Sajak- Sajak
Cinung Azizy
Tentang Laki-Laki dan Mawarnya
Rembulan masih berjaga
meski muram dilapis awan setengah malam
tapi rembulan di
wajahmu telah berubah ungu
apalagi saat kau
ceritakan tentang satu kembang
yang katamu
punya duri, tapi mewangi dan menjelma bidadari
di istana hatimu
yang penuh rembulan ungu juga
tiba-tiba
rembulan yang pernah kau bagi dengan mataku redup
dan berlari
bersama lapis awan,
kau terus
bercerita,
dengan kilau
matamu, senyum yang kau pahat semakin indah
bahkan suaramupun
semakin mendesah
mengajaku
berlari ketaman kembang yang menjelma bidadari
“Itulah mawar
hidupku” ucapmu
Aku pun
tersenyum dan rela menghujaninya
agar tetap
merona dan mewangi di istanamu
... yang akan
terangiku dalam bayang-bayang semu
tapi sepi menyodorkan kesempitan langit
bagi perempuan lajang penuh impian panjang
terus menggapai-gapai dan berharap sampai
semoga sesuai badai , angin lembut itu datang
membelai
memberi kesegaran kembang melati bermekaran dan tak
terbantahkan
Jejakmu yang tipis
Aku dalam
Engkau
Andai aku dalam engkau
Engkau dalam aku
Adakah begini jadinya?
Aku ranting engkau burung merpati
Aku dan engkau berlainan
Engkau terbang ,aku mendiam
Cahaya halus tinggi mengawang menemanimu
Aku hanya bisa menaung dunia
Dibawah teduh engkau tersenyum
Mengepakan sayap dan hendak berlarian bersama
awan
Hati yang
Lusuh
Memancang
indah pribadi yang utuh
Yang tidak luluh dalam angin gemuruh
Ya, aduhai siapa tahu
Betapa lusuh
Hati yang tak pernah terbasuh
Layu bunga dalam taman hati itu,
Bunga tanpa musim semi
Di sini hati durhaka menikam surge
Berkali-kali
Bahkan memahat bumi
Hidungmu yang
Surga
Kucuri aromamu dalam tiap detak nadi
Mewangi bagai di ranjang cinta
Ingin ku cecap dan kunikmati sendiri
Tapi kau memang surga
Yang siapapun bisa di sana
Tapi, tak dapat dipungkiri
Hanya udara yang sepuasnya mengulumu
Aku ingin menjelmanya,
Agar pagi, siang dan yang malam
Kucecap engkau hingga berubah warna
Senyum
Berlian
Taksi meluncur bersuara lembut
Menuju pantai dekat hatimu
Awan berenang cahaya bulan
Sekelebat kulihat kau berdiri di tepian
pantai itu
Memasang senyum berlian
Sedang di tengah kota
Aku melihat wajah-wajah yang serupa kamu
Berbedak tebal dan terkadang memakai topeng
Aku terduduk memandangnya
Lalu pergi ingin kembali menuju pantai
Dan merengkuh senyum berlianmu
Engkau telah menghilang
Nyanyian
Hujan
Aku adalah bulir-bulir perak bergalur
yang diturunkan dari surga
oleh dewa-dewa
untuk bermain bersama lembah dan daun-daun
katanya ketika aku datang mereka bahagia dan
segar
Aku mutiara yang cantik,
yang direnggut dari mahkota istar
oleh anak perempuan fajar
untuk menghiasi kebun-kebun hatinya
ketika aku menangis kebun-kebun akan tertawa
ketika aku terduduk
kembang-kembang akan melagu suka
ladang dan awan adalah para pecinta
dan diantara mereka aku adalah serupa
malaikat
pembawa pesan
dan pemuas dahaga cinta
Waktu Rindu
Dan,
Sekarang kapal rindu memasuki pelabuhan
Mencapai dinding laut
Lalu akan menuju pulau kelahirannya
Dan berdiri sekali lagi di antara para
dayangnya
Mereka hening menanti kata-kata
Tetapi dia tidak menjawab tetap saja melagu
rindu
hatinya sedikit bergumam
“sudahkah kukatakan aku akan bernyanyi
bersama mata yang pernah kutemui di ujung berlayarku”
Tetap saja dia tidak bisa membuka bibirnya
Untuk mendawaikan nyanyian kehidupan
Kemudian angin dan riak air yang selalu
bermain bersamanya
Berbicara dan berkata,
“ satu tahun sudah ia sembunykian wajahnya
dari kami dan ia persembahkan untuk mata yang ia temui di ujung berlayarnya”
Tentang Arif
Hidayat
Ia tetap melangkah
Meskipun hujan, demam
Dan harus diangkut oleh kereta lelah
Ia tetap baja
Meskipun detak jantungnya tinggal satu-satu
Di hatinya
Cahaya pijar dan dzikir
Selaras dengan suara air yang gerimis
Bumi pun jadi turut
Oleh langkah dan peluh
Yang diumumkan burung-burung di atap rumahnya
“malam kelam adalah jalan”
Katanya dengan suara parau basah
Sambil mengukir jejak pada selembar kertas
Desah Aku
yang Resah
Di langt malam
Kulihat orang-orang membuang cinta
Ke tong sampah dan jalan-jalan yang basah
Dan setiap pagi-pagi sekali
Akupun melihat tukang sapu
Dan penjajak gerobak sampah memungutnya
Jika pucuk malam telah kembali
Aku mulai ditawar resah
Hasrat menyemai cinta
Di tawar luka
Kelelawar malam
Ingin Memetik
Mawar
Dan ku ulangi lagi kata-kata itu
“aku ingin memetik mawar”
Tapi yang kudapat hanya puisi
Menghujani setiap celah tangkup mawar itu
Aku ingin mengajari diriku sendiri
Karena aku merindukan bunga mawar
Di antar kerikil-kerikil tajam an bebatuan
Tapi mengapa selalu puisi
Yang menghujani dan mentes menggarami luka
Dan aku semakin tahu
Bahwa puisi itu tak pernah jadi
Seperti tanganku
Yang malah tertusuk duri di rantingnya
Rasa yang Turun
Langit-langit
me-luka
Ada
garis-garis berbentuk
Se-mirip
kepala bidadari tak bertubuh
Ikan
duyung sedang menangis
Juga
karikatur tak bermakna
Perlahan
kelam lalu berubah hujan
Hujan tak
biasa.
Hujan
yang tak basah di kulit.
Hujan tak
menjelma jadi titik air
Hujan
yang terlihat seperti bulir-bulir mungil lalu menghilang
Musim
hujan yang tak lagi dingin
Karena
yang turun bukanlah titik air
Tapi rasa
dari janin sungsang
Yang
lahir ke bumi
Dan
tercecer di pinggir pantai hatimu
Lintang di Sudut Jogja
Di sudut
kota keraton itu,
Ku lihat
engkau bertaburan di antara sejuta lintang yang serupa
Tapi
engkau berbeda
Bersinar
terang dan bisa bersahabat dengan hujan
Ingin
kupetik sinarmu
Lalu
kusemaikan dalam janinku
Agar
ketika ia lahir nanti
Terang
dan menjelma sepertimu
Tapi saat
kujulurkan tanganku
Engkau
lari bersembunyi di balik bulan yang katamu lebih terang
Album Masa Lalu
Aku buka
album berpuluh malam
Seperti
pengembara yang kehilangan arah,
Atau
entah hujan yang turun tiba-tiba
Tapi tak
ada becek yang bisa kujadikan jejak
Gambar-gambar
bening yang tak berlatar
Bermain
dengan musimnya sendiri-sendiri
Jika kau
bertanya dari mana ku memulai
Aku tak
tahu dimana kamera itu merekam pertama kali
Bunyipun
hanya degup dada sendiri
Seperti
derap hujan deras yang begitu cepat meninggalkan langkah
Tapi bukankah
degup itu menyimpan batas
Yang
tercacah oleh waktu semakin berlarian
Album
kututup album yang semakin lusuh
Jika kau
bertanya
Kapan aku
mengakhiri
Tak tahu
dimana titik itu akan mengakhiri,
Karena
hidupku serupa koma,
Episode Burung Malam
aku
tumbuh menjadi kepingan daun masa lalu
tak ada
kabar, kau sulam di mana
jahitan
penderitaan itu,
dalam
bungkusan kado yang kau terbangkan bersama kepakan sayap malam
cerita
angin malam tiap jengkal rembulan
kupahami
sepanjang kerinduan
di atas
tungku kehidupan
seandainya
tak ada kabar,
tak perlu
ada gerimis atau hujan deras yang hanya datang tiba-tiba
hanya
sebentar
lalu
datang burung-burung berkepak malam
membawa
bungkusan itu lagi,
yang kau
bungkus dan rapihkan dengan tanganmu sendiri
walau
belum usai
Tubuhku yang terjauh
Aku pencinta wajah yang
pernah datang dan hilang
meninggalkan untaian manik cahaya
seperti Jachk bagi Roose yang nestapa
aku mengendap dalam keluhan dukalaramu,
meninggalkan untaian manik cahaya
seperti Jachk bagi Roose yang nestapa
aku mengendap dalam keluhan dukalaramu,
Dalam
itu hanya kudengar
desir anginyang selalu pergi
desir anginyang selalu pergi
Sambil
berkata
" Kunjungilah negeri dalam tubuhku yang terjauh"
Membaca Wangi Pusara
Kepada para pahlawan yang telah kami
lukai
Setelah engkau tinggalkan,
Darah menguap
saja di pasir-pasir dan batu-batu
lalu menjauh dari matahari,
Hingga terbaca
wajah nisan yang bercerita
Pada rumput
kedinginan,
Dan pada daun,
Setelah engkau tinggalkan sisa-sia riwayat mereka yang tak bersih
Terkubur dalam kesunyian kota.
Menyulam Cinta
Engkau mengajariku menyulam dari lapisan kata-kata
Jadi jubah dan kemeja menjelang kepulangan air mataku
Di ujung malam hingga fajar yang mengetuk
Mimpi menjadi debu yang berserakan
Menempel tembok bahkan berlari kepilipis matamu
Jika aku menerima kematian ini menjadi penyair
Akulah pemimpi itu,
Di antara ranting-ranting kehidupan yang patah,
Odi,
yang Kelaparan
Kulihat Odi tengah memandangi butir-butir pasir,
Lalu kumendekatinya, seraya bertanya,
“Mengapa kamu di sini seperti semut yang menikmati ketiak taqdir?”
“Bukankah, Kita memang sebutir pasir, berserakan dan diinjak-injak?”
Jawabnya agak menyindir, yang disambut daun-daun bergetar
Dan berdzikir,
Sambil menumpahkan kesejukannya bagi muka Odi yang murung,
Lalu, ia sedikit menggumam,
Lihatlah, matahari yang tengah merajai hari,
Ia semakin memperjelas tebing-tebing yang curam
Seperti jarum yang mereka suguhkan tak pernah lelah
Menyayat perut-perut
Kupu-Kupu
Andai aku dapat memilih,
Ingin aku bersayap dan berwarna
seperti kupu-kupu
Senyumnya tak sedikitpun menanggung
kilauan embun empedu
Sedangkan sungai yang mengalir dalam diriku hanya parau
dan seringkali mengering
hingga aku tak mampu meminum airnya
dan dahaga yang aku ciptakan sendiri
untuk mengalirkan nayawa dari tenggorokan.
Hantu Masa Lalu
Aku dan kamu telah menyerah pada tidur,
Lelah dan letih
tak lagi mau berubah menjadi kereta
yang berlari menuju mimpi, sayangku.
Terbungkuk-bungkuk
di bawah beban
Dan jalan curam melemahkan lutut
Mataku dan matamu
di atas ranjang
Aku Ingin Mengajakmu
Fa,
Aku ingin mengajakmu berjalan di tengah perbukitan
Karena salju memutihkan cinta
Dan kehidupan telah bangun dari tidur nyenyaknya
Kini tengah berkelana serta
berlarian
di antara bukit dan lembah
jejak langkah musim semi menuju tempat
yang terpencil
dan mendaki sampai pucak bukit
di atas dataran hijau yang dingin
Yang tak Sampai
belum sampaikah padamu?
sebuah kolosal dari jantungku
saat kuremas detaknya
dengan sedih telapak tanganku sendiri
itu untukmu
perankanlah jika sempat
sebuah kolosal dari jantungku
saat kuremas detaknya
dengan sedih telapak tanganku sendiri
itu untukmu
perankanlah jika sempat
Lagu Keberuntungan
Engkau dan aku adalah kekasih hati
Dia mengidamkanku dan aku merindukannya
Tetapi! Aduh, diantara aku dan kamu
telah hadir pesaing yang membawakan penderitaan
dia kejam dan menuntut,
menyajikan daya pikat kosong
dia mengikuti kemanapun aku dan kamu pergi
dan mengawasi seperti seorang pengawal, membawa
keresahan bagi cintaku
aku mencarimu di dalam hutan, di bawah pepohonan,
di sekitar danau-danau,
aku tidak bisa menemukanmu,
karena ia telah merasukimu menuju keramaian kota
dan menempatkanmu di atas singgasana gemerincing emas permata
aku memanggilmu dengan suara
kenangan
tapi kamu tidak mendengarku
karena ia telah memikatmu ke dalam ruang bawah tanah
keegoisan, tempat tinggal keserakahan
Penjara
Bila tatapku kau kurung serapat ini
Jangan marah bila matamu kusebut penjara
Karena kutahu pasti kau yang seperti ini,
Hingga kedepan dan seterusnya
Cinta mula-mula kau anggap keputusan hukum bagiku
Tinta
Aku selalu rindu menyamar tinta, menanti jemarimu menyentuh
dan meninggalkan sepenggal harapan
pun tanganmu yang lincah, jua mengajaku mengukir
sejuta asamu, yang kau titipkan dalam jantung sungsangku
aku selalu rindu menyamar menjadi kertas
yang selalu menyimpan taburan senyumu,
habis-habisan kubentukn tubuhku serupa tinta
bahkan bersusah menjadi kertas
meski sekujur tubuhku lusuh
tetap menjadi krinduan yang terpenjara
“Fa”
Fa,
Aku letakan hatimu di atas tanganku
Dan di atas tangan-tangan para pendo’a
Yang merangkai syair-syair suci,
Air Mata Hujan
Keliaran nasib menyesak dalam sunyi
Pun telah berpisah dengan keriangan
Dan mengembara
Di sudut-sudut jalan hingga atap-atap
Menjadi seperti seekor nyamuk tak diharapkan
Taqdirku,
Hingga ketika aku datang,
Tertutup semua pintu bahkan jendela, seolah
Aku tak berharga, hanya menetes sunyi batin lara
Di ujung senja, di ambang jendela kamarmu
Terasing dalam Tatapmu
Langkah Berpendar cahaya
Kutuju pintu-pintu dan jendelamu
“adakah rindu seringan udara yang tak berpalang?”
Ah, terasing rasanya
Di Sudut Bogor
Di sudut bogor itu,
Aku menemukanmu yang sedang memeluk jiwa sunyi
Lalu bergantian memeluk ruh-ruh malam
Melamun berjalan sendiri
Dalam penat, dalam sepi
Merobek kegelapan
Jiwaku lapar, lalu menghampiri dan ingin menyapa sepimu
Siapa tahu aku mampu mengunyah sendirimu dan menelan sepimu
Dalam keheningan perkasa,
Dunia dalam Hatimu
Dunia yang kau sebut semakin jauh,
Setiap hari, bertaman indah, menjanjikan kemerahan
Dunia yang kau sebut semakin jauh,
dalam hatimu
Serupa kupu-kupu berterbangan, menari bersama angin
hingga tak perlu lagi aku bersusah datang,
dan Malam.,
dan malam datang,
menyapa pada anak-anak kantuknya
kuburkan aku dalam balutan harapannya,
jika fajar tiba esok, aku masih dalam keinginannya,
walau tidak nyata inginku dan inginmu,
Hati yang Telanjang
Ini janin untukmu dari rahim kejujuran
Mengapa tak kau biarkan ia tumbuh hingga dewasa,
Agar tak sampai hatimu dan telingamu
yang kau sediakan untuk janin yang telah kau titipkan selain aku
Terasing
Langkah yang seringan bayu
Berpendar cahaya dada yang lapang
Teringat beberapa tahun silam
Ketika aku baru datang
Terlahir
Dari sunyi hutan-hutan purba
Dibesarkan
oleh gemericik air dikali waktu belajar alif, ba,
ta, sa, hingga sembahyang
dari ladang-ladang dan hamparan persawahan
dan segalanya telah lenyap,
mengembara di lorong-lorong jiwaku,
ada rindu seringan bayu dalam dada yang telanjang
ah, terasa asing rasanya diri,
setelah disisih-risihkan karena tak punya nyala
api,
saat aku pulang dari negeri sebrang
Tuhan Harapan
Pandangan kabur diterbangkan debu
Mengangkang, ditentang dan terbuang
Kegetiran hati yang mendera diri
Mengetuk di pintu, lalu berlari menjauh dari
kenyataan,
Jalan-jalan dan kerikil berbatu
Menawarkan luka dan kematian.
Hingga saat itu, kesepakatan
mengganti tuhan
dengan sebuh hamparan dan harapan padi yang
semakin menguning,
sebab yang kami punyai hanya otot dan lengan\
serta dada yang berpura lapang
hingga akan terus setia menyembah tuhan,
pada sawah-sawah, ladang, dan juga kelelahan
bersama peluh membajak, menyiangi dan merawatnya
namun itu hanya tinggal harapan
yang tak mampu menuai gemerlapnya cahaya
karena semakin menguning akan semakin jauh dari
pelukan kami para penyembah tuhan,
dan lari kenegri sebrang bersama kapal-kapal di
lautan
Nyanyian Anak
Sekolah Pinggiran
Matahari dan rembulan selah berebut untuk
bersarang di kepalnya
Jika pagi tiba, ia bertahtakan harapan yang
bersinar
Namun jika malam datang
Berpuluh-puluh mimpi datang menghampiri
dengan samar-samar lampu berukuran lima watt
jika hari telah berganti,
ditentangnya jalan lapang di hadapan,
bahkan tak peduli dengan tamparan hujan
yang setia mengantarkan langkah kakinya
kembali kepembaringan dengan mata kosong
ruwet anak sekolah anak pinggiran
berbadan hampa
merajut masa depan beribu impian
bertambah jauh dari kemajuan
dan,
berbekal atap disana-sini bocor,
lantai dan pagar yang semakin pudar warnanya
Embun di Cilacap
Mesti ada yang harus kita tinggalkan
Selain harapan,
Yang telah menjadi nama
dan rangkuman perjalanan,
sebab,,
aku dan engkau hanya embun
yang sebentar lagi sirna diterpa angin
Lampu Merah
Jln Dokter Angka
Bocah-Bocah kecil basah kuyup
Menahan dingin
tanpa setangkup jaket bahkan selembar jas Hujan
Di simpang jalan
Dokter Angka
Di bawah lampu
merah
Menunggu
kantong-kantong terisi koin-koin pengantar pulang
menunggu pembeli
jajakan Koran
Bocah-Bocah kecil
Murung menghitung koin sekedar recehan
Bocah-bocah kecil
murung menghitung laba
Surat kabar sore
dijual malam
Selepas isya
menghampiri pulang
Bocah-bocah sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Bocah –bocah sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Bocah –bocah sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
BIODATA PENULIS
· Cinung Azizy
yang bernama lengkap Siti Nur Azizah, lahir di Cilacap, 19 September 1991, adalah Mahasiswa
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Karyanya terantologikan dalam Antologi Cerpen
Lelaki yang Dibeli (STAIN Press, 2011), Antologi Puisi Pilar Penyair (Obsesi
Press, 2011) Beberapa karyanya (cerpen remaja dan cerita
anak, esai) pernah dimuat di beberapa media seperti Tabloid Poin, Majalah An-Nur, Majalah
Mayara, Soloposs, Radar Banyumas, Majalah Misykat.
Menjadi
Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional dalam bidang
Ekonomi 2011 yang diadakan di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Juara 2 Lomba
Esai Tingkat Nasional dengan Tema, Konservasi Lingkungan Berbasis Qur,ani yang diadakan di Universitas Jenderal
Soedirman 2011, Juara 3 Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam Tingkat Nasional di
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Juara Harapan I LKT Ekonomi Syariah Tingkat
Nasional Secment 3rd 2010 di Universitas Negeri
Semarang, serta
Juara Harapan II Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Jawa tentang Kearifan Lokal 2010
di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Masuk 5 Besar dalam Lomba Cerpen Himakom se
Banyumas di UNSOED. Masuk dalam 10 Besar Lomba Esai Ekonomi Islam Tingkat
Nasional di Akademi Perusahaan Jakarta
Kini aktif menjadi penghuni RUMAH
AJAIB, komunitas penulis dan peneliti sastra dan dunia anak di Purwokerto. Komunitas Pilar
Penyair, Serta
tergabung dalam sekolah kepenulisan di STAIN Purwokerto dan KSEI (Komunitas
Study Ekonomi Islam) di STAIN Purwokerto.
Alamat Desa Jakatawa,
Bulaksari,
Kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap 53254
Email : Cinung_Azizy@yahoo.com
Hp :
089665560077
No.
Rek : 6673 Unit Bantarsari
Ciilacap
6673-01-007818-53-4
Atas
nama Siti Nur Azizah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar