Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

ESAYY


DAKWAH ISLAM KULTURAL: REVITALISASI KONSEP
RAHMATAN LIL’ALAMIN
Oleh: Siti Nur Azizah
STAIN Purwokerto

           
Barangkali tidak ada isu agama yang paling sensitif melebihi perihal kelompok-kelompok dalam islam itu sendiri. Hal tersebut diawali dari masa khalifah setelah wafatnya Nabi Muhamad, dimana kelompok islam tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Hingga kini, kelompok dan beribu-ribu pemahamanpun saling menggeser satu sama lain.
Sebenarnya, Islam tidak melarang adanya kelompok-kelompok tersebut tumbuh dengan pemahamannya sendiri, karena islam  adalah agama yang memiliki ciri khas dan karakter “Tsabat wa Tathowur” berkembang dalam frame yang konsisten, artinya Islam tidak menghalangi adanya perkembangan-perkembangan baru selama hal tersebut dalam kerangka atau farme yang konsisten.[1]
Namun, di era globalisasi yang syarat dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan membuat sebagian penduduk khususnya umat muslim di dunia ini telah lepas dari nilai-nilai humanitas serta religiusitas bahkan mindset dari mereka pun telah melenceng dari apa yang diajarkan Nabi Muhamad. Hal itu ditandai dengan hilangnya rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama (Red kelompok) sehingga yang  terjadi adalah konflik sosial serta benturan pemahaman dimana-mana dan menimbulkan kontradiksi pemahaman yang kronis  terhada suatu permasalahan agama.
            Salah satunya pemahaman  masyarakat tentang agama islam dan Arab. Arab dan Islam adalah dua hal yang berbeda, namun dalam kenyataanya, sering kali masyarakat kita menyamakan dua hal tersebut sehingga timbul kesalahapahaman dalam pola pikir masyarakat
Tidak mengherankankan memang, jika masyarakat berfikiran demikian. Karena jika merujuk pada sejarah, Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Rosulullahpun ketika berdakwah tidak pernah lepas dari kultur arab.  Selain itu, Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia.
Pemahaman tersebut juga didukung  sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya,
“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”
Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab).
selain itu, pemahaman masyarakat juga diperkuat dengan pernyataan  bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). sehingga masyarakat yang tidak benar-benar memahami tentang islam secara mendalam atau bahkan dari mereka kalangan umat tertentu melegitimasi  bahwa islam dan arab adalah hal yang sama dan tak terpisahkan.[2]

DAKWAH  ISLAM KULTURAL
 
 
 Pendekatan kultural perlu dikembangkan sebagai metode dakwah Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syu-hud, setiap negara mempunyai adat dan tradisi berbeda-beda sehingga dengan pendekatan kultural Islam akan mudah diterima, tanpa menghilangkan kebiasaan masyarakat setempat. Dengan demikian, dakwah Islam tak harus diarab-arab-kan karena budaya di setiap negara berbeda.[3]
Di Indonesia pendekatan kultural telah dilakukan oleh Walisongo. Dakwah yang mereka sampaikan tidak memakai cara kekerasan dan pertumpahan darah. Sebaliknya, papar dia, metode yang mereka usung adalah dakwah kultural sesuai dengan tingkat pemahaman, perilaku, dan tradisi yang berlaku waktu itu. Namun, kultur dan adat atau kearifan lokal di suatu daerah diterima selama tak bertentangan dengan Islam.
            Islam berkembang di seluruh belahan dunia dengan merangkul kebudayaan tanpa harus menghilangkannya.Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Zakky Mubarak, mengatakan unsur terpenting dakwah kultural adalah mengedepankan substansi daripada hal-hal yang bersifat simbol atau sisi formal. Meski ia mengaku, sisi formal tetap penting namun unsur substansial tak boleh dikesampingkan.[4]
            Seperti halnya dakwah di era yang semakin maju ini, seperti halnya alat komunikasi serta media masa dan perbedaan adat istiadat serta budaya semakin ketat serta menyebabkan longgarnya ikatan-ikatan dalam kebanyakan organisasi Islam tidak lagi memadai. Terutama dalam konteks cita-cita pengentasan berbagai permasalahan umat. Isu-isu seperti pergaulan bebas antar jenis kelamin, pakaian yang tidak etis, bunga bank, bid’ah dan khurafat,pemerintahan yang korup, hegemoni budaya Barat yang anarkhis, serta isu yang masih sangat hangat tentang Arab dan Islam yang menimbulkan kontradiksi pemahaman yang kronis  terhada suatu permasalahan agama seperti yang digencarkan oleh salah satu gerakan islam yaitu Wahabi.
            Masalah tersebut di atas, sebenarnya, adalah masalah-masalah yang menuntut penyelesaian segera. Bagi kalangan muslim, masalah-masalah tersebut tidak mungkin dapat dituntaskan lewat gerakan dan format dakwah yang longgar, namun format gerakan dakwah kultural yang membumi. Yaitu lewat bahasa, budaya serta semua adat istiadat masyarakat yang menjadi sasaran dakwah tersebut. seperti Nabi Muhamad ketika ,menyebarkan agama islam terdahulu, ia mendakwahkannya tidak semena-mena namun ia benar-benar memahami bagaimana pola hidup bangsa arab, adat-istiadat, seta budaya dan bahasa masyarakatnya. Beliau benar-benar mendalaminya terlebih dahulu.
            Dari yang dicontohkan Nabi tersebut sangtalah jelas, bahwa berdakwah tidaklah sesuai metode sendiri, namun harus melihat pola dan budaya dari masyarakat sasarannya. Di Indonesiapun muncul islam kejawen seperti yang telah dijelaskan di atas dakwah yang dilakukan oleh walisongo mengikuti pola dan budaya masyarakat jawa. Sehingga isu yang berserakan di media masa serta telah menghegemoni masyarakat bahwa islam dan arab adalah satu kesatuan adalah suatu hal yang belum tepat, karena zaman dahulu Nabi berdakwah mengikuti pola hidup masyarakat dan budaya serta adat istiadat arab hanyalah sebagai mediasi dakwahnya.
           
REVITALISASI KONSEP
RAHMATAN LIL’ALAMIN
 
 
            Dengan melihat metode dakwah Nabi, kita dapat berkaca serta dapat melihat adanya nilai-nilai eksternal dan universal ajaran agama. Sebab, dengan wataknya yang adaptif, Islam akan selalu akomodatif dan kompatibel dengan perubahan sosial yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Sebagai refleksi dari perubahan sosial, maka disetiap waktu akan selalu muncul persoalan-persoalan kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa hukum baru. Ini akan dapat diantisipasi bilamana nilai-nilai multidimensional ajaran Islam dapat dipahami secara jernih dan juga diimplementasikan secara konsekuen dan proporsional. Oleh karena itu Islam meposisikan rasio pada martabat yang amat terhormat guna mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam wujud kehidupan riil masyarakat sehari-hari.
            Sebagai agama yang menghargai perbedaan, diferensiasi penafsiran tumbuh subur dalam Islam sesuai watak sumber ajarannya yang memang interpretable. Oleh karena itu perdebatan dan silang pendapat tak dapat dihindarkan dalam mengapresiasi pesan-pesan moral yang terdapat dalam diktum-diktum ajaran agama tersebut. Ini tidak lain merupakan wujud dari pesan-pesan moral jajaran agama itu sendiri untuk membuka wacana intelektual (intellectual discourse) yang segar dan terarah.
Perbedaan pemahaman terdapat ajaran islam dan arab  tersebut bukan hanya dipicu oleh mujmal dan terbatasnya teks agama tersebut melainkan juga karena perbedaan interaksi sosial dan tingkat kemampuan manusia dalam berkomunikasi dengan sumber-sumber ajaran agama terebut. Oleh karenanya, maslahah yang dibimbing berdasarkan wahyu ilahi dan disertai dengan ketajaman analisis dalam menentukan jenis maslahah yang dimaksud harus menjadi acuan dalam merumuskan perbedaan pendapat, karena tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

            Universalitas Islam

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:
“dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
Islam adalah agama yang benar berasal dari Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Berdasarkan pernyataan ini Islam dapat diterima oleh segenap manusia di muka bumi ini.
            Sementara itu, Djaelani dalam bukunya “Islam Rahmatan Lil Alamin, menjelaskan bahwa para ulama’ memberikan pengertian terhadap keuniversalitasan (rahmatan lil alamin) Islam melalui perspektif definisi Islam yang meliputi; pertama, Islam berarti tunduk dan menyerah kepada Allah SWT serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran dengan tidak dipaksa karena ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.
Kedua, Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang aqidah, ahlak, mu’amalat, dan segala berita yang disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada manusia[5].
Salah satu dari kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral  yang  merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu: Hifdzu Din (memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan).
Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil alamin, yang ajaran serta konsep keagamaan tidaklah ekslusif (tertutup), melainkan bersifat inklusif (terbuka). Lima jaminan dasar inilah yang memberikan penmapilan terhadap Islam sebagai agama yang universal, karena jaminan ini tidak hanya diberikan secara parsial terhadap umat manusia yang memeluk agama Islam, melainkan seluruh umat manusia baik secara personal maupun komunal (baca; kelompok).
Konsep Keadilan
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusian dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.
Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan terhadap masyarakat yaitu salah satunya kebebasan dalam berfikir untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yag terus mengalami perubahan sosia serta menaikan derajat kualitas manusia itu sendiri. Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil  tanpa memihak kepada kelompok manapun dalam islam itu sendiri.
Konsep kepedulian dan Kearifan
Sementara itu, universalisme (sifat rahmatan lil alamin) Islam yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Dari sisi kemanusiaan, Islam memberikan konsep pengajaran, bahwasanya Islam adalah agama dari Allah yang berisikan tuntunan hidup yang diwahyukan untuk seluruh umat manusia.
Dari perspektif kemanusiaan inilah Islam dapat dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Karena konsep kemanusian yang tidak memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.


            CLOSING STATEMENT
            Meluruskan pemahaman mengenai islam pada porsi semula  tampaknya merupakan PR bagi siapapun yang mencintai serta peduli terhadap masyarakat muslim lainnya yang tengah bimbang terhadap pemahamannya yang masih terlalu dangkal.  Tantangan semacam itu, merupakan tantangan yang musti dijawab oleh ormas-ormas keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, Perti, Persis, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Darud-Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, dan Hidayatullah. Semua ormas ini, sejak berdirinya menetapkan diri sebagai jam'iyyah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial, serta para ulama yang tidak ingin mengalami pergeseran pemahaman masyarakatnya mengenai metode dakwah ataupun tentang islam itu sendiri, sehingga tidak ada lagi wacana arab dan islam adalah dua hal yang sama masyarakat kita menyamakan dua hal tersebut sehingga timbul kesalahapahaman dalam pola pikir masyarakat.
            Dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhamad erat kaitannya dengan dengan waktu, tempat serta keadaanya. Yaitu bangsa Arab dengan tetek bengek budayannya. Jika zaman dahulu Nabi hidup di Indonesiapun akan melakukan dakwahnya menggunakan bahasa Indonesia serta semua tradisi yang ada di jawa seperti yang telah dilakukan oleh wali sanga yang salah satunya menggunakan wayang, gamelan dll.
            Melalui budaya, bahasa adat istiadat, para utusan Alloh telah berhasil mendakwahkan islam, kita sebagai umat muslim wajib meneruskan dakwahnya di era globalisasi ini tentunya dengan cara yang berbeda serta mediasi yang berbeda pula namun tidak meninggalkan cara yang lama pula. Agar tercipta keseimbangan serta terjaganya hubungan hablum minnallah (hubungan dengan Alloh), hablum minnanas (hubungan dengan manusia), dan hablum minnal alam (hubungan dengan alam), menonjolkan pesan kasih sayang, humanisme dan menepis anggapan bahwa islam adalah satu kesatuan dengan arab. mari kita tunjukan bahwa Islam adalah rahmatan lil.alamin, rahmat bagi seluruh alam. Wallohu alam bish-shawab
 


DAFTAR BACAAN


Djaelani, M. Bisri, 2005. “Islam Rahmatan Lil Alamin”. Yogyakarta; Warta Pustaka.

Hasim, M. Nur, “Universalitas Islam”, makalah yang disampaikan dalam acara MaPABa PMII Koms. Ngalah Universitas Yudharta Pasuruan, 07 09Desember 2007.

Hilton, Robert C. 1998. Globalization and The Nation State, New York: MacMillan Press

Imron, D. Zawawi, “Wawasan Kepahlawanan”, kolom budaya Jawa Pos, 02 Desember 2007, hal: 11

Jurnal Nizamia. 2005. “Kekerasan Bernuansa Agama di Indonesia dan Konsekuensi Pilihan Materi Pendidikan Agam” Suarabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Majalah Syir’ah, “Menghibur dengan Alam Kubur” edisi Mei/2005. hal 3 – 16

Mursanto, R.B. Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama” dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (peny. Tim Driyarkara), Yogyakarta: Kanisius

Rais, Amin 1997. “Kata Pengantar” dalam David Sagiv, Islam: Otensitas Liberalisme. Yogyakarta: LKiS.

Tim PP Muhamadiyah. Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah, 2002, diperkaya dengan prasaran dari Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah.

Utomo,


[1] Mursanto, R.B. Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama” dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (peny. Tim Driyarkara), Kanisius, Yogyakarta. Hal. 87.

[2] Hilton, Robert C. 1998. Globalization and The Nation State, New York: MacMillan Press.
 Hal. 140.

   [3] Www. Islam Kultural.Com. diunduh Agustus 2011.
   [4] Ibid
[5] Djaelani, M. Bisri, 2005. “Islam Rahmatan Lil Alamin”. Yogyakarta; Warta Pustaka.Hal. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar