SEKATEN
Telah ditalu bedug tadi siang
Telah ditabuh gamelan menjelang malam
Telah ditata serupa macam hidangan di atas
loyang-loyang
Orang-orangpun berdatangan walau dengan paras semu
Cakap-cakap pun panjang tentang sejarahnya masa lalu
Suatu yang biasa digelar tapi senantiasa betapa
misteri
Ketika sebuah riwayat dan keharusan tiba-tiba diam
Kitapun sedu dan terpekur dalam arti yang dalam
Dalam kenangan dan pengharapan
Alangkah papanya kata seseorang dia yang pergi
Kepapaan yang menghanyutkan kepapaan yang
menegarakan
Kebahagiaan kita kataku ketika menyatu bersama
gamelan
Ini perarakan, ini sebuah pasar malam
yang menjanjikan kebersamaan di lubang-lubang yang menjadi dasar perhitungan
ini perarakan, ini sebuah pasar malam
yang mengingatkan tentang hukum-hukum masa silam
tentang kewajiban dari peradaban demi peradaban
ini perarakan
sebuah khotbah masa lalu
yang mengajak berkemas-kemas bersama
sebelum perarakan lain tiba.
Purwokerto, 3 Desember 2011
Bulan
di Cermin
Malam ungu
Rembulan bercermin di langit kotaku
Angin lamban mendesirkan suara lembut dan lunak
Sesayup kasih-Nya dihati yang penuh cinta
Tetap saja tarian itu berlabuh menyatu bersama
gamelan
Yang katanya mengiring malam di pinggir keraton-keraton
bersama sejarah semakin kabur
Tapi lihatlah, bulan itu tetap saja mau bercermin di
atas kotaku
Bertapak teguh kesyahduannya
Memuja dan memuji_Nya
Masih di atas kotaku
Dimana pelbagai bangsa pernah bersatu, begitu
lirihnya tapi tiba-tiba hilang ditelan angin yang mendesir
Bulan yang bercermin di langit kotaku itu,
Masih bulat menyaksikan gamelan yang merangkai
sejarah silam
Bersama tangan yang dilenggok-lenggokan
Ah, terlihat semakin tidak kewes saja memang,
Atau hanya sebuah ritual yang menipu mata telanjang
bulan di atas langit kotaku itu?
Bulan yang bercermin di atas kotaku
Begitu lamban dan seni
Cilacap, 5 Agustus 2011
Mengenang
Monumen Jogja Kembali
Di antara
kita sudah tidak lagi ada tanda baca
Di antara kita masih dapatkah saling mengenali?
Sedang dari jarak dan waktu sekian lamanya
terbentang
Kau telah lama berubah
Seperti menjadi dirimu sendiri
Sedang aku masih mencari siapa diriku ini
Yang selalu saja ragu dengan keakuanku ini
Kita memang tidak dapat bersatu menjadi barisan
dalam satu kalimat
Untuk mempertemukan sejarahku dan sejarahmu
Tapi dulu “dia” dapat mencatat sejarahmu
Telah terukir dengan tinta kuning serupa emas
sejarah
Sedang kini aku kikuk menjadi serba salah di
hadapanmu
Betapa tiba-tiba kau menyobek secarik kertas
Katamu “ tulislah sejarahmu sendiri
Purwokerto, Januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar