KAMPUNG
BATHIK BANYUMAS : GERAKAN
GLOKALISASI
KOLEKTIF
OLEH:
SITI NUR AZIZAH
STAIN
PURWOKERTO
Apakah yang kita rasakan bila budaya kolektif yang selama ini menjadi pilar kejayaan bangsa mulai pudar?
Kita pasti akan merasa sangat kesulitan dan tertatih-tatih dalam membangun
bangsa ini. Terutama dalam membangun kesejahteraan Indonesia, yang akhir-akhir
ini, kemiskinan serta globalisasi dengan segala tetek-bengek gejalanya, menjadi
masalah krusial bagi bangsa. Pembenahan demi pembenahan harus benar-benar segera
terwujud aplikasinya! Namun, keterbalikan nyata telah terjadi, bukan wujud
pembenahan yang mereka sajikan, namun kemiskinan global yang dipersembahkan.
Dari hal tersebut, terlihat jelas, bahwa hotong royong, kolektifitas, dan
persatuan harus di perkuat pondasinya.
Cuaca Budaya kolektifitas kita
Diawali Gerakan
Rakyat Indonesia (GRI) yaitu organisasi kerakyatan yang mempunyai cita-cita
perjuangan membangun Indonesia yang berdaulat dalam bidang politik, berdikari
dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan yang berdiri
diatas masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku,
agama, dan ras. Tentu dalam mencapai hal tersebut
diperlukan kerja-kerja bersama atau kolektif sebagai ciri khas atau karakter
dari bangsa Indonesia.
Budaya kolektivitas adalah bagian dari pada
ideologi kita. Filsafat hidup Rakyat Pekerja adalah kolektif, bekerjasama,
kolektif. Bayangkan saja misalnya di sebuah pabrik kain atau baju,
masing-masing buruh bekerja semaunya tentu tidak akan menghasilkan baju yang diinginkan. Jadi
budaya kerja secara kolektif adalah budaya kaum pekerja. Berbeda dengan kaum
pemodal atau biasa disebut ”Bos”. Mereka hanya mencari keuntungan sendiri tanpa
mementingkan nasib buruhnya. Jadi kolektivitas bertentangan dengan
individualis, ideologi kaum liberalis. Budaya kolektivitas ini harus selalu
menjadi program, sikap dan perilaku kita dalam bertindak. Tapi, gerakan yang diperjuangkan oleh rakyat
Indonesia, sekarang terasa telah semakin luntur dan jauh dari masyarakat.
Memang, bukan soal mudah
untuk mengubah atau bahkan mengembalikan dari sebuah kondisi ke kondisi lain yang
dirasa lebih baik. Terlebih lagi jika mengubah kondisi
ke arah yang lebih baik yang dimaksud tersebut harus berhubungan dengan banyak
orang, dalam artian, mengubah kondisi masyarakat. “Merekayasa” masyarakat,
tentunya lebih rumit daripada sekadar mengubah kondisi orang per orang. Lebih
kompleks lagi sifatnya jika rekayasa yang dilakukan berkaitan dengan mengubah
pola pikir, tindakan dan budaya. Tapi, bukankah
akan lebih parah jika suatu perubahan tidak ditelateni sejak sekarang?
Abad 21,
dimana dikenal dengan abad kompetitif, adalah sebagai salah satu pemicu
lunturnya budaya kolektif tersebut, selain itu masyarakat indonesia lebih mulai
terjamah globalisasi yang tengah beramai-ramai menghujani tanah Indonesia,
hingga masyarakat awamlah yang menjadi korban pengadopsinya. Terlebih,
masyarakat telah mentah-mentah menelan pengaruh budaya barat dan modern yang lebih individualis dan lebih
menghargai persaingan bebas serta survival of the fites, telah merubah budaya
kolektif yang asli, .menjadi lebih egoistis, individualistis dan profit oriented. Akhirnya, masyarakat yang tidak memiliki keunggulan comperative dan
keunggulan competitive menjadi tersingkir dan terpinggirkan.
Sungguh sangat ironis, seandainya saja, seluruh bangsa Indonesia yang berjumlah
lebih dari 220 juta manusia, mampu memahami gerakan kolektif secara benar, maka
yang terjadi adalah, mereka akan secara sukarela menyumbangkan apa saja yang
menjadi keungggulan bagi perbaikan
kehidupan berbangsa dan bernegara, akan sangat mudah menyelesaikan seluruh
krisis multidimensi yang tengah melanda bangsa ini. Namun sangat disayangkan sebuah
keterbalikan nyata yang telah terjadi, mayoritas masyarakat Indonesia
berbodong-bondong melakukan korupsi berjamaah, mereka justru bekerjasama
meminta, mengambil, mencuri, merampok, menipu, memanipulasi semua hal yang
berada dalam kewenangannya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya
saja, dengan mengedepankan egoisitas yang tinggi, individualisme yang
dikedepankan tanpa memikirkan masyarakat yang membutuhkan. Dan pada akhirnya
Indonesia benar-benar kehilangan jati dirinya, mengedepankan gotong royong dan
gerakan kolektifitas demi satu tujuan, membangun bangsa adil makmur loh
jinawih.
Tergerusnya
kearifan lokal Gerakan kolektif
Budaya senantiasa berangkat dari sejarah, yang kemudian
membentuk produk-produk yang menjelaskan sebuah evolusi panjang telah terjadi. Artefak,
perilaku sosial, dan sistem nilai merupakan produk tersebut. Semua produk
budaya berasas pada pola kearifan lokal yang berasal dari manusia dengan segala
pemahaman dan pola pikirnya. Kearifan lokal yang bermula dari kognisi untuk
bertindak dan bersikap dalam suatu
peristiwa, kemudian membentuk ekspresi beragam berupa adat, karya seni, hingga
pola pikir manusia pun terbentuk dari kearifan lokal tersebut. Sebuah sinergi
ditunjukkan keduanya: kearifan lokal mengintervensi evolusi budaya, dan karya
budaya melukiskan bentuk kearifan lokal yang khas di setiap daerah.begitu pula
dengan gerakan kolektif.
Gerakan kolektif, sebenarnya bukan hanya merupakan
kekayaan sosial budaya namun juga merupakan modal sosial yang senantiasa
dijumpai setiap sub- kultur masyarakat. Dalam kerja kolektif tersebut, terdapat
kearifan lokal yang tercermin dalam nilai kehidupan sosial yang tinggi
diantaranya etos kerja yang tinggi, kepedulian sosial, sepirit perjuangan, dan
keorganisasian kerja sama yang kompatible terhadap kemajuan masyarakat. Namun,
seiring waktu kekayaan sosial budaya itu semakin luntur bersamaan dengan
nilai-nilanya. Tak ada lagi yang begitu peduli dengan masyarakat lainnya, etos
kerja semakin rendah, sepirit perjuangan tak lagi memakai prinsip tanpa balas
jasa, semua memakai lebel harga. Sungguh kemerosotan modal yang sangat akut
bagi bangsa Indonesia.
Titik terpenting dari
kemerosostan ini adalah ditinggalkannya berbagai aspek filososfis dan kearifan
lokal dari produk budaya itu sendiri (kolektifitas). Makna terdalam dari filosofi gerakan kolektif
adalah harmoni yang terjadi antar individualisme dan berujung pada kepedulian
sosial yang tinggi. Dekonstruksi budaya dan kearifan lokal kemudian terjadi
pasca modernisasi terhadap kebudayaan, dan dampaknya yaitu Pola hidup komunal
bergeser menjadi individual, sehingga melahirkan
dampak kemiskinan dan keterbelakangan yang semakin melebar karena tanpa ada
rasa kepedulian sosial.
Dari kemerosostan inilah
perlu adanya gerakan yang mampu menyelamatkan nilai-nilai filososfis dan
kearifan lokal dari gerakan kolektifitas dan mampu membangun tatanan kehidupan
yang lebih baik, terutama untuk menghadapi globalisasi baik dalam hal ekonomi, budaya dan segi pola
pikir. Yang nantinya akan mampu menyeimbangi jalannya perubahan-perubahan dan
kemerosotan yang tengah melanda gerakan koeltif tersebut .
Kampung
Bathik Sebagai Wujud Glokalisasi
Pasca globalisasi industri, gerakan kolektif telah
mengalami masa tenggelam, dimana masyarakat lebih mengadopsi slogan
“Efektif-Efesien” sehingga produk budaya yang menjunjung tinggi proses dan
segala aspek mistis simbolnya ditinggalkan demi menanggulangi kekangan ekonomis
yang disuguhkan industri global.
Gerakan super cepat globalisasi yang menenggelamkan
segala produk budaya lokal serta tatanan nilai yang dirakit sejak munculnya
bangsa ini, memang perlu dilawan demi kembalinya nilai-nilai dan budaya yang
terkandung sejak zaman silam. Rekonstruksi gerakan kolektif perlu dibangun
kembali. Budaya kebersamaan perlu ditata ulang, demi terangkatnya kemiskinan,
mengedepankan pola pikir dan menghancurkan individualisme serta meningkatkan
solidaritas sosial. Melalui gerakan glokalisasi, yaitu gerakan dimana
menanamkan nilai-nilai dan mengembalikan keraifan lokal melalui strategi
gerakan lokal; memanfaatkan ptensi lokal.
Dalam hal ini, penulis mengambil strategi yang telah
diterapkan di Banyumas, selain itu, penulis juga tinggal di Banyumas, dimana
potensi lokal berupa Bathik benar-benar di berdayakan, yaitu melalui kampung
bathik Banyumas.
Bathik Banyumas, sebagai bentuk kearifan lokal, diawali
dari menanamkan mistisime, kemudian mengimplementasikan pola pikir sserta
perilaku sosial masyarakat. Selain itu, bathik juga memiliki keunikan dalam
mencitrakan budaya masyarakat Banyumas yang menjunjung nilai kebebasan,
semangat kerakyatan dan demokrasi, serta sifat cablaka yang menyenangi
keterbukaan apa adanya.
Lewat gerakan kampung bathik Banyumas, juga akan terwujud
nilai-nilai kearifan lokal dimana nilai itu juga terkandung dalam gerakan
kolektif yaitu: duduk bersama, membathik, penuh kesabaran dan saling menghargai
serta menghormati, satu pola pikir dan satu rasa demi menciptakan bathik yabng
sama indahnya. Lewat membathik tersebut, selain tertanam rasa kebersamaan juga
akan tumbuh nilai-nilai solodaritas sosial demi mengangkat kemiskinan kultural.
Karena dengan membathik, selain mengembalikan nilai kearifan lokalyang
terkandung di dalamnya yaitu (1)bentuk penghormatan dalam masyarakat
(kepedulian sosial tercermin dalam setiap membathik ada do’a-do’a yang
dirapalkan untuk sipemakai) (3) harmonisasi Individual dan yang ke (4)
distribusi ekonomi masyarakat demi mengangkat kemiskinan kultural tanpa
mengedepankan egoisitas yang tinggi, serta
mempertahanakan kesatuan dan kebersamaan demi mewujudkan citav-cita bersama.
Serta menanggulangi adanya peran globalisasi akut dengan menyelaraskan antara
lokaliitas dan modernitas.
Akhirnya, akan tercipta masyarakat yang mampu
mempertahanakan solidaritas sosial dan kepedulian sosial yang tinggi, lewat
kebersamaan dan kesabaran membathik pula akan tercipta kesabaran, rasa saling
menghormati dan gotong royong serta gerakan kolektif demi terwujudnya bathik
yang seragam dan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar