Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

ESSAY


MEMBANGUN PERADABAN EKOLOGI
BERBASIS ECOSOPHY

Oleh:
Siti Nur Azizah
Juara 2 Lomba ESSAY Tingkat Nasional
“Konservasi Lingkungan Berbasis Qur’ani”
Di Fakultas Biologi UNSOED

            Apakah yang kita rasakan bila lingkungan menjadi rusak?  kita pasti akan mengalami bermacam-macam kesulitan dan bencana alam. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oeleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kita harus menjadikannya sebagai sahabat dan mengolahnya demi kepentingan bersama. Alam akan menjadi sahabat dan memberikan yang terbaik apabila kita pun memperlakukannya dengan baik. Namun sebuah keterbalikan nyata telah terjadi, justru manusia itu sendiri yang telah menghancurkan tatanan lingkungan serta merenggut hak lingkungan. Sungguh ironisitas yang sangat perlu dibenahi.
CUACA LINGKUNGAN KITA
Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanandimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)
Dari ayat di atas jelaslah bahwa manusia adalah sumber dari krisis lingkungan global. Fenomena-fenomena seperti kerusakan biota laut, penggundulan hutan, penipisan lapisan ozon, pencemaran air tanah hingga meluasnya lahan tandus merupakan efek dari segala perilaku “berbudaya” manusia. Bermula dari egositas yang tumbuh dalam karakter manusia, keberadaan lingkungan semesta disingkirkan kepada status perbudakan: eksploitasi.
Contoh nyata terjadi di Moskwa, Rusia, dimana kebakaran hutan telah menghanguskan kawasan hingga 196.000 hektar. Di negeri beruang merah tersebut, kawasan Voronezh mengalami kerusakan terparah hingga menghancurkan sekurangnya 2000 rumah. Saat itu (Agustus 2010), tercatat 50 korban meregang nyawa.[1] Sergei Shoigu, Menteri Kondisi Darurat Rusia yakin bahwa sebagian besar titik api muncul karena keteledoran manusia. Sejumlah saksi mata membenarkan kecurigaan itu. Seorang saksi mata mengaku melihat sejumlah perokok dengan enaknya membuang puntung rokok yang masih menyala ke jalanan di sekitar hutan, tidak jauh dari Moskowa. Udara panas dan kondisi tanah yang kering tentu bisa dengan mudah menyulut kebakaran.
Yang lebih nyata, praktek penambangan batu bara di Pulau Kalimantan tidak kalah mengkhawatirkan. Menurut catatan, hingga tahun 2009 terdapat 2.047 kuasa pertambangan. Setiap kuasa pertambangan memegang kuasa atas sekitar 2000 hektar lahan. Artinya, tanah yang dikapling untuk ketamakan para penguasa itu mencapai luas 4,09 juta hektar, lebih luas dari wilayah satu provinsi, Kalsel misalnya yang hanya seluas 3,75 juta hektar.[2] Pengerukan hasil bumi secara besar-besaran tersebut, kemudian tidak diikuti dengan pertanggungjawaban terhadap lingkungan hidup. Di Samarinda, yang 70 persen wilayahnya telah dikapling untuk kegiatan tambang, sebagian besar sudah menjadi kolam raksasa yang ditinggalkan begitu saja. Hasilnya, banjir menjadi tamu langganan bagi warga di sekitar proyek. Belum lagi hutan primer di Indonesia yang mengalami penggundulan hingga 42 juta hektar pun semakin mempercepat arus degradasi iklim dunia yang berakibat fatal. Akhirnya, sebagai ancaman bagi seluruh dunia yang menjanjikan rentetan bencana dan perubahan iklim yang sangat ekstrem.
Degradasi keadaan iklim dunia juga terbukti dari penyusutan gletser diberbagai puncak penunungan tinggi di dunia. Di pegunungan Jayawijaya yang terdekat misalnya. Lapisan es yang menutupi beberapa bagian puncak di pegunungan tersebut perlahan mulai menipis. Di kawasan es Nggapulu, luas bidang lapisan es menyusut sekitar setengah kilometer. Bahkan di Puncak Soemantri, Puncak Cartenz Timur hingga puncak tertingginya, Cartenz Pyramid, kini sudah tidak lagi tertutupi salju. Menurut Andrew G Klein dan Joni L. Kincaid di dalam bukunya, sejak tahun 1850 lapisan es di pegunungan Jayawijaya telah menyusut hingga 90% . Ironisitas es abadi.
Hal yang sama juga terjadi di pegunungan himalaya. Pada awal Desember 2009 yang lalu, para aktivis lingkungan dunia membahas tentang mencairnya glester di Everest, dengan dipimpin oleh Perdana Menteri Nepal, Madhav Kumar. Jika es di puncak tertinggi dunia itu mencair, dapat dipastikan dalam beberapa dekade mendatang, sepuluh sungai besar di dataran asia akan dilanda kekeringan. Hal tersebut jelas menjadi ancaman besar bagi 1,3 Milyar penduduk yang bergantung pada sungai-sungai itu. Apa yang diawali oleh perbuatan manusia dalam mencederai lingkungan, pada akhirnya akan menjadi boomerang bagi kelangsungan peradaban manusia itu sendiri. Dapat disimpulkan, rekayasa ulah manusia merupakan titik tolak terjadinya berbagai krisis di dunia.
Belum lagi, dalam lingkungan terdekat kita; Jakarta misalnya, yang kerap kali disebut-sebut sebagai kota metropolitan justru memberikan bukti bahwa antara manusia dan lingkungannya tidak pernah terjalin hubungan yang harmonis. Banjir akibat tumpukan sampah yang menggenangi aliran air sungai, tidak adanya air bersih akibat sikap tak acuh manusia terhadap lingkungannya. Bahkan penyakit diare dan malaria pun telah menjadi penyakit langganan akibat ulah mereka sendiri. Sehingga tidak bisa disalahkan jika kota-kota di Indonesia terkenal relatif kotor dan belum berselimut kearifan manusianya dalam menjaga lingkungan. Padahal Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang pada kitab sucinya sendiri mengajarkan untuk merawat Lingkungan secara keseluruhan. Sungguh Ironis..
Terlihat begitu nyata, berbagai masalah yang menimpa alam dan lingkungan hidup ini sebenarnya berawal dari cara manusia dalam memandang hubungannya dengan alam dan lingkungan dalam keseluruhan ekosistem. Paham antroposentris memandang bahwa manusia adalah pusat dari segala kehidupan.
PARADIGMA MANUSIA MODERN
Sejak awal sejarah keberadaannya di muka bumi, apapun teorinya, manusia dengan segala kebutuhannya senantiasa menjadi prioritas utama, yang seiring waktupun menjadi sebuah budaya. Pemenuhan kebutuhan yang bersandar pada pengolahan alam dan lingkungan di sekitarnya menjadi mata pencaharian utama kehidupan manusia.
Seiring masa, budaya manusia terus berkembang. Industrialisasi muncul pasca era renaisance, sebagai budaya ekonomi yang menjadi tolak ukur kemajuan sebuah peradaban. Setelahnya, manusia terpacu untuk memenuhi ambisiusitasnya, serta lebih menghormati hak-hak asasinya sebagai manusia. Sayangnya, diraih dengan merampas hak asasi lingkungan alam. Tidak bisa disangkal lagi, berbagai kasus lingkungan yang terjadi saat ini baik di taraf nasional maupun global, hampir semuanya bersumber dari perilaku tidak bertanggungjawab manusia.
Akar dari seluruh perilaku tersebut merujuk kepada paradigma antroposentris yang menjadi pemahaman manusia secara luas. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta.[3] Sebagai pemegang kuasa, menurut etika ini, manusia dengan segala nafsu keinginannya berhak secara penuh untuk mengendalikan alam dan lingkungan demi memenuhi kehendaknya. Di alam semesta, nilai tertinggi hanya milik manusia. Lingkungan dan segala apa yang ada di dalamnya hanya memiliki nilai sebatas dia memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Singkatnya, antroposentrisme menganggap alam hanya sekedar objek yang tidak mampu berdiri sendiri.
Eksploitasi alam menjadi konsekuensi logis dari etika tersebut. Dan inilah awal dari segala bencana hidup yang manusia alami sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan-kesalahan cara pandang inilah yang awalnya bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat jagad raya.
Tiga kesalahan fundamental dari cara pandang antroposentrisme yang berakibat sangat fatal adalah bahwa (1) manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial (social animal), yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dimana dalam pemahaman ini mengakibatkan manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan sesama manusia di dalam komunitas sosialnya. Identitas dirinya dibentuk oleh komunitas sosialnya, sebagaimana dia sendiri ikut membentuk komunitas sosialnya, sehingga manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut terbentuk oleh alam.
(2) Etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Sehingga, norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Namun sangat disayangkan etika tersebut tidak berlaku bagi makhluk lain.
Kesalahan paradigma antroposentris, diperkuat lagi oleh (3) paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengedepankan prinsip mekanistis-reduksionistis. Pada sisi ini manusia memisahkan dengan tegas antara dirinya sebagai subjek ilmu pengetahuan dan alam sebagai objeknya. Ilmu pengetahuan bersifat independen, sehingga seluruh pengembangannya hanya diarahkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Penilaian tentang baik buruk bentuk serta dampak dari ilmu pengethuan tersebut adalah penilaian yang tidak relevan.
Ketiga hal inilah yang kemudian menjadikan manusia modern bersikap dan berpirilaku manipulatif dan eksploitatif terhadap alam dan lingkungannya. Pada akhirnya, sikap inilah yang melahirkan krisis ekologi yang berkelanjutan, bahkan berefek buruk pada kelangsungan peradaban manusia sendiri. Untuk itulah dibutuhkan sebuah gerakan yang menyentuh langsung budaya masyarakat modern, agar perilakunya kembali bersandar kepada cara pandang ekologis dan etika lingkungan. 
Etika barat telah menggeser etika masyarakat adat bahwa alam dan lingkungan memiliki hubungan yang erat sebagai kerabat ekologi dengan manusia. Pemahaman tersebut memunculkan paham biosentrisme dan ekosentrisme sebagai nilai yang seharusnya dipahami oleh manusia. Kontradiksi inilah yang menyebabkan  perlunya sebuah revitalisasi kearifan lingkungan untuk menanggulangi krisis ekologi yang dialami manusia dalam lingkup global dewasa ini.
Dari revitalisasi kearifan lingkungan tersebut kemudian  akan menumbuhkan sebuah budaya masyarakat yang baru. Etika yang mengedepankan keharmonisan alam-manusia sebagai sebuah keluarga ekologi, akan dihidupkan dengan menumbuhkan konsep yang bersifat holistik-fundamental tersebut: ecosophy. Sebagai sebuah etika yang mengutamakan keharmonisan ekologi, ecosophy memiliki kekuatan moral tersendiri dalam menyelaraskan manusia dengan segala problematika sosio-lingkungannya.

Konstruksi Etika Ecosophy  
Ecosophy secara harfiah terdiri dari 2 suku kata, yaitu Eco yang berarti rumah tangga, dan Sophy yang berarti kearifan. Ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Kearifan ini menjelma sebagai suatu pola gaya hidup (way of life) yang dijalankan dengan berkesinambungan. Sehingga mereka yang menganut etika ini senantiasa hidup selaras dan bersahabat dengan lingkungan sekitarnya. Mereka akan merawat atau menjaga lingkungan seperti mereka menjaga dan merawat rumah tangganya. Sehingga manusia dan alam bukan lagi dipandang sebagai kubu yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan keluarga ekologi yang saling berhubungan dan membutuhkan.
Konsep etika tersebut pertama kali dicetuskan oleh Arne Naess, seorang filsuf  Norwegia pada tahun 1973 melalui artikelnya yang terkenal "The Shallow and the Deep, Long range Ecological Movement: A Summary". Dalam karyanya itu Naess membedakan istilah shallow ecological movement dan deep ecological movement.
Deep ecology menunjukkan sebuah etika moral yang tidak berpusat pada manusia, melainkan pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menarik adalah bahwa manusia bukan lagi sebagai pusat dari segalanya. Manusia hanya bagian dari ekosistem yang bersama dengan anggota ekosistem lain perlu untuk menjaga keseimbangan lingkungan dari kerusakan. Inilah akar konsep etika ecosophy. Sedangkan  shallow ecology adalah lawan dari etika ecosophy, yang merupakan reduksi dari filsafat antroposentrisme yang terbukti merusak keseimbangan antara semua penghuni ekologi.
Karena dasar tersebut, ecosophy merupakan jalan keluar yang tepat untuk mengatasi krisis lingkungan global yang terjadi dewasa ini. Untuk selalu diingat, manusia sejak awal peradabannya telah memiliki hubungan sosial-emosional yang kuat dengan lingkungannya, bukan sekedar hubungan subjek-objek yang eksploitatif. Artinya, manusia telah memiliki nilai tersebut dalam jiwanya, namun terselubung akibat tekanan sosio-ekonomi yang menuntut manusia untuk lebih memilih memuaskan nafsunya: eksploitasi.
Strategi yang tepat untuk membangun kembali (baca: revitalisasi) etika ecosophy yang sempat mati, adalah dengan menghidupkan dan melestarikan pola kehidupan masyarakat adat untuk senantiasa menjalin harmonisitas antara manusia dan lingkungannya. Dengan kembali kepada nilai-nilai holistik itu, mewujudkan harmonitas ekologis adalah nyata Seperti yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an  dan hadist Nabi.[4]

CLOSING STATEMENT
Menjaga lingkungan serta menjalin hubungan yang harmonis dengan alam merupakan tugas kita semua sebagai umat manusia yang menghamba pada satu Tuhan yang sama: Tuhan Semesta Alam.
            Membangun etika lingkungan nampaknya berkaitan dengan pola hidup masyarakat, serta budaya yang selama ini direngkuhnya. Oleh karena itu dengan ecosophy diharpakan dapat menggeser nilai dan budaya antroposhentris yang selama ini melingkupi pola hidup masyarakat sehingga berimbas pada pencidraan lingkungan dan berujung pada degradasi iklim dunia.
Disinilah perubahan dari pola hidup manusia harus benar-benar dimualai agar mewujudkan harmonitas ekologis adalah nyata Seperti yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an  dan hadist Nabi. Selain itu, sebagai ciptaan Tuhan kita telah diperintahkan untuk menjaga  Hablum minallah (hubungan dengan Alloh) hablummiannas (hubungan sesama) dan yang terakhir Hablumm minal alam (hubungan dengan alam) yang terjalin dan berkelindan secara serasi dan seimbang dengan kata lain, kita wajib menjaga lingkungan dan memperlakukannya secara etis sesuai anjuran agama.














DAFTAR BACAAN


Abdillah, Mujiyono. 2006. Rekonstruksi Teologi Lingkungan dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Jurnal Innovatio, Vol. 5, No. 10. Edisi Juli-Desember 2006.

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Koran Kompas

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. PT Tiara Wacana, Yogyakarta.

Kurniati, Metty. 1996. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi: Kaidah Ekologi dan Penerapannya. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Lubis, Ridwan. 2005. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara. Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama RI

Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan lokal, dalam Ibda’, Jurnal Studi Islam dan Budaya. P3M STAIN Purwokerto.

Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for Beginner. Penerbit O2, Yogyakarta.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1995. Psikologi Lingkungan. PT. Grasindo, Jakarta.

Suparlan, Parsudi (editor). 1996. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Supriatna, Nana. 2006. Sejarah untuk Kelas XII Sekolah Menegah Atas Program Ilmu Pengetahuan Alam. Grafindo Media Pratama, Jakarta.

Sutikno. 2004. Prediksi Tradisional dan Modern Terhadap Cuaca dan Iklim. Makalah  Pengantar ke Falsafah Sains  Sekolah Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.








[1] Kompas. Jumat, 6 Agustus 2010
[2] Kompas. Senin, 25 Januari 2010
[3] A. Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hal: 33.
[4] Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Yunus :101)
Yang lebih penting lagi dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, bahwa alam diciptakan adalah sebagai tanda (ayat) atas ke Maha Kuasaan dan belas kasih Allah. Fungsi utama  penciptan alam ini perlu ditegaskan karena sebagian manusia melengahkan bahkan mengingkari peran Allah dalam penciptaan alam.  Mereka berpandangan bahwa alam ini terjadi karena sebab-sebab yang tersendiri, secara alamiah dan tidak ada campur tangan Allah. Mereka lupa bahwa tanpa sebab-sebab “yang lebih tinggi” sebab-sebab alamiah dalam proses pembentukan dan  perkembangan alam tidak akan pernah ada.  Alam semesta ini akan hilang apabila “diletakkan” disisi Tuhan, karena tak ada sesuatu apapun yang mempunyai jaminan yang “inherent” untuk ada (eksis).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar