Karya Tulis
Ilmiah Kelompok
Bersama: 1. Angga Aryo Wiwaha
2. Siti Nur Azizah
3. Titik Yayuk W
Menjadi Juara Harapan Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah se-Jawa di UNS Solo
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Budaya senantiasa berangkat dari
sejarah, yang kemudian membentuk produk-produk yang menjelaskan bahwa sebuah
evolusi panjang telah terjadi. Artefak, perilaku sosial, dan sistem nilai
merupakan produk tersebut. Semua produk budaya selalu berasas pada pola
kearifan lokal yang berasal dari manusia dengan segala pemahaman dan pola
pikirnya. Kearifan lokal yang bermula dari kognisi untuk bertindak dan bersikap
dalam suatu peristiwa, kemudian membentuk ekspresi beragam berupa adat, karya
seni, hingga pola pikir manusia pun terbentuk dari kearifan lokal tersebut. Sebuah
sinergi ditunjukkan keduanya: kearifan lokal mengintervensi evolusi budaya, dan
karya budaya melukiskan bentuk kearifan lokal yang khas di setiap daerah.
Begitu pula dengan batik.[1]
Setelah disahkan oleh UNESCO, pada
tanggal 2 Oktober 2009, sebagai Masterpiece of the Oral and Intagible
Heritage of Humanity (Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan
Nonbendawi), busana batik berhasil mengambil tempat strategis dalam keseharian
masyarakat Indonesia. Mulai dari seragam siswa sekolah dasar, pegawai negeri,
hingga berkembangnya industri batik yang ternyata begitu potensial di negara
ini.
Di sejumlah
daerah di Jawa Tengah, batik pun menjamur. Perkembangan batik di Banyumas, berpusat
di Sokaraja. Di sini batik dibawa oleh para pengikut Pangeran Diponegero usai
peperangan pada 1830. Pengikutnya yang terkenal ialah Najendra yang mengembangkan batik
celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai adalah hasil tenunan sendiri dengan
pewarna dari pohon tom, pace, dan mengkudu yang memberi warna merah bersemu kuning.
Batik di Banyumas dikenal dengan motif dan warna yang khusus dan sekarang dinamakan Batik
Banyumas. Setelah PD I, pembatikan mulai pula dikerjakan dan diperdagangkan oleh
bangsa Cina.[2] Dalam perkembangannya, industri batik di Kabupaten Banyumas ternyata
cukup potensial. Pada tahun 2006, berdasarkan buku Produk Industri Andalan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas, terdapat 624 unit usaha
pembatikan yang terpusat di Kecamatan Banyumas dan Kecamatan Sokaraja.[3]
Eksistensi Batik Banyumas telah
mengalami krisis pada beberapa dasawarsa terakhir. Sebenarnya di era 70-an,
Batik Banyumas pernah mengalami masa keemasan. Akan tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. Angka 624, yang menyebutkan potensi industri batik di tahun
2006, bukanlah angka yang mengagumkan. Karena di awal tahun 2002, Data Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) mencatat bahwa semula
ada 990 unit usaha batik di Kabupaten Banyumas.[4]
Titik terpenting dari kemerosotan ini
adalah ditinggalkannya berbagai aspek filosofis dan kearifan lokal dari produk
budaya itu sendiri (batik). Makna terdalam dari filosofi Batik Banyumas (dan
budaya jawa lainnya) adalah harmoni yang terjalin antara alam dan manusia.
Dekonstruksi budaya dan kearifan lokal kemudian terjadi pasca globalisasi
industri yang mengedepankan slogan “efektif-efisien”, sehingga produk budaya
yang menjunjung proses dan segala aspek mistis simboliknya ditinggalkan demi menanggulangi
kekangan ekonomis yang disuguhkan industri global.
Rekonstruksi eksistensi Batik
Banyumas tidak akan terjadi tanpa upaya optimal. Upaya ini berawal dari
pembenahan pola pikir untuk kembali pada kearifan lokal. Dengan menanamkan mistisisme
Batik Banyumas sebagai bentuk kearifan lokal, kemudian mengimplementasikannya
dalam pola pikir serta perilaku sosial masyarakat, budaya Batik Banyumas akan
kembali kepada martabatnya sebagai suatu kebanggaan masyarakat Jawa yang menjunjung
orde yang terbentuk, serta harmonisasi antara manusia dengan alam.
Pembenahan mendasar tersebut sangat
bergantung pada kualitas manusia dalam suatu masyarakat budaya. Kepribadian,
perilaku, serta tatanan nilai pola pikir sumber daya manusia secara bertahap
senantiasa mengikuti evolusi budaya yang dialami masyarakat.
Menggalakkan pemahaman akan kearifan
lokal yang terkandung dalam makna filosofis Batik Banyumas kepada masyarakat,
juga akan mendongkrak kualitas sumber daya manusia, khususnya sumber daya Batik
Banyumas. Jika kualitas ini telah terbentuk, maka eksistensi Batik Banyumas
tidak akan terangkat secara parsial (ekonomis saja), namun keluhuran karya
budaya ini juga akan menjadi dasar budi pikir masyarakat Banyumas.
Modernisme pun menyuguhkan hal
serupa. Namun distorsi budaya barat ini menghadirkan dekadensi yang ekstrim
terhadap budaya negeri dan semangat lokalitas. Industrialisasi yang dihadirkan
budaya modern menuntut berbagai komoditas ekonomi untuk meninggalkan lokalitas
yang banyak bersandar pada esensinya yaitu ciri khas, identitas, nilai moral,
dan kearifan lokal. Esensi tersebut bertolak belakang dengan modernisme
yang mengedepankan homogenitas, industrialisasi, dan globalisasi tanpa batas.
Problematika eksistensi Batik
Banyumas ini menyerang secara khusus pada generasi budaya Banyumas dewasa ini,
sehingga terjadi degenerasi yang terus menerus. Pada saat ini ternyata sulit
mensosialisasikan pada para remaja, untuk duduk dan melukis lilin di atas kain:
membatik. Hal inilah yang menjadikan perkembangan sumber daya manusia Batik
Banyumas tersendat Generasi muda saat ini telah banyak meninggalkan nilai-nilai
kearifan lokal dan terbawa modernitas yang lebih konsumtif dan berjiwa serba
instan.
Fokus industri inilah yang harus
dirambah dengan tepat oleh masyarakat yang bergerak dalam industri Batik di
Banyumas, tanpa meninggalkan filosofi kearifan lokal yang tertanam dalam budaya
Batik Banyumas. Namun, kontradiksi yang terjadi antara dua budaya ini
(lokalitas dan modernitas), menjadi tantangan tersendiri bagi budaya Batik
Banyumas dalam mempertemukan idealitas kearifan lokalnya dengan realitas modern
yang dihadapinya..
ACFTA (Asean China Free Trade Area), yang
mulai berlaku di tahun ini, dapat menjadi gambaran tepat tentang tantangan
eksistensi Batik Banyumas pada tatanan industri. Walaupun belum marak di
Kabupaten Banyumas, serangan Batik China mulai menjadi penghadang
sektor pemasaran bagi Batik Banyumas, khususnya pemasaran ke luar daerah. Tentu
saja hal ini disebabkan produk China
yang dikenal murah, terlepas dari kualitas produk, yang memang cukup banyak
diminati masyarakat Indonesia.
Daya saing dan tingkat efisiensi produksi menjadi tantangan tersendiri bagi
pelaku bisnis, khususnya produsen Batik Banyumas yang mengedepankan semangat
lokalitas dalam setiap produksinya.
Walau begitu, ada sebuah harapan bagi
industri Batik Banyumas untuk berkembang, sekaligus mengimbangi arus modernitas
industrialisasi, tanpa meninggalkan lokalitas yang mewariskan nilai-nilai moral
kedaerahan. Selain keberadaan pengusaha batik di Banyumas yang masih eksis,
para peminat dunia fashion terbukti mulai melirik busana Batik. Budaya post-modernism
ini menjadi peluang.
Tahun 2009 yang lalu, Poppy Darsono,
perancang busana yang juga Anggota DPD Jawa Tengah, menampilkan rancangan Batik
Banyumasnya dalam ajang Jakarta Fashion Week. Dalam rancangannya,
ia menampilkan perpaduan unsur maskulin
dan feminin dengan mengetengahkan ragam siluet tegas, seperti model jas, jaket,
blazer yang dipadukan dengan dress dan blouse dari
material sifon yang lembut, anggun, sekaligus feminin.[5]
Rancangan modern ini terbukti sangat diminati, karena keunikan corak dan motif
Batik. Banyumas yang memang sangat berbeda dengan motif batik lain di
Indonesia. Ini merupakan tonggak awal bagi Batik Banyumas, untuk menuju
eksistensi dan industrialisasi, yang berujung pada distribusi identitas
Kabupaten Banyumas.
Fakta inlah yang akan menguntungkan,
jika dipola dan dikelola dengan baik. Dengan kolaborasi sempurna dua potensi
fenomenal di atas, pengembangan eksistensi, serta modernisasi industri Batik
Banyumas, nantinya Kabupaten Banyumas akan mampu menyandang identitas sebagai The
Tradmodernition[6] Batik Industry Country (Daerah Industri
Batik Berbasis Tradisional-Modern). Sebuah misi sinkronisasi kreatif antara
tradisi dan modernitas, yang akan menjadikan budaya Batik Banyumas tidak hanya
lestari sebagai sebuah budi luhur kearifan lokal, tapi juga mampu menggerakkan
perekonomian masyarakat Kabupaten Banyumas secara progresif melalui sebuah
glokalisasi[7].
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran
tersebut, penulis akan membahas berbagai aspek tentang:
1.
Bagaimana mengembalikan nilai
kearifan lokal Batik Banyumas kepada masyarakat.
2.
Bagaimana meningkatkan kualitas
sumber daya manusia berbasis kearifan lokal Batik Banyumas.
3.
Bagaimana strategi industri
Batik Banyumas menghadapi globalisasi industri.
C. Tujuan Penulisan.
1.
Mengembalikan nilai kearifan
lokal Batik Banyumas kepada masyarakat.
2.
Meningkatkat kualitas sumber
daya manusia berbasis kearifan lokal Batik Banyumas.
3.
Menyuguhkan strategi industri
Batik Banyumas dalam menghadapi globalisasi industri.
D. Manfaat Penulisan
1.
Sebagai wacana keilmuan
mengenai eksistensi Batik Banyumas melalui pemberdayaan sumber daya manusia
berbasis kearifan lokal.
2.
Sebagai bentuk upaya
pengembangan indusctri Batik Banyumas dalam menghadapi pasar modern dengan tetap
mempertahankan filosofi dan semangat lokalitas.
3.
Sebagai alternatif strategi
bagi para praktisi usaha Batik Banyumas dalam melestarikan dan memperluas
pasar.
E. Sistematika Penulisan.
Untuk mempermudah pembahasan, maka
penulis membagi pokok pembahasan ke dalam lima
bab secara sistematis. Sistematika tersebut meliputi:
Bab I: Pendahuluan yang berisi latar
belakang permasalahan mengenai diseksistensi filosofi kearifan lokal pada Batik
Banyumas, sebagai dampak arus globalisasi industri, serta pengaruhnya terhadap
dekonstruksi kualitas sumber daya manusia.
Bab II: Tinjauan Pustaka yang
mengulas rujukan-rujukan pustaka mengenai sumber daya manusia, perkembangan
dunia industri serta beberapa tulisan mengenai kearifan lokal.
Bab III: Metode Penulisan yang
mencakup bagaimana langkah-langkah penulis menerapkan penelitiannya, melalui
observasi, pengumpulan, hingga metode analisis data untuk menyimpulkan
sederetan fakta, untuk kemudian menyusunnya menuju pemecahan masalah.
Bab IV: Pembahasan mengenai bagaimana
mengembalikan nilai filosofis Batik Banyumas kepada masyarakat, bagaimana SDM
yang dapat terbentuk dari pemahaman dan kecintaan pada kearifan lokal Batik
Banyumas, dan strategi terapan yang akan mewujudkan Banyumas sebagai The
Tradmodernition Batik Industry Country.
Bab V : Penutup yang mencakup
kesimpulan dan saran penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, beberapa
literatur pustaka menjadi rujukan untuk mendasari beberapa dasar pijakan
berpikir. Salah satunya tulisan Nurma Ali Ridwan dalam Ibda, Jurnal Studi
Islam dan Budaya, yang mengatakan bahwa secara substansial, kearifan lokal
itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari
masyarakat setempat.[8]
Kearifan lokal setiap daerah
tercermin melalui bentuk budaya lokal daerah tersebut. Sebagaimana Dr. Kuntowijoyo
yang menyatakan bahwa budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai pengaruh
koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra,
lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan
konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya.[9]
Dari pada itu, penulis berargumen
bahwa sumber daya manusia terbentuk dari budaya lokal yang membentuk
pribadinya. Hal ini selaras dengan pernyataan bahwa sistem simbol dan
epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa
stratifikasi, gaya
hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh
perilaku sosial. Demikian juga budaya material yang berupa bangunan, peralatan
dan persenjataan tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya.[10]
Budaya batik juga merupakan artefak yang terbentuk dari sistem sosial
masyarakat Banyumas yang berkaitan erat dengan sumber daya manusianya.
Perkembangan budaya selalu membentuk
pola pikir yang berbeda pada setiap manusia, termasuk perkembangan pemikiran
mengenai masalah ekonomi. Kuntowijoyo juga mengungkapkan bahwa pada mulanya
golongan kelas menengah tidak memusatkan perhatian kepada masalah-masalah
politik dan ekonomis. Namun kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung
kebudayaan baru.[11]
Perubahan sikap melalui budaya ini pula yang membentuk perbedaan kualitas
sumber daya manusia pada setiap masyarakat budaya yang berbeda.
Perkembangan sumber daya manusia
selalu berkaitan dengan tingkat perekonomian masyarakat. Industri adalah kata
benda yang merujuk pada proses pengolahan benda. Industrialisasi sendiri,
mengacu pada usaha pengembangan industri di suatu daerah tertentu. Jika menilik
sejarah yang berakar pada Revolusi Inggris, industrialisasi adalah suatu proses
interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan
antar negara yang meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong perubahan
struktur ekonomi.[12]
Fakta yang bertolak belakang dialami
industri batik Banyumas. Hal ini diakibatkan oleh sumber daya manusia yang
kurang berkembang, yang dipengaruhi oleh diskriminasi budaya. Modernisme lebih
banyak merasuki segala aspek kehidupan masyarakat, yang meninggalkan kearifan
lokal sebagai sistem sosial budaya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis
akan membahas tentang bagaimana mengembangkan sumber daya manusia dan perekonomian
masyarakat berbasis kearifan lokal batik Banyumas, melalui strategi
sinkronisasi lokalitas dan modernitas: tradmodernition.
BAB
III
METODE PENULISAN
Dalam penulisan karya tulis ilmiah
ini, penulis menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data, serta penulisan
hasil penelitian:
A. Objek Penelitian
Penulis meneliti berbagai fakta
mengenai korelasi antara tergerusnya industri Batik Banyumas, dengan dekadensi
moral budaya dan pemahaman akan kearifan lokal yang dialami masyarakat. Sebagai
sampel, penulis meneliti realita perkembangan industri Batik di Kampung Bathik
Kauman, Sokaraka Tengah, Banyumas.
B. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data akurat, penulis
menggunakan beberapa metode, dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan
setiap metode:
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan
dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[13]
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kondisi masyarakat dan
perkembangan industri Batik Banyumas. Yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan
di tengah masyarakat, dengan Kampung Bathik Kauman sebagai sampel, secara
langsung untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan kondisi objektif
mengenai realita budaya ini.
2. Metode Interview
Metode interview adalah metode
pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara
sistematik dan berlandaskan dengan tujuan penyelidikan.[14]
Dalam penggunaan metode penulisan ini penulis mengguankan sistem opened and
controlled yaitu interview yang bebas tetapi terkontrol, dengan kata lain
interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview
kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan
sistem ini, agar dalam wawancara lebih mudah dan komunikatif. Tetapi dalam
pembicaraan mengena sasarannya karena ada kontrol sehingga data-data yang
diperoleh akan terjamin validitasnya.
Metode ini penulis gunakan untuk
mendapatkan data tentang beberapa makna filosofis dari motif dan proses
membatik tradisional, perkembangan industri batik Banyumas dan data-data lain
yang ada kaitannya dengan penelitian.
3. Metode Analisis Data
Agar data yang diperoleh bukan
merupakan informasi yang mentah dan pembaca mudah menginterpretasikan terhadap
data yang telah diolah maka diperlukan analisis data sebagai kelanjutan untuk
menjawab kelanjutan pertanyaan ini. Dalam hal ini penulis menggunakan metode
analisis kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh.
Penulis menggunakan metode kualitatif,
yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis data-data yang bersifat
kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisah menurut
katagori untuk memperoleh kesimpulan.[15]
Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan,
keterangan yang bukan berupa angka.
Dengan mengumpulkan dan menganalisis
data-data tersebut, penulis menyimpulkan
pemecahan permasalahan yang dialami eksistensi dan industrialisasi batik
Banyumas. Dengan mensinergikan modernisme dan kearifan lokal Batik Banyumas, akan
melestarikan budaya batik menjadi komoditas perekonomian masyarakat Banyumas
tanpa meninggalkan filosofi kearifan lokal didalamnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Mengembalikan Filosofi
Kearifan Lokal Batik Banyumas
Kabupaten Banyumas, secara geografis,
terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, serta berbatasan dengan
Kabupaten Cilacap, Tegal, Pemalang, Brebes, Purbalingga, Kebumen, dan Kabupaten
Banjarnegara. Di sebelah utara, terdapat
pegunungan
Slamet, dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar
3.400M, dan masih aktif. Karena keadaan wilayah antara daratan dan pegunungan
inilah, sehingga bumi dan kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong
potensial. Dengan struktur pegunungan, bercocok tanam adalah sumber utama
pencaharian masyarakat Banyumas. Lahan-lahannya terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu
untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan,
sebagian pegunungan untuk perkebunan, serta hutan tropis yang terletak di
lereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Walau sebenarnya masih berakar dari
budaya Jawa, budaya Banyumas memiliki ciri khas unik tersendiri. Hal ini bisa
dilihat dari kesenian Tarian Ebeg, hingga Begalan, yang tidak ditemukan di
daerah lain. Alat musik Calung dan Kenthongan juga menjadi ciri khas daerah
ini. Selain itu, makanan khas Banyumas juga cukup dikenal di seluruh Indonesia.
Seperti Mendoan, Keripik Tempe, dan Gethuk Goreng Sokaraja.
Salah satu budaya lokal potensial di
Banyumas adalah batik. Berbeda dengan daerah lain, Batik Banyumas memiliki
keunikan dalam mencitrakan budaya masyarakat Banyumas yang menjunjung tinggi
nilai kebebasan, semangat kerakyatan dan demokrasi, serta sifat cablaka
yang menyenangi keterbukaan dan apa adanya. Hal ini terlihat jelas dari
pola-pola Batik Banyumas, yang kebanyakan bermotif Jorasan, yaitu
kelompok motif nongeometrik yang didominasi dengan warna-warna dasar kecoklatan
dan hitam.
Budaya membatik di Kabupaten Banyumas
merupakan salah satu media unik, tempat masyarakat Banyumas biasa menuangkan
pandangan hidupnya lewat goresan-goresan motif di atas kain. Ciri khas inilah
yang terlihat dari makna filosofis motif-motifnya, seperti Sekarsurya,
Sidoluhung, Lumbon (Lumbu), Jahe Puger, Cempaka Mulya, Kawung Jenggot, Madu
Bronto, Satria Busana, Pring Sedapur, serta berbagai motif kombinasi dan
improvisasi yang diciptakan oleh para pembatik di Banyumas.
Dengan keunikan dan kekhasan
yang menarik tersebut, tidak diragukan
bahwa batik merupakan potensi budaya dan pariwisata yang menjanjikan di
Kabupaten Banyumas. Sayangnya potensi tersebut terhambat arus modernitas, yang
sedikit banyak telah menggerus eksistensi budaya Batik Banyumas.
- Harmonisasi Dalam Filosofi Batik Banyumas
Secara umum budaya Jawa berakar dari
perkembangan agama-agama yang menyebar di nusantara. Agama Hindu dan Budha
memberi pengaruh besar pada makna filosofis budaya-budaya di Jawa. Inti dari ajaran-ajaran
tersebut bersandar kepada Harmoni antara manusia dengan alam. Harmoni ini tidak
hanya tercermin dalam sistem nilai, tetapi juga terdapat pada artefak seni
budaya. Makna filosofis ini juga terdapat dalam Batik Banyumas.
Batik Banyumas menunjukan makna-makna
yang dalam pada motif-motifnya. Motif sekar jagad dapat dijadikan contoh
di mana motif ini mencerminkan ekspresi kebahagiaan. Begitu pula motif Sido
Mukti yang mencerminkan harapan untuk hidup yang sejahtera. Ada juga batik motif Lumbon
(daun liar) yang bermakna bahwa seseorang yang memakainya mudah
beradaptasi. Makna-makna motif tersebut mencerminkan do’a yang disanjungkan
oleh sang pembatik kepada pemakainya.
Selain menunjukan makna filosofis,
secara fungsional motif-motif Batik Banyumas mampu menjadi simbol dari strata
sosial dalam masyarakat. Misalnya, motif Barong yang dipakai oleh
pembesar-pembesar kerajaan, hingga motif Kruwung yang dipakai oleh
masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagaimana dalam ajaran Hindu, yang
mendominasi akar budaya Jawa, fungsi Batik juga membagi strata sosial
masyarakat. Kasta tersebut (1) Brahmana yaitu kasta yang menempati posisi
tertinggi: golongan pendeta; (2) Kesatria merupakan kasta kedua yaitu golongan
bangsawan dan prajurit; (3) Waisya yaitu golongan para pedagang; petani dan
tukang; (4) Sudra yaitu golongan rakyat biasa; (5) Paria merupakan kasta
terendah yaitu golongan rakyat yang hina dina.[16]
Adanya stratifikasi pemakai batik
tersebut membentuk sebuah orde dalam masyarakat. Ketika suatu batik dengan motif
tertentu dikenakan oleh seseorang maka secara tidak langsung akan menunjukkan
strata sosial dari pemakai batik tersebut dan secara langsung akan membentuk
ketundukpatuhan orang-orang yang berada pada strata sosial dibawahnya.
Strata sosial yang dianggap tidak
adil dan bertolak belakang dengan demokrasi, sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Ketika pemahaman tentang strata itu ditinggalkan, kepatuhan dan penghormatan
terhadap orangtua, pemimpin serta para pemuka agama dan masyarakat pun luntur. Sebagaimana
kutipan dari Ranggawarsita dalam Budaya dan Masyarakat karya
Kuntowijoyo:
“Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi,
sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan
kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus jaman
bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia
karena tergenang berbagai halangan.”[17]
Dengan mengembalikan makna filosofis
kearifan lokal batik Banyumas, maka akan mengembalikan nilai-nilai harmoni yang
menjadi inti dari budaya Jawa. Harmonisasi tersebut tercermin dalam fungsi
Batik Banyumas berupa (1) Orde dalam masyarakat, yaitu bentuk penghormatan
sosial yang disimbolkan melalui motif penunjuk strata sosial. Kemudian (2)
motif yang terdapat dalam Batik tersebut juga menunjukan munajat atau do’a-do’a
yang dirapalkan oleh si pembatik yang ditujukan bagi si pemakai. Selain itu,
(3) harmonisasi antara alam dan manusia akan terwujud, mengingat pewarna dari pohon tom, pace, dan mengkudu
yang memberi warna merah bersemu kuning yang digunakan
pada pembuatan batik tradisional, proses serta limbah yang dihasilkan
benar-benar alami dan bersahabat dengan alam. Selain tiga fungsi diatas, pada
akhirnya proses membatik akan berkontribusi pada (4) distribusi ekonomi masyarakat.
Dimana dalam hal ini akan mampu menciptakan industri yang mampu meningkatkan
pendatan masyarakat.
- Strategi Mengembalikan Kearifan Lokal Batik Banyumas
Revitalisasi lokalitas terhadap
modernitas sangat ditentukan oleh sikap dan bentuk interaksi budaya yang
dibangun antara kedua sistem budaya tersebut. Banyak bentuk sikap yang dapat
diambil, mulai dari yang ekstrem (menerima atau menolak globalisasi dengan
tegas), hingga bersikap moderat dengan menerima arus globalisasi sebagai sebuah
sistem, namun menolak segala sifat kontradiktif dan merusaknya, khususnya bagi
kebudayaan lokal. Sikap budaya yang kedua adalah bentuk yang tepat untuk
menyikapi tergerusnya lokalitas dewasa ini, karena globalisasi bukan sekedar
arus yang memiliki kecepatan, namun juga memiliki percepatan.[18]
Dengan sikap realistis moderat ini, seni-budaya akan siap menjadi suatu tradmodernition.
Tradmodernition merupakan penyelarasan sinergi antara lokalitas dan modernitas.
Inti dari misi sinkronisasi ini adalah kolaborasi esensi kedua budaya tersebut
(lokal dan modern), tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai yang menjadi
keutamaan filosofis lokalitas. Esensi dari tradisi kedaerahan adalah ciri khas,
identitas, nilai moral, dan kearifan lokal. Sedangkan esensi dari modernitas
adalah industrialisasi dan globalisasi.
Untuk mengembalikan kearifan lokal
Batik Banyumas kepada masyarakat, beberapa strategi dapat diterapkan seperti
sosialisasi filosofi Batik Banyumas agar makna-makna dibalik Batik Banyumas
kembali familiar dan mencapai eksistensinya lagi.
Untuk mewujudkannya beberapa media
diperlukan sebagai sarana pencapaian misi tersebut. Salah satu media tersebut
adalah (1) pendidikan, dimana para pelajar berada pada usia yang tepat untuk
memahami berbagai motif-motif Batik Banyumas dan filosofi-filosofi simbolik
dibaliknya. Strategi berbasis pendidikan ini akan melahirkan generasi budaya
yang baru, yang tidak hanya mengetahui Batik Banyumas namun juga meresapi
kearifan lokal yang menjadi pesan moral budaya tersebut.
Selain media pendidikan, pola pikir
masyarakat dapat dibentuk melalui (2) media massa yang mampu menjembatani antara budaya populer
dengan sosialisasi kearifan lokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Ujang Sumarwan,
bahwa Masyarakat modern yang hidup di hampir semua negara memiliki kesamaan
budaya, yaitu budaya populer. Budaya populer dinikmati bersama oleh semua
masyarakat yang melewati batas negara, bangsa, agama, ras dan
perbedaan-perbedaan lainnya.[19]
Perkembangan budaya populer inilah yang harus dimanfaatkan untuk membuat
kearifan lokal Batik Banyumas dikenal dan dicintai oleh masyarakat.
Sosialisasi ini dapat memanfaatkan
media iklan dalam berbagai bentuk, televisi dengan berbagai acara, atau media
cetak yang secara khusus memuat berbagai hal mengenai Batik Banyumas (makna
simbolik dan perkembangan industrinya). Media yang menfasilitasi budaya popular
ini mudah dipahami oleh sebagian masyarakat, tanpa harus mengenal secara detail
dasar-dasar dari apa yang disosialisasikan. Dengan gambaran yang ringan,
sosialisasi budaya dapat lebih mengena.
Di samping media di atas, diperlukan
juga (3) peran aktif pemerintah Kabupaten Banyumas. Misalnya Pemerintah
menfasilitasi para pengusaha Batik untuk mensosialisasikan Batik melalui
pameran-pameran atau pendirian galeri budaya. Peran aktif pemerintah juga bisa
dituangkan melalui kebijakan-kebijakannya seperti misalnya setiap usaha yang
berkaitan dengan pariwisata harus ada muatan lokal di dalamnya.
Selain itu, Batik Banyumas juga bisa
ditampilkan dalam setiap momen-momen besar yang diperingati oleh masyarakat
Banyumas, misalnya hari jadi Kabupaten Banyumas. Pada momen-momen tersebut
Batik Banyumas dapat disosialisasikan melalui even-even tertentu, seperti pawai
budaya atau lomba karya tulis yang ditujukan kepada masyarakat, khususnya
pemuda, mengenai budaya Batik Banyumas beserta nilai-nilai kearifan lokal di
dalamnya.
Keseluruhan penerapan strategi
tersebut, akan berdampak pada pemahaman dan kecintaan masyarakat terhadap Batik
Banyumas beserta melekatnya nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya. Sehingga pembentukan
jati diri sumber manusia Batik Banyumas akan berasas pada kecintaan terhadap
kearifan lokal.
B.
Sumber Daya Manusia
Berbasis Kearifan Lokal Batik Banyumas
Batik Banyumas pun memperlihatkan
wujud eksistensi dari suatu budaya. J.J. Honigmann, dan kebanyakan antropolog
lainnya, membagi bentuk kebudayaan ke dalam tiga wujud, yaitu (1) artefak, (2)
perilaku sosial, dan (3) sistem nilai. Dari semuanya, sistem nilai menjadi
substansi dari semua bentuk wujud budaya. Sistem ini telah mengakar pada setiap
individu dalam suatu masyarakat budaya, serta membentuk pola pikir mereka
menjadi watak yang secara tidak sadar, akan terus dibawa dan diwariskan kepada
generasi budaya berkutnya. Perbedaan karakter artefak kesenian dan perilaku
sosial pada setiap daerah, di Indonesia bahkan di seluruh dunia, dapat
menunjukkan wujud sistem nilai yang berbeda.
Setelah makna kearifan lokal Batik
Banyumas berhasil ditanamkan dalam diri serta keseharian masyarakat, maka akan
terbentuk jiwa-jiwa sumber daya manusia berasaskan cinta terhadap budaya Batik
banyumas. Asas tersebut akan menciptakan tiga bentuk SDM Batik Banyumas dalam
setiap lapisan masyarakat, berdasarkan kemampuannya, yaitu:
1. Sumber Daya Membatik
Ketika kebutuhan ekonomi menjadi
sandaran bagi masyarakat, kegiatan membatik tradisional tidak menjadi pilihan,
mengingat kalkulasi pendapatan yang masih jauh di bawah UMR (Upah Minimum
Regional). UMR Kabupaten Banyumas sebesar Rp. 670.000,-/bulan saat ini tidak
dapat dicapai para pembatik sebagai pendapatan.
Pengusaha Batik Banyumas di Kauman,
Sokaraja Tengah menuturkan, bahwa jika produsen batik menetapkan upah harian
pembatik sebesar Rp. 20.000,-/hari (kurang dari UMR), akan menghasilkan
perhitungan biaya produksi sebesar Rp. 235.000,-/lembar batik, dengan asumsi
setiap lembar diselesaikan dalam delapan hari. Dari perhitungan tersebut, sebenarnya
tidak sesuai ketika setiap lembar batik hanya dijual sebesar Rp. 200.000,-
hingga Rp. 300.000,-. Kalkulasi tidak menguntungkan ini membuat profesi
pembatik tradisional ditinggalkan.
Namun dengan mengembalikan rasa cinta
terhadap Batik banyumas, perhitungan ekonomi tidak lagi menjadi prioritas dalam
kegiatan membatik. Pelestarian budaya batik menjadi alasan utama bagi para
pembatik tradisional sejak dahulu hingga saat ini. Jika pemahaman dan kecintaan
terhadap kearifan lokal Batik Banyumas kembali pada tempatnya, maka profesi
membatik akan kembali digeluti sebagai bentuk komitmen masyarakat terhadap
eksistensi Batik banyumas sebagai sebuah warisan budaya.
2. Sumber Daya Marketimg
Perlu disadari bahwa membatik tidak bisa
dilakukan oleh semua orang, mengingat ketelitian, keuletan serta citarasa seni
yang tinggi tidak dimiliki setiap individu. Namun dengan pemahaman dan
kecintaan yang telah tertanam, kelompok masyarakat yang lain mampu
berkontribusi terhadap pelestarian Batik Banyumas melalui distribusi Batik
banyumas, baik informasi maupun produk-produknya untuk masuk ke pasar yang
popular.
3. Sumber Daya Modern-Entertaintment
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa
hampir semua bangsa di dunia memiliki budaya yang sama, yaitu budaya popular.
Pada bentuk budaya ini, masyarakat hampir bersifat homogen dan dapat
dipengaruhi dengan cara yang mutual pula. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk melestarikan Batik Banyumas melalui model entertaining
selling.
Model sosialisasi budaya ini
sebenarnya merangkap tekhnik marketing dalam penerapannya. Hal ini bisa
dilakukan melalui pameran batik, pendirian showroom, butik batik, hingga
fashion show yang akan menarik minat banyak orang. Di sana dapat disosialisasikan makna-makna
filosofis Batik Banyumas melalui cara yang lebih popular dan menarik, kemudian
mengangkat prestise Batik Banyumas. Semakin masyarakat mengenal bahwa batik
bukan sekedar kain dari busananya, melainkan juga sebuah karya seni yang patut
dihargai dengan pantas, maka kisaran Rp. 500.000,- ke atas bukan menjadi harga
yang mahal bagi selembar kain batik.
Lebih tepatnya, stratifikasi harga dapat
diterapkan sesuai dengan motif-motif simbolik batik yang menunjukkan kasta
kelas pemakainya. Misalnya, motif Kruwung untuk kalangan menengah ke
bawah dipasarkan dengan kisaran harga Rp 100.000,-. Kemudian motif-motif elite
seperti sekar jagad, sido mokti dan motif barong untuk
kalangan atas hingga strata pemimpin masyarakat, dapat dijual dengan kisaran
harga yang lebih tinggi, bahkan hingga jutaan rupiah. Harga dan makna filosofis
ini selain akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi pemakainya, juga akan
menutupi kalkulasi biaya industri batik agar lebih sesuai dengan kerja keras
pembatiknya.
Tiga bentuk sumber daya manusia
inilah yang dibutuhkan Batik Banyumas untuk berkembang, tanpa meninggalkan
nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya. Integritas ketiga sumber daya manusia
tersebut kemudian akan membentuk sebuah lapangan industri Batik Banyumas yang
akan menjadi komoditas lokal masyarakat Kabupaten Banyumas untuk bersaing
menghadapi globalisasi industri.
C. Banyumas: The
Tradmodernition Batik Industry Country
Industri adalah kata benda yang
merujuk pada proses pengolahan benda. Industrialisasi sendiri, mengacu pada
usaha pengembangan industri di suatu daerah tertentu. Jika menilik sejarah yang
berakar pada Revolusi Inggris, industrialisasi adalah suatu proses interaksi
antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar
negara yang meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong perubahan
struktur ekonomi.[20]
Industrialisasi suatu negara selalu
mengedepankan perkembangan teknologi dan inovasi yang progresif. Dua faktor
inilah yang dianggap terpenting dalam merubah struktur ekonomi suatu negara
dari sisi produksi. Sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat, yang
meningkatkan tingkat konsumsi, adalah yang terpenting dari sisi permintaan.
Pengalaman di hampir setiap negara menunjukkan bahwa industrialisasi dianggap
perlu, karena terbukti mampu meningkatkan efisiensi serta menjamin pertumbuhan
ekonomi.[21]
Lokalitas dan modernitas merupakan
dua kubu budaya yang saling bertolak belakang. Namun revitalisasi budaya lokal
terhadap budaya modern, bukan tidak mungkin direalisasikan melalui sintesis
yang tepat. Batik Banyumas mampu menjadi tonggak sinkronisasi budaya ini.
Dengan tetap mengedepankan substansi filosofis Batik Banyumas, serta menerapkan
strategi industrialisasi yang tepat, Kabupaten Banyumas siap menjadi
simbol industri budaya Batik Indonesia.
Radhar Panca Dahana, dalam bukunya
berjudul Menjadi Manusia Indonesia, mengungkapkan bahwa pada masa ini
manusia akan sulit berharap datangnya masterpiece, atau seorang maestro.
Kini, kualitas manusia dihadapkan pada tantangan terberat sepanjang sejarah:
daya hancur dari karya-budayanya sendiri. Oleh karena itu, kerja seni budaya
untuk menahan diri, akan lebih mengabdi ketimbang mengagulkan diri.[22]
Tradmodernition merupakan penyelarasan sinergi antara lokalitas dan modernitas.
Inti dari misi sinkronisasi ini adalah kolaborasi esensi kedua budaya tersebut
(lokal dan modern), tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai yang menjadi
keutamaan filosofis lokalitas. Esensi dari tradisi kedaerahan adalah ciri khas,
identitas, nilai moral, dan kearifan lokal. Sedangkan esensi dari modernitas
adalah industrialisasi dan globalisasi. Inilah strategi glokalisasi kreatif,
yang berpotensi besar dalam mewujudkan Kabupaten Banyumas sebagai The
Tradmodernition Batik Industry Country.
1. Pengembangan Industri Batik Kreatif (Kampung Bathik)
Saat ini batik tidak hanya dikenakan
dalam even-even resmi. Perkembangan industri, telah membawa inovasi kreatif
merambah pasar batik di Indonesia.
Jika dahulu, di toko pakaian hanya bisa ditemukan model busana batik konvensional,
kini berbagai desain kaos, kemeja, blouse, dan berbagai desain lainnya,
dapat dipilih dengan leluasa. Kaum muda pun kini tak canggung lagi mengenakan
batik, karena desain kontemporer seperti ini dianggap mengikuti selera zaman.
Pengusaha batik dapat membaca pasar
ini melalui pengembangan industri Batik Banyumas. Pengusaha Batik Banyumas di
Sokaraja Tengah mengatakan, jika kecintaan masyarakat terhadap batik telah
tercipta, akan mudah mewujudkan gagasan Pariwisata Kampung Bathik Banyumasan di
pusat-pusat industri Banyumas, khususnya di Kauman, Sokaraja Tengah.. Kampung
Bathik tidak hanya menawarkan batik sebagai busana khas daerah, namun juga menyajikan
sebuah pariwisata yang akan mengangkat perekonomian masyarakat dari berbagai
sektor.
Sebagai gambaran, proyek ini akan
mengangkat Batik Banyumas sebagai objek utama, dengan menawarkan berbagai
produknya sesuai dengan motif dan strata pemakainya. Dengan men-stratifikasi
model dan harga sesuai kelasnya, batik akan memberi rasa bangga tersendiri
terhadap pemakainya. Selain batik, pendapatan masyarakat juga akan terpenuhi
melalui wisata kuliner daerah sebagai sajian sekunder pariwisata Kampung
Bathik. Selain itu, dengan mengangkat Batik Banyumas sebagai objek pariwisata,
masih banyak tenaga kerja yang bisa terserap melalui proyek ini, seperti wisata
alam di daerah Banyumas.
Proyek pengembangan ini akan
melibatkan banyak pihak dalam masyarakat, mulai dari para pembatik sendiri,
budayawan, tenaga marketing, hingga event organizer yang berbuat
berlandaskan kecintaan pada budaya dan kearifan lokal Batik Banyumas, yang
sudah tertanam, dan membentuk tiga bentuk SDM Batik Banyumas yang telah
disebutkan sebelumnya.
Langkah berikutnya merupakan distribusi
budaya Batik Banyumas. Glokalisasi Batik Banyumas perlu diterapkan dalam
merambah pasar luar negeri untuk bersaing dengan produk ekspor, khususnya China.
Glokalisasi diterapkan dengan kecermatan memahami kondisi pasar lokal negara
yang dirambah. Dengan menampilkan kekhasan Batik Banyumas, keunikan makna
simbolis motifnya misalnya, serta memenuhi selera pasar daerah yang
bersangkutan, akan meningkatkan permintaan pasar dan tentunya nilai prestisius
Batik Banyumas di mata dunia.
Bila produsen mampu menerapkan
keempat langkah tersebut dengan baik, improvisasi dan glokalisasi industri
tradisional, Batik Banyumas akan mampu mengimbangi arus kinerja industri
modern. Selain itu, eksistensi batik sebagai identitas masyarakat Banyumas pun
akan tetap lestari dan terjaga.
3. Optimalisasi Tiga Sektor
Ekonomi
Serangkaian misi di atas tidak akan
terwujud tanpa integrasi konstruktif seluruh lapisan masyarakat Banyumas,
terutama interaksi yang optimal dan membangun antara tiga sektor ekonomi:
produsen (pengusaha batik), konsumen (masyarakat), dan pemerintah (Pemda
Kabupaten Banyumas). Bagi (1) produsen perlu menerapkan strategi stratifikasi
produk dan tingkat ekonomi konsumen, dengan mewujudkan Kampung Bathik sebagai
objek pariwisata batik di kabupaten Banyumas. Kemudian setelah Batik Banyumas
eksis sebagai warisan budaya yang berharga, langkah glokalisasi untuk merambah
internasional, dengan memperkenalkan Batik Banyumas sebagai karya seni yang
mencerminkan harmonisasi antara manusia dan alam.
Pada tahap selanjutnya, meningkatkan
angka permintaan menjadi tolak ukur kelajuan suatu industri. Untuk itu bagi (2)
konsumen, yang sudah memahami karakter Batik Banyumas, harus memilih dengan
tepat beragam pilihan batik di pasaran dengan tidak hanya melihat harga saja.
Kecermatan memilih batik juga merupakan sebuah penghargaan terhadap karya seni,
keuletan, kerja keras serta keluhuran lokalitas yang tertanam di dalamnya.
Peran esensial ada di tangan (3)
pemerintah, yang akan menjembatani interaksi dua sektor lainnya. Banyak yang
bisa dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. Setelah eksistensi identitas
tercapai, pemerintah harus berperan aktif dalam pengembangan industri Batik Banyumas.
Beberapa tahun terakhir, tata kota
Purwokerto menjadi menu utama kinerja Pemda Kabupaten Banyumas. Pembangunan ini
akan lebih baik jika diikuti dengan mengembangkan industri lokal Banyumas,
khususnya batik.
Selain menerapkan kebijakan dalam hal
pengadaan bahan baku,
Pemerintah perlu (a) melegalkan pengadaan Wisata Kampung Bathik sebagai salah
satu lokawisata utama di Kabupaten Banyumas. Dengan begitu, eksistensi Batik
Banyumas akan terjaga seiring dengan meluasnya nama batik Banyumas sebagai
salah satu dari bentuk heterogenitas budaya Indonesia
Pemerintah juga perlu mendukung (b)
distribusi pemasaran Bayik banyumas. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan
Pasar Pusat Batik Banyumas di Purwokerto misalnya (selain Kampung Bathik di
Sokaraja), yang notabene merupakan kota
pusat di Kabupaten Banyumas. Pasar Batik Banyumas tidak hanya akan menarik
minat masyarakat setempat. Para wisatawan
lokal bahkan mancanegara pun akan memusatkan minat belanja mereka pada Batik
Banyumas di pasar ini. Selain meningkatkan progres sektor ekonomi dan
pariwisata, produsen pun tidak akan terlalu sulit mendistribusikan budaya dan
identitas Banyumas ke luar daerah.
Peran intermediasi ini juga
melibatkan sektor perbankan, melalui kebijakan pemerintah di bank sentral.
Beberapa UMKM, khususnya produsen batik di Kabupaten Banyumas, perlu mendapat
apresiasi dari bank-bank pemerintah maupun swasta di Kabupaten Banyumas. Dengan
mendukung sebuah potensi industri besar di sebuah daerah, akan memberikan
timbal balik yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dan tentunya semakin
menyempurnakan Tradmodernition,
bukan hanya sebagai keberhasilan satu pihak, melainkan merupakan perwujudan
kontribusi konstruktif dari seluruh lapisan dan sektor masyarakat Kabupaten
Banyumas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia dengan segala wujud pola
pikirnya menghasilkan karya budaya yang mencerminkan semangat kearifan lokal di
dalamnya, begitu juga dengan apa yang ada pada budaya Batik Banyumas.
Tergerusnya eksistensi Batik Banyumas dapat ditanggulangi melalui penanaman
kembali nilai-nilai moral dan filosofi harmoni yang melekat pada setiap motif
dan fungsinya kepada masyarakat.
Dengan usaha yang optimal, strategi
tersebut akan mewujudkan sebuah generasi budaya baru yang menjunjung semangat
lokalitas, untuk kemudian berdampak pada meningkatnya kualitas sumber daya
manusia. Pada Batik Banyumas, SDM ini mencakup sumber daya membatik, sumber
daya marketing, dan sumber daya modern entertaintment yang saling
berkontribusi untuk membangun budaya, dan mengantarkan Batik Banyumas menuju
pola industri yang dapat menembus pasar global melalui glokalisasi.
Pada sektor industri, peran aktif
tiga sektor ekonomi dalam menciptakan ruang bagi industri Batik Banyumas
menjadi faktor terpenting dalam mewujudkan misi ini: kinerja dan inovasi
produsen yang progresif, peralihan konsumtivisme masyarakat kepada semangat
lokalitas, serta mediasi kebijakan ekonomi dari pemerintah. Pada akhirnya,
dengan realisasi yang baik, Kabupaten Banyumas akan benar-benar siap menjadi The
Tradmodernition Batik Industry Country.
B. Saran
Untuk meningkatkan kualitas SDM
berbasis kearifan lokal, pemerintah harus memberikan perhatian khusus bagi para
pengusaha kecil, mikro dan menengah, khususnya mereka yang menjadikan budaya
lokal sebagai sumber pendapatan mereka. Hal ini akan semakin melestarikan
budaya tersebut dan tentunya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang
bekerja di bidang tersebut.
Para pengusaha batik pun harus mendapat atensi yang lebih baik. Dengan
meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia melalui kearifan lokal Batik
Banyumas, manusia akan kembali pada harkatnya sebagai seorang manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua. Jakarta:
Penerbit Balai Pustaka.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemkab.
Banyumas. 2005. Produk Industri Andalan Kabupaten Banyumas.
Johansson, Frans. 2007. Inovasi Titik Temu. Jakarta: Penerbit Serambi
Ilmu Semesta.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi.
Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat. Jakarta: Penerbit
Jalasutra.
Istanti, Kun Zahrun. 2007. Ibda’ Jurnal Studi
Islam dan Budaya. Purwokerto: PM3 STAIN Purwokerto.
Roqib, Muhamad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa
(Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender). Purwokerto: STAIN Press.
Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia.
Lausane: Penerbit Ichtiar Baru dan Elsevier Publishing Projects.
Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen Teori dan
Penerapannya. Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia.
Sung Cho, Dong, Moon, Hwy Chang. 2003. From Adam
Smith to Michael Porter, Evolusi Teori Daya Saing. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Tambunan, Tulus. 2001. Industrialisasi di Negara
Sedang Berkembang, Kasus Indonesia.
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Berasal dari serapan bahasa Jawa: Amba Titik, adalah suatu
cara melukis di atas kain, dengan cara melapisi bagian-bagian yang tidak
berwarna dengan cairan lilin, menggunakan alat lukis canting. (Shadily, 1980)
didownload pada 16-01-2010
[3] Batik Banyumas. www.banyumaskab.go.id.
[4] Industri Batik Banyumasan Terancam Punah, Suara Merdeka, Senin,
28 Oktober 2002.
[5] “Recapturing Batik Banyumas” by Poppy Darsono. http://www.metrogaya.com didownload
pada
27-01-2010.
[6] Gabungan dari dua kata, tradition dan modern. Berarti kolaborasi konstruktif antara
lokalitas dan modernitas.
[7] Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter pasar
(lokal) (Sutaryono. Materi Seminar Pasar Global, STAIN Purwokerto. 18
Maret 2010)
[8] Nurma Ali Ridwan. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan lokal, dalam Ibda’,
Jurnal Studi Islam dan Budaya. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto. Hal. 30
[9] Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana. Hal. xi
[10] Ibid
[11] Ibid. Hal. 26-27.
[12] Dr. Tulus Tambunan. 2001. Industrialisasi
di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hal 21.
[13] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 136
[14] Ibid. Hal. 193
[15] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Hal.
245.
[16] Abraham Sitinjak. Kasta, Kista dan Kusta dalam Gereja.
[17] Ranggawarsita dalam Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat.
Yogyakarta: PT Tiara
Wacana. Hal. 9.
[18] Yasraf Amir Piliang. 2006. Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta : Jala Sutra. Hal. 282.
[19] Ujang Sumarwan. 2003. Perilaku Konsumen:Teori dan Penerapannya
dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal.
184.
[20] Dr. Tulus Tambunan, 2001.
Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia.
Ghalia Indonesia,
Jakarta. Hal.
20.
[21] Ibid. Hal. 21.
[22] Radhar Panca Dahana, 2001. Menjadi Manusia Indonesia. LKiS Yogyakarta. Hal
190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar