan baru. Yang justru lebih mengerti penderitaanku. Ia mengerti apa yang aku butuhkan, ia membawaku terbang bersama malam dan mengajariku melupakan masalah. Tidak seperti Engkau yang hanya diam membisu melihatku berdarah-darah meniti hari. Lalu, aku meneguk minuman itu lagi. hingga botol terasa ringan dan tubuhku melayang. Semua terasa gelap. Melayang, indah dan terasa ringan.
***
                         Tiga hari bertarung sebagai pembuktian belajar selama tiga tahun, kini telah terlewati. Hari yang kutunggu akhirnya datang juga. Hari dimana semua siswa berpacu dengan andrenalinnya. Haruskah ia menerima hasil dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kiri penuh tangis darah dan penutup wajah. Yah, ujian nasional memang membuat kami para siswa mengalami stress yang berlebihan. Kontrol jantung yang kurang. Hingga penguasaan rasa was-was yang sangat lemah. Karena rasa takut yang berlebihan akan hasil yang mengecewakan.
            Seperti aku dan Rizal hari ini. Hanya duduk termenung di bawah pohon beringin dibelakang sekolah. Ayahku yang datang dengan sepeda motornya, sama sekali tak kusapa. Masih enggan aku bertegur sapa dengannya. Walau aku tahu, ia datang kemari untuk menyaksikan keberhasilanku. Tapi, aku tetap tak bisa menerimannya dan mengucapkan terimakasih padanya. Karena pagi ini, dibalik penampilannya yang rapih, senyumnya yang ramah pada setiap orang yang duduk dikanan kirinya. Hanyalah sebuah topeng yang menutupi semua tingkah bejadnya. Aku tetap akan membencinya sampai kapanpun.

            Kebencianku padamu telah melumut
            Mengalir bersama darah hingga mennyatu menjadi kulit
            Bersama luka-luka yang kau torehkan
Hingga menganga dan membusuk
Entah sampai kapan aku tak mampu menjahitnya
Sampai benar-benar aku temukan benang untuk menjahit lukaku
Yang telah menganga begitu lebar.

“Daun, selamat yah, akhirnya kamu lulus dengan nilai-nilai yang bagus” ucap Bu Yanah, guru matematikaku. Guru yang begitu perhatian dan begitu sayang denganku. Teringat empat bulan lalu, ketika aku melewati satu minggu tak mendatangi sekolah. Bu Yanah lah yang selalu sibuk mencariku dan akhirnya, ia menemukanku sedang di rel kereta api. Duduk sendiri dan memeluk satu botol wine.
“Daun, sudah tiga hari ini Ibu mencarimu” ucap Bu yanah mengagetkanku. Aku hanya menoleh. Tak berani lama-lama aku menatap matanya, terasa menghujam ke hatiku. Ada rasa kalah yang menyeruak jika aku menatap matanya yang bening itu. Lalu, ia mendekatiku dan memeluku. Terasa begitu hangat sehangat pelukan Ibuku dahulu, huh begitu lama aku merindukan pelukannya.
“Ibu dan kawan-kawanmu menantimu di bangku panjang itu. Ibu dan kawan-kawanmu merindukan kata-katamu yang terata rapi ketika menjelaskan teori logaritma, integral, persamaan linier” lanjut Bu Yanah mengingatkanku pada saat asiknya belajar matematika bersama teman-teman. Aku sebenarnya sangat merindukan masa-masa itu. Tapi semenjak aku mengenal minuman keras, dan terbiasa bergaul dengan malam, terasa malas aku mengenalnya lagi. Walau aku tahu, efek minuman dan begadangku membuat otaku kerdil. Tapi aku tak punya jalan lain. Hanya itu yang membuatku tenang. Hanya degan jalan itu semau beban dipundaku terasa terangkat.
Aku hanya tertunduk malu. Lalu Bu Yanah duduk disampingku. Dan mengajaku berbicara dari hati ke hati.
“Daun, hidup tak cuma sejengkal. Pahitmu dan rasa kotormu hanya secuil. Seharusnya kamu malu dengan lautan yang setiap sore kamu ajak berbincang. Apakah lautan itu pernah mengeluh walau menjadi pembuangan limbah. Apa ia pernah berteriak ketika ia menjadi tempat terakhir kotoran-kotaran yang sungai bawa. Apa ia pernah menangis ketika menyaksikan seorang nelayan yang tidak beradab mengahancurkan kehidupan di bawahnya? Tidak kan? Karena lautan itu luas dan selalu bisa menetralisir apa yang ia terima. Hingga bagi orang-orang Islam ia bisa untuk bersuci” ucap Bu Yanah panjang lebar. Seperti ada sengatan sinar yang menyentuhku. Tubuhku terasa panas, dan bergetar. Aku kini berani menatapnya. Ia benar-benar memberiku kekuatan.
Lalu, aku berjalan beriringan dengan Bu Yanah. Dan ia mengantarkanku pulang kerumah.
“Daun, memang hebat Bu” ledek Rizal dengan menyentuh sikuku.
“Daun, aku bangga padamu. Sudah beberapa botol masuk kedalam tubuhmu. Kamu masih mampu menghafal teori Roucekn Warent tentang sosiologi, interaksi sosial. Hingga teori para filosofis yunani seperti Aristhoteles, Plato dan Socrates” puji Rizal lagi.
Bu yanah masih tersenyum dan memegang pundaku. Aku hanya balas tersenyum dengan pujian Rizal. Lalu,
“Jangan salah Zal, walau aku nakal begini, Tuhan masih menganugrahi otak tingkat medium bagiku dan aku tergolong  anak yang mempunyai kelebihan giftedness. Yah, tidak tinggi-tinggi si paling sekor IQ ku ya sekitar 140 lah” jawabku. Lalu tak segan-segan ia menimpuku dengan buku yang ada ditangannya. Dan kami tertawa bersama.
“Sialan Lho, emangnya kamu kira aku ini tergolong mentally retarded?” balasnya dengan nada bercanda. Bu Yanah yang dari tadi pasang wajah serius ikut tersenyum.
Aku pulang ke rumah mendahului Ayah. Masih tak sudi aku berjalan beriringan dengannya. Terasa ingin cepat-cepat membalikan badan jika aku tak sengaja bertatapan dengannya. Walau Ayah sudah berkali-kali  meminta maaf padaku dan mengajaku berbicara. Tapi aku selalu sengaja menghindar dan mengatupkan bibirku. Terasa berat untuk menjawab semua pertanyannya. Hingga hari ini. Baru saja tiga puluh menit aku sampai dirumah.  Ada beberapa polisi datang kerumahku dan mengabarkanku bahwa Ayah mengalami kecelakaan. Sepeda motornya terserempet oleh sebuah truk. Aku tersenyum, ada sedikit rasa bahagia. Dan, Justru aku mengamini kabar mereka.
Namun, dengan segala kepura-puraanku aku datang kerumah sakit dan menjenguk kamarnya. Kulihat Ayah tak berdaya. Watak kepongahnnya telah tertundukan oleh perban yang membalut kepalanya. Ada sedikit senyum yang menguasai hatiku. Dendamku terasa terbalas.
“Saudara Daun, pasien ingin berbicara dengan Anda. Ia sudah siuman” panggil dokter yang merawat Ayahku. Lalu, aku mengiyakannya. Dan dengan langkah berat aku memasuki kamar Ayah. Masih dengan wajah acuh aku menyambut senyumnya. Ketika aku duduk disamping ranjangnya, tiba-tiba  Ayah memegang tanganku. Kulihat ia meneteskan air mata.
            “Daun, kamu selalu menjadi kebanggaan Ayah. Tetaplah menjadi Daun yang selalu bisa bermanfaat untuk orang lain dan dirimu sendiri. Maafkan Ayah yang telah meracuni ranting hidupmu. Maafkan Ayah yang telah mematahkan batang-batang masa depanmu” ucap Ayah dengan nafas tersengal-sengal. Aku masih membisu. Terasa tersentuh hatiku yang paling dalam. Sebenarnya aku sangat merindukan Ayah yang seperti ini. Aku sangat rindu dengan sabda Ayah yang begitu menyejukan hati. Aku sangat merindukan itu semua.
Selang beberapa menit, aku tak sengaja melihat Electro kardio grafi yang berada di kanan tempat tidur Ayah mulai mendatar. Gerakan gelombang naik turunnya sudah tak menentu. Makin lama makin menurun hingga benar-benar membentuk garis lurus. Aku langsung berlari memanggil dokter. Nafasku memburu tak beraturan. Tangan Ayah semakin dingin. Dan lama-kelamaan matanya menutup. Kulihat ada senyum yang simpul.
“Ayah. Bangun. Ayah” teriaku sambil mengoyang-goyangkan tangannya. Ada rasa kehilangan bercampur kebahagiaan yang kurasakan. Jiwa terdalamku merasakan sedih, bahwa aku kini menjadi seorang anak yatim. Namun, rasioku mnegatakan bahwa inilah akhir dari penderitaan. Namun, aku tak kuasa akhirnya aku memeluk jasadnya. Jasad yang dulu membuatku mual. Jasad yang dulu selalu membuatku berkalang duka. Ada setetes air mata dari jiwa kanak-kanaku yang dulu  selalu dipeluknya. Ada setetes kesedihanku. Tapi, aku menyadari ia tetap Ayahku. Ayah yang mengajariku banyak hal. Lalu, aku menutup wajahnya dengan kain putih. Selamat jalan Ayah. Aku hanya bisa membalas semua uluran kasih sayang yang pernah kau curahkan dengan sebaris doa dari lubuk hatiku. Terimakasih untuk semuannya. Walau di akhir hidup engkau benar-benar mengjarakan bagaimana melukis dengan warna darah yang hitam pekat.


12
Kotak Masa Lalu 3:
   Sayap Terhangat


Aku merasa begitu bahagia. Ketika Paman Hendra datang dan mengabarkan bahwa Ibu akan Pulang. Sudah empat puluh hari semenjak ditinggal Ayah, aku  hidup dalam kesendirian. Rumah begitu terasa dingin dan sepi. Kini, dalam waktu lima hari lagi akan terasa hangat. Malam-malamnya akan terjaga seperti dahulu. aku akan kembali mendengarkan suara dan dongeng malam yang menentramkan hati. Suara yang akan mendinginkan dari bisikan kehidupan yang sempat memelas dan merintih sangat dalam. Aku akan kembali merasakan sentuhan sayap-sayap putih yang begitu menghangatkan.
“Aku sudah tak sabar menunggu hari itu” lirih ku. sambil menantap bulan yang tergantung di langit luas. Betapa indah bulan malam ini. Seindah perasaan aku, seindah tatapan rembulan padaku.
   Dua hari kemudian, Bu Yanah datang dengan setumpukan formulir ditangannya. Berbagai macam nam Universitas ia bacakan satu-satu. Dari UNY, UGM, hingga UNSOED yang paling dekat dari Cilacap. Namun, aku hanya menggeleng lemah. Bukannya aku tidak ingin kuliah. Tapi aku ingin menunggu Ibu. Semua keputusan hanya ada ditangan Ibu.
“Bu, maaf. Bukannya Daun menolak. Tapi Daun ingin meminta izin pada Ibu dulu” ucapku ketika Bu Yanah tengah sibuk merayuku. Akhirnya ia mengalah dan berjanji akan datang ketika aku sudah mempunyai jawaban.
“Ya sudah. Yang penting kamu melanjutkan S1. Agar kamu punya bekal pendidikan dan mengurangi satu dari sekian juta manusia yang berjajar dengan kebodohannya” nasihat Bu yanah dan ia pun pamit pulang.
Sebelum berangkat menjemput Ibu bersama Paman Hendra, aku mneyempatkan diri untuk menabur Bunga diatas tanah yang kini menyembunyikan jasad Ayah. Lalu, aku pamitan dengannya.
“Ayah. Aku yakin kau mendengarku di bawah sana. Hari ini, aku akan menjemput kepak sayap yang pernah terbang karena kita. Hari ini aku akan menjemput senyum yang pernah jauh dari tatapan mata kasatku. Apa Ayah ingin titip salam untuknya atau sekedar bosa-basi untuk meminta maaf? Pasti aku akan meyampaikanya.” Ucapku ditengah kesepian makam. Dengan ditemani Daun kamboja yang berguguran. Lalu, setelah mengirim doa untuknya aku keluar dari area pemakaman. Dan siap-siap pergi dengan mobil Paman Hendra yang tengah menungguku. Dan akan mengantarkan kami menuju bandara Adi Sutjipto.
 Setelah pukul tujuh malam, akhirnya, mobil yang kami tumpangi memasuki area parkir bandara. Terasa pegal-pegal badanku. Tak terasa perjalanan selama lima jam telah kami tempuh. Rasa bosan dan penat tak terasa. Karena semua itu akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara. Tergantikan dengan rengkuhan tangan-tanangnya yang lembut.
Sudah tak sabar aku menunggu pesawat  Boeing 737-400. Yang dioperasikan oleh Malaysia Air lines. Yang akan mendarat pukul delapan malam. Ibuku sengaja ikut jadwal penerbangan itu. Karena selain cepat, juga Ibu sudah ingin berjumpa denganku. tak sedikitpun rasa kantuk menyerangku. Pertahananku lebih kuat dari pada rasa capek yang kini menggeluti badanku. Hanya rasa bosan yang membuatku merasakan lama. Akhirnya, aku bangkt dari tempatku duduk dan melihat-lihat area bandara. Sungguh indah dan luas. Batinku.
Aku menjadi teringat tentang sejarah bandara adi Sutjipto  ini. Guru sejarahku pernah menjelaskan bahwa nama asli dari bandara ini dulu bukanlah Adi sutjipto melainkan Maghuwo dengan luas : 88,690 m²,. Sesuai dengan nama tempatnya yaitu di desa Maghuwoharjo. Penggantian nama dilakukan setelah pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikan oleh Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto ditembak jatuh oleh pesawat Belanda tanggal 29 Juli 1947. Semula merupakan lapangan udara militer namun penggunaannya diperluas untuk kepentingan sipil. Hingga sekarang masih terdapat bagian yang merupakan daerah tertutup (terbatas untuk kegiatan militer). Bandar udara ini juga merupakan bandar udara pendidikan Akademi Angkatan Udara dari TNI Angkatan Udara. Juga Skadron Pendidikan 101 (FFA AS-202-18A, T-41D) dan Skadron Pendidikan 102 (T-34C, KAI KT-1).
Suara sirine disusul dengan suara wanita dari bagian informasi terdengar begitu jelas. Menandakan sebentar lagi pesawat dari Malaysia yang kami tunggu akan segera mendarat. Lalu, aku mendekati Paman Hendra. Dan bersiap-siap menuju bagian tempat tunggu bagi para penjemput. Tiba-tiba aku merasakan gelisah yang sangat dalam. Darahku mengalir begitu cepat. Andrenalinku berpacu lebih dari biasanya. Tanganku begitu dingin. Suhu badanku kini tak menentu Mungkin hampir melebihi 36.8 °C ± 0.7 °C, atau 98.2 °F ± 1.3 °. Huh aku kehilangan kendali. Mungkin karena aku telah begitu lama merindukannya. Lebih dari lima tahun aku tak berjumpa dengan Ibu.
Selang dua puluh menit, wajah yang dulu begitu aku kenal mendekati kami. Mungkin karena papan nama yang telah di junjung tinggi-tinggi oleh Paman Hendra. Ia langsung mendekati kami. Ibuku begitu terlihat cantik.
“Daun, kamu sudah besar. Ibu sangat merindukanmu” ucapnya sambil memeluku. Air matanya jatuh. Terasa hangat menetesi pundakku. Tak mampu aku menahan rindu yang selama ini terpendam. Dan kini begitu saja aku tumpahkan, Air mataku pun mengalir. Betapa bahagianya aku malam ini. Ibu merangkulku di balik air matanya. Ibuku telah kembali mendawaikan nada-nada surga.
“Ibu. Daun begitu Rindu dengan Ibu” lirihku ditelinga Ibu. Telah hilang semua kesedihan di dalam hidupku yang seperti dalam kematian. Telah hilang nestapaku yang selama ini menantang kesunyian dan telah beranak pinak menjadi kesengsaraan. Tapi hari ini, malam ini, Ibu telah menghapusnya. Dengan nada-nada kasih sayangnya dan senyum yang lebih indah dari pada taman kota atau taman-taman yang berisi sejuta bunga sekalipun. Karena senyum Ibu lebih menjanjikan surga buatku dan buat semua anak-anaknya.
Lalu, Aku, Ibu, dan Paman Hendra berjalan beriringan. Ibu masih merangkul pundaku. Aku tahu, arti dekapan tangannya mengisyaratkan bahwa rindu yang ia pendam begitu besar. Bahkan lebih besar dari pada bandara Adi Sudjipto ini. Kami segera menuju mobil. Sudah tak sabar aku ingin berbagi kebahagiaan dengan Pelangi dan Kak Lintang. Yang sengaja tadi sore pulang kerumah. Hanya ingin bertemu dengan pemberi kasih sayang yang tiada akhir,. Pemberi kehidupan dari air susunya yang selalu mengalir kedalam tubuhnya.  Kami siap menmpuh perjalan selama lebih dari lima jam lagi. Namun, perjalanan untuk kembali kerumah menurutku tidak akan terasa. Seperti saat tadi siang. Ketika Ibu belum di sampingku.
“Oh, Ibu. Memang kasih sayang dan senyumu mewakili keindahan surga.” Batinku dalam hati, lalu aku terlelalp masih dalam pelukan Ibu.  aku yakin, hari-hari aku akan terasa lebih indah dan berwarna. Aku takan pernah lagi merasakan kesepian dan nestapa seperti senja kemarin sebelum Ibu datang. Sebelum Ibu pulang. Oh Ibu, tanganmu begitu beraromakan surga. Senyumu adalah seperuh hidupku. Betapa bahagiannya, bila dalam hidup ini selalu dalam rengkuhan kasih sayang Ibu. semua akan terasa ringan. Semua akan terasa indah.
***
             
Tepat jam tiga pagi kami sampai dirumah. Lelah, lusuh bercampur menjadi satu. Kulihat Pelangi yang sudah terlelap di samping Kak Lintang. Mungkin Kak Lintang sengaja tidak tidur. Karena menunggu kami. Dengan langkah perlahan ia mendekati kami. Lalu memeluk Ibu. Walau ia tak pernah tingal serumah dengan kami. Tapi terlihat dari pancaran matanya. Ia juga begitu rindu pada Ibu. Yah, memang sejauh apapun anak dari Ibunya. Ia akan tetap menyayangi dan mengaharap belaiannnya. Walau ia tak begitu dekat seperti anak-anak yang tinggal bersama. Tapi, darah yang mengalir dalam tubuhnya, selalu menarik dan mengikat untuk tetap sayang dan mengharap pelukan dari Ibunya. Wanita yang telah bersusah payah mengelauarkan darah untuk kelahirannya.
“kamu sudah dewasa anakku” ucap Ibu sambil mengusap rambut Kak Lintang. Lalu Ibu mngecup keningnnya. Kami memang sengaja tak membangunkan Pelangi. Agar di pagi hari menjadi pagi harinya yang indah.
Terdengar Adzan berkumandang dari menara masjid. Asholatu khairuminannaum. lebih baik medirikan sholat dari pada tidur. Pertanda akan dimulainnya aktivitas dengan diawali dua rakaat. Sudah lama aku tak menginjakan kakiku di masjid itu. Tak seperti dikala aku masih kecil. Berlarian dipelataran hingga mengaji dengan Ustadz Faiz. Untuk mengucapkan lafadz sholatpun kini lidahku telah kelu. Semua peristiwa lalu membuatku lupa gerakan sholat. Membuatku lupa bagaimana membaca al-Qur’an.
“Ka Lintang, apa Ibu dan Kak Daun sudah sampai?” Tanya Pelangi saat ia terbangun dar tidur. Terlihat matanya yang masih setengah tertutup. Dan sebentar-sebentar menguap. Tanda ia masih mengantuk.
“Tidak tahu, coba kamu lihat saja dikamarnya” jawab kak Lintnang sedikit berbohong. Kami ingin memberi kejutan padanya. lalu Pelangi berjalan dengan setengah sadar. Mata yang masih mengantuk terlihat setengah-setengah ketika ia membukannya. Lalu, ketika ia membuka kamar Ibu. Kontan matanya terbuka lebar. Rasa kantuk yang menguasainya buru-buru pergi. lalu ia berlari mendekati Wanita yang tengah berdiri membereskan barang-barang di koper yang ia bawa tadi malam.
“Ibu,” teriak Pelangi lalu memeluk tubuhnya yang kini terlihat kurus. Aku dan Kak Lintang mersa bahagia. Melihat si bungsu yang selalu manja bertemu dengan Ibu. Lalu kami pergi ke ruang tamu. Karena kami tidak ingin mengaggangu mereka. Aku tahu, sudah lama Pelangi menantikan masa-masa ini. Selang beberapa menit mereka menyusul kami keruang tamu. Pelangi masih merangkul Ibu dengan manja. Terlihat lebih ringan hidupnya sekarang. Wajahnya terlihat begitu sumringah walau bangun tidur. Mungkin karena beban hidup yang selama ini ia tanggung telah meleleh dalam pelukan Ibu. Begitu ajaib memang pelukan Ibu. Melebihi hangatnya sinar mentari. Bahkan melebihi terangnya sinar rembulan di antara gelapnya malam. Pelukan Ibu tidak hanya sekedar menghangatkan, namun juga pelipur lara dan menenangkan. Alangkah malangnya, jika manusia menyia-nyiakan seorang Ibu.karena sama saja ia telah menyia-nyiakan surga yang dijanjikan Tuhan.

***

            Hampir selama tiga minggu kami melewati kebersamaan yang begitu menenangkan dan membahagiakan. Aku, Kak Lintang, Ibu dan  juga Pelangi, selalu menghabiskan waktu dengan tertawa dan bercanda. Jika di siang hari, kami pergi berbelanja, mengunjungi tempat wisata dan mengunjungi tempat-tempat saudara kami yang jauh. Ketika di malam hari, kami selalu menghabiskan waktu di beranda rumah. Memandang cahaya bulan yang begitu terasa indah dengan warna kuningnya. Langit yang kami tatap terasa berbeda dari biasanya. Hingga malam larut, terkadang kami masih sangat asyik bercanda ini, itu. Kami tidur selalu bersama. Dalam satu ranjang. Terasa lengkap kebahagiaan kami karena hadirnya seorang Ibu.
            Namun, kebersamaan kami harus terhenti. Dengan hadirnya tuntutan pendidikan. Pelangi harus masuk sekolah dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi ujian nasional. Karena ia kini telah menjadi siswa kelas tiga. Begitu juga dengan Kak Lintang. Ia kini telah menduduki semester tiga. Tugas yang begitu melelahkan harus ia selesaikan. Hanya tinggal aku dan Ibu serta bersama rumah sederhana yang selalu setia sebagai saksi bisu perjalanan kami.
            “Ibu, Pelangi dan Kak Lintang Pamit yah. Kami harus sekolah” pamit Pelangi disuatu pagi. Sambil membereskan pakiannya ke dalam tas. Terasa berat Ibu melepas mereka. Walau Ibu tahu, kepulangan mereka kerumah Om dan Tante Arif di Kebumen demi menyelesaikan sekolah. Namun, naluri seorang Ibu jika ditinggalkan seorang anak tetap merasa khawatir dan sedih walau dengan tujuan yang baik.
            “Baiklah sayang. Belajarlah dengan baik. Perkualitas dirimu agar nanti engkau mendapatkan sesuatu yang lebih berkualitas. Karena jika kamu menjadi orang yang berkulitas maka apa yang kamu peroleh akan lebih berkulitas. Baik jodoh maupun rizki” ucap Ibu memberi nasihat. Pelangi dan Kak Lintang mengangguk. Tanda mereka mengiyakan. Terasa begitu sebentar kebersamaan kami. Baru sebentar aku merasakan keluraga yang utuh. Walau sesungguhnya tidak utuh. Karena tanpa hadirnya seorang Ayah. Namun, jika Ayah seperti Ayah kami sama saja hanya merusak kebahagian kami. Lalu mereka berpamitan. Aku dan Ibu mengantarkannya menuju terminal.
            “Kini, hanya tingal aku dan Ibu yang akan memulai babak kehidupan yang baru” ucapku dalam hati. Lalu aku dan Ibu melangkahkan kaki pulang ke rumah.
Terasa begitu hampa hari-hari yang kami lewati.  Rumah tak seramai seperti ketika ada Kak Lintang dan Pelangi. terasa sepi kembali menyapa kami. Kulihat Ibu yang semakin hari semakin bosan. Tak seperti dahulu lagi ketika masih ada Ayah. Ibu selalu menunggu Ayah pulang dengan hidangan-hidangannya di meja. Ibu selalu menemani kami belajar. Tapi, semenjak kepergian Pelangi dan Kak Lintang. Kulihat ia merasa begitu kesepian. Begitu juga denganku.
            Semenjak lulus dari SMA kemarin, hal yang sering aku lakukan hanyalah duduk di beranda rumah, dan bolak-balik ke tempat tidur. Hanya dengan buku harian aku curahkan semua kebosananku. Walaupun Ibu sudah ada disisiku, namun aku tetap merasa ada yang kurang. Kebahagian kurasa tak sempurna. Karena beberapa hari belakangan, pelukan Ibu terasa dingin di tubuhku. Aku juga merasa menjadi tak sedekat dulu dengan Ibu. Namun, bukan berarti aku tak sayang lagi dengannya. Hanya aku merasa belum terbiasa. Aku masih merasa kaku bila ingin mengungkapkan sesuatu dengannya. Hingga aku berbicara hanya pada batas yang penting saja. Mungkin, karena lebih dari lima tahun Ibu meninggalkanku.
            ‘Daun, Ibu besok mau mencari kerja” ucap Ibuku di suatu pagi. Ketika aku sedang duduk melamun memandang pepohonan yang melonggok-lenggok karena tertiup angin. Rantingnya yang melambai-lambai sepertinya hendak mengajaku bermain. Ranting-ranting di atas sana sepertinya mengerti kalau aku membutuhkan teman.
            “Ibu mau kerja apah?” tanyaku bingung.
            “Yah, nanti kalau ada yang cocok pasti Ibu akan bekerja. Otot-otot Ibu terasa kaku sama sekali tidak pernah bergerak. Selain itu, uang tabungan Ibu juga pasti lama-lama menipis. Sedangkan hidup kita juga butuh biaya” terang Ibu. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Aku juga tidak bisa menolak keinginan Ibu. Karena memang ekonomi sangat menuntut kami. Sedangkan aku sudah mendaftar kemana-mana tetap saja masih gagal. Mungkin hanya berbekal ijasah SMA. Mereka meragukanku. Sedangkan sarjana saja masih banyak yang menganggur. Huft makin berat saja hidup ini kujalani.
            “Mengapa aku selalu begini” keluhku dalam hati. Lalu, aku bangun dari tempatku duduk dan mebiarkan Ibu termenung sendirian. Aku tahu mungkin Ibu berfikir sama dengan yang aku fikirkan. Bingung dan merasa kesepian. Kesepian karena tidak punya kegiatan, kesepian karena kehilangan Ayah. Kesepian karena tidak ada yang bisa di jadikannya tempet berkeluh kesah. Tidak seperti dulu ketika  masih ada Ayah. Ketika Ayah belum berubah tidak seperti seorang Ayah. Namun, aku hanya bisa mengenang masa lalu itu. Tak mungkin semua akan kembali.
            Lalu, aku mengambil buku catatan kesayanganku. Aku mulai menuliskan bait-bait kehidupanku.
            Buat selembar kehidupanku:
            Engkau buku biru yang setia menjadi sahabatku. Andaikan kau tak membisu, Pasti sudah kuajak kau bermain dan bercerita. Tentang malangnya nasibku dan penderitaan yang selalu berpihak padaku. Engkau selembar putih sahabatku, Engkau yang selalu menjadi saksiku. Betapa hidup ini tak pernah berarti. Hidupku yang seperti diambang kematian. Berkalang duka dan berkawan kesepian yang perlahan ingin merampas nafasku. hanya satu bisiku pada rembulan. Kembalikan sahabatku, kekasihku dan surgaku. Agar sepi tak memeluku. Disetiap malamku dan hariku. hingga aku mampu tersenyum menyapamu.
Tak terasa, saat ku tutup buku saksi kehidupanku. Malam telah larut. Seakan dingin menggigit hati. Berkawan sepi yang bertepi di pinggir derita. Lalu, kupejamkan mata. Melepas impian nyata diatas peraduan khayalan. Khayalan untuk menjemput kebahagiaan dan melepas derita yang selama ini membelengguku. Walau itu adalah hal terkonyol yang aku inginkan. Karena aku tahu Tuhan begitu bahagia melihat tangisku disetiap pagi. Dan perihku yang meleleh dibawah teriknya siang. Lalu. Aku mematikan lampu lima wath yang menggantung di atas ranjangku. Lalu, perlahan kupejamkan mataku dan kulepaskan segala penatku.








13
Kotak Masa Lalu 4:
Ketika Kesepian Menyapa

           Pagi yang cerah, ketika aku termenung di beranda rumah. Burung-burung meliuk di angkasa. Bersembunyi di balik awan putih pada pelataran birunya langit. Bak bersautan dengan tatapan matanya yang melayari langit lepas.  Duduk terdiam dan mengatupkan kedua bibirku, sembari merenungi nasib.  Adalah hal yang sering kali aku lakukan.  Bosan dan bimbang. Rasa yang bergelayut dalam hatiku, mengikuti arah perjalananku.
Semenjak pengumuman kelulusan Ujian nasional  tiga bulan yang lalu, serta hasil yang sangat  memuaskan. Nilai-nilai Sembilan dan delapan, berderet mengisi ijasah SMA ku. Tersembunyi harapan-harapan di balik angka-angka yang membentuk senyuman itu. Namun, setelah kepulangan Ibu dari Malaysia, nilai-nilai itu juga yang selalu mencabik-cabik ulu hatiku. Hingga membuatku putus asa. Lamaran telah aku masukan ke setiap perusahaan yang membuka lowongan. Namun, nasib baik belum berpihak padaku. Aku semakin membenci Tuhan dan menjauhi rapalan-rapalan sebagi bentuk pemujaan terhadapnya.
            “Tuhan, apa Engkau benar-benar telah membisu dan menutup mata terhadap kehidupanku?” teriakku, di tengahnya terik matahari yang siap membakar kulitku. Telah berjam-jam aku mengelilingi kota Cilacap. Menawarkan ijasah SMA yang kupunya. Demi mendapatkan pekerjaan. Namun, hasilnya tetap nihil. Hingga Aku berujung menyalahkan Tuhan. Aku begitu mebenci Tuhan. Lalu, aku begitu merasa putus asa. Aku tidak tahu apakah Tuhan sedang mengujiku atau benar-benar membenciku. Yang aku tahu hanyalah tentang kebisuan Tuhan. Tentang kebutaan mata Tuhan terhadap semua tragedi yang menimpaku. Yang aku  tahu sekarang, Tuhan sedang mempermainkanku. Hingga Aku tidak pernah sekalipun menyebut nama Tuhan dengan embel-embel kebaikan dan pemujaan dengan penuh hasrat cinta.
Lalu, setelah itu, hal yang sering aku perbuat hanyalah duduk di beranda rumah. Memandangi halaman yang penuh ranting-ranting pepohonan yang subur. Lalu, ketika aku lelah, pergi dan masuk kedalam kamar. Hingga begitu seterusnya hingga lebih dari tiga bulan. Hingga pada suatu ketika Ibu menegurku.
            “Daun, kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini sepertinya banyak sekali pikiran?” Tanya Ibu heran. Namun, aku hanya menjawab dengan senyuman. Yang mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Lalu kembali menoleh dan menekuri lamunananku. Sebenarnya aku ingin mengatakan. Kalau di fikiranku sedang penuh dengan kata-kata yang ingin kucurahkan padanya. Namun itu semua kutahan.  Aku sebenarnya juga tidak tega melihat Ibu yang kesepian. Kalau Ibu ingin kerja. Kalau Ibu bosan dirumah dan semua badannya pegal-pegal karena Ibu tak lama menggerakan ototnya untuk bekerja. Mungkin karena sudah kebiasannya di Malayasia. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga tanpa kenal lelah. Hingga ia merasa kaku karena harus banyak menggunakan waktunya untuk beristirahat dan bersantai.
Aku tahu, bahwa Ibu merindukan Ayah. Aku juga tahu kalau uang tabungan Ibu semakin menipis. Seberapapun banyaknya uang tabungan pasti habis jika selalu di gunakan dan tidak ada pemasukan sama sekali. Fikirku sekilas. Huh, sekilas terlihat dari raut wajah Ibu bahwa ia merasakan hal yang sama denganku. Bingung dan bosan dan tak kunjung memenukan jalan.  Sebenarnya,  aku tak begitu menyukai alur tuntutan kehidupan ini. Apalagi, ketika melihat Ibu belanja. Teringat bahwa biaya hidup semakin melangit. Semua serba mahal.
            “Jangan-jangan sepuluh tahun kedepan  bernafas harus menggunakan recehan” batinku ngilu. Akhirnya. Dengan kondisi yang serba memaksa ini aku mengizinkan Ibu bekerja. Awalnya aku tak tega melihat seorang wanita yang sudah berumur masih harus mencari nafkah. Namun, taqdir memang menghendakinya seperti itu. tuntutan ekonomi siap melanda siapa saja. Tak pernah memandang umur atau bahkan setatus sosial.
***

       Mentari mulai menampakan wajah cerahnya. Tanda hari yang baik untuk memulai aktifitas. Cuaca yang begitu mendukung, membuat orang-orang terlihat lebih bersemangat. Wajah yang sumringah, baju yang tertata rapih lengkap dengan dasi yang menggantung di leher, sepatu yang mengkilap. Menambah lengkapnya penampilan yang begitu rapih. Menandakan bahwa mereka adalah sederatan orang-orang ambisisus. Aku masih memperhatikan mereka, terlihat senyum yang sederhana menambah kewibawaan mereka. Tiba-tiba teringat pepatah jawa yang mengatakan  Ajining raga soko busana. Betapa pentingnya selembar pakain yang mampu menutupi  mereka dari karakter asli mereka.
            Lalu, mataku menunduk. Mengingat bahwa tujuan aku dan Ibuku pergi sepagi ini bukanlah ke gedung-gedung tempat mereka duduk bergelut dengan pena dan segudang pemikiran mereka. Namun, kami menuju sebuah pabrik yang berada di pinggiran kota Cilacap. Kira-kira tiga kilo meter jarak yang kami tempuh dari kota Cilacap. Hingga kami harus menggunkan angkutan desa. Sebuah pabrik jamu yang berada di kecamatan kesugihan.
            Ibu mendapat informasi dari Bu Supi, salah satu tetanggaku. Kalau di tempat kerjanya sedang membutuhkan  karyawan. Betapa senangnya Ibu saat itu, bagai pungguk yang benar-benar menemukan bulan. Begitu susah hingga hampir putus asa Ibu mencari kerjaan. Namun, tiba-tiba pekerjaan itu yang menghampiri Ibu lewat tangan BuSupi. Memang suatu kebetulan yang dinanti. Keberuntungan yang ditunggu. Memang tak ada suatu hal yang lebih baik dan mnyenangkan dari suatu kebetulan dan berujung menjadi keberuntungan. Pikirku.
       Sekitar jam delapan kami sampai di pabrik jamu. Tertulis di gapura Pabrik Jamu Jaya Guna.  Begitu luas, sekitar tanah tiga hektar menjadi tempat berdirinya gedung pengolahan jamu tradisional, dengan memperkarjakan karyawan sekitar seratus lima puluh orang. Benar-benar mengangkat pengangguran. Begitulah salah satu manfaat suatu perusahaan atau sejenisnya. Seandainya Negara Indonesia dominan dengan area industri pasti akan menjadi salah satu Negara maju dan mampu melunasi hutang-hutangnya.  Lalu kami masuk, mencari ruangan bapak direktur. Terlihat dikanan kiri, karyawan yang tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Terlihat dipojok kanan, dengan ruangan mewah. Mungkin itulah ruangan bapak direktur. Ternyata benar. Akhirnya aku dan Ibu masuk dan menyerahkan surat lamaran pekerjaan yang telah Ibu persipakan dua hari lalu. Benar-benar cara yang formal. Selang tiga puluh menit kami pulang, membawa senyuman. Karena Ibu langsung diterima dan esok harus sudah bekerja.
***
           
Ibu adalah sosok yang sangat ulet ketika bekerja. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun ketika Sedang membantu tetangga ketika sedang hajatan.  Selain itu, Ibu juga sangat pandai mengurus anak-anaknya. Begitu sabar dan penyayang. Sehingga ketika bekerja di pabrik jamu, ia sering mendapat pujian. Pantas saja jika dalam waktu lebih dari empat bulan Ibu sudah mendapat kepercayaan dari atasannya untuk mmegang jabatan di bidang pemasaran. Benar-benar kabar yang sangat baik buatku.
            “Daun, mungkin tahun depan kamu bisa melanjutkan kuliah, Ibu sudah mendapat pekerjaan tetap dan gajih yang cukup untuk sekedar menopang kehidupan kita sehari-hari. Ibu juga masih bisa menabung” ucap Ibu di suatu sore. bagai tersapu angin yang menyejukan. Aku mnerima  kabar itu. Aku akan sekolah lagi dan meneruskan cita-citaku yang sempat tertunda. Menjadi seorang ekonom yang handal yang akan mampu mengatur perekonomian negara dengan cerdas. Hingga tak ada lagi rakyat yang miskin maupun terjadi inflasi yang dapat menaikan harga semauanya. Dan menindas masyarakat kecil. Betapa menyedihkan ketika dalam posisi yang seperti itu. Posisi yang sedang aku rasakan. Merasakan bagaimana hausnya akan uang, merasakan betapa mahalnya biaya hidup.
“Ibu serius” tanyaku penasaran.
            “Ibu tidak pernah bohong sayang” jawab Ibu meyakinkanku. lalu aku memeluk Ibu. Aku benar-benar meluapkan kebahagiaan dalam pelukannya. Serasa hidupku kembali berhembus dengan nada-nada kesejukan. Seperti angin  sore ini yang menyapaku dengan kesejukannya.
***
















14
Kotak masa Lalu 5:
Ibu dan Keinginannya



Selain rajin dan ulet, Ibu adalah seorang wanita yang sangat cantik, pantas saja jika dimasa muda ia menjadi kembang desa. Dan menjadi rebutan para jejaka. Di usianya yang hampir lebih dari empat puluh tahun, Ibu masih kelihatan seperti wanita berumur 27 tahun. Mukanya yang beby face membuatnya selalu awet muda. Garis-garis di wajahnya juga tidak begitu terlihat. Kantung matanya juga tidak menyiratkan garis-garis tanda penuaan. Pantas saja jika begitu. Pada saat Ibu masih muda, ia adalah wanita yang gemar merawat kecantikan. Baik dari kulitnya, kesehatannya maupun rambutnya. Hingga ia bekerja di Malaysia pun ia masih sempat merawat semua itu. Katanya, kecantikan adalah mahkota perempuan. Jika wanita tak mampu menjaga kecantikannya, maka sudah terlihat bahwa ia tak menyayangi diri sendiri lantas bagaimana ia mampu menyayangi yang di sekitarnya.
Mungkin, karena sifatnya yang energik ditambah dengan kecantikan wajahnya yang belasteran indo-arab, membuatnya tampil berbeda dengan kawan sebayanya. Berawal dari hal tersebutlah. Ibu menganal seorang laki-laki yang bernama Arif. Seorang laki-laki yang ahirnya merebut pelukan seorang Ibu dari ankanya. Merebut waktu dan perhatian seorang Ibu dari buah hatinya. Dan akhirnya membuatku harus pupus harapan untuk melanjutkan kuliah.
Setelah lebih dari dua bulan Ibu menenpati jabatan kerja yang baru, relasinya semakin banyak. Dan jam kerjanya juga semakin bertambah. Hingga aku menjadi jarang sekali bersama dengannya. Ia berangkat ketika aku masih tertidur pulas dan pulang sudah hampir senja. Rasa cape telah menggerayanginnya. Sehingga menuntutnya untuk istirahat.
“Tuhan, dimanakah Engkau sebenarnya? Mengapa Engkau selalu membiarkanku sepi dalam sendiri?” rintihku lirih di sutu malam. Sambil memandang bulan yang tinggal separuh. Menyerupai sabit. Nanar aku melihat keindahannya. Entah karena perasaanku sedang gundah. Hingga memandang sesuatu yang indah tidak objektif. Ketika aku sedang menengadahkan jariku kearah langit lepas. Mencoba menghitung bintang yang sebenarnya tak dapat aku hitung. Ibu datang mendekatiku dan duduk disampingku. Sempat aku meliriknya sebentar, namun kembali aku menatap langit. Tiba-tiba Ibu  mengajaku bicara.
“Daun, berapa umurmu sekarang?” Tanya Ibu, membuatku sedikit kaget. Pertanyaan yang sangat konyol menurutku. Karena tak seperti biasanya Ibu menannyakan hal yang tidak penting. Namun, yang aku herankan, Ibu menanyakannya dengan wajah serius. Tak ada nada bercanda sedikitpun. Matannya mengisyaratkan bahwa ia meminta sesuatu padaku. Ternyata benar. Di balik pertannyaan sederhannya, Ibu menginginkan sesuatu yang tak pernah  terlintas dalam benaku. Walau sekali.
“Apa, Ibu ingin menikah lagi?” tanyaku setengah kaget, mendengar pernyataannya. Bahwa ia sedang dekat dengan seorang laki-laki. Yang menurutnya sangat pantas ia jadikan sebagai pendampingnya di hari tua.  Awalnya aku tak bisa menerima itu semua. Aku selalu breontak terhadap keinginannya. Aku selalu berusaha menjauhi Ibu. Aku selalu menghindar jika Ibu mengajaku bicara. Aku jarang sekali berada di rumah jika Ibu dirumah.  Lebih dari 2 bulan sikapku seperti itu. Hingga pada suatu hari aku mencurahkan perasaan benciku pada Rizal.
“Zal, aku  tidak bisa menerima ketika Ibu minta izin untuk menikah lagi” keluhku padannya.
“Daun, aku tahu itu memang berat. Kalau aku menjadi kamu mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Tapi aku sadar, seorang wanita  memang mebutuhkan seorang laki-laki. Begitu juga dengan Ibumu yang  membutuhkan pendamping hidup”  jawab Rizal. Aku hanya tertunduk. Aku bingung haruskah aku mengatakan ia atau atau tidak. Jika aku mengiyakan permintaan Ibu, sama saja aku akan kehilangannya dan aku akan mempunyai Ayah tiri. Aku masih trauma dengan sosok Ayah. Yang telah menorehkan luka pada hidupku.
Lalu, Rizal menyarankanku untuk meminta pendapat pada Ibu Yanah. Dan selang dua hari kami berkunjung ke rumahnya. Di daerah Adipala. Setelah menempuh jarak sekitar dua kilo meter, dan memakan waktu sekitar  empat puluh menit kami sampai di rumahnya. Begitu terlihat asri dan menyejukan. Berbagai macam bunga dan tanaman lain menyambut kami dengan lambaian tangkainnya. Mengisyaratkan senyuman yang indah dan bahagia akan kedatangan seorang tamu. Mungkin bunga dan tanaman-tanaman lain juga mengerti bahwa seorang tamu yang datang ke rumah membawa rizki tersendiri. Bu Yanah menyambut kami dengan senyum hangatnya. Benar-benar sosok seorang Ibu yang meneduhkan. Batinku.
“Daun, Rizal, mari masuk, Ibu sudah kangen sekali dengan kalian” ucapnya lembut. Lalu, setelah berbasa-basi cukup lama, aku mengutarakan maksudku datang kerumahnya. Bahwa aku mmebutuhkan wejangannya yang menyejukan.
“Ibu, bagaimanakah pendapat Ibu jika orang tua kita ingin menikah lagi?” tanyaku, dengan nada serius dan penuh harap, Bu Yanah mampu menjernihkan fikiranku dan mampu memberikanku solusi yang baik.
“Daun, menikah adalah sunah Nabi, dan merupakan kebutuhan manusia. Ada tiga hukum yang harus manusia mengerti jika ingin melakukan pernikahan. Yang pertama adalah wajib. Yaitu ketika manausia benar-benar sudah memiliki keinginan yang besar untuk menikah dan ia takut akan adanya fitnah. Dan yang kedua sunah. Yaitu ketika seorang manusia sudah mempunyai keinginan kuat untuk menikah namun ia masih mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang buruk. Dan yang terakhir ketika manusia diharamkan untuk melangsungkan akad pernikahan, ketika tidak adanya keinginan kuat untuk melakukan pernikahan dan tidak ada jaminan sedikitpun bahwa ia mampu memberikan nafkah lahir maupun batin.” Terang Bu Yanah. Membuatku semakin pusing.
“Menurut Ibu, Tidak ada salahnya jika kamu  mengizinkan Ibumu untuk menikah lagi. Jika seseorang mempunyai keinginan seperti itu dan ia sudah mempertimbangkan baik buruknya maka segerakanlah. Ibumu membutuhkan pendamping hidup. Entah untuk menemani hari tuannya, atau ia juga sudah lelah dan ingin menyandarkan hidupnya pada seorang suami. Karena menjaga kehormatan sebagai seorang wanita sangatlah sulit. Terlebih Ibumu adalah seorang janda. Yang sangat rentan terhadap fitnah”
Aku hanya mampu mengangguk dan mengatupkan kedua bibirku. Mencoba sedikit demi sedikit menyaring nasihatnya. Lalu, setelah  merasa cukup, aku dan Rizal pamit untuk pulang. Di jalan aku hanya terdiam dan mencoba merenungi setiap kata yang Bu Yanah ucapkan. Aku tak bisa memungkiri, memang ada benarnya, bahwa wanita memang mebutuhkan laki-laki sebagai penopang hidupnya. Sebagai tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Kepalaku terasa berputar. Aku memandang keluar jendela angkutan yang aku tumpangi. Terasa pepohonan yang aku tatap berlalari meninggalkanku. Serasa seperti hari-hari yang meninggalkanku dengan segala ceritanya. Dan akhirnya mengguris luka dihatiku.
***


Dengan berlinang air mata, Aku  berdiri tegak dan memandang hamparan air yang berlarian hingga ketepian. Kesedihan yang mendalam begitu menyayat hatiku hingga  lelehan air mata yang jatuh  menyiratkan warna berbeda. Seandainya, seseorang yang memiliki mata hati yang jernih, mungkin akan mampu melihat, bahwa warna air mataku menyerupai darah. Merah menyala. Menyimpan bara kesengsaraan dan kerinduan. 
            Lalu aku  berterikak pada lautan yang terhampar luas. Mencoba melepas perih yang mendekam dalam ulu hatiku. Benar-benar membuatku limbung.
            “Aku benci padannya. Ia benar-benar membuat jiwaku terguris luka. Aku benci padanya. Insan yang hanya tahu menelurusi nadi desakan. Insan yang hanya tahu mendaki segunung keegoan. Insan yang menghirup udara dingin yang mencemarkan lubuk perasaan. Insan yang membuatku hidup dalam kedapan jiwa yang tertekan. Aku benar-benar membencinya. Setiap kayuh langkahnya menciptakan bukit-bukit amarhku” teriaku dengan nada kesal. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Semenjak satu setengah bulan lalu akau pulang dari rumah Bu Yanah dan mengizinkan Ibu menikah lagi.
            Om Arif, nama laki-laki yang kini menjadi Ayah tiriku. Telah merebut semua pelukan-pelukan hangatku. Semenjak sebulan lalu, ia benar-benar melangsungkan akad nikah dengan Ibu, ia bagai seorang raja yang benar-benar bagai seorang raja yang absolute. Menguasai rakyatnya dengan sekehandaknya sendiri. Aku benar-benar menyesal telah mengizinkan Ibu menikah lagi. Aku benar-benar sengsara dengan keputusanku sendiri. Aku benar-benar membenci malam itu, malam yang telah menjadi saksi atas pembicaraanku dengan Ibu. Malam bersama sinar rembulannya yang menjadi saksiku merelakan Ibu untuk menikah lagi.
            Malam itu, sekitar pukul delapan malam. Ketika  rembulan yang bundar hampir menyerupai kuning telur. Baru beranjak dari arah barat. Aku mendekati Ibu yang sedang duduk sambil mengerjakan laporan-laporan mingguan pekerjaanya. Mungkin Ibu menangkap sikapku yang aneh. Hingga ia langsung menoleh dan menatap mataku dengan berbagai pertannyaan.
“Daun, ada apa? Sini duduk dekat Ibu!” lalu, aku duduk disampingnya. Tercium segar wangi kenanga dari tubuhnya. Bau minyak wangi ciri khas Ibu.
“Ibu, Daun ingin bertanya sesuatu” jawabku dengan nada hati-hati. Lalu, tiba-tiba bibirku kelu. Terasa susah sekali untuk meneruskan perbincanganku dengan Ibu. Namun tetap kupaksakan. Karena aku sudah terlanjur memulainya. Jadi aku pikir aku juga harus mengatakan semuanya.
“Ada apa Daun? sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu?”  Tanya Ibu penasaran. Sekaligus keheranan. Melihat sikapku yang salah tingkah. Karena aku bingung akan memulainya dari mana. Namun dengan usahaku untuk benar-benar memaksakan lidahku merangkai kata-kata. Akhirnya sederet rangkaian abjad keluar dari mulutku.
“Ibu, Daun tahu, seorang wanita memang sangat membutuhkan pendamping hidup. Begitu pula dengan Ibu.  Jika benar-benar Ibu membutuhkan seorang suami sebagai penopang hidup dan tempat berkeluh kesah, juga sebagai tempat menghindari fitnah. Maka menikahlah!” ucapku. Tiba-tiba Ibu memeluku. Aku merasakan aliran kebahagian dari setiap inci darahnya. Lalu aku menarik nafas panjang. Mencoba mneyerap kebahagiaan Ibu. Walau terasa sulit dan aku masih belum mampu. 
“Daun, terimakasih. Akhirnya kamu mengizinkan Ibu untuk menikah dengan Om Arif. Tapi apa sebenarnya yang membuatmu mengizinkan Ibu? Ibu tidak mau jika kamu terpaksa” ucap Ibu.
“Ibu, tiada kebahagiaan seorang anak melebihi kebahagian Ibunya. Jika Ibu bahagia, Daun juga bahagia. Karena Daun tidak ingin Ibu kesepian dan selalu sendiri” jawabku. Lalu, Ibu mencium keningku. Kulihat ada sesungging senyum di bibir mungilnya. Aku tahu, malam ini Ibu benar-benar merasa bahagia. Karena ia tidak akan merasakan kesepian lagi. ia takan pernah merasa sendiri lagi.
Sebulan kemudian, akad nikah pun berlangsung. Walau acara sangat sederhana, namun tetap saja terlihat meriah. Meriah dengan senyum dan tawa orang-orang yang datang. Ibu memang sengaja tidak mengundang banyak orang. Hanya kerabat dan tetangga dekat saja. Kak Lintang dan Pelangi pun tidak bisa datang. Kerena mereka sedang menghadapi ujian semester. Hanya titipan doa dan bahagia bisa mereka berikan. Tidak ada makanan mewah atau acara meriah lainnya. Setelah akad nikah selesai rumahku kembali sepi. Terasa sunyi yang mulai menggerogoti batinku. Aku begitu merasa sangat asing di rumahku sendiri. Aku merasa sungkan menyapa Ibu. Ia seperti orang lain sekarang. Ia seperti sangat jauh semenjak kehadirannya.      
            Semenjak Ibu menikah lagi, semua perhatiannya luput dariku. Ia tak pernah lagi menhujaniku dengan butiran-butiran permata cintanya. Ia jarang sekali membanjiri aku dengan kata-kata perhatiannya. Benar-benar aku merasa terkubur dalam kesepian dalam rumahku sendiri. Ditambah lagi  hubunganku dengan Ayah tiriku yang sangat dingin. Membuatku semakin jauh dari kehangatan Ibu. Ia benar-benar hanya memperhatikan suami barunya.
            “Daun, mengapa Ibu jarang sekali melihatmu berbicara dengan Ayah” tegur Ibu di suatu pagi. Namun, aku hanya meliriknya sebentar. Lalu aku pura-pura sibuk dengan gitar kesayanganku. Gitar yang selama ini selalu menemaniku.  Dalam kesepian dan kesendirian. Gitar yang benar-benar sangat berharga. Ibu membelikannya sewaktu baru pulang dari Malaysia dulu.
            “Daun, Kamu Ibu ajak bicara kenapa hanya diam?” lanjut Ibu. karena melihatku tidak bergeming sama sekali.
            “Ibu, Daun tidak apa-apa” jawabku singkat.
            “Apa, kamu mebenci Ayah?” tanyanya lagi. Belum sempat aku menjawab, kami mendengar suara laki-laki mengucap salam. Lalu Ibu cepat-cepat membukakan pintu. Ternyata benar, Om Arif sudah pulang kerja. Seperti biasanya, Ibu selalu sibuk menyambutnya dan mempersiapkan ini itu. Sebenarnya memang tidak ada yang salah dengan sikap dan perhatian Ibu. Aku sangat meyadari bahwa seperti itulah tugas seorang istri. Namun aku belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran seorang Ayah. Masih sedikit tersimpan rasa trauma dan benciku pada sosok Ayah. Walau aku tahu, Om Arif sedikit berbeda dengan Ayahku dulu.
            Om Arif, sebenarnya sosok yang baik. Ia juga terkadang perhatian denganku. Namun, aku dengan sengaja menepis perhatiannya. Aku hanya menganggap bahwa itu adalah trik dia untuk mendekatiku. Walau aku mengerti, kerinduannya akan sosok seorang anak. Lebih dari sepuluh tahun ia menjalin rumah tangga dengan mantan istrinya. Namun, nasib malang telah memisahkan mereka.  Hasil pemeriksaan dokter mengharuskan mereka harus bercerai. Om Arif dinyatakan mandul. Sedangkan istrinya benar-benar tidak mau memahaminya. Untuk mengadopsi anak pun tidak mau. Akhirnya mereka harus berpisah tepat di usia sepuluh tahun pernikahan mereka. Dan Om Arif harus benar-benar hidup sendiri sebelum ia bertemu dengan Ibuku. Namun, sampai sekarang aku belum mampu untuk menerimannya. Hingga aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
            “Ibu, Daun ingin merantau ke Jakarta” Ucapku pada Ibu yang sedang duduk di samping Om Arif.
            “Daun apa tidak cukup gajih Ayah untuk membiayaimu” tamya Om Arif.
            “Aku sudah dewasa, aku tidak ingin merepotkan. Aku hanya ingin mencari uang untuk aku bekal kuliah nanti” jawabku.
            “Daun, Ayah sangat mendukungmu untuk kuliah. Dan Ayah sudah mempersiapkan dana untuk kamu kuliah” lanjutnya. Namun aku tetap menolak. Karena aku ingin sekali pergi dan mencari suasana baru. Aku ingin mencari kehangatan di luar sana. Aku ingin mencari sayap yang menghangatkanku seperti sayap cinta Ibu yang menghangatkanku kala dulu. Namun, kini semua terasa dingin. Hingga membuatku tak nyaman. Awalnya, Ibu tetap tidak mengizinkanku. Namun, aku mencoba keras pada keinginanku. Hanya satu kali ini benar-benar melawan keinginan Ibu. Aku memang benar-benar sudah tidak merasakan kenyaman itu lagi dan aku telah bosan menyimpan kesepian dalam hati. Aku ingin hidup ditengah keramaian.
            “Baiklah, Daun. Ibu mengizinkanmu. Tapi, kamu harus hati-hati dan sering-seringlah pulang. Ibu sebenarnya tidak tenang melepasmu”
            “Tenaglah Bu. Daun sudah cukup besar untuk menghirup udara di luar sana. Dan Daun pun sudah mampu untuk menahan panas matahari di kota besar itu” jawabku meyakinkan. Akhirnya, selang satu minggu aku pergi ke Jakarta. Dengan berbekal Ijazah SMA. Aku nekat mencari kerja di Ibu Kota. Melayari nasib di tengah panasnya kota metropolitan.



















15
  Kotak Masa Lalu 9:
Aku dan Jakarta

Sekitar pukul tujuh malam. Aku sudah berada di Stasiun kereta api. Om Arif dan Ibu mengantarku dan menunggu hingga kereta yang kutunggu datang. Kereta Ekonomi yang akan membawaku menuju jakarta. Lalu, aku akan mencari alamat yang di berikan Rizal. Alamat  dimana ia bekerja.
            Aku, mungkin memang seharusnya mengikuti perkataan Om Arif. Untuk bersabar menunggu waktu beberapa bulan, untuk mengikuti ujian seleksi  masuk kuliah. Namun, hati kecilku menolak untuk menyetujuinya. Rasa sepi dan takut merepotkan akhirnya akan membawaku hingga menuju Jakarta.
            “Aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang aku ambil. Karena aku akan bertanggung jawab dengan semua langkahku” batinku. Sambil menatap wajah Ibu yang menunduk. Begitu banyak pertanyaan Ibu yang tak bisa kujawab. Mengapa aku harus pergi merantau. Tapi aku yakin perjalanan ini lebih dari sekedar mencari materi belaka. Tapi belajar bertanggung jawab dan mencari kehangatan seperti yang pernah Ibu berikan walau dengan jalan yang berbeda.
            Rasa rindu dengan hangatnya keramaian serta mencari suasana baru adalah benar-benar alasan utamaku untuk pergi setelah aku mendiamkan Ibu dan merasakan dinginnya rumah.
            “Daun, apa kamu tidak bisa disini bersama Ibu? Kamu pasti tidak akan betah di sana. Kamu tidak terbiasa hidup di luar sendiri” Ibu menahan nafas. Berusaha meredam emosinya karena ia benar-benar tidak ingin anak laki-lakinya pergi ke Ibu kota menghadapi panas terik matahari sendirian.
                        “Ibu, Daun harus pergi. Daun sudah besar Bu, tenanglah. Daun pasti akan pulang dengan senyum yang berbeda” ucapku menenangkannya.
            Suara sirine, pengumuman bahwa kereta yang akan aku tumpangi akan segera tiba. Lalu, aku bersiap-siap menuju area tempat silih berganti penumpang. Aku melihat Ibu benar-benar berat melepasku.
            “Daun, berhati-hatilah. Jangan lupa senantiasa berdoa” pesan Ibu. Lalu ia memeluku. Aku merasakan sedikit kehangatan pelukannya. Namun, aku tetap tidak akan membatalkan tekadku melayari kota Jakarta. Aku mencium tangan Om Arif.  Lalu, aku melangkahkan kaki, menuju kereta yang telah menantiku.
            Sekitar jam lima pagi. Aku sampai di setasiun. Gedung-gedung menjulang tinggi hampir menyentuh langit menyambutku dengan senyum kemegahannya. Di pojok setasiun aku melihat Rizal yang sudah menungguku. Ia memang berjanji akan menjemputku.
            “Zal, kamu sudah lama?” tanyaku.
            “Tidak, aku baru saja nyampai. Ayo kita ke kosku. Lalu, aku dan ia berjalan menuju pintu keluar. Udara dingin Jakarta masih terasa. Kulihat jalan-jalan masih sepi. Tak seperti yang sering aku lihat di televisi. Kemacetan lalu lintas yang selalu menjadi ciri khas kota Jakarta. Memang belum dimulai. Kami menuju Kost Rizal memakai sepeda motornya. Sekitar tiga puluh menit kami sampai . Terlihat rapi dan sederhana. Hanya ada ruang yang menjadi kamarnya. Kira-kira berukuran 4x4meter. Terlihat buku-buku tentang computer berjajar tertata rapi di meja. Ia memang identik dengan computer. Selalu merasa nyaman jika tenggelam dalam dunia yang mampu membawanya ke dunia maya. Wajar saja jika ia sekarang bekerja di  bagian administrasi. Pandai mengoperasikan MS. Excel dan teliti adalah kelebihannya. Jadi, ia cukup mudah mendapatkan pekerjaan itu.
“Istirahatlah terlebih dahulu. Nanti baru kita survey tempat yang aku ceritakan kemaren” ucap Rizal. Lalu aku membersihkan badanku dan membaringkannya, untuk sekedar mendiamkan panggilan rasa lelahnya.  Lalu, sekitar jam sebelas, ia mengajaku melihat tempat kerja yang ia janjikan.
“Daun, bagaimana kamu cocok dengan tempatnya?” Tanya Rizal. Bekerja sebagai operator warnet. Merupakan hal baru bagiku.Awalnya aku ingin menolaknya. Namun, aku mengingat tekadku dari rumah. Bahwa aku akan pulang dengan sebongkah senyuman.
            Senen yang padat untuk kota Jakarta. Hari baru, saat tugas-tugas menumpuk. Jalan padat dan angkot berjejal. Hari pertama aku berangkat kerja. Aku benar-benar di sambut oleh suasana yang bising, kanan kiri orang-orang yang berlari cepat. Polusi yang melambung tinggi menambah lengkap hari pertamaku yang menyesakan. Belum lagi aku harus adaptasi dengan tempat yang baru dan suasana yang baru. Aku menarik nafas panjang. Memang sesuatu yang baru butuh kesabaran dan kecermatan untuk menciptakan suatu kebiasaan.
            Bekerja mulai dari pukul delapan pagi hingga pukul delapan malam. Begitulah seterusnya aktifitas rutinku. Hingga aku dan Rizal tak terasa telah lebih dari satu tahun di Jakarta. Lelah dan letih selalu mencabik-cabik tubuh kami. Namun, kami selalu dengan riang menyambut pekerjaan itu di pagi hari.  Walau di malam hari kami harus merasakan pegal-pegal yang luar biasa. Namun, demi menyambung hidup, kami tetap harus semangat. Menjadi operator warnet bagiku, sebagai seseorang yang tak mempunyai ketrampilan khusus kecuali di materi-materi khusus pelajaran sekoalah, memang suatu kebetulan yang luar biasa. Jaman sekarang yang di butuhkan memanglah suatu ketrampilan dan potensi yang tinggi. Jika manusia tidak mempunyai keduannya pastia akan di tinggal oleh nasib yang selalu berlari kencang. Nasib memang berawal dari usaha. Sebesar apa usaha kita sebesar itulah kita mendapat.
***
Setelah lebih dari satu tahun di Jakarta, aku memang selalu  berlari-lari mengejar nasib. Hingga aku benar-benar merasa lumpuh dan tak mapu lagi untuk sekedar berjalan mengejarnya. Sebenarnya, aku sudah sangat terbiasa dengan pekerjaanku menjadi operator di warnet. Semua system yang berhubungan dengan  seluk beluk computer telah aku kuasai. Karena, aku hanya cukup waktu dua bulan memahami billing system warnet tempatku bekerja. Namun,  berawal dari usaha bosku yang bangkrut,  warnet yang menjadi tempatku bekerjapun harus gulung tikar. Bosku dan keluarganya pindah ke kampung halaman asal mereka tinggal dulu.
            Aku telah berusaha mencari pekerjaan baru. Map warna merah yang berisi berkas-berkas surat lamaran pekerjaan pun telah siap dan tertata rapih. Namun, aku selalu mendapat penolakan dari tempat yang aku datangi.
            “Maaf Mas, perusahaan kami sedang tidak menerima karyawan baru. Silahkan datang lgi jika kami sudah membuka lowongan”
            “Maaf mas, tempat kami sudah kelebihan karyawan. Jadi sudah tidak bisa menerima lagi. silahkan mencari di tempat lain saja” dan masih banyak lagi penolakan-penolakan. Hingga lebih dari satu bulan aku selalu berkejaran dengan panasnya matahari. Menghirup aroma bensin dan solar yang mencemari udara. Dan harus menyaksikan angkot-angkot yang berjejalan di jalan raya. Mendengarkan teriakan sopir angkot menarik para penumpang. Hingga aku benar-benar merasa lelah dan hampir putus asa.
            “Zal, sudah sebulan lebih aku menganggur. Aku takut lama-lama uang tabunganku akan habis” ucapku pada Rizal di suatu malam. Karena aku merasa tidak enak selalu merepotkan dia.
            “Sudahlah, Daun. jangan sungkan begitu. Jika kamu tak mendapat pekerjaan bulan ini, siapa tahu bulan depan atau bahkan tiga bulan ke depan. Kamu hanya butuh sabar. Dan harus tetap berusaha” jawab Rizal. Ia memang satu-satunya kawanku yang sangat bijaksana. Sejak SMA kita selalu bersama dan kita mempunyai jalan cerita hidup yang hampir mirip. Tercampakan oleh sebuah keluarga. Memang mengukir luka sendiri dalam hati.
            Sahabat. Mungkin nama itu yang pantas untuk Rizal. Kata sederhana yang tak mudah aku temukan dalam kenyataan.   Aku begitu sadar, bahwa semua yang dekat tidak  bisa berlabelkan sahabat. Tapi, ia selalu terasa dekat. Kala aku jatuh dan hilang asa sekali pun. Ia selalu sabar mendengar kisahku. Walau angin membawa berita buruk, busuk tentangku sekalipun. Ia selalu mengerti tentang diriku. Ia selalu memandangku dengan kaca mata kebijaksanannya.
            Kala itu, dalam masa menganggurku yang sangat menjenuhkan. Aku sering kali keluar malam dan akhirnya aku bertemu dengan seseorang. Yang bernama Mamih Dara. Dan terbisa adi panggil Mamih. Awalnya aku menganggap pertemuanku dengannya adalah suatu kebetulan yang berujung pada keberuntungan. Tapi ternyata, ia justru membawaku dalam dunia kelam untuk kedua kalinya.
            Mamih, adalah seorang bos. Karyawannya mayoritas adalah seorang perempuan. Awalnya aku begitu tergiur dengan usahannya. Hanya mengajak wanita yang berwajah cantik dan bertubuh seksi tanpa harus berbekal ijasah khusus untuk bregabung dengannya. Dan gajih yang ia tawarkan menurutku sangat tinggi. Dan aku menjadi karyawan tetapnya untuk mengantar jemput wanita dan mengantarkannya pada sebuah pertemuan-pertemaun. Yang aku kira orang-orang yang ia temui adalah seorang bos besar. Dan ternyata benar. Mereka adalah para ekselon dan pemimpin perusahaan. Aku begitu bangga bekerja dengannya. Walau hanya menjadi supir pribadinya. Karena aku kerap mendapat uang tips yang menurutku sangat berlebihan.
            Namun, selang tiga bulan, aku harus berurusan dengan polisi. Dan akhirnya aku mengetahui bahwa Mamih adalah seporang germo. Dan polisi menyangka aku bekerja sama dengan mereka. Seteleh diperiksa, aku akhirnya masuk tahanan. dan Mamih yang menurutku menjadi tersangaka utama lolos. Karena ia melimpahkan semau tuduhan-tuduhan terhadapku. Dan aku memang tak mampu membantah. Karena tidak mempunyai penguasa hukum dan tidak punya uang dalam jumlah yang diminta oleh polisi, akhirnya aku tak berdaya. Mau tidak mau harus menerima semuanya.  Begitu menyedihkan Nasibku. Tak mempunyai uang di negara ini hanya sebagai bahan buangan.
            Namun akhirnya, hanya lima bulan mendekam dalam penjara. Lagi-lagi Rizal menyelamatkanku. Ia datang bersama kawannya. Yang kebetulan bekerja sebagai pengacara. Dan setelah melalui proses panjang aku kembali bebas.
            “Zal, terimakasih. Kamu telah menolongku”
            “Ia kawan, aku tahu kamu tidak bersalah” ucapnya. Lalu kami melangkah meninggalkan rumah yang berjendela jeruji besi itu.
            Rizal memang baik. Begitulah arti seorang kawan. Tak pernah enggan untuk datang ketika kawan membutuhkan. Bahkan ia lebih dari seorang kawan bagiku. Jiwaku telah menyatu dengan jiwannya dalam ikatan persaudaraan. Betapa indah hidupku terasa. Jika lebih dari sepuluh aku mempunyai kawan seperti dia. Aku berjalan sambil merangkul pundaknnya. Terasa begitu berarti persahabatan kami. Persahabatan yang kami jalani dengan tulus dan ikhlas untuk saling membahu.















16
Kotak Masa Lalu 10: 
Penyesalan

Setelah dua bulan aku keluar dari penjara, aku mulai menemukan titik terang. Roda mulai bergerak sedikit saat aku diterima bekerja sebagai tukang foto copy di toko Bang Yudha. Ia beragama Kristen tapi ia sangat baik padaku, dan sangat menghormati orang yang berbeda agama. Dikala hari raya idhul fitri ia juga sering memberikan ampau kepada anak-anak kecil yang berdatangan ke tokonya. Begitu pula pada saat umat Islam menjalankan ibadah puasa ramadlhan ia tidak akan sekalipun makan di tempat umum. Bahkan toko yang biasa menjual makanan basah pun ia tutup. Begitu pula ketika hari raya nyepi atau bahkan hari-hari besar agama yang berbeda dengannya. Yang membuatku salut dan kagum dengannya adalah prinsipnya untuk saling menyayangi sesama dan menghormati Tuhan dan kepercayaan masing-masing. Karena menurutnya konflik yang paling sensitive adalah ketika berhububungan dengan agama.
                Aku mulai betah bekerja di sana. Kebetulan toko Bang Yudha dekat dengan dengan sekolah SMA Negeri  yang cukup terkenal di Jakarta. Begitu suatu kebetulan bagiku. Karena hobiku membaca akhirnya masih bisa tersalurkan. Buku-buku yang aku fotocopy sering kali aku baca terlebih dahulu karena aku berharap bisa menjadi bekalku ketika aku benar-benar kuliah nanti. Begitu seterusnya hingga tepat pada waktu empat bulan aku bekerja sebagai tukang foto kopi Ibuku menelfonku dan memintaku untuk pulang.  Namun, aku tetap bersikeras untuk tidak pulang sebelum aku mampu berdikari. Hingga pada suatu pagi lagu Dua Cinta Satu hati, milik Calvin Jeremy yag terbiasa menjadi Ringtone handphoneku berdering. Ternyata Om Arif yang memanggilku. Terasa ogah-ogahan aku mengangkatnya. Dan akhirnya aku membiarkannya. Hingga lebih dari tiga hari ia menghubungiku. Dan akupun bosan akhirnya aku menjawabnya.
            “Daun, mengapa dari kemarin tidak menjawab panggilan Ayah? Ibu sakit dan masuk Rumah sakit” ucapnya dengan nada khawatir. Aku begitu kaget menerima kabar itu. Awalnya aku benar-benar tidak percaya. Namun akhirnya Om Arif berhasil meyakinkanku. dan aku pulang. Dan ternyata benar. Ibu sedang terbaring di rumah sakit.
                “Ayah, Ibu sakit apah?”
            “Ibu terkena stroke,” jawab Ayah.  Aku begitu kaget mendengar jawabnnya. Ibu terkena stroke hemoragik. Aku sedikit teringat bahwa penyakit Strooke termasuk penyakit serebrovaskuler  yang  diesbabkan karena pecahnya pembuluh otak dan ditandai dengan kematian jaringan otak atau biasa disebut dengan Infark serebal yang diawali denga berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. 
                Badanku terasa begitu lemas. Nadiku berdetak kencang. Tak terasa air mataku meleleh. Aku tak sanggup membayangkan Ibu akan berjalan dengan kursi roda. Lalu, aku mendekati ranjang tempat ia berbaring. Selang infuse yang membuatnya semakin terlihat tak berdaya juga telah menyedot sebagian tenagaku.
            “Ibu, maafkan Daun. Daun tidak berbakti pada Ibu” tangisku sambil membelai rambut Ibu. Begitu pucat wajahnya.
                “Tuhan, Aku berjanji. Jika Ibu Engkau berikan kesempatan hidup aku akan benar-benar mengabdi padanya dan menuruti semua keinginannya, serta merawatnya dengan segenap cinta” kembali aku memandangi wajah Ibu. kuperhatikan dengan seksama wajahnya yang kini telah berumur 46 tahun.  Kerut-kerut wajahnya menandakan betapa beratnya beban hidup yang selama ini harus ia pikul sebelum datangnya Om Arif.  Tiba-tiba aku menyesali sikap dan kebodohanku selama ini yang selalu mengabaikannya dan menganggap dingin pelukannya.
            Terbayang-bayang saat Ibu untuk sekedar membelaiku, tetapi aku justru menghindar dan kutepis tangan lembutnya. Kutepis semua kehangatan pelukannya yang ia tawarkan padaku. Ia tak pernah marah, Ibu selalu tersenyum dan sabar menghadapiku. Namun, aku jarang sekali membalas senyumnya.
            Terkenang kembali saat aku masih kecil, Ibu memberikan kado sepesial di hari ulang tahunku. Walau kemudian ia pergi mencari nafkah dan setelah itu hancurlah keluargaku. Karena Ayah yang begitu bejad dan seterusnya aku mengacuhkan Ibu karena ia tega menikah lagi dan sengaja aku pergi merantau.
            Dulu, di kompleks tempat tinggal kami. Di pesisir kota Cilacap, sedang musim Gameboard. Hampir setiap anak yang sebaya denganku mempunyai permainan itu. Mereka saling menantang bermain game mario bahkan sepak bola. Tawa mereka lepas saat sebagaian dari mereka menunjukan kelihainnya bermain game. Bahkan tidak jarang yang bersorak dan tertawa kegirangan jika mereka menang dan lebih unggul dari kawannya.  Waktu itu, aku ingin sekali memiliki permainan itu.  Tapi itu tidak mungkin. Aku tidak mau merepotkan  Ayahku dengan meminta barang yang mahal itu. Karena aku tahu, keadaan ekonomi keluargaku saat itu sedang kembang kempis. Untuk membeli bumbu dapur saja, terkadang kesulitan.
            Hingga pada sutu sore, aku tak kuasa ingin menjajal permainan gameboard itu. Akupun memberanikan diri untuk meminjam dan bermain dengan gemboard itu. Aku mencoba meminjam milik Rudi. Namun, ternyata ia tak mengizinkanku. Dengan sombong ia berkata,
            “Kalau kamu mau, beli saja di toko masih banyak”
Aku sangat sedih, Hasratku untuk sekedar mencoba meminjam dan bermain sebentar tidak kesampaian. Akhirnya aku hanya bisa diam. Untung saja ada Rizal yang menenangkanku dan menghiburku. Lalu, ia mengajaku pulang. Kami berpisah di ujung jalan yang memisahkan letak rumah kami. Lalu, aku masuk kedalam rumah dan menatap keluar jendela. Mataku kosong menatap teman-temanku yang sedang tertawa riang bermain.
                Malamnya, ketika sedang belajar di kamar, tiba-tiba Ibu datang mendekatiku sambil membawa bungkusan berwarna biru. Awalnya, aku tidak begitu memperhatikan dengan apa yang Ibu bawa. Dan kulihat Pelangi tersenyum di balik pintu.
Dan sebuah gameboard  yang ada dalam bungkusan itu. Mungkin lebih bagus dari punya teman-temanku. Model perminannya juga sangat banyak. Ada mario. balapmotor, sepak bola. Dan masih banyak lagi. Aku berteriak girang. Lalu aku memeluk Ibu.  Dan tak henti-hentinya aku mengagumi gameboard itu. Hingga hampir semalam suntuk aku mencoba perminan-permainnya.
Selang tiga hari, aku memberanikan diri bertanya pada Ibu, bagaimana ia bisa tahu aku ingin sekali memiliki gameboard itu. Dengan lembut ia bercerita,  sepulang dari pasar Rizal menceritakan padanya, aku sedih karena tidak di izinkan meminjam gameboard milik Rudi.  Mendenagar cerita itu, Ayah langsung mengatakan pada Ibu dan menyuruh Ibu pergi ke Kota Gede untuk membelikan Gameboard untuku. Walau padaa sat itu, Ayah sama sekali tidak punya uang. Untung saja Ibu mempunyai uang tabungan sisa hasil belanja sehari-hari. Lalu, Ibu membelikan gameboard yang sekarang ada ditanganku.
“Biar Kamu gak diejek sama temen-temen lagi” begitu kata Ibu singkat sambil membelai kepalaku.
Aku merasa sangat bodoh sekali dengan sikapku  selama ini pada Ibu. kulihat nafas Ibu masih tersengal dibantu alat pernafasan. Tubuhnya yang semakin kurus, otot-ototnya menyembul terlihat dari balik kulitnya. Menandakan bahwa ia telah semakin tua dan lemah. Kutanyakan pada suster bagaimana keadaan Ibu. Dan jawabannya membuatku menangis,
“Kamu yang sabar yah, Ibumu perlu perawatan yang intens. Mungkin untuk sementara Ibu harus berjalan dengan kursi roda. Karena kaki yang kiri mengalami masalah”  aku hanya menunduk. Betapa sesak dadaku menerima kenyataan itu. Kaki Ibu lumpuh. Dan harus berjalan dengan kursi roda. Dengan perasaan sedih,  aku terkulai duduk disamping  Ibu.
Kembali kupandangi lekat-lekat wajahnya. Kusapu peluh yang membasahi wajahnya.
“Ibu, maafkan aku. Maafkan aku, Ibu” bisiku pelan ditelingannya. Aku ingin  Ibu mendengar penyesalanku. Tetapi ia masih terdiam dalam komanya.
Siluet perjalannanku dengan Ibu membuatku jatuh tersungkur di sudut ruangan yang gelap gempita. Aku ingin keluar namun aku tidak tahu pintu mana yang hendak kubuka. Justru aku melihat bayang-bayang wajah Ayah yang menangis dan mencoba meraih tanganku. Namun, aku menepisnya. Aku lihat Ia semakin menangis histeris. Aku mencoba lari darinya. Karena Ialah semua penderitaan ini harus kurasakan. Aku semakin kencang berlari, sembari memanggil nama Ibu. entah berapa lama aku memanggil namanya, sambil kurapalkan doa-doa untuknya. Agar Tuhan mengampuninya dan mengembalikan tubuhnya yang kini separuh telah mati. Namun, tiba-tiba aku terjatuh dan kurasakan semua gelap. Hingga mataku tak mampu lagi melihat.
“Daun, kamu sudah sadar” suara lelaki yang sangat kukenal. Ternyata Om Arif sudah ada di dekatku. Sambil membelai rambutku.
“Kamu pingsan lebih dari lima jam. Saat kamu masuk ke ruang ICU untuk melihat Ibu tiba-tiba kamu menangis dan pingsan” ucapnya lagi. aku masih terdiam. Lalu, tiba-tiba tanganku tergerak untuk meraih tangannya.
“Ayah, maafkan aku” ucapku. Lelehan air mata tak terasa menghangatkan kedua pipiku. Lalu, ia hanya tersenyum. Terlihat wajah bijaksananya. Oh betapa ia tak seperti yang aku pikirkan.
                “Sudahlah, Daun. yang sudah tidak perlu kau fikirkan. Ayah hanya mencoba untuk memahami. Betapa kamu begitu trauma terhadap seorang Ayah. Yang pernah membuat hidupmu terluka” jawabnya. Aku begitu malu mendengar jawabnnya. Ternyata ia begitu menyayangiku. Menganggapku seperti darah dagingnya. Dan begitu sabar menerima semua sikap acuhku.
“Ayah bgitu mendambakan  seorang anak. Bertahun-tahun lamannya Ayah menginginkannya. Tapi ternyata Tuhan tidak memberikannnya. Dan Ayah tahu hadirnya Ibu dan kamu adalah jawaban dari doa-doa Ayah selama ini. Tuhan menggantikan kalian sebagai keluarga Ayah. Sebagai keluarga dambaan yang begitu Ayah impikan. Lengkap dengan seorang Ibu dn anak.” Terangnya panjang. Membuatku semakin merasa menyesal dengan perbuatanku selama ini. Betapa sifat buruk yang aku tanamkan pada diriku telah membuat orang-orang di sekitarku menderita. Aku begitu menyesal.
“Ayah, Daun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi” janjiku pada Ayah. Janji seorang anak yang kini benar-benar mennyayangi Ayah dan Ibunya.
Selama lebih dari seminggu Ibu dirumah sakit, akhirnya Ibu  siuman. Kulihat ada yang berbeda dari Ibu. kini, Ibu begitu sulit untuk berbicara. Dan kakinya benar-benar tak mampu lagi bisa difungsikan untuk berjalan.
“Aku berjanji akan selalu merawatmu Ibu” lirihku.
“Da-daa-Daun, Ibu me-memerindukanmu” ucapnya. Dengan nafas tersengal-sengal. Suara Ibu menjadi gagap. Aku tiba-tiba menangis.
“Iyah, Bu. Daun di sini” jawabku dengan merengkuh tangannya.
“Ibu. maafkan Daun. maafkan Daun” ucapku selanjutnya. Kulihat ia tersenyum. Dan,  Om Arif datang dengan membawa sebungkus obat.
“Ibu, seminggu lagi Ibu diperbolehkan pulang” ucapnya, membuatku girang.
“Daun siap merawat Ibu” dengan semangat aku menyambut kabar gembira itu. Lalu Om ariif meraih tanganku dan menggenggam erat tangan Ibu. betapa kurasakan bahagia saat itu. Betapa indahnya keluarga yang saling mnyayangi. Seperti keluarga yang saat ini kurasakan.










17
Kotak Masa Lalu 11: 
Titik Cerah

Kesadaran adalah anugrah yang tak terhingga, telah mampu memberikan perubahan baik. Aku benar-benar mensyukurinya. Takan kubiarkan lagi  kesedihan menyeruak diantara kita. Aku takan membiarkan hatiku membuta seperti dahulu. Aku takan membiarkan peristiwa dahulu terulang kembali. Aku akan segera megakhirinya dengan tawa yang  selalu membasahi bibirku. Aku mencoba meniatkan semua itu dengan hati. Karena aku begitu menyayangi Ibuku. Aku benar-benar takan menyia-nyiakan untuk kedua kalinya.
                Semenjak Ibu pulang dari rumah sakit, akulah yang praktis mengurus kebutuhannya. Setiap pagi, selepas subuh aku membersihkan rumah, mengisi bak mandi dan mencuci piring serta mempersiapkan sarapan untuk Ayah yang akan berangkat ke kantor. Lalu aku mempersiapkan peralatan mandi untuk Ibu. Ketika sore hari, aku menyetrika pakaian dan membuatkan kopi untuk Ayah. Kadangkala, ketika malam hari Ayah cape, aku memijitnya. Begitulah seterusnya hingga hampir setahun. Hubunganku dengan Ayahpun semakin dekat. Aku begitu merasakan kehangatan dan perlindungan dari seorang Ayah. Ayah begitu sabar merawat Ibu. walau Ibu tak berdaya karena penyakit strooknya, Ayah tetap menyayanginya dan berusaha memperhatikannya. Aku begitu salut dengan tanggung jawabnya. Walau kami tinggal seonggok daging, namun Ayah tetap menghormati dan menyayangi kami.
                “Demi langit yang menjulang tinggi, dan awan-awan yang menggantung bersamannya. Demi bumi yang selalu setia dengan setiap pijakan kaki manusia, dan demi laut yang menghampar dengan segala takdirnya. Demi malam yang kian berselimut dingin. Sedingin hatiku, yang dulu pernah tertusuk duri, seperih- perihnya perasaan. Menyiksa hati disetiap waktu. Seandainya waktu mampu  kuputar, akan kuputar semauku dan akan kutata agar ia tak terluka seperti dahulu. Namun, semua hanyalah mimpi. Waktu berjalan dengan kakinya ssendiri, hingga menjemputku sampai detik ini. Detik yang kurasa berbeda, karena kini luka lama yang dulu tertoreh telah terobati. Dengan hamparan cinta dan kasih sayang yang merambati jiwaku” batinku ketika aku menemani Ibu duduk di beranda rumah sambil menatap bintang di langit.
            “Daun, terimakasih kamu selalu menemani Ibu” ucap Ibu tiba-tiba.
            “Ibu, seharusnya Daun yang harus meminta maaf. Karena Daun belum bisa berbakti pada Ibu. Daun telah banyak merepotkan Ibu dan pernah meninggalkan Ibu” ucapku sambil menggenggam erat jemarinya. Lalu Ayah duduk disampingku dan membelai rambutku.
            “Daun, semua manusia itu mempunyai potensi untuk berbuat salah. Janganlah pernah menangisi hari  kemarin. Karena waktu terus bergulir, lebih baik menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Yang mampu meberikan keindahan kedepan. Karena waktu akan hilang seandainya hanya dipakai untuk menyesali hari kemarin tanpa ada tindakan baru” ucap Ayah,  membesarkan hatiku. Lalu, aku mencium tangannya. Kebiasaan itulah yang akhir-akhir ini kulakukan. Karen aku ingin benar-benar menghormatinya. Kata orang, mencium tangan orang yang lebih tua adalah bentuk penghormatan.
             Hampir delapan bulan Ibu berjalan dengan kursi roda. Ternyata seiring berjalannya waktu, kondisinya semakin membaik. Harapan untuk sembuh kian besar. Saat itu, bulan Juni,  bulan yang aku tunggu-tunggu lebih dari setahun lalu. Bulan Juni yang berbeda. Karena bulan juni tahun ini, aku akan menjemput mimpiku. Mimpi untuk mengukir sejuta harapan masa depan di dunia pendidikan.
            “Daun, Ayah punya kabar gembira untukmu” ucap Ayah. Di suatu sore ketika Ia baru pulang kerja. Kulihat Ia membawa amplop kuning besar.
            “Kabar apa Ayah?” tanyaku sambil mencium tangannya. Lalu, Ia memberikan amplop yang ia bawa. Segera aku membukannya. Ternyata, ada dua arsip yang membuatku melonjak kegirangan. Yang pertama, Ayah naik pangkat menjadi wakil direktur di Perusahaan Jamu Jaya Guna tempatnya bekerja. Dan kebahagiaan ke dua adalah ketika aku membaca arsip pendaftaran masuk kuliah di Universitas Jendral Soedirman.
            “Daun, pergilah ke Purwokerto besok pagi, Ayah sudah mengurusi pendaftaranmu. Besok jadwal ujian masuknya”
            “Ia, Ayah,” jawabku.
            Pagi hari yang cerah. Secerah hatiku dengan berjuta harapan yang berkilau, dengan berbekal uang secukupnya aku pergi ke Purwokerto. Selama dua jam perjalanan, bis Asli jurusan Cilacap-Sampang-Purwokerto mengantarkan aku menuju kota Satria itu. Dengan menggunakan Angkutan kecil, yang berlabelkan B2, dari Tanjung dan tepat di depan Patung kuda Jenderal Soedirman aku turun. Tumpah ruah telah berjejal para calon mahasiswa yang akan mengikuti ujian masuk. Lebih dari 5000 calon peserta ujian masuk, telah siap dengan nomor ujiannya masing-masing. Buku-buku yang mereka bawa membuat dadaku bergemuruh. Ternyata hanya aku yang tak mempersiapkan semua itu. Aku pasti akan tenggelam diantara mereka, calon peserta yang telah matang dengan materi-materi nanti.
Tepat pukul delapan, ujian dimulai. Soal sekitar pengetahuan umum, fisika, kimia dan matematika serta soal-soal pengetahuan sosial lainya, dengan lihai aku selesaikan. Hanya membutuhkan waktu tiga  puluh menit untuk mneyelesaikannya. 
               Yang membuatku berkeringat deras adalah ketika aku menghadapi soal-soal pendidikan Islam. Soal seputar Fiqih dan sejarah Islam serta kerajaan-kerajaan Islam di masa kekhalifahan. Seperti Umar bin Abdul Aziz, Muawiyah telah membuatku semakin tidak yakin bisa lolos. Belum lagi ketika merambah soal nomor lima puluh, filsafat. Telah menambah kegilaanku siang itu. Berjajar soal mengenai pemikiran-pemikiran  Filosof Yunani kuno seperti Plato, Socrates, Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Heraclitos. Aku terus berfikir, mengerahkan tenaga dan memutar otaku sampai aku benar-benar memecahkan soal-soal itu.  Tepat jam sepuluh aku menyelesaikan enam puluh soal pilihan ganda itu. Berbekal lupa-lupa ingat dengan buku karangan Paul Strathern  dan Emile Durkheim yang pernah kubaca telah banyak membantuku menyelesaikan soal-soal filsafat  yang hampir memeras otaku. Ternyata filsafat lebih gila dari segalannya. 
Ujian materi kedua dilaksanakan pukul dua siang. Setelah mengerjakan soal-soal umum, kini sesi kedua adalah mengerjakan soal-soal khusus yang berhubungan dengan fakultas dan jurusan yang diambil. Ilmu sosial dan politik adalah jurusan yang aku ambil. Alasan utamaku mengambil jurusan itu,  karena aku begitu tertarik dengan kajian-kajian ilmu politik. Aku menjadi teringat tentang penjelasan guru agamaku, mengenai hubungan antara agama dan politik. Terutama agama Islam. Bahwa Islam bukanlah sebatas religion namun juga merupakan sebuah system politik. Berawal dari kata itulah aku sering membaca buku tentang politik. Berawal dari hal tersebut juga, aku menjadi sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran ilmuwan politik. Terutama tentang pemikiran-pemikiran para ilmuan seperti Hobbes, Locke, dan Rosseau pada konteks State of Nature, yang mengatakan, dimana kelahiran sebuah negara ditandai kohesi sosial yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Selain itu, pemikiran-pemikiran Karl marx, Edmund Burke yang terkenal dengan salah satu pemikirannya yaitu menganai konservatisme politik.
            Tepat enam puluh menit aku selesai menggarap semua soal pilihan ganda. Kini aku keluar dengan penuh harapan. Aku ingin di terima di Universitas Jendral Soedirman. Aku pulang, karena aku tahu pasti Ibu di rumah sangat kesepian. Ternyata benar, saat aku sampai di rumah, Ayah belum pulang. Dan Ibu masih terdiam di kamarnya. Belum mandi dan rumah masih terlihat belum rapih. Aku langsung menyiapkan air dan membersihkan rumah serta membuatkan kopi menyambut Ayah pulang. Tepat jam lima sore, Ayah sampai di rumah. Kulihat wajahnya begitu berseri-seri.
            “Ibu, Insa Allah Ibu akan secepatnya sembuh. Kita akan membawa Ibu ke tempat terapi. Agar Ibu bisa cepat bisa jalan lagi” ucap Ayahku menggebu-gebu. Aku masih bingung dengan ucapan Ayah. Setengah berfikir, bukankah membawa Ibu terapi sama saja harus mengeluarkan uang banayk. Namun, semenit kemudian, kebingunganku terjawab. Ayah naik pangkat dan gajihnya pun naik menjadi dua kali lipat. Selain itu, Ayah mendapat fasilitas rumah. Dan sebulan lagi kami akan pindah. Aku menarik nafas lega. Akhirnya kami akan lepas dari segala penderitaan.
            Dua puluh delapan hari berlalu. Hari ini, adalah hari yang aku tunggu. Hari selasa yang akan bersejarah dalam hidupku. Pagi-pagi sekali aku telah pergi menuju toko Bang Aman. Dengan membawa  uang 2500 aku membeli Koran. Begitu aku mendapatkan Koran yang aku cari, aku langsung mencari halaman yang memuat pengumuman nama-nama mahasiswa yang lolos seleksi SMPTN. Di kolom satu, aku tidak menemukan namaku. Aku begitu putus asa. Keringat telah meleleh membanjiri pelipis. Namun, di kolom dua tepat dengan nomor urut 345 tertera namaku “Daun Indra”  aku melonjak kegirangan. Betapa dunia terasa berbeda pagi itu. Halaman Bang Aman terasa bagai taman yang indah berhiaskan bunga-bunga yang bermekaran. Sungguh menyejukan karena di sampingnya berdiri air mancur yang menambah kesejukannya. Sesejuk hatiku pagi ini. Mungkin hingga seterusnnya.
“Aku yakin, mulai hari ini nestapa takan lagi berpihak padaku. Aku akan balas dendam pada masa laluku yang berhiaskan hampa, beraromakan derita, dan terasa menyakitkan. Hingga hati harus tertoreh luka” batinku sambil memeluk Koran. Lalu, aku pulang membawa senyuman.
            “Daun, selamat yah. Ayah bangga padamu” ucap Ayah sambil membereskan barang-barang yang akan kami bawa kerumah baru kami. karena sore nanti kami akan segera pindah.
Saat matahari akan menempati arah barat, kami telah siap untuk berangkat ke rumah baru kami.  mobil Avanza Ayah telah memuat semua barang-barang kami. Aku menoleh sebentar ke rumah kecil kami. Aku benar-benar akan meninggalkan rumah yang mungil itu. Beribu kenangan dan peristiwa di dalamnya kusimpan  dalam lemari di sudut kamarku. Kubalut dengan sekotak kaleng biskuit, agar tetap awet, dan rayap-rayap tak menggerogotinya. Biarlah semua cerita ini tertutup dan terkunci dengan sebuah gembok besi. Biarlah langit biru akan menaungi setiap langkahku di Purwokerto nanti. Kota yang benar-benar aku tuju untuk menimba ilmu.
            Sedikit meneteskan air mata. Mengingat semua itu. Lalu, aku mengalihkan pikiranku agar aku tak larut pada dendamku. Aku berjalan menuju halaman depan, aku mengucapkan salam perpisahan pada tetangga-tetanggaku. Mereka yang menyaksikan perjalanan hidupku selama ini, tak tahan menahan haru. Kulihat, tak sedikit dari mereka yang meneteskan air mata saat memeluk tubuhku. Bapak-bapak yang menyalamiku tampak berkaca-kaca matanya.  Lalu, aku pamit meninggalkan mereka menuju mobil Ayahku. Kulihat Ayah dan Ibu telah tidak sabar untuk meninggalkan rumah ini. Lalu, aku menutup pintu dan mobil kami melaju menuju jalan tol. Ada rasa lega di dadaku. Aku yakin roda kehidupanku akan segera berputar. Seperti roda mobil Avanza yang kami naiki. Berputar dari bawah hingga atas. Langit senja pun terasa begitu indah bagiku. Mega yang akan menjemputnya kupastikan lebih indah. Seindah senyum Ibuku sore ini, saat menatap jalan diluar sana.

***














18
Sampai Kapanpun
           

Bunga menutup buku harian milikku. Hingga halaman terakhir ia membacannya. Tangannya bergetar. Wajahnya memerah, matanya panas menahan tangis. Di depannya, aku hanya terdiam dan membisu. Seolah turut menyaksikan episode-episode kehidupan yang tak mau aku lihat lagi. Bagiku, luka masa lalu itu telah menyatu bersama kulit. Bahkan menjadi daki. Hingga kini terkadang masih menyeretku dan membuatku oleng ketika badai kehidupan menerpa. Seakan aku telah kehilangan tembok besi dalam hidupku.
            Bunga belum mampu berkata-kata, hanya lelehan air matanya yang menari-nari diatas pipinya. Mewakili semua kata-kata yang ingin ia rangkai namun tak jadi-jadi. Namun, setelah lebih dari 20 menit kami terdiam, Bunga mencoba mengatur nafasnya. Agar tak terdengar lagi senggukan alunan tangisannya. Lalu, ia membuka bibirnya, mencoba merangkai kata.
            “Daun, susah sekali aku menggerakan bibirku untuk berkata-kata. Kerongkonganku benar-benar terasa kering. Aku benar-benar kehabisan akal hingga aku bingung harus berkata apa. Buku ini, tiap bait yang terangkai dalam buku ini, aku tidak menyangka, bahwa beban hidupmu begitu berat” Ucap Bunga dengan tertunduk lemas. Masih terdengar lirih isakan tangisnya.
            “Sudah sejak awal aku ingin mengajakmu kesini. Namun, aku masih ragu. Hingga hari ini, aku sengaja mengajakmu kesini. Aku ingin menunjukan catatan buku dan foto ini padamu. Kepada gadis yang benar-benar aku cintai” ucap Daun. aku hanya ingin Bunga tahu, bahwa masa laluku yang suram dan terasa berat, tiada artinya dan akan terobati dengan kehadiran sosok Bunga. Gadis yang begitu indah. Gadis yang perangainya begitu berbeda dengan gadis-gadis lain pada umumnya. Dan Gadis yang begitu mirip dengan Ibuku.  Aku  merasa begitu yakin, bahwa pertemuanku dengan Bunga adalah suatu anugrah dari Tuhan.  Aku merasa bahwa Bunga adalah lebih dari sebuah hadiah  terindah yang diberikan Tuhan padaku. sebagai pengganti atas semua detik-detik yang membuatku menderita. Dan jawaban atas doa-doaku selama ini.
            “Maafkan Bunga, Daun. Bunga telah menyakitimu.  Tapi Bunga benar-benar tidak bisa bersamamu” ucap Bunga memalingkan muka. Daun terhenyak dengan kata-katanya. Mukanya memerah. Aliran darahnya serasa berhenti dan wajahnya memutih. Terlihat sangat pucat.
            “Perjuanganmu untuk hidup terlalu mulia untuk sekedar kau memilihku. Jangan pernah kau meilih untuk kembali pada agamamu karena pamrih. Apalagi karena demi meluluhkan hati seorang wanita. Daun, aku yakin Tuhan menciptakanmu untuk rencananya yang lebih indah dari pada sekedar bertemu denganku. Entahlah, aku tidak ingin munafik. Satu sisi hatiku sangat menginginkanmu dan membutuhkanmu sebagai pelengkap hidupku dan menyempurnakan agamaku. Tapi, satu sisi hatiku mengatakan bahwa keputusanmu kurang tepat”  terang Bunga panjang lebar.
            Bunga menunduk. Memandangi tanah kering yang ada dihadapannya.  Sambil memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu terlalu dalam ia fikirkan. Namun, satu keinginan Bunga, bukannya ia tidak ingin membantu Daun kembali pada Agamannya. Namun, ia ingin Daun menyadarinya sendiri. Bahwa tanpa dirinya pun, agama adalah suatu hal yang sangat vital dalam hidup manusia. Karena tanpa agama manusia sama saja hanya hidup dengan raga yang kosong. Karena ruhnya telah mati. Bersama hilangnya agama tersebut. Bunga hanya ingin Daun tahu, bahwa agama bukanlah sekedar cinta, bukan sekedar pengorbanan. Namun, agama adalah suatu suatu yang menjadikan diri kita lebih baik dan lebih sempurna. Dan agama bukanlah sekedar pengakuan akal saja. Namun agama adalah sesuatu yang irasionalitas. Karena tanpa agama manusia takan bisa memaknai hakikat dari “ hidup sejengkal”
            “Daun, aku tahu kamu memang pernah mempunyai pengalaman pahit dalam hidup. Namun, tak pernah sekalipun kamu menyadari, bahwa sesuatu yang pahit akan bertambah pahit jika ia di tambah dengan serbuk yang pahit. Tapi, ketika kamu menambahnya dengan pemanis, ia akan berubah rasa walau sedikit, itu sama halnya dengan hidupmu selama ini, terasa lebih berat karena kamu tak pernah meminta Tuhan untuk meringankan bebanmu. Kamu hanya mencacinya. Bahkan kamu meninggalkan media sebagai pengantarmu untuk meminta padanya”  lanjut Bunga. Kali ini, ia tidak terlihat meneteskan airmata lagi. mungkin ia tidak ingin terlihat cengeng di depan Daun  dalam menyikapi masalah yang sedang ia hadapi.
            Daun terlihat semakin limbung. Perasannya tak menentu. ia begitu takut kehilangan Bunga. Karena Bunga adalah satu-satunya wanita yang ia harapkan. Ia menengadahkan kepala. Mencoba mencari kembali dimanakah Tuhan yang dulu sangat ia cintai bersemayam.
            “Bunga, mengapa kau tampik cintaku, jika kamupun mengharapkannya dan sangat merindukannya? Apakah dirimu terlalu takut untuk menyandingkan cintamu dan cintaku hanya karena masalah agama?” Tanya Daun. Di depannya Bunga hanya terdiam. Berputar-putar lebih dari sepuluh jawaban dikepalnnya. Namun, ia lebih mencondongkan satu kalimat yang kini menggantung di alam fikirnya. Bahwa “Agama seorang Ayah dan Ibu adalah hal yang sangat Vital untuk anak-anaknya di masa depan. Dan ia juga teringat perkataan guru ngajinya. Bahwa perlakuan seseorang adalah cerminan bagi keturunanya nanti. Bukannya ia ingin egois tapi ia ingin yang terbaik untuk keturunannya nanti. Hingga selama ini ia selalu menjaga hatinya dan berusaha menjaga setiap tingkah lakunya. Biarlah Daun mencari jalannya sendiri. Jalan yang akan membawanya menuju pada hakikat Tuhan yang sebenarnya.
            “Bunga, aku sadar dan sangat rela untuk kembali melakukan semua ritual-ritual dalam agama yang dulu pernah aku yakini dan kini juga sangat kamu yakini. Ini kulakukan bukan hanya sekedar untuk mendapatkan dirimu. Tapi hati sudah terlanjur yakin dan nyaman denganmu. Aku ingin selalu bersamamu untuk selamanya” Daun membulatkan tekad untuk mendapatkan Bunga walau bagaimanapun caranya. Karena  aku begitu takut hidupku akan lebih hancur tanpannya. Karena Bunga lebih dari sekedar wanita biasa namun ia seperti bidadari yang tak bersayap yang akan menuntunya mencari surga.
            Bunga, hanya termangu sedikit mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Daun. Antara percaya atau tidak. Tapi apa yang ia dengar tadi bukanlah dalam alam mimpi.
            Bu Supi hanya terdiam di belakang mereka. Ia begitu terkesima melihat adegan dua remaja yang ada di hadapannya. Ia seperti merasa sedang menonton drama korea seperti yang sering ia tonton sore hari. Lalu, ia menengahi mereka dan mengajak mereka beranjak dari kamar yang pengap ini. Karena tidak terlalu baik di dalam kamar yang kedap udara. Menggganggu pernafasan dan mengotori paru-paru. Lalu, mereka keluar beriringan.
            Sebelum beranjak meninggalkan rumah yang berbingkai lukisan peristiwa masa lalu itu, Daun berpamitan kepada Bu Supi dan mencium tangannya. Bu Supi hanya berpesan sepatah kata untuk Daun.
“Daun, masalah bukan berarti tanda akan berakhirnya kehidupan. Namun, masalah adalah awal dari perjuangan untuk menuju kehidupan hakiki. Dan perlu di ingat sebelum Tuhan menurunkan masalah padamu, terlebih dahulu Tuhan telah menurunkan jalan keluar untuk masalah yang akan kau hadapi ingat Daun, jangan pernah kamu tergelincir pada pemaknaan taqdir yang salah hingga kamu berujung mencaci dan menyalahkan Tuhan, tapi belajarlah yakin, ikhlas dan sabar untuk setiap peristiwa yang menghampirimu”
Lalu, aku dan Bunga pergi meninggalkan rumah itu. Aku merasa sedikit lega. Beban yang selama ini aku simpan telah coba  kubagi dengan orang yang paling aku cintai. Dan aku tetap berharap Bunga akan mengerti diriku dan masa laluku. Di jalan kami diam membeku. Hanya angin sepoi yang mengajak kami bercanda. Namun, kami  menepisnya. Justru kami sibuk dengan fikiran kami sendiri. Tepat di pertigaan  jalan Gatot Subroto, aku membelokan motorku. Menuju arah kiri.
“Daun, kita kok lewat jalan yang berbeda? Kita mau kemana?” Tanya Bunga kebingungan. Karena ia sedikit merasa takut, aku akan membawanya ketempat yang tidak ia kenal dan berbuat nekat. Aku hanya terdiam. Hanya angin yang menjawabnya. Lewat bau amis ikan yang kini tercium oleh  Bunga.  Ia mengerti, bahwa Daun membawanya menuju Laut Teluk Penyu. Ternyata benar. Kurang dari 100 meter terlihat laut tehampar luas di depannya. Terlihat ombaknya yang berlarian berkejaran menuju pesisir. Angin laut yang berhembus menyapannya. Terasa begitu indah. Terlihat Kota Cilacap yang begitu kaya dan indah. Dengan berpenghasilan dari laut serta adanya kilang minyak.
Aku mengerem motorku tepat di depan rumah makan Sari Bahari. Rumah makan faforitku sejak dulu,  yang menyediakan berbagai macam masakan laut. Seeafood, loopster dan masih banyak lagi.
“Bunga, ayo kita makan dulu! Dulu, aku sering sekali makan disisni bersama Ayah dan Ibu. kamu tidak akan menyesal, karena masakan-masakannnya begitu khas dan lezat” ajakku. Bunga hanya menjawab dengan senyuman lalu melangkah mengikutiku. Masih terasa kekakuan diantara kami. Di dalam kami hanya diam menunggu makanan yang telah kupesan. Bunga semakin terlihat canggung. Sebentar-senentar menggigit bibir lalu mengalihkan pandangannya. Hanya lirik lagu  Sampai Kapanpun milik Ungu yang menemani kami. Mengalir lembut dan membuai alam bawah sadar. Aku  begitu menikmati, terasa mewakili perasanku.

            Semakin Ku menyayangimu, Semakin Kau menyakitiku       
            Semakin Ku mencintaimu, semakin kau menghancurkanku
            Entah Sampai kapanpun Kau akan menyadarinya
            Bahwa hanya diriku yang pantas memiliki dirimu
            Yang rela korbankan semuanya untukmu
            Sampai kapanpun kau akan kucintai
            Walau kau tak pernah membalas cintaku padamu
            Walau apapun kau akan kusayangi
            Setulus hatiku, Seumur hidupku kumencintaimu
            Takan pernah bisa melupakanmu
            Walau sekejap saja
            Takan pernah mampu
            Tuk memggantimu dalam seluruh hidupku
            Sampai kapanpun kau kan kucintai
            Walau kau tak pernah membalas cintaku padamu
            Walaupun apapun kau akan kusayangi
            Setulus hatiku, seumur hidupku, kumencintaimu.
***

Aku tersungkur lemas di sudut kamar. Hatiku terasa rapuh. dan jiwaku terasa kosong. Aku merasakan kerinduan yang dalam pada Bunga. Terpendam hingga membusuk. Selepas pertemuan di Cilacap, Aku  jarang sekali bertemu dengannya. Hanya sesekali. Selain karena kmpus kami yang berbeda, jadwal kuliah pun menuntut kami untuk tidak bersantai diluar kampus. Rupanya, Bungapun sengaja menyibukan diri. Sebagai satu alasan untuk menjaga jarak denganku. Aku merasa, Bunga seolah benar-benar hilang dari peredaran hidupku
                Aku selalu berusaha menghubunginnya namun tidak pernah bisa. Bahkan,  beberap kali aku datang ke kost Bunga. Namun, ia tidak pernah ada. Teman-temannya hanya mengatakan bahwa Bunga sedang sibuk dengan kegiatan di kampusnya. Sehingga ia jarang di kost.
Lebih dari dua bulan aku tidak bertemu dengannya. Kabar terakhir yang kudengar, Bunga sedang di Semarang mengurus kegiatan di organisasi yang ia ikuti. Oh, Bunga, betapa aku merindukanmu.





          Aku terjebak dalam kata-kata
Tak adalagi tanda baca, ataupun koma,
Hanya bayangan abjad yang renta dan bahasa yang makin menua
Katakan saja dengan hatimu
jika tak mampu mengurai makna
yang disimpan cahaya pada senja
atau aku harus menggunakan bahasa batu
Agar kau tahu aku tercabik-cabik  rindu
***

Suatu sore yang cerah, saat aku sedang bersantai di warnet, karena memang tidak begitu banyak pengunjung yang datang, tiba-tiba terdengar suara yang membuatku terperanjat. Suara yang benar-benar terasa menyejukan, suara yang pernah memanjakan hatiku. Semua harapan yang tadi sempat aku lamunkan buyar begitu saja.
            “Hai, Daun.” sapanya. Suara itu membuatnya menoleh dengan cepat. Andrenalinku berpacu dua kali lipat. Terasa begitu lemas bercampur bahagaia.  Di belakang tampak seorang gadis yang sedang tersenyum manis.
            “Bunga” ucapku dengan nada lirih. Benar-benar suaraku tertahan. Takuasa lagi tenggorokanku menyebut namannya. Terlalu indah dan berat. Nama itu sungguh benar-benar menjanjikan surga buatku. Namun, kini surga itu semakin jauh dari jangkaun tanganku dan pandangan mata liarku.
            “Bagaimana kabarmu?” tanyanyan, singkat.  Mataku masih lekat memandangnya. Berbinar memandang pujaan hatiku yang kini berada di depanku. Permaisuri hatiku yang selama ini menghilang dan begitu membuatku tersiksa kini hadir tiba-tiba. Oh sungguh Tuhan memang tahu kemampuan hamban-Nya dalam menghadapi sebuah cobaan. Kala hampir punah haran-harapan yang tertata dan merasa benar-benar putus asa,  ia mnghadirkan anugrah dengan caranya sendiri. Seperti detik ini ketika aku tak mampu lagi menahan rindu yang benar-benar mencabik-cabik ulu hatiku.
            Daun masih memandang bola mata Bunga yang indah. Namun  justru Bunga memalingkan pandangannya. Daun tak begitu memperdulikannya. Yang terpenting kini Bunga telah kembali. Cahaya hatinya telah bersinar kembali.
Oh…. syahdu sekali. Kalau sedang jatuh cinta siapapun bisa merangkai kata seindah syair kahlil Gibran. Beberapa menit kami membisu, seolah tenggorokan kami tersumbat. Jantungku berdebar. Aku tidak mampu lagi mendevinisikan filosofis cinta yang ada di hatiku. Benih-benih rasa suka dan sayang di hatiku memang begitu sulit untuk di mengerti. Kadang membuatku semangat untuk meniti hari-hari esok. Terkadang membuatku tersungkur lemas dan tak berdaya.
             “Kamu kemana saja Bunga. Setiap hari aku menantikan kehadiranmu. Aku selalu berusaha mencari jejakmu. Tapi kamu bagai menghilang ditelan bumi. Hanya temanmu yang mengatakan bahwa kamu tengah sibuk dengan kegiatan-kegiatan organisasi kampusmu. Aku benar-benar kehilanganmu. Aku begitu merindukanmu Bunga” ucap Daun. semakin dalam ia menatap mata Bunga.
            “Maafkan Aku Daun. Aku ada acara mendadak di Semarang. Jadi aku tidak sempat memberitahumu. Selain itu juga aku ingin benar-benar mengalihkan fikiran dan hatiku darimu. Aku ingin mendinginginkan hatiku. Dan ingin berdialog dengan hatiku dengan tenang” jawabnya. Lalu. Ia mengatupkan bibirnya.
            ‘Bunga, aku benar-benar tidak bisa tanpamu aku benar-benar mencintaimu” ucapku lagi. Namun Bunga tak terlalu mendengarkan kata-kataku. Tak seperti biasanya ketika aku bertemu dengannya. Kali ini suasana begitu beku.
            “Maafkan aku Daun. Sebulan kemaren, Ibu telah mengenalkanku dengan seorang laki-laki. Dan aku mencoba bertaaruf dengannya,” ucap Bunga. Menatap lurus mata Daun. Tiba-tiba air matanya mengalir.
            “Apa, kamu ngomong apa?” tanyaku. Telingaku serasa tersiram cairan timah mendidih mendengar perkataan Bunga. Aku  ambruk. Tersungkur kekursi di belakangku.
            Beberapa menit kemudian keadaan menjadi senyap. Hatiku terasa berantakan dalam sekejap akibat ledakan dinamit kesedihan didadaku. Hatiku hancur. Sungguh tak bisa aku melupakan wajah gadis manis yang selalu bisa menenangkan. Nama Itu, harapanku, inspirasiku, sekaligus perihku.
            Aku telah benar-benar terpatri dengan bayangan Bunga sampai berkarat dalam jiwaku. Dan kini, hari ini, detik ini aku harus bisa melupakannya. Berat, sungguh berat. Oh, sungguh bodohnya aku mengharap Bunga Desember tumbuh di musim kemarau. Menunggu orang yang tak pernah merasa ditunggu.  Bangunan harapanku runtuh, terkubur bersama imajinasi bodoh sang pemimpi.
            Air mataku meleleh. Aku merasa menjadi manusia yang paling gagal. Merasa menjadi manusia yang hanya penuh dengan angan-angan musykil. Mimpi diatas angin, tidur di awan-awan dan seketika terjaga dikolong langit dengan untaian masalah. Aku  merasa terperangkap dalam jerami yang kusut beraliran listrik tegangan tinggi. Hingga terbakar dan hangus.
            Oh, begitu menyedihkan. Aku merasa benar-benar lemas dan tak berdaya. Menghadapi hawa hening yang meniupkan kesedihan di relung hatiku. Aku benar-benar tak mampu lagi melangkahkan kaki menuju dermaga harapan di sebrang sana. Bersama Bunga impianku. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang paling hancur.
            Detik-detik waktu yang melenggang melangkahiku terasa mencekam dan menakutkan. Sebagian kebahagiaan yang pernah mampir dalam hidupku lenyap bersama kepergiannya. Berjuta rasa dan asa yang tercipta kini hangus bersama langkahnya. Beribu kenangan indah itu menusuk bagai duri-duri tajam yang menusuk ulu hatiku. Bunga yang selama ini menjadi anganku telah melenggang dan mennyebrang ke hati yang lain.
            “Bunga, mengapa kau tega menyiramkan timah yang mendidih diatas kulit ariku” ucapku dengan nada kandas.
            “Maafkan Aku Daun. Semenjak kejadian itu, Ibu benar-benar tidak mengizinkanku untuk dekat lagi denganmu. Ia begitu mendukung keputusanku untuk melepasmu. Aku hanya yakin semua keputusan dan pilihan-pilahan orang tua adalah yang terbaik. Jadi aku mencoba untuk menurutinnya. Yakinlah Tuhan tidak tidur. Ia pasti akan menggantikan yang lebih baik dari pada aku untukmu. Yang mampu membimbingmu dan mejadi permaisurimu di dunia dan akhiratmu nanti” tutur Bunga menjelaskan padaku.
            Daun, melenguh panjang. Semua penjelasannya terasa mustahil bagiku. Bagaimana mungkin, Bunga yang menaruh hati padanya, serta aku adalah laki-laki pertama baginya, tiba-tiba hanya dalam waktu dua bulan berpaling dan menyebrang pada sosok lain. Bahkan dengan mantap Bunga berkata ia telah begitu cocok dan yakin dengan calon pendamping hudupnya itu. Aku  terdiam. sungguh tak habis pikir.
            “Bunga, mengapa kamu tega padaku? Setelah aku korbankan semua untuk mu dan aku ingin mencoba kembali pada agamaku yang dulu? inikah balasanmu” aku tak kuasa menahan emosi dan laraku.
            Bunga hanya diam mematung. Menatapku tajam tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.
            “Cerita kita telah usai, Daun. sudahlah tidak perlu kau ungkit lagi masa yang sudah terlewat. Memang diantara kita pernah ada rasa, tapi tidak selamanya cinta harus berakhir dengan kebersamaan. Aku telah memilih pendampingku yang lain. Aku pun berharap begitu juga denganmu”
            “Mustahil. Aku mampu melupakanmu Bunga. Mungkin kamu bisa berganti-ganti pasangan sesukamu, namun aku tidak bisa. Bunga, aku begitu kecewa denganmu. Tidak kusangka kamu yang selama ini kuanggap sebagai Bunga Firdaus, bahkan bagai seorang peri, yang mampu memberikan cahaya di hatiku, tak ubahnya racun yang kini membunuhku pelan-pelan” Daun berteriak marah dan kecewa. Di hadapannya, Bunga nampak sedih melihat Daun patah arang. Tapi yang aku herankan, Bunga begitu tegar, tanpa sedikitpun air mengalir dari matanya.
            “Maafkan aku Daun! Kamu memang lebih pantas mendapatkan yang lebih dariku. Aku memang tak ubahnya seperti racun. Yang membunuh orang-orang mulia seperti dirimu. Aku memang egois. Hanya memikirkan yang terbaik untuk diriku sendiri. Jika pilihanku nanti salah biarlah aku akan menanggungnya sendiri. Hiduplah menurut keyakinan hatimu sendiri. Jika kemantapanmu kembali pada Tuhanmu, janganlah karena kamu ingin meraih dunia yang serasa madu untukmu. Tapi kembalilah karena engkau ingin mengharap Ridlho_Nya” Bunga mengakhiri pembicaraanya. Kali ini, matanya memerah menahan air yang telah menggenang di sudut matanya. Lalu, ia pergi dengan ucapan terimakasih yang membuatku lebih tersiksa.
            Setiap langkahnya membuatku menjerit kesakitan. Membuat tubuhku berguncang dan tersungkur lemas.  Sementara itu, di balik pintu Bunga menahan haru memandang orang yang sangat dicintainnya jatuh terkulai. Ia menahan isak kesedihan yang kini menggerogoti hatinya.

***



            Aku merasa limbung. Jiwaku merasa telah kering. Keputusan Bunga membuat luka yang dalam di hatiku. Tuhan seakan belum puas untuk menghukumku. Semenjak peristiwa di warnet tempo kemarin, aku merasa benar-benar seperti daun sore di mata Bunga. Daun yang telah kering terkena sinar matahari. Dan jatuh terhempas angin. Hilang tertutup senja. Dan terbuang oleh malam.
            “Aku benar-benar tak ubahnya seperti daun sore. Daun, sang mantan yang terbuang begitu saja” teriaku membelah keheningan senja. Matahari barat hampir tenggelam. Aku merasa semakin jauh dengan Bunga. Masih beberapa kali aku nekat untuk menghubungi handphonnya. Namun selalu tidak aktif. Tak hanya sekali mendatangi kostnya, namun ia telah pindah. aku telah benar-benar kehilangan jejaknya.
            “Mengapa semua ini Engkau limpahkan padaku Tuhan?” jeritku lagi.  Kini, aku benar-benar tak mampu lagi menguasai diriku. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang paling menderita. Dunia di hadapanku serasa neraka. Getah racun cinta yang kini menjalar di darahku semakin menyebar. Serpihan hati yang terluka membuatku semakin gila. Tak mudah aku menatannya kembali. Aku benar-benar kehilangan semangat bekerja dan belajar. Sudah beberapa hari ini aku meminta Rizal untuk menggantinya menjadi operator warnet. Aku  sama sekali tak bergairah dalam belajar. Inilah salah satu pengaruh buruk cinta.
            Keadaan ini membuat kawan satu kostku, Rizal. Kebingungan dan ikut pusing. Karena keadaan sahabatnya semakin hari semakin tidak jelas. Rambut awut-awutan. Mandi malas, hanya bengong saja kerjannya. Jika diajak berbicara matanya nanar menatap ke arah yang tidak jelas. Seolah hatinya yang kini mampu bicara. Mulutnya terkunci. Terlalu berat membongkar kesedihan dan kesakitan yang aku rasa.

Namamu, masih menggantung di rumah hatiku
Melumut dan membeku
Tatapanmu, masih menancap di relungku
Membuat langit-langit hatiku runtuh
Bersama hujan air mata

“Daun, mau sampai kapan kamu begini terus? Ingatlah, Dunia takan pernah kiamat hanya karena putus cinta” ucap Rizal menghIburnya. Namun aku hanya menanggapi Rizal dengan senyuman kecut. Senyuman yang hanya tipuan.  Begitulah aku yang sangat berbeda dengan sahabat karibku itu. yang tak pernah menganggap urusan asmara sebagai perkara serius.
Selera bicaraku tak muncul juga. Hingga membuat Rizal kalang kabut akhirnya mengucapkan beberapa kata yang membuatku terhentak sadar.
“Daun! Ayolah, dimana semangatmu yang selalu membara. Lihatlah dirimu! kamu pikir kamu hebat? Merasa menjadi pahlawan cinta dengan terus menyiksa diri karena hanya sebatas asmara yang tertunda?” aku masih diam. Tak berani menimpali ucapannya. Hanya mataku yang menyiratkan bahwa semangatku perlahan telah kembali.
“Mengapa manusia-manusia seperti dirimu tidak mati saja. Biar kaum-kaum sebangsamu dikenang oleh dunia sebagai pejuang cinta sejati yang konyol” aku masih tak berani menatap mata sahabatku itu. Rizal masih mekanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin sahabatnya itu tenggelam dalam keadaan seperti ini.
                Selera bicaraku tak muncul juga. Hingga membuat Rizal kalang kabut akhirnya mengucapkan beberapa kata yang membuatku terhentak sadar.
“Daun! Ayolah, dimana semangatmu yang selalu membara. Lihatlah dirimu! kamu pikir kamu hebat? Merasa menjadi pahlawan cinta dengan terus menyiksa diri karena hanya sebatas asmara yang tertunda?” aku masih diam. Tak berani menimpali ucapannya. Hanya mataku yang menyiratkan bahwa semangatku perlahan telah kembali.
“Mengapa manusia-manusia seperti dirimu tidak mati saja.  Biar kaum-kaum sebangsamu dikenang oleh dunia sebagai pejuang cinta sejati yang konyol” aku masih tak berani menatap mata sahabatku itu. Rizal masih mekanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin sahabatnya itu tenggelam dalam keadaan seperti ini.
“Daun-Daun. kamu benar-benar telah terbuai oleh ratu cinta. Ia telah benar-benar membutakanmu. Menyihirmu dan membuatmu gila. Inilah akibatnya jika dunia telah direcoki kisah-kisah cinta seperti Romeo dan Laila Majnun” Aku mulai sedikit berani mengangkat kepalannya.
“Daun, aku yakin kamu adalah lelaki yang kuat.  Kamu adalah lelaki yang mampu menaklukan kesedihan dan penderitaanmu dimasa lalumu. Hingga kamu menjadi seperti sekarang ini. Kamu adalah laki-laki dengan sejuta potensi. Kenapa kamu lupa dengan semua pengalaman hidupmu yang membutamu tegar. Kenapa kamu harus terpuruk karena satu urusan yang sangat sepele. Ayolah belajar memaknai kehadiran wanita dari berbagai sudut” 
“Rizal, maafkan aku” ucapku. Aku  merasa sangat malu. Merasa menjadi laki-laki yang kuat. Tapi, justru terkapar tak berdaya karena cinta. Sungguh menyedihkan. Aku tak menyangka, ternyata Rizal benar-benar peduli dengan diriku hingga detik ini. Ia benar-benar sahabat yang begitu berarti. Aku  begitu terharu.
“Daun, aku sadar. Aku memang tak bisa membantumu apa-apa. Namun sungguh, aku benar-benar tak rela melihatmu begini” ucap Rizal lagi. Sambil memberikan sebuah buku untukku. Buku yang berjudul, “Antara Cinta dan Tuhan” Aku benar-benar terheran-heran dengan buku itu. Mungkin Rizal tahu apa yang aku butuhkan ada di buku itu.
“Daun, semoga kamu bisa memaknai kata cinta yang sesungguhnya dari buku itu” Ucapnya sambil meninggalkanku. Lalu menghilang di balik pintu.
Aku membolak-balikan buku itu.  Mulai kubuka. Dari kata pengantarnya, aku mampu menangkap maksud dari buku itu, yaitu tentang makna cinta yang hakiki cinta pada Tuhan. Aku menemukan devinisi cinta yang membuatku terkagum-kagum.
“Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam amalan lahiriah. Sedangkan cinta kepada Tuhan adalah cinta yang dibangun berdasarkan keihlasan dan karena mengharap Ridlho_Nya. Dan akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang berujung pahala”
Lembar pertama belum selesai  kubaca, aku sudah terkesima dengan kata pengantar dari Ibnul Qayim. Bahwa sebab-sebab cinta kepada Tuhan itu ada sepuluh perkara. Detik saat mataku mengarah ke sepuluh perkara itu, tiba-tiba saja tubuhku bergetar. Mengingatkanku pada dosa-dosa yang pernah kulakukan
“Membaca kalam-kalam_Nya. Mendekatkan diri pada_Nya, sering menyebut naman_Nya, mengutamakan cinta pada_Nya dari pada manusia. Hati selalau memanggil nama_Nya dalam keadan apapun. Tunduknya hati pada_Nya. dan menyendiri demi berkhalwat pada_Nya. Duduk bersama orang-orang yang berilmu dan menjauhi perkara yang menutup cinta pada_Nya.” Aku  menarik nafas dalam-dalam. Masih mencoba mencerna apa yang habis  kubaca. Jajaran sepuluh perkara itu, membuatku berfikir dalam. Ternyat hidup yang ku jalani sekarang memang melewati jalan kiri. Jalan yang menjauhkan dari Tuha_Nya. Sehingga aku seringkali merasa gelisah dan kesepian hatinya di tengah keramaian.
Kini, aku baru tahu bahwa setetes minuman yang aku teguk membuatku menjauhi Tuhan lebih dari sejengkal. Membelai tangan wanita serta mengajaknya bercumbu rayu membuatku sama saja selama empat puluh tahun hidup sia-sia tanpa pahala sedikitpun. Pil ekstasi yang menemaniku justru membuatku mendekati panasnya api yang siap menelan kulitku. Aku  menangis tertunduk lemas. Kini aku menyadari bahwa kehadiran Bunga lebih dari sorang peri yang menghiasi hatiku, namun bagia malaikat yang menunjukan jalan menuju kebaikan.
“Tuhan, aku baru mengerti arti kebahagiaan di balik kesedihan” aku tersengguk menahan isak. Lalu,  mencoba bangkit dan menatap diriku dalam cermin. Ada yang lain dengan sosok yang  kulihat dalam cermin itu. Sosok laki-laki yang lemah dan cengeng. Aku berjanji. Untuk mengganti semua yang pernah aku lakukan dengan setetes demi setetes kebaikan. Tuhan maafkan aku.


                                                                                 20
di ujung Pasir

Setelah membaca buku yang di beri oleh Rizal, tiba-tiba aku merasakan seperti ada kekuatan gaib yang menggerakan fikiranku untuk mengetahui lebih dalam makna cinta yang sesungguhnya. Akhirnya, beberapa hari kemudiana  aku mencari buku-buku lain yang berkaitan tentang Cinta kepada Tuhan. Aku menemukan beberapa judul yang menurutku menarik. Tuhan dan Manusia, Cinta Sejati dan Tuhan,  Cinta yang Hakiki. Namun, aku  belum merasa puas. Lalu, aku meminta pendapat pada temanku Rahman. Ia adalah temanku yang biasa di panggil dengan sebutan Ikhwan. Mungkin panggilan untuk seorang yang alim. Pikirku. Pertama kali mendengar kata itu.
“Daun, mengapa kamu tiba-tiba bertanya tentang Islam?” tannyanya saat aku menanyakan tentang kaitan Islam dan cinta pada Tuhan. Mungkin ia mengetahui tabiyatku selama ini. Seorang mahasiswa yang begitu sakaw dengan botol panas.
“Aku hanya ingin tahu saja” jawabku singkat. Karena aku tidak ingin ia tahu sebenarnya apa tujuanku bertanya padanya. Namun, ia hanya memberiku penjelasan yang tidak banyak. Justru menyarankanku berdiskusi dengan salah satu guru ngajinya yang bernama Ustadz Jakfar.
Menurut cerita Rahman, Ustadz Jakfar adalah seorang manusia soleh. Ia adalah sosok Ustadz yang sangat bijaksana dan alim. Ia Termasuk salah satu tipe manusia yang wajahnya memancarkan aura kedamaian.  Konon, menurut para Alim ulama, hanya orang-orang yang berhati bersihlah yang seperti itu.
“Daun, nanti malam seusai aku mengurusi diklat jurnalistik aku akan mampir ke rumah Beliau, untuk menyampaikan kalau kamu ingin bersilaturahmi” ucap Rahman.
Akhirnya, selang satu minggu aku pergi menuju daerah Purwokerto  Barat, Desa Pasir. Desa yang ditunjukan oleh Rahman. Ternyata, daerah tersebut terkenal dengan daerah yang berpenduduk agamis. Mayoritas penduduknya berbasis pesantren. Dan di sana terdapat salah satu makam seorang Syaikh yang bernama Syaikh Makdum Wali.
Kurang lebih selama lima puluh menit menempuh perjalanan, aku sampai di depan rumah yang sangat sederhana. Dengan pagar anyaman bambu. Lantai masih beralaskan tanah. Benar-benar menunjukan sang pemilik rumah sangat sederhana. Kulihat di sebrang jalan rumahnya berdiri pabrik kecil-kecilan. Ternyata pabrik itu adalah pabrik sendal jepit yang terkenal. Dan sudah banyak orang memakainnya.
Setelah beberapa menit aku mengetuk pintu rumah yang kini ada di depanku, aku tak mendapatkan jawaban apapun. Kecuali suara seorang laki-laki yang sedang membaca al-Qur.an. Begitu merdu suarannya. Membuat hatiku sedikit bergetar. Aku menjadi teringat ketika dulu masih sering mendengar Ibu membaca al-Qur’an sebelum tidur.
“Berwudlhu dan membaca al-Qur’an sebelum tidur itu sangat baik. Karena Alloh menganggap tidur kita adalah ibadah. Karena kita dalam keadaan suci”
Aku mencoba mengetuk untuk yang ke tiga kalinya. Ternyata belum ada ciri-ciri sang pemilik rumah akan membukannya. Selang lima menit aku mendengar ucapan “Sudakalloh hul adzim” lalu, di iringi langkah kaki yang menuju arah pintu dimana aku berdiri. Ternyata benar. Aku melihat sosok yang berwajah begitu teduh. Dengan balutan pakaian serba putih. Dalam bayanganku Ia seperti malaikat. Terdengar nada pintu terbuka.
“Maaf, tadi saya lagi tanggung membaca al-Qur’an. Anda ini siapa?” tanyannya membuatku kikuk. Karena aku merasa tidak enak telah mengganggunya.
“Maaf, nama saya Daun, saya temannya Rahman” ucapku dengan nada ragu-ragu. Lalu, ia manggut-manggut dan kulihat ia seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Oh, ya saya ingat. Seminggu yang lalu Rahman memang datang kesini dan mengatakan bahwa kawannya akan datang” ucapnya. Lalu, ia mempersilahkanku masuk. Dan ia melangkah menuju dapur, ternyata membawa dua cangkir kopi dan sepiring ubi rebus yang masih mengepulkan asap.  Setelah mempersilahkan untuk menyantapnya, ia mengajaku berbicara.
“Kemarin, Rahman sudah sedikit bercerita tentang keadaanmu. Apa benar begitu?” Tanya Ustadz Jakfar langsung membuka percakapan serius.
“Hemm, kurang lebih begitu Ustadz” jawabku mantap. Karena aku memang benar-benar ingin mendapat pencerahan. Sudah banyak hariku yang terbuang sia-sia dan tenagaku serta fkiran yang tersita hanya karena masalah ini. Bahkan hampir membuatku gila seperti Qois yang pernah mencintai Laila dalam kisah Laila Majnun itu.
“Jika saya tidak merepotkan, saya ingin meminta nasihat dari Ustadz. Maka dari itu saya sengaja datang kemari” lanjutku. Lalu, ia sedikit tersenyum, mungkin menganggapku aneh dan tidak mampu berfikir panjang menjadi seorang laki-laki. Namun, aku masa bodoh dan tidak peduli karena aku benar-benar ingin mendapat pencerahan.
“Saudara Daun, tidak hanya saudara yang mendapat masalah seperti itu. Namun, itu sebuah masalah yang wajar dan komplek di alami oleh pemuda dan pemudi seumuran saudara” jawabnya. Lalu ia bercerita tentang mahasiswanya yang tidak jarang datang kemari untuk mengajaknya berdiskusi atau hanya sekedar ingin curhat saja. Benar-benar seorang Dosen dan Guru Ngaji yang hebat. Fikirannya tidak fanatik dan kolot seperti kebanyakan para Ustadz atau Kyai lainnya yang memandang remeh masalah itu bahkan mencela para pemuda yang sedang merasakan hal tersebut.
“Daun” ia melanjutkan ucapannya. “Urusan Cinta dan kasih sayang hanyalah di sini” ia menunjuk dadanya.
“Tidak ada ceritannya, cinta itu hasil kompromi bahkan diskusi. Karena cinta itu tidak dapat di rasio. Karena jika cinta semakin di rasio itu namanya bukan cinta. Namun hasil pemkiran dan akan berujung menjadi kepura-puraan” aku hanya manggut-manggut mendegar ucapannya. Ucapan yang begitu menyejukan hatiku dan mampu menembus tebal dinding hatiku.
“Lalu, bagaimanakah penyelesainnya jika menghadapi masalah seperti yang sedang aku hadapi”
“Hehehehe” Ustadz Jakfar tertawa, sambil menyeruput kopinya.
“Sebenarnya, tidak ada yang salah dari dirimu karena kamu mencintai wanita itu. Karena memang datangnya cinta tidak ada yang mampu memprediksi, kapan dan bagaimana lalu ditunjukan untuk siapa. Namun,” ia tidak melanjutkan kata-katanya. Mungkin menyuruhku untuk berfikir sejenak. Namun, jusru aku bingung dan hanya mampu menatapnya dengan kekosongan.
“Tapi, ada satu hal yang kurang tepat”
“Apa itu, Ustadz?” tanyaku buru-buru. Karena aku merasa sangat penasaran dan ingin segera mendapat pencerahan.
“Kamu, terlalu menggunakan akalmu. Sehingga wanita yang kamu sukai itu, ingin benar-benar kamu mengetahui apa arti hidup dan cinta yang sebenarnya” aku masih terbengong-bengong. Sama sekali penjelasanya tak bisa aku cerna. Justru membuatku semakin pusing.
“Daun jika kamu begitu mencintainya dan rela berkorban apapun itu hal yang wajar dan seharusnya. Karena memang darah pun harus kita berikan jika pasangan kita membutuhkan. Tapi,  semua harus melihat situasi dan kondisi. Nah, jika wanita itu, menghargai agama lebih penting dari suatu apapun dan menghargainya di atas egonya sendiri justru itulah wanita yang baik. Karena orientasimu saat ini hanyalah ingin mendapatkannya bukan?” aku sedikit membenarkan pernyataan sekaligus pertannyaan Ustadz jakfar yang memberondongku tajam seperti batu kerikil.
Untuk beberapa saat kami terdiam. Lalu, ia menjelaskan makna cinta yang sesungguhnya padaku. Yaitu cinta pada Sang Pencipta. Kata-kata penjelasannya begitu runtut dan tertata rapi, terlihat sang empunya suara dan penjelasan adalah orang yang cerdas. Ia memberiku penjelasan bahwa cinta sebenarnya adalah sesuatu yang tak bisa di devinisikan menggunakan akal.
“Sebenarnya, cinta sejati adalah perasaan yang bisa menuntun kita untuk mencari Ridlhonya Sang Pencipta. Yang lain hanyalah fata morgana dan omong kosong. Tak mungkin engkau bisa mendapatkan cinta sejati kalau engkau mencintai bukan karena Allah” suara Ustadz jakfar lembut sekali selembut sutra Kashmir.
Karena Tuhan, karena Tuhan. Kata itu masih menggantung di kepalaku. Lalu, aku memberanikan diriku untuk bertanya. Seindah apakah devinisi untuk Tuhan. Aku yakin aku bertanya pada orang yang benar. Karena ia adalah dosen filsafat. Pasti mampu menjelskan.
“Tuhan?” ia masih memikirkan jawaban yang tepat. Mungkin sambil mengangan-angan kata seperti apakah yang pantas ia lontarkan untuk manusia seperti aku. Yang telah meninggalkan Tuhan begitu lamannya. Hingga kini harus di pertemukan kembali dengan urusan seperti itu.
Lalu, ia menjelasan dengan bahasa yang membuatku terkagum-kagum dan benar-benar diluar dugaanku. Bahwa Konsep Tuhan dalam Islam adalah perwujudan wahyu yang tak bisa dibandingkan dengan konsep lain, benda apapun. Tuhan dalam hal ini, adalah Dzat yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan. Tuhan yang azali dan abadi. Dia maha Esa. Yang Dzat_Nya tak bisa dibagi-bagi” Dosen Filsafat yang cerdas. Ia tak mencondongkan pada pendapat para ilmuan filsafat satupun. Seperti penggerak awal dalam filsafat. Aristoteles. Yang membagi dimensi Tuhan dalam tiga oknum trinitas yang rancu. Dan tidak pula mengambil salah satu pemikiran dari ilmuan Islam seperti Al-Farabi atau Ibnu maskawaih atau ilmuan yang sekaliber dengannya.
Aku menatap langit-langit ruang tamu. Aku terkesima memandang Ustadz Jakfar. Ingin sekali aku selalu dekat denganya. Ia, bagiku sungguh sang pencerah.
“Jadi Tuhan dalam konsep Islam adalah Dzat yang memang pantas menjadi Tuhan”kataku menimpali. Aku sedikit mendapat pencerahan.
‘Kurang lebih begitu. Sungguh celaka manusia yang mecintai wanita lebih dari ia mencintai agama yang menuntunnya menemukan Tuhan. Karena itu bukan cinta tapi itu hawa nafsu. Yang ditancapkan oleh Syaitan kepada hati manusia yang lemah”
“Lantas apa yang harus aku lakukan?” tanyaku kebingungan.
Lalu, justru ia menyuruhku untuk berfikir atas semua penjelasan yang ia berikan tadi.  Aku merenung sejenak. Pikiranku sungguh kini bercampur aduk. Meihat kebingunganku, mungkin ia tidak tega atau takut justru aku salah langkah. Lalu, Ia melanjutkan penjelasannya.
“Daun, akal, dan semua rapalan atau bentuk peribadatan lainya hanyalah sebuah instrument untuk mendekatkan diri pada­_Nya. Begitu juga cinta. Jika kamu mencintai serang wanita, berarti ia adalah instrument untukmu lebih mendekatkan diri pada_Nya. Dan mencoba menggali hikmah di balik ciptaanya, agar kelak tumbuh rasa cinta yang semakin menggunung kepada_Nya” ucapnya. Kini aku mengerti. Bahwa semua pangkal dan ujung cinta adalah cinta hanya kepada Sang Pencipta. Bahkan derajat cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Tuhan. Bukan kepada manusia, harta, maupun tahta.
Oh sunguh indah cara Tuhan mengenalkan dirinya lewat cinta. Lewat hati. bukan rasionalitas yang berperan. Aku memejamkan mata menikmati hembusan angin yang masuk di celah-celah jendela. Kini angin itu terasa berbeda, lebih sejuk, sesejuk hatiku setelah semua cerah dihadapanku. Lalu, aku pamit pulang. Dan kucium tanggannya tanda hormatku kepada orang yang berilmu. Senja telah menyapaku. Mengajaku untuk berjalan bersama. Menuju purwokerto utara.
***







21
Bangkit dari Kekalahan


Dalam perjalanan hidup, manusia takan pernah luput dari kesalahan, kekalahan, maupun kemenangan. Namun, kekalahan dan kemenangan tidaklah harus diartikan secara sempit. Yang hanya terjadi dalam suatu kompetisi. Tetapi banyak hal di dalam hidup ini dapat diartikan sebagai kekalahan dan kemenangan diri.  Walau hidup memang sebenarnya adalah kompetisi. Seperti pepatah arab yang mengatakan “ Fastabiqul Khairat” berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Hari ini, aku mencoba merangkai kemenanganku dengan mulai berdiri tegak di pagi buta. Mataku redup menatap gumpalan awan-awan putih yang bergelantungan hanya sejengkal dari pucuk gunung Slamet. Oh sungguh indah. Sudah beberapa hari ini, bangun pagi dan memncoba sedikit-demi sedikit menghafalkan rapalan doa-doa sholat dengan ditemani angin timur yang sering kali meledeku. Seakan mereka saling berbisik. Saling menertawakanku. Mengapa aku yang sudah besar dan bahkan hampir lulus kuliah masih menenteng-nenteng buku tajwid dan tuntunan sholat? Tapi, aku pura-pura tak mendengar itu semua. Karena tekadku kini sudah bulat. Untuk bangkit dari kehidupanku yang kelam dan telah melemahkanku hingga membuatku cengeng dan akhirnya aku menjadi seorang pecundang yang hidup berlimang dosa. Berkawan botol panas, butiran-butiran pil bahkan kadang kala ketika libidoku tinggi aku mencoba menggerayangi wanita sebagai pemuas.
            Dulu, aku memang merasa bahagia hidup dengan cara seperti itu, namun ternyata aku adalah sebodoh-bodohnya manusia yang selalu ingin memeluk kekalahanku dalam hidup ini. Tapi, mulai lima hari yang lalu, aku telah berjanji pada diriku, pada langit yang menyangga bumi, pada seluruh alam bahwa aku akan berubah. Aku akan membalas semua kekalahanku. Aku akan mencoba berlari mengejar kekalahanku.
            One down, one more to go. Pertarungan melawan badai kehidupan telah di depan mata. Going the extra miles. Berusaha di atas rata-rata orang lain. Itulah yang harus aku lakukan. Karena sungguh berat bagi seorangku. Hidup yang telah terbiasa menenggak minuman dan sebagai pecandu penghisap ganja sepertiku. Harus meninggalkan itu semua. Sering kali tubuhku terasa lemah, menggigil dan meraung-raung memanggil benda haram itu. Namun, hati kecilku tak gentar. Karena kini tekadku lebih besar dan tinggi melebihi gunung slamet yang menjulang tinggi seperti dalam pandangan mataku.
            Selain hafalan, keinginanku untuk bangkit dan berubah juga aku mulai dari membaca buku-buku religious dan tentunya tetap rajin untuk membaca buku-buku yang berkaitan dengan ilmu politik, aku juga berusaha untuk tidak alpha. Setiap mata kuliah juga aku ikuti dengan serius. Karena aku yakin  diri kitalah yang membuat kehidupan ini berharga. Bukan orang lain.
            Akhirnya, saat ujian semester pun tiba. Ini adalah semester terakhirku mengikuti kuliah di kelas. Karena tahun depan aku menginjak semester delapan. Itu artinya, aku takan memperoleh materi-materi dari dosen. Namun, aku harus menggarap skkrisipku sebagai syaratku memperoleh gelar S1. Aku belajar mati-matian. Aku meninggalkan semua aktifitas yang tidak penting. Yang aku kerjakan hanyalah belajar dan belajar. Membolak-balikan satu halaman ke halaman lain. Hingga buku-buku berserakan dikamarku. Mungkin kamarku lebih mirip seperti toko buku loakan. Saat Rizal membawa majalah motor kekamarkupun aku tak tertarik. Bahkan kulempar jauh-jauh. Karena aku ingin benar-benar fokus.
            “Jangan diganggu” begitu tulisan besar yang aku tempel di pintu kamar. Pintu kamar aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri di kamar, hanya ditemani bukit-bukit buku. Bahkan ketika Rizal diam-diam mengintipku dari balik pintu, aku halau dia.
“Rizal, tolong jauhi aku sebentar. Aku ingin melalap habis semua buku-buku yang ada di hadapanku” ucapku. Bahkan ketika kawan-kawan nongkrongku datang aku menolaknya mentah-mentah. Walau mereka menghujaniku dengan berbagai peluru rayuan, aku tetap menolak. Bahkan ada salah satu dari mereka yang melontarkan omongan buruk
“Alah. Kamu Daun, mau sok insaf. Aku jamin, tidak sampai lima bulan kamu akan mati kaku tanpa heroin dan vodka” namun, aku hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Aku tak peduli pada mereka. Seburuk apapun masa lalu pasti akan terhapus dengan semua perbuatan-perbuatan baik.
Akhirnya, ujian semesterpun datang. Aku memasuki ruang kelas dengan hati yakin bahwa aku mampu untuk mengerjakan semua. Aku tidak boleh kalah dan aku tidak akan mengulangi nilai D yang mendarat di KHSku. Aku sudah bosan dengan warna merah itu. Warna yang selalu membodoh-bodohkanku. Bahwa aku manusia paling bodoh, yang memperoleh nilai B saja tak mampu. Aku menggarap soal-soal ujian dengan hati tenang. Setiap baris jawaban yang kutulis membuatku yakin tidak hanya nilai B yang akan aku dapat bahkan nilai A akan bertengger di barisan nilai-nilaiku nanti.
Ternyata benar, dua minggu setelah ujian. Nilai-nilaiku rata-rata A. IP 3,5 kini tertera di kalkulasi seluruh nilaiku. Aku begitu bersukur. Dan sangat bahagia. Ternyata Tuhan takan pernah membiarkan hamba_Nya yang berusaha. Ia akan memberikan hasil sesuai usahanya. Kini, aku siap mnghadapi semester delapan. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa semester ini adalah semester terakhirku menginjakan kakiku di Universitas Jendral Soedirman.
***

Matahari hampir tenggelam. Sinarnya menciptakan ilusi lautan jingga di kaki langit. Jajaran pohon yang menjulang tinggi, melambai-lambai menebar hawa kesejukan. Angin bermain dan bercanda dengannya. Hingga menerbangkan debu-debu halus.
            Saat merebahkan badan pada batuan yang datar, aku merasakan getaran kepuasan tersendiri. Karena berhasil menaklukan jalanan yang menanjak demi melihat air terjun yang indah. Mungkin rasa inilah yang dirasakan oleh para pecinta alam, sehingga mereka mau bersusah payah berpetualang mendaki gunung, menyusuri dan menapaki jalan terjal.
Pohon-pohon, suara burung-burung dan sungai-sungai yang indah sepanjang jalan, serta perkebunan tomat, seledri dan cabai menambah indahnya pemandangan. Tak salah jika banyak kawan-kawanku menggilai tempat ini. Tempat yang begitu indah masih terasa hawa-hawa yang dapat menyatukan kita dengan alam. Udara pun masih terasa sangat bersih. Suasana yang sangat cocok untuk mendinginkan hati dan fikiran setelah penat menjalani hari-hari yang melelahkan.
Aku duduk dibawah pohon dammar, mataku lurus memandang air yang berjatuhan dari atas. Benar-benar indah air terjun yang ada di hadapanku itu, ternyata hidupku seperti air yang mengalir di bawahnya.  Tetap mengalir walau terkadang menabrak bebatuan yang menghalangi jalannya. Namun, air itu tak pernah berhenti mengalir. fikiranku melayang, melukis wajah seorang bidadari yang mampu membalikan hidupku hingga 180 derjat. Karena bidadri berwajah manis itulah hidupku terbebas dari belenggu dosa bahkan ia telah mengajariku untuk menghidupkan hati yang telah lama mati. Ia yang telah menunjukan jalan buatku untuk meraih mimpi dengan cinta. Tapi kini ia telah lepas dari genggamanku. Ia lebih memilih jalannya. Jalan yang ia anggap suci demi meraih cinta_Nya. Dulu aku memang tak pernah membenarkan keinginannya. Namun, kini aku tahu, bahwa dengan caranya itulah, ia menjadi wanita sangat berharga. Tak pernah mengandalkan egonnya, bahkan selalu berusaha menyeimbangkan akal dan hati nuraininya. Tak terasa fikiranku mengajak terbang ke masa lalu. Saat aku mempertahankan egoku untuk mendapatkan Bunga Asterku yang paling indah.
“Daun, ingat! Tak selamannya akal itu benar”
“Tapi, bukankah akal mampu menjawab seluruhnnya. Termasuk untuk mencintai seseorang”
“Tidak” jawabnya tegas. Lalu, ia melanjutkan kata-katannya.
“Itulah kesalahanmu. Yang menunjukan bahwa kamu egois” aku masih terdiam. Masih belum mampu mencerna kata-katannya.
“Daun, kita sebagai manusia biasa tak boleh hanya menggunakan akal. Jangan pernah membiarkan akal menguasai dirimu. Kamu terlalu mendewakan akal. Kamu tak pernah mempertimbangkan instrument lainnya.”
          Aku belum mampu menyanggah kata-katannya. Ia begitu runtut menjelaskannya. Membuatku semakin mengaguminnya. Ia benar-benar wanita cerdas dan penuh kekuatan. Hati dan otaknnya benar-benar berisi. Tak salah jika wajahnya memancarkan cahaya keindahan.
            “Lantas apa yang harus aku lakukan”
            “Hanya satu yang perlu kamu ingat Daun! akal memang instrument manusia yang paling penting. Namun, akal juga mempunyai keterbatasan. Ada dimensi lain yang kadang manusia lupa. Yaitu relung hatinya yang paling dalam. Hati yang mampu mengantarkanmu untuk berbincang dengan Tuhan. Maka jangan sekali-kali kamu mengotori hatimu. Jika hatimu kotor maka kamu akan kesulitan mencari jalan untuk bertemu dengan yang memberimu cinta, untuk mencintai sesamamu. Termasuk lawan jenis” aku hanya melongo. Mungkin aku sudah terlalu tergila-gila padanya. Hingga aku tak memperdulikan bagaimana aku mencintainnya.
            “Bunga, dimanakah kamu sekarang? Tak sadarkah bahwa aku begitu merindukan senyumu” rintihku dalam hati. Hanya angin dipucuk-pucuk daun akasia yang menjawabnnya. Mungkin ia tahu kalau aku begitu merindukannya.

Oh, Bunga,,,
Jajaran batu yang sempat terwujud
Hingga bisa terbaca mawar di hatimu
Aroma keindahan, titian rasa
Menuju halaman kastil di atas bulan
Kini hanya batu yang terbaca
Hingga riak tak sampai kemuara bayanganmu yang menjelma
Aku enggan ketepian itu, terjal menelan jurang jasadku


            Sedang asik-asiknya bermain dengan bayangannya, Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara yang pernah kukenal. Ya ternyata benar, itu adalah suara Aina. Teman dekat Bunga.
            “Daun, bagaimana kabarmu? Apa yang kamu lakukan dsini?” tanyanya.
            “Aku sedang ingin menikmati angin segar saja. Ingin melempar penat hidup di hingar-bingar kota saja” jawabku. Lalu, kami saling bercerita keadaan kami masing-masing setelah lebih dari dua tahun tak bertemu.
            “Bunga sekarang sedang sibuk dengan novel perdananya yang akan terbit bulan april depan” jawabnya ketika aku menanyakan dimanakah sosok bidadariku itu.
            “Bagaimana kuliahmu sekarang?” lanjutnya berbalik tanya padaku. Aku hanya menjawab singkat. Kalau aku tengah menggarap sekripsi dan datang ke Cipendok adalah salah satu alasanku. Karena aku memang berniat untuk beberapa minggu menetap di salah satu desa karang tengah. Cilongok. Aku yakin dengan suasana yang begitu sejuk dan tenang aku mampu menyelesaikan sekripsiku. Karena memang ketenanganlah yang dicari oleh orang-orang yang sedang memikirkan sesuatu. Agar hati dan fikirannya mampu menyatu. Pantas saja jika Bunga lebih menyukai suasana sepi. Bermain bersama kesendirian. Suasana yang akan menciptakan berbagai imajinasi. 
Matahari barat hampir menjemput. Lalu, kami berpisah dengan senyum simpul. Aku berjalan menuju rumah kost yang sudah dua minggu ini aku tempati. Bersama sore yang mengukir indah setiap peristiwa. Seperti sore ini, ternyata mengukir cerita indah untuk masa mendatang. Aina, nama itu kini menjadi sebuah misteri bagiku.

***






22
                                                            Wisuda
        
 Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang.  Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal dari hati kita.
            Yah, kesuksesan bukanlah semata-mata berawal dari betapa keras otot kita bekerja dan betapa tajam otak kita. Namun juga betapa lembut hati kita dalam menjalani semuanya.
Seperti hari ini, aku akan merangkai kesuksesanku dengan senyumku. Menghadapi semua cobaan yang menghujaniku seperti peluru satu persatu menggores kulitku. Hingga memerah lalu berdarah. Semenjak kepergian Bunga, hingga hari ini, kesedihan yang menggerogoti relung jiwaku semakin mendalam. Seakan Tuhan belum puas menghukumku dan menguji sejauh mana tekadku untuk berubah. Namun, aku tak menghiraukan itu semua. Aku tidak akan mengulang sejarah. Hidup hanya mengandalkan perasaan yang lemah.
Semakin hari, sedikit demi sedikit aku berusaha menutupi masa laluku bersama Bunga dengan segala bentuk kesibukan. Diktat-diktat untuk sekripsiku menjadi salah satu pelipurnya. Hanya satu tekad yang kini berkobar dalam diriku, segera lulus dan merengkuh ssemua dunia yang selama ini lari dariku.
Akhirnya, setelah melalui proses panjang, menyepi selama lebih dari dua bulan di Curug Cipendok dan menyelesaikan ujian kompre serta pendadaran. Kini waktu wisuda telah datang menjemput. Mataku masih lurus menatap Toga yang mengantung di dekat lemari. Pakaian itulah yang akan menjadi saksiku menjemput mimpi-mimpiku.
“Sifat dari harapan-harapan kita akan menentukan kualitas dari tindakan kita” terlintas ucapan Bu Yanah beberapa tahun lalu, ketika aku masih terpuruk dalam gelimang kesesatan masa lalu. Ternyata, ucapan Bu Yanah memang tidak salah. Hari ini aku membuktikan semua itu. aku menjadi Wisudawan terbaik di fakultasku. Begitu banyak keheranan yang aku terima dari orang-orang di lingkunganku. Mungkin mereka melihat keanehan di depan mata mereka. Seorang yang begitu nakal kini berdiri di depan podium untuk menyampaikan kata sambutan.
Seminggu yang lalu, aku di daulat oleh dekan untuk mewakili Fakultas fisip. Memberikan sambutan sebagai perwakilan dari Mahasiswa. Dengan  jiwa bergetar aku menaiki podium. Kutatap satu persatu mata-mata yang kini ada di depanku. Hatiku sedikit menggigil. Wajahku memerah, tanganku berbalik suhu. Menjadi dingin memancing keringat dinginku bercucuran. Namun ku beranikan diriku membuka sambutan.
Bapak Rektor, Bapak Dekan serta para Staf yang
 kami hormati,
            Bapak- Ibu Dosen Fakultas Fisip yang kami banggakan
            Kawan-kawan satu perjuangan yang kami cintai
            Para orang tua mahasiswa yang kami muliakan
            Serta semua hadirin yang hadir dan menyaksikan
Prosesi yang agung ini,
            Tak terasa perahu ilmu yang kami dayung
selama empat tahun ini,
kini telah sampai hingga ujung kemenagan
            Suka dan duka telah kami lewati bersama
            Hari ini telah membuktikan bahwa tak ada yang sia-sia
dan telah berakhir dengan indah.
Sebuah mimpi yang kami pahat dalam sebongkah harapan,
Yang menggelorakan sebuah cita-cita
Kini telah terlahir dalam sebuah nyata.
Semua pengorbana orang tua kami, tiada tandingannya
Yang terus mendorong kami. mencari demi memberi receh pada kami
Mereka lebih bersemangat dari pada kita
Terus berlari bersama subuh yang pekat,
walau berhias tubuh yang lusuh
namun, hati mereka tak pernah rapuh.
semua itu mereka lakukan demi kami semua
hingga detik ini kami mampu berdiri memakai toga kebanggaan
Terimakasih untukmu
Wahai Ibu sang penyulut api semangat hingga
membunuh luluh dihati kami
wahai Ayah, pejuang Subuh sejati,
 hingga rela menantang matahari  demi langkah kami terus melaju
melawan desah yang berserah.
Hadirin yang saya cintai,
Izinkan saya pada hari ini, mewakili semua rekan mahasiswa
yang telah mendapat gelar kesajarnaan
untuk mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang kami agungkan
izinkan saya dan rekan lainnya pula,
yang tak selengkap kebahagiaan  mereka, di damping orang tua
untuk mengucapkan terimakasih yang besar tiada tara
dalam sujud rendah kami.
kami yakin, dimanapun orang Tua kami berada
mereka akan tersenyum bangga
karena anaknya kini telah meraih gelar sarjana.
Ibu, Ayah terimakasih untuk Doa kalian.
Semata-mata ini kami persembahkan untuk kalian
Pejuang kami, pejuang yang tak mudah melemas
Pejuang yang tak mudah memelas,
Dan  tak pernah melunglai sebelum batas.
Terimakasih.

Seusai menyampaikan sambutan, aku turun dari podium dan langsung bersimpuh di kaki kedua orang tua Rizal. Yang hari ini datang menyaksikan prosesi wisuda anaknya. Air mataku meleleh. jiwaku terasa begitu rapuh. andai Ayahku dapat menyaksikan anak laki-lakinya telah membuktikan makna dari sederet abjad namanya, pasti ia akan tersenyum. Ayah semoga engkau tenang disana. Dan mampu bercengkrama dengan malaikat-malaikat yang mengantarkanmu bertemu Tuhan. Ibu, aku akan segera pulang membawa kemenangan ini.
Semua hadirin larut dalam suasana haru, mereka memberikan aplous kepada kita semua. Para wisudawan tak mampu menahan isak tangis bahagia kala paduan suara mahasiswa menyanyikan koor Ibu.
Di deretan kursi belakang auditorium, tampak Aina tak kuasa menahan haru. Semenjak pertemuanku di Cipendok itu, kami menjadi akrab dan sering bertemu. Tidak jarang kami terlibat dalam diskusi tentang ekonomi, filsafat maupun tentang agama. Aku banyak belajar dari dia. Kulihat di genggamannya ada seuntai mawar putih. Mungkin itu buatku. Ternyata benar, setelah acara prosesi wisuda selesai, aku menghampirinnya. Lalu ia menyerahkan mawar yang ada ditangannya. sungguh, yang membuatku kaget, ternyata mawar itu bukan darinnya. Melainkan titipan dari Bunga.
Tanganku gemetar menerima mawar itu. kupandangi lekat-lekat mawar putih yang diikat dengan tali berwarna merah. Di sampingnya, tampak sebuah sampul surat berwarna biru tertanda B. A2. aku paham symbol nama itu, itu adalah nama Bunga. Bunga Aster Ayudiyana. Perlahan aku buka sampul surat tersebut dan kubaca rangkain kata ucapan selamat dan permohonan maafnya.

Hari Ini, Dunia telah membuktikan bahwa engkau adalah pemenang
Engkau telah menaklukan puncak-puncak kehidupanmu
Yang dulu engkau anggap sebagai mimpi belaka.
Hari ini, dunia kembali menyaksikan
Senyum indah penuh mimpi yang merekah di bibirmu
Seperti pertama kulihat empat tahun yang lalu.
Daun, tetaplah menjadi kebanggan dalam hidup ini.
Maafkan aku jika pernah menggores luka di hatimu,
maafkan aku yang hanya ingin mengabadikanmu dalam kenangan
Daun, selamata atas wisudamu,,
Selamat atas prestasi yang membanggakan.
Di balik masa lalu yang penuh derita
Percayalah, bahwa hari ini Tuhan begitu manyayangimu
Lewat karunia yang kamu terima.
Tetap hadirkanlah Ia dalam hatimu
Daun, Tuhan mengutusku bukan untuk merengkuh tanganmu
Namun, aku cukup bahagia telah mengantarmu
Kedepan gerbang mimpi-mimpi yang dulu masih
Kamu gantung dilangut-langit harapan hampa
Dan kamu semai pada hamparan muka bumi ini.
Daun, aku akan senantiasa menyelipkan namamu,
Dalam setiap riak air laut yang kusebrangi,
Setiap pasir yang kutapaki, dan setiap jengkal langkahku
meniti hari-hariku,
skali lagi, selamat atas keberhasilanmu
semoga engkau bisa istiqomah menjadi seperti matahari terbit
yang dapat menyinari dunia dengan sinar lembutnya
dan mampu menerangi dalam tiap langkahmu sendiri
dalam menelusuri kehidupan ini,
aku yakin, mimpimu akan selalu menjagamu,
Ia adalah utusan terkasih Tuhan
untuk mengungkapkan tabir cinta dan kasih sayang_Nya padamu
BA2   
            Aku terduduk lemas, lalu kurengkuh surat itu.

***
























                              23
Harapan dan Mimpi yang Bersatu


            Harapan. Kata itu sungguh berharga, bahkan melebihi emas, permata, ataupun perak. Karena jika manusia kehilangan harapan, berarti ia telah kehilangan seluruh kekuatan untuk menghadapai dunia.
Hari ini, waktu telah membuktikan padaku, bahwa sebongkah harapan dapat menciptakan seribu dunia. Dunia keindahan, dunia kesenangan, dunia yang penuh senyum bahkan dunia yang berujung dengan kepuasan batin.
            Semua yang aku rasakan hari ini, berawal dari sakitnya masa lalu. Hingga aku benar-benar balas dendam terhadap penderitaan, kemiskinan dan segala kekurangan yang mampu terbayar dengan materi.
            Seiring berjalannya waktu, dan setiap detak jarum jam yang berputar meninggalkanku dan hukum alam pun mulai merangkak untuk bekerja. Awan mimpiku yang dulu masih kugantungkan dilangit-langit, kini mulai turun sebagai rintik gerimis, bahkan hujan lebat yang menyirami hidupku. Membasahi tanah hidupku yang tandus dan menyejukan ragaku yang panas. Sedikit demi sedikit, dunia mulai menampakan wajah ceriannya padaku.
            Dunia benar-benar berpihak padaku. Setelah diwisuda, aku terbang melayari langit Jakarta untuk kedua kalinya setelah dulu aku gagal dan akhirnya, setelah berusaha dengan segenap tenaga aku diterima bekerja disebuah Bank. Awalnya aku terheran-heran, Sarjana Visip diterima sebagai salah satu pegawai bank. Namun, setelah melihat posisi yang akan aku tempati sebagai pengawas dampak kebijakan terhadap ekonomi,  aku baru mengerti bahwa semua memang berkaitan dengan fak yang aku ambil ketika aku kuliah. Benar-benar sebuah keberuntungan bagiku. Bekerja di sebuah bank yang bergengsi, jaringan internasional. Kantorku berada dikawasan bilangan Sudirman Jakarta selatan.  Setiap hari, aku Kekantor menggunakan Dasi, Jas. Waow benar-benar mimpiku telah menjadi kenyataan.
            Awalnya, aku diterima sebagai junior atau staf saja, namun sekali lagi aku mebuktikan bahwa Tuhan menciptakanku benar-benar dengan otak yang cerdas. Hingga aku dapat membalas dendamku atas nama kemiskinan dan segala bentuk penderitaan masa lalu, membuat karieku meroket dengan cepat. Baru beberapa bulan, aku naik pangkat. Menjadi ketua dewan pengawas kepercayan bos. Aku tidak sombong. Banyak yang berkata, bahwa aku memang jenius dan mampu melakukan analisis yang dalam dan dapat mengambil langkah-langkah cerdas. Sedikit pun aku tak pernah melewatkan hal sekecil apapun yang beresiko mengancam karirku. Serta dapat menjatuhkan nama bank yang telah membesarkanku. Aku selalu berusaha menerapkan Win-win solution dalam kerjaku.  Hingga aku mulai berfikir untuk mengumpulkan dana hingga aku mampu membangun lembaga keuangan sendiri, yang dapat mendorong laju perekonomian negara.
            Dendamku atas masa lalu yang pahit dan kehidupanku yang getir membuatku ingin merengkuh dunia dengan segala isinya. Semua kebahagiaan yang dulu ternistakan kini aku raih dengan kerja keras. Pengorbananku tak sia-sia. Kini materi menjadi sesuatu sangat mudah. Tak seperti dahulu, aku harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan upah enam ratus ribu sebagai penjaga warnet.
            Ayah, kini telah berumur hinggai mencapai kepala enam. Sisa-sisa tulang kerja kerasnya semakin rapuh. hingga ia harus memperbanyak istirahat dirumah. Ibuku yang kini mulai sembuh, walau harus ekstra hati-hati menjaga tubuhnya yang semakin ringkih pun harus banyak menyediakan waktu memenemani waktu istirahat Ayah.  Aku melunasi kewajibanku sebagai seorang anak. Membiayai kehidupan mereka dihari tua. Hingga setiap bulan aku harus mengirimkan uang untuk mereka. Aku sedikit lega, karena akhirnya orang tuaku tak sedikitpun merasakan kekurangan.
            Saat lebih dari empat tahun aku bekerja di Bank ini, semua kebutuhan materiku benar-benar terpenuhi. Mobil mewah, apartemen mewah, serta deposito rautusan juta telah ada digenggamanku. Tak ada lagi air mata yang menetes karena susah dan miskin.
            Namun, setelah dunia ada digenggamanku, aku merasakan sesuatu yang kurang dalam diriku. Perasaan resah dan gelisah akhir-akhir ini sering manghantui fikiranku, hingga membuat kerjaku tidak konsen. Apartemen mewah, mobil mewah, serta harta yang berlimpah tidak mampu menyerap keruhnya hatiku. Aku seperti hidup dalam ruang kosong dan tak punya warna. Semua terasa hampa.  
            Hingga suatu hari, aku mendapat tugas dari divisi tertinggi untuk membantu mengawasi tugas para karyawan bidang marketing. Untuk memasarkan produk-produk perbankkan. Karena memang bank kami sedang mengalami diss posision. Nasabah semakin menurun. Semua itu disebabkan adanya inflasi yang hampir abadi. Hingga terjadi penurunan tabungan, berkurangnnya investasi karena mereka lebih memilih untuk melarikan modal mereka keluar negeri, hingga berakibat pada lambatnya pertumbuhan ekonomi.
            Tepat jam sepuluh, aku masuk ke perusahaan yang cukup besar. Tertera di gapura depan gedungnya, CV Muri Finance. Itulah nama dari perusaahan yang aku masuki. Aku telah siap membantu mengawasi para kawanku memasarkan produk-produk yang menjadi fasilitas khusus dalam bank kami. ternyata, kurang dari 15 menit, aksiku bersama kawanku harus terhenti. Karena terjadi keributan diluar. Setelah mendapat informasi, ternyata penyebabnya adalah aksi mogok kerja dari para karyawan. Dengan dua alasan gajih yang sangat minim dan akan tergusurnya mushola sebagai tempat beribadah mereka selama bekerja di perusahaan ini.
            Bu Yuni, yang menjabat sebagai manager di perusahaan ini, terlihat masih diam, malah menyuruhku untuk kembali melanjutkan pemasaran yang kami lakukan dan sempat tertunda. Namun, kami tak kuasa untuk melanjutkan, masa semakin heboh. Kami keluar bersama Bu Yuni yang akan mencoba menenangkan masa di bantu dengan staf lainnya.
            “Semua ini gara-gara Ayudiana. Dasar pahlawan kesiangan yang sok ingin membela rakyat kecil” ucap Bu Yuni pada managernya. Aku masih berdiri dibelakangnya, dan memncoba sedikit demi sedikit memahami duduk perkara yang kini ada dihadapanku.
“Iyah Bu, memang Ayudiyana menjadi dalang di balik ini semua. Ia yang bermain menjadi profokator licik. Ia sengaja mengompori karyawan untuk mogok kerja. Dengan alasan gajih yang mereka terima tidaklah layak jika dibandingkan dengan kerja dan waktu yang mereka sumbangkan pada perusahaan kita. Terlebih ia juga telah menghasut para karyawan untuk menolak pemindahan mushola dengan alasan mushola yang baru kurang resprentatif karena letaknya di basement dan dekat ruang produksi” ucap manager Bu Yuni.
“Mana si Ayudiyana itu, mengapa ia sama sekali tak menampakan hidungnnya” umpat bu Yuni kesal. Tiba-tiba aku mendengar suara lantang dan tegas dengan nada pasti dan sang pemilik suara berjalan dengan langkah yang tegak menunjukan sang empunya adalah orang yang tegas. Yah saat ku mendengar suarannya, serasa jantungku berdenyut lebih keras, mataku seakan ingin melompat dari tempatnnya. Aku begitu kaget melihat sosoknya yang kini berada di depan masa yang sedang berdemo.
“Bunga” ucapku. Tanpa kusadari ternyata Bu Yuni direktur perusahaan ini, yang selama ini menjadi nasabah tetap kami. mendengar ucapanku. Lalu, ia berbalik lalu menatap mataku.
“kamu kenal dia? Yah, ia adalah Ayudiana yang kami sebut-sebut tadi” ucapnya. Aku samar-samar mendengar pertannyaan bu Yuni. Fikiranku melayang, mataku semakin nanar menatapnya. Oh, Tuhan, drama apalagikah yang tengah kau pentaskan kali ini? Hingga Engkau pertemukan kembali aku dengannya. Setelah bertahun-tahun aku menguburnya. Hatiku miris.
Terjawab sudah semua kegundahanku selama ini. Bahwa hatiku riuh renta karena aku memang merasakan kehampaan tanpa cinta seorang bidadari yang akan setia mengisi hari-hariku.  Lalu, aku pamit pada Bu Yuni. Aku biarkan mereka menyelesaikan urusan intern mereka. Walau sebagai relasi, aku tetap tak boleh ikut campur terhadap urusan yang bukan dalam ranahku. Lalu, aku berjalan meninggalkan perusahaan yang menurutku seperti area pertemuan dalam duniaku yang kedua dengannya. Aku melenggang melewati masa yang masih berkobar dengan keinginannya. Kulihat wajah Bunga yang memerah ketika melihatku. Lalu, aku mendekatinnya dan aku menyapannya dengan senyum simpul.
Lalu, ia sedikit bercerita padaku mengapa ia berada ditengah kerumunan orang-orang yang tengah panas.
“Daun, aku hanya ingin membela rakyat kecil  seperti mereka. Aku hanya ingin membantu mereka menyalurkan aspirasinnya yang selama ini terpendam. Semenjak satu tahun lalu aku bekerja di sini, aku begitu banyak menemukan ganjalan. Mereka tidak pernah memperlakukan karyawan mereka dengan seharusnya. Uang makan, gajih yang mereka berikan terkadang tidak tepat pada waktunnya. Bahkan gajih yang mereka berikan tak sepadan dengan keringat yang mereka peras. Ditambah lagi dengan kasus yang membuatku tak bisa hanya tinggal diam. Mushola yang biasannya kami gunakan untuk beribadah akan mereka gusur. Karena mereka kekurangan ruang produksi. Benar-benar diskriminasi” ucapnnya. Bunga memang masih seperti dulu. Sikap solidaritas yang begitu ia junjung tinggi dan kekukuhannya terhadap agama membuatnya menjadi wanita paling istimewa. Oh, ia benar-benar seperti bidadari yang tak bersayap yang dikirimkan Tuhan di bumi katulistiwa ini.
“Bunga, lakukanlah yang menurutmu benar. Aku yakin, kamu berdiri tegap di sini karena kamu ingin membela kebenaran” ucapku.
 lalu aku  berlalu meninggalkannya. Senyum manisnya yang mengiringi langkahku, hingga aku tutup kaca pintu mobilku. Oh sungguh indah  hari ini. Aku mengerti, hidup bergelimang harta sebanyak apapun takan pernah merasa bahagia jika tanpa cinta. Hidup merasa berkecukupan seperti apapun takkan pernah tentram tanpa kehadiran bidadari pembawa cinta yang akan menghiasai rumah kita dengan setiap ungkapan cintannya disetiap pagi.
***


















24
Daun Sore dalam Puisimu

            Hari minggu adalah hari yang begitu menyenangkan bagiku. Sealain libur kerja, aku bisa memanjakan badanku dalam kolam renang yang akan menarik otot-otot penatku yang selama satu minggu telah lelah aku ajak bekerja.
            Minggu ini, sekitar pukul sepuluh siang. Ketika aku lebih dari empat puluh lima menit meregangkan ototku di kolam renag serta memberi makan kulitku dengan mandi air yang bersih dan membelainnyadengan sabun kesehatan, lalu mematut tubhku dengan pakaian kaos oblong dan celana jens panjang. Aku siap melenggangkan kakiku menuju toko buku. Sesuai rencanaku tiga hari yang lalu, minggu ini akan aku puastakan dengan membaca majalah otomotif terutama yang menyajikan rubrik-rubrik tentang motor.
            Ketika aku sedang asik-asiknnya mencari majalah-majalah otomotif, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah novel yang lumayan tebal. Enatah tertarik magnet apa, tiba-tiba aku mendekati novel itu. Dan kulihat ternyata novel itu berjudul “Namaku, Daun Sore” sebuah judul yang unik. Batinku. Lalu, aku membaliknnya dan membaca bait-bait yang tertera di sampul belakang. Aku terperanjat ketika membaca puisi yang tersusun rapi menjadin penghias sekaligus pengantar di cover belakang novel Itu.
            “Inikan puisi yang pernah Bunga berikan padaku ketika kami akan berpisah dulu” ucapku sambil membalik-balik novel itu. Puisi berjudul Daun Sore. puisi yang mengisyaratkan tentang sepasang kekasih yang harus kandas ditengah jalan dan akhirnya Tuhan mempertemukan mereka kembali, namun rasa dihati mereka telah kering walau sedikit tumbuh tersiram dengan keakraban dan kedekatan persahabatan mereka. Namun, mereka takan pernah bersatu, karena diantara mereka telah ada yang memiliki. Lalu, aku mebaca ulang puisi itu, tersaa aku seperti terbang kembali pada masa laluku bersamannya.
            Daun Sore
            Di Sore itu,
Tujuh belas Daun gugur seperti bintang yang tidak mau terbit.
Kecuali di setiap ranting ada puisi-puisi
yang belum sempat genap kugubah karena kamu terburu mimpi.
Jadi kubiarkan kata-kata itu mengering di tahun-tahun yang tidak sepi. Bergerak tiap ranting,
bergesek tiap detak-detak di pucuk yang puisikan lagi namamu.

Kemarin, di sore yang berbeda, kamu seperti lagi dan terumbai.
Bermain dengan petang dan keabadian masa silam
Sentuhlah dua mimpi yang berpasrah dan mengerjap-ngerjap
Maka akan kudatangi kamu lagi dengan setiap helai rupa cuaca yang ada

Sudah lama kita tidak berangkul rindu.
Sore ini, mari bercerita tentang hidupmu
dan malaikat-malaikat yang sempat menghukummu
dengan cambuk kenyataan,
serta aku dengan setiap mata yang kamu anggap sebagai cahaya,
Daun sore, atau lantunan sajak yang tak jadi-jadi.
Walaupun sudah bosan aku menghitung awan,
tapi biar saja tetap kulakukan demi beberapa lembar Daun
yang sekering senja.

Kemudian semua bergetar ketika pohon cinta mulai berbuah lagi,
setelah rIbuan surga menolaknya
untuk menjadi perhiasan sementara.
Dari itu, aku menDaunkan setiap sajak lagi.
Tapi lagi-lagi ada aksara
yang enggan keluar untuk mengkailnya.
Mungkin kata-kata perihal bayangan, langkah,
pusara atau tanah yang kamu dan aku pijak dengan sia-sia.

Jadi sementara,
kuserahkan selembar Daun
kepada petuah malaikat di atap langit rindu.
Semoga dia bisa membasahi kota-kota itu dengan namamu,
tapi dia sembunyikan diantara pohon-pohon yang lebih kokoh
namun tidak lebih bercerita dari diammu.
Tidak perlu sungkan,
aku tetap mengenangmu di ukiran nisan ceritaku.
Jadi saat kamu datang,
masih ada beberapa Daun yang tersedia buatmu.
Sedikit kering, hujan dan mendanau hijau.
Sepertinya aku harus menjaga lagi hijau-hijau itu.
Agar tidak ada kubangan nyawa, atau Daun-Daun yang terlalu sore.
Dan maaf untuk beberapa pinta,

Aku sudah ada yang punya.

Bunga Asterina Ayudiyana. Nama itulah yang tertera di sampul depan. Sebagai nama pengarang novel yang kini ada di tanganku. Bunga, kamu memang hebat. Kamu berbeda dengan gadis lain. Alasan itulah yang dulu membuatku mencintaimu. Kamu seorang wanita yang selalu berusaha membuktikan setiap omonganmu. Namun, aku menyadari aku memang bukan seorang malaikat yang patut bersanding dengan seorang biadadri sepertimu.
“Daun, apa yang sedang kamu lakukan di sini?”  sebuah suara yang membuyarkan lamunanku. Dan lebih mengagetkanku dua kalilipat dari pada bom molotof yang meledak berjarak  sepuluh senti dari telingaku.
“Bunga,” ucapku. Aku masih tak berkedip melihatnnya. Aku kembali menyaksikan matanya yang indah dan wajahnya yang cantik dengan balutan jilbab berwarna violet.
“Bunga, selamat yah, akhirnya cita-citamu terwujud. Kamu telah menjadi penulis dan karyamu kini tengah dinikmati banyak orang” ucapku memberinya selamat. Kulihat wajahnnya yang memerah. Kebiasannya belum hilang dari dulu. Nervous jika mendapat pujian. Namun, ia pura-pura tenang dan berusaha untuk tenang.
“Terimakasih Daun. kamu terlalu berlebihan. Itu hanyalah naskah sampah yang sebenarmya tak pantas berada di s ni” ucapnnya merendah. Begitulah ia, selalu merendah dengan segala kemampuan yang ia miliki. Benar-benar manusia pilihan yang diutus Tuhan menjadi peri bagi insan yang berhak mendapatkannya nanti.
Aku teringat ketika aku masih belum menjadi kekasihnya dulu. Begitu banyak laki-laki yang berusaha mendekatinnya. Bahkan tak sungkan-sungkan mereka memberinnya puisi yang menurutku norak. Pernah sekali Bunga membacakan puisi yang diterimannya dari seorang pemuda bernama andi. Mahasiswa jurusan matematika  yang berasal dari brebes.

Bunga,
 Namamu telah melumut,
Tertoreh di tangan-tangan hingga menjalar di hati
Lihatlah garisnya tak mampu di ubah walau oleh kenangan
Wajahmu telah membeku
Menjelma bagai patung pualam
Lihatlah tegaknya
Tak mampu mencair hingga memutih
Karena terbingkai kulit ari
Dan telah kusulam dengan darah yang semakin menua
Bunga,
Wajahmu telah benar-benar terpatri dalam sanubariku
Hingga hatiku tak ingin lepas darimu
Izinkanlah rasaku ini membingkai hatimu dengan cinta yang suci ini

            “Daun. aku juga ingin mengucapkan selamat padamu. Akhirnnya kamu mampu menebus masa lalumu yang pahit dengan kesuksesanmu yang besar sseperti sekarang” ucap Bunga.
            “Terimakasih Bunga. Semua ini juga karenamu yang menunjukan jalan buatku. Dan membuatku mengerti bagaimana makna cinta dan bagaiman cara mencintai Tuhan” jawabku. Lalu, kami saling bercerita tentang hidup kita yang sempat tak bersama beberapa tahun lalu.
            “Daun, sebenarnnya, aku ingin sekali melanjutkan kuliah S2, namun itu masih hanya sebatas angan. Hingga aku harus mengisi waktuku selama satu tahun ini dengan bekerja di CV  Puri Indah, dan akhirnya aku bertemu denganmu”
            “Mungkin Tuhan mempunyai cerita lain” jawabku menanggapi cerita Bunga. “Lalu,” aku melanjutkan tanggapanku terhadapnnya. Karena aku sebenarnnya ingin mengetahui lebih banyak cerita hidupnnya selama lebih dari empat tahun ini tidak berjumpa dengannya.
            “Lalu, apa yang akan kamu lakukan  setelah kamu berhenti dari tempat kerjamu di CV?” setelah kejadian tempo lalu, ia memang memilih untuk berhenti dari tempat kerjannya, ia merasa ia tak butuh waktu lama-lama untuk bekerja disana. Yang terpenting ia telah meninggalkan banyak cerita tentang kebenaran yang harus dilakukan bersama teman-temannya.
            “Sesuai rencanaku tadi, aku akan melanjutkan S2 di Jogjakarta dan aku akan menyelesaikan novelku yang kedua” jawabnnya. Ia benar-benar wanita yang menyalakan gairah semangat dalam menapaki hari-hari. Tak pernah ia melewatkan tiap detiknnya dari mimpi-mimpi yang agung.
            “Mimpi itu ibarat tongkat yang akan menuntun kita mencari masa depan. Hidup tanpa mimpi sama saja hidup dalam bayangan kematian. maka dari itu, rengkuhlah setiap mimpimu, dan kejarlah walau badai nestapa selalu menghantammu. Tuhan tidak pernah tidur” aku teringat ucapannya ketika dulu ia begitu ingin menjadi penulis. Ia akan belajar dengan sekuat matannya. Selama nafas masih melewati rongga dadannya, menapaki tenggorokannya dan melayang lewat hidungnya. Ia akan tetap mengejarnnya. Benar-benar wanita yang penuh semangat.
            “Bunga, mengapa kamu begitu indah di ciptakan oleh Tuhan?” aku langsung menutup mulutku. Entah mengapa tiba-tiba lidahku mengucapkan itu. ada sedikit rasa menyesal dan tidak enak. Kulihat wajah Bunga yang memerah. Mungkin ia merasakan hawa yang tidak enak. Atas omonganku tadi. Aku langsung berusaha mencairkan suasana. Karena aku dulu sudah berjanji untuk memenuhi keinginannya. Memendam jauh-jauh rasa itu. walau sebenarnya masih menghiasi langit-langit hatiku.
            Lagu Aisiteru milik Zivilia bersatu bersama ritme yang menggetarkan hp milik Bunga dan harus memisahkan kita. Karena dari perbincangan antara ia dengan orang yang menelfonnya terlihat penting, membuat Bunga harus buru-buru pergi.
            “Maaf Daun, aku ada sedikit urusan. Terimakasih telah menemaniku ngobrol” ucapnnya lalu berlalu meninggalkanku.
            Langkah anggunnya masih seperti dulu. Ketika empat tahun lalu ia meninggalkanku. Tiba-tiba darahku berdesir terasa lemas tubuhku ketika aku mengingat bahwa ia bukan lagi miliku.
            Dua minggu telah berlalu. Kulihat jarum jam tengah menempati posisi antara angka empat dan lima. Ternyata brau jam 4.30. kudengar samar-samar suara adzan dari menara masjid yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari apartemenku. Saat sedang malas-malasnya untuk melepas selimut yang membalut tubuhku, aku dikagetkan oleh lagu Mely Guslaw “Jika” yang begitu aku suka, hingga aku menjadikannya nada dering sms. Lalu, aku membukannya. Tertera nama pengirimnnya, “Bunga aster” mataku seakan tak mampu untuk terpejam lagi.
            Selamat pagi Mentari, segeralah terbit. Sinari seantero dunia. Aku ingin sinarmu kembali cerah secerah hatiku pagi ini. Ternyata Tuhan benar-benar memeluk mimpiku. Esok hari aku akan terbang ke Jogjakarta. Aku akan menikahi mimpi-mimpiku di sana. Berkat doa dan semangat yang selalu kau terbarkan lewat hangatnya sinarmu, akhirnya, aku menemukan jalan untuk melanjutkan S2. Tulisan yang kurangkai bersama malam ternyata memberiku sayap dan keberanian untuk melangkah bersama harapan. Kini, beasiswa telah berpihak padaku. Doakan aku kawan. Agar aku mampu mengarungi nestapa disana. Dan akupun selalu mendoakanmu agar kelak kamu menemukan wanita yang mampu membawamu terbang menuju kastil di atas bulan sana agar engkau semakin dekat dengan Surga. Semoga kamu akan segera menemukan kupu-kupu yang bersayap indah itu. Berwarnakan cinta dan beraromakan melati kebahagiaan. Terimakasih untuk segala inspirasi dari mata indahmu. Aku tak ingin mengabadikanmu dalam hatiku tapi aku selalu berusaha mengabadikanmu dalam puisiku. Peluklah lembar-lembar itu. disana ada cintaku bersama masa lalu. yang akan membawaku terbang kemasa depan.” “Bunga aster”
            Hatiku beregetar membaca SMs dari Bunga. Tanganku terasa menggigil. Seakan ada angin puting beliung yang memporak-porandakanku dan seluruh isi rumahku. Terasa jungkir balik perasaanku. Aku merasa ia semakin jauh dariku. Tuhan benar-benar tak mengizinkan kami bersama. Tapi, aku sedikit berfikir bahwa semua itu telah menjadi kehendaknya. Jodoan. rizki dan mati adalah taqdir yang tak mampu dilawan dengan teori apapun. Namun, walau ia tak menjadi bidadari abadiku, aku tetap akan mengenangnya. Seperti ia yang selalu akan mengenangku dalam ukiran nisan ceritannya. Untuk menjadi sahabat. Indah terasa walau pernah punya cinta dan berakhir, namun kita masih diikat dalam satu kata, persahabatan.

\\



25
Titik Akhir,
Bersama Kupu-Kupu yang Indah


            Waktu telah berlari meninggalkanku, kalender dikamarku pun harus bergeser bergantikan dengan yang baru. Waktu telah berputar selama setahun benar-benar  tak terasa. Namun,  Rasa kehilangan masih menggelayut dalam hatiku. Tapi , aku bertekad tidak akan pernah mengulang sejarah kebodohanku. Tenggelam dalam pekat cinta yang membuatku hampa. Membuat hari-hariku terasa di neraka dan membuat tiap detik waktuku seperti jarum yang menusuk kulitku. Aku mencoba menanggapi semua itu dengan positif thingking. Bahwa kehadirannya adalah penutup masa laluku dan kepergiannya adalah kunci pembuka kebahagiaanku. Hanya dengan itu aku mampu menguatkan hatiku. Hingga aku benar-benar mampu untuk menggantinya dengan Bunga yang lain.
            Seiring detik yang terus berlari meninggalkanku dan matahari terus berjalan hingga aku kembali bertemu dengan sinar rembulan. Akhirnya, aku mampu menutup halaman kenanganku dengannnya. Bukan berarti semua kata cintaku padanya hanyalah sebatas sulaman di atas kain kasar yang mudah lepas dan rusak. Bukan berarati ungkapan sayangku padanya seperti lukisanku di atas pasir yang hilang jika diterpa ombak. Namun, setiap bait ungkapan cinta dan sayangku padanya seperti sandi yang terpahat dalam patung yang tak pernah hilang walau bertahun-tahun. Hingga aku tak mampu menghapusnnya dan hanya bisa memolesnya dengan sedikit warna, tulisan yang indah dan hiasan di sekelilingnya.
            Itulah yang aku lakukan ketika aku tak mampu memiliki apa yang aku cintai, namun aku sedikit merubahnnya. Menjadi lebih indah dan akan kugariskan pada perjalananku yang lain.
            Seperti hari ini, ketika aku mulai yakin, bahwa ia mampu menjadi penerangku ketika matahari hidupku mulai tenggelam. Ia mampu menyalakan lentera ketika semangat dalam hatiku redup. Lalu tenggelam kedasar kegagalan.
            Aina, nama itulah yang sempat menggantung di langit-langit hatiku. Semenjak pertemuanku di Telaga Indah di atas Cipendok, hatiku mulai merasa tersinari kembali. Tersinari oleh kelembutnnya dan kecantikan wajahnya. Ia benar-benar seperti kupu-kupu yang hinggap di antara tangkai kehidupanku. Menebarkan aroma surga dan menawarkan segala kenikmatannya.
            Awalnya, aku begitu sulit meyakinkan hatinnya, bahwa aku menginginkannya sebagai pendamping hidupku. Mejadi permaisuri dalam kastil yang kubangun dengan penuh cinta.
            “Daun, semua itu tidak mungkin. Dulu, kamu adalah kekasih sahabatku. Bunga. Aku tidak ingin menjadi seperti kupu-kupu yang bersandar dalam satu tangkai kehidupan”  jawabnya. Ketika aku memintannya menemaniku dalam meniti hari-hari kedepan.
            “Bunga adalah wanita terindah yang pernah hadir dalam perjalananku. Namun, ia telah memilih jalannya sendiri. Mekar dengan indah perjalanan yang akan menjadi saksi mewanginnya di suatu hari nanti. Aku adalah Daun yang membutuhkan putikmu. Untuk mengindahkan seluruh tangkai kehidupanku. Bukannya aku ingin menghianati masa laluku, namun masa lalu akan aku jadikan langkah meniti masa depan yang indah dan aku menjadikannya cermin agar aku tak buram lagi seperti dahulu” ucapku mencoba meyakinkannya.
            Dia memintaku memberinya waktu untuk berfikir dan mendinginkan hati. Agar ia bisa berfikir dengan obyektif. Begitu ucapnya saat pamit akan pulang. Begitulah cinta dan perasaan. Tak hanya asal menerima dan memebrikan jawaban . Namun, harus berfikir.
            Selang dua bulan, ia memintaku menemuinnya. Taman Mini, itulah tempat yang ia minta. Saat aku sampai ditempat yang kita janjikan, aku ragu untuk melangkah. Karena wanita yang mengenakan baju biru bermotif bunga cemara bukanlah Aina. Namun, ia adalah wanita yang sangat kukenal. Wanita yang berparas seperti bidadari. Wanita yang berperangai seperti  putri Cinderlela. Yah tak salah lagi, ia adalah Bunga Aster. Bunga yang pernah tumbuh dalam taman hatiku. Langkahku kaku untuk menemuinnya. Oh, Tuhan, cerita apalagi ini. Duka apalagi yang akan kau suapkan untuku. Aku sedikit berprasangka pada Tuhan.
            “Daun, bagaimana kabarmu?” tannyannya. Saat aku sudah berada di hadapannya. Aku menjadi semakin limbung dengan keadaan ini. Aku benar-benar tidak tahu mengapa justru aku bertemu dengannya.
            “Daun, aku sengaja mengajak Bunga kesini” ucap Aina, yang tiba-tiba muncul dibelakangku.
            “Aku tidak mengerti dengan semua ini” aku kebingungan.
            “Aku datang hanya ingin menyaksikan kalian bersatu. Aku benar-benar bahagia ketika mendengar kamu ingin bersama Aina. Sahabatku” ucap Bunga. Aku semakin pusing. Keringat di keningku semakin banyak.
            “Daun, Aina, Aku benar-benar ingin kalian bersatu merangkai istana bersama. Menata hari mencapai kasih pemberi cinta. Jangan pernah ragu untuk melangkah hanya karena masa lalu. Masa lalu yang pernah kamu rangkai bersama denganku. Aku begitu menyadari lewat kisah kitalah Tuhan menunjukan permata yang indah” ucapnya. Aku baru mengerti. Ternyata Bunga mencoba meyakinkan Aina. Sungguh mulia hatinya. Memandang masa lalu dengan indah. Dan menjadikannya pijakan untuk masa depan.
            “Bunga, terimakasih untuk segala kebaikanmu” ucapku.
            “Sama-sama Daun soreku” jawabnya membuatku tertawa. Nama yang indah untuk seorang mantan kekasih. Daun sore. Daun yang sudah hampir kering tak segar karena tertiup angin dan seharian menahan terikannya matahari. Lalu, ia berpamitan meninggalkan kami berdua. Karena ia harus pergi ke kota pelajar. Liburannya telah usai. Waktu dua minggu telah cukup buatnya melepas penat yang membuatnya harus berfikir. Jakarta menjadi tempat yang baik untuknya.
            Kami menyaksikan langkah Bunga yang penuh mimpi dan keyakinan menjalani kehidupan.  Ia akan tetap menjadi Bunga dalam hidupku. Bunga yang akan membuatku menambah kecintaanku pada wanita yang kini ada dihadapanku. Terimakasih Bunga untuk setiap tatapanmu yang mebuatku mampu melayari langit kehidupan dan menemukan cinta kembali. Terimakasih telah hadir dalam hidupku. Semoga engkau mampu mensejajarkan cita-cita dan cintamu. Yang akan membawamu menuju surga yang akan menyemaikan Bunga Astermu dalam keabadian tamannya.
            Lalu, aku berjalan bersama Aina menuju mobilku. Aku kan membawannya hari ini menuju kota bercahaya untuk menemui Ayah dan Ibuku. Agar aku benar-benar mampu mebuktikan cintaku padannya dan segera menyempurnakan separuh agamaku. Dalam bingkai pernikahan yang berbalut cermin keridloan_Nya.
            Sinar mentari mengiringi perjalanan kami. sungguh indah terasa hari ini. Hari yang menurutku penuh cinta. Aku kini benar-benar kembali membuktikan bahwa Tuhan memang menyayangiku. Dan mengganti dengan Bunga yang tak kalah indahnnya. Serta dalam balutan jilbab yang memancarkan Sholihahnya. Terimakasih Tuhan untuk segala Cintamu.

            Wahai Bunga, aku takan pernah mampu menghapus
halaman kenangan kita.
Namun, kini kau telah membantuku menghias halaman setaman
yang dulu pernah menjadi pijakan untuk kita
lewat tatapan indah bola matamu kamu telah mengarahkanku
mencari cinta sejati. Seperti hari ini,
aku benar-benar berharap Tuhan memberiku cinta
yang akan mengantarkanku menemukan cintannya.
Terimakasih. Engkau sungguh indah,
Semoga kamu menemukan permata yang kamu cari.
Terimakasih sahabat yang dulu pernah kucinta
Namun, kini engkau telah mengajariku
bagaimana mengikat persaudaraan
semoga aku akna selalu menjadi saudaramu.
Message send, menjadi tanda smsku telah terkirim. Bebarpa menit kemudian ia membalasnya.
Bahagiakan Aina, dan berikan cinta yang lebih besar agar kamu tahu bagaiman cara mencintai Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang memang pantas disebut Tuhan, Tuhan yang mempunyai seluruh sifat kesempuranaan. Aku akan selalu mendoakan kalian, semoga kita tetap dalam naungan cinta Tuhan.” aku bejanji dalam hati untuk selalu mencintai ciptaanya. Karena aku hanya ingin mennggapai ridlho_Nya. Terimakasih kawan. Terimakasih cinta, terima kasih Bunga dan terimakasih yang teragung hanya pada_Mu Tuhanku yang Tunggal.

***










 Epilog
     
Aku masih terpekur dalam sujudku. Disampingku, Aina tampak tertidur pulas. Aku lama memandang wajah suci itu. bidadari yang kini menghiasi kastil yang kami bangun bersama dalam ikatan cinta di atas altar suci. Setelah perjalanan panjang dalam hidupku, ternyata inilah kebahagiaan dan ketenangan yang sejati. Aina dan calon putraku yang kini masih dalam kandungannya adalah hadiah terindah dari_Mu. Aku berjanji Tuhan akan selalu bersamanya lewat raga maupun jiwa. Takan pernah lagi kusia-siakan lagi hari-hariku tanpa kata cinta yang akan berujung menuju pada_Mu. Tuhan, hanya satu pintaku, ampunilah hari-hariku dulu, dan lindungilah aku serta istriku dan calon anaku, tetapkanlah aku dalam jalan_Mu yang indah.
            Aku beranjak sholat, dua rakaat ditengah malam. Bertemu malaikat di tengah kesunyian. Lalu, kutengadahkan kedua tanganku bersama cintaku dan ucap syukurku. Seusai sholat, aku mendekati jasad yang begitu indah, lengkap dengan ruh yang begitu sempurna.
            “Selamat ulang tahun sayang” ucapku sambil mencium lembut keningnya. Dan ia terbangun dari tidurnya,
            “Terimakasih sayang, wajahmu bercahaya sekali, sudahkah engkau bertemu malaikat yang akan menyampaikan rasa syukur kita pada Tuhan?” ucapnya dengan manja. Aku hanya mengangguk, lalu aku memeluknya. Betapa bahagia aku mempunyai seorang istri yang sholihah sepertinya. Lalu, aku mematikan lampu dan kuteruskan memeluk malam bersamannya. Membingkai cinta lewat ranjang persaksian.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar