Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

cerpen


Kupu-Kupu Dalam Gelas


Entahlah, aku sudah terlalu cuek atau memang pura-pura cuek dengan julukan  yang orang-orang berikan padaku. Katanya aku lebih buruk dari pada seorang tuna netra, tuna rungu atau bahkan tuna wacana dan tuna aksara atau bahkan tuna-tuna yang lain yang mereka anggap berbeda. Seperti malam ini, ketika aku baru saja kembali dari langkah panjangku mengarungi tepian kehidupan yang sebenarnya tak bertepi. Mereka secara sengaja memergokiku, umpatan-umpatan dan sumpah serapah yang terlontar untukuku terasa seperti hujan yang datang tiba-tiba dan mengagetkan kulitku.
“Hei, Gundik! tumben jam segini sudah pulang?” yah gundik, ayam, tuna silsilah, memang kerap menyapa diriku dan bahkan sudah menyatu dengan dagingku. Aku memang seperti itu, tapi tidak dengan jiwaku. Pikiranku sekilas, melayang tanpa kubisa kubendung.
***
Malam semakin larut. Kuterengah dalam nafas yang memburu, peluh mengalir seperti air yang berebut mengaliri anak sungai. Erangan demi erangan muncul silih berganti. Sulit untuk ditafsirkan apa yang dirasakan empunya. Aku lemas pasrah tak berdaya. Dalam keheningan malam, ah mungkin lebih tepatnya di gerbang pagi, dalam dinginnya hawa, dalam alunan satwa malam yang dengan banggnya bersahut-sahutan dengan versi masing-masing. Sesuai pemberian Tuhan. Aku berusaha menikmati dengan apa yang sedang terjadi.
Tangan titisan setan itu menggerayangi tubuhku. Tak ada yang terlewati sedikitpun untuk menikmati halusnya kulitku. Setiap inci bahkan sampai menusuk sum-sum tulangku. Begitu terasa dan menyakitkan. Tapi apalah daya, nafasku semakin memburu. Tak lebih dari empat puluh lima menit aku dijadikan beby doll olehnya. Mata liarnya masih berkilat, seakan membawa pesan dari neraka. Mata yang juga menyiratkan belum puas untuk mengumbar nafsu bejatnya. Aku terkulai lemas di atas ranjang. Yang kurasakan saat ini hanyalah rasa sakit yang teramat sangat. Bukan di raga atau alat vitalku. Tapi dalam jiwa terdalamku. Yah hanya itu yang masih tersisa kemanusiaanku. Tersembunyi, jauh dan tertutupi. Setelahnya mungkin memang pantas aku disebut gundik, pelacur atau hewan, yang mengumbar alat kelaminya di jalanan. Ah apa peduliku terhadap mereka. Toh,  mereka tak pernah peduli dengan nasibku. Batinku mengerang panjang.  Bagaikan serigala  yang terluka akibat terkena senapan laras panjang.
Setelah puas melampiaskan nafsu bejatnya ke tubuhku, pria pembawa pesan dari neraka itu segera menanggalkan pakainya lagi. Cepat dan rapi. Ia sisir rambutnya dan memakai wangi-wangian seperti sebelum ia bergumul denganku. Lalu ia pergi begitu saja dan meninggalkan lembaran-lembaran di atas ranjang persaksian neraka itu.
“Ini untukmu. Cukup?” aku meraihnya sambil mengangguk dan sedikit tersenyum. Lalu ia pergi begitu saja seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Lain kali aku akan memakaimu lagi. Tubuhmu indah sekali” ucapnya sembari melangkah tegap dan berwajah seorang pria baik-baik.
aku hanya kembali tersenyum menanggapi ocehanya. Apakah aku harus berbangga hati dengan pujian dari neraka itu? Ataukah harus menangis? Tapi ini pilihanku. Semua terasa senyap setelah langkahnya tak terdengar lagi. Tinggal diriku, dengan sprei yang berantakan, kamar yang beraroma neraka, dan bantal guling yang sudah jatuh jauh dari tempat tidur dan kondom bekas pria itu.  Dan mungkin aku juga ditemani setan-setan yang sedang tersenyum di depanku, belakang, atas dan bawah. Ah apa peduliku. Aku meraih pakaianku dan beranjak meninggalkan kamar hotel dan berwajah seolah-olah tak terjadi apa-apa.
***

            Tak lebih dari empat puluh menit, aku telah sampai di bangsal-bangsal rumah sakit.  Dengan cepat aku menuju loket rumah sakit. Dan kusodorkan uang lima ratus ribu rupiah yang baru saja aku dapatkan.
            “Ini Suster uangnya, bagaimana keadaan ibu saya? Berapa biaya yang harus saya bayar lagi?”
            “Oh iyah terimakasih, Ibu anda sedikit membaik. Sisanya masih kurang tujuh juta lima ratus ribu lagi mbak” ucapnya.
            Sedikit membaik. Tujuh juta lima ratus ribu rupiah.  Pernyataan itu memutar di kepalaku. Duh Gusti, mengapa harus seperti ini, kemana lagikah aku harus mencari biaya itu. Aku malu Gusti jika harus menjadi seperti kupu-kupu yang begitu bangga terbang malam. Rintihku perih. Aku segera pergi menuju kamar ibu di rawat setelah mengucapkan terimakasih.
            Kulihat ibu sedang tertidur pulas. Wajahnya semakin terlihat menua. Gurat-gurat diwajahnya menjadi begitu terlihat. Ah berbeda sekali dengan lima bulan lalu. Tak ingin lama-lama aku larut dalam kesakitan. Aku berbalik menuju kantin. Terlupa perut masih kosong sejak siang. Pikiranku entah kembali melayang kemana. Mungkin juga mencari-cari istana kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan pada manusia. Hingga secara tak sengaja menabrak seseorang.
            “Upzzz, Maaf,” ucapku sepontan.
            “Fania?”
            Setengah bingung, ternyata ia mengetahui namaku. Kuangkat wajahku menatapnya, kuterkesiap melihatnya.
            “Sayfa?”tanyaku setengah tak percaya.
            “Fania mengapa kamu ada di sini? Apa ada anggota keluargamu yang sakit?” belum sempat aku menjawabnya, ia sudah memberondongku dengan pertanyaan lagi.
            “Kamu kemana saja? Setahun lebih menghilang. Semua kawan-kawan juga tidak tahu kabarmu, rumahmu juga sudah pindah?” ia menarik nafas panjang.
            Kami berdua akhirnya duduk di kantin rumah sakit. Saking laparnya, aku segera memesan semangkuk bakso dan segelas es jeruk. Kuseruput es jeruku, ketika kusadari tatapan penuh tanya di mata Sayfa, ah ternyata ia masih menunggu jawabanku.
            Aku menghela nafas. Mencoba mengatur pacu andrenalin yang tiba-tiba bekerja lebih keras. Sehingga detaknya tak beraturan.
            “Ayahku di penjara sejak delapan bulan yang lalu, Ibuku jatuh sakit, mungkin karena tak kuat menghadapi cobaan ini” ucapku dengan nada perih.
Kumelirik sebentar. Ternyata Sayfa terkesiap mendengarkan jawabanku. Sejenak ia terdiam.
“Jadi, karena itu kamu meninggalkan bangku kuliah dan pergi meninggalkanku tanpa kabar?” tanyanya pelan.
Aku hanya mengangguk. Mencoba menahan lahar panas di mataku yang siap untuk dimuntahkan. Tapi aku bersikeras menahanya. Sayfa merengkuh tanganku. Masih terasa hangat seperti dulu.
“Fania, aku masih sangat mencintaimu. Aku terus mencarimu dan menunggumu selama setahun ini. Masihkah kamu mau menepati janjimu untuk menjadi istriku?”
Pertanyaan Syaefa membuatku tersentak. Ada rasa sakit yang begitu mendalam di hatiku. Menyeruak tiba-tiba. Ah siapa sih yang tidak ingin menjadi istrinya. Ia begiu baik dan tampan. Yah Sayfa, selama lebih dari dua tahun aku berpacaran denganmu. Menikah adalah hal yang sangat aku inginkan. Tapi itu dulu tidak untuk sekarang.
“Aku tidak bisa, Syef” jawabku mencoba tegas. Yah hanya itu jawaban yang bisa aku lontarkan. Aku segera pergi meninggalkanya. Aku merasa tidak pantas berlama-lama berada di surga. Aku mengerti ia pasti begitu terluka. Tapi aku harus begini.
***
            Hari ini adalah sabtu malam. Yang kata orang malam panjang, begitupun dengan rembulan di atas langit sana ikut berperan, melambat atau entah lebih terlihat kekuningan terangnya. Aku masih mematut-matut diriku di cermin mini yang sengaja kubawa dari rumah. Persimpangan jalan dekat kota adalah tempat yang kupilih malam ini untuk mencari mangsa. Malam ini aku mengenakan pakaian warna biru muda dan kupadu dengan rok rompi kira-kira hanya pas untuk menutup paha tapi tak sempurna. Aku biarkan sebagian terlihat. Belahan dadaku pun terlihat separuh, aku sengaja menggunakan baju tak berkerah dan sangat mini. Perlahan-lahan sebuah mobil yaris mendekat ke arahku, dan semakin pelan, kaca mobil pun terbuka lebar memperlihatkan pengemudinya. Seorang pria sekitar berumur empat puluh lima tahun.
            “Hei, berapa hargamu cantik?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
            “Lima ratus ribu” jawabku. Kulihat pria itu mengangguk. Aku dengan cepat naik ke mobilnya. Dan kami meluncur ke arah kota. Tanpa kusadari, sebuah mobil sedan mengikuti kami.
            “Setengah jam kemudian kami sampai di hotel kecil dekat Kali Urang, yah kota dingin di Jogjakarta. Pria itu segera menyewa kamar VIP. Kami berdua langsung menuju kamar setelah mendapatkan kunci. Di dalam kamar kulihat sofa yang biasa saja, tempat tidur yang tidak begitu mewah, hah ukuran harga 150 ribu untuk daerah Jogjakarta memang.
            Kami bercumbu sejenak dalam kamar. Sebelum sesasat ia menanggalkan pakaiannya dan mulai menggerayangi tubuhku lalu menanggalkan pakaianku satu persatu. Aku terdiam melihat wajah pria itu, dalam hati aku ingin tertawa. Mengapa pria sudah setua ini bukanya beribadah di dalam rumah malah keluyuran jajan di luar rumah. Hah pasti pria ini adalah pria hidung belang yang tidak pernah mendapatkan kepuasan dengan istrinya hingga harus membuang-buang uangnya untuk sekedar waktu semalam. Alangkah besarnya dosa pria ini, juga mungkin sama besarnya dengan dosaku yang terus menerus berbuat zina demi mendapatkan uang untuk pengobatan ibuku.
            Setiap aku melakukan pekerjaan kotor ini, batinku seperti tersiram lelehan timah, panas dan sakit sekali. Aku ingin bertaubat ya Tuhan. Aku sungguh ingin bertaubat. Tapi mengapa hanya jiwa ini, raga ini masih begitu nista. Terlunta-lunta mencari uang dengan berzina. Terbayang wajah ibu, pucat pasi. Setiap mengingat wajah itu, membuatku terpaksa aku melakukan ini. Tuhan siapakah yang harus aku persalahkan, ayahku yang korupsi ataukah jalanku yang begini?
            Ketika pria itu semakin terlena dengan birahinya karena melihat tubuhku yang sintal, tiba-tiba—
            “Braakkkk”
            Pintu kamar didobrak dari luar. Kami kaget setengah mati. Aku ketakutan, jangan-jangan itu polisi yang sedang melakukan razia. Tapi aku justru lebih takut, dengan kenyataan. Sayfa masuk dengan wajah garang. Spontan aku menutupi tubuhku yang hanya tertutup oleh underwear dengan selimut hotel.
            “Fania, pakai bajumu!” perintah Sayfa tegas. Matanya menyimpan bara kemarahan. Entah mengapa aku hanya menuruti apa yang dikatakannya. Segera aku mengenakan pakaianku kembali.
            “Ada apa ini? Aku sudah menyewanya sebelum kamu”
            Dengan wajah merah padam Sayfa menjawab,
            “Bahkan aku sudah melamarnya sebelum kamu memakainya”
            Aku terdiam, tanpa menunggu jawaban pria itu, Sayfa menarik tanganku keluar hotel dan menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Lagi-lagi aku hanya menurut.
            “Kau mengikutiku Syef?” tanyaku pelan.
            “Ya,” jawabnya singkat. “Kenapa Fania?”
            Aku masih terdiam, belum sempat mencari jawaban yang tepat, ia bertanya lagi,
“Kenapa Fania? Kamu melukai tubuhmu sendiri? Tubuhmu yang harus kamu sayangi?” ia menyambung pertanyaannya dengan emosi.
            “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu? Ini hidupku, jalanku. Kamu tak berhak mencampuri urusanku” ucapku keras dan tak mau kalah.
            “Fania, apa kamu tidak takut dengan Tuhan?” apa kamu tidak takut dengan adzab-Nya?”
            Tiba-tiba kurasakan tenggorokanku tercekat. Perih sekali seperti ada yang menyangkut di dalamnya. Air mata yang semula kutahan kini mulai tumpah dengan derasnya. Di tengah isak,  aku mencoba menjawab pertanyaanya dengan terbata-bata.
            “Aku terpaksa Syef. Aku terpaksa. Kamu ingat tentang ibuku yang tengah terkulai tak berdaya di rumah sakit? Kamu ingat tentang ayahku yang harus mendekam lebih dari sepuluh tahun di penjara? Aku tidak tahu lagi bagamana harus mencari uang untuk pengobatanya, aku tidak tahu bagaimana lagi harus menghidupi dua adiku yang masih kecil, mereka butuh pendidikan, sedangkan aku tidak punya pekerjaan tetap, rumah kami disita”
            Sayfa kaget bukan kepalang mendengar jawabanku. Tak berani kutatap wajahnya. Aku hanya menunduk, merasakan kesakitan yang luar biasa. Ternyata hidupku memang begitu gelap, aku bagai kupu-kupu yang terbang begitu jauh dan tinggi. Tapi akhirnya harus terjatuh kembali.
            Aku sejenak menerka apa yang ada dalam pikiran Sayfa. Lama ia terdiam, entah. Mungkin tengah mencercaku, karena pekerjaanku yang kotor, aku yang hina, aku yang lebih buruk dari tuna netra, tuna aksara tapi aku tuna susila. Aku hanya ingin pergi sekarang. Aku ingin keluar dari mobilnya. Aku tak ingin muncul lagi di hadapanya. Itu semua sangat menyakitkan bagiku. Tapi, sungguh hal yang sangat aneh. Tiba-tiba Sayfa merengkuh tanganku. Meremas jemariku.
            “Tuhan itu Maha tahu, apa niat mahluknya. Kembalilah ke jalanNya bersucilah, maka aku akan menunggumu dan meminangmu”
            “Tapi, Va,” ia lalu menatapku lembut membuatku tak bisa meneruskan kembali kata-kataku.
            “Mengapa? Kau ingin bilang kalau kau pelacur? Kalau kau kupu-kupu malam?”
            “Iyah, aku kupu-kupu yang telah terbang jauh dan terjebak malam, aku tak tahu jalan kembali hingga aku tersesat dan menjadi kotor seperti ini”
            “Akan aku tampung kupu-kupu itu dalam gelas hatiku, akan kujaga ia agar kembali merona dan menjadi penghias taman seperti dulu”
            Aku hanya terdiam. Tak mengerti apa yang ia maksud. Yang jelas ia mau menengajaku kembali.
            “Aku akan membantumu mencarikan biaya untuk ibumu, adik-adikmu. Masalah ayahmu biarlah dia menerima ganjaranya”
            Aku tersenyum.
            “Tapi ada syaratnya, kau masih boleh menjadi kupu-kupu tapi hanya kupu-kupunya seorang Sayfa, yang bisa hidup dalam gelas dan bisa menelurkan wewangian”
            “Gelas?” aku kebingungan. Ia lalu menunjuk dadanya. Dan membuatku tersenyum. Aku pasti bisa menelurkan wewangian dalam gelasmu, sampai berubah menjadi taman yang berhias langit taman hati.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar