Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

ESSAY


KAMPUNG BATHIK BANYUMAS : GERAKAN
GLOKALISASI KOLEKTIF

OLEH: SITI NUR AZIZAH
STAIN PURWOKERTO
             Apakah yang kita rasakan bila budaya kolektif yang selama ini menjadi pilar kejayaan bangsa mulai pudar? Kita pasti akan merasa sangat kesulitan dan tertatih-tatih dalam membangun bangsa ini. Terutama dalam membangun kesejahteraan Indonesia, yang akhir-akhir ini, kemiskinan serta globalisasi dengan segala tetek-bengek gejalanya, menjadi masalah krusial bagi bangsa. Pembenahan demi pembenahan harus benar-benar segera terwujud aplikasinya! Namun, keterbalikan nyata telah terjadi, bukan wujud pembenahan yang mereka sajikan, namun kemiskinan global yang dipersembahkan. Dari hal tersebut, terlihat jelas, bahwa hotong royong, kolektifitas, dan persatuan harus di perkuat pondasinya.
Cuaca Budaya kolektifitas kita
             Diawali Gerakan Rakyat Indonesia (GRI) yaitu organisasi kerakyatan yang mempunyai cita-cita perjuangan membangun Indonesia yang berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan yang berdiri diatas masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras. Tentu dalam mencapai hal tersebut diperlukan kerja-kerja bersama atau kolektif sebagai ciri khas atau karakter dari bangsa Indonesia.
Budaya kolektivitas adalah bagian dari pada ideologi kita. Filsafat hidup Rakyat Pekerja adalah kolektif, bekerjasama, kolektif. Bayangkan saja misalnya di sebuah pabrik kain atau baju, masing-masing buruh bekerja semaunya tentu tidak akan menghasilkan baju yang diinginkan. Jadi budaya kerja secara kolektif adalah budaya kaum pekerja. Berbeda dengan kaum pemodal atau biasa disebut ”Bos”. Mereka hanya mencari keuntungan sendiri tanpa mementingkan nasib buruhnya. Jadi kolektivitas bertentangan dengan individualis, ideologi kaum liberalis. Budaya kolektivitas ini harus selalu menjadi program, sikap dan perilaku kita dalam bertindak. Tapi, gerakan yang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia, sekarang terasa telah semakin luntur dan jauh dari masyarakat.
Memang, bukan soal mudah untuk mengubah atau bahkan mengembalikan  dari sebuah kondisi ke kondisi lain yang dirasa lebih baik. Terlebih lagi jika mengubah kondisi ke arah yang lebih baik yang dimaksud tersebut harus berhubungan dengan banyak orang, dalam artian, mengubah kondisi masyarakat. “Merekayasa” masyarakat, tentunya lebih rumit daripada sekadar mengubah kondisi orang per orang. Lebih kompleks lagi sifatnya jika rekayasa yang dilakukan berkaitan dengan mengubah pola pikir, tindakan dan budaya. Tapi, bukankah akan lebih parah jika suatu perubahan tidak ditelateni sejak sekarang?
 Abad 21, dimana dikenal dengan abad kompetitif, adalah sebagai salah satu pemicu lunturnya budaya kolektif tersebut, selain itu masyarakat indonesia lebih mulai terjamah globalisasi yang tengah beramai-ramai menghujani tanah Indonesia, hingga masyarakat awamlah yang menjadi korban pengadopsinya. Terlebih, masyarakat telah mentah-mentah menelan  pengaruh budaya barat dan modern yang lebih individualis dan lebih menghargai persaingan bebas serta survival of the fites, telah merubah budaya kolektif yang asli, .menjadi lebih egoistis, individualistis dan profit oriented. Akhirnya, masyarakat  yang tidak memiliki keunggulan comperative dan keunggulan competitive menjadi tersingkir dan terpinggirkan. Sungguh sangat ironis, seandainya saja, seluruh bangsa Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta manusia, mampu memahami gerakan kolektif secara benar, maka yang terjadi adalah, mereka akan secara sukarela menyumbangkan apa saja yang menjadi keungggulan bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan sangat mudah menyelesaikan seluruh krisis multidimensi yang tengah melanda bangsa ini. Namun sangat disayangkan sebuah keterbalikan nyata yang telah terjadi, mayoritas masyarakat Indonesia berbodong-bondong melakukan korupsi berjamaah, mereka justru bekerjasama meminta, mengambil, mencuri, merampok, menipu, memanipulasi semua hal yang berada dalam kewenangannya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, dengan mengedepankan egoisitas yang tinggi, individualisme yang dikedepankan tanpa memikirkan masyarakat yang membutuhkan. Dan pada akhirnya Indonesia benar-benar kehilangan jati dirinya, mengedepankan gotong royong dan gerakan kolektifitas demi satu tujuan, membangun bangsa adil makmur loh jinawih.
Tergerusnya kearifan lokal Gerakan  kolektif
Budaya senantiasa berangkat dari sejarah, yang kemudian membentuk produk-produk yang menjelaskan sebuah evolusi panjang telah terjadi. Artefak, perilaku sosial, dan sistem nilai merupakan produk tersebut. Semua produk budaya berasas pada pola kearifan lokal yang berasal dari manusia dengan segala pemahaman dan pola pikirnya. Kearifan lokal yang bermula dari kognisi untuk bertindak dan bersikap dalam suatu peristiwa, kemudian membentuk ekspresi beragam berupa adat, karya seni, hingga pola pikir manusia pun terbentuk dari kearifan lokal tersebut. Sebuah sinergi ditunjukkan keduanya: kearifan lokal mengintervensi evolusi budaya, dan karya budaya melukiskan bentuk kearifan lokal yang khas di setiap daerah.begitu pula dengan gerakan kolektif.
Gerakan  kolektif, sebenarnya bukan hanya merupakan kekayaan sosial budaya namun juga merupakan modal sosial yang senantiasa dijumpai setiap sub- kultur masyarakat. Dalam kerja kolektif tersebut, terdapat kearifan lokal yang tercermin dalam nilai kehidupan sosial yang tinggi diantaranya etos kerja yang tinggi, kepedulian sosial, sepirit perjuangan, dan keorganisasian kerja sama yang kompatible terhadap kemajuan masyarakat. Namun, seiring waktu kekayaan sosial budaya itu semakin luntur bersamaan dengan nilai-nilanya. Tak ada lagi yang begitu peduli dengan masyarakat lainnya, etos kerja semakin rendah, sepirit perjuangan tak lagi memakai prinsip tanpa balas jasa, semua memakai lebel harga. Sungguh kemerosotan modal yang sangat akut bagi bangsa Indonesia.
Titik terpenting dari kemerosostan ini adalah ditinggalkannya berbagai aspek filososfis dan kearifan lokal dari produk budaya itu sendiri (kolektifitas).  Makna terdalam dari filosofi gerakan kolektif adalah harmoni yang terjadi antar individualisme dan berujung pada kepedulian sosial yang tinggi. Dekonstruksi budaya dan kearifan lokal kemudian terjadi pasca modernisasi terhadap kebudayaan, dan dampaknya yaitu Pola hidup komunal bergeser menjadi individual, sehingga  melahirkan dampak kemiskinan dan keterbelakangan yang semakin melebar karena tanpa ada rasa kepedulian sosial.
Dari kemerosostan inilah perlu adanya gerakan yang mampu menyelamatkan nilai-nilai filososfis dan kearifan lokal dari gerakan kolektifitas dan mampu membangun tatanan kehidupan yang lebih baik, terutama untuk menghadapi globalisasi  baik dalam hal ekonomi, budaya dan segi pola pikir. Yang nantinya akan mampu menyeimbangi jalannya perubahan-perubahan dan kemerosotan yang tengah melanda gerakan koeltif tersebut .
Kampung Bathik Sebagai Wujud Glokalisasi
Pasca globalisasi industri, gerakan kolektif telah mengalami masa tenggelam, dimana masyarakat lebih mengadopsi slogan “Efektif-Efesien” sehingga produk budaya yang menjunjung tinggi proses dan segala aspek mistis simbolnya ditinggalkan demi menanggulangi kekangan ekonomis yang disuguhkan industri global.
Gerakan super cepat globalisasi yang menenggelamkan segala produk budaya lokal serta tatanan nilai yang dirakit sejak munculnya bangsa ini, memang perlu dilawan demi kembalinya nilai-nilai dan budaya yang terkandung sejak zaman silam. Rekonstruksi gerakan kolektif perlu dibangun kembali. Budaya kebersamaan perlu ditata ulang, demi terangkatnya kemiskinan, mengedepankan pola pikir dan menghancurkan individualisme serta meningkatkan solidaritas sosial. Melalui gerakan glokalisasi, yaitu gerakan dimana menanamkan nilai-nilai dan mengembalikan keraifan lokal melalui strategi gerakan lokal; memanfaatkan ptensi lokal.
Dalam hal ini, penulis mengambil strategi yang telah diterapkan di Banyumas, selain itu, penulis juga tinggal di Banyumas, dimana potensi lokal berupa Bathik benar-benar di berdayakan, yaitu melalui kampung bathik Banyumas.
Bathik Banyumas, sebagai bentuk kearifan lokal, diawali dari menanamkan mistisime, kemudian mengimplementasikan pola pikir sserta perilaku sosial masyarakat. Selain itu, bathik juga memiliki keunikan dalam mencitrakan budaya masyarakat Banyumas yang menjunjung nilai kebebasan, semangat kerakyatan dan demokrasi, serta sifat cablaka yang menyenangi keterbukaan apa adanya.
Lewat gerakan kampung bathik Banyumas, juga akan terwujud nilai-nilai kearifan lokal dimana nilai itu juga terkandung dalam gerakan kolektif yaitu: duduk bersama, membathik, penuh kesabaran dan saling menghargai serta menghormati, satu pola pikir dan satu rasa demi menciptakan bathik yabng sama indahnya. Lewat membathik tersebut, selain tertanam rasa kebersamaan juga akan tumbuh nilai-nilai solodaritas sosial demi mengangkat kemiskinan kultural. Karena dengan membathik, selain mengembalikan nilai kearifan lokalyang terkandung di dalamnya yaitu (1)bentuk penghormatan dalam masyarakat (kepedulian sosial tercermin dalam setiap membathik ada do’a-do’a yang dirapalkan untuk sipemakai) (3) harmonisasi Individual dan yang ke (4) distribusi ekonomi masyarakat demi mengangkat kemiskinan kultural tanpa mengedepankan egoisitas  yang tinggi, serta mempertahanakan kesatuan dan kebersamaan demi mewujudkan citav-cita bersama. Serta menanggulangi adanya peran globalisasi akut dengan menyelaraskan antara lokaliitas dan modernitas.
Akhirnya, akan tercipta masyarakat yang mampu mempertahanakan solidaritas sosial dan kepedulian sosial yang tinggi, lewat kebersamaan dan kesabaran membathik pula akan tercipta kesabaran, rasa saling menghormati dan gotong royong serta gerakan kolektif demi terwujudnya bathik yang seragam dan indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar