Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Kamis, 23 Februari 2012

Karya Tulis Ilmiah


Karya Tulis Ilmiah Kelompok
Bersama:    1. Angga Aryo Wiwaha
2. Siti Nur Azizah
3. Titik Yayuk W
Menjadi Juara Harapan Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah se-Jawa di UNS Solo


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Budaya senantiasa berangkat dari sejarah, yang kemudian membentuk produk-produk yang menjelaskan bahwa sebuah evolusi panjang telah terjadi. Artefak, perilaku sosial, dan sistem nilai merupakan produk tersebut. Semua produk budaya selalu berasas pada pola kearifan lokal yang berasal dari manusia dengan segala pemahaman dan pola pikirnya. Kearifan lokal yang bermula dari kognisi untuk bertindak dan bersikap dalam suatu peristiwa, kemudian membentuk ekspresi beragam berupa adat, karya seni, hingga pola pikir manusia pun terbentuk dari kearifan lokal tersebut. Sebuah sinergi ditunjukkan keduanya: kearifan lokal mengintervensi evolusi budaya, dan karya budaya melukiskan bentuk kearifan lokal yang khas di setiap daerah. Begitu pula dengan batik.[1]
Setelah disahkan oleh UNESCO, pada tanggal 2 Oktober 2009, sebagai Masterpiece of the Oral and Intagible Heritage of Humanity (Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi), busana batik berhasil mengambil tempat strategis dalam keseharian masyarakat Indonesia. Mulai dari seragam siswa sekolah dasar, pegawai negeri, hingga berkembangnya industri batik yang ternyata begitu potensial di negara ini.
Di sejumlah daerah di Jawa Tengah, batik pun menjamur. Perkembangan batik di Banyumas, berpusat di Sokaraja. Di sini batik dibawa oleh para pengikut Pangeran Diponegero usai peperangan pada 1830. Pengikutnya yang terkenal ialah Najendra yang mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai adalah hasil tenunan sendiri dengan pewarna dari pohon tom, pace, dan mengkudu yang memberi warna merah bersemu kuning. Batik di Banyumas dikenal dengan motif dan warna yang khusus dan sekarang dinamakan Batik Banyumas. Setelah PD I, pembatikan mulai pula dikerjakan dan diperdagangkan oleh bangsa Cina.[2] Dalam perkembangannya, industri batik di Kabupaten Banyumas ternyata cukup potensial. Pada tahun 2006, berdasarkan buku Produk Industri Andalan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas, terdapat 624 unit usaha pembatikan yang terpusat di Kecamatan Banyumas dan Kecamatan Sokaraja.[3] 
Eksistensi Batik Banyumas telah mengalami krisis pada beberapa dasawarsa terakhir. Sebenarnya di era 70-an, Batik Banyumas pernah mengalami masa keemasan. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Angka 624, yang menyebutkan potensi industri batik di tahun 2006, bukanlah angka yang mengagumkan. Karena di awal tahun 2002, Data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) mencatat bahwa semula ada 990 unit usaha batik di Kabupaten Banyumas.[4]
Titik terpenting dari kemerosotan ini adalah ditinggalkannya berbagai aspek filosofis dan kearifan lokal dari produk budaya itu sendiri (batik). Makna terdalam dari filosofi Batik Banyumas (dan budaya jawa lainnya) adalah harmoni yang terjalin antara alam dan manusia. Dekonstruksi budaya dan kearifan lokal kemudian terjadi pasca globalisasi industri yang mengedepankan slogan “efektif-efisien”, sehingga produk budaya yang menjunjung proses dan segala aspek mistis simboliknya ditinggalkan demi menanggulangi kekangan ekonomis yang disuguhkan industri global.
Rekonstruksi eksistensi Batik Banyumas tidak akan terjadi tanpa upaya optimal. Upaya ini berawal dari pembenahan pola pikir untuk kembali pada kearifan lokal. Dengan menanamkan mistisisme Batik Banyumas sebagai bentuk kearifan lokal, kemudian mengimplementasikannya dalam pola pikir serta perilaku sosial masyarakat, budaya Batik Banyumas akan kembali kepada martabatnya sebagai suatu kebanggaan masyarakat Jawa yang menjunjung orde yang terbentuk, serta harmonisasi antara manusia dengan alam.
Pembenahan mendasar tersebut sangat bergantung pada kualitas manusia dalam suatu masyarakat budaya. Kepribadian, perilaku, serta tatanan nilai pola pikir sumber daya manusia secara bertahap senantiasa mengikuti evolusi budaya yang dialami masyarakat.
Menggalakkan pemahaman akan kearifan lokal yang terkandung dalam makna filosofis Batik Banyumas kepada masyarakat, juga akan mendongkrak kualitas sumber daya manusia, khususnya sumber daya Batik Banyumas. Jika kualitas ini telah terbentuk, maka eksistensi Batik Banyumas tidak akan terangkat secara parsial (ekonomis saja), namun keluhuran karya budaya ini juga akan menjadi dasar budi pikir masyarakat Banyumas.
Modernisme pun menyuguhkan hal serupa. Namun distorsi budaya barat ini menghadirkan dekadensi yang ekstrim terhadap budaya negeri dan semangat lokalitas. Industrialisasi yang dihadirkan budaya modern menuntut berbagai komoditas ekonomi untuk meninggalkan lokalitas yang banyak bersandar pada esensinya yaitu ciri khas, identitas, nilai moral, dan kearifan lokal. Esensi tersebut bertolak belakang dengan modernisme yang mengedepankan homogenitas, industrialisasi, dan globalisasi tanpa batas.
Problematika eksistensi Batik Banyumas ini menyerang secara khusus pada generasi budaya Banyumas dewasa ini, sehingga terjadi degenerasi yang terus menerus. Pada saat ini ternyata sulit mensosialisasikan pada para remaja, untuk duduk dan melukis lilin di atas kain: membatik. Hal inilah yang menjadikan perkembangan sumber daya manusia Batik Banyumas tersendat Generasi muda saat ini telah banyak meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal dan terbawa modernitas yang lebih konsumtif dan berjiwa serba instan.
Fokus industri inilah yang harus dirambah dengan tepat oleh masyarakat yang bergerak dalam industri Batik di Banyumas, tanpa meninggalkan filosofi kearifan lokal yang tertanam dalam budaya Batik Banyumas. Namun, kontradiksi yang terjadi antara dua budaya ini (lokalitas dan modernitas), menjadi tantangan tersendiri bagi budaya Batik Banyumas dalam mempertemukan idealitas kearifan lokalnya dengan realitas modern yang dihadapinya..
ACFTA (Asean China Free Trade Area), yang mulai berlaku di tahun ini, dapat menjadi gambaran tepat tentang tantangan eksistensi Batik Banyumas pada tatanan industri. Walaupun belum marak di Kabupaten Banyumas, serangan Batik China mulai menjadi penghadang sektor pemasaran bagi Batik Banyumas, khususnya pemasaran ke luar daerah. Tentu saja hal ini disebabkan produk China yang dikenal murah, terlepas dari kualitas produk, yang memang cukup banyak diminati masyarakat Indonesia. Daya saing dan tingkat efisiensi produksi menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku bisnis, khususnya produsen Batik Banyumas yang mengedepankan semangat lokalitas dalam setiap produksinya.     
Walau begitu, ada sebuah harapan bagi industri Batik Banyumas untuk berkembang, sekaligus mengimbangi arus modernitas industrialisasi, tanpa meninggalkan lokalitas yang mewariskan nilai-nilai moral kedaerahan. Selain keberadaan pengusaha batik di Banyumas yang masih eksis, para peminat dunia fashion terbukti mulai melirik busana Batik. Budaya post-modernism ini menjadi peluang.
Tahun 2009 yang lalu, Poppy Darsono, perancang busana yang juga Anggota DPD Jawa Tengah, menampilkan rancangan Batik Banyumasnya dalam ajang Jakarta Fashion Week. Dalam rancangannya, ia menampilkan  perpaduan unsur maskulin dan feminin dengan mengetengahkan ragam siluet tegas, seperti model jas, jaket, blazer yang dipadukan dengan dress dan blouse dari material sifon yang lembut, anggun, sekaligus feminin.[5] Rancangan modern ini terbukti sangat diminati, karena keunikan corak dan motif Batik. Banyumas yang memang sangat berbeda dengan motif batik lain di Indonesia. Ini merupakan tonggak awal bagi Batik Banyumas, untuk menuju eksistensi dan industrialisasi, yang berujung pada distribusi identitas Kabupaten Banyumas.
Fakta inlah yang akan menguntungkan, jika dipola dan dikelola dengan baik. Dengan kolaborasi sempurna dua potensi fenomenal di atas, pengembangan eksistensi, serta modernisasi industri Batik Banyumas, nantinya Kabupaten Banyumas akan mampu menyandang identitas sebagai The Tradmodernition[6] Batik Industry Country (Daerah Industri Batik Berbasis Tradisional-Modern). Sebuah misi sinkronisasi kreatif antara tradisi dan modernitas, yang akan menjadikan budaya Batik Banyumas tidak hanya lestari sebagai sebuah budi luhur kearifan lokal, tapi juga mampu menggerakkan perekonomian masyarakat Kabupaten Banyumas secara progresif melalui sebuah glokalisasi[7].

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penulis akan membahas berbagai aspek tentang:
1.      Bagaimana mengembalikan nilai kearifan lokal Batik Banyumas kepada masyarakat.
2.      Bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia berbasis kearifan lokal Batik Banyumas.
3.      Bagaimana strategi industri Batik Banyumas menghadapi globalisasi industri.

C.  Tujuan Penulisan.
1.      Mengembalikan nilai kearifan lokal Batik Banyumas kepada masyarakat.
2.      Meningkatkat kualitas sumber daya manusia berbasis kearifan lokal Batik Banyumas.
3.      Menyuguhkan strategi industri Batik Banyumas dalam menghadapi globalisasi industri.
D.  Manfaat Penulisan
1.      Sebagai wacana keilmuan mengenai eksistensi Batik Banyumas melalui pemberdayaan sumber daya manusia berbasis kearifan lokal.
2.      Sebagai bentuk upaya pengembangan indusctri Batik Banyumas dalam menghadapi pasar modern dengan tetap mempertahankan filosofi dan semangat lokalitas.
3.      Sebagai alternatif strategi bagi para praktisi usaha Batik Banyumas dalam melestarikan dan memperluas pasar.

E.  Sistematika Penulisan.
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi pokok pembahasan ke dalam lima bab secara sistematis. Sistematika tersebut meliputi:
Bab I: Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan mengenai diseksistensi filosofi kearifan lokal pada Batik Banyumas, sebagai dampak arus globalisasi industri, serta pengaruhnya terhadap dekonstruksi kualitas sumber daya manusia.
Bab II: Tinjauan Pustaka yang mengulas rujukan-rujukan pustaka mengenai sumber daya manusia, perkembangan dunia industri serta beberapa tulisan mengenai kearifan lokal.
Bab III: Metode Penulisan yang mencakup bagaimana langkah-langkah penulis menerapkan penelitiannya, melalui observasi, pengumpulan, hingga metode analisis data untuk menyimpulkan sederetan fakta, untuk kemudian menyusunnya menuju pemecahan masalah.
Bab IV: Pembahasan mengenai bagaimana mengembalikan nilai filosofis Batik Banyumas kepada masyarakat, bagaimana SDM yang dapat terbentuk dari pemahaman dan kecintaan pada kearifan lokal Batik Banyumas, dan strategi terapan yang akan mewujudkan Banyumas sebagai The Tradmodernition Batik Industry Country.
Bab V : Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, beberapa literatur pustaka menjadi rujukan untuk mendasari beberapa dasar pijakan berpikir. Salah satunya tulisan Nurma Ali Ridwan dalam Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya, yang mengatakan bahwa secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat.[8]
Kearifan lokal setiap daerah tercermin melalui bentuk budaya lokal daerah tersebut. Sebagaimana Dr. Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai pengaruh koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya.[9]
Dari pada itu, penulis berargumen bahwa sumber daya manusia terbentuk dari budaya lokal yang membentuk pribadinya. Hal ini selaras dengan pernyataan bahwa sistem simbol dan epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial. Demikian juga budaya material yang berupa bangunan, peralatan dan persenjataan tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya.[10] Budaya batik juga merupakan artefak yang terbentuk dari sistem sosial masyarakat Banyumas yang berkaitan erat dengan sumber daya manusianya.
Perkembangan budaya selalu membentuk pola pikir yang berbeda pada setiap manusia, termasuk perkembangan pemikiran mengenai masalah ekonomi. Kuntowijoyo juga mengungkapkan bahwa pada mulanya golongan kelas menengah tidak memusatkan perhatian kepada masalah-masalah politik dan ekonomis. Namun kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung kebudayaan baru.[11] Perubahan sikap melalui budaya ini pula yang membentuk perbedaan kualitas sumber daya manusia pada setiap masyarakat budaya yang berbeda.
Perkembangan sumber daya manusia selalu berkaitan dengan tingkat perekonomian masyarakat. Industri adalah kata benda yang merujuk pada proses pengolahan benda. Industrialisasi sendiri, mengacu pada usaha pengembangan industri di suatu daerah tertentu. Jika menilik sejarah yang berakar pada Revolusi Inggris, industrialisasi adalah suatu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar negara yang meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong perubahan struktur ekonomi.[12]
Fakta yang bertolak belakang dialami industri batik Banyumas. Hal ini diakibatkan oleh sumber daya manusia yang kurang berkembang, yang dipengaruhi oleh diskriminasi budaya. Modernisme lebih banyak merasuki segala aspek kehidupan masyarakat, yang meninggalkan kearifan lokal sebagai sistem sosial budaya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis akan membahas tentang bagaimana mengembangkan sumber daya manusia dan perekonomian masyarakat berbasis kearifan lokal batik Banyumas, melalui strategi sinkronisasi lokalitas dan modernitas: tradmodernition.
                                          BAB III
METODE PENULISAN

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data, serta penulisan hasil penelitian:

A. Objek Penelitian
Penulis meneliti berbagai fakta mengenai korelasi antara tergerusnya industri Batik Banyumas, dengan dekadensi moral budaya dan pemahaman akan kearifan lokal yang dialami masyarakat. Sebagai sampel, penulis meneliti realita perkembangan industri Batik di Kampung Bathik Kauman, Sokaraka Tengah, Banyumas.

B. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data akurat, penulis menggunakan beberapa metode, dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan setiap metode:
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[13] Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kondisi masyarakat dan perkembangan industri Batik Banyumas. Yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan di tengah masyarakat, dengan Kampung Bathik Kauman sebagai sampel, secara langsung untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan kondisi objektif mengenai realita budaya ini.
2. Metode Interview
Metode interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematik dan berlandaskan dengan tujuan penyelidikan.[14] Dalam penggunaan metode penulisan ini penulis mengguankan sistem opened and controlled yaitu interview yang bebas tetapi terkontrol, dengan kata lain interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan sistem ini, agar dalam wawancara lebih mudah dan komunikatif. Tetapi dalam pembicaraan mengena sasarannya karena ada kontrol sehingga data-data yang diperoleh akan terjamin validitasnya.
Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang beberapa makna filosofis dari motif dan proses membatik tradisional, perkembangan industri batik Banyumas dan data-data lain yang ada kaitannya dengan penelitian.  
3. Metode Analisis Data
Agar data yang diperoleh bukan merupakan informasi yang mentah dan pembaca mudah menginterpretasikan terhadap data yang telah diolah maka diperlukan analisis data sebagai kelanjutan untuk menjawab kelanjutan pertanyaan ini. Dalam hal ini penulis menggunakan metode analisis kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh.
Penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis data-data yang bersifat kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisah menurut katagori untuk memperoleh kesimpulan.[15] Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan, keterangan yang bukan berupa angka.
Dengan mengumpulkan dan menganalisis data-data tersebut,  penulis menyimpulkan pemecahan permasalahan yang dialami eksistensi dan industrialisasi batik Banyumas. Dengan mensinergikan modernisme dan kearifan lokal Batik Banyumas, akan melestarikan budaya batik menjadi komoditas perekonomian masyarakat Banyumas tanpa meninggalkan filosofi kearifan lokal didalamnya.
  

BAB IV
PEMBAHASAN

A.    Mengembalikan Filosofi Kearifan Lokal Batik Banyumas
Kabupaten Banyumas, secara geografis, terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, serta berbatasan dengan Kabupaten Cilacap, Tegal, Pemalang, Brebes, Purbalingga, Kebumen, dan Kabupaten Banjarnegara.  Di sebelah utara, terdapat pegunungan Slamet, dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400M, dan masih aktif. Karena keadaan wilayah antara daratan dan pegunungan inilah, sehingga bumi dan kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial. Dengan struktur pegunungan, bercocok tanam adalah sumber utama pencaharian masyarakat Banyumas. Lahan-lahannya terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, sebagian pegunungan untuk perkebunan, serta hutan tropis yang terletak di lereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Walau sebenarnya masih berakar dari budaya Jawa, budaya Banyumas memiliki ciri khas unik tersendiri. Hal ini bisa dilihat dari kesenian Tarian Ebeg, hingga Begalan, yang tidak ditemukan di daerah lain. Alat musik Calung dan Kenthongan juga menjadi ciri khas daerah ini. Selain itu, makanan khas Banyumas juga cukup dikenal di seluruh Indonesia. Seperti Mendoan, Keripik Tempe, dan Gethuk Goreng Sokaraja.
Salah satu budaya lokal potensial di Banyumas adalah batik. Berbeda dengan daerah lain, Batik Banyumas memiliki keunikan dalam mencitrakan budaya masyarakat Banyumas yang menjunjung tinggi nilai kebebasan, semangat kerakyatan dan demokrasi, serta sifat cablaka yang menyenangi keterbukaan dan apa adanya. Hal ini terlihat jelas dari pola-pola Batik Banyumas, yang kebanyakan bermotif Jorasan, yaitu kelompok motif nongeometrik yang didominasi dengan warna-warna dasar kecoklatan dan hitam.
Budaya membatik di Kabupaten Banyumas merupakan salah satu media unik, tempat masyarakat Banyumas biasa menuangkan pandangan hidupnya lewat goresan-goresan motif di atas kain. Ciri khas inilah yang terlihat dari makna filosofis motif-motifnya, seperti Sekarsurya, Sidoluhung, Lumbon (Lumbu), Jahe Puger, Cempaka Mulya, Kawung Jenggot, Madu Bronto, Satria Busana, Pring Sedapur, serta berbagai motif kombinasi dan improvisasi yang diciptakan oleh para pembatik di Banyumas.
Dengan keunikan dan kekhasan yang  menarik tersebut, tidak diragukan bahwa batik merupakan potensi budaya dan pariwisata yang menjanjikan di Kabupaten Banyumas. Sayangnya potensi tersebut terhambat arus modernitas, yang sedikit banyak telah menggerus eksistensi budaya Batik Banyumas.

  1. Harmonisasi Dalam Filosofi Batik Banyumas
Secara umum budaya Jawa berakar dari perkembangan agama-agama yang menyebar di nusantara. Agama Hindu dan Budha memberi pengaruh besar pada makna filosofis budaya-budaya di Jawa. Inti dari ajaran-ajaran tersebut bersandar kepada Harmoni antara manusia dengan alam. Harmoni ini tidak hanya tercermin dalam sistem nilai, tetapi juga terdapat pada artefak seni budaya. Makna filosofis ini juga terdapat dalam Batik Banyumas.
Batik Banyumas menunjukan makna-makna yang dalam pada motif-motifnya. Motif sekar jagad dapat dijadikan contoh di mana motif ini mencerminkan ekspresi kebahagiaan. Begitu pula motif Sido Mukti yang mencerminkan harapan untuk hidup yang sejahtera. Ada juga batik motif Lumbon (daun liar) yang bermakna bahwa seseorang yang memakainya mudah beradaptasi. Makna-makna motif tersebut mencerminkan do’a yang disanjungkan oleh sang pembatik kepada pemakainya.
Selain menunjukan makna filosofis, secara fungsional motif-motif Batik Banyumas mampu menjadi simbol dari strata sosial dalam masyarakat. Misalnya, motif Barong yang dipakai oleh pembesar-pembesar kerajaan, hingga motif Kruwung yang dipakai oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagaimana dalam ajaran Hindu, yang mendominasi akar budaya Jawa, fungsi Batik juga membagi strata sosial masyarakat. Kasta tersebut (1) Brahmana yaitu kasta yang menempati posisi tertinggi: golongan pendeta; (2) Kesatria merupakan kasta kedua yaitu golongan bangsawan dan prajurit; (3) Waisya yaitu golongan para pedagang; petani dan tukang; (4) Sudra yaitu golongan rakyat biasa; (5) Paria merupakan kasta terendah yaitu golongan rakyat yang hina dina.[16]
Adanya stratifikasi pemakai batik tersebut membentuk sebuah orde dalam masyarakat. Ketika suatu batik dengan motif tertentu dikenakan oleh seseorang maka secara tidak langsung akan menunjukkan strata sosial dari pemakai batik tersebut dan secara langsung akan membentuk ketundukpatuhan orang-orang yang berada pada strata sosial dibawahnya.
Strata sosial yang dianggap tidak adil dan bertolak belakang dengan demokrasi, sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Ketika pemahaman tentang strata itu ditinggalkan, kepatuhan dan penghormatan terhadap orangtua, pemimpin serta para pemuka agama dan masyarakat pun luntur. Sebagaimana kutipan dari Ranggawarsita dalam Budaya dan Masyarakat karya Kuntowijoyo:

“Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai halangan.”[17]

Dengan mengembalikan makna filosofis kearifan lokal batik Banyumas, maka akan mengembalikan nilai-nilai harmoni yang menjadi inti dari budaya Jawa. Harmonisasi tersebut tercermin dalam fungsi Batik Banyumas berupa (1) Orde dalam masyarakat, yaitu bentuk penghormatan sosial yang disimbolkan melalui motif penunjuk strata sosial. Kemudian (2) motif yang terdapat dalam Batik tersebut juga menunjukan munajat atau do’a-do’a yang dirapalkan oleh si pembatik yang ditujukan bagi si pemakai. Selain itu, (3) harmonisasi antara alam dan manusia akan terwujud, mengingat pewarna dari pohon tom, pace, dan mengkudu yang memberi warna merah bersemu kuning yang digunakan pada pembuatan batik tradisional, proses serta limbah yang dihasilkan benar-benar alami dan bersahabat dengan alam. Selain tiga fungsi diatas, pada akhirnya proses membatik akan berkontribusi pada (4) distribusi ekonomi masyarakat. Dimana dalam hal ini akan mampu menciptakan industri yang mampu meningkatkan pendatan masyarakat.

  1. Strategi Mengembalikan Kearifan Lokal Batik Banyumas
Revitalisasi lokalitas terhadap modernitas sangat ditentukan oleh sikap dan bentuk interaksi budaya yang dibangun antara kedua sistem budaya tersebut. Banyak bentuk sikap yang dapat diambil, mulai dari yang ekstrem (menerima atau menolak globalisasi dengan tegas), hingga bersikap moderat dengan menerima arus globalisasi sebagai sebuah sistem, namun menolak segala sifat kontradiktif dan merusaknya, khususnya bagi kebudayaan lokal. Sikap budaya yang kedua adalah bentuk yang tepat untuk menyikapi tergerusnya lokalitas dewasa ini, karena globalisasi bukan sekedar arus yang memiliki kecepatan, namun juga memiliki percepatan.[18] Dengan sikap realistis moderat ini, seni-budaya akan siap menjadi suatu tradmodernition.
Tradmodernition merupakan penyelarasan sinergi antara lokalitas dan modernitas. Inti dari misi sinkronisasi ini adalah kolaborasi esensi kedua budaya tersebut (lokal dan modern), tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai yang menjadi keutamaan filosofis lokalitas. Esensi dari tradisi kedaerahan adalah ciri khas, identitas, nilai moral, dan kearifan lokal. Sedangkan esensi dari modernitas adalah industrialisasi dan globalisasi.
Untuk mengembalikan kearifan lokal Batik Banyumas kepada masyarakat, beberapa strategi dapat diterapkan seperti sosialisasi filosofi Batik Banyumas agar makna-makna dibalik Batik Banyumas kembali familiar dan mencapai eksistensinya lagi.
Untuk mewujudkannya beberapa media diperlukan sebagai sarana pencapaian misi tersebut. Salah satu media tersebut adalah (1) pendidikan, dimana para pelajar berada pada usia yang tepat untuk memahami berbagai motif-motif Batik Banyumas dan filosofi-filosofi simbolik dibaliknya. Strategi berbasis pendidikan ini akan melahirkan generasi budaya yang baru, yang tidak hanya mengetahui Batik Banyumas namun juga meresapi kearifan lokal yang menjadi pesan moral budaya tersebut.
Selain media pendidikan, pola pikir masyarakat dapat dibentuk melalui (2) media massa yang mampu menjembatani antara budaya populer dengan sosialisasi kearifan lokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Ujang Sumarwan, bahwa Masyarakat modern yang hidup di hampir semua negara memiliki kesamaan budaya, yaitu budaya populer. Budaya populer dinikmati bersama oleh semua masyarakat yang melewati batas negara, bangsa, agama, ras dan perbedaan-perbedaan lainnya.[19] Perkembangan budaya populer inilah yang harus dimanfaatkan untuk membuat kearifan lokal Batik Banyumas dikenal dan dicintai oleh masyarakat.
Sosialisasi ini dapat memanfaatkan media iklan dalam berbagai bentuk, televisi dengan berbagai acara, atau media cetak yang secara khusus memuat berbagai hal mengenai Batik Banyumas (makna simbolik dan perkembangan industrinya). Media yang menfasilitasi budaya popular ini mudah dipahami oleh sebagian masyarakat, tanpa harus mengenal secara detail dasar-dasar dari apa yang disosialisasikan. Dengan gambaran yang ringan, sosialisasi budaya dapat lebih mengena.
Di samping media di atas, diperlukan juga (3) peran aktif pemerintah Kabupaten Banyumas. Misalnya Pemerintah menfasilitasi para pengusaha Batik untuk mensosialisasikan Batik melalui pameran-pameran atau pendirian galeri budaya. Peran aktif pemerintah juga bisa dituangkan melalui kebijakan-kebijakannya seperti misalnya setiap usaha yang berkaitan dengan pariwisata harus ada muatan lokal di dalamnya.
Selain itu, Batik Banyumas juga bisa ditampilkan dalam setiap momen-momen besar yang diperingati oleh masyarakat Banyumas, misalnya hari jadi Kabupaten Banyumas. Pada momen-momen tersebut Batik Banyumas dapat disosialisasikan melalui even-even tertentu, seperti pawai budaya atau lomba karya tulis yang ditujukan kepada masyarakat, khususnya pemuda, mengenai budaya Batik Banyumas beserta nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya.  
Keseluruhan penerapan strategi tersebut, akan berdampak pada pemahaman dan kecintaan masyarakat terhadap Batik Banyumas beserta melekatnya nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya. Sehingga pembentukan jati diri sumber manusia Batik Banyumas akan berasas pada kecintaan terhadap kearifan lokal.

B.     Sumber Daya Manusia Berbasis Kearifan Lokal Batik Banyumas
Batik Banyumas pun memperlihatkan wujud eksistensi dari suatu budaya. J.J. Honigmann, dan kebanyakan antropolog lainnya, membagi bentuk kebudayaan ke dalam tiga wujud, yaitu (1) artefak, (2) perilaku sosial, dan (3) sistem nilai. Dari semuanya, sistem nilai menjadi substansi dari semua bentuk wujud budaya. Sistem ini telah mengakar pada setiap individu dalam suatu masyarakat budaya, serta membentuk pola pikir mereka menjadi watak yang secara tidak sadar, akan terus dibawa dan diwariskan kepada generasi budaya berkutnya. Perbedaan karakter artefak kesenian dan perilaku sosial pada setiap daerah, di Indonesia bahkan di seluruh dunia, dapat menunjukkan wujud sistem nilai yang berbeda.
Setelah makna kearifan lokal Batik Banyumas berhasil ditanamkan dalam diri serta keseharian masyarakat, maka akan terbentuk jiwa-jiwa sumber daya manusia berasaskan cinta terhadap budaya Batik banyumas. Asas tersebut akan menciptakan tiga bentuk SDM Batik Banyumas dalam setiap lapisan masyarakat, berdasarkan kemampuannya, yaitu:
1. Sumber Daya Membatik
Ketika kebutuhan ekonomi menjadi sandaran bagi masyarakat, kegiatan membatik tradisional tidak menjadi pilihan, mengingat kalkulasi pendapatan yang masih jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional). UMR Kabupaten Banyumas sebesar Rp. 670.000,-/bulan saat ini tidak dapat dicapai para pembatik sebagai pendapatan.
Pengusaha Batik Banyumas di Kauman, Sokaraja Tengah menuturkan, bahwa jika produsen batik menetapkan upah harian pembatik sebesar Rp. 20.000,-/hari (kurang dari UMR), akan menghasilkan perhitungan biaya produksi sebesar Rp. 235.000,-/lembar batik, dengan asumsi setiap lembar diselesaikan dalam delapan hari. Dari perhitungan tersebut, sebenarnya tidak sesuai ketika setiap lembar batik hanya dijual sebesar Rp. 200.000,- hingga Rp. 300.000,-. Kalkulasi tidak menguntungkan ini membuat profesi pembatik tradisional ditinggalkan.
Namun dengan mengembalikan rasa cinta terhadap Batik banyumas, perhitungan ekonomi tidak lagi menjadi prioritas dalam kegiatan membatik. Pelestarian budaya batik menjadi alasan utama bagi para pembatik tradisional sejak dahulu hingga saat ini. Jika pemahaman dan kecintaan terhadap kearifan lokal Batik Banyumas kembali pada tempatnya, maka profesi membatik akan kembali digeluti sebagai bentuk komitmen masyarakat terhadap eksistensi Batik banyumas sebagai sebuah warisan budaya.

2. Sumber Daya Marketimg
Perlu disadari bahwa membatik tidak bisa dilakukan oleh semua orang, mengingat ketelitian, keuletan serta citarasa seni yang tinggi tidak dimiliki setiap individu. Namun dengan pemahaman dan kecintaan yang telah tertanam, kelompok masyarakat yang lain mampu berkontribusi terhadap pelestarian Batik Banyumas melalui distribusi Batik banyumas, baik informasi maupun produk-produknya untuk masuk ke pasar yang popular.


3. Sumber Daya Modern-Entertaintment
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa hampir semua bangsa di dunia memiliki budaya yang sama, yaitu budaya popular. Pada bentuk budaya ini, masyarakat hampir bersifat homogen dan dapat dipengaruhi dengan cara yang mutual pula. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melestarikan Batik Banyumas melalui model entertaining selling.
Model sosialisasi budaya ini sebenarnya merangkap tekhnik marketing dalam penerapannya. Hal ini bisa dilakukan melalui pameran batik, pendirian showroom, butik batik, hingga fashion show yang akan menarik minat banyak orang. Di sana dapat disosialisasikan makna-makna filosofis Batik Banyumas melalui cara yang lebih popular dan menarik, kemudian mengangkat prestise Batik Banyumas. Semakin masyarakat mengenal bahwa batik bukan sekedar kain dari busananya, melainkan juga sebuah karya seni yang patut dihargai dengan pantas, maka kisaran Rp. 500.000,- ke atas bukan menjadi harga yang mahal bagi selembar kain batik.
Lebih tepatnya, stratifikasi harga dapat diterapkan sesuai dengan motif-motif simbolik batik yang menunjukkan kasta kelas pemakainya. Misalnya, motif Kruwung untuk kalangan menengah ke bawah dipasarkan dengan kisaran harga Rp 100.000,-. Kemudian motif-motif elite seperti sekar jagad, sido mokti dan motif barong untuk kalangan atas hingga strata pemimpin masyarakat, dapat dijual dengan kisaran harga yang lebih tinggi, bahkan hingga jutaan rupiah. Harga dan makna filosofis ini selain akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi pemakainya, juga akan menutupi kalkulasi biaya industri batik agar lebih sesuai dengan kerja keras pembatiknya.  
Tiga bentuk sumber daya manusia inilah yang dibutuhkan Batik Banyumas untuk berkembang, tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya. Integritas ketiga sumber daya manusia tersebut kemudian akan membentuk sebuah lapangan industri Batik Banyumas yang akan menjadi komoditas lokal masyarakat Kabupaten Banyumas untuk bersaing menghadapi globalisasi industri.
C.  Banyumas: The Tradmodernition Batik Industry Country
Industri adalah kata benda yang merujuk pada proses pengolahan benda. Industrialisasi sendiri, mengacu pada usaha pengembangan industri di suatu daerah tertentu. Jika menilik sejarah yang berakar pada Revolusi Inggris, industrialisasi adalah suatu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar negara yang meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong perubahan struktur ekonomi.[20] 
Industrialisasi suatu negara selalu mengedepankan perkembangan teknologi dan inovasi yang progresif. Dua faktor inilah yang dianggap terpenting dalam merubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi produksi. Sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat, yang meningkatkan tingkat konsumsi, adalah yang terpenting dari sisi permintaan. Pengalaman di hampir setiap negara menunjukkan bahwa industrialisasi dianggap perlu, karena terbukti mampu meningkatkan efisiensi serta menjamin pertumbuhan ekonomi.[21]
Lokalitas dan modernitas merupakan dua kubu budaya yang saling bertolak belakang. Namun revitalisasi budaya lokal terhadap budaya modern, bukan tidak mungkin direalisasikan melalui sintesis yang tepat. Batik Banyumas mampu menjadi tonggak sinkronisasi budaya ini. Dengan tetap mengedepankan substansi filosofis Batik Banyumas, serta menerapkan strategi industrialisasi yang tepat, Kabupaten Banyumas siap menjadi simbol  industri budaya Batik Indonesia.
Radhar Panca Dahana, dalam bukunya berjudul Menjadi Manusia Indonesia, mengungkapkan bahwa pada masa ini manusia akan sulit berharap datangnya masterpiece, atau seorang maestro. Kini, kualitas manusia dihadapkan pada tantangan terberat sepanjang sejarah: daya hancur dari karya-budayanya sendiri. Oleh karena itu, kerja seni budaya untuk menahan diri, akan lebih mengabdi ketimbang mengagulkan diri.[22]
Tradmodernition merupakan penyelarasan sinergi antara lokalitas dan modernitas. Inti dari misi sinkronisasi ini adalah kolaborasi esensi kedua budaya tersebut (lokal dan modern), tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai yang menjadi keutamaan filosofis lokalitas. Esensi dari tradisi kedaerahan adalah ciri khas, identitas, nilai moral, dan kearifan lokal. Sedangkan esensi dari modernitas adalah industrialisasi dan globalisasi. Inilah strategi glokalisasi kreatif, yang berpotensi besar dalam mewujudkan Kabupaten Banyumas sebagai The Tradmodernition Batik Industry Country.
1. Pengembangan Industri Batik Kreatif (Kampung Bathik)
Saat ini batik tidak hanya dikenakan dalam even-even resmi. Perkembangan industri, telah membawa inovasi kreatif merambah pasar batik di Indonesia. Jika dahulu, di toko pakaian hanya bisa ditemukan model busana batik konvensional, kini berbagai desain kaos, kemeja, blouse, dan berbagai desain lainnya, dapat dipilih dengan leluasa. Kaum muda pun kini tak canggung lagi mengenakan batik, karena desain kontemporer seperti ini dianggap mengikuti selera zaman.    
Pengusaha batik dapat membaca pasar ini melalui pengembangan industri Batik Banyumas. Pengusaha Batik Banyumas di Sokaraja Tengah mengatakan, jika kecintaan masyarakat terhadap batik telah tercipta, akan mudah mewujudkan gagasan Pariwisata Kampung Bathik Banyumasan di pusat-pusat industri Banyumas, khususnya di Kauman, Sokaraja Tengah.. Kampung Bathik tidak hanya menawarkan batik sebagai busana khas daerah, namun juga menyajikan sebuah pariwisata yang akan mengangkat perekonomian masyarakat dari berbagai sektor.
Sebagai gambaran, proyek ini akan mengangkat Batik Banyumas sebagai objek utama, dengan menawarkan berbagai produknya sesuai dengan motif dan strata pemakainya. Dengan men-stratifikasi model dan harga sesuai kelasnya, batik akan memberi rasa bangga tersendiri terhadap pemakainya. Selain batik, pendapatan masyarakat juga akan terpenuhi melalui wisata kuliner daerah sebagai sajian sekunder pariwisata Kampung Bathik. Selain itu, dengan mengangkat Batik Banyumas sebagai objek pariwisata, masih banyak tenaga kerja yang bisa terserap melalui proyek ini, seperti wisata alam di daerah Banyumas.
Proyek pengembangan ini akan melibatkan banyak pihak dalam masyarakat, mulai dari para pembatik sendiri, budayawan, tenaga marketing, hingga event organizer yang berbuat berlandaskan kecintaan pada budaya dan kearifan lokal Batik Banyumas, yang sudah tertanam, dan membentuk tiga bentuk SDM Batik Banyumas yang telah disebutkan sebelumnya.
Langkah berikutnya merupakan distribusi budaya Batik Banyumas. Glokalisasi Batik Banyumas perlu diterapkan dalam merambah pasar luar negeri untuk bersaing dengan produk ekspor, khususnya China. Glokalisasi diterapkan dengan kecermatan memahami kondisi pasar lokal negara yang dirambah. Dengan menampilkan kekhasan Batik Banyumas, keunikan makna simbolis motifnya misalnya, serta memenuhi selera pasar daerah yang bersangkutan, akan meningkatkan permintaan pasar dan tentunya nilai prestisius Batik Banyumas di mata dunia. 
Bila produsen mampu menerapkan keempat langkah tersebut dengan baik, improvisasi dan glokalisasi industri tradisional, Batik Banyumas akan mampu mengimbangi arus kinerja industri modern. Selain itu, eksistensi batik sebagai identitas masyarakat Banyumas pun akan tetap lestari dan terjaga. 
3. Optimalisasi Tiga Sektor Ekonomi
Serangkaian misi di atas tidak akan terwujud tanpa integrasi konstruktif seluruh lapisan masyarakat Banyumas, terutama interaksi yang optimal dan membangun antara tiga sektor ekonomi: produsen (pengusaha batik), konsumen (masyarakat), dan pemerintah (Pemda Kabupaten Banyumas). Bagi (1) produsen perlu menerapkan strategi stratifikasi produk dan tingkat ekonomi konsumen, dengan mewujudkan Kampung Bathik sebagai objek pariwisata batik di kabupaten Banyumas. Kemudian setelah Batik Banyumas eksis sebagai warisan budaya yang berharga, langkah glokalisasi untuk merambah internasional, dengan memperkenalkan Batik Banyumas sebagai karya seni yang mencerminkan harmonisasi antara manusia dan alam.
Pada tahap selanjutnya, meningkatkan angka permintaan menjadi tolak ukur kelajuan suatu industri. Untuk itu bagi (2) konsumen, yang sudah memahami karakter Batik Banyumas, harus memilih dengan tepat beragam pilihan batik di pasaran dengan tidak hanya melihat harga saja. Kecermatan memilih batik juga merupakan sebuah penghargaan terhadap karya seni, keuletan, kerja keras serta keluhuran lokalitas yang tertanam di dalamnya.
Peran esensial ada di tangan (3) pemerintah, yang akan menjembatani interaksi dua sektor lainnya. Banyak yang bisa dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. Setelah eksistensi identitas tercapai, pemerintah harus berperan aktif dalam pengembangan industri Batik Banyumas. Beberapa tahun terakhir, tata kota Purwokerto menjadi menu utama kinerja Pemda Kabupaten Banyumas. Pembangunan ini akan lebih baik jika diikuti dengan mengembangkan industri lokal Banyumas, khususnya batik.
Selain menerapkan kebijakan dalam hal pengadaan bahan baku, Pemerintah perlu (a) melegalkan pengadaan Wisata Kampung Bathik sebagai salah satu lokawisata utama di Kabupaten Banyumas. Dengan begitu, eksistensi Batik Banyumas akan terjaga seiring dengan meluasnya nama batik Banyumas sebagai salah satu dari bentuk heterogenitas budaya Indonesia
Pemerintah juga perlu mendukung (b) distribusi pemasaran Bayik banyumas. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan Pasar Pusat Batik Banyumas di Purwokerto misalnya (selain Kampung Bathik di Sokaraja), yang notabene merupakan kota pusat di Kabupaten Banyumas. Pasar Batik Banyumas tidak hanya akan menarik minat masyarakat setempat. Para wisatawan lokal bahkan mancanegara pun akan memusatkan minat belanja mereka pada Batik Banyumas di pasar ini. Selain meningkatkan progres sektor ekonomi dan pariwisata, produsen pun tidak akan terlalu sulit mendistribusikan budaya dan identitas Banyumas ke luar daerah.
Peran intermediasi ini juga melibatkan sektor perbankan, melalui kebijakan pemerintah di bank sentral. Beberapa UMKM, khususnya produsen batik di Kabupaten Banyumas, perlu mendapat apresiasi dari bank-bank pemerintah maupun swasta di Kabupaten Banyumas. Dengan mendukung sebuah potensi industri besar di sebuah daerah, akan memberikan timbal balik yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dan tentunya semakin menyempurnakan  Tradmodernition, bukan hanya sebagai keberhasilan satu pihak, melainkan merupakan perwujudan kontribusi konstruktif dari seluruh lapisan dan sektor masyarakat Kabupaten Banyumas.
   





















BAB V
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Manusia dengan segala wujud pola pikirnya menghasilkan karya budaya yang mencerminkan semangat kearifan lokal di dalamnya, begitu juga dengan apa yang ada pada budaya Batik Banyumas. Tergerusnya eksistensi Batik Banyumas dapat ditanggulangi melalui penanaman kembali nilai-nilai moral dan filosofi harmoni yang melekat pada setiap motif dan fungsinya kepada masyarakat.
Dengan usaha yang optimal, strategi tersebut akan mewujudkan sebuah generasi budaya baru yang menjunjung semangat lokalitas, untuk kemudian berdampak pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Pada Batik Banyumas, SDM ini mencakup sumber daya membatik, sumber daya marketing, dan sumber daya modern entertaintment yang saling berkontribusi untuk membangun budaya, dan mengantarkan Batik Banyumas menuju pola industri yang dapat menembus pasar global melalui glokalisasi.
Pada sektor industri, peran aktif tiga sektor ekonomi dalam menciptakan ruang bagi industri Batik Banyumas menjadi faktor terpenting dalam mewujudkan misi ini: kinerja dan inovasi produsen yang progresif, peralihan konsumtivisme masyarakat kepada semangat lokalitas, serta mediasi kebijakan ekonomi dari pemerintah. Pada akhirnya, dengan realisasi yang baik, Kabupaten Banyumas akan benar-benar siap menjadi The Tradmodernition Batik Industry Country.

B.  Saran
Untuk meningkatkan kualitas SDM berbasis kearifan lokal, pemerintah harus memberikan perhatian khusus bagi para pengusaha kecil, mikro dan menengah, khususnya mereka yang menjadikan budaya lokal sebagai sumber pendapatan mereka. Hal ini akan semakin melestarikan budaya tersebut dan tentunya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang bekerja di bidang tersebut.
Para pengusaha batik pun harus mendapat atensi yang lebih baik. Dengan meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia melalui kearifan lokal Batik Banyumas, manusia akan kembali pada harkatnya sebagai seorang manusia.
























DAFTAR PUSTAKA

Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LKiS.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemkab. Banyumas. 2005. Produk Industri Andalan Kabupaten Banyumas.

Johansson, Frans. 2007. Inovasi Titik Temu. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.  

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat. Jakarta: Penerbit Jalasutra.

Istanti, Kun Zahrun. 2007. Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya. Purwokerto: PM3 STAIN Purwokerto.

Roqib, Muhamad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender). Purwokerto: STAIN Press.   

Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia. Lausane: Penerbit Ichtiar Baru dan Elsevier Publishing Projects.

Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya. Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia.

Sung Cho, Dong, Moon, Hwy Chang. 2003. From Adam Smith to Michael Porter, Evolusi Teori Daya Saing. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Tambunan, Tulus. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








[1] Berasal dari serapan bahasa Jawa: Amba Titik, adalah suatu cara melukis di atas kain, dengan cara melapisi bagian-bagian yang tidak berwarna dengan cairan lilin, menggunakan alat lukis canting. (Shadily, 1980)
[2] Bratasena. Perkembangan Batik Dari Dulu Sampai Kini. http://www.SeniBudayaOnline.com
   didownload pada 16-01-2010
[3] Batik Banyumas. www.banyumaskab.go.id.
[4] Industri Batik Banyumasan Terancam Punah, Suara Merdeka, Senin, 28 Oktober 2002.
[5] “Recapturing Batik Banyumas” by Poppy Darsono. http://www.metrogaya.com didownload pada
   27-01-2010.
[6] Gabungan dari dua kata, tradition dan modern.  Berarti kolaborasi konstruktif antara lokalitas dan modernitas.
[7] Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter pasar (lokal) (Sutaryono. Materi Seminar Pasar Global, STAIN Purwokerto. 18 Maret 2010)
[8] Nurma Ali Ridwan. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan lokal, dalam Ibda’, Jurnal Studi Islam dan Budaya. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto. Hal. 30
[9] Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Hal. xi
[10]  Ibid
[11]   Ibid. Hal. 26-27.
[12] Dr. Tulus Tambunan. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia.
    Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal  21. 
[13] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 136
[14] Ibid. Hal. 193
[15] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Hal. 245.  
[16] Abraham Sitinjak. Kasta, Kista dan Kusta dalam Gereja.
[17] Ranggawarsita dalam Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara
    Wacana. Hal. 9.
[18] Yasraf Amir Piliang. 2006. Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta : Jala Sutra. Hal. 282.
[19] Ujang Sumarwan. 2003. Perilaku Konsumen:Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 184.  
[20] Dr. Tulus Tambunan, 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia.
    Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal. 20.   
[21] Ibid. Hal. 21.
[22] Radhar Panca Dahana, 2001. Menjadi Manusia Indonesia. LKiS Yogyakarta. Hal 190  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar