Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Kamis, 23 Februari 2012

Karya Tulis


Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam
SMESH 2011
Mendapat juara 3 di UNSOED Purwokerto
Hierarchical  Joint Venture:
Integrasi Lembaga Keuangan Syariah-Koperasi Usaha Rakyat
Sebagai Upaya Karakterisasi Sistem Ekonomi Islam melalui
Basis Sosiokultur-Ekonomial Masyarakat

logo-stain







Oleh:
Angga Aryo Wiwaha            NIM 082323005
Siti Nur Azizah                      NIM 082323038
Titik Yayuk Wijayanti          NIM 082323043




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2011

KATA PENGANTAR
            Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menganugerahkan budaya kepada manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Akhir Zaman, Muhamad SAW yang membawa manusia menuju budaya mulia dengan segala keluhuran dan kearifannya.
Karya tulis ini berjudul  Hierarchical Join Venture: Integrasi Lembaga Keuangan Syariah-Koperasi Usaha Rakyat Sebagai Karakterisasi Sistem Ekonomi Islam Berbasis Sosio Kultural Ekonomi Masyarakat, yang memuat fakta mengenai hubungan kerja sama antara lembaga keuangan dan masyarakat sebagai upaya karakterisasi ekonomi islam di tengah maraknya ekonomi global .
Karya tulis ini melewati  observasi mengenai realita eksistensi lembaga keuangan syariah, serta relevansinya dengan realita sosiokultur-ekonomial masyarakat Indonesia. Join venture juga menjadi poin penting yang diangkat dalam karya tulis ini, sebagai penjaga dari eksistensi lembaga keuangan syariah. Kemudian karakterisasi ekonomi islam berbasis sosiokultural masyarakat menjadi garis akhirnya.
Harapan penulis, semoga karya tulis ini dapat memberikan kontribusi dalam khazanah pendidikan Indonesia, serta menjadi acuan  dalam upaya optimalisai peran ekonomi islam dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta ssebagai upaya mengkarakterisasikan ekonomi islam di tengah ekonomi global.

Penulis






DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................          i
Lembar Pengesahan.......................................................................................         ii
Kata Pengantar..............................................................................................         iii
Daftar Isi........................................................................................................         iv
Ringkasan......................................................................................................         v
BAB      I     PENDAHULUAN
                     A. Latar Belakang Masalah......................................................         1
                     B. Rumusan Masalah................................................................         5
                     C. Tujuan Penulisan..................................................................         6
                     D. Manfaat Penulisan ..............................................................         6
                     E. Sistematika Penulisan ..........................................................         6
BAB      II    TINJAUAN PUSTAKA .........................................................         8
BAB     III   METODE PENULISAN
                     A. Objek Penelitian ..................................................................        10
                     B. Metode Pengumpulan Data ................................................        10
                     C. Metode Analisis Data..........................................................        11
BAB     IV   PEMBAHASAN
                     A. Relevansi Sosiokultur-Ekonomi Islam di Indonesia ...........        13
                     B. Kontekstualitas Musyarakah sebagai Identitas....................        14
                     C. Hierarchical Joint Venture...................................................        20
BAB      V    PENUTUP
                     A. Kesimpulan .........................................................................        24
                     B. Saran ...................................................................................        25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................        26




RINGKASAN

Perkembangan dunia perbankan islam sekarang ini, telah membuktikan bahwa keberadaaan bank islam sudah bisa diterima masyarakat secara mendunia. Di Indonesia saja, sudah banyak berdiri bank-bank syariah baik itu dalam bentuk usaha unit syariah (UUS) dan Bak Umum Syariah (BUS). Namun, fakta menyebutkan bahwa terdapat suatu problematika yang substansial, sehingga apa yang dicapai oleh perkembangan lembaga keuangan syariah (infrastruktur) tidak diikuti dengan berkembangnya suprastruktur (ideologi dan paradigma) masyarakat untuk berekonomi dalam naungan syariah secara holistis.
Adanya dual system perekonomian di Indonesia yaitu konvensional dan syariah, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ekonomi islam kehilangan identitasnya. Dalam beberapa hal, ekonomi islam oleh masyarakat dianggap tidak adanya bedanya dengan ekonomi konvensional. Artinya, ekonomi Islam belum memiliki suatu karakter yang khas, untuk kemudian menjadi identitas bagi penerapan sistemnya. Mengingat adanya hal ini, maka perlu sebuah konsep baru atas keberadaan lembaga keuangan syariah agar dapat bersinergi positif dengan sosiokultur masyarakat.
Dari pada itu, maka konsep musyarakah merupakan konsep yang paling tepat dan berbeda yang mampu menjadi ciri khas ekonomi islam. Pada aspek syraiah, musyarakah mengedepankan sikap ta’awun dan ‘adalah. Terlebih, social justice yang menjadi pilar tujuan ekonomi Islam ada pada konsep ini. Pada aspek sosial, musyarakah menjauhkan dari sikap egoisitas personal (individualisme), serta lebih cenderung mengedepankan kesejahteraan komunal. Sedangkan secara kultural, tentu saja musyarakah dapat menciptakan sebuah budaya gotong royong dan mau berbagi dalam suatu sistem masyarakat.
Penulis merancang konsep hierarchical joint venture, sebuah konsep yang mengintegrasikan peran sentral lembaga keuangan syariah, dalam hal ini perbankan, dengan koperasi usaha yang dijalankan oleh masyarakat. Secara komprehensif, karya tulis ini akan berbicara mengenai hal-hal yang mendasari penerapan konsep ini dalam sebuah sistem riil, yang direlevansikan dengan fakta mengenai konstruksi sosiokultur-ekonomial masyarakat Indonesia. Penerapan konsep ini akan melalui sebuah gerakan hegemonial bottom-up, dari koperasi masyarakat sebagai pelaksana, perbankan syariah pada tingkat selanjutnya, untuk kemudian tersinergi dengan pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang bersaskan ekonomi pancasila yang berketuhanan.
Melalui itu, identitas ekonomi Islam dapat tergambar jelas, dengan sosiokultural masyarakat sebagai basisnya. Ekonomi Islam tidak hanya dipahami sebagai sistem alternatif, namun secara suprastruktur akan melekat pada diri masyarakat Indonesia. Sebagai masyarakat muslim terbesar di dunia, adalah hal yang logis bahwa identitas ekonomi Islam dapat lahir di Indoneisa, untuk kemudian menjadi awal dari kebangkitan agama Islam secara global.








BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Faktanya, penerapan ekonomi Islam terus berkembang di Indonesia seiring semakin banyaknya Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Bank syariah, BPRS, Asuransi, hingga BMT menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Di akhir tahun 2010,[1] Jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha syariah meningkat seiring dengan munculnya bank syariah baru baik dalam bentuk Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Jumlah BUS yang sebelumnya sebanyak enam bertambah lima menjadi 11, dimana tiga BUS merupakan hasil konversi dari Bank Umum Konvensional dan dua BUS merupakan bank baru hasil spin off Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank umum konvensional.
Tidak jauh berbeda, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah bertambah sebanyak 12 BPRS, dimana 11 BPRS berasal dari ijin pendirian usaha baru dan satu BPRS hasil konversi BPR Konvensional.  Dengan demikian jumlah BPRS tahun 2010 meningkat menjadi 150. Wilayah lokasi usaha 150 BPRS tersebut tersebar pada 21 propinsi di Indonesia, dengan jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur sebanyak 29 BPRS, diikuti Jawa Barat sebanyak 28 BPRS. Penyebaran BPRS yang belum merata dengan sebaran terbanyak berada di pulau Jawa membuka peluang bagi para investor yang ingin membuka BPRS baru terutama di 12 propinsi lainnya yang belum memiliki BPRS. Di samping itu, tentu saja perusahaan asuransi dan BMT juga mengalami perkembangan serupa.
Perkembangan aplikasi Ekonomi Islam di Indonesia dimulai sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam  UU nomor 10 tahun 1998. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan aplikasi ekonomi Islam di Indonesia.
Kemajuan yang dicapai ekonomi Islam tersebut, berimplikasi kepada banyaknya masyarakat Indonesia yang berhubungan finansial dengan LKS. Tentu saja hal ini semakin menjadikan ekonomi Islam, dengan bank syariah sebagai medianya, semakin mampu memperkenalkan sebuah sistem ekonomi yang menjunjung tinggi aspek ketuhanan, keberadaban, serta keadilan sosial: sistem ekonomi Islam.
Namun dari fakta yang membanggakan tersebut, terdapat suatu problemtika yang urgen, sehingga apa yang dicapai oleh perkembangan lembaga keuangan syariah (infrastruktur) tidak diikuti dengan berkembangnya suprastruktur (ideologi dan paradigma) masyarakat untuk berekonomi dalam naungan syariah secara holistis. Mengingat struktur dan sistem sosial masyarakat Indonesia yang plural dan membutuhkan panutan, keberadaan lembaga keuangan syariah belum mampu mewakili kemuliaan sistem ekonomi Islam.
Di Indonesia, terdapat dua sistem ekonomi yang berjalan dan dijalankan oleh masyarakat: konvensional (kapitalistik) dan ekonomi Islam (syariah). Masyarakat pun bebas memlih layanan finansial yang menurutnya baik dan menguntungkan melalui lembaga keuangan yang menaungi keduanya. Keberadaan dual system ini justru membuat ekonomi Islam kehilangan jati dirinya, karena selalu dipersebandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Dari beberapa wawancara yang penulis lakukan, didapatkan fakta bahwa mayoritas masyarakat awam masih menganggap lembaga keuangan syariah tidak berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. Jika ada yang membedakan, maka itu adalah nama produk yang cenderung berbahasa Arab, serta tentu saja label “syariah” di belakang nama lembaga keuangan tersebut.
Hal tersebut menjadi logis jika melihat apa yang terjadi di perbankan syariah, khususnya pada porsi akad pembiayaan. Dilihat dari jenis akadnya, penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh piutang Murabahah yakni sebesar 55,01%, jauh lebih besar dari porsi pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, masing-masing sebesar 21,45% dan 12,66%. Dalam jumlah yang lebih kecil lagi, penyaluran pembiayaan syariah dialokasikan pada pembiayaan berbasis akad qardh, ijarah dan istishna masing-masing sebesar 6,94%, 3,43%, dan 0,51%.[2] Padahal penyaluran pembiayaan ini begitu besar dialokasikan pada sektor produktif. Pembiayaan produktif yang disalurkan melalui akad jual beli, memunculkan asumsi yang laten dipahami masyarakat, bahwa tidak ada bedanya antara bank syariah dan konvensional, kecuali embel-embelnya. Artinya, ekonomi Islam belum memiliki suatu karakter yang khas, untuk kemudian menjadi identitas bagi penerapan sistemnya. 
Identitas adalah ciri khas yang membedakan antara satu hal dengan yang lainnya. William James menjelaskan bahwa identitas sosial lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain. Definisi tersebut menunjukkan bahwa untuk menjadi sistem ekonomi dengan eksistensi yeng berbeda, ekonomi Islam harus memliki sebuah konsep yang holistis dan khas serta berbeda dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya.
Secara mendasar, ekonomi Islam dibangun atas prinsip yang beradab: ketuhanan, keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dibangun atas dasar yang sama sekali berbeda: atheisme, materialisme, serta individualisme. Dasar filosofi tersebut kemudian menjadikan sistem yang dijalankan pun (seharusnya) berbeda. Ciri khas ini dapat diterapkan sebagai sebuah perwujudan sebuah sistem yang holistis melalui suatu kerjasama finansial yang mampu mengangkat ciri pembeda asas ekonomi Islam menjadi sebuah sistem yang mensejahterakan dan memberikan aspek keselamatan: musyarakah.
Musyarakah merupakan suatu akad perkongsian komunal, sehingga tentu saja identitas ekonomi Islam dapat diaplikasikan dengan nyata. Hal tersebut jelas, karena (1) secara materi, musyarakah dapat memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata, mengingat sebuah perkongsian mengharuskan setiap pihak yang terkait menyetorkan modal maupun tenaganya (berapapun prosentasenya) untuk bersama membangun ekonomi. Dalam (2) aspek sosial, musyarakah menjauhkan sikap personal dari individualisme, serta lebih peduli terhadap kesejahteraan komunal. (3) Secara kultural, tentu saja musyarakah dapat menciptakan sebuah budaya gotong royong dan mau berbagi dalam suatu sistem masyarakat.
Singkatnya, konsep musyarakah menyajikan identitas ekonomi Islam yang jelas berbeda. Dalam konteks masyarakat Indonesia, musyarakah menjadi perwujudan nyata dari asas negara: berketuhanan, berkemanusiaan yang beradab, bersatu dan saling membangun, serta mewujudkan keadilan sosial.
Di Indonesia, rumusan tersebut teraplikasikan dalam sistem koperasi. Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang kuat karena memiliki dasar konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.
Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama yang kooperatif, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Artinya, secara psikososial, masyarakat Indonesia sudah memiliki landasan kuat untuk menjalankan sebuah sistem yang berkeadilan dan beradab. Yang dibutuhkan adalah sebuah upaya dan strategi untuk dapat menjadikan konsep tersebut berjalan dan dijalankan oleh masyarakat, sehingga kesejahteraan akan terjalin.
Dalam pada itu, penulis merancang konsep hierarchical joint venture, sebuah konsep yang mengintegrasikan peran sentral lembaga keuangan syariah, dalam hal ini perbankan, dengan koperasi usaha yang dijalankan oleh masyarakat. Secara komprehensif, karya tulis ini akan berbicara mengenai hal-hal yang mendasari penerapan konsep ini serta aplikasina dalam sebuah sistem riil, yang direlevansikan dengan fakta mengenai konstruksi sosiokultur-ekonomial masyarakat Indonesia.
Melalui itu, identitas ekonomi Islam dapat tergambar jelas, dengan sosiokultural masyarakat sebagai basisnya. Sebagai masyarakat muslim terbesar di dunia, adalah hal yang logis bahwa identitas ekonomi Islam dapat lahir di Indoneisa, untuk kemudian menjadi awal dari kebangkitan agama Islam secara global.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bentuk relevansi antara konstruksi sosiokultur masyarakat Indonesia dengan konsep ekonomi Islam?
2.      Bagaimana strategi yang mampu mewujudkan konsep musyarakah sebagai identitas ekonomi Islam dalam percaturan global?
3.      Bagaimana bentuk rancang sistem hierarchical joint venture dan perwujudannya sebagai identitas holistis ekonomi Islam?
C.      Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan bentuk relevansi antara konstruksi sosiokultur masyarakat Indonesia dengan konsep ekonomi Islam.
2.      Memaparkan strategi yang mampu mewujudkan konsep musyarakah sebagai identitas ekonomi Islam dalam percaturan global.
3.      Menawarkan bentuk rancang sistem hierarchical joint venture dan perwujudannya sebagai identitas holistis ekonomi Islam.

D.      Manfaat Penulisan
1.      Sebagai wacana keilmuan mengenai penerapan konsep musyarakah dalam ekonomi Islam melalui integrasi keuangan syariah dan koperasi masyarakat .
2.      Sebagai upaya karakterisasi sistem ekonomi Islam melalui basis sosiokultural masyarakat.
3.      Menciptakan asas bagi lahirnya identitas ekonomi Islam dalam percaturan ekonomi global.

E.       Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi pokok pembahasan ke dalam lima bab secara sistematis, yang meliputi:
Bab I: Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan mengenai belum optimalnya penerapan ekonomi Islam di Indonesia, yang diwakili lembaga keuangan syariah; serta beberapa hal mendasar mengenai ciri dan kekhasan konsep ekonomi Islam sebagai basis identitas. Bab ini juga akan memaparkan mengenai konsep musyarakah dan akar relevansinya dengan konstruksi sosiokultural masyarakat.
Bab II: Tinjauan Pustaka yang mengulas rujukan-rujukan pustaka mengenai ekonomi Islam, konsep dan penerapan musyarakah, kontruksi sosiokultur-ekonomial masyarakat yang diwakili koperasi, hingga beberapa hal mengenai ekonomi kelembagaan sosial. Bab ini juga merupakan ulasan mengenai landasan teori dan kajian penelitian yang pernah dilakukan. 
Bab III: Metode Penulisan yang mencakup bagaimana langkah-langkah penulis menerapkan penelitiannya melalui studi pustaka, observasi, pengumpulan, hingga metode analisis data untuk menyimpulkan sederetan fakta, untuk kemudian menyusunnya menuju pemecahan masalah.
Bab IV: Pembahasan mengenai bentuk relevansi antara konstruksi sosiokultur masyarakat Indonesia dengan konsep ekonomi Islam; strategi yang mampu mewujudkan konsep musyarakah sebagai identitas ekonomi Islam dalam percaturan global; serta bentuk rancang sistem hierarchical joint venture dan perwujudannya sebagai identitas holistis ekonomi Islam.
Bab V : Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penulis.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, beberapa literatur pustaka menjadi rujukan untuk mendasari beberapa dasar pijakan berpikir. Sebagaimana diketahui bahwa Islam merupakan pandangan hidup (Way Of Life) bukan Way of Idea, serta memiliki segala konsep dari Tuhannya. Sofyan S. Harahap Dalam bukunya, Ekonomi Bisnis dan Manajemen Islam,  menjelaskan bahwa Islam memberikan konsep holistik tentang kehidupan sejak masih dalam kandungan sampai menemui Alloh nantinya. Sehingga Ia mengatur cara makan, berjalan, bernegara, berkeluarga, bertetangga, mensucikan badan, travel, antariksa, bisnis, leadership, marketing dan politik  sampai pada menghindari duri di jalan.[3]
Dari pada itu, kebutuhan akan sebuah konsep yang tepat menjadi sesuatu yang urgen. Ekonomi Islam merupakan konsep ekonomi yang berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yaitu lebih menekankan bagaimana cara mengkondisikan kehidupan sesuai dengan ketentuan syariah.[4] Tentunya juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berekonomi.
Salah satu konsep dalam ekonomi Islam yang melandasi sebuah gerakan pengembangan ekonomi sosial adalah syirkah. M. Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam mengatakan Syirkah (Kemitraan Usaha) merupakan keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang telah di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang dalam bagian yang di tentukan.[5]
Terlihat jelas bahwa Islam, berdasarkan landasan filosofinya, merupakan suatu yang dijadikan arah, tujuan dan sekaligus proses (etika) dalam melakukan suatu kerjasama yang berujung mensejahterakan umatnya. Namun, tidak bisa dipungkiri upaya-upaya yang dilakukan belumlah memunculkan tanda-tanda akan menuai keberhasilan, pemberian pelayanan yang terbaik terhadap masyarakat masih belum sepenuhnya. Cita-cita mewujudkan masyarakat sejahtera masih belum terwujud.[6] Itu artinya, harus benar-benar menciptakan sebuah sistem yang menjadi pedoman pelaksanaannya.
Dari pada itu, aspek interaksi sosial menjadi hal yang utama, mengingat musyarakah mengandalkan pola sosial yang sangat kuat untuk menciptakan kesejateraan. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.[7] Bentuk-bentuk interaksi sosial adalah kerjasama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (accomodation), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).[8]
Musyarakah menunjukan bentuk interaksi sosial yang kooperatif (kerjasama) menurut Charles H. Cooley kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuh kepeningan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.[9]

BAB  III
METODE  PENULISAN

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, seperti penulisan hasil penelitian:

A.      Objek Penelitian
Penulis meneliti berbagai fakta mengenai penerapan konsep musyarakah yang diterapkan di lembaga keuangan syariah, serta perkembangan sosioekonomi masyarakat Indonesia. Selain itu, juga berbagai hal mengenai relevansi nilai sosial koperasi di Indonesia. Dalam penulisan ini, pula akan diteliti bagaimana konsep musyarakah mampu menjadi identitas sistem ekonomi Islam.  

B.       Metode Pengumpulan data
Untuk memperoleh data akurat, penulis menggunakan beberapa metode dengan mempertimbangkan beberapa kelebihan dan kekurangan setiap metode:

1.         Metode Studi Pustaka
Studi pustaka adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Studi ini digunakan untuk merelevansikan berbagai landasan mengenai konsep ekonomi Islam dengan penerapannya dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.


2.         Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.[10] Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang penerapan konsep musyarakah di lembaga keuangan syariah. Dan sejauh mana peran lembaga keuangan syariah bagi masyarakat melalui penerapan konsep tersebut.

3.         Metode Interview
Metode interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematik dan berlandaskan dengan tujuan penyelidikan.[11] Dalam penggunaan metode penulisan ini, penulis mengguankan sistem opened and controlled yaitu interview yang bebas tetapi terkontrol. Dengan kata lain, interview ini dilaksanakan secara bebas apa yang diinginkan oleh interview kepada intervier, tetapi mengarahkan dalam pembicaraannya. Peneliti menggunakan sistem ini agar dalam wawancara lebih mudah dan komunikatif. Tetapi dalam pembicaraan mengena sasarannya karena ada kontrol sehingga data-data yang diperoleh akan terjamin validitasnya.
Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang seberapa signifikan peran penerapan konsep musyarakah yang dianut lembaga keuangan syariah mampu menjadi identitas bagi sistem ekonomi Islam di Indonesia.

4.         Metode Analisis Data
Agar data yang diperoleh bukan merupakan informasi yang mentah dan pembaca mudah menginterpretasikan terhadap data yang telah diolah, maka diperlukan analisis data sebagai kelanjutan untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh.
Penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis data-data yang bersifat kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisah menurut katagori untuk memperoleh kesimpulan.[12] Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan, keterangan yang bukan berupa angka.
Melalui pengumpulan dan analisis data-data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa konsep musyarakah sebenarnya mampu menjadi identitas dari sistem ekonomi Islam. Dengan menerapkan nilai-nilai yang ada didalam konsep tersebut dan kaitannya dengan hubungan masyarakat.




















BAB IV
PEMBAHASAN

A.      Relevansi Sosiokultur-Ekonomi Islam di Indonesia
1.      Keadaan sosiokultur di Indonesia
Bangsa Indonesia, sebagaimana yang diketahui merupakan bangsa yang mejemuk dengan berbagai kebudayaan yang terbentuk didalam masyarakatnya. Pada dasarnya, manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Semenjak dilahirkan manusia mempunyai naluri untuk hidup berkawan sehingga disebut sebagai social animal. Sebagai social animal manusia mempunyai naluri yang disebut gregariousness.
Terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya yang terpenting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat dari hubungan tersebut. Reaksi-reaksi itu mengakibatkan semakin meluasnya sikap tindak seseorang, baik negatif maupun positif. Dalam memberikan reaksi tersebut, manusia cenderung menyerasikannya dengan pihak-pihak lain. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat yang kuat dalam dirinya yakni keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain disekelilingnya, misalnya masyarakat. Dan keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam disekelilingnya.[13]
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut, yakni lingkungan sosial dan lingkungan alam, manusia mempergunakan akal dan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Selain itu, dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut manusia senantiasa berinteraksi dengan sesamanya untuk menyempurnakan dan memperluas tindakannya agar tercapai kedamaian dengan lingkungannya. Dengan demikian, masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi kepentingan yang tentunya juga untuk bertahan.
Dari hal tersebut terlihat jelas bahwa betapa pentingnya interaksi sosial dan pengetahuan tentang proses sosial. Mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama manusia.
Bahkan Tamotsu Shibutani menyatakan bahwa, untuk mempelajari transaksi-transaksi sosial yang mencakup usaha-usaha bekerjasma masyarakat Indonesia dengan semua kegiatan manusia didasarkan pada gotong royong.[14] Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia mempunyai bentuk-bentuk strukturalnya. Seperti kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi dan kekuasaan, tetapi semuanya itu mempunyai suatu derajat dinamika tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi.
Adanya perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamisnya disebabkan karena para warganya mengadakan hubungan satu dengan lainnya baik dalam bentuk orang-perorangan maupun kelompok sosial. Di Indonesia kita bisa melihat mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung antara berbagai suku bangsa atau antara golongan terpelajar dengan golongan agama.
Dengan adanya interaksi sosial tersebut maka pembinaan bangsa dan masyarakatpun akan terwujud. Kimball dan Raymond mengungkapkan bahwa interkasi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.[15] Dalam suatu kelompok sosial, pergaulan hidup tidak hanya bisa dilakukan dengan bertemunya orang-perorangan secara badaniah. Namun, lebih dari itu suatu pergaulan dapat terbentuk apabila orang-perorang atau kelompok melakukan kerjasama, saling berkomunikasi, dan lain sebagainya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pun dalam berekonomi, interaksi sosial tersebut mengejawantah melalui perilaku yang cenderung komunal, sosial dan tidak menetingkan individu. Koperasi menjadi salah satu contoh, dimana kesejahteraan ekonomi masyarakat harus berlandaskan pada nilai persatuan dan kemajemukan. Dengan begitu dapat terlihat, bahwa ada suatu garis relevansi antara konstruksi sosiokultur masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai di dalam ekonomi Islam: maslahah jami’ah.

2.      Nilai sosiokultur Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang didasarkan atas dasar hukum Islam (syariah), al Qur’an dan al hadist. Hal ini yang mendasarkan ekonomi Islam mempunyai karakter sendiri didalam definisi, prinsip, sistem aturan dan praktek. Nama ekonomi Islam, dihasilkan atas pemahaman masyarakat terhadap ekonomi Islam menurut pengaruh ekonomi, sosial, budaya dan unsur-unsur paling dekat dalam kehidupan masyarakat.
Bila ekonomi Islam dipandang sebagai ilmu, yang dalam prakteknya tidak ada kelemahannya, ini pun tidak benar. Sebagaimana ekonomi konvensional (kapitalis) pun mempunyai landasan ideal yang diambil dari kenyataan sosial yang ditafsir menurut metodologi tertentu sehingga menghasilkan ilmu. Namun dalam faktanya, hingga kini, sistem ekonomi konvensional justru lebih banyak menimbulkan mudharat. Mulai dari kelemahan sistem rente, inflasi, hingga krisis ekonomi global menepis anggapan lalu bahwa ekonomi konvensional dapat mensejahterakan.
Secara nilai, ekonomi Islam memiliki landasan holistis yang mulia: ketuhanan, keadilan, kenabian, kepemimpinan dan kesejahteraan sosial. Nilai-nilai tersebut akrab dengan konteks sosiokultur yang secara naluri ada dalam diri manusia Indonesia. Nilai sosial ini dapat dikontekstualisasikan dengan kehidupan dan sistem perekonomian. Hubungan jelas terlihat antara nilai sosial, nilai ekonomi Islam dan budaya perekonomian menjadi sebuah garis yang saling mendukung.
Dari itu, adalah logis jika mengaitkan antara peran lembaga keuangan syariah dengan potensi ekonomi sosial masyarakat Indonesia. Maka menemukan sebuah sistem yang khas dapat dibangun melalui integritas tersebut harus dilakukan. Dengan begitu, identitas ekonomi Islam dapat menjadi identitas perekonomian Indonesia pula. Konsep dan pola yang mendukung hal tersebut adalah musyarakah yang dikenal dalam ekonomi Islam sebagai akad perkongsian yang menyatukan pola sosial dengan pola perekonomian yang mengedepankan kerja sama, dan kesejahteraan.
   
B.       Kontekstualitas Musyarakah sebagai Identitas
1.      Musyarakah dalam Ekonomi Islam
Musyarakah adalah dari segi bahasa bermakna penggabungan dua bagian atau lebih, sedemikian bergabungnya hingga tidak bisa dibedakan lagi anatar satu bagian dengan bagian yang lain. Dari sudut pandang syara’, musyarakah adalah transaksi atau akad atara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan.[16]
Terdapat empat jenis akad musyarakah yaitu (1) Musyarakah Inan yaitu persetujuan dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan modal tidak harus sama. (2) Syirkah Mufawadhah, dimana besar modal, usaha, dan keuntungan harus sama. (3) Syirkah ‘Abdan, yaitu perjanjian untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi antara anggotanya sesuai dengan kesepakatan. Serta (4) Syirkah Wujuh, yaitu persekutuan untuk mengelola modal dari luar bersama-sama, untuk kemudian membagi keuntungannya sesuai kesepakatan.      
Di perbankan syariah, musyarakah diterapkan sebagai salah satu akad pembiayaan produktif berupa penyertaan modal. Dalam praktiknya, bank syariah akan meneliti mengenai usaha yang diajukan oleh nasabah, menghitung prospeknya, untuk kemudian memberikan penyertaan modal maksimal 70 persen dari total modal yang dibutuhkan. Pada aspek kerja, bank syariah biasanya akan membentuk suatu tim yang bertugas sebagai pengawas dan pembina dalam usaha nasabah, sehingga terjalin kerja sama yang utuh antara seluruh anggota syirkah (bank dan nasabah). Pada sistem bagi hasilnya, biasanya bank syariah menerapkan revenue sharing, dimana bank dan nasabah menetapkan kesepakatan porsi pembagian dari pendapatan kotor. Di Bank Syariah Mandiri misalnya, nisbah ditentukan 2% untuk bank dan 98% untuk nasabah. Pembagian tersebut tentu akan memacu nasabah dan bank untuk bekerjasama secara maksimal dalam kerja.
Berdasarkan asas dan praktik tersebut, apapun bentuknya, dapat dilihat bahwa musyarakah mengedepankan nilai kerjasama dan integritas dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Nilai sosial inilah yang dapat dikedepankan menjadi identitas bagi ekonomi islam karena mengamalkan seluruh nilai yang menjadi prinsip berdirinya ekonomi islam.

2.      Indonesia dan Identitas Ekonomi Islam
Seperti telah dijabarkan sebelumnya masyarakat Indonesia memiliki kecederungan untuk hidup bergotong royong dan dengan integritas sosial yang tinggi. Para founding father bangsa ini telah merumuskan sila ketiga (persatuan Indonesia) dan sila kelima (keadilan sosial) dalam pancasila sebagai dasar negara, yang menjadikan nilai-nilai dalam musyarakah bahkan ekonomi islam identik dengan nilai sosial masyarakat Indonesia.
Dari pada itu, musyarakah dapat diterapkan sebagai bentuk sistem ekonomi yang holistis, baik dari sudut pandang syariah islam maupun pada konteks sosiokultur masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini adalah pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi pancasila dan kerakyatan.
Konsep ekonomi pancasila dan kerakyatan merupakan sebuah rancang sistem ekonomi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini mengedepankan demokrasi ekonomi tanpa memberikan prioritas untuk kepentingan golongan tertentu. Konsep ini adalah ideal ketika benar-benar mengedepankan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan rakyat itu sendiri.
Ada lima platform ekonomi pancasila dalam istilah Mubiyarto menurut Awan Santosa, yang dapat merelevansikan kekuatan ekonomi pancasila terhadap penguatan ekonomi kerakyatan[17], platform tersebut adalah :
a.    Moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
b.    Kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
c.    Nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri.
d.   Demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.
e.    Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlihat jelas bahwa secara holistis, Indonesia telah memiliki pijakan yang tepat dalam membangun perekonomian berlandaskan asas sosial yang berketuhanan. Maka merupakan suatu hal yang wajar jika ekonomi Islam, secara prinsip, dekat dengan masyarakat Indonesia. Salah satu yang menjadi bukti nyata dari berjalannya konsep tersebut, adalah berdiri dan beroperasinya koperasi usaha rakyat. Koperasi mengedepankan kinerja dan kesejahteraan komunal dalam setiap operasional kerjanya. Koperasi merupakan cerminan tepat bagaimana prinsip ekonomi islam, dasar negara (pancasila), serta nilai sosiokutural diterapkan dalam kehidupan ekonomi
.
3.      Koperasi: Musyarakah dan Kesejahteraan Sosial
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiataannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan.[18] Undang-undang perkoperasian yang diberlakukan pada tahun 1992 ini sebenarnya dapat menjadi akar untuk menjadikan koperasi sebagai suatu badan usaha yang dapat tumbuh bersaing dengan badan usaha yang lain. Namun kenyataannya, koperasi belum mampu sepenuhnya memberi kontribusi bagi kesejahteraan ekonomi rakyat.
Padahal, sejak awal berdirinya bangsa Indonesia melalui UUD 1945, koperasi telah dirumuskan sebagai soko guru bangsa. Artinya, secara historis, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa konsep yang mampu menyejahterakan rakyat adalah sebuah integrasi sosial dalam segala bidang, khususnya ekonomi.
Pada kasus koperasi yang hingga hingga kini perannya masih belum optimal, pemerintah perlu membentuk sebuah pola pembinaan yang mencakup empat aspek, yaitu teknologi, permodalan, sumber daya manusia, serta pasar dan informasi pasar.
Pada masalah teknologi, koperasi masih cenderung memanfaatkan kemampuan individu, sehingga belum mampu mengarah ke sektor industri yang menghasilkan produk-produk yang lebih menjual di pasar. Pada masalah permodalan, institusi (pemerintah dan perbankan) yang seharusnya mendukung koperasi untuk tumbuh dan tangguh belum mampu diandalkan. Pada problem sumber daya manusia, pembinaan belum menyentuh pada aspek profesionalisme dalam kepengurusan maupun produktifitas kerja. Bahkan, pembinaan pasar jarang dilaksanakan.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sebenarnya sektor penyedia modal dan pembinaan dapat dioptimalkan melalui perbankan syariah. Hal tersebut jelas, karena perbankan syariah menerapkan akad musyarakah dalam salah satu model pembiayaannya. Dari situ, selain menyertakan modal perbankan syariah juga memiliki hak untuk berkecimpung langsung dalam usaha yang dijalankan koperasi tersebut, termasuk pembinaan di dalamnya.
Konsep inilah yang akan menyatukan antara prinsip ekonomi islam yang ada di dalam musyarakah, yang diterapkan oleh perbankan syariah dengan soko guru perekonomian bangsa melalui koperasi usaha rakyat, yang terbangun dalam sistem hierarchical joint venturt. Pola sistem ini akan berlangsung secara hirarkis antara masyarakat sebagai pelaksana koperasi, bank syariah sebagai penyerta modal dan pembina, serta pemerintah sebagai pemegang otoritas dan kebijakan perekonomian negara.
 
C.      Hierarchical Joint Venture
Secara harfiah, hierarchical joint venture berarti “musyarakah hirarkis”. Konsep ini adalah upaya menintegrasikan berbagai elemen ekonomi Indonesia melalui akad musyarakah bertingkat. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada era modern ini, struktur perekonomian di Indonesia diisi oleh masyarakat sebagai pelaksana produksi, sektor perbankan sebagai lembaga intermediasi dan penyedia modal, serta pemerintah sebagai regulator dan pemilik otoritas. Ketiga sektor inilah yang harus berintegrasi mewujudkan perwujudan ekonomi yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Melalui akad musyarakah, ketiganya dapat bersatu menumbuhkan perekonomian Indonesia.
Inilah yang menjadi rancang bangun identitas ekonomi Islam yang dibentuk bukan hanya detail infrastrukturnya (sistem itu sendiri), namun juga harus membentuk suprastruktur yang kuat sehingga sebagai identitas, musyarakah benar-benar berjalan dengan kekuatan dan kesepahaman komunal.
Sebagai bentuk realisasinya, konsep ini akan mengambil dasar dari teori hegemoni yang dicetuskan Antonio Gramsci. Teori hegemoni dibangun di atas kebutuhan akan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Dalam teori ini, menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual.
Salah satu turunan dari teori tersebut adalah konsep hegemoni top down, dimana secara regulasi kekuasaan diturunkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang otoritatif, untuk kemudian disosialisasikan dalam berbagai instrumen yang dekat dengan masyarakat, seperti pendidikan, media massa dan budaya.  Sebagai kebalikannya, ada pula konsep hegemoni bottom up, dimana gerakan evolusi budaya dimulai dari gerakan masyarakat pada tataran mikro. Setelah meluas, gerakan tersebut akan menjadi sebuah konvensi umum yang berimbas pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dari teori tersebut, penulis merancang sebuah gerakan bottom up sekaligus top down yang secara sinergif akan membangun sebuah konsep musyarakah hirarkis yang holistis.

1.         Penerapan Hierarchical Joint Venture
Penerapan konsep ini berawal dari pembentukan koperasi usaha rakyat dari tahap mikro. Secara komunal, masyarkat dapat membentuk koperasi dengan berbagai pola kemitraan. Seperti pola kemitraan inti plasma, subkontra, kemitraan dagang umum, kemitraan keagenan, dan lain-lain. Secara produktif, masyarakat harus mulai meningkatkan kinerja dan manajemen koperasi, sehingga asas musyarakah di dalamnya dapat benar-benar memberi keuntungan dan menyejahterakan.
Sebagai suatu bentuk usaha mikro, koperasi membutuhkan modal di samping kontribusi modal anggotanya. Pada tingkat inilah, peran perbankan syariah dibutuhkan. Bank syariah dapat melaksanakan akad musyarakah berupa penyertaan modal pada koperasi-koperasi usaha rakyat, untuk kemudian dikelola oleh koperasi tersebut. Bank syariah juga harus berperan serta dalam proses pembinaan dan peningkatan kerja, manajemen serta operasional koperasi tersebut. Dari itu terbentuklah sebuah pola korporasi yang hierarkis dimana beberapa individu bersyirkah dengan membentuk koperasi usaha. Kemudian, bank syariah bersyirkah dengan koperasi-koperasi tersebut dalam bentuk penyertaan modal dan pembinaan.
Setelah kerjasama tersebut terjalin, dimana setiap bank syariah telah menerapkan kerjasama yang baik dengan koperasi, maka pemerintah wajib menerapkan kebijakan-kebijakan khusus mengenai pola tersebut. Bank Indonesia, selaku pemilik otoritas perbankan harus mewajibkan kepada setiap bank syariah untuk mengedepankan koperasi dalam penyaluran dananya. Inilah bentuk sistem Hierarchical Joint Venture yang mengintegrasikan seluruh elemen perekonomian negara dalam sebuah gerakan ekonomi yang produktif dan membangun.

2.      Peran Koperasi Usaha Rakyat
Secara mandiri, seluruh anggota koperasi harus berdedikasi penuh terhadap kelangsungan kegiatan koperasi. Seluruh anggota koperasi, harus membentuk suatu budaya manajerial yang tangguh, solid dan bertanggungjawab penuh terhadap seluruh anggota. Pada taraf produksi, dan distribusi, koperasi harus terus berinovasi untuk melahirkan produk-produk yang memiliki daya sang pasar. Diversifikasi menjadi salah satu contoh pengembangan produk yang dapat diandalkan. Dari itu, terbentuklah sebuah koperasi yang produktif, inovatif dan berdaya saing. 
Secara material, sistem ini menjanjikan keuntungan yang lebih prospektif dari usaha individu karena dijalankan secara komunal oleh banyak individu dengan demokratis, sehingga proses produksi tidak didominasi oleh otoritas satu pihak, melainkan oleh seluruh elemen yang memiliki hak kontribusi dalam perkoperasian. Secara sosial, sistem ini akan melegitimasi naluri alami dalam diri manusia untuk berkehidupan sosial khususnya dalam bidang ekonomi. 

3.      Peran Perbankan Syariah
Peran sentral perbankan syariah dalam sistem musyarakah hirarkis ini bersektor pada suntikan modal bagi koperasi usaha rakyat. Setelah koperasi menguatkan berbagai aspek dalam lembaganya, manajemen dan produksi, maka adalah hal yang wajib bagi bank syariah untuk menatap prospek usaha tersebut. Dari itu, bank syariah tidak perlu mengucurkan dana kepada banyak individu, karena keberadaan koperasi telah menaungi banyak individu.
Secara prospek, seperti telah disebutkan sebelumnya, koperasi dapat menghasilkan keuntungan yang baik karena cenderung lebih mudah mengembangkan inovasi dalam usahanya. Sebagai mitra kerja, bank syariah juga harus secara aktif memberikan pembinaan kepada koperasi untuk terus mengembangkan usahanya. Inilah yang menjadikan musyarakah hirarkis dapat mengintegrasikan seluruh elemen dan institusi dalam masyarakat. Termasuk pemerintah di dalamnya.

4.      Peran Regulasi Pemerintah
Sebagai pemegang otoritas, pemerintah memiliki peran yang dapat menjadikan musyarakah hirarkis sebagai ketentuan umum yang harus dijalankan oleh seluruh elemen.
Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia harus menetapkan peraturan mengenai prioritas kredit (pada bank konvensional) atau pembiayaan (pada bank syariah). Prioritas ini ditujukan untuk penyaluran dana agar disalurkan kepada koperasi usaha rakyat sebagai bentuk perwujudan dari rencana pemerintah merealisasikan ekonomi kerakyatan.
Menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa secara nasional dapat menjadi penyumbang devisa, khususnya jika koperasi tersebut dapat berkembang hingga tingkat ekspor yang mendunia. Pada sektor neraca pembayaran, keberadaan koperasi akan mengurangi nilai impor negara sekaligus meningkatkan nilai ekspor.
Pada akhirnya, setelah konsep Hierarchical Joint Venture diwujudkan dalam bentuk sistem yang komprehensif, maka nilai yang muncul sebagai identitas bangsa Indonesia adalah norma holistis yang mencakup nilai pancasila, ekonomi islam, serta ideologi sosiokultur yang berkeadaban. Maka merupakan suatu hal yang lumrah, sebagai negara muslim terbesar di dunia, sekaligus berasaskan pancasila yang menjunjung universalitas manusia, identitas ekonomi islam lahir di Indonesia sebagai rahmatan lil ‘alamin.






















BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia dibangun dengan asas pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara. Bukan tanpa alasan para pendiri bangsa memahami pluralitas masyarakat Indonesia, sehingga mereka membahasakan nilai ekonomi islam ke dalam konsep yang lebih universal: Pancasila. Sebagai wujud terapannya dalam bidang ekonomi, koperasi muncul sebagai bentuk usaha yang mengedepankan nilai kerjasama, gotong-royong, sosial, serta sama rata sama rasa, sebagaimana juga yang dianut dalam nilai muamalah islam.
Pada perkembangannya saat ini, keberadaan koperasi justru terpuruk dikarenakan desakkan sistem ekonomi yang melegalkan konglomerasi beberapa pihak tertentu, serta masih banyak mengandalkan produk ekspor dalam memenuhi kebutuhan negara. Untuk menanggulangi hal itu, konsep ekonomi kerakyatan dimunculkan kembali untuk menggerakkan anak bangsa, dalam memenuhi kebutuhan bangsa sendiri. Dari itu, konsep Hierarchical Joint Venture dapat menjadi sebuah solusi, dimana seluruh sektor ekonomi negara ini berintegrasi untuk menciptakan sebuah pola perkongsian hirarkis.
Secara nyata, konsep ini akan direalisasikan melalui gerakan hegemoni yang bottom up. Pada tataran mikro, koperasi usaha rakyat harus bergerak untuk terus berproduksi dan berinovasi untuk menciptakan produk yang berdaya saing. Peningkatan aspek manajerial, juga menjadi prioritas yang diutamakan. Sehingga keberadaan koperasi seutuhnya mampu menyejahterakan masyarakat terutama anggotanya.
Bank syariah berperan sebagai penyuntik modal sekaligus memberi pembinaan yang intens kepada koperasi tersebut untuk semakin mengembangkan usahanya. Peran itu kemudian harus disikapi oleh pemerintah, melalui regulasi perbankan (Bank Indonesia) maupun perkoperasian (Kementrian Koperasi), sehingga konsep musyarakah hirarkis ini akan dikonvensi secara umum sebagai sistem perekonomian yang berasaskan moral pancasila yang berketuhanan.

B.     Saran
Konsep ini membutuhkan integrasi dari seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif mengenai kinerja maupun regulasi bank sentral, yang berkenaan dengan perbankan syariah di Indonesia. Kebijakan pemerintahan daerah, juga menjadi salah satu instrumen penting dalam meratakan penerapan sistem ini kepada seluruh masyarakat Indonesia hingga sektor terkecilnya.
Melalui itu, diharapkan pengembangan konsep ini akan semakin bernilai komprehensif sehingga penerapannya pun akan berjalan lebih optimal. Integrasi antara nilai ekonomi islam dan pancasila dapat terwujud sebagai identitas bangsa Indonesia yang menyuarakan universalitas sebagai wujud rahmatan lil ‘alamin dalam Islam.   
                         














DAFTAR PUSTAKA


Amir Piliang, Yasraf. 2006. Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta : Jala Sutra

Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Dewi, Gemala, dkk. 2005. Hukum Perikatan Indonesia. Jakarta: Prenada Media

Erani Yustika, Ahmad. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Malang: Bayumedia Publishing

Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset.

Hamid, Arifin. 2006. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (persepektif Sosio Yuridis). Jakarta. eLSAS.

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama.  Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Naja, Daeng. 2007. Bank Hijau: Kebijakan Kredit yang Berwawasan Lingkungan. Yogyakarta: Media Pressindo

Rosyidin, Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo).

Sudarsono, Heri. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.

Suhrawati K. Lubis, dalam Ahmad Dahlan Rosyidin. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widodo, Hertanto. 2000. PAS. (Panduan Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional Baitul Mal wa Tamwil. Jakarta: Mizan.

Zulkarnain. 2003. Membangun Ekonomi Kerakyatan: Persepsi tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.


[1] Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Bank Syariah 2010
[2] Ibid
[3] Sofyan. S Harahap. 2004. Bunga Rampai  Ekonomi, Bisnis dan Manajemen Islami. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. Hal. 40.
[4] Heri Sudarsono. 2002. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia. Hal. 11.
[5] M. Nejatullahb Sidiqqi. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Hal. 8.
[6] Dzulkarnain. 2003.   Membangun Ekonomi Rakyat  Persepsi Tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: PT Mitra Gama Widya. Hal. 77.
[7] Gillin dan Gillin. 1954. Cultural sociology, a revision of An Introduction to sociology.  New York: The Macmillan Company. Hal. 489.
[8] Soerjono Soekamto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 65.
[9] Charles H. Cooley. 1930. Sociologycal Theory And Social Resourches. New York: Henry Holt and Company. Hal. 176.
[10] Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 136
[11]Ibid. Hal. 193
[12] Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Hal. 245.
[13] Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 23
[14] Tamotsu Tsibutani. 1986.  Social Processes, An Introduction to Sociology. Berkeley: University of California Press.   
[15] Kimball Young dan Raymound, W. Mack. 1959. Sosiology and Social Life. New York: American Book Company. Hal. 137.
[16] Muhammad Ismail Yusan. 2002. Menggagas Bisnis Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 126.
[17]Awan Santosa, 2004, Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi Rakyat , [Artikel - Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan - Maret 2004], jurnal ekonomi rakyat, Diakses pada 08 januari 2008  
[18] Undang-Undang No. 25 Tahun 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar