SEKOLAH
LIAR DILEMATIS:
PERETAS
PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN
Oleh: Siti Nur Azizah
Motto :
Menggugah Nurani, Menebar Peduli, Membangun
Kebersamaan yang
Berbasis
Keadilan dan Kepercayaan untuk Memupuk Modal Sosial
yang Kaya Nilai Etika
dan Moral sebagai Bekal Pengabdian kepada Bangsa dan
Negara.
Mawas Diri:
Dalam kondisi
keterpurukan bangsa dan negara, pendidikan diharapkan menjadi andalan untuk
bangkit melalui perubahan mindset
penyelesaian masalahnya. Sayangnya lembaga pendidikan masih menjadi bagian dari
masalah nasional, meskipun menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dengan derajat tinggi, namun kebanyakan dari
mereka hidup dan berpikir di dunia lain.
Jatidiri sebagai bangsa
maritim-niaga telah luntur, sejarah masa lalunya dilupakan dan berkiblat pada
tata kehidupan kontinental. Kepercayaan dirinya tererosi dan mengalami evolusi
ke arah hilangnya nilai kemanusiaannya, sehingga kurang peduli pada masa depan
generasi penerusnya. “Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif” telah menjadi bagian
dari masalah nasional, dengan biangnya dari sistem “Edukatif” yang salah arah,
sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang mengingkari kodrat fisik dan
jatidiri bangsanya.
Sistem pendidikan yang
berorientasi pada hafalan dan bukan amalan telah mengurung bangsa ini di dalam
kehidupan konsumtif dengan menempatkan
simbol kehidupan maya sebagai ukuran prestasi dan juga sumber kebenaran didalam
tata kehidupannya.
STOP DERITA MURID
Pendidikan
nasional kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan birokrasi pendidikan dan tidak
mau peduli pada pendidikan dan gagasan orang swasta. Persis seperti sikap dan
tindakan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935,
mengeluarkan ordonansi sekolah liar (Wilde Shoollen Ordonantie). Bahwa
swasta harus meminta izan pemerintah untuk membuka sekolah, subsidi diberkan
pada sekolah yang menyerupai sekolah negeri. Kurikulum sekolah swasta harus
sama dengan kurikulum nasional. Birokrat Dep. O & E mengawas
penyelenggaraan pendidikan. Tujuan pendidikan kolonial Belanda adalah menyediakan
tenaga terdidik untuk kepentingan pelayanan pemerintah dan tenaga terampil
untuk kaum modal Belanda.
Tuntutan
semacam ini selalu kita dengar dalam menilai hasil pendidikan yang tidak
memperoleh kesempatan kerja. Mereka didakwa tidak memiliki ketrampilan. Jika pada saat ini
kita menyaksikan gerak perubahan yang sangat luas cakupannya, meliputi
komunikasi, informasi, ilmu dan teknologi, dan lain-lain. Sangat tinggi kecepatannya sehingga manusia penciptanya terkadang tidak bisa
mengendalikan. Sangat dalam penetrasinya menyentuh kesadaran terdalam dari
orang-orang yang sadar.
Telah
berlalu masa dimana kekayaan alam kita tidak diberikan kemakmuran, malah
mengirim banjir dan asap kebakaran. Berlimpahnya penduduk tidak menjadi
kekuatan yang mengubah, malah menciptakan pengangguran dan masalah TKI. Bahkan
keagamaan kita tidak membuat kearifan berbudi, malah dimana-mana, dilanda
konflik dan kerusakan.
Telah
beratus tahun kita memperoleh pendidikan, telah 64 tahun kita merdeka dalam
mendidik untuk mencerdaskan bangsa. Tetapi hasilnya adalah 80% tenaga kerja
adalah pekerja (petani) tangan dengan peralatan sederhana, 15 % pekerja di
sektor industri, perdagangan dan administrasi, hanya 5 % pekerja profesional[1].
Di dunia pun keadaan tidak terpaut banyak bahwa pendidikan tidak berhasil
melahirkan manusia-manusia yang produktif dengan inspirasi, inovasi dan kreasi.
Pendidikan
kita selama ini nampak hanya upaya untuk memaksakan keyakinan-keyakinan orang
tua, telah membunuh daya pikir dan kreativitas. Pendidikan memisah-misahkan
daya pikir dan anggota badan, memisahkan emosi dan pengetahuan. Pendidikan telah
menjadi upaya industri seperti mesin, dengan memperlakukan anak-anak, sebagai
bahan baku yang dicetak menjadi SDM yang
siap kerja di pabrik. Pendidikan telah dibatasi untuk menghafal buku cetakan
dan melupakan kenyataan yang terbilang di alam luas. Bahkan pendidikan modern
mendorong manusia menjadi individualis, melupakan kenyataan sebagai makhluk
sosial, dilatih untuk mengalahkan dan menyisihkan yang lain. Dan tes serta
ujian membagi murid menjadi si pintar dan si bodoh. Penulis
menyimpulkannya bahwa pendidikan atau sekolah adalah tempat guru membunuh dan
menindas potensi kemanusiaan.
PENDIDIKAN ALTERNATIF: SEKOLAH LIAR DILEMATIS
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik
yang meliputi sejumlah besar program atau cara pemberdayaan peserta didik yang
dilakukan berbeda dengan cara
tradisional. Secara umum berbagai bentuk pendidikan alternatif itu mempunyai
tiga kesamaan yaitu :pendekatannya yang
lebih bersifat individual, memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik, orangtua/keluarga, dan pendidik, serta yang mb;ldikembangkan berdasarkan minat dan
pengalaman. Menurut Jerry Mintz berbagai ragam pendidikan alternatif itu
dapat dikategorisasikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu : 1) sekolah
publik pilihan (public choice); 2)
sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (students at risks); 3) sekolah/lembaga pendidikan swasta atau
independen; dan 4) pendidikan di rumah (home-based schooling).
SEKOLAH YANG MENYENANGKAN DAN MEMBEBASKAN
Melalui
200-an tahun sekolah negeri di negara maju dan 100-an tahun sekolah negeri di
Indonesia, pendidikan sekedar membentuk manusia menjadi pekerja dan warganegara[2].
Itu pun pekerja kelas rendah. Itulah
sebabnya para pendiri pendidikan progresif seperti John Dewey, Maria Montessari
dan Rendolf Stener menyatakan dengan keras bahwa pendidikan harus dipahami,
sebagai seni menanamkan dimensi-dimensi moral, emosional, fisikal, psikologikal
dan spiritual[3]
untuk mengembangkan anak dan mengembangkan peradaban manusia[4].
Selama
tahun 1970-an bermunculan literatur dalam sains, filsafat dan sejarah
kebudayaan yang memberikan konsep untuk menggambarkan cara pemahaman terhadap
pendidikan atau sekolah.[5]
Yaitu, cara berfikir holistik, mencakup dan mengintegrasikan berbagai makna dan
pengalaman ketimbang mengajarkanpengetahuan dan ketrampilan. Setiap anak tidak
diperlakukan sekedar tenaga kerja di masa depan, dan tidak diukur dengan tes
dan ujian nasional; tetapi berlandaskan pada pandangan dasar bahwa perkembangan
setiap pribadi menuju kedewasaan, menemukan atau mengenal identitas dirinya,
makna dan tujuan hidup. Ia mampu mempergunakan pikiran sendiri dan pikiran
orang lain, sebagai argumen untuk membuat keputusan. Keputusan untuk memilih
dan mengambil yang sejati dan meninggalkan yang palsu. Orang dewasa adalah
pribadi yang memilih kebebasan nurani, untuk tanpa tekanan dan pengaruh orang
lain, menentukan pikiran, termasuk keyakinan yang paling mendasar.
Pendidikan
yang benar adalah pendidikan yang mendewasakan dan membebaskan. Karena manusia
bukan makhluk yang statis, tetapi makluk dinamis yang berproses menjadi (to
be). Untuk menjadi manusia memerlukan kebebasan.
Manusia
adalah makluk yang memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut tidak dapat
tumbuh berkembang dengan sendirinya, tetapi memerlukan rangsangan dan dorongan
disertai kemauan dari dalam dirinya sendiri.
Makhluk
yang tidakpunya kemauan, yang menurut pada ke hendak luar saja adalah makhluk
yang terpasung. Makhluk yang punya kemauan adalah makhluk bebas. Hanya makhluk bebas yang dapat mengembangkan
potensi yang dimilikinya. Berkembang menjadi dewasa.
BELAJAR SEJATI, SEPANJANG HAYAT
Pada saat ini sudah berkembang
pikiran bahwa prinsip cara pembelajaran adalah: belajar bagaimana belajar,
belajar bagaimana tumbuh berkembang, belajar bagaimana belajar berbuat dan
belajar mencintai kehidpan. Maka tujuan belajar adalah membangkitkan pada
orang-orang muda suatu perasaan hasrat dari dalam terhadap kehidupan dan kecintaan
terhadap belajar. Sebab belajar bukan hanya di dalam kelas, tetapi belajar
dalam kehidupan nyata, belajar adalah melalui pengalaman langsung dengan
kehidupan dan lingkungan, belajar sejati adalah belajar sepanjang hayat.
Pendidikan
atau sekolah membantu anak muda memiliki dan memelihara rasa ingin tahu,
menolong siswa untuk merasa sebagai bagian dari keseluruhan semesta. Menolong
anak muda mempelajari kehendak alam yang memikat dan menarik.
Maka
beberapa prinsip cara belajar yang membebaskan adalah menciptakan suasana yang “menyenangkan”
agar anak-anak merasakan dan mendapatkan suasana bebas. Prinsip lain adalah
belajar dalam “kelompok” dengan perlakuan dan interaksi yang sederajat
atau persamaan, sehingga tumbuh rasa saling menghormati dan memahami. Prinsip
ketiga adalah menumbuhkan “komitmen” ke masa depan, bahwa pendidikan
sekarang bertujuan menciptakan masa depan yang lebih baik. Dan masa depan
merupakan acuan dan disiplin perilaku belajar. Semuanya ini akan tercipta dalam
proses pengalaman. Maka prinsip keempat adalah “belajar dari pengalaman
berstruktur”.
Belajar
adalah proses pengalaman melakukan, merenungkan, menganalisis dan menyimpulkan.
Semua proses tersebut akan menopang pertumbuhan menjadi manusia bebas yang
dewasa atau manusia dewasa yang bebas.
SEKOLAH DAN GURU
Kita semua tahu bahwa pendidikan
selalu diasosiasikan dengan sekolah. Kelas dan sekolah adalah ruangan-ruangan
dimana tidak ada tv, tidak ada telpon, tidak ada komputer. Keadaan kelas di
Amerika pun tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Kelas adalah ruangan
primitif. Sedangkan rumah murid adalah ruang sesuai zaman. Paling tidak ruang
birokrat sekolah yang merumuskan tujuan pendidikan haruslah buat zaman.
Arsitek
sekolah adalah jajaran ruang 8 x7 m, yang seragam. Jadi sekolah menggambarkan
keadaan ketinggal zaman. Mudah dipahami bahwa proses belajar di sana, interaksi
antara guru dan murid adalah interaksi tanpa teknologi.
Apa yang
salah dengan sekolah? Yang salah ialah sekolah selalu ketinggalan zaman.
Sekolah bukan ruangan belajar yang sama dengan lingkungan hidup sekitar.
Sekolah adalah ruang dimana anak-anak diisolasi dari kehidupan nyata. Anak-anak
“dipenjarakan”, dan bergaul dengan guru yang memiliki otoritas mutlak. Bahkan
mungkin saja guru, telah berpengalaman lama dalam mengajar, tetapi tidak pernah
dilihat orang lain, tidak pernah dievaluasi oleh orang lain, dan tidak pernah
melihat orang lain mengajar. Apa yang dilakukan?.
Pantas
saja anak-anak merasa gembira ketika datang waktu istirahat, dan gemuruh
berlarian ketika datang akhir pelaksanaan. Seolah-olah mereka lepas
darihukuman.
Paradigma
baru dalam pendidikan[6],
yaitu perubahan Tujuan pendidikan dari sekedar menambah kekayaan kognitif yang
terkotak-kotak, dinilai dengan tes dan ujian, diubah menjadi pendidikan holistik,
yang mengantarkan anak didik menjadi dewasa, memiliki kebebasan rohani, dan
mempunyai kualitas moral, emosional, psikologikal, fisikal dan spiritual yang
berkembang secara optimal.
Sekolah
dan guru di Indonesia sekarang belum cocok memikul paradigma baru tersebut.
Oleh karena itu, yang paling strategis adalah membuah guru profesional dan
ruang kelas yang dilengkapi perangkat teknologi, menggambarkan lingkungan
sesuai zaman.
Guru
harus membaca dan menguasai cara mengajar seperti dianjurkan oleh revolusi cara
belajar dan accelerated learning, yang di dasarkan pada pertimbangan
ilmiah tentang dasar-dasar pendidikan.
Walaupun
tidak ada satu pun cara terbaik dalam proses pembelajaran, ada banyak jalan
belajar dan pendidikan holistik, yang menghargai warga belajar berkembang
secara alamiah menjadi dewasa.
Paling
tidak beberapa cara pilihan yang dirangkum dari berbagai sumber watak:
1. Metode Inquary, yaitu
mengembangkan praktek keingintahuan dengan melakukan pengamatan dan
mengerjakan.
2. Metode Proyek, yaitu menugaskan siswa untuk mempersiapkan
suatu pertunjukan dan menerangkannya. “Shw and talk”, unjuk dan ungkap.
3. Metode Pemecahan Masalah, yaitu
melibatkan anak didik untuk memecahkan masalah.
4. Metode Belajar dari Pengalaman
Berstuktur, yaitu melibatkan siswa untuk melakukan permainan, pekerjaan,
bersandiwara (rooll play), dsb. Kemudian merenungkan apa yang dilakukan,
mengutarakan secara rinci pengalamannya, menganalisa mengapaterjadi
begini-begitu, dan akhirnya menyimpulkan sebagai hasil belajar bersama dalam
kelompok.
5. Metode Dialogis, adalah metode
melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasikan penindas, pelaku kekerasan;
kemudian belajar melawan dengan berbagai cara yang mampu dilakukan anak-anak
(paling tidak menolak atau mendialokasikan). Mendiskusikan jahatnya penindasan,
pemaksaan dan memotivasi untuk melawan atau melindungi diri sendiri dari
penindasan dan kekerasan.
Semua
metode ini melibatkan fisik, emosional dan spiritual siswa. Metode sangat cocok
jika diterapkan di sekolah alternatif karena sekolah alternatif menegakkan
ssikap kebebasan dan kemerdekaan buat peserta didik.
SEKOLAH LIAR: PENETAS FILOSOFI
PENDIDIKAN INDONESIA
Di dalam telaah sejarah perkembangan pendidikan Indonesia
ini tidak dimaknakan untuk mempersoalkan waktu dan peristiwa yang terjadi pada
waktu itu. Telaah ini lebih diarahkan pada persepsi perkembangan waktu dengan
penilaian kualitas pendidikan yang terjadi. Tonggak penilaian ini didasarkan
adanya konsep pendidikan spektakuler yang diformulasikan Ki Hajar Dewantara.
Mengapa Ki Hajar Dewantara memformulasikan konsep
pendidikan sendiri? Hal ini disebabkan karena beliau tidak setuju terhadap
pendidikan ala Barat. Pendidikan Barat menurut penilaian Ki Hajar Dewantara
bermuatan perintah, hukuman, dan ketertiban. Untuk melawan
sistem pendidikan itu, maka Ki Hajar Dewantara melahirkan konsep among,
kodrat alam, dan tut wuri handayani. Kodrat alam sebagai ciri unik
siswanya, sistem among sebagai sistem pendidikannya yang momong, ngemong dan
among, sedangkan tut wuri handayani sebagai model pembelajarannya. Sistem
pendidikan Ki Hajar Dewantara ini ditujukan untuk membangun kemerdekaan siswa.
Sistem pendidikan Barat ditolak Ki Hajar Dewantara karena merepresi
kemerdekaan. Anak kehilangan kemerdekaannya dan akan menghilangkan
kemandiriannya.
Hubungan satu dengan yang lainnya dari konsep pendidikan
Ki Hajar Dewantara itu dapat disusun sebagai berikut:
Untuk menghindari terjadinya pendidikan ala Barat yang
pada prinsipnya akan menghilangkan kemerdekaan anak, maka kita kembangkan
sistem among yang menghasilkan model pembelajaran dengan cara pendampingan,
guru mendampingi siswa. Guru dalam posisi mendampingi siswa, guru tidak
berhadapan dengan siswa secara frontal, sebaliknya siswa tidak berhadapan
dengan guru. Yang dihadapi siswa adalah obyek/persoalan belajar. Sedangkan yang
didampingi guru adalah siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan memberikan
fasilitasi setelah guru melakukan monitoring kegiatan pembelajaran siswa.
Fasilitasi yang dilakukan guru dengan Tut
Wuri Handayani, suatu perlakuan bimbingan personal yang disesuaikan dengan
kodrat alam masing-masing anak. Oleh karena itu, kegiatan fasilitasi tut
wuri handayani yang dilakukan guru secara personal berfokus kepada kodrat
alam atau ciri unik masing-masing anak. Beginilah posisi guru terhadap siswa.
Sedangkan posisi guru terhadap materi, maka guru melakukan seleksi dan organisasi
obyek/persoalan yang cocok dengan konsep yang akan diperoleh dan kondisi alam
sekitar lingkungan belajar. Konsep pembelajaran seperti itu dapat divisualisasikan
sebagai berikut:
Bila dirumuskan, pendidikan Ki Hajar Dewantara memiliki
muatan:
- Guru mengajar bermakna siswa belajar.
- Belajar yang sebenarnya adalah interaksi antara siswa dengan obyek/persoalan belajar.
- Siswa membawa kodrat alamnya masing-masing.
- Fasilitasi yang dilakukan guru berdasarkan kodrat alamnya siswa.
- Tut wuri handayani juga dilakukan atas dasar kodrat alam siswa.
- Guru terhadap siswa melakukan monitoring, fasilitasi, dan evaluasi.
- Guru terhadap materi melakukan seleksi dan organisasi obyek/persoalan sesuai dengan konsep yang akan diharapkan ditemukan siswa[7].
Pada
hakekatnya pendidikan adalah nasehat bagi yang sadar akan kebutuhannya. Maka,
Sesungguhnya kita masih punya keyakinan bahwa masih bisa ditawarkan alternatif
di mana bisa dilaksanakan sekolah dengan cara pandang memperkenalkan realitas
dunia sekitar dalam kondisi kekinian dan menjanjikan kemungkinan masa depan
yang penuh dengan perubahan.
Masih ada kekuatan masyarakat yang mampu melepas diri
dari jeratan birokrat dan kapitalis yang mengeruk untuk dengan membodohi
sekolah. Sesungguhnya masih ada harapan pada untuk kita menawarkan sekolah
sebagai tempat membekali ”life skil”, untuk
melakukan perubahan radikal, menghentikan semua kebobrokan penyelenggaraan
persekolahan.
Terakhir, ijinkanlah saya mengutip wejangan bapak Moh.
Hatta, “Hentikan Privatisasi Lindungi Anak Negeri”.
DAFTAR
BACAAN
Banathy,Bela
H. (1991). Systems Design of Education. A
Journey to Create the Future. Englewood Cliffs,NJ: Educational Technology
Publications.
Dede
Rosyada. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Isjoni.
2010. Pembelajaran Kooperatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
John
Dewey. 2004. Experience And Education,
Pendidikan Berbasis Pengalaman. Jakarta Selatan: Teraju Mizan.
Mintz,Jerry
(editor-in-chief) (1994). The Handbook of Alternative Education.
New York:Macmillan Publishing Company.
Muis
Sad Imam. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta:
Safiria Insania Pres.
Siti
Irine Astuti D. 2011. Desentralisasi dan
Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan: Sebuah Kajian Teoritis dan Empirik.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Teguh
Wiyono, 2011. Rekontruksi Pendidikan
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Utomo
Dananjaya. 2005. Sekolah Gratis. Jakarta:
Paramadina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar