Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

cerpen


Jingga di Pintu Fajar

Oleh: Cinung Azizy
Dimuat di Mayara Februari 2012

            Malam masih gelap. Kabut masih menyelimut tipis. Bayangan-bayangan pohon akasiya menghitam tersaput kabut samar, sesekali daunnya rontok dan melayang-layang hingga akhirnya jatuh ke tanah.  Sesekali terdengar kokok ayam  jantan dini hari. Terkadang gemerisik tikus hutan dan tupai yang berlari di belukar, atau rengek kutilang dan jangkrik yang bersenandung.
            Tapi subuh menjelang dan Jingga menyudahi ritual malamnya, bersama doa-doa penghangat kebutuhan hidupnya. Memohon kekuatan atas kejahiliyahan yang dihadapinya kepada Alloh. Tenaga yang terkuras dan kini ia merasa sangat letih.
            Sembari mengusap wajah, direnunginya kegelapan di luar kamar tempatnya bermunajat, menyampaikan segala keluh kesah. Malam yang hampir berujung ini terlalu sepi dan dingin. Tak seperti biasanya, sesekali kentongan tanda siskamling sebagai tanda masih ada kehidupan. Dan deru ojek yang masih beroprasi, satu-satunya kendaraan di daerah pegunungan tepatnya di desa Tanjung muli, karang moncol Purbalingga.
            Jingga meregangkan tubuhnya, kemudian berdiri. Menuju halaman, ia ingin menatap rembulan yang masih merajai langit pekat, namun ia justru menangkap kesunyian yang sangat. Suara kokok ayam yang terdengar sesekali hanya parau dan seolah tak lantang.
            Sepertinya, warga masih terlelap dalam balutan dingin yang semakin menyergap. Jingga berniat berkeliling, berharap mendengar gemericik air di padusan, dan wajah-wajah cerah orang-orang yang membasuh mukanya dengan air wudlhu, atau gemeretak api dan kepulan asap tanda orang telah memulai kehidupan dengan menyalakan tungku untuk memasak.
            Jarak antar rumah berpuluh-puluh meter hanya ada lampu sentir yang membuatnya terpaksa berjalan lamban dan dengan langkah satu-satu sambil mengamati tanah yang ia pijak. Sungguh memprihatinkan, desa ini masih terbelakang, lampu listrikpun belum ada. Hem, ternyata penuntasan daerah tertinggal belum sepenuhnya berhasil. Sebenarnya, ada satu, atau dua rumah yang menggunakan listrik, namun itu milik tuan tanah, tetap saja tak bisa menyinari malam.
            Tiba-tiba terdengar suara gemericik air dari salah satu rumah, ia ingin sekali mengucap salam namun ia segera mengingat umpatan tak sedap dari Mbok Ngatinem,
 “Dasar pemuda sok pinter, mentang-mentang sekolah dan hidup di kota” setelah jingga menyindir piringan-piringan sajen lengkap dengan kepulan asap kemenyan dan komat-kamit do’a untuk para leluhur.
Di dengarnya lagi derap langkah, kembali jingga ingin menyapanya, namun ia kembali teringat ocehan pak Sarmin pemilik langkah itu siang tadi, saat Jingga menuntunnya merapikan urutan wudlhu, ia langsung menyengau keras,
“Aku sudah nglakoni ini sejak kamu masih bau kencur. Ojo ajari aku, dasar sok pinter”
Di sudut jalan, gardu kamling kosong, sentir sebagai penerang pun telah mati tertiup angin. Tak ada seorangpun yang bernapas di sana, semuanya memburatkan bayangan hampa. Jingga tak ingin berlama-lama di tempat itu, ia ingin segera kembali ke kamarnya, tempat bermunajat sejak beberapa hari setibanya di desa ini dan iapun ingin segera mengumandangkan adzan dan  melaksanakan shalat qobliyah subuh, menyeru iqamah dan akhirnyapun shalat subuh sendirian.
Jingga merasa sedih, tak ada satupun orang di desa ini yang mendengarkan ucapanya, tidak juga khalifah gadis manis yang selalu bersikap santun padanya.
“Mas Jingga ini orang kota, jadi ndak pantas hidup di sini. Semua orang di sini terbiasa nglakoni sajen dan ritual lainya, jadi mereka akan tetap bersikukuh dengan pemahaman mereka. Kalau Mas Jingga merasa benar  ya monggo di lakoni  sendiri!”
Mendengar ucapan Khalifah, Jingga tiba-tiba teringat ucapan Gurunya, Ustadz Shalih.
“Cobalah kau pergi ke desa, di sana kau akan menemui hal yang sangat unik. Berbeda dengan di kota, kau akan bertemu dengan masyarakat yang tidak melek informasi. Kalau di desa mereka terlanjur memiliki pehaman yang terbatas. Kau musti pandai membawa diri, gunakanlah bahasa dan gerak tubuh mereka”
Berebekal kalimat itu, Jingga memilih tempat KKN nya di daerah terpencil kabupaten Purbalingga ini. Akhirnya, setelah selelasi administrasi dan matur pada sesepuh desa, ia di tempatkan di rumah pak lurah. Dan Jinggapun mulai berbincang dengan masyarakat sekitar tentang agama dan cara ibadah yang benar untuk suatu yang hakiki, alhasil, ia mendapat cercaan dan hinaan serta tantangan keras dari masyarakat. Dan Jinggapun merasa gagal.
“Sajen itu perantara” pekik Aji salah satu sesepuh desa.
“Allah itu pengen tahu seberapa besar pengorbanan kita, kamu lihat bencana di sana-sini, sedangkan di desa kita aman dari gangguan jin dan syaithan sekalipun. Karena Sang Gusti menerima sajen dan sembahyang kita” lanjut Aji dengan sengit.
“Eh bocah, mau kamu ki apa?” Tanya Rusim dengan penuh murka, salah satu sesepuh yang kemarin sore di ajak diskusi tentang shalat para masyrakat sekitar yang dirasa kurang tertib dan semau mereka. Penduduk yang mendengarnya kala itu langsung geram, wajah mereka merah padam seperti singan yang  ingin menelan mangsanya.
Semua ocehan, makian dan kemarahan itu berputar-putar di mata Jingga. Bayang-bayang hitam pepohonan akasiya  di kanan kiri jalan semakin terlihat menyeramkan. Ditingkahi jalan yang tak rata dan hanya berbekal dengan lampu sentir membuatnya limbung. Ia terperosok dan menyandung batu, tubuhnya terdorong ke depan. Menahan badan yang membumi, tangan-tangan Jingga berayun ke depan dan menerobos semak belukar berduri. Bajunya koyak dan ia menapak lumpur.
Jingga merasakan keperihan yang sangat. Mungkin sarungnya pun tercabik. Iapun sibuk meningkahi kekesalan hati yang yang berbaur dengan umpatan-umpatan warga. Hati kecilnya menjerit kesakitan dan akhirnya menyebut asma Alloh. Jiwa kemanusiaanya tetap tak bisa menerima,
Mencoba bangun walau sulit, Jingga menggapai semak-semak dan pohon-pohon yang berada di depannya. Di tahanya tangan yang tergores  duri. Perlahan ia berhasil berdiri. Tak terasa tangan kirinya meraih sesuatu yang bukan miliknya, dalam remang di tatapnya benda itu, ternyata itu adalah kain wol. Ia langsung terseok-seok menuju sentir, lalu di tatapnya dengan tajam. Ternyata itu adalah topi milik seorang bocah kecil, dan yang membuatnya kalang kabut topi itu berdarah, nafasnya terhenti, tak ada asma Alloh lagi yang terucap, ia bingung dan merasa takut. Akhirnya dengan tubuh berat dan berjalan terseok-seok ia berjalan menuju  pos kamling dan menabuh kentongan.
Kentongan di tabuhnya dengan nada tir-tir yang diketahuinya ada tanda ada bahaya.!
Ssegera puluhan kepala muncul. Lelaki, perempuan dalam teriakan riuh, berbaur antara kepanikan rasa marah dan ragu yang menggelayut.
“Ada apa to kang?
“Lha embuh…”
“Kebakaran?”
            “Maling?”
“Siapa yang bunyikan tir-tir malam-malam begini?”
Puluhan orang berbondong-bondong dan berjalan cepat menuju kentongan. Aji, Rusim dan karman juga masih banyak yang lainya membawa pacul, pisau dan parang bahkan ibu-ibu juga membawa sapu lidi.
Mereka menatap Jingga lekat-lekat dan merubunginya. pemuda 20 tahun dengan baju terkoyak dan sarung sedikit tercabik duduk lemas di pos kamling. Sementara tangan kirinya memegang topi bayi yang berlumuran darah.
“Oh, si bocah cilik sok tahu itu to?” celetuk Aji geram.
“Ngapain sih ganggu orang tidur?”
“Mbok yao kalau mau ceramah gak usah pake acara membunyikan tir-tir, njelehi tenan”
Rusim mengengkat kerah baju Jinga lalu bertanya dengan nada keras,
“Heh, bocah cilik mau mu ki opo? kemarin siang kau usik kami sekarang kau buyarkan mimpi kami?”  Jingga tak menjawab, diulurkannya topi berdarah itu pada Rusim.
Rusim melepaskan cengkramannya kemudian meraih topi berdarah yang diulurkan Jingga lalu berteriak,
“Ada bayi mati, topi ini ada darahnya”
Warga kontan panik dan satu-satu meneliti anak mereka. Para sesepuh langsung kembali mendelakati Jingga dan menghujaninya dengan pertanyaan dan kemarahan. Bahkan terkesan meneror Jingga yang sekarang bagai pesakitan bisu, karena jingga hanya bisa menjawab pertanyaan mereka dengan anggukan, gelengan yang sangat lemah. Sebelah tangannya masih memegang pemukul kentongan lalu menunjuk pada arah di temukannya topi bayi tadi.
Beberapa sesepuh langsung mengikuti arah telunjuk Jingga. Mengobrak-abrik semak, mencari kemungkinan ditemukannya koyakan tubuh bayi. Sementara dengung bagai lebah suara wanita menyebutkan anak-anak mereka.  Para sesepuh terus mencari namun tetap nihil, salah satu dari mereka langsung menghujat Jingga dengan tuduhan-tuduhan menyakitkan, sedangkanJingga masih komat-kamit dengan dzikirnya.
“Hey, jangan-jangan kamu yang membunuh bayi itu,?”
“Yah, untuk menambah kesaktian dan sekarang kau merapalkan mantra-mantra? Dasar Bajingan” beberapa pukulan mendarat di wajah dan perut Jingga. Di tengah-tengah kesakitannya Jingga merintih lemah, meminta pukulannya di hentikan.
“Mau apa kamu? Dasar tak tahu malau, sok ceramah, sekarang memakan korban”
“Demi Alloh, terserah apa yang akan kalian lakukan padaku, tapi izinkan sdaya shalat subuh?”
“Halah, alesan paling kamu ingin kabur kan?”
“Tidak, saya belum shalat subuh”
Dengan dikomandani Rusim, mereka menyeret tubuh Jingga yang semakin takaruan menuju tempat sahalat terdekat.
Ketika cahaya langit semakin menguapkan embun-embun di pucuk daun,  Jingga mengakhiri shalat subuhnya. Tangisnya tak terbendung. Tubuh geringnya berayun  seiring iskan. Antara sessal, menahan rasa sakit dan kemarahan yang masih tertahan.
Tetes-tetes air mata dan dan istighfar menjernihkan pikirannya dari seluruh kejadian di penghujung malam yang hendak tergantikan fajar. Dalam tangis ia menyesali kebodohannya sendiri.  Tangan yang tergores tentu saja mengucurkan tetesan darah ke kain wol itu, temaram yang membuatnya seperti baru. Dan keremangan yang ditingkahi lalai hati, menjadikan pengertian itu menggumpal. Tangisnya kembali membuncah, melelehkan kemarahan warga. Dan fajar semakin menghilang tergantikan cahaya dari ufuk, menyadarkan penglihatan mereka atas tubuh Jingga yang tak lagi sempurna, banyak luka dan memar di sana-sini. Sembari menahan sakit, Jingga mengusap wajahnya dan menhakhiri ritual sucinya.
“Kalau begitu, sekalian saya nyuwun pamit. Nyuwun pangapura. Maaf telah mengganggu ketentraman warga di sini” dengan sisa tenaga dan langkah terseret ia pergi membawa tasnya yang berisi bekalnya selama ini. ada rasa iba di mata mereka namun tak membuat mereka mengulurkan tangan.
Di ujung jalan seorang gadis manghadangnya. Khalifah.
“Balik ke kota Mas Jingga? Jika Mas Jingga sudah mulai bisa memahami bahasa dan gerak tubuh kami, Mas Jingga bisa kembali lagi ke sini!” tuturnya.
Jingga tak menyahut, ia terus menyeret langkahnya dalam sakit.  Pikirannya tertuju pada Gurunya. Kemudian ucapan, cercaan dan semua umpatan membuatnya malu pada dirinya sendiri dan sebuah sesal yang menyerang dirinya membuat tubuhnya semakin limbung dan akhirnya membumi bersama matahari Purbalingga yang semakin meninggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar