Jingga di Pintu
Fajar
Oleh: Cinung Azizy
Dimuat di Mayara Februari 2012
Malam
masih gelap. Kabut masih menyelimut tipis. Bayangan-bayangan pohon akasiya
menghitam tersaput kabut samar, sesekali daunnya rontok dan melayang-layang
hingga akhirnya jatuh ke tanah. Sesekali
terdengar kokok ayam jantan dini hari.
Terkadang gemerisik tikus hutan dan tupai yang berlari di belukar, atau rengek
kutilang dan jangkrik yang bersenandung.
Tapi
subuh menjelang dan Jingga menyudahi ritual malamnya, bersama doa-doa
penghangat kebutuhan hidupnya. Memohon kekuatan atas kejahiliyahan yang
dihadapinya kepada Alloh. Tenaga yang terkuras dan kini ia merasa sangat letih.
Sembari
mengusap wajah, direnunginya kegelapan di luar kamar tempatnya bermunajat,
menyampaikan segala keluh kesah. Malam yang hampir berujung ini terlalu sepi
dan dingin. Tak seperti biasanya, sesekali kentongan tanda siskamling sebagai
tanda masih ada kehidupan. Dan deru ojek yang masih beroprasi, satu-satunya
kendaraan di daerah pegunungan tepatnya di desa Tanjung muli, karang moncol
Purbalingga.
Jingga
meregangkan tubuhnya, kemudian berdiri. Menuju halaman, ia ingin menatap
rembulan yang masih merajai langit pekat, namun ia justru menangkap kesunyian yang
sangat. Suara kokok ayam yang terdengar sesekali hanya parau dan seolah tak
lantang.
Sepertinya,
warga masih terlelap dalam balutan dingin yang semakin menyergap. Jingga
berniat berkeliling, berharap mendengar gemericik air di padusan, dan
wajah-wajah cerah orang-orang yang membasuh mukanya dengan air wudlhu, atau gemeretak
api dan kepulan asap tanda orang telah memulai kehidupan dengan menyalakan
tungku untuk memasak.
Jarak
antar rumah berpuluh-puluh meter hanya ada lampu sentir yang membuatnya
terpaksa berjalan lamban dan dengan langkah satu-satu sambil mengamati tanah
yang ia pijak. Sungguh memprihatinkan, desa ini masih terbelakang, lampu
listrikpun belum ada. Hem, ternyata penuntasan daerah tertinggal belum
sepenuhnya berhasil. Sebenarnya, ada satu, atau dua rumah yang menggunakan
listrik, namun itu milik tuan tanah, tetap saja tak bisa menyinari malam.
Tiba-tiba
terdengar suara gemericik air dari salah satu rumah, ia ingin sekali mengucap
salam namun ia segera mengingat umpatan tak sedap dari Mbok Ngatinem,
“Dasar pemuda sok pinter, mentang-mentang
sekolah dan hidup di kota” setelah jingga menyindir
piringan-piringan sajen lengkap dengan kepulan asap kemenyan dan komat-kamit
do’a untuk para leluhur.
Di dengarnya
lagi derap langkah, kembali jingga ingin menyapanya, namun ia kembali teringat
ocehan pak Sarmin pemilik langkah itu siang tadi, saat Jingga menuntunnya
merapikan urutan wudlhu, ia langsung menyengau keras,
“Aku sudah nglakoni
ini sejak kamu masih bau kencur. Ojo ajari aku, dasar sok pinter”
Di sudut jalan,
gardu kamling kosong, sentir sebagai penerang pun telah mati tertiup angin. Tak
ada seorangpun yang bernapas di sana, semuanya memburatkan bayangan hampa. Jingga
tak ingin berlama-lama di tempat itu, ia ingin segera kembali ke kamarnya,
tempat bermunajat sejak beberapa hari setibanya di desa ini dan iapun ingin
segera mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat qobliyah subuh, menyeru
iqamah dan akhirnyapun shalat subuh sendirian.
Jingga merasa
sedih, tak ada satupun orang di desa ini yang mendengarkan ucapanya, tidak juga
khalifah gadis manis yang selalu bersikap santun padanya.
“Mas Jingga ini
orang kota, jadi ndak pantas hidup di sini. Semua orang di sini terbiasa nglakoni
sajen dan ritual lainya, jadi mereka akan tetap bersikukuh dengan pemahaman
mereka. Kalau Mas Jingga merasa benar ya monggo
di lakoni sendiri!”
Mendengar ucapan
Khalifah, Jingga tiba-tiba teringat ucapan Gurunya, Ustadz Shalih.
“Cobalah kau
pergi ke desa, di sana kau akan menemui hal yang sangat unik. Berbeda dengan di
kota, kau akan bertemu dengan masyarakat yang tidak melek informasi. Kalau di desa mereka
terlanjur memiliki pehaman yang terbatas. Kau musti pandai membawa diri,
gunakanlah bahasa dan gerak tubuh mereka”
Berebekal
kalimat itu, Jingga memilih tempat KKN nya di daerah terpencil kabupaten
Purbalingga ini. Akhirnya, setelah selelasi administrasi dan matur pada sesepuh
desa, ia di tempatkan di rumah pak lurah. Dan Jinggapun mulai berbincang dengan
masyarakat sekitar tentang agama dan cara ibadah yang benar untuk suatu yang
hakiki, alhasil, ia mendapat cercaan dan hinaan serta tantangan keras dari
masyarakat. Dan Jinggapun merasa gagal.
“Sajen itu
perantara” pekik Aji salah satu sesepuh desa.
“Allah itu
pengen tahu seberapa besar pengorbanan kita, kamu lihat bencana di sana-sini,
sedangkan di desa kita aman dari gangguan jin dan syaithan sekalipun. Karena
Sang Gusti menerima sajen dan sembahyang kita” lanjut Aji dengan sengit.
“Eh bocah, mau
kamu ki apa?” Tanya Rusim dengan penuh murka, salah satu sesepuh yang kemarin
sore di ajak diskusi tentang shalat para masyrakat sekitar yang dirasa kurang
tertib dan semau mereka. Penduduk yang mendengarnya kala itu langsung geram,
wajah mereka merah padam seperti singan yang
ingin menelan mangsanya.
Semua ocehan,
makian dan kemarahan itu berputar-putar di mata Jingga. Bayang-bayang hitam
pepohonan akasiya di kanan kiri jalan
semakin terlihat menyeramkan. Ditingkahi jalan yang tak rata dan hanya berbekal
dengan lampu sentir membuatnya limbung. Ia terperosok dan menyandung batu,
tubuhnya terdorong
ke depan. Menahan badan yang membumi, tangan-tangan Jingga berayun ke depan dan menerobos semak belukar
berduri. Bajunya koyak dan ia menapak lumpur.
Jingga merasakan
keperihan yang sangat. Mungkin sarungnya pun tercabik. Iapun sibuk meningkahi kekesalan hati
yang yang berbaur dengan umpatan-umpatan warga. Hati kecilnya menjerit
kesakitan dan akhirnya menyebut asma Alloh. Jiwa kemanusiaanya tetap tak bisa
menerima,
Mencoba bangun
walau sulit, Jingga menggapai semak-semak dan pohon-pohon yang berada di
depannya. Di tahanya tangan yang tergores duri. Perlahan ia berhasil berdiri. Tak terasa
tangan kirinya meraih sesuatu yang bukan miliknya, dalam remang di tatapnya
benda itu, ternyata itu adalah kain wol. Ia langsung terseok-seok menuju
sentir, lalu di tatapnya dengan tajam. Ternyata itu adalah topi milik seorang
bocah kecil, dan yang membuatnya kalang kabut topi itu berdarah, nafasnya
terhenti, tak ada asma Alloh lagi yang terucap, ia bingung dan merasa takut.
Akhirnya dengan tubuh berat dan berjalan terseok-seok ia berjalan menuju pos kamling dan menabuh kentongan.
Kentongan di
tabuhnya dengan nada tir-tir yang diketahuinya ada tanda ada bahaya.!
Ssegera puluhan
kepala muncul. Lelaki, perempuan dalam teriakan riuh, berbaur antara kepanikan
rasa marah dan ragu yang menggelayut.
“Ada apa to kang?
“Lha embuh…”
“Kebakaran?”
“Maling?”
“Maling?”
“Siapa yang
bunyikan tir-tir malam-malam begini?”
Puluhan orang
berbondong-bondong dan berjalan cepat menuju kentongan. Aji, Rusim dan karman
juga masih banyak yang lainya membawa pacul, pisau dan parang bahkan ibu-ibu
juga membawa sapu lidi.
Mereka menatap
Jingga lekat-lekat dan merubunginya. pemuda 20 tahun dengan baju terkoyak dan
sarung sedikit tercabik duduk lemas di pos kamling. Sementara tangan kirinya
memegang topi bayi yang berlumuran darah.
“Oh, si bocah
cilik sok tahu itu to?” celetuk Aji geram.
“Ngapain sih
ganggu orang tidur?”
“Mbok yao kalau
mau ceramah gak usah pake acara membunyikan tir-tir, njelehi tenan”
Rusim mengengkat
kerah baju Jinga lalu bertanya dengan nada keras,
“Heh, bocah
cilik mau mu ki opo? kemarin siang kau usik kami sekarang kau buyarkan mimpi
kami?” Jingga tak menjawab, diulurkannya
topi berdarah itu pada Rusim.
Rusim melepaskan
cengkramannya kemudian meraih topi berdarah yang diulurkan Jingga lalu
berteriak,
“Ada bayi mati,
topi ini ada darahnya”
Warga kontan
panik dan
satu-satu meneliti anak mereka. Para sesepuh langsung kembali mendelakati
Jingga dan menghujaninya dengan pertanyaan dan kemarahan. Bahkan terkesan
meneror Jingga yang sekarang bagai pesakitan bisu, karena jingga hanya bisa
menjawab pertanyaan mereka dengan anggukan, gelengan yang sangat lemah. Sebelah
tangannya masih memegang pemukul kentongan lalu menunjuk pada arah di
temukannya topi bayi tadi.
Beberapa sesepuh
langsung mengikuti arah telunjuk Jingga. Mengobrak-abrik semak, mencari
kemungkinan ditemukannya koyakan tubuh bayi. Sementara dengung bagai lebah suara wanita
menyebutkan anak-anak mereka. Para
sesepuh terus mencari namun tetap nihil, salah satu dari mereka langsung
menghujat Jingga dengan tuduhan-tuduhan menyakitkan, sedangkanJingga masih
komat-kamit dengan dzikirnya.
“Hey,
jangan-jangan kamu yang membunuh bayi itu,?”
“Yah, untuk
menambah kesaktian dan sekarang kau merapalkan mantra-mantra? Dasar Bajingan”
beberapa pukulan mendarat di wajah dan perut Jingga. Di tengah-tengah
kesakitannya Jingga merintih lemah, meminta pukulannya di hentikan.
“Mau apa kamu?
Dasar tak tahu malau, sok ceramah, sekarang memakan korban”
“Demi Alloh,
terserah apa yang akan kalian lakukan padaku, tapi izinkan sdaya shalat subuh?”
“Halah, alesan
paling kamu ingin kabur kan?”
“Tidak, saya
belum shalat subuh”
Dengan dikomandani Rusim, mereka
menyeret tubuh Jingga yang semakin takaruan menuju tempat sahalat terdekat.
Ketika cahaya
langit semakin menguapkan embun-embun di pucuk daun, Jingga mengakhiri shalat subuhnya. Tangisnya
tak terbendung. Tubuh geringnya berayun
seiring iskan. Antara sessal, menahan rasa sakit dan kemarahan yang masih tertahan.
Tetes-tetes air
mata dan dan istighfar menjernihkan pikirannya dari seluruh kejadian di penghujung malam yang
hendak tergantikan fajar. Dalam tangis ia menyesali kebodohannya sendiri. Tangan yang tergores tentu saja mengucurkan
tetesan darah ke kain wol itu, temaram yang membuatnya seperti baru. Dan keremangan yang
ditingkahi lalai hati, menjadikan pengertian itu menggumpal. Tangisnya kembali
membuncah, melelehkan kemarahan warga. Dan fajar semakin menghilang tergantikan cahaya dari ufuk, menyadarkan penglihatan
mereka atas tubuh Jingga yang tak lagi sempurna, banyak luka dan memar di sana-sini.
Sembari menahan sakit, Jingga mengusap wajahnya dan menhakhiri ritual sucinya.
“Kalau begitu,
sekalian saya nyuwun pamit. Nyuwun pangapura. Maaf telah mengganggu ketentraman
warga di sini” dengan sisa tenaga dan langkah terseret ia pergi membawa tasnya
yang berisi bekalnya selama ini. ada rasa iba di mata mereka namun tak membuat
mereka mengulurkan tangan.
Di ujung jalan
seorang gadis manghadangnya. Khalifah.
“Balik ke kota
Mas Jingga? Jika Mas Jingga sudah mulai bisa memahami bahasa dan gerak tubuh kami,
Mas Jingga bisa kembali lagi ke sini!” tuturnya.
Jingga tak
menyahut, ia terus menyeret langkahnya dalam sakit. Pikirannya tertuju pada Gurunya. Kemudian
ucapan, cercaan dan semua umpatan membuatnya malu pada dirinya sendiri dan
sebuah sesal yang menyerang dirinya membuat tubuhnya semakin limbung dan
akhirnya membumi bersama matahari Purbalingga yang semakin meninggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar