*Kembang Setaman
Oleh:
Cinung
Azizy
Di
antologikan dalam Lelaki Yang di Beli (STAIN Press 2011)
Sebenarnnya, aku tak ingin
menghitung, namun waktu yang melintas di hadapanku seolah tersenyum dan
mengucapkan salam perpisahan dan enggan singgah walau sebentar. Membuatku
terngiang sepanjang sejarah detik yang seolah ikut menertawakanku.
Nyaris lebih dari empat tahun
terlewati. Masih kurang dari sewindu, namun, bukan rentang waktu yang sebentar
untuk sebuah penderitaan. Haruskah aku selalu hidup seperti ini? Berapa lamakah
lagi? masih tersisakah kesabaran untukku menjalani semua ini? Batinku sendiri
menyeruak dengan segala magma marahnya. Kuliahat suamiku mengelap debu pada
kerangka yang membingkai kaca jendela. Akankah Ia juga tabah seperti debu-debu
yang selalu menyinggahi sudut jendela rumahku. Akankah ia juga merasakan
kebosanan yang sama seperti yang kurasakan selama ini.
Adalah menjadi orang yang serba ada
dan dompet penuh dengan lembaran-lembaran yang akan mengajakku tersenyum.
Berlimpah barang mewah dan perhiasan yang menempel pada pergelangan tangan dan
leher yang akan menambah sempurna aku menjadi seorang wanita. Namun, kenyataan
berkata lain, aku masih harus terus menyulam angan itu dengan telaten. Yang
setiap hari, bulan dan tahun meresahkanku, kala kumelihat anakku yang kini baru
berumur tujuh tahun, merengek meminta mainan ini itu. Walau aku sedikit
memahami, itulah karakter anak, selalu ingin seperti teman-teman
sepermainannya. Tersisa kesedihan di batinku. Mengapa aku menjadi orang tua
yang tak mampu memberikan keinginannya.
Tahun berganti tahun, hingga kini
usia pernikahanku dengan Mas Yono berumur empat tahun, namun, aku masih harus
memanjangkan benang sulaman harapanku. Hidup serba kekurangan masih berpihak
padaku. Hingga harus kuulur dan kuulur benang sulaman itu. Merah, biru, hijau
bahkan kadang kala hitam pekat. Warna-warni mimpiku.
Namun,
sebulan yang lalu, ketika anakku menginjak kelas enam, aku semakin pusing.
Sulaman benang harapanku terasa semakin menebal, kenyataan yang memaksaku untuk
berfikir keras. Sebagai seorang istri, yang sekaligus menjadi kepala keluarga.
Mas Yono, tujuh bulan yang lalu tengah mengalami kecelakaan, kakinya patah dan
harus diamputasi, hingga kini, korsi roda yang selalu menemaninnya bersama
harapan hidup yang semakin memudar.
Hingga kini, aku baru merasakan
bahwa benang-benang sulaman harapanku telah menipis, tak banyak lagi warna yang
tersisa hanya hitam pekat yang masih sering memberikan senyuman kecutnnya.
Sedikit kutambahkan benang-benang warna yang lebih cerah, agar bersinar
ditengah keputusasaan yang menghampiriku. Walau jarum penyulam harapan itu kini
sudah mulai tumpul, namun aku masih berjuang dengan sisa-sisa semuannya. Aku
tidak tahu, sulaman angan seperti apalagikah yang bisa aku perbuat.
Aku masih terus bekerja dengan peluh
dan rasa capek yang menggerayangi setiap inci sendi-sendi tulangku. Dari seribu
harapan yang hendak aku sumbangkan pada anakku masih terasa membara ketika aku
mengandungnnya. Aku akan membuatnnya bahagia dan serba kecukupan. Namun, tiap
detik makin mematikannya. Entahlah ini semua balasan atau hukuman.
Telah selesai aku dan suamiku
mengelap debu-debu pada jendela dan gagang pintu rumah sederhanaku, ketika
mobil kijang berhenti tepat di halaman. Ternyata yang datang adalah adik ipar Ibuku. Dibawannya
sekeranjang oleh-oleh. Buah-buahan dengan segala macam kue kesukaan anakku. Ia
ulurkan keranjang oleh-oleh itu, dengan tatapan mata yang ingkar pada lurusnnya
tatapanku. aku mengerti, tatapan yang menghindar itu, adalah tatapan yang
menyembunyikan rasa kasihan yang tersirat. Bela rasa yang tak terungkap
sejelasnnya.
"Masuk dan duduklah, Bi, aku
kan membuatkan secangkir teh untukmu," salamku menyambutnnya dengan nada
riang, sedikit menyamarkan nada kepedihan yang berkilauan dalam genggaman
benakku.
"Lancar usahannya, Bi? Bagaimana
keadaan paman dan ponakan-ponakan disana? Masih sibuk dengan sekolahnnya?"
tanyaku.dengan nada sedikit seru, agar keriangan itu tersampaiakan
sejelas-jelasnnya. namun, aku melihat wajah bibi yang tak tertipu dengan wajah
kepura-puraanku.
"Yah, lumayan usahanya mulai
berkembang sekarang, bagaimana denganmu?, Ikutlah saja dengan bibi?"
ucapnnya mengajakku, namun, aku tetap menampiknya dengan halus. dengan kedaan
suamiku yang tak berdaya, dan jelaslah kita hannya kan merepotkan.
Aku pergi ke belakang, kuseduh teh
untuk bibi, disamping oleh-oleh yang ia bawa. terlihat kue-kue yang lezat
beserta buah-buahan yang segar. Tak ketinggalan seikat kembang tujuh rupa yang
bibi bawa untukku. Kembang kenangan tanda semangat. Kembang mawar tanda
kekuatan yang tak tertandingi, dan siap menampik segala bahaya yang datang
dengan duri-durinnya yang tajam.dan masih banyak bunga seperti bunga melati,
bunga kamboja. yang kesemuannya berjumlah tujuh rupa. itulah tradisi kelurga
dari Ayahku. selalu menyertakan kembang tujuh rupa atau biasa disebut dengan
bahasa halusnnya, kembang setaman.
Tradisi keuarga ayah sejak dahulu,
selalu membagikan oleh-oleh disertai kembang setaman di dalamnya. Ketika rizki
yang diperoleh bertambah. Selalu berusaha berbagi dengan sanak-saudara yang
masih kekurangan. Sebagai bagian dari tradisi penyebaran kembang setaman.
Penyebaran kebahagiaan agar orang-orang yang mendapatkannya mendapat
kebahagiaan sepertinya.
Aku suguhkan secangkir teh di meja
warna hitam dan terbuat dari kayu jati dekat dengan bibi duduk. Meja itu adalah
peninggalan ibu satu-satunnya, sebelum ia meninggalkanku saat bulan purnama
yang terng dulu, saat tetanggaku ramai-ramai ada sinar aneh yang mendarat di
atas genting rumahku.
“Taukah Kau Saprinah, Bibi sedang
rindu dengan almarhum Ibumu”
“Bi, apakah dulu, ketika Ibu masih
jaya dengan sawah dan tanah yang luas
selalu menggunakan tradisi tebar kembang setaman ini” tannyaku kemudian.
Dengan sengaja aku mengalihkan pembicaraan, seolah-olah ingin menetralisir keadaan
muram antara aku dan Bibi.
“Tidak banyak toko kembang seperti
sekarang, kadangkala, Ibu dulu hanya memetik di kebun-kebun belakang rumah,
terkadang hanya menggunakan kembang melati dan kamboja saja” jawab Bibi. Aku
terus menanyakan kebahagiaan masa kecilku dengan Ibu dulu. Kebahagiaan yang
sempat aku tutup-tutupi, karena kenyataan yang berbeda sekali dengan
kehidupanku sekarang. Mungkin naluri kecilku yang serba kecukupan dan berlimang
dengan harta sedang menyeruak kepermukaan dinding hatiku. Dan lama-kelamaan
membuatku sakit, karena aku tak mampu membahagiakan anakku seperti dulu ayah
dan Ibu membahagiakan aku.
Senyap, berbagai bunyi dan riuh
entah tertiup kemana. Lalu, aku raup tangan Bibi.
“Bi, katannya dulu, sebelum Ibu bangkrut
dan meninggal, Ibu sering datang ke suatu tempat antaralah aku kesana,”
“Tidak” jawab Bibi dengan nada
tinggi. Satu hal yang tak pernah bibi lakukan semenjak lima tahun lalu ibu
meninggalkanku. Karena ia telah berjanji pada almarhum ibu untuk selalau
menyayangiku.
“Tapi, aku ingin” Aku terus memohon,
air mata meleleh, menggenangi harapanku yang tersulam sejauh ini.
“Kuperingatkan padamu, jangan sekalipun
kamu melakukannya,” ulang Bibi memperingatkanku.
“Bantuan mantra mereka manjur untuk
Ibu dan kekayaan keluargaku, pastilah manjur juga untuku, aku sudah bosan
dengan semua ini” jawabku masih dengan air mata yang menyiratkan pedih dan
lukannya perasaan atas hidupku selama ini.
Bibi meninggalkanku. Seakan
membiarkan segala sulamanku terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah aku
menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia? Pastilah
tidak. Keinginanku yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan
meruntuhkan tembok penghadangku.
***
Kakek
itu, menampik uluran uang dariku.
”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam.
“Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya.
Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.”
Aku tak mengerti. Sebelum mendapatkan penjelasan yang sempurna, ia
telah mempersilahkanku beranjak pergi. Ia mengantarkanku ke depan gerbang yang
berwarna kekuningan. Gerbang yang telah berubah warna. Bilah pintu besar itu terbelah, memberiku
celah untuk melangkah. Jalan setapak dengan pohon-pohon randu yang kapasnya
mulai berterbangan dengan senyum tuanya menyanyambutku. Dedaunan yang saling
bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhku. Timbul
pertannyaan dalam benakku, apakah jalan-jalan ini yang serupa ibu dan ayah
lewati? Seiramakah derap langkahnnya dulu dengan langkahku sekarang?
Aku begitu merindui Ibu dan Ayah, manusia-manusia terkasih yang
selalu berusaha memenuhi segala senyumku dengan limpahan keinginanku. Ingin
sekali aku melakukan itu semua pada anakku dan menyembuhkan suamiku dengan
segera,, agar ia bisa berjalan dan membantuku bekerja. sehingga tidak kurasakan
kemiskinan menjeratku.
Aku mendatangi bibi dengan sebongkah pertanyan yang sempat tak
terjawab kemarin. Namun, suatu respon yang sangat mengejutkanku. Bibi mengerang
marah,
“Mengapa kau langgar pesanku?” suaranya meninggi dan wajahnya memerah.
“Seharusnya kau patuh!” telunjuknnya menuding mukaku. Namun dengan
tenang aku menatap wajah merahnnya.
“Kenapa dulu ibu melakukanya, sekarang aku tak boleh?” aku balik
bertannya, yang mungkin serupa gugatan.
“Justru itu, kau tak boleh mengulanginya”
“Tapi, aku ingin kehidupan yang layak, aku bosan dengan kemiskinan
yang menjeratku”
Bibi menangis tanpa air mata. Aku merebah tak berdaya pada
pangkuannya. Tak ingin lagi kukenakan topeng-topeng ketabahan. Tak juga hendak
aku jadikan sulaman anganku sebagai cadar yang hanya menyiratkan belaka semata.
“Lebih dari lima tahun Bibi bersamamu, Bibi tak ingin kehilanganmu.
Bibi tak ingin melihatmu sia-sia seperti akhir nafas ibumu. Sudah cukup sejarah
itu mengukir luka dalam keluarga kita” lalu, Bibi menceritakan sebab kematian
Ibuku.
“Ketika tepat kamu berumur tujuh belas tahun, seorang laki-laki
datang menagih janji, Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala
sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi
kejayaan yang keluargamu harapkan” Bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin
berkeringat dalam genggamanku.
“Lalu, Ibumu meminta tenggang waktu, Ia mencari perempuan lain untuk
ia berikan sebagai ganti darahmu, namun, ia tak menemukannya, hingga ia semua
itu terjadi”
Aku terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu
bagian dari cerita silam yang tak terduga.
“Lalu, apa hubungannya dengan semua ini?”tannyaku masih dengan wajah
pucat pasi.
Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka
yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis.
“Lalu, karena tenggang waktu yang telah habis, laki-laki itu datang
lagi dengan muka garang bagai singa yang telah rindu daging segar. Dan
malamnnya terjadilah semua itu. kembang yang biasa ibu tabur di belakang rumah
tiba-tiba mongering dan dari atas terlihat sinar yang semakin mendekati atap
rumahmu. Ibumu pagi hari telah ditemukan terkapar tak bernyawa di belakang
rumah. Dengan badan kaku, darah yang sudah terhenti dan mata terbelalak. Ibu
menjadi ganti Tumbal yang lelaki itu minta, atas harta yang lebih dari tujuh
belas tahun keluarga kalian nikmati”
Aku tersungkur lemas dalam pangkuan Bibi. Darahku terasa memutih.
Semua telah terlambat. Akankah aku mengalami nasib yang serupa dengan layunnya
kembang setaman itu, haruskah aku mati seperti ibu, terkubur bersama penyesalan
kekayaan yang hanya sementara. Justru meninggalkan sejarah petaka. Semua terasa
gelap, dan tubuhku lunglai, bumi terasa berputar, menjungkir balikan tubuhku,
kemudian mataku tertutup dan tak mampu menatap apa-apa lagi.
***
*
Cinung Azizy yang bernama lengkap Siti Nur Azizah adalah mahasiswi STAIN Purwokerto, semester 6
jurusan Syariah Ekonomi Islam. Kini aktif dalam Sekolah Kepenulisan
STAIN Purwokerto serta aktif sebagai penghuni RUMAH AJAIB, yaitu komunitas penulis dan peneliti sastra di
Purwokerto. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Harian Solopos, majalah Obsesi, majalah An-Nur, majalah
Mayara serta pernah menjadi juara
harapan 2 lomba karya tulis ilmiah
sejawa yang diadakan di UNS Solo, menjadi juara harapan 1 lomba karya tulis
Ekonomi Syariah tingkat nasional yang diadakan di UNNES.
No telp :
085727213645
Email:
Cinunk_Azizy@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar