Altruistis
oleh
Cinung Azizy
jingga…
Tersenyumlah saat Kau mengingatku. Karena saat itu,
Aku sangat merindukanmu, dan menangislah saat merindukanku, karena Aku saat itu
tak lagi disampingmu. Pejamkanlah matamu maka kau akan merasakan diriku ada
disampingmu. Karena Aku datang bersama angin yang membelai kulit arimu dan
rambut panjangmu yang menyaingi mentari pagi dan membuatmu seperti kupu-kupu bersayap indah terbang dibawah cahaya terang.
***
Langit kini telah berubah warnanya, serupa
tanah. Kecoklatan dan tak lama lagi akan memudar. Serpihan awan bergerak
mencari teman. Tampak salah satu gumpalan
menyamai wajah manusia yang terlihat
dari samping saat terpantul oleh temaram kelip lilin. Tak ada lagi kepak sayap
yang melintasi cakrawala. Hanya kibasan angin tanpa jejak yang menjatuhkan
daun-daun dari ranting yang tak terjangkau.
“Angin itu tanpa
jejak seperti kamu Farkhan” rintih jingga dalam hati saat merasakan belaian
angin yang sepoi namun hanya sebentar,
Dua tahun silam,
Farkhan pergi meninggalkan Sumatra. Pergi merantau jauh ke pulau seberang.
Jawa. Alasan yang tak dapat Aku elak lagi dan terpaksa membuatku merelakanmu.
Walau tanpa kerelaan yang sebenarnya.
“ Kenapa harus
ke Jawa Farkhan?” tanyaku, berat saat itu.
“ Bukanya Aku
tak ingin denganmu disini, bukannya Aku tak ingin menemanimu mengarungi
hari-hari. Tapi,…..”
“
Tapi apah?” tanyaku buru-buru.
“Aku pergi juga
demi kita, demi masa depan kita,” jawabnya
“ Maksudmu?”
tanyaku binggung.
Setelah mendengarkan
penjelasan Farkhan, Dengan hati yang memang Aku kuat-kuatkan, akhirnya Aku
mengiyakan kepergiannya. Mencari bekal pendidikan setinggi-tingginya demi
membangun bangsa dan meningkatkan kualitas diri serta mendidik keluarga
terlebih ingin bermanfaat bagi masyarakat. Adalah suatu alasan yang tak dapat
ditolak oleh siapapun.
“ Jangan khawatir jingga, Aku akan selalu
memberi kabar, dan menjaga cinta kita.” Janji Farkhan sebelum berangkat kejawa.
Awalnya,
bukan hanya surat yang menghampiriku. Setiap potret kegiatan di kampuspun Farkhan
kirimkan padaku. Seiring berlalunya waktu, senja berganti senja, penanggalan didinding pun telah diganti Ayah dengan
kalender baru. Namun, Farkhan dan surat rindunya tak kunjung menghampiri. Hanya
angin yang setia menemaniku.
***
Hari mulai remang, saat itu jingga masih
duduk diantara bongkahan batu tepi
sungai. Jingga diam dan mulai ragu dengan hati Farkhan. Kisah empat tahun silam
yang Ia rintis bersama Farkhan kini tiba-tiba hilang ditelan waktu. Jingga
menatap dedaunan yang seolah ingin berbicara padanya. Daun-daun nangka pun ikut
berguguran namun tak terlihat karena hari mulai gelap.
Malam
merangkak perlahan. Terdengar suara ketukan di pintu. Ibu dengan
tergopoh-gopoh membukanya. Ternyata yang datang adalah saudara sepupuku. Lia.
“
Mba Jingga, apa kabar?” tanyanya padaku
dengan muka cerah.
Lia
adalah salah satu sepupuku yang kuliah di Jawa. Tepatnyaa di kota pelajar
Jogjakarta. Kemampuanya berbahasa inggris telah mengantarkannya lolos seleksi
menjadi salah satu mahasiswa sastra inggris di UGM. Akh, Aku semakin merasa
minder saja dengannya. Mengajar anak-anak Tk adalah permintaan orang-orang di
desaku. Dengan alasan sikapku yang lemah lembut dan menyayangi anak-anak.
Sehingga Aku harus rela mengabdikan diriku demi pendidikan mereka walau harus
merelakan kesempatan untuk melanjutkan disalah satu Universitas di Jakarta.
Tapi tak apalah, semua toh harus aku ambil hikmah dan nikmatnya. Pikirku memang
saat itu.
Tapi
tidak dengan malam ini, kesabaran yang orang-orang bilang itu miliku dan
sekaligus adalah salah satu dambaan seorang kekasih, justru menjadi boomerang bagiku.
Dinding-dinding
kamarpun terasa pengap seakan bagai dalam jeruji besi yang mencekam sekaligus
setia menemani disetiap tarikan nafasku. Sendiri dan diselimuti sepi, didekap
dinginnya malam sunyi. Akulah bagai seekor burung yang terpenjara dalam sangkar
besi. Perasaanku sendiri. Sayapku telah patah karenamu. Dan keinginanku untuk
terbang telah musnah.
Hilang
semua janji, tak ada mata indah rembulan lagi. Mata yang biasa aku melihat
keindahan dan mimpi-mimpi bersama ditaman firdausNya. Namun kini terasa jauh
meninggalkanku. Kehidupanku terasa kosong. Saat itu aku benar-benar mereguk
kemarahan dan berselimut kesedihan dalam setiap detak jam. Langit berkelabu,
menghapus semua mimpi-mimpi itu. Hancur, remuk redam hatiku melihat semua ini.
Melihat engkau pergi.
***
Dua
minggu telah berlalu, Aku hanya berkawan dengan harapan-harapan akan keajaiban
mempersatukan kita lagi. Tapi, hanya semakin pupus dan putus. Ketika malam itu
dibawah cahaya terang yang menurutku tak terlalu terang. Karena memang tak
mampu menembus gelapnya hatiku. Farkhan datang kerumahku. Datang bersama
senyuman yang biasa Ia berikan padaku. walau kini Aku menguatkan hatiku untuk
berkata bahwa ssesungging itu tak lagi indah namun menyesakan dan
menyengsarakan.
“
Jingga, Aku tahu rasa tak lagi indah di dadamu,” ucap Farkhan dengan nada miris.
“
Sudahlah, toh Tuhan lebih tahu dari pada garis telapak tangan kita” jawabku tak
kalah sakit dari cubitan malaikat sekalipun.
“
Aku lebih takut dari pada kamu, Jingga”
“
Inilah garis kita, Farkhan, jika memang Aku selalu mekar dihatimu, anggap saja
nanti kau selalu bercinta denganku, anggaplah jemarinya adalah jemariku, desah
nafasnya adalah ungkapan cintaku.” Ucapku dengan nada tak rela.
***
Dua
bulan berlalu, pucuk-pucuk daun semakin meranggas. Rasa dihatiku semakin tak menentu, ingin
menangis tapi memang air mataku telah membatu, ingin aku merintih tapi pita
suaraku tak lagi bermelodi indah. Tubuhku pun kini hanya beraroma kesedihan.
“
Sudahlah Jingga, mungkin memang Farkhan bukan jodohmu” nasihat Ibu pagi tadi,
saat melihatku membungkus kado sambil berurai air mata.
“
Tuhan itu adil, dan tau mana yang terbaik buatmu, jadi relakan Farkhan hidup
bersama sepupumu Lia” lanjut Ibu. Aku hanya bisa menundukan kepala, tak mampu
lagi berkata apa-apa.
Farkhan
laki-laki yang sangat Aku dambakan kini harus bersanding dengan saudara ku
sendiri. Memang sungguh ironis kenyataan yang menyapaku. Aku sementara hanya
bisa menitipkan selembar sedihku pada malaikat diatap langit rindu dan sakit.
Semoga ia tetap membasahi kota-kota jiwaku dengan kesabaran.
“
Maafkan Aku jingga, tak bermaksud
menghianati janji kita di sore itu, tapi ini semua keinginan Ayahku, Ini
adalah perkawinan keluargaku, bukan hatiku atau jiwaku, karena rasa dan jiwaku
masih harus tetap bersamamu, gadis ayu berparas bidadari,” rintih Farkhan
diruang yang berbeda.
“
Farkhan tetap izinkan aku memelukmu dalam garis mimpi dan takan lagi berangkul
rindu” isak Jingga dalam kamarnya.
“
Jingga, izinkan Aku tetap mengenangmu, dalam garis mimpi kita”
Oh
benar jingga mimpi hanya jodohmu, lihat Ia dalam langit rindu, dipusara
kesedihan. Akhirnya jingga hanya berkawan malam, dan menutup mata berselimut
mimpi. Dunia esok dalam bayangannya seperti runtuh, seruntuh hatinya ketika
melangkahkan kaki menuju sorak sorai pernikahan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar