Karya Tulis Ilmiah
Mendapat Juara 1 Tingkat Nasional
di Universitas Wahid Hasyim Semarang
Maret 2011
PEMBERDAYAAN EKONOMI PONDOK PESANTREN BERBASIS EKOPROTEKSI: REVITALISASI PEMIKIRAN WAHID HASYIM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sekaligus merupakan
pandangan hidup (view of life) yang mengatur semua kehidupan manusia
secara universal. Seluruh aspek kehidupan manusia tak lepas dari jangkauan dan
perhatian agama samawi terakhir ini. Bahkan tema seputar manusia tak
habis-habis dikupas dalam tebaran
ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Nabi. Dan dari tema manusia itulah berkembang
topik-topik lain yaitu: keimanan, keyakinan, kebutuhan sepiritualitas ketuhanan,
penciptaan asal, aturan dan petunjuk menjalankan ibadah., konsep filantropi,
biologi, kebudayaan, politik, ekonomi, konsep pertahanan dan keamanan, dan
sebagainnya. Jika, setiap materi dan disiplin ilmu disebutkan, maka deretan
topik itu akan terus memanjang. Hal tersebut menunjukan bahwa universalitas
islam berikut ajaran di dalamnnya memang tidak ada bandingannya. [1]
Universalitas tersebut pun tak pernah
mengarah pada tendensi satu hal saja dan melupakan hal lain. Memprioritaskan
satu aspek dan meninggalkan aspek lainnya. Islam menempatkan posisi setiap hal
dalam takaran yang seimbang, pada posisi yang sama, tanpa berat sebelah pada
satu bagian tertentu. Islam mengajarkan manusia supaya bertakwa, beribadah,
tapi islam juga menganjurkan untuk mencari kebutuhan hidup sebagai sutu
manivestasi atas keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan itu,
lantas tercerna dalam hukum sebab- akibat yang selanjutnya memunculkan konsep
sanksi dan hukuman, pahala, dan dosa. Siapa yang berbuat, dia yang menanggung
akibatnnya.
Tentu saja, membentuk ummat
yang unggul dan membangun peradaban tinggi bukanlah hal yang mudah dan hanya
dengan usaha yang instan. Namun, diperlukan adanya media yang benar-benar cocok
dan dapat diterima oleh masyarakat. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah
umat muslim, sehingga kehadiran pondok pesantren sangatlah tepat. Selain untuk
membentuk suatu karakter masyarakat yang berlandaskan agama, pesantren juga
sangat pantas menjadi basis utama upaya revolusi ini.
Mengingat pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Dalam
sejarah perkembangannya pondok pesantren memiliki peranan yang sangat besar
dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pondok pesantren
telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses
perjuangan dan pembangunan bangsa. Kiprahnya tidak hanya
sebatas sebagai lembaga pendidikan, namun juga merupakan
lembaga perjuangan, lembaga sosial,
ekonomi, lembaga spiritual keagaman dan dakwah.
Sejarah mencatat, sejak awal eksistensi masyarakat islam di
Indonesia, Pesantren sudah dibangun berawal dari sejarah perdagangan, kemudian
berkembang dan merambah pada sektor
pendidikan dan dakwah islam, dan berakhir pada kekuasaan. Kekuasaan dibentuk
atau direbut semata-mata hanya menjadi alat untuk mengamankan dan mengembangkan
sektor ekonom dengan sektor pendidikan. Hubungan antara ekonomi, pendidikan dan
politik inilah yang menciptakan tradisi dan tatanan masyarakat muslim
Nusantara. Karena, sendi-sendi kebudayaan atau tradisi suatu bangsa dan komunitas
pada dasarnya dibangun melalui proses ekonomi-akumulasi modal,
pendidikan-akumulasi pengetahuan dan politik akumulasi kekuasaan yang berjalan
bersamaan. Semakin baik status ekonomi, mutu pendidikan, serta semakin luas
pengaruh kekuasannya, maka semakin Erudite kebudayaan dan tradsi yang
dilahirkan dan dikembangkan. Termasuk pesantren. Yang tidak mungkin akan
mengalami kemjauan jika tidak adanya perbaikan dari segi ekonomi. Karena,
ekonomi bagi suatu lembaga seperti pondok pesantren merupakan jantung kehidupan
bagi kemajuan baik dari system pendidikan maupun eksistensi dibidang lainnya. [2]
Namun, sebuah keterbalikan nyata dialami oleh perkembangan
pesantren saat ini dalam nila, jiwa dan responsibilitas terhadap masalah
bangsa. Terlebih, untuk perkembangan perekonomian pesantren itu sendiri, masih
mengalami langkah yang harus tersendat-sendat yang diakibatkan adanya ekonomi
pesantren yang tidak setabil. Sehingga untuk menata langkah menuju perbaikan
pendidikan, maupun penyebaran bagi nama lembaga (pondok pesantren) masih
sangatlah sulit. Karena mereka masih belum mengalami
kemapan ekonomi.
Di indonesia, masih dapat dihitung dengan jari pondok pesantren
yang telah maju dan mensejajarkan serta menyeiringkan langkahnya dengan kedua hal
yang sangat penting bagi perkembangan pesantren. Yaitu: pendidikan dan
penguasaan. Khususnya, yang berbasis modern, memang masih dapat responsive
terhadap perubahan peradaban, melalui pengembangan system dan pola pendidikan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan jiwa
asasinya. Karena, lembaga tersebut telah benar-benar mampu untuk menfokuskan
tujuan keduannya, tanpa harus merasa ketimpangan dengan ekonomi pesantren.
Namun, lebih awam ditemukan bahwa masyarakat dipesantren lebih memilih untuk
diam dan acuh terhadap modernitas dan isu-isu sosial lainnya, sebagai respond
idiom dan paradigma negative yang dibawa oleh peralihan budaya dan perubahan
ideology masyrakat. Pada pandangan pondok pesantren yang mayoritas berbasis
tradisional ini, setigma mengenai buruknya efek modernitas adalah suatu hal
yang harus dihindari. Selain itu, kegiatan yang difokuskan didalamnnya hanyalah
mengkaji kitab kuning, tanpa harus menuntut santrinya atau masyarakat yang
hidup didalamnnya dengan perkembangan pesantren; perekonomian. Karena hal yang
sangat penting adalah bagaimana menysukseskan pendidikan yang berbasis agama.
Sehingga, kemajuan yang nyata akan sulit di capai oleh
pondok-pesantren khususnya yang berbasis tradisional. Karena jika dibandingkan
dengan pondok-pesantren yang kini sudah maju dan katakanlah modern, sangatlah
jauh dari segi metode pengajaran maupun infrastruktur lainnya. Terlebih dalam
bidang ekonomi yang sekian lama bagai jalan ditempat. Hal itu, disebabkan
karena tidak adanya spin-off antara lembaga dengan pemilik lembaga.
Sudah terlihat jelas, adanya peran dari seorang pengasuh atau kiyai yang secara
langsung terjun mengintervensi seluruh sudut pesantren. Karena dalam
tradisinya, Kiai adalah figur sentral yang harus diikuti. Sehingga
perkembangannya dalam posisi stagnan.
Berbeda sekali dengan pondok
yang sudah menjamah posisi modern, mereka menganggap peran kiai adalah seorang
figure sentral yang tidak hanya berfungsi sebagai penggerak agama atau juru
da’wah melainkan juga penggerak ekonomi pesantren dan juga masyarakat sekitar pesantren.
Sehingga kesejahteraan pesantren beriringan dan sangat mendukung kemajuan
pendidikan yang diterapkan.
Atas dasar itulah, artinya pondok pesantren di Indonesia harus kembali
berperan, menjadi pion utama dalam peran penggerak ekonomi melalui kemandiriannya.
Serta manajemen pesantren yang aplicable agar terjadi keselarasan antara
pengembangan pendidikan dan perkembangan ekonomi. Karena tanpa adanya ekonomi
yang kuat, pondok pesantren akan mengalami kemunduran bahkan akan kehilangan
eksistensinya. Tercatat lebih dari lima ribu ponpes yang tersebar di enam puluh
ribu delapan desa, merupakan bukti tersendiri untuk menyatakan bahwa pondok
pesantren merupakan sebuah lembaga yang mempunyai keunikan kultur. Dan hal
tersebut pula menjadi bukti bahwa ponpes dapat dikatakan sebagai sebuah subkultur. Keunikan itu pula, yang pada
gilirannya dapat menghasilkan nilai ekonomis yang sangat besar bila dikelola
secara professional.[3]
Penulis mengkaji buah
pemikiran Wahid Hasyim terkait dengan pemberdayaan ekonomi pondok pesantren
dengan berlandaskan bahwa beliau merupakan tokoh yang memiliki kecerdasan
monumental pada zamannya dan beliau juga mempunyai ide cemerlang dirasakan
hingga saat ini. Dengan ide cemerlangnnya itulah, beliau menggagas adanya
pembaharuan pondok pesantren.
Pembaharuan pondok pesantren yang beliau lakukan, berawal dari pandangannya
bahwasannya, pondok pesantren zaman sekarang sangatlah berbeda dengan pondok
pesantren zaman dahulu. Yakni, semata
hanya berkecimpung dengan kitab-kitab kuning. Pengelolannya pun ditangan satu
sosok yang kharismatik sang Kiai. Akan tetapi, pesantren sekarang adalah
pesantren yang berkembang mengikutin pola zaman yang semakin berubah, dengan
catatan tanpa meninggalkan yang telah ada, namun, tetap mengkolaborasikan agar tetap
bisa eksis dalam zaman yang seperti sekarang ini. Modernisasi yang mengancam,
globalisasi yang semakin menekan. Sehingga perlu diterapkannya kolaborasi
antara system yang lama dengan kondisis kekinian agar tidak terjadi ketimpangan
dalam hla pendidikan maupun pengelolaan pesantren.
Selain itu, Wahid Hasyim
juga melakukan pembaharuan dalam memanaj diri (Santri) dalam hal SDM. Karena,
tanpa adanya SDM yang seimbang, akan sia-sialah semua konsep yang telah ditata
dengan rapi. Selain pendidikan agama yang menjadi kiblat, pondok-pesantren, Ia
juga mengatakan bahwa harus cerdas memanaj ekonomi. Karena, dengan bekal
tersebut selain mensejahterakan masyarakat pondok-pesantren, juga akan sangat
mempengaruhi eksistensi pesantren itu sendiri.[4]
Berangkat dari itulah,
pondok-pesantren harus menjalankan peran utamannya. Mamajukan pesantren, selain
itu, juga menjadi pion utama dalam menggerakan ekonomi. Baik dalam hal
membangkitkan potensi ekonomi dari segi SDM santrinya, maupun dari manajemen pondok
pesantren, dalam hal perekonomian. Karena dengan berbagai harapan dan predikat
yang disandangkan padanya, sesungguhnya pesantren berujung pada tiga fungsi
utama yang senantiasa diemban, yaitu, (1) Sebagai pengkaderan pemikir-pemikir
agama (Center of Excellence), (2) Sebagai lembaga yang mencetak sumber
daya manusia (Human Resource) (3) Sebagai lembaga yang mempunyai
kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (Agent of Development)
ponpes juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial
(Sosial Change) ditengah perubahan yang terjadi.[5]
Dengan keterlibatan peran, fungsi dan perubahan yang dimaksud, pesantren memegang kunci
sebagai motivator, inovator dan dinamisator masyarakat. Hubungan interaksionis
kultural antara pesantren dan masyarakat menjadikan keberadaan dan kehadiran
institusi pesantren dalam perubahan dan pemberdayaan masyarakat semakin kuat.
Namun dengan demikian harus diakui belum semua potensi besar yang dimiliki
ponpes tersebut terkait dengan kontribusi pesantren dalam pemecahan-pemecahan
masalah ekonomi umat.
Sehingga diperlukan adanya
pergerakan dari pesantren itu terkait dengan pemberdayan manjaemen pondok pesantren. sehingga
pesantren dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah ekonomi umat pada
umumnya. Dan mensejahterakan pondok
pesantren itu sendiri pada khusunya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
pemikiran tersebut, penulis akan membahas berbagai aspek tentang:
1. Bagaimana bentuk kelembagaan
pesantren (tradisional) hari ini dan dampaknya pada eksistensi pesantren tersebut?
2. Bagaimanakah relevansi pemikiran Wahid Hasyim terhadap pembaharuan
pesantren dalam bidang ekonomi?
3. Apakah sistem ekonomi pesantren yang tepat dan relevan untuk
diterapkan?
4. Bagaimana merealisasikannya system ekoproteksi tersebut di pesantren
tradisional untuk membangun eksistensi pesantren tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui bentuk kelembagaan pesantren hari ini. Khususnya
pesantren tradisional dan dampaknya pada eksistensi pesantren tersebut.
2. Mengetahui system ekonomi pesantren yang tepat dan relevan untuk
diterapkan untuk mempertahankan eksistensi pesantren
3. Menyajikan strategi dalam merealisasikan system ekonomi melalui
system ekoproteksi.
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai wacana dalam khazanah keilmuan agama Islam, khususnya pondok
pesantren
2. Sebagai strategi penerapan system ekonomi pesantren
3. Sebagai upaya mempertahankan eksistensi pondok pesantren melalui
system ekoproteksi sebagai system pertahanan eksistensi pondok pesantren.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis
membagi pokok pembahasan ke dalam lima bab secara sistematis. Sistematika tersebut
meliputi:
Bab I: Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan mengenai
diseksistensi perkembangan pesantren dan
eksistensi pondok pesantren dalam perkembangannya baik dari segi manajemen
perekonomian pesantren itu sendiri.
Bab II: tinjauan pusataka yang mengulas rujukan pustaka mengenai
diseksistensi perkembangan pondok pesantren, asas-asas fundamental berdirinnya
pondok pesantren di Indonesia serta relevansi pemikiran-pemikiran Ahmad Wahid
hasyim mengenai pembaharuan pesantren,
Bab III: Metode Penulisan yang mencakup bagaimana langkah-langkah
penulis, menerapkan penelitiannnya, melalui observasi, pengumpulan, hingga
metode analisis data untuk menyimpulkan sederatan fakta, untuk kemudian
menyusun menujupemecahan masalah dan strategi pencapainnya.
Bab IV: pembahasan mengenai sejarah pesantren dan perannya dalam ekonomi Umat,
relevansi pemikiran-pemikiran Ahmad Wahid Hasyim. Juga membahas
manajemen-manajemen yang applicable dalam meningkatkan ekonomi pondok
pesantren, sehingga pondok pesantren dapat mempertahankan eksistensinnya.
Selain itu juga pesantren diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemecahan-pemecahan masalah ekonomi
umat.
Bab V: Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penulis.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Dalam penelitian ini, beberapa literature pustaka menjadi rujukan
untuk mendasari beberapa dasar pijakan berfikir. Salah satu tulisnnya
tulisaannya A. Halim dan M. Choirul Arif dalam bukunnya yang berjudul Manajemen
Pesantren, mengenai model-model pemberdayaan pesantren yang mengarahkan
pesantren pada perubahan-perubahan dalam hal ini pembaharuan pesantren baik
dari konsep maupun pengembangan
pesantren.[6]
Sudah
tentu, pesantren merupakan sebentuk ruang dimana pemikiran dikaji dan diuji
ulang. Sehingga pesantren dalam perkembannganya mebutuhkan inovasi demi meningkatkan kualitas serta kuantitas dan
terlebih mempertahankan eksistensi pondok pesantren. Sehingga sangat
dibutuhkannya adanya pembaharuan pondok pesantren. Seperti yang dikatakan oleh
Mohamad Rivai yang mengambil pemikiran wahid hasyim, dalam bukunnya yang
berjudul Wahid Hasyim Biografi singkat 1914-1953. Bahwa pesantren bukanlah sekedar penjara yang
hanya berkutat pada sisi akhirat saja, namun harus ada pengembangan yang dapat
mengempertahankan eksistensi pondok pesantren dengan catatan tanpa yang lama masih tetap
ada dan berdampingan dengan bentuk metode-metode pengembangan yang baru.
Sehingga pesantren tidak akan mengalami keterbelakangan perkembangan maupun
posisi.[7]
Selain
itu, pesantren yang merupakan sebuah institunsi yang berbasis keagaamaan memiliki
karakteristik yang khas. Lebih jauh, karakteristik pesantren dipaparkan oleh Abd
Abd A’la dalam bukunnya pembaharuan pesantren , sebagai lembaga
keagaaman yang syarat nilai tradisi luhur. Secara potensial, karakteristik
tersebut memiliki peluang besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam rangka
menyikapi persoalan-persoalan yang menghadang pesantren, baik dari segi
perkembangan pesantern secara khusus maupun masyarakat secara umum.[8]
Karakteristik
pesantren tersebut berimbas pada peran dan fungsinnya bagi berbagai fenomena
dalam masyarakat.Mujamil Qomar menyebutkan bahwa fungsi pesantren pada awalnya
berdirinnya sampai dengan kurun sekarang telah mengalami prkembangan. Visi,
posisi dan persepsinya terhadap dunia luar
telah berubah seiring perkembangan zaman. Pesantren juga berperan dalam
bidang lainnya serta multidimensial baik berkaitan langsung dengan
aktivitas-aktivitas pendidikan, perekonomian maupun di luar wewenannganya.[9]
Dengan
mengingat relaita perkembangan perekonomian umat sekarang yang begitu terpuruk
terutama masyarakat yang terpinggirkan tanpa adanya bekal pendidikan maupun
pelatihan dalam mengelola usaha secara khusus, peran pesantren dibutuhkan
kembali sebagai pemecah-pemecah ekonomi umat.seperti diungkap bahwa pengelolaan
dan strategi jitu sudah selayaknnya ditunjukan oleh pengelola pesantren.
Pesantren sebagai lembaga sosial disatu sisi memang dituntut berperan dalam
mengawali perjalan masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan ekonomi. Selain itu,
disisi lain pesantren juga dituntut berperan aktif dalam menjawab aneka macam
kebutuhan masyarakat yang belakangan semakin meningkat dan variatif.[10]
Dalam
pada itu, aktualisasi strategi ekoproteksi yaitu pemberdayaan ekonomi pesantren
yang menuntut kemandirian sangatlah dianggap tepat sebagai kontribusinnya
terhadap pemberdayaan ekonomi umat yang tengah terpuruk. Selain ditunjukan untuk masyarakat penghuni
pesantren juga ditunjukan kepada masyarakat yang akhirnya akan membentuk
masyarakat yang mampu memajukan perekonomiannya demi penghidupannnya yang
layak. Selain itu juga sebagai pembentukan karakter santri agar nantinnya mampu
mengolah hidup dan masa depannya ketika
sudah dituntut berperan dalam masyarakat.
Atas
dasar rujukan tersebut, penulis berangapan bahwa rumusan manajemen pesantren
yang tepat, perlu ditelurkan melalui pemberdayaan santri baik dari segi SDM
satri ataupun penerapan metode yang dikonservasikan kedalam kedalalam nilai-nilai dan kemandirian. Bentuk pengajaran
yang berasasakan nilai-nilai dan
kemadirian tersebut, akan diterapkan
secara intrinsik setelah melalui strategi distribusi yang sesuai dengan
perkemabangan kepondokpesantrenan di Indonesia. Pada akhirnya, terbentuklah
karakter ideal pondok pesantren sebagai basis peradaban negeri ini, yaitu,
pondok pesantren yang mampu mempertahankan eksistensinnya malalui pemberdayaan
ekonomi.
BAB III
METODE
PENULISAN
Dalam penulisan karya tulis ini penulis menggunakan beberapa metode
dalam pengumpulan data serta hasil penelitian:
A. Objek Penelitian
Penulis meneliti fakta terbelakannganya
perkembangan pondok-pesantren
tradisional yang masih mmeprtahankan pola pendidikan yang kkontekstula serta
tidak adannya pembaharuan baik dari segi pendidikan maupun manajemen serta
ekonomi dari pondok pesantren tersebut. Penulis kemudian mengkorelasikan antara
sejarah dan karakteristik pesantren dan fingsi perannya dalam mengatasi
persoalan-persoalan pondok pesnatren pada khususnya dan masyarakat pada
umumnnya. Dari hal-hal tersebut, penulis merumuskan sebuah strategi ekoproteksi
pondok pesantren dan mampu mewujudkan perekonomian umat yang ideal serta mampu mempertahankan
eksistensi pondok pesantren.
B. Metode Pengumpulan Data
1. Meteode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan
pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. [11]
Metode ini, digunakan untuk memperoleh data tentang kondisis pesantren, serta
kondisis ekonomi dan perkemabangan pesantren. Selain itu juga
menelitiperkemabnagn ekonomi masyarakat sekitar pesantren juga menjadi objek
dalam metode ini.
2. Studi Pustaka
Selain penulis memfokuskan terhadap onjek penelitian,
sesuai dengan kajian yang penulis bahas, maka penulis menggunakan jenis pengumpulan
data kepustakaan atau library research yang merupakan serangkain kutipan
dari berbagai artikel atau buku-buku yang terkait dengan objek kajian. Dalam
hal ini, penulis mengambil biografi Wahid Hasyim yang memuat semua
pemikiran-pemikirannya dalam pembaharuan pesantren termasuk mengenai Ekonomi
pondok pesantren.
3. Metode Interview
Metode interview adalah metode pengumpulan
data dengan jalan Tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematik dan
berlandaskan dengan tujuan penyelidikan. [12]
Dalam penggunaan metode penulisan ini, penulis menggunakan system Opened and
Controled yaitu interview yang bebas tapi terkontrol. Dengan kata lain,
interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview
kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan
system ini agar dalam wawancara lebih komunikatif namun terarah.
Metode ini penulis gunakan untuk mendapat
data tentang realitas kekinian pesantren dari beberapa santri, guru dan
beberapa pihak yang berkecimpung dalam dunia pondok-pesantren tradisisonal
maupun modern, serta menganilisis hal-hal yang dibutuhkan pesantren guna
menggembalikan perannya selain mampu menjadi basis peradaban umat, juga mampu
memebrikan kontribusi sebagai pemecah-pemecah masalah ekonomi umat.
4. Metode Analisis Data
Agar data yang diperoleh bukan merupakan
informasi yang mentah dan pembaca mudah menginterprestasikan terhadap data yang
telah diolah maka diperlukan analisis data untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam
hal ini penulis menggunakan metode analsisis kualitatif dalam menganalisis data
yang diperoleh.
Penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu
metode yang digunakan untuk menganalisis data-data yang bersifat kualitatif
yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisah menurut kategori
untuk memeproleh kesimpulan[13].
Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan,
keterangan yang berupa angka.
Dengan mengumpulkan dan menganalisis
data-data tersebut, penulis menyimpulkan pemecahan permasalahan ekonomi
pesantren serta hubungannya dengan ekonomi umat.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Wahid Hasyim
Wahid
Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan
1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh
ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi
nama Muhammad Asy’ari, terambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid,
pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali
memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan
masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus
Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus
utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam.
Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui
pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas
manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani
dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika
berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping
sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal)
yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang
tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Mendudukkan para santri dalam posisi yang
sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya
menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri
berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari
menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok
pesantren asuhannya ayahnya. Selain itu, Wahid Hasyim juga melakukukan
pembaharuan di Pesantrennya yaitu, dengan mengkolaborasikan metode-metode yang
baru dan tidak menghapus metode yang telah lama berjalan. Salah satunya yaitu
mengambil dari sistem barat, ia mengkolaborasikan keduannya, antara sistem
tradisional dan sistem sekuler. Dalam pendidikan sekuler, ia banyak membekali
santrinnya mengenai hal-hal umum, baik dari matematika, hingga sampai ekonomi.
Salah satu pandangannya yang relevan dengan problematika kekinian
pesantren adalah bahwasannya semua berawal dari
kebangitan ekonomi, termasuk pondok pesantren itu sendiri. Karena menurutnnya, sebagai seorang
santri tidaklah hanya belajar kitab kuning dan semua yang berhubungan dengan
agama. Oleh karena itu, ia membekali santri dengan bentuk pembelajaran yang
berlandaskan kemandirian dan hanya percaya pada diri sendiri. [14]
Pandangan
tersebut ia sumbangsihkan
terhadap organisasi yang ia geluti yaitu di Nahdlatul Ulama. Ia memandang pada
saat itu bangsa Indonesia tidak mampu menghargai aspek-aspek kemanusiaan dalam
pembangunan, tetapi pembangunan yang mencapai alat untuk membangun manusia.
Sehingga ia berpendapat bahwa di sisi inilah letak peranan khittah dibangkitkan pada saat bangsa ini sedang
dililit krisis ekonomi maupun budaya.
B. Pondok Pesantren: Sejarah, Perannya
dalam Ekonomi Umat dan Relevansi Pemikiran Wahid Hasyim
1. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
Pondok Pesantren merupakan institusi
pendidikan Islam yang dinilai paling tua. Sejak munculnnya islam di nusantara,
Maulana Malik Ibrahim sudah merintis sebuah padepokan yang menjadi akar pondok
pesantren Indonesia. Namun, sistem dari pesantren tersebut belum jelas sebelum
disempurnakan oleh puterannya, Raden Rahmat (Sunan Ampel), dengan mendirikan
Pesantren Kembang Kuning. Pada masa tersebut, kondisi religio-psikologis dan
sosial masyarakat lebih terbuka untuk menerima berbagai ajaran Islam dari tanah
Arab.
Pada awalnnya, pesantren dirintis lebih
kepada misi dakwah dibanding misi ekonomi. Hal ini terlihat dari lokasi
pendirian pesantren yang banyak dibangun pada era abad ke 19 dan 20 bertempat
di daerah-daerah yang sarat kesesatan, maksiat, dan budaya jahiliah. Hal
tersebut menyebabkan masa awal berdirinnya pesantren di Indonesia dihadapkan
pada perjuangan melawan agama dan kepercayaan serba Tuhan, serta berbagai perbuatan
kemaksiatan. Kemudian akhirnya, pesantren menjadikan daerah tersebut menjadi
daerah yang aman, sejahtera, makmur dan taat beribadah.
Pada masa selanjutnya, pesantren dihadapkan
pada tindakan tiran kolonial Belanda yang menguasai berbagai asppek kehidupan
masyarakat baik dari segi politik, ekonomi dan penyebaran agama. Pada masa itu,
Belanda menganggap pesantren sebagai antithesis dari misisnya di Indonesia
sehingga pertumbuhan agama Islam dan pesantren ditekan sedemikian rupa. Hal inilah, yang kemudian mencukulkan sikap
memperjuangkan ideologi, dalam hal ini agama islam, yang kemudian berimbas pada
semangat nasionalisme. Sikap tersebut muncul dari berbagai larangan yang
dicetuskan oleh kaum kolonial terhadap pesantren, bahkan sampai larangan terhadap
pesantren, bahkan sampai larangan terhadap santri untuk mempelajari kitab-kitab
tertentu.
Pada masa awal penjajahan jepang, penolakan
KH Hasyim Asyari dan kiai-kiai pesantren lainnya terhadap ritual Saikere (Penghormatan
terhadap kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu) dengan
cara membungkukan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pukul 7 pagi, membuat
mereka dipenjara oleh jepang. Ribuan santri dan para kyai lain berdemontrasi
mendatangi penjara. Hal ini yang kemudian membangkitkan perlawanan bawah tanah
dunia pesantren dalam menentang penjajahan jepang.
Gerakan ini dinilai dengan di bebaskannya
Kiai Hasyim Asyari dari penjara., bahkan jepang mulai melancarkan
usahannyamenarik simpati kaum muslimin Indonesia dengan dengan dibentuknnya
Kantor Urusan Agama Indonesia, Masyumi dan Hizbullah. Hal tersebut
dilakukan karena kia pondok pesantren merupakan figure utama masyarakat saat
itu, sehingga boikot terhadap mereka justru mempersulit Jepang dalam menjaring
tentara pribumi untuk melawan tentara sekutu.[15]
Pasca kemerdekaan, sistem pendidikan dibuka
dengan bebas oleh pemerintah. Banyak sekolah dibuka (SD, SLTP, SLA) untuk
mendorong semangat anak-anak usia sekolah untuk menempuh pendidikan. Namun,
disisi lain, hal tersebut menjadi hantaman bagi perkemabngan pesantren. Djumhur
dan Danasupatra menyebutkan bahwa lahirnya proklamasinmemberi corak baru bagi
bagi pendidikan agama. Pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan
tugasnya, sedangkan madrasah berkembang dengan pesat. [16]
Diantara pesantren tersebut hanya
pesantren-pesantren besar yang mampu menghadapinnya, melalui penyesuaian dengan
sistem pnedidikan nasional. Seperti pesantren Tebu Ireng, yang saat itu, Wahid
Hasyim tengah mengadakan pembaharuan sistem pondok-pesantren baik dari segi
pendidikan, manajemen maupun memperkualitas sumber daya manusia. Karena ia
meyakini, pertahanan pondok pesantren tidaklah hanya berkutat pada wilayah
akhirat. Sehingga ia mengkolaborasikan sistem pondok pesantren dengan sistem
pendidikan nasional yang berorientasi dunia. Sementara itu, pesantren-pesantren
kecil mati, sebelum bangkit kembali pada
era 50-an dengan sistem tradisisonal yang khas dari kebanyakan pesantren di
Indonesia.
Hal ini, membuktikan eksistensi pesantren
pernah dihadapkan dengan tantangan besar dalam perjalannanya. Namun, dengan langkah dan strategi yang
tepat, pesantren dapat bertahan bahkan diakui sebagai aset dan potensi
pembangunan masyarakat. Almarhum KH Abdurahman Wahid mengatakan bahwa ketahanan
pesantren disebabkan pola kehidupannya yang unik.[17]
Azumardi Azra justru menyebut ketahanan pesantren disebabkan oleh kultur jawa yang menyerap kebudayaan luar
melalui suatu proses interiorisasi tanpa kehilangan identititasnya.[18]
Lain halnya dengan Ma’shum yang menyebutkan bahwa katahanan tersebut adalah
akibat dampak positif dari kemampuan pesantren melahirkan berbagai daya guna
masyarakat.[19]
Selain itu, A. Halim mengatakan, bahwa salah satu pertahanan pesantren adalah
dari segi manajemannya, yaitu yang terpenting adalah manajemen Ekonomi pondok
pesantren dan Manjemen Pendidikannya.[20]
Hal ini, menunjukan bahwa potensi internal pesantren berpengaruh besar pada
ketahanannya terhadap arus pergerakan zaman.
2. Peran Peantren Terhadap Ekonomi Umat
a.
Perkembangan Ekonomi
Pesantren.
Sebagaimana
seperti disebutkan dalam sejarah, pesantren merupakan sebuah institusi
kelembagaan keagamaan yang syarat nilai dan tradisi luhur. Yang telah menjadi
karakteristik pesantren pada hampir seluruh perjalannya. Secara potensisl,
karakteristik pesantren tersebut memiliki peluang untuk dijadikan sebagai dasar
pijakan dalam rangka menyikapi pepersoalan-persoalan lain yang menghadang
pesantren pada khususnya dan masalahan-masalah umat pada umumnya termasuk
ekonomi.
Namun
di era ini masih banyak sekali pesantren yang masih mengalami perkembangan yang
stagnan. Terutama pesantren-pesantren yang masih menganut sistem tradisional.
Yaitu pesantren yang berorientasi lebih dari 70% hanya pada akhirat serta dari sistem
pengajaran yang masih mengutamakan kitab-kuning dengan metode Bandongan
(Kelompok) dan Sorogan (Individual) dalam pondok pesantren. Pesantren seperti ini tidak mengenal adanya
sistim kelas, namun semua dilihat dari kemampuannya untuk mengkaji kitab.
Selain itu, seluruh pesantren dan isinya diintervensi oleh Kiai. Kiai memiliki
otoritas penuh dalam menentukan kebijakan, sistem pendidikan tergantung selera
kiai, tidak
adanya aturan baik menyangkut manajerial
administrasi, birokrasi, struktur, budaya, ekonomi, dan kurikulum.[21]
Sehingga, tidak adanya kebebasan dalam ruang untuk mengembangakan potensi
pesantren. Termasuk dalam hal ekonomi. Karena mereka berfikiran, santri datang
bukanlah untuk berdagang maupun usaha namun, santri datang untuk belajar dan
belajar. Sedangkan masalah bekerja adalah ketika mereka telah mempunyai bekal
yang banyak dari pesantren. Hingga santri terdoktrin untuk selalu menghormati
dan mengagungkan setiap kebijakan Kiai. Karena dalam keseharian sifat takzim
dan kepatuhan adalah suatu hal yang mutlak dilakukan.
Berbeda
sekali dengan pondok pesantren modern (Khalaf) yaitu pesantren yang
mengutamakan adanya musyawaroh atau diskusi yang bertujuan mengembangkan
pemikiran-pemikiran santri yang nantinya akan berkontribusi terhadap kemajuan
pesantren itu sendiri. Selain itu, sstem di pesantren modern telah banyak
mengkolaborasikan sistem klasikal. Serta mengutamakan manajerial yang baik serta
mengutamakannadanya demokratisasi santri dalam hal organisasi maupun
pemberdayaan ekonomi pondok pesantren. Biasanya, dalam pesantren modern
diterapkan adanya sistem berdikari terutama dalam hal ekonomi. Dikarenakan
kemandirian ekonomi dapat memajukan pesantren dan memperkuat eksistensi
pesantren, tanpa meninggalkan sistem yang lama. Sehingga, akan tercipta pondok
pesantren yang maju dan dapat memberdayakan santri serta ekonomi masyarakat
disekitar pesantren.
b.
Pemberdayaan Ekonomi
Umat
Sebagaimana diketahui, kegagalan
perekonomian pesantren ialah dikarenakan adanya kebijakan pemerintah mengenai
sistem ekonomi konglomerasi. Dalam kenyataanya, sistem konglomerasi tersebut
hanya menguntungkan satu pihak saja. Yaitu, kelompok yang telah memiliki
kemampuan dan akses ekonomi. Sementara itu, masyarakat yang tidak mempunyai
kemampuan dan akses ekonomi, tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang
menguntungkan kegiatan usahannya.[22]
Pondok pesantren, kenyataannya adalah
lembaga potensial untuk bergerak kearah ekonomi berbasis rakyat (Umat). Jika
pondok pesantren hanya menjadi penonton di era yang akan datang,
makalembaga-lembaga ekonomi mikro lain yang justru akan lari dan menggesernya
untuk mengarah pada kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis yang
cermat dalam melakukan penguatan kelembagaan ekonomi ini, agar tidak salah
melangkah.
Sebenarnya, sasaran akhir dari pemberdayaan
dari ekonomi pondok pesantren adalah kemandirian dari pesantren,. Yang selama
ini pesantren selalu dilabeli dengan pengedar proposal bantuan atau bahkan
penerima jariyah umat. Baik dari institusi formal maupun non formal.
Labeling itu, ternyata sangat tidak pantas sekali untuk disandang oleh
sebuah institusi keagamaan seperti pesantren. Mungkin, pesantren bisa terlepas
dari label tersebut jika tengah benar-benar mandiri dan kuat terutama dalam sektor
ekonomi dan mampu mengangkat ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Namun, fakta telah menunjukah hal yang
ironis bagi perkembangan ekonomi pesantren. Ironisitas tersebut, terbukti
dengan adanya jumlah pesantren yang berjumlah lebih dari 5000 dan tersebar di sekitar 68.000 desa, belumlah
dapat melepaskan diri dari label tersebut. Justru mereka masih sangat ayem
dengan label yang disandangnnya. Oleh karena itu, sudah seharusnnya pihak pesantren memikirkan manjemen yang baik untuk
mempertebal pertahanan ekonomi pesantren.
Dengan melihat fenomena diatas, penulis
menyimpulkan ada tiga kendala yang harus dibenahi oleh Pesantren, yang nantinya
tidak lagi menjadi halangan bagi kemajuan pesantren justru kendala tersebut
nantinya harus mampu menjadi instrument
bagi kemajuan pondok pesantren dalam bidang ekonomi khususnya.
1)
Sumber Daya Ekonomi
Santri
Menurut Jusuf Irianto sebagaimana dikutip
oleh Rr. Suhartini, masalah SDM sebenarnya bukanlah masalah pesantren saja
namun, lebih luas, yakni masyarakat Indonesia. Secara umum. Data tentang Human
Development Index (HDI) yang disajikan United Nations For Development Program (UNDP) menunjukan bahwa peringkat kualitas SDM di
Indonesia tahun 2000 berada pada urutan 109. Peringkat Indonesia itu hanya satu
tingkat lebih tinggi dari Vietnam yang menmpati urutan 110, namun sangat jauh
berbeda dengan semua Negara ASEAN lainnya. HDI Singapura berada di urutan 22,
HDI Brunai Darusalam berada diuritan 25, sedangkan Malaysia berada diurutan 56
serta Thailand dan Filipina menempati posisi 67 dan 77.[23]
Sedangkan tahun 2000, jumlah pengangguran di
Indonesia mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan yaitu mencapai angka 38, 5
juta jiwa. Angka tersebut mengalami peningkatan 1,1 juta jiwa bila dibanding
tahun 1999. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya kemampuan sektoor riil
dalam menyerap jumlah tenaga kerja yang semakin membengkak. [24]
Dan. yang lebih mengagetkan adalah dari 38,5
juta jumlah pengangguran adalah komunitas alumni pesantren. Kondisis tersebut,
sebenarnya bukanlah kesalahan mutlak dari santri, tetapi jika dilihat secara
koprehensip, yakni dengan melihat bagaimana SDM pengelola-pengelola lembaga
pendidikan di pesantren.
SDM tersebut bukanlah hanya terbatas pada
SDM yang menyangkut kemampuan dasar akademis namun, menyangkut Skill
Individual-Kolektif yang memadukan keduannya. Untuk itulah, dengan kenyataan bahwa Sumber
Daya Ekonomi Santri yang masih sangat minim, seharusnya, menjadi tugas
tersendiri bagi pondok pesantren untuk
mengembangkannya. Sebab, hal tersebut adalah syarat mutlak ketika ingin
mencapai suatu kemajuan pesantren dalam bidang ekonomi,
Dalam hal ini, idealnya Pondok Pesantren
sebagai agen pengembangan masyarakat, harus benar-benar mempersiapkan sejumlah
pengembangan konsep SDM, agar nantinya
mampu berperan dalam masyarakat secara optimal. SDM yang dimaksud dalam
pesantren adalah SDM yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) serta dapat menyeimbangi kemajuan zaman
serta mampu mengkolaborasikan antara Skill Individual dan akademis. Agar
nantinya mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan pondok pesantren pada
umumnnya dan masyarakat pada khusunya, dalam bidang ekonomi.
2)
Kelembagaan
Hal yang juga urgen yang menjadi kendala
bagi kemajuan pesantren dalam bidang pertahanan ekonomi adalah lembaga. Selama
ini, pesantren terkenal dengan dualisme model lembaga yaitu:
a) Integrtaed Structural
Pesantren dengan lembaga integrated
structural yaitu lembaga dimana semua unit dan bidang berbagai sepesifikasinnya
berada dalam satu setruktur organisasi. Model tersebut sebenarnya tidak menjadi
masalah jika setiap unit atau bidang memiliki job description
tersendiri. Namun, pada kenyataannya dalam pondok pesantren semua diatur dan
terkendali oleh hanya satu orang yaitu pengasuh pondok (Kiai) sedangkan dalam
pondok pesantren, kiai adalah figure yang harismatik dan memgang peranan dalam
mengambil semua kebijakan santri masih
menjunjung tinggi budaya Takdzim sehingga kecil sekali ruang untuk
berinteraksi karena dari kiai pun sangat kecil sekali otoritarismenya.
b) Integrated
Non-Setructural
Berbeda dengan lembaga integrated Setructural
karena, dalam sistem tersebuat ada
pemisahan secara struktural organisatoris. Artinnya, setiap bidang usaha
mempunyai setruktur tersendiri yang
independen. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan
pondok pesantren. Pemisahan lembaga ini dimaksudan sebagai upaya kemandirian
lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannnya. Adapun kontribusi yang
diberikan pada ponpes biasannya berupa fee. Modal kelembagaan seperti
ini biasannya mengadopsi sistem manajemen modern. Karena tolok ukurnnya adalah
profesionalisme. Namun, lembaga tersebut masih jarang sekali yang
menerapkannya.
c) Inovasi dan Net-Working
Selain Sumber Daya Manusia dan kelembagaan, ternyata
problem yang paling mendasar adalah ketidak beraniannya pesantren untuk
melakukan terobosan keluar atau membentangkan sayapnya untuk mencari jaringan se;uas
mungkin. Baik antar pesantren maupun pesantren dengan institusi lainnya. Sebenarnnya, tidak
dipungkiri bahwa dua problem yang telah disebutkan diatas adalah penyebab
utamanya. Atau lebih ajuh, pesantren kurang memanfaatkan dirinnya sebagai Agent
of Development, agar menjadi agen perubahan dan pemberdayaan ada yang harus
dipenuhi yaitu, wawasan, komunikasi, kakuasaan atau kekuatan, politik dan
modalitas ekonomi. [25]
3. Relevansi Pemikiran Wahid hasyim
Ada salah satu hal yang perlu diingat, bahwa
agama islam masuk ke Indonesia adalah melalui jalur perdagangan. Itu artinnya,
islam juga memandang arti penting adanya pengembangan ekonomi bagi umat muslim
khususnya. Apalagi, pada masa Kolonial Belanda, Ekonomi masyarakat iIndonesia
benar-benar mengalami keterpurukan. Sehingga, para cendekiawan dan penggerak islam
membentuk kelompok yang bertujuan mengembalikan kesejahteraan umat. Yang
bernama Nahdlatut Tujar dan kemudian dikenal dengan NU. Bisa dibilang, gerakan
tersebut merupaakan gerakan yang didedikasi untuk mendongkrak elemen
masyarakat, terutama kalangan santri untuk aktif memajukan ekonomi
ditengah-tengah kondisis ekonomi yang tengah dijajah dengan sistem Belanda.
Sehingga mengakibatkan kesejahteraan serta tindakan asusila merebak simana-mana
sebagai efek domino atas meningkatnya kemiskinan.[26]
Melihat fenomena tersebut, penulis melihat bahwa budaya
pertahanan ekonomi merupakan sebuah cambuk
penggerak roda kehidupan suatu bangsa, masyarakat maupun lembaga-lembaga
yang berdiri di suatu masyarakat. Ahmad Wahid Hasyim dengan pemikirannya
mengenai pembaharuan pesantren juga menjelaskan, bawasannya, selain melalui
pendidikan dan kelembagaan serta manajemen yang strategis, kesejahteraan dan
eksistensi bermula dari kebangkitan ekonomi pondok pesantren itu sendiri.
Dalam salah satu pemikirannya ia mengatakan
bahwa dalam suatu pendidikan maupun lembaga diperlukannya adannya kemandirian.
Begitu pula dengan pesantren, apabila pesantren tengah mampu memanajerial
sistem ekonomi dengan baik, maka pesantren akan mampu mempertahankan
eksistensinnya bahkan mampu menyeret masyarakat pada kesejahteraan. Oleh karena
itu, dalam pemikiran pendidikannya, ia mengkolaborasikan dwi sistem yaitu
sistem tradisisonal yang hanya berorientasi terhadap kitab kuning dan yang
kedua yaitu sistem yang mengadopsi dari barat dan diterapkan dipondok pesantren
setelah dimodifikasi sedemikian rupa. Hal itu, bertujuan agar nantinya, ketika
santri telah usai belajar di pesantren mampu membaur dengan kehidupan
masyarakat karena yelah dibekali dengan kurikulum berasis sekuler serta
kurikulum berbasis tradisional.
Dengan menelaah pemikiran Wahid Hasyim mengenai ekonomi,
penulis beranggapan bahwa pondok pesantren seharusnya tidaklah menganut satu
sistem saja yaitu sistem tradisisonal yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur yang dikaji sejak zaman dulu. Namun pesantren juga harus mulai menerapkan
sistem modern Sehingga akan menghasilkan pesantren dengan manajemen yang jitu,
metode pendidikan yang mampu mencetak para santrinnya menjadi ilmuan yang berilmu
lengkap, serta mempunyai pertahanan yaitu melalui budaya pertahanan ekonomi
yang akan menopang eksistensi pesantren. Itu artinya, pesantren dituntut untuk
mempertebal budaya pertahanan ekonominnya dengan asas kemandirian. Sehingga
dapat tercapai sebuah pesantren yang dinamis serta mampu berperan dalam
meningkaktkan ekonomi umat.
C.
Kontruksi Budaya
Pertahanan Ekonomi:
Ekoproteksi
Kemandirian ekonomi pondok Pesantren adalah sebuah
kondisi dimana aspek ekonomi pondok pesantren dapat ditopang oleh sistem ekonomi
pondok pesantren yang berkembang dan berkelanjutan sebagai bagian dari sistem
keseluruhan sebuah pondok pesantren. Namun, wacana kemandirian tersebut belum
sepenuhnnya terealisasi. Karena, aktifitas pondok pesantren saat ini hannya
ditopang sebagaian besar oleh dana ZISWAF masyarakat, sumbangan pendidikan
santri dan bantuan pemerintah. Oleh sebab itu, pesantren sangattmembutuhkan
peran-peran dari Pemimpin pesantren maupun peran lembaga. Pesantren, melalui peran tersebut diharapkan nantinnya mampu memberdayakan
potensi ekonomi yang dimilikinnya.
1.
Peran Kiai –Ulama
Kiai-Ulama adalah figure yang merupakan elemen paling
esensial dalam pesantren. Telah dijelaskan bahwasannya Kia-Ulama adalah seorang
pemimpin yang berkharisma tinggi, ibadah yang tinggi serta beroengalaman,
berilmu pengetahuan luas dan mendalam. Oleh sebab itu, Kiai-ulama selain
memberikan pelajaran agama dan menjadi pemempin sepiritual santrinnya tidak
jarang menjadi dokter-dokter “Psikioamtis” bagi masyarakat. [27]
Sebagaimana telah disinggung, bahwa keunikan sekaligus
sebagai magnet pesantren adalah figure kyai. Seandainnya dalam sebuah
pesabtren ada beberapa kiai, maka haruslah mengikuti ritme kiai yang paling
sepuh dilingkungan pesantren tersebut.
Dalam masalah ini, muncul factor yang sangat penting sebagai syarat dan
tradisi islam, yaitu, seorang Kiai-Ulama adalah pemegang ilmu-ilmu agama
doctrinal. Sehingga ada sebuah kepercayaan tersendiri dari masyarakat
bahwasannya seorang kiai adalah pewaris Nabi seperti yang telah disebutkan dalam
hadist.[28]
Melihat dari keunikan kepemimpinan pesantren, mampu dipandang sebagai potensi
ekonomi.
Yaitu dengan cara (1) Dengan Figur kiai yang mempunyai
kepemimpinan dan ilmu yang mendalam menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat, wali santri dan calon santri untuk berburu ilmu. Berawal dari hal
tersebutlah sebenarnnya awal potensi ekonomi itu terbangun . hal tersebut,
bukanlah berate komersialisasiilmu. Namun seharusnya orang-orang yang berilmu diberi
penghargaanmeski tidak selalu berupa materi. Meski, potensi ekonomi berasal
dari figure kia-Ulama namun, institusi pesantren melekat dengan figure
Kiai-Ulama sehingga pemanfaatan potensi tersebut juga bagi kemaslahatan
pesantren. (2) Pada umumnnya, Kia-Ulama merupakan tokoh yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat. Berawal dari sebuah kepercayaan tersebutlah,
lahirlah sebuah akses. Dari sinilah
jalur-jalur komunikasi, baik dalam kerangka ekonomis, politis, maupun yang
lainnya terbangun dengan sendirinnya. Dan (3) Padaumumnnya, seorang Kiai-Ulama
membangun pesantren telah mandiri secara ekonomis. Misalnnya sebagai pedagang,
petani, maupun yang lainnya. Dari sinilah kii menumbuhkan jiwa Enterpreneurship
dalam diri santri. Artinnya, Kiai_ulama dari awal telah mempersiapkan diri
secara sungguh-sungguh tidak hanya dari aspek mental saja, namun juga sosial
ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship
inilah yang mendasari kemandirian pondok pesantren. Apabila asset dan jiwa
entrepreneurship ini dipadukan, maka hasilnnya dapat dijadikan dasar
membanguntatanan ekonomi pondok pesantren.
2.
Peran Pendidikan
Salah satu keunikan pondok pesantren adalah pada sistem
pendidikan yang intergral. Artinnya model pendidikan khas pondok pesantren
seperti sorogan dan bandongan non
klasikal dipadukan dengan model pendidikan yang modern(klasikal). Selain itu,
ilmu yang ditekuninnya tidak hanya berkutat pada ilmu agama. Namun, ilmu umum
lainnya pun kini sebagai ilmu yang seperti sudah wajib dipelajari. Di pesantren
kini juga telah mendirikan sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA. Pesantren yang telah menerapkan sistem
pendidikan tersebut diantarannya, Gontor Ponorogo, Darun najah Jakarta, al-
Falah Bogor, dan ponpes lainnya.[29]
Melalui peran pendidikan tersebut, pesantren dapat
menanamkan nilai-nilai-nilai trehadap diri santri. Misalnya nilai Keikhlasan,
Kemandirian dan kepedulian trehadap sesama. Sehingga santri hatinnya akan
tergerak untuk menuju kepada arah yang lebih baik. Misalnnya, dengan nilai
keikhlasan santri akan mengabdikan sepenuh dari dirinnya hanya untuk kemajuan
pesantren tanpa mengharap imbalan apapun. Nilai kemandirian diterapkan dalam diri santri dengan tujuan
santri tersebut akan berfikir maju tanpa bergantung dengan siapapun. Kemadirian
juga menunjukan sikap tawakal hanya kepada Alloh dan terhindar dari intervensi
manapun, dan hal apapun.
3.
Strategi Membangun
Budaya Pertahanan Ekonomi:
Ekoproteksi
Mengacu pada pemahaman bahwa pondok pesantren harus
kembali pada martabatnya sebagai basis peradaban masyarakat, sebuah rekontruksi
perlu dilakukan oleh segenap pihak yang bersangkutan dengan kehidupan pondok
pesantren. Ekoproteksi merupakan
sebuah sistem ekonomi yang mengacu kepada kemandirian dan pemanfaatan sumber
daya intern, untuk mewujudkan ketahan ekonomi yang berujung pada eksistensi
ponok pesantren itu sendiri. Gerakan perubahan ini
memang tidak mudah, namun dengan strategi yang tepat, misis ini dapat tercapai
dengan efektif untuk mengembalikan pondok pesantren menjadi rujukan bangsa
menghadapi permasalaan yang dihadapi
deawasa ini. Salah satunnya yaitukegagalan ekonomi sebagai konsekuensi dari
kebijakan pemerintah terkait dengan aktifitas ekonomi konglomerasi.
Dengan strategi pemberdayaan ekonomi pondok pesantren,
diharapkan pondok pesantren mampu mensinergikan antara keislaman, keilmuan dan
perannya bagi masyarakat. Keseimbangan ketigannya, akan mewujudkan hakikatnnya
bahwa pondok pesantren mampu menjadi pusat kelembagaan ekonomi, baik bagfi
wargannya di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
a.
Nilai dan Jiwa
kepondokpesantrenan
Penanaman nilai merupakan kunci dari setiap langkah yang
akan ditempuh oleh pondok pesantren untuk melakukan suatu kegiatan apapun.
Termasuk pemberdayaan ekonomi. Setiap pesantren harus memahami dengan baik
karakter sepiritual dan keilmuan apa yang tepat bagi kelangsungan kehidupan
pondok pesantren itu sendiri. Para kiai ataupun pemimpin pondok pesantren akan
berpengaruh pada titik ini. Para “pembesar pondok pesantren harus mulai
merumuskan landasan yang akan menjadi acuan di semua kegiatan pondok pesantren
yang dipimpinnya. Nilai-nilai tersebutlah yang akan membawa keberhasilan sesuai
yang dicita-citakan .
Nilai-nilai asasi tersebut kemudian harus dipegang teguh
untuk mengembangkan sistem pemberdayaan yang telah dirumuskan oleh pondok
pesantren, agar nantinnya dalam perjalannanya dapat mengatasi hambatan-hambatan
yang dapat menggempur usaha-usaha yang telah dilakukan. Sehingga pondok
pesantren sesuai yang dicita-citakan menjadi pusat kelembagaan ekonomi umat.
b.
Wakaf
Saat ini, kebanyakan pesantren di Indonesia berjalan
dibawah naungan satu otoritas tunggal . kia sebagai pusat kehidupan pondok
pesantren memegang semua peran dalam memutuskan harus seperti apa pondok yang
dipimpinya. Sebagai manusia, kia juga berpotensi untuk melakukan kekeliruan.
Namun, dengan otoritas yang mutlak, kebijakan-kebijakan seorang kiai atas
pesantrennya hampir tidak mungkin dibantah. Ini menghalangi independensi
pesantren untuk mengarahkan santrinnya menjadi kader umat yang sesuai dengan
relaita kekinian.
Selain itu, penkultusan seorang individu juga tidak
berdampak baik bagi pondok pesantren
terssebut. Banyak dari pondok pesantren di Indonesia yang mati karena kiai
pimpinan pondok pesantren tersebutmeninggal dunia. Kehilangan figure membuat
pondok pesantren kehilangan mascot yang sering diartikan bahwa pondok tersebut
tidak mungkin berjalan lagi. masalah ini, sebenarnnya dapat ditanggulangi
dengan wakaf.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan islam, wakaf akan
menjadi kunci awal eksistensi pondok pesantren. Di bawah badan wakaf, pondok
pesantren akan terhindar dari otoritas mutlak dibawah satu pihak, serta juga
kan meninggalkan penkultusan individu yang berlebihna, kia misalnnya
menjalankan seluruh kehidupan di pondok pesantren. Seluruh keputusan dan
kebijakan yang menyangkut kehidupan pondok pesantren akan ditentukan melalui
musyawarah, bukan keputusan sepihak. Dengan begitu, asas demokrasi, Ukhuwah,
dan independensi akan berjalan dengan baik.
c.
Pemberdayaan Sumber Daya Lokal
Pesantren
merupakan institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan insiatif tokoh
masyarakat yang bersifat otonom. Sejak awal berdirinnya, merupakan potensi
strategis yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Terutama dalam hal ekonomi.
Dengan didiami puluhan bahkan ratusan santri yang bermukim,menjadi jalan
tersendiri bagi pondok pesantren untuk memberdayakan ekonominnya. Ratusan
bahkan ribuan santri tersebut, dapat dijadikan sebagai konsumen positif. Selain
itu, pesantren juga dudukung oleh masyarakat disekelilingnya, yang pada dasrannya
adalah konsumen yang kebutuhannya dapat dicukupi secara ekonomis oleh
pesantren. Jadi, pesantren, pada hakikatnnya mampu menjadi pusat kelembagaan
ekonomi bagi wargannya di dalam pesantren
maupun diluar pesantren.
Dengan melihat kenyataan tersebut, maka pesantren
haruslah menggerakan dan memanfaaatkan potensi yang dimiliki pesantren, agar
nantinnya mampu meningkatkan laju pertumbuhan pesantren terutama dalam hal
ekonomi. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, pesantren diyakini mampu untuk
mewujudkan hakikat bahwa pesantren mampu menjadi pusat kelembagaan ekonomi.
Memanfaatkan sumber daya lokal salah satunnya,
memanfaatkan santri dengan sejuta potensi yang ia miliki sebagai penggerak
ekonomi.oleh sebab itu, didalam pondok poesantren sebaiknnya diadakan
penelurusan bakat atau potensi santri lalu dibina dan dilatih. Selain santri di
dalam pondok pesantren dibekali dengan spiritualitas, sebagai bekal mengabdikan
dirinnya pada umat, santri juga harus belajar bagaiaman memanajemen suatu
organisasi, maupun bekal kewirausahaan. Agar nantinnya, melalui sumber daya
yang dimiliki santri akan mampu memaksimalkan potensi ekonomi pondok pesantren
serta mampu meningkatkan ekonomi masyarakat.
d.
Pemberdayaan Ekonomi
Mandiri
Sebagaimana yang telah diterapkan oleh pondok pesantren
yang menganut sistem modern, kemandirian akan menjadikan pondok pesantren mampu
berdiri tanpa bergantung pada pihak manapun. Artinya,dalam pengembangan pondok,
khususnya Khizanattulahatau pengadaan sumber pembiayaan, pondok
pesantren dapat memperdayakan seluruh civitas pondok untuk menjalankan roda
ekonomi, sistem pendidikan, hingga perluasan jaringan tanpa intervensi pihak
manapun.
Pondok pesantren harus mulai membangun badan-badan usaha
mandiri untuk dikelola secara mandiri pula oleh santri dan guru, dengan naungan
jiwa keihlasan keihklasan dan pengabdian atas pondok pesantren. Dengan begitu,
pondok tidak akan kekurangan sumber penghidupan untuk menjalankan semua civitasnya.
Misalnnya, dengan pendirian KOPOTREN (Koperasi Pondok
Pesantren). Dengan adannya hubungan interaksionis-kultural antara pesantren
dengan masyarakat menjadikan kemudahan tersendiri bagi adannya pendirian
koperasi di suatu pesantren. Melaui hubungan tersebut, pesantren mampu
mengoptimalisasikan masyarakat sebagai konsumennya. Sehingga, selain
mengoptimalkan santri sebagai konsumen pondok pesantren juga mampu
mengembangkan usahnnya dan mampu meimliki jaringan yang luas.
e.
Pemerintah
Sebagai tambahan, penulis merasa perlu meletakan
keterlibatan pemerintah dalam menanggapi pembaharuan yang dilakukan pondok
pesantren. Sebagai pemilik otoritas tinggi di negeri ini, dukngan pemerintah akan
mempercepat proses usaha pesantren
sebagi pusat kelembagaan ekonomi umat. Dalam hal ini, bukan berate pemerintah
melakukan intervensi tapi lebih merupakan upaya memfasilitasi dan mendukung
melalui pengadaan alat-alat yang dibutuhkan sebagai pengembangan ekonomi pada
umumnnya, atau memberikan suntikan dana.
Jika pemerintah, yang diwakili kementrian agama dan
kementrian perekonomian, ikut mendukung keberlangsungan pemberdayaan ekonomi
pondok pesantren dan ikut berpartisipasi dalam legalisasi ekonomi misalnnya,
maka cita-cita menjadikan pesantren sebagai pusat kelembagaan ekonomi umat akan
terlaksana secara utuh. Sinergitas gerakan bottom-up (Pesantren) dan Up
to down (dukungan Pemerintah) akan menjadikan pemberdayaan ekonomi
pesantren yang berujung pada pemberdayaan ekonomi umat.
Dengan begitu, kekhawatiran pondok pesantren akan
hancurnnya eksistensi pesantren akan terkikis justru pesantren mampu memberikan
kontribisnnya kepada masyarakat yaitu memlaui pemberdayaan ekonominnya yang
nantinnya akan membantu keberlangsungan hidupnnya. Mewujudkan pemberdayaan ekonomi umat melalui
pemberdayaan ekonomi pesantren bukanlah hal yang mudah. Perlu usaha keras dan waktu yang tidak sebentar. Namun,
dengan kamauan dan integrasi yang kuat, serta menjadikan pesantren dengan
segala nila, jiwa dan pemberdayaan sumber daya local yang intens, sebagai
sarana menuju pemberdayaan ekonomi pondok pesantren maka cita-cita tersebut akan terwujud.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pesantren, sebagai “institusi budaya” yang
lahir atas prakarsa dan insiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak
awal berdiri merupakan potensi strategis yang ada ditengah kehidupan
masyarakat. Kendati banyak pesantren yang memposisikan dirinnya (hannya)
sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa
pesantren telah berupaya melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan
sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu,
pesantren dituntut untuk melakukan pembaharuan yang dapat menoptimalkan potensi
yang dimilikinnya. Khususnya, dalam pemberdayaan masyarakat melalui ekonomi.
Seperti Wahid Hasyim, melalui pembaharuannya
dalam pesantren, dengan
mengkolaborasikan metode-metode yang baru dan tidak menghapus metode yang telah
lama berjalan. Salah satunya yaitu mengambil dari sistem barat, ia
mengkolaborasikan keduannya, antara sistem tradisional dan sistem sekuler.
Dalam pendidikan sekuler, ia banyak membekali santrinnya mengenai hal-hal umum,
baik dari matematika, hingga sampai ekonomi.
Salah satu pemikirannya tentang ekonomi
yaitu bahwasannya semua berawal dari kebangitan ekonomi, termasuk pondok
pesantren. Karena menurutnnya, sebagi seorang santri tidaklah hanya belajar kitab
kuning dan semua yang berhubungan dengan agama. Oleh karena itu, ia membekali
santri dengan bentuk pembelajaran yang berlandaskan kemandirian dan hanya
percaya pada diri sendiri.
Dalam rangka pencapaian optimalisasi potensi
ekonomi pesantren, diperlukan adanya strategi yang dikontekstualisasikan dengan
kondisi kekinian. Yaitu, (1) Menanamkan kembali nilai keislaman seperti ikhlas,
sederhana, dan ukhuwah dalam menjalankan pendidikan, maupun manajemen di
pondok pesantren. kemudian (2) Mewakafkan pondok pesantren kepada umat Islam,
agar dapat menjamin keberlangsungan dan eksistensi pondok pesantren, serta
menghindari otoritas tunggal yang cenderung feudal. (3) Pemberdayaan Sumber
Daya Lokal, yaitu memanfaatkan sumber daya santri maupun segala yang ada di pondok
pesantren. (4) Pemberdayaan Ekonomi Mandiri.
(5) Dukungan pemerintah juga tidak boleh
disisngkirkan. Sebagai pemilik otoritas tertinggi di negeri ini, pemerintah
dapat memfasilitasi dan melegitimasi keberadaan pondok pesantren sebagai sebuah
lembaga ekonomi yang berbasis kerakyatan. Dukungan tanpa intervensi, serta
member kebebasan bagi pesantren untuk menjalankan fungisnnya selain sebagai
pencetak kader yang berke Tuhanan, namun menciptakan kader dengan skill yang
akan berimbas pada terwujudnnya pondok pesantren sebagai pusat kelembagaan
ekonomi umat.
B. Saran
KH. Wahid Hasyim telah
menelurkan berbagai pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan dan kemaslahatan
umat Islam di Indonesia. Tidak terkecuali pemikirannya mengenai pembaharuan
kepondokpesantrenan. Adalah sebuah integrasi sosial yang tepat yang dibutuhkan
oleh pondok pesantren di Indonesia untuk membenahi sistem ekonominya:
ekoproteksi. Lembaga pesantren, santri, masyarakat dan pemerintah perlu
menyatukan komitmen untuk mewujudkan eksistensi dan kemajuan pondok pesantren
sebagai basis Sumber Daya Manusia Islam yang beradab.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Jogjakarta: Pustaka Pesantren.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Djumhur, I. dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta:
Andi Offset.
A.
Halim, M. Chairul Arif. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Hielmy, Irfan. Modernisasi Pesantren: Meningkatkan
Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah. Bandung: Nuansa.
Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. 2006. Revitalisasi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jauharudin, Adien. 2008.
Menggerakan Nahdlattut Tujar. Jakarta: Perhimpunan Masyarakat
Pesantren Indonesia.
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik
Anak di Zaman Global. Jakarta:
PT Grasindo.
Qomar, Mujamil. 2007. Pesantren, Dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Rahardjo,
1995. Pesantren dan Pembangunan. Jakarta : LP3ES.
________.
1985. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: LP3ES.
________. 1995. Jurnal Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Rivai, Muhammad. 2009. Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Yogyakarta: Garasi.
Suprayogo, Imam dkk. 2006. Tsaqafah: Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Islam. Ponorogo: ISID PM Darussalam Gontor.
Sulaiman,
Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Bandung:
Mizania.
Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor, Edisi
2007-2010.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren:
Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta:
Ciputat Press.
Zubaidi.
2007. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
BIODATA PENULIS
Nama :
Siti Nur Azizah
TTL : Cilacap, 19 September 1991
Pekerjaan : Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Purwokerto
Alamat : Pondok Pesantren Al-Hidayah Karang Suci,
Purwokerto
Pengalaman : a. Juara Harapan II Lomba Karya Tulis Ilmiah SIM
BEM
Universitas
Negeri Sebelas Maret 2010
b.
Juara Harapan
I Lomba Karya Tulis Ekonomi Syariah Nasional Universitas Negeri Semarang 2010
c.
Tulisannya
dimuat di media massa seperti Solo Pos,
Majalah Obsesi, Majalah An-Noer
[1]Adien Jauharudin. 2008. Menggerakan Nahdlatut Tujjar.
Jakarta: Perhimpunan MasyarakatPesantren Indonesia (PMPI). Hal.2.
[2]A. Halim, M. Choirul Arif.2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. Hal.207
[3]A. Halim.2005. Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Hal. 222.
[4]Mohammad Rifai. 2009. Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953.
Jakarta: Garasi. Hal 13.
[6]A. Halim, M. Choirul Arif.2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. Hal. 5.
[7]Mohammad Rifai. 2009. Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953.
Jakarta: Garasi. Hal. 91.
[8]Abd. A’la. 2006. Pembaharuan pesantren. Jogjakarta: Pustaka
Pesantren. Hal. 9.
[9]Mujamil Qomar. 2007. Pesantren, Dari Tranformasi metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga. Hal. 22 dan 25.
[10]Adien Jauharudin.2008. Menggerakan
Nahdlatut Tujar. Jakarta: Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia. Hal.
9
[11] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 136
[12] Ibid. Hal. 193
[13] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Yogyakarta: Rineka Cipta. Hal. 245.
[15] Mujamil Qomar. 2007. Pesantren, Dari Tranformasi metedologi
menuju Demokratisaso Intitusi. Jakarta: Erlangga. Hal. 13.
[16] I. Djumhur dan Danasuparta. Sejarah pendidikan. Bandung: CV Ilmu.
Hal. 223.
[17] Abdurahman Wahid. “Pesantren Sebagai Sub Kultur” dalam Rahrdjo,
1995. Pesantren Dan Pengembangan.
Jakarta: LP3ES. Hal. 43.
[18] Azumardi Azra. “Surau di tengah Krisis: Pesantreb dan Persepektif
masyarakat” dalam Rahardjo, 1995. Pesantren dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Hal. 43.
[19] Ali Ma’shum. 1995. Ajakan Suci. DIY: LTNU. Hal. 108.
[20]A. Halim, M. Chairul Arif. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. Hal. 7.
[21] Nurcholis Majid, dalam Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren.
Jakarta: Ciputat Press. Hal. 13
[22] H. Nur Syam. 2005. Penguatan Kelembaga Ekonomi Berbasis Pesantren.
Dalam A. Halim et al. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. Hal. 248.
[23]Rr. Suhartini. Problem. Hal. 235.
[25] Ibid. Hal 240-241.
[26] Adien Jauharudin. 2008.
Menggerakan Nahdlattut Tujar. Jakarta: Perhimpunan Masyarakat
Pesantren Indonesia. Hal. 14.
[27]Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia. Hal. 771.
[28]Abdurahman Wahid. 2001. Prolog. Dalam Marzuki Wahid. et
All. Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi Pesantren.
Jakarta: Pustaka Hidayah. Hal. 15.
[29] A. Halim. Menggali. Hal 227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar