DAKWAH ISLAM KULTURAL:
REVITALISASI KONSEP
RAHMATAN LIL’ALAMIN
Oleh:
Siti Nur Azizah
STAIN
Purwokerto
Barangkali tidak ada isu agama yang paling
sensitif
melebihi perihal kelompok-kelompok dalam islam itu sendiri. Hal tersebut
diawali dari masa khalifah setelah wafatnya Nabi Muhamad, dimana kelompok islam
tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Hingga kini, kelompok dan beribu-ribu
pemahamanpun saling menggeser satu sama lain.
Sebenarnya, Islam tidak melarang adanya
kelompok-kelompok tersebut tumbuh dengan pemahamannya sendiri, karena islam adalah agama yang memiliki ciri khas dan
karakter “Tsabat wa Tathowur” berkembang dalam frame yang konsisten,
artinya Islam tidak menghalangi adanya perkembangan-perkembangan baru selama
hal tersebut dalam kerangka atau farme yang konsisten.[1]
Namun, di era globalisasi yang syarat dengan
perkembangan zaman yang semakin pesat dan membuat sebagian penduduk khususnya
umat muslim di dunia ini telah lepas dari nilai-nilai humanitas serta
religiusitas bahkan mindset dari mereka pun telah melenceng dari apa yang
diajarkan Nabi Muhamad. Hal itu ditandai dengan hilangnya rasa saling
menghormati dan menghargai antar sesama (Red kelompok) sehingga yang terjadi adalah konflik sosial serta benturan
pemahaman dimana-mana dan menimbulkan kontradiksi
pemahaman yang kronis terhada suatu permasalahan agama.
Salah
satunya pemahaman masyarakat tentang
agama islam dan Arab. Arab dan Islam adalah dua
hal yang berbeda, namun dalam kenyataanya, sering kali masyarakat kita
menyamakan dua hal tersebut sehingga timbul kesalahapahaman dalam pola pikir
masyarakat
Tidak mengherankankan memang, jika
masyarakat berfikiran demikian. Karena jika merujuk pada sejarah, Arab Saudi
merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena
di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji
kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari
wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula
hingga menjadi peradaban besar dunia. Rosulullahpun ketika berdakwah tidak
pernah lepas dari kultur arab. Selain
itu, Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena
di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah
dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari
seluruh dunia.
Pemahaman tersebut juga didukung sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah
ketika menafsirkan surat
Yusuf ayat 2, yang artinya,
“Sesungguhnya Kami telah jadikan
Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”
Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang
paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia.
Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada
Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam)
dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab).
selain itu, pemahaman masyarakat juga diperkuat
dengan pernyataan bahwa bahasa arab
adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih
dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini
sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar
Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf
yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). sehingga
masyarakat yang tidak benar-benar memahami tentang islam secara mendalam atau
bahkan dari mereka kalangan umat tertentu melegitimasi bahwa islam dan arab adalah hal yang sama dan
tak terpisahkan.[2]
DAKWAH ISLAM KULTURAL
Pendekatan kultural perlu dikembangkan sebagai metode dakwah Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syu-hud, setiap negara mempunyai adat dan tradisi berbeda-beda sehingga dengan pendekatan kultural Islam akan mudah diterima, tanpa menghilangkan kebiasaan masyarakat setempat. Dengan demikian, dakwah Islam tak harus diarab-arab-kan karena budaya di setiap negara berbeda.[3]
Di Indonesia pendekatan kultural telah
dilakukan oleh Walisongo. Dakwah yang mereka sampaikan tidak memakai cara
kekerasan dan pertumpahan darah. Sebaliknya, papar dia, metode yang mereka
usung adalah dakwah kultural sesuai dengan tingkat pemahaman, perilaku, dan
tradisi yang berlaku waktu itu. Namun, kultur dan adat atau kearifan lokal di
suatu daerah diterima selama tak bertentangan dengan Islam.
Islam berkembang di
seluruh belahan dunia dengan merangkul kebudayaan tanpa harus
menghilangkannya.Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU),
Zakky Mubarak, mengatakan unsur terpenting dakwah kultural adalah mengedepankan
substansi daripada hal-hal yang bersifat simbol atau sisi formal. Meski ia
mengaku, sisi formal tetap penting namun unsur substansial tak boleh
dikesampingkan.[4]
Seperti halnya
dakwah di era yang semakin maju ini, seperti halnya alat komunikasi serta media
masa dan perbedaan adat istiadat serta budaya semakin ketat serta menyebabkan longgarnya
ikatan-ikatan dalam kebanyakan organisasi Islam tidak lagi memadai. Terutama
dalam konteks cita-cita pengentasan berbagai permasalahan umat. Isu-isu
seperti menimbulkan
kontradiksi pemahaman yang kronis terhada suatu permasalahan agama
seperti yang digencarkan oleh salah satu gerakan islam yaitu Wahabi.
Masalah tersebut di atas, sebenarnya, adalah
REVITALISASI KONSEP
RAHMATAN LIL’ALAMIN
Dengan melihat metode dakwah Nabi, kita dapat berkaca serta dapat
melihat adanya nilai-nilai eksternal dan universal ajaran agama. Sebab, dengan
wataknya yang adaptif, Islam akan selalu akomodatif dan kompatibel dengan
perubahan sosial yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Sebagai refleksi
dari perubahan sosial, maka disetiap waktu akan selalu muncul
persoalan-persoalan kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa hukum baru. Ini akan
dapat diantisipasi bilamana nilai-nilai multidimensional ajaran Islam dapat
dipahami secara jernih dan juga diimplementasikan secara konsekuen dan
proporsional. Oleh karena itu Islam meposisikan rasio pada martabat yang amat
terhormat guna mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam wujud
kehidupan riil masyarakat sehari-hari.
Sebagai agama yang
menghargai perbedaan, diferensiasi penafsiran tumbuh subur dalam Islam sesuai
watak sumber ajarannya yang memang interpretable. Oleh karena itu perdebatan
dan silang pendapat tak dapat dihindarkan dalam mengapresiasi pesan-pesan moral
yang terdapat dalam diktum-diktum ajaran agama tersebut. Ini tidak lain
merupakan wujud
dari pesan-pesan moral jajaran agama itu sendiri untuk membuka wacana
intelektual (intellectual discourse) yang segar dan terarah.
Perbedaan pemahaman terdapat ajaran islam
dan arab tersebut bukan hanya dipicu
oleh mujmal dan terbatasnya teks agama tersebut melainkan juga karena
perbedaan interaksi sosial dan tingkat kemampuan manusia dalam berkomunikasi dengan
sumber-sumber ajaran agama terebut. Oleh karenanya, maslahah yang
dibimbing berdasarkan wahyu ilahi dan disertai dengan ketajaman analisis dalam
menentukan jenis maslahah yang dimaksud harus menjadi acuan dalam
merumuskan perbedaan pendapat, karena tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk
tegaknya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Universalitas Islam
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad
SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam
dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat
107:
“dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad)
melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
Islam adalah agama yang benar berasal dari
Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat
tertentu. Lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Berdasarkan
pernyataan ini Islam dapat diterima oleh segenap manusia di muka bumi ini.
Sementara itu,
Djaelani dalam bukunya “Islam Rahmatan Lil Alamin, menjelaskan bahwa para
ulama’ memberikan pengertian terhadap keuniversalitasan (rahmatan lil alamin)
Islam melalui perspektif definisi Islam yang meliputi; pertama, Islam berarti
tunduk dan menyerah kepada Allah SWT serta mentaati-Nya yang lahir dari
kesadaran dengan tidak dipaksa karena ketundukan yang seperti itu tanpa
perhitungan pahala dan dosa.
Kedua, Islam adalah kumpulan peraturan yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung
peraturan-peraturan tentang aqidah, ahlak, mu’amalat, dan segala berita yang
disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan
kepada manusia[5].
Salah satu dari kumpulan peraturan tersebut
adalah acuan moral yang merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an
agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk
mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu: Hifdzu Din (memelihara
kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu
Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak
hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan).
Kelima prinsip dasar inilah yang juga
menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil alamin, yang ajaran
serta konsep keagamaan tidaklah ekslusif (tertutup), melainkan bersifat
inklusif (terbuka). Lima jaminan dasar inilah yang memberikan penmapilan
terhadap Islam sebagai agama yang universal, karena jaminan ini tidak hanya
diberikan secara parsial terhadap umat manusia yang memeluk agama Islam,
melainkan seluruh umat manusia baik secara personal maupun komunal (baca;
kelompok).
Konsep Keadilan
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan
kemanusian dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam
adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam
memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perorangan maupun
masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan,
nasional dan internasional.
Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti
pemberdayaan terhadap masyarakat yaitu salah satunya kebebasan dalam berfikir
untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yag terus
mengalami perubahan sosia serta menaikan derajat kualitas manusia itu sendiri.
Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil tanpa memihak kepada kelompok manapun dalam
islam itu sendiri.
Konsep kepedulian dan Kearifan
Sementara itu, universalisme (sifat rahmatan
lil alamin) Islam yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian
kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang
muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Dari sisi kemanusiaan, Islam memberikan
konsep pengajaran, bahwasanya Islam adalah agama dari Allah yang berisikan
tuntunan hidup yang diwahyukan untuk seluruh umat manusia.
Dari perspektif kemanusiaan inilah Islam
dapat dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, atau agama yang
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Karena konsep kemanusian yang tidak
memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu
maupun kelompok.
CLOSING STATEMENT
Meluruskan pemahaman mengenai islam pada porsi semula tampaknya merupakan PR bagi siapapun yang
mencintai serta peduli terhadap masyarakat muslim lainnya yang tengah bimbang
terhadap pemahamannya yang masih terlalu dangkal. Tantangan semacam itu, merupakan tantangan
yang musti dijawab oleh ormas-ormas keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, NU,
al-Washliyah, Perti, Persis, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Darud-Dakwah
wal-Irsyad, al-Khairat, dan Hidayatullah. Semua ormas ini, sejak berdirinya
menetapkan diri sebagai jam'iyyah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial,
serta para ulama yang tidak ingin mengalami pergeseran pemahaman masyarakatnya
mengenai metode dakwah ataupun tentang islam itu sendiri, sehingga tidak ada
lagi wacana arab dan islam adalah dua hal yang sama masyarakat kita menyamakan
dua hal tersebut sehingga timbul kesalahapahaman dalam pola pikir masyarakat.
Dakwah yang
dilakukan oleh Nabi Muhamad erat kaitannya dengan dengan waktu, tempat serta
keadaanya. Yaitu bangsa Arab dengan tetek bengek budayannya. Jika zaman
dahulu Nabi hidup di Indonesiapun akan melakukan dakwahnya menggunakan bahasa
Indonesia serta semua tradisi yang ada di jawa seperti yang telah dilakukan
oleh wali sanga yang salah satunya menggunakan wayang, gamelan dll.
Melalui budaya,
bahasa adat istiadat, para utusan Alloh telah berhasil mendakwahkan islam, kita
sebagai umat muslim wajib meneruskan dakwahnya di era globalisasi ini tentunya
dengan cara yang berbeda serta mediasi yang berbeda pula namun tidak
meninggalkan cara yang lama pula. Agar tercipta keseimbangan serta terjaganya
hubungan hablum minnallah (hubungan dengan Alloh), hablum minnanas (hubungan
dengan manusia), dan hablum minnal alam (hubungan dengan alam),
menonjolkan pesan kasih sayang, humanisme dan menepis anggapan bahwa islam
adalah satu kesatuan dengan arab. mari kita tunjukan bahwa Islam adalah rahmatan
lil.alamin, rahmat bagi seluruh alam. Wallohu alam bish-shawab
DAFTAR BACAAN
Djaelani,
M. Bisri, 2005. “Islam Rahmatan Lil Alamin”. Yogyakarta; Warta Pustaka.
Hasim,
M. Nur, “Universalitas Islam”, makalah yang disampaikan dalam acara
MaPABa PMII Koms. Ngalah Universitas Yudharta Pasuruan, 07 09Desember 2007.
Hilton,
Robert C. 1998. Globalization and The Nation State, New York: MacMillan Press
Imron,
D. Zawawi, “Wawasan Kepahlawanan”, kolom budaya Jawa Pos, 02 Desember
2007, hal: 11
Jurnal
Nizamia. 2005. “Kekerasan Bernuansa Agama di Indonesia dan Konsekuensi
Pilihan Materi Pendidikan Agam” Suarabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel Surabaya.
Majalah Syir’ah, “Menghibur dengan Alam Kubur” edisi
Mei/2005. hal 3 – 16
Mursanto,
R.B. Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama” dalam Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (peny. Tim Driyarkara), Yogyakarta:
Kanisius
Rais,
Amin 1997. “Kata Pengantar” dalam David Sagiv, Islam: Otensitas
Liberalisme. Yogyakarta: LKiS.
Tim
PP Muhamadiyah. Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah, 2002,
diperkaya dengan prasaran dari Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah.
[1] Mursanto, R.B. Riyo. 1993. “Peter
Berger Realitas Sosial Agama” dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (peny. Tim
Driyarkara), Kanisius, Yogyakarta. Hal. 87.
Hal. 140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar