Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

cerpen


*Kembang Setaman
Oleh:
Cinung Azizy
Di antologikan dalam Lelaki Yang di Beli (STAIN Press 2011)

            Sebenarnnya, aku tak ingin menghitung, namun waktu yang melintas di hadapanku seolah tersenyum dan mengucapkan salam perpisahan dan enggan singgah walau sebentar. Membuatku terngiang sepanjang sejarah detik yang seolah ikut menertawakanku.
            Nyaris lebih dari empat tahun terlewati. Masih kurang dari sewindu, namun, bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penderitaan. Haruskah aku selalu hidup seperti ini? Berapa lamakah lagi? masih tersisakah kesabaran untukku menjalani semua ini? Batinku sendiri menyeruak dengan segala magma marahnya. Kuliahat suamiku mengelap debu pada kerangka yang membingkai kaca jendela. Akankah Ia juga tabah seperti debu-debu yang selalu menyinggahi sudut jendela rumahku. Akankah ia juga merasakan kebosanan yang sama seperti yang kurasakan selama ini.
            Adalah menjadi orang yang serba ada dan dompet penuh dengan lembaran-lembaran yang akan mengajakku tersenyum. Berlimpah barang mewah dan perhiasan yang menempel pada pergelangan tangan dan leher yang akan menambah sempurna aku menjadi seorang wanita. Namun, kenyataan berkata lain, aku masih harus terus menyulam angan itu dengan telaten. Yang setiap hari, bulan dan tahun meresahkanku, kala kumelihat anakku yang kini baru berumur tujuh tahun, merengek meminta mainan ini itu. Walau aku sedikit memahami, itulah karakter anak, selalu ingin seperti teman-teman sepermainannya. Tersisa kesedihan di batinku. Mengapa aku menjadi orang tua yang tak mampu memberikan keinginannya.
            Tahun berganti tahun, hingga kini usia pernikahanku dengan Mas Yono berumur empat tahun, namun, aku masih harus memanjangkan benang sulaman harapanku. Hidup serba kekurangan masih berpihak padaku. Hingga harus kuulur dan kuulur benang sulaman itu. Merah, biru, hijau bahkan kadang kala hitam pekat. Warna-warni mimpiku.
Namun, sebulan yang lalu, ketika anakku menginjak kelas enam, aku semakin pusing. Sulaman benang harapanku terasa semakin menebal, kenyataan yang memaksaku untuk berfikir keras. Sebagai seorang istri, yang sekaligus menjadi kepala keluarga. Mas Yono, tujuh bulan yang lalu tengah mengalami kecelakaan, kakinya patah dan harus diamputasi, hingga kini, korsi roda yang selalu menemaninnya bersama harapan hidup yang semakin memudar.
            Hingga kini, aku baru merasakan bahwa benang-benang sulaman harapanku telah menipis, tak banyak lagi warna yang tersisa hanya hitam pekat yang masih sering memberikan senyuman kecutnnya. Sedikit kutambahkan benang-benang warna yang lebih cerah, agar bersinar ditengah keputusasaan yang menghampiriku. Walau jarum penyulam harapan itu kini sudah mulai tumpul, namun aku masih berjuang dengan sisa-sisa semuannya. Aku tidak tahu, sulaman angan seperti apalagikah yang bisa aku perbuat.
            Aku masih terus bekerja dengan peluh dan rasa capek yang menggerayangi setiap inci sendi-sendi tulangku. Dari seribu harapan yang hendak aku sumbangkan pada anakku masih terasa membara ketika aku mengandungnnya. Aku akan membuatnnya bahagia dan serba kecukupan. Namun, tiap detik makin mematikannya. Entahlah ini semua balasan atau hukuman.
            Telah selesai aku dan suamiku mengelap debu-debu pada jendela dan gagang pintu rumah sederhanaku, ketika mobil kijang berhenti tepat di halaman.  Ternyata yang datang adalah adik ipar Ibuku. Dibawannya sekeranjang oleh-oleh. Buah-buahan dengan segala macam kue kesukaan anakku. Ia ulurkan keranjang oleh-oleh itu, dengan tatapan mata yang ingkar pada lurusnnya tatapanku. aku mengerti, tatapan yang menghindar itu, adalah tatapan yang menyembunyikan rasa kasihan yang tersirat. Bela rasa yang tak terungkap sejelasnnya.
            "Masuk dan duduklah, Bi, aku kan membuatkan secangkir teh untukmu," salamku menyambutnnya dengan nada riang, sedikit menyamarkan nada kepedihan yang berkilauan dalam genggaman benakku.
            "Lancar usahannya, Bi? Bagaimana keadaan paman dan ponakan-ponakan disana? Masih sibuk dengan sekolahnnya?" tanyaku.dengan nada sedikit seru, agar keriangan itu tersampaiakan sejelas-jelasnnya. namun, aku melihat wajah bibi yang tak tertipu dengan wajah kepura-puraanku.
            "Yah, lumayan usahanya mulai berkembang sekarang, bagaimana denganmu?, Ikutlah saja dengan bibi?" ucapnnya mengajakku, namun, aku tetap menampiknya dengan halus. dengan kedaan suamiku yang tak berdaya, dan jelaslah kita hannya kan merepotkan.
            Aku pergi ke belakang, kuseduh teh untuk bibi, disamping oleh-oleh yang ia bawa. terlihat kue-kue yang lezat beserta buah-buahan yang segar. Tak ketinggalan seikat kembang tujuh rupa yang bibi bawa untukku. Kembang kenangan tanda semangat. Kembang mawar tanda kekuatan yang tak tertandingi, dan siap menampik segala bahaya yang datang dengan duri-durinnya yang tajam.dan masih banyak bunga seperti bunga melati, bunga kamboja. yang kesemuannya berjumlah tujuh rupa. itulah tradisi kelurga dari Ayahku. selalu menyertakan kembang tujuh rupa atau biasa disebut dengan bahasa halusnnya, kembang setaman.
            Tradisi keuarga ayah sejak dahulu, selalu membagikan oleh-oleh disertai kembang setaman di dalamnya. Ketika rizki yang diperoleh bertambah. Selalu berusaha berbagi dengan sanak-saudara yang masih kekurangan. Sebagai bagian dari tradisi penyebaran kembang setaman. Penyebaran kebahagiaan agar orang-orang yang mendapatkannya mendapat kebahagiaan sepertinya.
            Aku suguhkan secangkir teh di meja warna hitam dan terbuat dari kayu jati dekat dengan bibi duduk. Meja itu adalah peninggalan ibu satu-satunnya, sebelum ia meninggalkanku saat bulan purnama yang terng dulu, saat tetanggaku ramai-ramai ada sinar aneh yang mendarat di atas  genting rumahku.
            “Taukah Kau Saprinah, Bibi sedang rindu dengan almarhum Ibumu”
            “Bi, apakah dulu, ketika Ibu masih jaya dengan sawah dan tanah yang luas  selalu menggunakan tradisi tebar kembang setaman ini” tannyaku kemudian. Dengan sengaja aku mengalihkan pembicaraan, seolah-olah ingin menetralisir keadaan muram antara aku dan Bibi.
            “Tidak banyak toko kembang seperti sekarang, kadangkala, Ibu dulu hanya memetik di kebun-kebun belakang rumah, terkadang hanya menggunakan kembang melati dan kamboja saja” jawab Bibi. Aku terus menanyakan kebahagiaan masa kecilku dengan Ibu dulu. Kebahagiaan yang sempat aku tutup-tutupi, karena kenyataan yang berbeda sekali dengan kehidupanku sekarang. Mungkin naluri kecilku yang serba kecukupan dan berlimang dengan harta sedang menyeruak kepermukaan dinding hatiku. Dan lama-kelamaan membuatku sakit, karena aku tak mampu membahagiakan anakku seperti dulu ayah dan Ibu membahagiakan aku.
            Senyap, berbagai bunyi dan riuh entah tertiup kemana. Lalu, aku raup tangan Bibi.
            “Bi, katannya dulu, sebelum Ibu bangkrut dan meninggal, Ibu sering datang ke suatu tempat antaralah aku kesana,”
            “Tidak” jawab Bibi dengan nada tinggi. Satu hal yang tak pernah bibi lakukan semenjak lima tahun lalu ibu meninggalkanku. Karena ia telah berjanji pada almarhum ibu untuk selalau menyayangiku.
            “Tapi, aku ingin” Aku terus memohon, air mata meleleh, menggenangi harapanku yang tersulam sejauh ini.
            “Kuperingatkan padamu, jangan sekalipun kamu melakukannya,” ulang Bibi memperingatkanku.
            “Bantuan mantra mereka manjur untuk Ibu dan kekayaan keluargaku, pastilah manjur juga untuku, aku sudah bosan dengan semua ini” jawabku masih dengan air mata yang menyiratkan pedih dan lukannya perasaan atas hidupku selama ini.
            Bibi meninggalkanku. Seakan membiarkan segala sulamanku terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah aku menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia? Pastilah tidak. Keinginanku yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan meruntuhkan tembok penghadangku.
***
            Kakek itu, menampik uluran uang dariku.
”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam.
“Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.”
Aku tak mengerti. Sebelum mendapatkan penjelasan yang sempurna, ia telah mempersilahkanku beranjak pergi. Ia mengantarkanku ke depan gerbang yang berwarna kekuningan. Gerbang yang telah berubah warna.  Bilah pintu besar itu terbelah, memberiku celah untuk melangkah. Jalan setapak dengan pohon-pohon randu yang kapasnya mulai berterbangan dengan senyum tuanya menyanyambutku. Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhku. Timbul pertannyaan dalam benakku, apakah jalan-jalan ini yang serupa ibu dan ayah lewati? Seiramakah derap langkahnnya dulu dengan langkahku sekarang?
Aku begitu merindui Ibu dan Ayah, manusia-manusia terkasih yang selalu berusaha memenuhi segala senyumku dengan limpahan keinginanku. Ingin sekali aku melakukan itu semua pada anakku dan menyembuhkan suamiku dengan segera,, agar ia bisa berjalan dan membantuku bekerja. sehingga tidak kurasakan kemiskinan menjeratku.
Aku mendatangi bibi dengan sebongkah pertanyan yang sempat tak terjawab kemarin. Namun, suatu respon yang sangat mengejutkanku. Bibi mengerang marah,
“Mengapa kau langgar pesanku?” suaranya meninggi dan wajahnya memerah.
“Seharusnya kau patuh!” telunjuknnya menuding mukaku. Namun dengan tenang aku menatap wajah merahnnya.
“Kenapa dulu ibu melakukanya, sekarang aku tak boleh?” aku balik bertannya, yang mungkin serupa gugatan.
“Justru itu, kau tak boleh mengulanginya”
“Tapi, aku ingin kehidupan yang layak, aku bosan dengan kemiskinan yang menjeratku”
Bibi menangis tanpa air mata. Aku merebah tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin lagi kukenakan topeng-topeng ketabahan. Tak juga hendak aku jadikan sulaman anganku sebagai cadar yang hanya menyiratkan belaka semata.
“Lebih dari lima tahun Bibi bersamamu, Bibi tak ingin kehilanganmu. Bibi tak ingin melihatmu sia-sia seperti akhir nafas ibumu. Sudah cukup sejarah itu mengukir luka dalam keluarga kita” lalu, Bibi menceritakan sebab kematian Ibuku.
“Ketika tepat kamu berumur tujuh belas tahun, seorang laki-laki datang menagih janji, Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kejayaan yang keluargamu harapkan” Bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanku.
“Lalu, Ibumu meminta tenggang waktu, Ia mencari perempuan lain untuk ia berikan sebagai ganti darahmu, namun, ia tak menemukannya, hingga ia semua itu terjadi”
Aku terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga.
“Lalu, apa hubungannya dengan semua ini?”tannyaku masih dengan wajah pucat pasi.
Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis.
“Lalu, karena tenggang waktu yang telah habis, laki-laki itu datang lagi dengan muka garang bagai singa yang telah rindu daging segar. Dan malamnnya terjadilah semua itu. kembang yang biasa ibu tabur di belakang rumah tiba-tiba mongering dan dari atas terlihat sinar yang semakin mendekati atap rumahmu. Ibumu pagi hari telah ditemukan terkapar tak bernyawa di belakang rumah. Dengan badan kaku, darah yang sudah terhenti dan mata terbelalak. Ibu menjadi ganti Tumbal yang lelaki itu minta, atas harta yang lebih dari tujuh belas tahun keluarga kalian nikmati”
Aku tersungkur lemas dalam pangkuan Bibi. Darahku terasa memutih. Semua telah terlambat. Akankah aku mengalami nasib yang serupa dengan layunnya kembang setaman itu, haruskah aku mati seperti ibu, terkubur bersama penyesalan kekayaan yang hanya sementara. Justru meninggalkan sejarah petaka. Semua terasa gelap, dan tubuhku lunglai, bumi terasa berputar, menjungkir balikan tubuhku, kemudian mataku tertutup dan tak mampu menatap apa-apa lagi.
***


          * Cinung Azizy yang bernama lengkap Siti Nur Azizah adalah mahasiswi STAIN Purwokerto, semester 6 jurusan Syariah Ekonomi Islam. Kini aktif dalam Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto serta aktif sebagai penghuni RUMAH AJAIB, yaitu komunitas penulis dan peneliti sastra di Purwokerto. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Harian Solopos,  majalah Obsesi, majalah An-Nur, majalah Mayara serta pernah  menjadi juara harapan 2  lomba karya tulis ilmiah sejawa yang diadakan di UNS Solo, menjadi juara harapan 1 lomba karya tulis Ekonomi Syariah tingkat nasional yang diadakan di UNNES.
            No telp            : 085727213645
Email: Cinunk_Azizy@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar