MEMBANGUN PERADABAN EKOLOGI
BERBASIS ECOSOPHY
Oleh:
Siti Nur Azizah
Juara 2 Lomba ESSAY Tingkat Nasional
“Konservasi Lingkungan Berbasis Qur’ani”
Di Fakultas Biologi UNSOED
Apakah yang kita rasakan bila lingkungan menjadi rusak? kita pasti akan mengalami bermacam-macam
kesulitan dan bencana alam. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oeleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, kita harus menjadikannya sebagai sahabat dan mengolahnya
demi kepentingan bersama. Alam akan menjadi sahabat dan memberikan yang terbaik
apabila kita pun memperlakukannya dengan baik. Namun sebuah keterbalikan
nyata telah terjadi, justru manusia itu sendiri yang telah menghancurkan
tatanan lingkungan serta merenggut hak lingkungan. Sungguh ironisitas yang
sangat perlu dibenahi.
CUACA LINGKUNGAN KITA
Telah tampak
kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanandimuka bumi dan
perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari
mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)
Dari ayat di atas
jelaslah bahwa manusia adalah sumber dari krisis lingkungan global. Fenomena-fenomena seperti kerusakan biota laut,
penggundulan hutan, penipisan lapisan ozon, pencemaran air tanah hingga
meluasnya lahan tandus merupakan efek dari segala perilaku “berbudaya” manusia.
Bermula dari egositas yang tumbuh dalam karakter manusia, keberadaan lingkungan
semesta disingkirkan kepada status perbudakan: eksploitasi.
Contoh nyata terjadi di Moskwa, Rusia, dimana
kebakaran hutan telah menghanguskan kawasan hingga 196.000 hektar. Di negeri
beruang merah tersebut, kawasan Voronezh mengalami kerusakan terparah hingga
menghancurkan sekurangnya 2000 rumah. Saat itu (Agustus 2010), tercatat 50
korban meregang nyawa.[1]
Sergei Shoigu, Menteri Kondisi Darurat Rusia yakin bahwa sebagian besar titik
api muncul karena keteledoran manusia. Sejumlah saksi mata membenarkan
kecurigaan itu. Seorang saksi mata mengaku melihat sejumlah perokok dengan
enaknya membuang puntung rokok yang masih menyala ke jalanan di sekitar hutan,
tidak jauh dari Moskowa. Udara panas dan kondisi tanah yang kering tentu bisa
dengan mudah menyulut kebakaran.
Yang lebih nyata, praktek penambangan batu bara di
Pulau Kalimantan tidak kalah mengkhawatirkan. Menurut catatan, hingga tahun
2009 terdapat 2.047 kuasa pertambangan. Setiap kuasa pertambangan memegang
kuasa atas sekitar 2000 hektar lahan. Artinya, tanah yang dikapling untuk
ketamakan para penguasa itu mencapai luas 4,09 juta hektar, lebih luas dari
wilayah satu provinsi, Kalsel misalnya yang hanya seluas 3,75 juta hektar.[2]
Pengerukan hasil bumi secara besar-besaran tersebut, kemudian tidak diikuti
dengan pertanggungjawaban terhadap lingkungan hidup. Di Samarinda, yang 70
persen wilayahnya telah dikapling untuk kegiatan tambang, sebagian besar sudah
menjadi kolam raksasa yang ditinggalkan begitu saja. Hasilnya, banjir menjadi
tamu langganan bagi warga di sekitar proyek. Belum lagi hutan primer di
Indonesia yang mengalami penggundulan hingga 42 juta hektar pun semakin
mempercepat arus degradasi iklim dunia yang berakibat fatal. Akhirnya, sebagai ancaman bagi seluruh dunia yang menjanjikan
rentetan bencana dan perubahan iklim yang sangat ekstrem.
Degradasi keadaan iklim dunia juga terbukti dari
penyusutan gletser diberbagai puncak penunungan tinggi di dunia. Di pegunungan
Jayawijaya yang terdekat misalnya. Lapisan es yang menutupi beberapa bagian
puncak di pegunungan tersebut perlahan mulai menipis. Di kawasan es Nggapulu,
luas bidang lapisan es menyusut sekitar setengah kilometer. Bahkan di Puncak
Soemantri, Puncak Cartenz Timur hingga puncak tertingginya, Cartenz Pyramid,
kini sudah tidak lagi tertutupi salju. Menurut Andrew G Klein dan Joni L.
Kincaid di dalam bukunya, sejak tahun 1850 lapisan es di pegunungan Jayawijaya
telah menyusut hingga 90% . Ironisitas es abadi.
Hal yang sama juga terjadi di pegunungan himalaya.
Pada awal Desember 2009 yang lalu, para aktivis lingkungan dunia membahas
tentang mencairnya glester di Everest, dengan dipimpin oleh Perdana Menteri
Nepal, Madhav Kumar. Jika es di puncak tertinggi dunia itu mencair, dapat
dipastikan dalam beberapa dekade mendatang, sepuluh sungai besar di dataran
asia akan dilanda kekeringan. Hal tersebut jelas menjadi ancaman besar bagi 1,3
Milyar penduduk yang bergantung pada sungai-sungai itu. Apa yang diawali oleh
perbuatan manusia dalam mencederai lingkungan, pada akhirnya akan menjadi
boomerang bagi kelangsungan peradaban manusia itu sendiri. Dapat disimpulkan,
rekayasa ulah manusia merupakan titik tolak terjadinya berbagai krisis di
dunia.
Belum lagi, dalam
lingkungan terdekat kita; Jakarta misalnya, yang
kerap kali disebut-sebut sebagai kota
metropolitan justru memberikan bukti bahwa antara manusia dan lingkungannya
tidak pernah terjalin hubungan yang harmonis. Banjir akibat tumpukan sampah
yang menggenangi aliran air sungai, tidak adanya air bersih akibat sikap tak
acuh manusia terhadap lingkungannya. Bahkan penyakit diare dan malaria pun
telah menjadi penyakit langganan akibat ulah mereka sendiri. Sehingga tidak
bisa disalahkan jika kota-kota di
Indonesia terkenal relatif kotor dan
belum berselimut kearifan manusianya dalam menjaga lingkungan. Padahal
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang
pada kitab sucinya sendiri mengajarkan untuk merawat Lingkungan secara
keseluruhan. Sungguh Ironis..
Terlihat begitu
nyata, berbagai masalah yang menimpa
alam dan lingkungan hidup ini sebenarnya berawal dari cara manusia dalam
memandang hubungannya dengan alam dan lingkungan dalam keseluruhan ekosistem.
Paham antroposentris memandang bahwa manusia adalah pusat dari segala
kehidupan.
PARADIGMA MANUSIA MODERN
Sejak awal sejarah keberadaannya di muka bumi,
apapun teorinya, manusia dengan segala kebutuhannya senantiasa menjadi
prioritas utama, yang seiring waktupun menjadi sebuah budaya. Pemenuhan
kebutuhan yang bersandar pada pengolahan alam dan lingkungan di sekitarnya
menjadi mata pencaharian utama kehidupan manusia.
Seiring masa, budaya manusia terus berkembang.
Industrialisasi muncul pasca era renaisance, sebagai budaya ekonomi yang menjadi
tolak ukur kemajuan sebuah peradaban. Setelahnya, manusia terpacu untuk
memenuhi ambisiusitasnya, serta lebih menghormati hak-hak asasinya sebagai
manusia. Sayangnya, diraih dengan merampas hak asasi lingkungan alam. Tidak
bisa disangkal lagi, berbagai kasus lingkungan yang terjadi saat ini baik di
taraf nasional maupun global, hampir semuanya bersumber dari perilaku tidak
bertanggungjawab manusia.
Akar dari seluruh perilaku tersebut merujuk kepada
paradigma antroposentris yang menjadi pemahaman manusia secara luas.
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai
pusat alam semesta.[3] Sebagai
pemegang kuasa, menurut etika ini, manusia dengan segala nafsu keinginannya
berhak secara penuh untuk mengendalikan alam dan lingkungan demi memenuhi
kehendaknya. Di alam semesta, nilai tertinggi hanya milik manusia. Lingkungan
dan segala apa yang ada di dalamnya hanya memiliki nilai sebatas dia memberikan
kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Singkatnya, antroposentrisme
menganggap alam hanya sekedar objek yang tidak mampu berdiri sendiri.
Eksploitasi alam menjadi konsekuensi logis dari
etika tersebut. Dan inilah awal dari segala bencana hidup yang manusia alami
sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus menyangkut pembenahan cara
pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan
manusia lain dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan-kesalahan cara pandang
inilah yang awalnya bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang
manusia sebagai pusat jagad raya.
Tiga kesalahan fundamental dari cara pandang
antroposentrisme yang berakibat sangat fatal adalah bahwa (1) manusia dipahami
hanya sebagai makhluk sosial (social animal), yang eksistensi dan
identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dimana dalam pemahaman
ini mengakibatkan manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan
sesama manusia di dalam komunitas sosialnya. Identitas dirinya dibentuk oleh
komunitas sosialnya, sebagaimana dia sendiri ikut membentuk komunitas sosialnya,
sehingga manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut
terbentuk oleh alam.
(2) Etika hanya berlaku bagi komunitas sosial
manusia. Sehingga, norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi
manusia. Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral yaitu
makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal
budi dan kehendak bebasnya. Namun sangat disayangkan etika tersebut tidak
berlaku bagi makhluk lain.
Kesalahan
paradigma antroposentris, diperkuat lagi oleh (3) paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengedepankan prinsip mekanistis-reduksionistis. Pada sisi ini manusia memisahkan dengan tegas
antara dirinya sebagai subjek ilmu pengetahuan dan alam sebagai objeknya. Ilmu
pengetahuan bersifat independen, sehingga seluruh pengembangannya hanya diarahkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Penilaian
tentang baik buruk bentuk serta dampak dari ilmu pengethuan tersebut adalah
penilaian yang tidak relevan.
Ketiga hal inilah yang kemudian menjadikan manusia modern
bersikap dan berpirilaku manipulatif dan eksploitatif terhadap alam dan
lingkungannya. Pada akhirnya, sikap inilah yang melahirkan krisis ekologi yang
berkelanjutan, bahkan berefek buruk pada kelangsungan peradaban manusia sendiri. Untuk itulah dibutuhkan
sebuah gerakan yang menyentuh langsung budaya masyarakat modern, agar
perilakunya kembali bersandar kepada cara pandang ekologis dan etika lingkungan.
Etika barat telah
menggeser etika masyarakat adat bahwa alam dan lingkungan memiliki hubungan
yang erat sebagai kerabat ekologi dengan manusia. Pemahaman tersebut
memunculkan paham biosentrisme dan ekosentrisme sebagai nilai yang seharusnya
dipahami oleh manusia. Kontradiksi inilah yang menyebabkan perlunya sebuah revitalisasi kearifan
lingkungan untuk menanggulangi krisis ekologi yang dialami manusia dalam
lingkup global dewasa ini.
Dari revitalisasi
kearifan lingkungan tersebut kemudian
akan menumbuhkan sebuah budaya masyarakat yang baru. Etika yang
mengedepankan keharmonisan alam-manusia sebagai sebuah keluarga ekologi, akan
dihidupkan dengan menumbuhkan konsep yang
bersifat holistik-fundamental tersebut: ecosophy. Sebagai sebuah
etika yang mengutamakan keharmonisan ekologi, ecosophy memiliki kekuatan moral tersendiri dalam menyelaraskan
manusia dengan segala problematika sosio-lingkungannya.
Konstruksi
Etika
Ecosophy
Ecosophy secara harfiah terdiri dari 2 suku kata, yaitu Eco
yang berarti rumah tangga, dan Sophy yang berarti kearifan. Ecosophy
dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai
sebuah rumah tangga dalam arti luas. Kearifan ini menjelma sebagai suatu pola
gaya hidup (way of life) yang dijalankan dengan berkesinambungan.
Sehingga mereka yang menganut etika ini senantiasa hidup selaras dan bersahabat
dengan lingkungan sekitarnya. Mereka akan merawat atau menjaga lingkungan
seperti mereka menjaga dan merawat rumah tangganya. Sehingga manusia dan alam bukan
lagi dipandang sebagai kubu yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan keluarga
ekologi yang saling berhubungan dan membutuhkan.
Konsep etika tersebut pertama kali
dicetuskan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun
1973 melalui artikelnya yang terkenal "The Shallow and the Deep, Long
range Ecological Movement: A Summary". Dalam karyanya itu Naess membedakan
istilah shallow ecological movement
dan deep ecological movement.
Deep ecology menunjukkan sebuah etika moral yang
tidak berpusat pada manusia, melainkan pada makhluk hidup secara keseluruhan
dalam kaitannya dengan mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menarik
adalah bahwa manusia bukan lagi sebagai pusat dari segalanya. Manusia hanya
bagian dari ekosistem yang bersama dengan anggota ekosistem lain perlu untuk
menjaga keseimbangan lingkungan dari kerusakan. Inilah akar konsep etika ecosophy.
Sedangkan shallow
ecology adalah lawan dari etika ecosophy,
yang merupakan reduksi dari filsafat antroposentrisme yang terbukti merusak
keseimbangan antara semua penghuni ekologi.
Karena dasar tersebut, ecosophy merupakan
jalan keluar yang tepat untuk mengatasi krisis lingkungan global yang terjadi
dewasa ini. Untuk selalu diingat, manusia sejak awal peradabannya telah
memiliki hubungan sosial-emosional yang kuat dengan lingkungannya, bukan
sekedar hubungan subjek-objek yang eksploitatif. Artinya, manusia telah
memiliki nilai tersebut dalam jiwanya, namun terselubung akibat tekanan
sosio-ekonomi yang menuntut manusia untuk lebih memilih memuaskan nafsunya:
eksploitasi.
Strategi yang tepat untuk membangun
kembali (baca: revitalisasi) etika ecosophy yang sempat mati, adalah
dengan menghidupkan dan melestarikan pola kehidupan masyarakat adat
untuk senantiasa menjalin harmonisitas antara manusia dan lingkungannya. Dengan kembali kepada nilai-nilai
holistik itu, mewujudkan harmonitas ekologis adalah nyata Seperti yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi.[4]
CLOSING STATEMENT
Menjaga
lingkungan serta menjalin hubungan yang harmonis dengan alam merupakan tugas
kita semua sebagai umat manusia yang menghamba pada satu Tuhan yang sama: Tuhan
Semesta Alam.
Membangun
etika lingkungan nampaknya berkaitan dengan pola hidup masyarakat, serta budaya
yang selama ini direngkuhnya. Oleh karena itu dengan ecosophy diharpakan
dapat menggeser nilai dan budaya antroposhentris yang selama ini melingkupi
pola hidup masyarakat sehingga berimbas pada pencidraan lingkungan dan berujung
pada degradasi iklim dunia.
Disinilah
perubahan dari pola hidup manusia harus benar-benar dimualai agar mewujudkan harmonitas ekologis adalah
nyata Seperti yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi. Selain itu, sebagai ciptaan
Tuhan kita telah diperintahkan untuk menjaga Hablum minallah (hubungan dengan Alloh)
hablummiannas (hubungan sesama) dan yang terakhir Hablumm minal alam (hubungan
dengan alam) yang terjalin dan berkelindan secara serasi dan seimbang
dengan kata lain, kita wajib menjaga lingkungan dan memperlakukannya secara
etis sesuai anjuran agama.
DAFTAR BACAAN
Abdillah, Mujiyono. 2006. Rekonstruksi Teologi
Lingkungan dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Jurnal Innovatio, Vol. 5,
No. 10. Edisi Juli-Desember 2006.
Keraf,
Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Koran Kompas
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. PT
Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kurniati, Metty. 1996. Prinsip-Prinsip Dasar
Ekologi: Kaidah Ekologi dan Penerapannya. PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Lubis, Ridwan. 2005. Menelusuri Kearifan Lokal di
Bumi Nusantara. Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama RI
Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan
lokal, dalam Ibda’, Jurnal Studi Islam dan Budaya. P3M STAIN Purwokerto.
Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for
Beginner. Penerbit O2, Yogyakarta.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1995. Psikologi
Lingkungan. PT. Grasindo, Jakarta.
Suparlan, Parsudi (editor). 1996. Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungannya. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Supriatna, Nana. 2006. Sejarah untuk Kelas XII
Sekolah Menegah Atas Program Ilmu Pengetahuan Alam. Grafindo Media Pratama,
Jakarta.
Sutikno. 2004. Prediksi
Tradisional dan Modern Terhadap Cuaca dan Iklim. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana / S3, Institut
Pertanian Bogor.
[1] Kompas. Jumat, 6 Agustus 2010
[2] Kompas. Senin, 25 Januari 2010
[3]
A. Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta. Hal: 33.
[4]
Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di
langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul
yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Yunus :101)
Yang lebih penting lagi dari hal-hal yang
telah disebutkan diatas, bahwa alam diciptakan adalah sebagai tanda (ayat) atas
ke Maha Kuasaan dan belas kasih Allah. Fungsi utama penciptan alam ini
perlu ditegaskan karena sebagian manusia melengahkan bahkan mengingkari peran Allah
dalam penciptaan alam. Mereka berpandangan bahwa alam ini terjadi karena
sebab-sebab yang tersendiri, secara alamiah dan tidak ada campur tangan Allah.
Mereka lupa bahwa tanpa sebab-sebab “yang lebih tinggi” sebab-sebab alamiah
dalam proses pembentukan dan perkembangan alam tidak akan pernah
ada. Alam semesta ini akan hilang apabila “diletakkan” disisi Tuhan,
karena tak ada sesuatu apapun yang mempunyai jaminan yang “inherent” untuk ada (eksis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar