Kupu-Kupu Dalam
Gelas
Entahlah, aku sudah
terlalu cuek atau memang pura-pura cuek dengan julukan yang orang-orang berikan padaku. Katanya aku
lebih buruk dari pada seorang tuna netra, tuna rungu atau bahkan tuna wacana
dan tuna aksara atau bahkan tuna-tuna yang lain yang mereka anggap berbeda.
Seperti malam ini, ketika aku baru saja kembali dari langkah panjangku
mengarungi tepian kehidupan yang sebenarnya tak bertepi. Mereka secara sengaja
memergokiku, umpatan-umpatan dan sumpah serapah yang terlontar untukuku terasa
seperti hujan yang datang tiba-tiba dan mengagetkan kulitku.
“Hei, Gundik! tumben
jam segini sudah pulang?” yah gundik, ayam, tuna silsilah, memang kerap menyapa
diriku dan bahkan sudah menyatu dengan dagingku. Aku memang seperti itu, tapi tidak
dengan jiwaku. Pikiranku sekilas, melayang tanpa kubisa kubendung.
***
Malam semakin larut.
Kuterengah dalam nafas yang memburu, peluh mengalir seperti air yang berebut
mengaliri anak sungai. Erangan demi erangan muncul silih berganti. Sulit untuk
ditafsirkan apa yang dirasakan empunya. Aku lemas pasrah tak berdaya. Dalam
keheningan malam, ah mungkin lebih tepatnya di gerbang pagi, dalam dinginnya
hawa, dalam alunan satwa malam yang dengan banggnya bersahut-sahutan dengan
versi masing-masing. Sesuai pemberian Tuhan. Aku berusaha menikmati dengan apa
yang sedang terjadi.
Tangan titisan setan
itu menggerayangi tubuhku. Tak ada yang terlewati sedikitpun untuk menikmati
halusnya kulitku. Setiap inci bahkan sampai menusuk sum-sum tulangku. Begitu
terasa dan menyakitkan. Tapi apalah daya, nafasku semakin memburu. Tak lebih
dari empat puluh lima menit aku dijadikan
beby doll olehnya. Mata liarnya masih berkilat, seakan membawa pesan dari
neraka. Mata yang juga menyiratkan belum puas untuk mengumbar nafsu bejatnya.
Aku terkulai lemas di atas ranjang. Yang kurasakan saat ini hanyalah rasa sakit
yang teramat sangat. Bukan di raga atau alat vitalku. Tapi dalam jiwa
terdalamku. Yah hanya itu yang masih tersisa kemanusiaanku. Tersembunyi, jauh
dan tertutupi. Setelahnya mungkin memang pantas aku disebut gundik, pelacur
atau hewan, yang mengumbar alat kelaminya di jalanan. Ah apa peduliku terhadap
mereka. Toh, mereka tak pernah peduli
dengan nasibku. Batinku mengerang panjang.
Bagaikan serigala yang terluka
akibat terkena senapan laras panjang.
Setelah puas
melampiaskan nafsu bejatnya ke tubuhku, pria pembawa pesan dari neraka itu
segera menanggalkan pakainya lagi. Cepat dan rapi. Ia sisir rambutnya dan
memakai wangi-wangian seperti sebelum ia bergumul denganku. Lalu ia pergi
begitu saja dan meninggalkan lembaran-lembaran di atas ranjang persaksian
neraka itu.
“Ini untukmu. Cukup?”
aku meraihnya sambil mengangguk dan sedikit tersenyum. Lalu ia pergi begitu
saja seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Lain kali aku akan memakaimu
lagi. Tubuhmu indah sekali” ucapnya sembari melangkah tegap dan berwajah
seorang pria baik-baik.
aku hanya kembali
tersenyum menanggapi ocehanya. Apakah aku harus berbangga hati dengan pujian
dari neraka itu? Ataukah harus menangis? Tapi ini pilihanku. Semua terasa
senyap setelah langkahnya tak terdengar lagi. Tinggal diriku, dengan sprei yang
berantakan, kamar yang beraroma neraka, dan bantal guling yang sudah jatuh jauh
dari tempat tidur dan kondom bekas pria itu.
Dan mungkin aku juga ditemani setan-setan yang sedang tersenyum di
depanku, belakang, atas dan bawah. Ah apa peduliku. Aku meraih pakaianku dan
beranjak meninggalkan kamar hotel dan berwajah seolah-olah tak terjadi apa-apa.
***
Tak
lebih dari empat puluh menit, aku telah sampai di bangsal-bangsal rumah
sakit. Dengan cepat aku menuju loket
rumah sakit. Dan kusodorkan uang lima ratus ribu rupiah yang baru saja aku
dapatkan.
“Ini
Suster uangnya, bagaimana keadaan ibu saya? Berapa biaya yang harus saya bayar
lagi?”
“Oh
iyah terimakasih, Ibu anda sedikit membaik. Sisanya masih kurang tujuh juta
lima ratus ribu lagi mbak” ucapnya.
Sedikit
membaik. Tujuh juta lima ratus ribu rupiah.
Pernyataan itu memutar di kepalaku. Duh Gusti, mengapa harus seperti
ini, kemana lagikah aku harus mencari biaya itu. Aku malu Gusti jika harus
menjadi seperti kupu-kupu yang begitu bangga terbang malam. Rintihku perih. Aku
segera pergi menuju kamar ibu di rawat setelah mengucapkan terimakasih.
Kulihat
ibu sedang tertidur pulas. Wajahnya semakin terlihat menua. Gurat-gurat
diwajahnya menjadi begitu terlihat. Ah berbeda sekali dengan lima bulan lalu.
Tak ingin lama-lama aku larut dalam kesakitan. Aku berbalik menuju kantin.
Terlupa perut masih kosong sejak siang. Pikiranku entah kembali melayang
kemana. Mungkin juga mencari-cari istana kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan pada
manusia. Hingga secara tak sengaja menabrak seseorang.
“Upzzz,
Maaf,” ucapku sepontan.
“Fania?”
Setengah
bingung, ternyata ia mengetahui namaku. Kuangkat wajahku menatapnya,
kuterkesiap melihatnya.
“Sayfa?”tanyaku
setengah tak percaya.
“Fania
mengapa kamu ada di sini? Apa ada anggota keluargamu yang sakit?” belum sempat
aku menjawabnya, ia sudah memberondongku dengan pertanyaan lagi.
“Kamu
kemana saja? Setahun lebih menghilang. Semua kawan-kawan juga tidak tahu
kabarmu, rumahmu juga sudah pindah?” ia menarik nafas panjang.
Kami
berdua akhirnya duduk di kantin rumah sakit. Saking laparnya, aku segera memesan semangkuk bakso dan segelas es
jeruk. Kuseruput es jeruku, ketika kusadari tatapan penuh tanya di mata Sayfa,
ah ternyata ia masih menunggu jawabanku.
Aku
menghela nafas. Mencoba mengatur pacu andrenalin yang tiba-tiba bekerja lebih
keras. Sehingga detaknya tak beraturan.
“Ayahku
di penjara sejak delapan bulan yang lalu, Ibuku jatuh sakit, mungkin karena tak
kuat menghadapi cobaan ini” ucapku dengan nada perih.
Kumelirik sebentar.
Ternyata Sayfa terkesiap mendengarkan jawabanku. Sejenak ia terdiam.
“Jadi, karena itu kamu
meninggalkan bangku kuliah dan pergi meninggalkanku tanpa kabar?” tanyanya
pelan.
Aku hanya mengangguk.
Mencoba menahan lahar panas di mataku yang siap untuk dimuntahkan. Tapi aku
bersikeras menahanya. Sayfa merengkuh tanganku. Masih terasa hangat seperti
dulu.
“Fania, aku masih
sangat mencintaimu. Aku terus mencarimu dan menunggumu selama setahun ini.
Masihkah kamu mau menepati janjimu untuk menjadi istriku?”
Pertanyaan Syaefa
membuatku tersentak. Ada rasa sakit yang begitu mendalam di hatiku. Menyeruak
tiba-tiba. Ah siapa sih yang tidak ingin menjadi istrinya. Ia begiu baik dan
tampan. Yah Sayfa, selama lebih dari dua tahun aku berpacaran denganmu. Menikah
adalah hal yang sangat aku inginkan. Tapi itu dulu tidak untuk sekarang.
“Aku tidak bisa, Syef”
jawabku mencoba tegas. Yah hanya itu jawaban yang bisa aku lontarkan. Aku segera
pergi meninggalkanya. Aku merasa tidak pantas berlama-lama berada di surga. Aku
mengerti ia pasti begitu terluka. Tapi aku harus begini.
***
Hari
ini adalah sabtu malam. Yang kata orang malam panjang, begitupun dengan
rembulan di atas langit sana ikut berperan, melambat atau entah lebih terlihat
kekuningan terangnya. Aku masih mematut-matut diriku di cermin mini yang
sengaja kubawa dari rumah. Persimpangan jalan dekat kota adalah tempat yang
kupilih malam ini untuk mencari mangsa. Malam ini aku mengenakan pakaian warna
biru muda dan kupadu dengan rok rompi kira-kira hanya pas untuk menutup paha
tapi tak sempurna. Aku biarkan sebagian terlihat. Belahan dadaku pun terlihat
separuh, aku sengaja menggunakan baju tak berkerah dan sangat mini. Perlahan-lahan
sebuah mobil yaris mendekat ke arahku, dan semakin pelan, kaca mobil pun
terbuka lebar memperlihatkan pengemudinya. Seorang pria sekitar berumur empat
puluh lima tahun.
“Hei,
berapa hargamu cantik?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Lima
ratus ribu” jawabku. Kulihat pria itu mengangguk. Aku dengan cepat naik ke
mobilnya. Dan kami meluncur ke arah kota. Tanpa kusadari, sebuah mobil sedan
mengikuti kami.
“Setengah
jam kemudian kami sampai di hotel kecil dekat Kali Urang, yah kota dingin di Jogjakarta.
Pria itu segera menyewa kamar VIP. Kami berdua langsung menuju kamar setelah
mendapatkan kunci. Di dalam kamar kulihat sofa yang biasa saja, tempat tidur
yang tidak begitu mewah, hah ukuran harga 150 ribu untuk daerah Jogjakarta
memang.
Kami
bercumbu sejenak dalam kamar. Sebelum sesasat ia menanggalkan pakaiannya dan
mulai menggerayangi tubuhku lalu menanggalkan pakaianku satu persatu. Aku
terdiam melihat wajah pria itu, dalam hati aku ingin tertawa. Mengapa pria
sudah setua ini bukanya beribadah di dalam rumah malah keluyuran jajan di luar
rumah. Hah pasti pria ini adalah pria hidung belang yang tidak pernah
mendapatkan kepuasan dengan istrinya hingga harus membuang-buang uangnya untuk
sekedar waktu semalam. Alangkah besarnya dosa pria ini, juga mungkin sama
besarnya dengan dosaku yang terus menerus berbuat zina demi mendapatkan uang
untuk pengobatan ibuku.
Setiap
aku melakukan pekerjaan kotor ini, batinku seperti tersiram lelehan timah,
panas dan sakit sekali. Aku ingin bertaubat ya Tuhan. Aku sungguh ingin
bertaubat. Tapi mengapa hanya jiwa ini, raga ini masih begitu nista.
Terlunta-lunta mencari uang dengan berzina. Terbayang wajah ibu, pucat pasi.
Setiap mengingat wajah itu, membuatku terpaksa aku melakukan ini. Tuhan
siapakah yang harus aku persalahkan, ayahku yang korupsi ataukah jalanku yang
begini?
Ketika
pria itu semakin terlena dengan birahinya karena melihat tubuhku yang sintal,
tiba-tiba—
“Braakkkk”
Pintu
kamar didobrak dari luar. Kami kaget setengah mati. Aku ketakutan, jangan-jangan
itu polisi yang sedang melakukan razia. Tapi aku justru lebih takut, dengan
kenyataan. Sayfa masuk dengan wajah garang. Spontan aku menutupi tubuhku yang
hanya tertutup oleh underwear dengan
selimut hotel.
“Fania,
pakai bajumu!” perintah Sayfa tegas. Matanya menyimpan bara kemarahan. Entah
mengapa aku hanya menuruti apa yang dikatakannya. Segera aku mengenakan
pakaianku kembali.
“Ada
apa ini? Aku sudah menyewanya sebelum kamu”
Dengan
wajah merah padam Sayfa menjawab,
“Bahkan
aku sudah melamarnya sebelum kamu memakainya”
Aku
terdiam, tanpa menunggu jawaban pria itu, Sayfa menarik tanganku keluar hotel
dan menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Lagi-lagi aku hanya menurut.
“Kau
mengikutiku Syef?” tanyaku pelan.
“Ya,”
jawabnya singkat. “Kenapa Fania?”
Aku
masih terdiam, belum sempat mencari jawaban yang tepat, ia bertanya lagi,
“Kenapa
Fania? Kamu melukai tubuhmu sendiri? Tubuhmu yang harus kamu sayangi?” ia
menyambung pertanyaannya dengan emosi.
“Apa
urusannya denganmu? Apa pedulimu? Ini hidupku, jalanku. Kamu tak berhak
mencampuri urusanku” ucapku keras dan tak mau kalah.
“Fania,
apa kamu tidak takut dengan Tuhan?” apa kamu tidak takut dengan adzab-Nya?”
Tiba-tiba
kurasakan tenggorokanku tercekat. Perih sekali seperti ada yang menyangkut di
dalamnya. Air mata yang semula kutahan kini mulai tumpah dengan derasnya. Di
tengah isak, aku mencoba menjawab
pertanyaanya dengan terbata-bata.
“Aku
terpaksa Syef. Aku terpaksa. Kamu ingat tentang ibuku yang tengah terkulai tak
berdaya di rumah sakit? Kamu ingat tentang ayahku yang harus mendekam lebih
dari sepuluh tahun di penjara? Aku tidak tahu lagi bagamana harus mencari uang
untuk pengobatanya, aku tidak tahu bagaimana lagi harus menghidupi dua adiku
yang masih kecil, mereka butuh pendidikan, sedangkan aku tidak punya pekerjaan
tetap, rumah kami disita”
Sayfa
kaget bukan kepalang mendengar jawabanku. Tak berani kutatap wajahnya. Aku
hanya menunduk, merasakan kesakitan yang luar biasa. Ternyata hidupku memang
begitu gelap, aku bagai kupu-kupu yang terbang begitu jauh dan tinggi. Tapi
akhirnya harus terjatuh kembali.
Aku
sejenak menerka apa yang ada dalam pikiran Sayfa. Lama ia terdiam, entah.
Mungkin tengah mencercaku, karena pekerjaanku yang kotor, aku yang hina, aku
yang lebih buruk dari tuna netra, tuna aksara tapi aku tuna susila. Aku hanya
ingin pergi sekarang. Aku ingin keluar dari mobilnya. Aku tak ingin muncul lagi
di hadapanya. Itu semua sangat menyakitkan bagiku. Tapi, sungguh hal yang
sangat aneh. Tiba-tiba Sayfa merengkuh tanganku. Meremas jemariku.
“Tuhan
itu Maha tahu, apa niat mahluknya. Kembalilah ke jalanNya bersucilah, maka aku
akan menunggumu dan meminangmu”
“Tapi,
Va,” ia lalu menatapku lembut membuatku tak bisa meneruskan kembali
kata-kataku.
“Mengapa?
Kau ingin bilang kalau kau pelacur? Kalau kau kupu-kupu malam?”
“Iyah,
aku kupu-kupu yang telah terbang jauh dan terjebak malam, aku tak tahu jalan
kembali hingga aku tersesat dan menjadi kotor seperti ini”
“Akan
aku tampung kupu-kupu itu dalam gelas hatiku, akan kujaga ia agar kembali
merona dan menjadi penghias taman seperti dulu”
Aku
hanya terdiam. Tak mengerti apa yang ia maksud. Yang jelas ia mau menengajaku
kembali.
“Aku
akan membantumu mencarikan biaya untuk ibumu, adik-adikmu. Masalah ayahmu
biarlah dia menerima ganjaranya”
Aku
tersenyum.
“Tapi
ada syaratnya, kau masih boleh menjadi kupu-kupu tapi hanya kupu-kupunya
seorang Sayfa, yang bisa hidup dalam gelas dan bisa menelurkan wewangian”
“Gelas?”
aku kebingungan. Ia lalu menunjuk dadanya. Dan membuatku tersenyum. Aku pasti
bisa menelurkan wewangian dalam gelasmu, sampai berubah menjadi taman yang
berhias langit taman hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar