Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Rabu, 22 Februari 2012

puisi


Sajak- Sajak Cinung Azizy 

Tentang Laki-Laki dan Mawarnya

Rembulan masih berjaga
meski muram dilapis awan setengah malam
tapi rembulan di wajahmu telah berubah ungu
apalagi saat kau ceritakan tentang satu kembang
yang katamu punya duri, tapi mewangi dan menjelma bidadari
di istana hatimu yang penuh rembulan ungu juga

tiba-tiba rembulan yang pernah kau bagi dengan mataku redup
dan berlari bersama lapis awan,
kau terus bercerita,
dengan kilau matamu, senyum yang kau pahat semakin indah
bahkan suaramupun semakin mendesah
mengajaku berlari ketaman kembang yang menjelma bidadari
“Itulah mawar hidupku” ucapmu
Aku pun tersenyum dan rela menghujaninya
agar tetap merona dan mewangi di istanamu
Seperti Melati

Memandangi pelangi yang warna-warni
aku kini menjadi serupa melati yang paling putih
tak tergoyahkan canda tawa dunia yang morgana
terus mencari matahari dalam diri
... yang akan terangiku dalam bayang-bayang semu

tapi sepi menyodorkan kesempitan langit
bagi perempuan lajang penuh impian panjang
terus menggapai-gapai dan berharap sampai
semoga sesuai badai , angin lembut itu datang membelai
memberi kesegaran kembang melati bermekaran dan tak terbantahk
an
Jejakmu yang tipis
jejakmu yang tipis
di hapus lembab embun
tapi jejakmu yang tipis telah mengembun dalam hatiku
hingga menetes dan aku kehilanganmu
Selembar Surat
Telah kukirim selembar surat pada sungai di hatimu
dengarlah gemercik suaranya ketika angin membacakannya.
Telah kukirim sebuah perahu sarat muatan rindu padamu
debarlah diriku mewakilkan kata-kata tak terucapkan
Aku dalam Engkau
Andai aku dalam engkau
Engkau dalam aku
Adakah begini jadinya?
Aku ranting engkau burung merpati

Aku dan engkau berlainan
Engkau terbang ,aku mendiam
Cahaya halus tinggi mengawang menemanimu
Aku hanya bisa menaung dunia

Dibawah teduh engkau tersenyum
Mengepakan sayap dan hendak berlarian bersama awan
Hati yang Lusuh


Memancang  indah pribadi yang utuh
Yang tidak luluh dalam angin gemuruh
Ya, aduhai siapa tahu
Betapa lusuh
Hati yang tak pernah terbasuh

Layu bunga dalam taman hati itu,
Bunga tanpa musim semi
Di sini hati durhaka menikam surge
Berkali-kali
Bahkan memahat bumi




Hidungmu yang Surga

Kucuri aromamu dalam tiap detak nadi
Mewangi bagai di ranjang cinta
Ingin ku cecap dan kunikmati sendiri
Tapi kau memang surga
Yang siapapun bisa di sana

Tapi, tak dapat dipungkiri
Hanya udara yang sepuasnya mengulumu
Aku ingin menjelmanya,
Agar pagi, siang dan yang malam
Kucecap engkau hingga berubah warna
Senyum Berlian

Taksi meluncur bersuara lembut
Menuju pantai dekat hatimu
Awan berenang cahaya bulan
Sekelebat kulihat kau berdiri di tepian pantai itu
Memasang senyum berlian

Sedang di tengah kota
Aku melihat wajah-wajah yang serupa kamu
Berbedak tebal dan terkadang memakai topeng
Aku terduduk memandangnya
Lalu pergi ingin kembali menuju pantai
Dan merengkuh senyum berlianmu
Engkau telah menghilang


Nyanyian Hujan

Aku adalah bulir-bulir perak bergalur
yang diturunkan dari surga
oleh dewa-dewa
untuk bermain bersama lembah dan daun-daun
katanya ketika aku datang mereka bahagia dan segar

Aku mutiara yang cantik,
yang direnggut dari mahkota istar
oleh anak perempuan fajar
untuk menghiasi kebun-kebun hatinya

ketika aku menangis kebun-kebun akan tertawa
ketika aku terduduk
kembang-kembang akan melagu suka

ladang dan awan adalah para pecinta
dan diantara mereka aku adalah serupa malaikat
pembawa pesan
dan pemuas dahaga cinta


Waktu Rindu

Dan,
Sekarang kapal  rindu memasuki pelabuhan
Mencapai dinding laut
Lalu akan menuju pulau kelahirannya
Dan berdiri sekali lagi di antara para dayangnya

Mereka hening menanti kata-kata
Tetapi dia tidak menjawab tetap saja melagu rindu
hatinya sedikit bergumam
“sudahkah kukatakan aku akan bernyanyi bersama mata yang pernah kutemui di ujung berlayarku”
Tetap saja dia tidak bisa membuka bibirnya
Untuk mendawaikan nyanyian kehidupan

Kemudian angin dan riak air yang selalu bermain bersamanya
Berbicara dan berkata,
“ satu tahun sudah ia sembunykian wajahnya dari kami dan ia persembahkan untuk mata yang ia temui di ujung berlayarnya”


Tentang Arif Hidayat

Ia tetap melangkah
Meskipun hujan, demam
Dan harus diangkut oleh kereta lelah
Ia tetap baja
Meskipun detak jantungnya tinggal satu-satu

Di hatinya
Cahaya pijar dan dzikir
Selaras dengan suara air yang gerimis
Bumi pun jadi turut
Oleh langkah dan peluh
Yang diumumkan burung-burung di atap rumahnya

“malam kelam adalah jalan”
Katanya dengan suara parau basah
Sambil mengukir jejak pada selembar kertas


Desah Aku yang Resah

Di langt malam
Kulihat orang-orang membuang cinta
Ke tong sampah dan jalan-jalan yang basah
Dan setiap pagi-pagi sekali
Akupun melihat tukang sapu
Dan penjajak gerobak sampah memungutnya

Jika pucuk malam telah kembali
Aku mulai ditawar resah
Hasrat menyemai cinta
Di tawar luka
Kelelawar malam

Ingin Memetik Mawar

Dan ku ulangi lagi kata-kata itu
“aku ingin memetik mawar”
Tapi yang kudapat hanya puisi
Menghujani setiap celah tangkup mawar itu

Aku ingin mengajari diriku sendiri
Karena aku merindukan bunga mawar
Di antar kerikil-kerikil tajam an bebatuan

Tapi mengapa selalu puisi
Yang menghujani dan mentes menggarami luka
Dan aku semakin tahu
Bahwa puisi itu tak pernah jadi
Seperti tanganku
Yang malah tertusuk duri di rantingnya












Rasa yang Turun

Langit-langit me-luka
Ada garis-garis berbentuk
Se-mirip kepala bidadari tak bertubuh
Ikan duyung sedang menangis
Juga karikatur tak bermakna

Perlahan kelam lalu berubah hujan
Hujan tak biasa.
Hujan yang tak basah di kulit.
Hujan tak menjelma jadi titik air
Hujan yang terlihat seperti bulir-bulir mungil lalu menghilang
Musim hujan yang tak lagi dingin

Karena yang turun bukanlah titik air
Tapi rasa dari janin sungsang
Yang lahir ke bumi
Dan tercecer di pinggir pantai hatimu

Lintang di Sudut Jogja
Di sudut kota keraton itu,
Ku lihat engkau bertaburan di antara sejuta lintang yang serupa
Tapi engkau berbeda
Bersinar terang dan bisa bersahabat dengan hujan
Ingin kupetik sinarmu
Lalu kusemaikan dalam janinku
Agar ketika ia lahir nanti
Terang dan menjelma sepertimu

Tapi saat kujulurkan tanganku
Engkau lari bersembunyi di balik bulan yang katamu lebih terang

Album Masa Lalu

Aku buka album berpuluh malam
Seperti pengembara yang kehilangan arah,
Atau entah hujan yang turun tiba-tiba
Tapi tak ada becek yang bisa kujadikan jejak

Gambar-gambar bening yang tak berlatar
Bermain dengan musimnya sendiri-sendiri

Jika kau bertanya dari mana ku memulai
Aku tak tahu dimana kamera itu merekam pertama kali
Bunyipun hanya degup dada sendiri
Seperti derap hujan deras yang begitu cepat meninggalkan langkah

Tapi bukankah degup itu menyimpan batas
Yang tercacah oleh waktu semakin berlarian
Album kututup album yang semakin lusuh
Jika kau bertanya
Kapan aku mengakhiri
Tak tahu dimana titik itu akan mengakhiri,
Karena hidupku serupa koma,





Episode Burung Malam

aku tumbuh menjadi kepingan daun masa lalu
tak ada kabar, kau sulam di mana
jahitan penderitaan itu,
dalam bungkusan kado yang kau terbangkan bersama kepakan sayap malam
cerita angin malam tiap jengkal rembulan
kupahami sepanjang kerinduan
di atas tungku kehidupan
seandainya tak ada kabar,
tak perlu ada gerimis atau hujan deras yang hanya datang tiba-tiba
hanya sebentar
lalu datang burung-burung berkepak malam
membawa bungkusan itu lagi,
yang kau bungkus dan rapihkan dengan tanganmu sendiri
walau belum usai































Tubuhku yang terjauh
Aku pencinta wajah yang pernah datang dan hilang
meninggalkan untaian manik cahaya
seperti Jachk bagi Roose yang nestapa
aku mengendap dalam keluhan dukalaramu,
Dalam itu hanya kudengar
desir angin
yang selalu pergi
Sambil berkata " Kunjungilah negeri dalam tubuhku yang terjauh"

 Membaca Wangi Pusara

Kepada para pahlawan yang telah kami lukai

Setelah engkau tinggalkan,
Darah menguap saja di pasir-pasir dan batu-batu

 lalu menjauh dari matahari,
Hingga terbaca wajah  nisan yang bercerita
Pada rumput kedinginan,
Dan pada daun,
Setelah engkau tinggalkan  sisa-sia riwayat mereka yang tak bersih
Terkubur dalam  kesunyian kota.






Menyulam Cinta

Engkau mengajariku menyulam dari lapisan kata-kata
Jadi jubah dan kemeja menjelang kepulangan air mataku
Di ujung malam hingga fajar yang mengetuk
Mimpi menjadi debu yang berserakan
Menempel tembok bahkan berlari kepilipis matamu

Jika aku menerima kematian ini menjadi penyair
Akulah pemimpi itu,
Di antara ranting-ranting kehidupan yang patah,

Odi,  yang Kelaparan

Kulihat Odi tengah memandangi butir-butir pasir,
Lalu kumendekatinya, seraya bertanya,
“Mengapa kamu di sini seperti semut yang menikmati ketiak taqdir?”
“Bukankah, Kita memang sebutir pasir, berserakan dan diinjak-injak?”
Jawabnya agak menyindir, yang disambut daun-daun bergetar
Dan berdzikir,
Sambil menumpahkan kesejukannya bagi muka Odi yang murung,
Lalu, ia sedikit menggumam,
Lihatlah, matahari yang tengah merajai hari,
Ia semakin memperjelas tebing-tebing yang curam
Seperti jarum yang mereka suguhkan tak pernah lelah
Menyayat perut-perut




Kupu-Kupu

Andai aku dapat memilih,
Ingin  aku bersayap dan berwarna seperti kupu-kupu
Senyumnya  tak sedikitpun menanggung kilauan embun empedu
Sedangkan sungai yang mengalir dalam diriku hanya parau
dan seringkali mengering
hingga aku tak mampu meminum airnya
dan dahaga yang aku ciptakan sendiri
untuk mengalirkan nayawa dari tenggorokan.

Hantu Masa Lalu
Aku dan kamu telah menyerah pada tidur,
Lelah dan letih
tak lagi mau berubah menjadi kereta
 yang berlari menuju  mimpi, sayangku.
   Terbungkuk-bungkuk di bawah beban
Dan jalan curam melemahkan lutut
Mataku dan matamu
di atas ranjang

Aku Ingin Mengajakmu
Fa,
Aku ingin mengajakmu berjalan di tengah perbukitan
Karena salju memutihkan cinta
Dan kehidupan telah bangun dari tidur nyenyaknya
Kini  tengah berkelana serta berlarian
 di antara bukit dan lembah
jejak langkah musim semi menuju tempat
yang terpencil
dan mendaki sampai pucak bukit
di atas dataran hijau yang dingin

Yang tak Sampai
belum sampaikah padamu?
sebuah kolosal dari jantungku
saat kuremas detaknya
dengan sedih telapak tanganku sendiri
itu untukmu
perankanlah jika sempat

Lagu Keberuntungan
Engkau dan aku adalah kekasih hati
Dia mengidamkanku dan aku merindukannya
Tetapi! Aduh, diantara aku dan kamu
telah hadir pesaing yang membawakan penderitaan
dia kejam dan menuntut,
menyajikan daya pikat kosong
dia mengikuti kemanapun aku dan kamu pergi
dan mengawasi seperti seorang pengawal, membawa
keresahan bagi cintaku

aku mencarimu di dalam hutan, di bawah pepohonan,
di sekitar danau-danau,
aku tidak bisa menemukanmu,
karena ia telah merasukimu menuju keramaian kota
dan menempatkanmu di atas singgasana gemerincing emas permata
aku memanggilmu dengan suara  kenangan
tapi kamu tidak mendengarku
karena ia telah memikatmu ke dalam ruang bawah tanah
keegoisan, tempat tinggal keserakahan

Penjara
Bila tatapku kau kurung serapat ini
Jangan marah bila matamu kusebut penjara
Karena kutahu pasti kau yang seperti ini,
Hingga kedepan dan seterusnya
Cinta mula-mula kau anggap keputusan hukum bagiku

Tinta

Aku selalu rindu menyamar tinta, menanti jemarimu menyentuh
dan meninggalkan sepenggal harapan
pun tanganmu yang lincah, jua mengajaku mengukir
sejuta asamu, yang kau titipkan dalam jantung sungsangku

aku selalu rindu menyamar menjadi kertas
yang selalu menyimpan taburan senyumu,

habis-habisan kubentukn tubuhku serupa tinta
bahkan bersusah menjadi kertas
meski sekujur tubuhku lusuh
tetap menjadi krinduan yang terpenjara




“Fa”
Fa,
Aku letakan hatimu di atas tanganku
Dan di atas tangan-tangan para pendo’a
Yang merangkai syair-syair suci,



Air Mata Hujan
Keliaran nasib menyesak dalam sunyi
Pun telah berpisah dengan keriangan
Dan mengembara
Di sudut-sudut jalan hingga atap-atap
Menjadi seperti seekor nyamuk tak diharapkan
Taqdirku,
Hingga ketika aku datang,
Tertutup semua pintu bahkan jendela, seolah
Aku tak berharga, hanya menetes sunyi batin lara
Di ujung senja, di ambang jendela kamarmu

Terasing dalam Tatapmu
Langkah Berpendar cahaya
Kutuju pintu-pintu dan jendelamu
“adakah rindu seringan udara yang tak berpalang?”
Ah, terasing rasanya





Di Sudut  Bogor
Di sudut bogor itu,
Aku menemukanmu yang sedang memeluk jiwa sunyi
Lalu bergantian memeluk ruh-ruh malam
Melamun berjalan sendiri
Dalam penat, dalam sepi
Merobek kegelapan
Jiwaku lapar, lalu menghampiri dan ingin menyapa sepimu
Siapa tahu aku mampu mengunyah sendirimu dan menelan sepimu
Dalam keheningan perkasa,

Dunia dalam Hatimu
Dunia yang kau sebut semakin jauh,
Setiap hari, bertaman indah, menjanjikan kemerahan
Dunia yang kau sebut semakin jauh,
dalam hatimu
Serupa kupu-kupu berterbangan, menari bersama angin
hingga tak perlu lagi aku bersusah datang,


dan Malam.,
dan malam datang,
menyapa pada anak-anak kantuknya
kuburkan aku dalam balutan harapannya,
jika fajar tiba esok, aku masih dalam keinginannya,
walau tidak nyata inginku dan inginmu,




Hati yang Telanjang

Ini janin untukmu dari rahim kejujuran
Mengapa tak kau biarkan ia tumbuh hingga dewasa,
Agar tak sampai hatimu dan telingamu
yang kau sediakan untuk janin yang telah kau titipkan selain aku




Terasing
Langkah yang seringan bayu
Berpendar cahaya dada yang lapang
Teringat beberapa tahun silam
Ketika aku baru datang
Terlahir
Dari sunyi hutan-hutan purba
Dibesarkan
oleh gemericik air dikali waktu belajar alif, ba, ta, sa, hingga sembahyang
dari ladang-ladang dan hamparan persawahan
dan segalanya telah lenyap,
mengembara di lorong-lorong jiwaku,

ada rindu seringan bayu dalam dada yang telanjang
ah, terasa asing rasanya diri,
setelah disisih-risihkan karena tak punya nyala api,
saat aku pulang dari negeri sebrang



Tuhan Harapan
Pandangan kabur diterbangkan debu
Mengangkang, ditentang dan terbuang
Kegetiran hati yang mendera diri
Mengetuk di pintu, lalu berlari menjauh dari kenyataan,
Jalan-jalan dan kerikil berbatu
Menawarkan luka dan kematian.

Hingga saat itu, kesepakatan
mengganti tuhan
dengan sebuh hamparan dan harapan padi yang semakin menguning,
sebab yang kami punyai hanya otot dan lengan\
serta dada yang berpura lapang
hingga akan terus setia menyembah tuhan,
pada sawah-sawah, ladang, dan juga kelelahan
bersama peluh membajak, menyiangi dan merawatnya

namun itu hanya tinggal harapan
yang tak mampu menuai gemerlapnya cahaya
karena semakin menguning akan semakin jauh dari pelukan kami para penyembah tuhan,
dan lari kenegri sebrang bersama kapal-kapal di lautan


Nyanyian Anak Sekolah Pinggiran

Matahari dan rembulan selah berebut untuk bersarang di kepalnya
Jika pagi tiba, ia bertahtakan harapan yang bersinar
Namun jika malam datang
Berpuluh-puluh mimpi datang menghampiri
dengan samar-samar lampu berukuran lima watt

jika hari telah berganti,
ditentangnya jalan lapang di hadapan,
bahkan tak peduli dengan tamparan hujan
yang setia mengantarkan langkah kakinya
kembali kepembaringan dengan mata kosong

ruwet anak sekolah anak pinggiran
berbadan hampa
merajut masa depan beribu impian
bertambah jauh dari kemajuan
dan,
berbekal atap disana-sini bocor,
lantai dan pagar yang semakin pudar warnanya


Embun di Cilacap

Mesti ada yang harus kita tinggalkan
Selain harapan,
Yang telah menjadi nama
dan rangkuman perjalanan,
sebab,,
aku dan engkau hanya embun
yang sebentar lagi sirna diterpa angin




Lampu Merah Jln Dokter Angka
Bocah-Bocah  kecil basah kuyup
Menahan dingin tanpa setangkup jaket bahkan selembar jas Hujan
Di simpang jalan Dokter Angka
Di bawah lampu merah
Menunggu kantong-kantong terisi koin-koin pengantar pulang
menunggu pembeli jajakan Koran

Bocah-Bocah kecil Murung menghitung koin sekedar recehan
Bocah-bocah kecil murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya menghampiri pulang
Bocah-bocah  sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Bocah –bocah  sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal














Ghani0369





BIODATA PENULIS


· Cinung Azizy yang bernama lengkap Siti Nur Azizah, lahir di Cilacap, 19 September 1991, adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Karyanya terantologikan dalam Antologi Cerpen Lelaki yang Dibeli (STAIN Press, 2011), Antologi Puisi Pilar Penyair (Obsesi Press, 2011) Beberapa karyanya (cerpen remaja dan cerita anak, esai) pernah dimuat di beberapa media seperti Tabloid Poin, Majalah An-Nur, Majalah Mayara, Soloposs, Radar Banyumas, Majalah Misykat.
Menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional dalam bidang Ekonomi 2011 yang diadakan di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Juara 2 Lomba Esai Tingkat Nasional dengan Tema, Konservasi Lingkungan Berbasis Qur,ani  yang diadakan di Universitas Jenderal Soedirman 2011, Juara 3 Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam Tingkat Nasional di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Juara Harapan I LKT Ekonomi Syariah Tingkat Nasional Secment 3rd 2010 di Universitas Negeri Semarang, serta Juara Harapan II Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Jawa tentang Kearifan Lokal 2010 di Universitas Sebelas Maret Surakarta.  Masuk 5 Besar dalam Lomba Cerpen Himakom se Banyumas di UNSOED. Masuk dalam 10 Besar Lomba Esai Ekonomi Islam Tingkat Nasional di Akademi Perusahaan Jakarta
 Kini aktif menjadi penghuni RUMAH AJAIB, komunitas penulis dan peneliti sastra dan dunia anak di Purwokerto. Komunitas Pilar Penyair, Serta tergabung dalam sekolah kepenulisan di STAIN Purwokerto dan KSEI (Komunitas Study  Ekonomi Islam) di STAIN Purwokerto.
Alamat                        Desa Jakatawa, Bulaksari,
Kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap 53254
Email               : Cinung_Azizy@yahoo.com
Hp                   : 089665560077
No. Rek           : 6673 Unit Bantarsari Ciilacap
                                    6673-01-007818-53-4
                                    Atas nama Siti Nur Azizah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar