Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

cerpen


Altruistis
oleh
Cinung Azizy


jingga…
Tersenyumlah saat Kau mengingatku. Karena saat itu, Aku sangat merindukanmu, dan menangislah saat merindukanku, karena Aku saat itu tak lagi disampingmu. Pejamkanlah matamu maka kau akan merasakan diriku ada disampingmu. Karena Aku datang bersama angin yang membelai kulit arimu dan rambut panjangmu yang menyaingi mentari pagi dan membuatmu seperti kupu-kupu  bersayap indah terbang dibawah cahaya terang.
 ***
 Langit kini telah berubah warnanya, serupa tanah. Kecoklatan dan tak lama lagi akan memudar. Serpihan awan bergerak mencari teman. Tampak salah satu gumpalan  menyamai wajah manusia yang  terlihat dari samping saat terpantul oleh temaram kelip lilin. Tak ada lagi kepak sayap yang melintasi cakrawala. Hanya kibasan angin tanpa jejak yang menjatuhkan daun-daun dari ranting yang tak terjangkau.
“Angin itu tanpa jejak seperti kamu Farkhan” rintih jingga dalam hati saat merasakan belaian angin yang sepoi namun hanya sebentar,
Dua tahun silam, Farkhan pergi meninggalkan Sumatra. Pergi merantau jauh ke pulau seberang. Jawa. Alasan yang tak dapat Aku elak lagi dan terpaksa membuatku merelakanmu. Walau tanpa kerelaan yang sebenarnya.
“ Kenapa harus ke Jawa Farkhan?” tanyaku, berat saat itu.
“ Bukanya Aku tak ingin denganmu disini, bukannya Aku tak ingin menemanimu mengarungi hari-hari. Tapi,…..”
“ Tapi apah?” tanyaku buru-buru.                                                     
“Aku pergi juga demi kita, demi masa depan kita,” jawabnya
“ Maksudmu?” tanyaku binggung.
Setelah mendengarkan penjelasan Farkhan, Dengan hati yang memang Aku kuat-kuatkan, akhirnya Aku mengiyakan kepergiannya. Mencari bekal pendidikan setinggi-tingginya demi membangun bangsa dan meningkatkan kualitas diri serta mendidik keluarga terlebih ingin bermanfaat bagi masyarakat. Adalah suatu alasan yang tak dapat ditolak oleh siapapun.
 “ Jangan khawatir jingga, Aku akan selalu memberi kabar, dan menjaga cinta kita.” Janji Farkhan sebelum berangkat kejawa.
            Awalnya, bukan hanya surat yang menghampiriku. Setiap potret kegiatan di kampuspun Farkhan kirimkan padaku. Seiring berlalunya waktu, senja berganti senja, penanggalan  didinding pun telah diganti Ayah dengan kalender baru. Namun, Farkhan dan surat rindunya tak kunjung menghampiri. Hanya angin yang setia menemaniku.
***
              Hari mulai remang, saat itu jingga masih duduk diantara bongkahan  batu tepi sungai. Jingga diam dan mulai ragu dengan hati Farkhan. Kisah empat tahun silam yang Ia rintis bersama Farkhan kini tiba-tiba hilang ditelan waktu. Jingga menatap dedaunan yang seolah ingin berbicara padanya. Daun-daun nangka pun ikut berguguran namun tak terlihat karena hari mulai gelap.
                Malam merangkak perlahan. Terdengar suara ketukan di pintu. Ibu dengan tergopoh-gopoh membukanya. Ternyata yang datang adalah saudara sepupuku. Lia.
             Mba Jingga, apa kabar?” tanyanya padaku dengan muka cerah.
            Lia adalah salah satu sepupuku yang kuliah di Jawa. Tepatnyaa di kota pelajar Jogjakarta. Kemampuanya berbahasa inggris telah mengantarkannya lolos seleksi menjadi salah satu mahasiswa sastra inggris di UGM. Akh, Aku semakin merasa minder saja dengannya. Mengajar anak-anak Tk adalah permintaan orang-orang di desaku. Dengan alasan sikapku yang lemah lembut dan menyayangi anak-anak. Sehingga Aku harus rela mengabdikan diriku demi pendidikan mereka walau harus merelakan kesempatan untuk melanjutkan disalah satu Universitas di Jakarta. Tapi tak apalah, semua toh harus aku ambil hikmah dan nikmatnya. Pikirku memang saat itu.
            Tapi tidak dengan malam ini, kesabaran yang orang-orang bilang itu miliku dan sekaligus adalah salah satu dambaan seorang kekasih,  justru menjadi boomerang bagiku.
            Dinding-dinding kamarpun terasa pengap seakan bagai dalam jeruji besi yang mencekam sekaligus setia menemani disetiap tarikan nafasku. Sendiri dan diselimuti sepi, didekap dinginnya malam sunyi. Akulah bagai seekor burung yang terpenjara dalam sangkar besi. Perasaanku sendiri. Sayapku telah patah karenamu. Dan keinginanku untuk terbang telah musnah.
            Hilang semua janji, tak ada mata indah rembulan lagi. Mata yang biasa aku melihat keindahan dan mimpi-mimpi bersama ditaman firdausNya. Namun kini terasa jauh meninggalkanku. Kehidupanku terasa kosong. Saat itu aku benar-benar mereguk kemarahan dan berselimut kesedihan dalam setiap detak jam. Langit berkelabu, menghapus semua mimpi-mimpi itu. Hancur, remuk redam hatiku melihat semua ini. Melihat engkau pergi.
***
            Dua minggu telah berlalu, Aku hanya berkawan dengan harapan-harapan akan keajaiban mempersatukan kita lagi. Tapi, hanya semakin pupus dan putus. Ketika malam itu dibawah cahaya terang yang menurutku tak terlalu terang. Karena memang tak mampu menembus gelapnya hatiku. Farkhan datang kerumahku. Datang bersama senyuman yang biasa Ia berikan padaku. walau kini Aku menguatkan hatiku untuk berkata bahwa ssesungging itu tak lagi indah namun menyesakan dan menyengsarakan.
            “ Jingga, Aku tahu rasa tak lagi indah di dadamu,” ucap  Farkhan dengan nada miris.
            “ Sudahlah, toh Tuhan lebih tahu dari pada garis telapak tangan kita” jawabku tak kalah sakit dari cubitan malaikat sekalipun.
            “ Aku lebih takut dari  pada kamu, Jingga”
            “ Inilah garis kita, Farkhan, jika memang Aku selalu mekar dihatimu, anggap saja nanti kau selalu bercinta denganku, anggaplah jemarinya adalah jemariku, desah nafasnya adalah ungkapan cintaku.” Ucapku dengan nada tak rela.
***
            Dua bulan berlalu, pucuk-pucuk daun semakin meranggas.  Rasa dihatiku semakin tak menentu, ingin menangis tapi memang air mataku telah membatu, ingin aku merintih tapi pita suaraku tak lagi bermelodi indah. Tubuhku pun kini hanya beraroma kesedihan.
            “ Sudahlah Jingga, mungkin memang Farkhan bukan jodohmu” nasihat Ibu pagi tadi, saat melihatku membungkus kado sambil berurai air mata.
            “ Tuhan itu adil, dan tau mana yang terbaik buatmu, jadi relakan Farkhan hidup bersama sepupumu Lia” lanjut Ibu. Aku hanya bisa menundukan kepala, tak mampu lagi berkata apa-apa.
            Farkhan laki-laki yang sangat Aku dambakan kini harus bersanding dengan saudara ku sendiri. Memang sungguh ironis kenyataan yang menyapaku. Aku sementara hanya bisa menitipkan selembar sedihku pada malaikat diatap langit rindu dan sakit. Semoga ia tetap membasahi kota-kota jiwaku dengan kesabaran.
            “ Maafkan Aku jingga, tak bermaksud  menghianati janji kita di sore itu, tapi ini semua keinginan Ayahku, Ini adalah perkawinan keluargaku, bukan hatiku atau jiwaku, karena rasa dan jiwaku masih harus tetap bersamamu, gadis ayu berparas bidadari,” rintih Farkhan diruang yang berbeda.
            “ Farkhan tetap izinkan aku memelukmu dalam garis mimpi dan takan lagi berangkul rindu” isak Jingga dalam kamarnya.
            “ Jingga, izinkan Aku tetap mengenangmu, dalam garis mimpi kita”
            Oh benar jingga mimpi hanya jodohmu, lihat Ia dalam langit rindu, dipusara kesedihan. Akhirnya jingga hanya berkawan malam, dan menutup mata berselimut mimpi. Dunia esok dalam bayangannya seperti runtuh, seruntuh hatinya ketika melangkahkan kaki menuju sorak sorai pernikahan itu.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar