Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

ESSAY


SEKOLAH LIAR DILEMATIS:
PERETAS PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN

Oleh: Siti Nur Azizah
Motto :
Menggugah Nurani, Menebar Peduli, Membangun Kebersamaan yang Berbasis
Keadilan dan Kepercayaan untuk Memupuk Modal Sosial yang Kaya Nilai Etika
 dan Moral sebagai Bekal Pengabdian kepada Bangsa dan Negara.
Mawas Diri:
Dalam kondisi keterpurukan bangsa dan negara, pendidikan diharapkan menjadi andalan untuk bangkit melalui perubahan mindset penyelesaian masalahnya. Sayangnya lembaga pendidikan masih menjadi bagian dari masalah nasional, meskipun menjadi tempat berkumpulnya orang-orang  dengan derajat tinggi, namun kebanyakan dari mereka hidup dan berpikir di dunia lain. 
Jatidiri sebagai bangsa maritim-niaga telah luntur, sejarah masa lalunya dilupakan dan berkiblat pada tata kehidupan kontinental. Kepercayaan dirinya tererosi dan mengalami evolusi ke arah hilangnya nilai kemanusiaannya, sehingga kurang peduli pada masa depan generasi penerusnya. “Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif” telah menjadi bagian dari masalah nasional, dengan biangnya dari sistem “Edukatif” yang salah arah, sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang mengingkari kodrat fisik dan jatidiri bangsanya. 
Sistem pendidikan yang berorientasi pada hafalan dan bukan amalan telah mengurung bangsa ini di dalam kehidupan konsumtif dengan  menempatkan simbol kehidupan maya sebagai ukuran prestasi dan juga sumber kebenaran didalam tata kehidupannya.

STOP DERITA MURID
Pendidikan nasional kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan birokrasi pendidikan dan tidak mau peduli pada pendidikan dan gagasan orang swasta. Persis seperti sikap dan tindakan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935, mengeluarkan ordonansi sekolah liar (Wilde Shoollen Ordonantie). Bahwa swasta harus meminta izan pemerintah untuk membuka sekolah, subsidi diberkan pada sekolah yang menyerupai sekolah negeri. Kurikulum sekolah swasta harus sama dengan kurikulum nasional. Birokrat Dep. O & E mengawas penyelenggaraan pendidikan. Tujuan pendidikan kolonial Belanda adalah menyediakan tenaga terdidik untuk kepentingan pelayanan pemerintah dan tenaga terampil untuk kaum modal Belanda.
Tuntutan semacam ini selalu kita dengar dalam menilai hasil pendidikan yang tidak memperoleh kesempatan kerja. Mereka didakwa tidak memiliki ketrampilan. Jika pada saat ini kita menyaksikan gerak perubahan yang sangat luas cakupannya, meliputi komunikasi, informasi, ilmu dan teknologi, dan lain-lain. Sangat tinggi kecepatannya sehingga manusia penciptanya terkadang tidak bisa mengendalikan. Sangat dalam penetrasinya menyentuh kesadaran terdalam dari orang-orang yang sadar.
Telah berlalu masa dimana kekayaan alam kita tidak diberikan kemakmuran, malah mengirim banjir dan asap kebakaran. Berlimpahnya penduduk tidak menjadi kekuatan yang mengubah, malah menciptakan pengangguran dan masalah TKI. Bahkan keagamaan kita tidak membuat kearifan berbudi, malah dimana-mana, dilanda konflik dan kerusakan.
Telah beratus tahun kita memperoleh pendidikan, telah 64 tahun kita merdeka dalam mendidik untuk mencerdaskan bangsa. Tetapi hasilnya adalah 80% tenaga kerja adalah pekerja (petani) tangan dengan peralatan sederhana, 15 % pekerja di sektor industri, perdagangan dan administrasi, hanya 5 % pekerja profesional[1]. Di dunia pun keadaan tidak terpaut banyak bahwa pendidikan tidak berhasil melahirkan manusia-manusia yang produktif dengan inspirasi, inovasi dan kreasi.
Pendidikan kita selama ini nampak hanya upaya untuk memaksakan keyakinan-keyakinan orang tua, telah membunuh daya pikir dan kreativitas. Pendidikan memisah-misahkan daya pikir dan anggota badan, memisahkan emosi dan pengetahuan. Pendidikan telah menjadi upaya industri seperti mesin, dengan memperlakukan anak-anak, sebagai bahan baku yang  dicetak menjadi SDM yang siap kerja di pabrik. Pendidikan telah dibatasi untuk menghafal buku cetakan dan melupakan kenyataan yang terbilang di alam luas. Bahkan pendidikan modern mendorong manusia menjadi individualis, melupakan kenyataan sebagai makhluk sosial, dilatih untuk mengalahkan dan menyisihkan yang lain. Dan tes serta ujian membagi murid menjadi si pintar dan si bodoh. Penulis menyimpulkannya bahwa pendidikan atau sekolah adalah tempat guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan.

PENDIDIKAN ALTERNATIF: SEKOLAH LIAR DILEMATIS
            Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik yang meliputi sejumlah besar program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan  cara tradisional. Secara umum berbagai bentuk pendidikan alternatif itu mempunyai tiga kesamaan yaitu :pendekatannya yang lebih bersifat individual, memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik, orangtua/keluarga, dan pendidik, serta yang mb;ldikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Menurut Jerry Mintz berbagai ragam pendidikan alternatif itu dapat dikategorisasikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu : 1) sekolah publik pilihan (public choice); 2) sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (students at risks); 3) sekolah/lembaga pendidikan swasta atau independen; dan 4) pendidikan di rumah (home-based schooling).

SEKOLAH YANG MENYENANGKAN DAN MEMBEBASKAN
Melalui 200-an tahun sekolah negeri di negara maju dan 100-an tahun sekolah negeri di Indonesia, pendidikan sekedar membentuk manusia menjadi pekerja dan warganegara[2]. Itu pun  pekerja kelas rendah. Itulah sebabnya para pendiri pendidikan progresif seperti John Dewey, Maria Montessari dan Rendolf Stener menyatakan dengan keras bahwa pendidikan harus dipahami, sebagai seni menanamkan dimensi-dimensi moral, emosional, fisikal, psikologikal dan spiritual[3] untuk mengembangkan anak dan mengembangkan peradaban manusia[4].
Selama tahun 1970-an bermunculan literatur dalam sains, filsafat dan sejarah kebudayaan yang memberikan konsep untuk menggambarkan cara pemahaman terhadap pendidikan atau sekolah.[5] Yaitu, cara berfikir holistik, mencakup dan mengintegrasikan berbagai makna dan pengalaman ketimbang mengajarkanpengetahuan dan ketrampilan. Setiap anak tidak diperlakukan sekedar tenaga kerja di masa depan, dan tidak diukur dengan tes dan ujian nasional; tetapi berlandaskan pada pandangan dasar bahwa perkembangan setiap pribadi menuju kedewasaan, menemukan atau mengenal identitas dirinya, makna dan tujuan hidup. Ia mampu mempergunakan pikiran sendiri dan pikiran orang lain, sebagai argumen untuk membuat keputusan. Keputusan untuk memilih dan mengambil yang sejati dan meninggalkan yang palsu. Orang dewasa adalah pribadi yang memilih kebebasan nurani, untuk tanpa tekanan dan pengaruh orang lain, menentukan pikiran, termasuk keyakinan yang paling mendasar.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mendewasakan dan membebaskan. Karena manusia bukan makhluk yang statis, tetapi makluk dinamis yang berproses menjadi (to be). Untuk menjadi manusia memerlukan kebebasan.
Manusia adalah makluk yang memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut tidak dapat tumbuh berkembang dengan sendirinya, tetapi memerlukan rangsangan dan dorongan disertai kemauan dari dalam dirinya sendiri.
Makhluk yang tidakpunya kemauan, yang menurut pada ke hendak luar saja adalah makhluk yang terpasung. Makhluk yang punya kemauan adalah makhluk bebas. Hanya  makhluk bebas yang dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Berkembang menjadi dewasa.

BELAJAR SEJATI, SEPANJANG HAYAT
            Pada saat ini sudah berkembang pikiran bahwa prinsip cara pembelajaran adalah: belajar bagaimana belajar, belajar bagaimana tumbuh berkembang, belajar bagaimana belajar berbuat dan belajar mencintai kehidpan. Maka tujuan belajar adalah membangkitkan pada orang-orang muda suatu perasaan hasrat dari dalam terhadap kehidupan dan kecintaan terhadap belajar. Sebab belajar bukan hanya di dalam kelas, tetapi belajar dalam kehidupan nyata, belajar adalah melalui pengalaman langsung dengan kehidupan dan lingkungan, belajar sejati adalah belajar sepanjang hayat.
            Pendidikan atau sekolah membantu anak muda memiliki dan memelihara rasa ingin tahu, menolong siswa untuk merasa sebagai bagian dari keseluruhan semesta. Menolong anak muda mempelajari kehendak alam yang memikat dan menarik.
            Maka beberapa prinsip cara belajar yang membebaskan adalah menciptakan suasana yang “menyenangkan” agar anak-anak merasakan dan mendapatkan suasana bebas. Prinsip lain adalah belajar dalam “kelompok” dengan perlakuan dan interaksi yang sederajat atau persamaan, sehingga tumbuh rasa saling menghormati dan memahami. Prinsip ketiga adalah menumbuhkan “komitmen” ke masa depan, bahwa pendidikan sekarang bertujuan menciptakan masa depan yang lebih baik. Dan masa depan merupakan acuan dan disiplin perilaku belajar. Semuanya ini akan tercipta dalam proses pengalaman. Maka prinsip keempat adalah “belajar dari pengalaman berstruktur”.
            Belajar adalah proses pengalaman melakukan, merenungkan, menganalisis dan menyimpulkan. Semua proses tersebut akan menopang pertumbuhan menjadi manusia bebas yang dewasa atau manusia dewasa yang bebas.    

SEKOLAH DAN GURU
            Kita semua tahu bahwa pendidikan selalu diasosiasikan dengan sekolah. Kelas dan sekolah adalah ruangan-ruangan dimana tidak ada tv, tidak ada telpon, tidak ada komputer. Keadaan kelas di Amerika pun tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Kelas adalah ruangan primitif. Sedangkan rumah murid adalah ruang sesuai zaman. Paling tidak ruang birokrat sekolah yang merumuskan tujuan pendidikan haruslah buat zaman.
Arsitek sekolah adalah jajaran ruang 8 x7 m, yang seragam. Jadi sekolah menggambarkan keadaan ketinggal zaman. Mudah dipahami bahwa proses belajar di sana, interaksi antara guru dan murid adalah interaksi tanpa teknologi.
Apa yang salah dengan sekolah? Yang salah ialah sekolah selalu ketinggalan zaman. Sekolah bukan ruangan belajar yang sama dengan lingkungan hidup sekitar. Sekolah adalah ruang dimana anak-anak diisolasi dari kehidupan nyata. Anak-anak “dipenjarakan”, dan bergaul dengan guru yang memiliki otoritas mutlak. Bahkan mungkin saja guru, telah berpengalaman lama dalam mengajar, tetapi tidak pernah dilihat orang lain, tidak pernah dievaluasi oleh orang lain, dan tidak pernah melihat orang lain mengajar. Apa yang dilakukan?.
Pantas saja anak-anak merasa gembira ketika datang waktu istirahat, dan gemuruh berlarian ketika datang akhir pelaksanaan. Seolah-olah mereka lepas darihukuman.
Paradigma baru dalam pendidikan[6], yaitu perubahan Tujuan pendidikan dari sekedar menambah kekayaan kognitif yang terkotak-kotak, dinilai dengan tes dan ujian, diubah menjadi pendidikan holistik, yang mengantarkan anak didik menjadi dewasa, memiliki kebebasan rohani, dan mempunyai kualitas moral, emosional, psikologikal, fisikal dan spiritual yang berkembang secara optimal.
Sekolah dan guru di Indonesia sekarang belum cocok memikul paradigma baru tersebut. Oleh karena itu, yang paling strategis adalah membuah guru profesional dan ruang kelas yang dilengkapi perangkat teknologi, menggambarkan lingkungan sesuai zaman.
Guru harus membaca dan menguasai cara mengajar seperti dianjurkan oleh revolusi cara belajar dan accelerated learning, yang di dasarkan pada pertimbangan ilmiah tentang dasar-dasar pendidikan.
Walaupun tidak ada satu pun cara terbaik dalam proses pembelajaran, ada banyak jalan belajar dan pendidikan holistik, yang menghargai warga belajar berkembang secara alamiah menjadi dewasa.
Paling tidak beberapa cara pilihan yang dirangkum dari berbagai sumber watak:
1.      Metode Inquary, yaitu mengembangkan praktek keingintahuan dengan melakukan pengamatan dan mengerjakan.
2.      Metode Proyek,  yaitu menugaskan siswa untuk mempersiapkan suatu pertunjukan dan menerangkannya. “Shw and talk”, unjuk dan ungkap.
3.      Metode Pemecahan Masalah, yaitu melibatkan anak didik untuk memecahkan masalah.
4.      Metode Belajar dari Pengalaman Berstuktur, yaitu melibatkan siswa untuk melakukan permainan, pekerjaan, bersandiwara (rooll play), dsb. Kemudian merenungkan apa yang dilakukan, mengutarakan secara rinci pengalamannya, menganalisa mengapaterjadi begini-begitu, dan akhirnya menyimpulkan sebagai hasil belajar bersama dalam kelompok.
5.      Metode Dialogis, adalah metode melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasikan penindas, pelaku kekerasan; kemudian belajar melawan dengan berbagai cara yang mampu dilakukan anak-anak (paling tidak menolak atau mendialokasikan). Mendiskusikan jahatnya penindasan, pemaksaan dan memotivasi untuk melawan atau melindungi diri sendiri dari penindasan dan kekerasan.
Semua metode ini melibatkan fisik, emosional dan spiritual siswa. Metode sangat cocok jika diterapkan di sekolah alternatif karena sekolah alternatif menegakkan ssikap kebebasan dan kemerdekaan buat peserta didik.

SEKOLAH LIAR: PENETAS  FILOSOFI PENDIDIKAN INDONESIA
Di dalam telaah sejarah perkembangan pendidikan Indonesia ini tidak dimaknakan untuk mempersoalkan waktu dan peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Telaah ini lebih diarahkan pada persepsi perkembangan waktu dengan penilaian kualitas pendidikan yang terjadi. Tonggak penilaian ini didasarkan adanya konsep pendidikan spektakuler yang diformulasikan Ki Hajar Dewantara.
Mengapa Ki Hajar Dewantara memformulasikan konsep pendidikan sendiri? Hal ini disebabkan karena beliau tidak setuju terhadap pendidikan ala Barat. Pendidikan Barat menurut penilaian Ki Hajar Dewantara bermuatan perintah, hukuman, dan ketertiban. Untuk melawan sistem pendidikan itu, maka Ki Hajar Dewantara melahirkan konsep among, kodrat alam, dan tut wuri handayani. Kodrat alam sebagai ciri unik siswanya, sistem among sebagai sistem pendidikannya yang momong, ngemong dan among, sedangkan tut wuri handayani sebagai model pembelajarannya. Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara ini ditujukan untuk membangun kemerdekaan siswa. Sistem pendidikan Barat ditolak Ki Hajar Dewantara karena merepresi kemerdekaan. Anak kehilangan kemerdekaannya dan akan menghilangkan kemandiriannya.
Hubungan satu dengan yang lainnya dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara itu dapat disusun sebagai berikut:











Untuk menghindari terjadinya pendidikan ala Barat yang pada prinsipnya akan menghilangkan kemerdekaan anak, maka kita kembangkan sistem among yang menghasilkan model pembelajaran dengan cara pendampingan, guru mendampingi siswa. Guru dalam posisi mendampingi siswa, guru tidak berhadapan dengan siswa secara frontal, sebaliknya siswa tidak berhadapan dengan guru. Yang dihadapi siswa adalah obyek/persoalan belajar. Sedangkan yang didampingi guru adalah siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan memberikan fasilitasi setelah guru melakukan monitoring kegiatan pembelajaran siswa. Fasilitasi yang dilakukan guru dengan Tut Wuri Handayani, suatu perlakuan bimbingan personal yang disesuaikan dengan kodrat alam masing-masing anak. Oleh karena itu, kegiatan fasilitasi tut wuri handayani yang dilakukan guru secara personal berfokus kepada kodrat alam atau ciri unik masing-masing anak. Beginilah posisi guru terhadap siswa. Sedangkan posisi guru terhadap materi, maka guru melakukan seleksi dan organisasi obyek/persoalan yang cocok dengan konsep yang akan diperoleh dan kondisi alam sekitar lingkungan belajar. Konsep pembelajaran seperti itu dapat divisualisasikan sebagai berikut:
 
















Bila dirumuskan, pendidikan Ki Hajar Dewantara memiliki muatan:
  1. Guru mengajar bermakna siswa belajar.
  2. Belajar yang sebenarnya adalah interaksi antara siswa dengan obyek/persoalan belajar.
  3. Siswa membawa kodrat alamnya masing-masing.
  4. Fasilitasi yang dilakukan guru berdasarkan kodrat alamnya siswa.
  5. Tut wuri handayani juga dilakukan atas dasar kodrat alam siswa.
  6. Guru terhadap siswa melakukan monitoring, fasilitasi, dan evaluasi.
  7. Guru terhadap materi melakukan seleksi dan organisasi obyek/persoalan sesuai dengan konsep yang akan diharapkan ditemukan siswa[7].
            Pada hakekatnya pendidikan adalah nasehat bagi yang sadar akan kebutuhannya. Maka, Sesungguhnya kita masih punya keyakinan bahwa masih bisa ditawarkan alternatif di mana bisa dilaksanakan sekolah dengan cara pandang memperkenalkan realitas dunia sekitar dalam kondisi kekinian dan menjanjikan kemungkinan masa depan yang penuh dengan perubahan.
Masih ada kekuatan masyarakat yang mampu melepas diri dari jeratan birokrat dan kapitalis yang mengeruk untuk dengan membodohi sekolah. Sesungguhnya masih ada harapan pada untuk kita menawarkan sekolah sebagai tempat membekali ”life skil”, untuk melakukan perubahan radikal, menghentikan semua kebobrokan penyelenggaraan persekolahan.
Terakhir, ijinkanlah saya mengutip wejangan bapak Moh. Hatta, “Hentikan Privatisasi Lindungi Anak Negeri”.









DAFTAR BACAAN

Banathy,Bela H. (1991). Systems Design of Education. A Journey to Create the Future. Englewood Cliffs,NJ: Educational Technology Publications.
Dede Rosyada.  2007. Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Isjoni. 2010. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
John Dewey. 2004. Experience And Education, Pendidikan Berbasis Pengalaman. Jakarta Selatan: Teraju Mizan.
Mintz,Jerry (editor-in-chief) (1994). The Handbook of Alternative Education. New York:Macmillan Publishing Company.
Muis Sad Imam. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Pres.
Siti Irine Astuti D. 2011. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan: Sebuah Kajian Teoritis dan Empirik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Teguh Wiyono, 2011. Rekontruksi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Utomo Dananjaya. 2005. Sekolah Gratis. Jakarta: Paramadina.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar