Dalam Halaman Kenangan
Tuhan, Engkau
memang teragung. Berbicara lewat misteri yang pasti terlampaui. Lewat malaiakat
sang pelukis kejadian selama jangka waktu.
***
Mungkin kesunyian adalah daun yang semena-mena berserakan. Hingga
makam di ziarahi dengan hening yang bersatu padu dengan setiap halaman
kenangan. Serta angin yang menerpa pohon bambu di sekitar, adalah suara resah
yang tertorehkan. Taman-taman kerinduan benar-benar terbangun, hingga tak mampu
lagi tersembunyi nada-nada gelisah. Walau kerinduanpun tinggal sepenggal
kenangan, yang dijaga kolom-kolom ingatan. Segalanya bisa saja terbongkar, dan
kembali memutar rekaman peristiwa. Meski tak akan sejelas masa silam. Meski
meninggalkan rasa sakit yang ,maha dahsyat.
Fahita,
perempuan yang jelita. Dan kini lebih banyak bercerita dengan diamnya. Setelah
beberapa hari bersama dengan helai dedaunan, berbatang-batang ranting yang
selalu ia pandang juga berlembar-lembar daun talas yang setia menjadi kawan
senyumnya. Hingga semua seperti tak jelas jua. Apa sudah cukup meneduhkan
hatinya, atau telah mampu menemaninya dari kesunyian. Ah, musim sunyi mengapa
datang bersama kerinduanya pada mentari hatinya. Mengapa tak datang ketika ia
telah mampu menutup semua lembaran-lembaran bersama raganya, mengapa jua tak
datang ketika ia telah mampu menutup halaman-halaman kenangan bersamanya.
Bersama raganya yang kini hanya tinggal di balik epitaf. Atau tak kunjung tiba
ketika ia punya beberapa niat menutupnya walau selalu gagal dan gagal hingga ia
harus terkapar dalam halaman-halaman masa silam.
Karena ketika Fahita kangen dengan Mentari
hatinya, ia bisa tak menghiraukan apapun urusan dunia apalagi yang menyangkut
atas nama laki-laki. Ada cinta yang
lebih dahsyat dari apapun yang harus dinyatakannya, yaitu lewat menziarahi
makamnya.
Buku bacaan yasin yang sedari tadi ia
singkap tampak semakin menguning
halaman-halamannya, itu adalah kenangan dari kekasihnya ketika mereka
sama-sama belajar di sekolah yang sama. Sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah, sekolah
berbasis agama atau setaraf dengan SMA. Tasbih yang biasa ia genggam ia biarkan
tergeletak di tanah. Di hadapan makam kekasihnya, Fahita lelah. Karena
fikirannya tak kunjung terhenti mengingatkannya pada masa dua tahun silam. Tapi ia sudah tak peduli dan
tak ambil pusing dengan lelah yang semakin menjamahnya. Diteruskannya acara
ziarah di makam kekasihnya. Dengan memeluk epitaf yang hanya bertuliskan
segaris nama penuh cinta: Zein Diya Ulhaq.
Zein Diya Ulhaq laki-laki yang kini membuatnya
terkulai di hadapan epitaf tak bernada hanya bernama sepenggal. Memang lelaki yang menurut kasat mata
sempurna. Kecacatan fisik hampir tidak ia miliki. Putih, hidung mancung dan
rambut yang lurus serta hitam bercahaya menjadi pelengkapnya. Pendiam dan
berotak cerdas menjadikannya ekstra ordinary. Mereka bertemu pada saat bersama-sama mendaftarkan
diri sebagai siswa di Madrasah Aliyah yang ternama di Kebumen. Tak sengaja hampir memang
tak sengaja mereka berkenalan dan akhirnya menjadi kawan di sekolah mereka yang
baru.
Menjadi
siswa tingkat SMA memang menyimpan kesenangan tersendiri bagi Fahita. ia merasa
sudah semakin dewasa. Awalnya, hari-hari yang ia lalui berjalan dengan begitu
biasa, bahkan tak ada tanda-tanda untuk mengenal rasa cinta. Namun, setelah
beberapa bulan, melewati dua semester ia mengenal dengan bahasa hati.
Hingga
semua kini terasa tinggal sisa yang teragungkan dalam hati. Bahasa cinta yang
ia kenal lewat tatapan mata, bahasa cinta yang ia kenal lewat nurani membuatnya
semakin dekat dengan laki-laki yang membuatnya semakin bergairah meniti hari. Perjalanan
cinta yang membuatnya berbinar ketika berceloteh dengan mentari timur,
perjalanan cinta yang membuatnya begitu semangat ketika menyambut dan bicara
lewat nada-nada bintang.
Suatu ketika dulu, saat liburan sekolah tiba,
saat kenaikan kelas dua, Fahita bersama teman satu kelasnya mengadakan tour ke
Pantai Bocor yang ada di Kebumen bagian selatan. Menggunakan satu buah bis
mereka bersuka ria di hiasi dengan canda tawa hendak menantap pantai yang
indah. Perjalanan hanya menghabiskan waktu hampir empat puluh lima menit, dan
akhirnya mereka sampai di parkiran pesisir pantai Bocor.
“Anak-anak
kita hanya punya waktu sekitar dua jam disini, gunkanlah dengan baik dan
renungkan keindahan alam yang tercipta ini” ucap Bu Tintin guru bahasa
Indonesia kelas Fahita, yang sekaligus Bu Tintin adalah wali kelasnya.
“Bu,
apa kita boleh slybond?” Tanya salah satu siswa yang bernama Anton.
“Boleh
tapi hati-hati yah”
Semua
siswa dengan riuhnya menyatu dengan banyu biru. Tak terkecuali Zein, yang
sedari tadi hanya duduk di antara karang-karang dan tatapan matanya justru
berceloteh dengan sang bayu yang mengibarkan rambut hitamnya. Namun, hatinya
tak bisa menyatu dengan alam yang mengajaknya bercerita, jiwanya tak mampu
menyatu dengan sang bayu yang mengajaknya bermain-main dengan aroma segarnya.
Hatinya
justru melukis wajah indah yang kini ada di hadapanya, berjarak tiga meter.
Wajah yang begitu indah hingga menggetarkan jiwanya. Sudah hampir lima bulan ia
hanya menyimpan lukisan wajah itu dalam hati terdalamnya. Karena ia takut semua
tak sesuai harapannya.
Fahita,
andaikan halaman hidupku tersisa hanya tinggal satu lembar, ingin kuisi semua
baris-barisnya dengan lukisan wajahmu dan sebait namamu. Dan juga ingin aku
tuliskan kalau aku juga punya sebaris tentang cinta. Tapi justru lisanku beku
dan hatiku merasa samar ingin menjerat hatimu. Selindung benak, lebih
kencang berteriak, mewakili gerak lidahnya yang kelu sejak tadi.
Zein
sebenarnya merasa tersiksa karena memendam semua yang seharusnya tak ia pendam.
Kehadiran demi kehadiran cinta di hatinya seolah garis-garis yang memaksanya
untuk segera bercerita dengan hati Fahita. Ia masih tak mampu.
“Aku
tak selamanya mampu seperti ini, aku harus segera mengungkapkan semua ini. Aku tak
kuat jika harus terus-terusan menggantung cinta ini di langit-langit hatiku.
Walau harapanku tipis setipis kapas yang berterbangan diterpa sang bayu, aku
tidak akan peduli, satu hal yang ingin aku lakukan. BICARA” hati Zein kini
bertekad.
Seolah-olah
hatinya pun ikut bicara, bahwa memiliki cinta itu tak salah, dan pada akhirnya
iapun takan pernah bisa lari dari cinta. Ia semakin merasa setiap kali ia
menjauh dan lari sekencang-kencangnya dari cinta, maka cinta akan lebih cepat memburunya
dan kembali merasuk ke dalam hatinya. Jika tiba-tiba cintanya merasa akan kandas karena
luka tak mampu mengetuk pintu hati Fahita, tiba-tiba dari hati yang terdalamnya
pun menyeruak berkata tentang cinta dengan nada yang halus dan lembut. Hingga
akhirnya ia tak mampu lagi untuk berbuat apa-apa. Ia kini tak berdaya dengan
apa yang disebut cinta.
“Fahita,
mengapa kamu tak ikut bercanda dengan banyu biru itu?” Tanya Zein yang sengaja
mendekatinya.
“Eh,
Zein ia neh, Fahita tidak begitu berminta masih ingin merasakan sapuan lembut
sang bayu di pesisir pantai ini.” jawabnya,
“Mengapa
kamu tidak juga bergabung dengan mereka?” lanjut Fahita bertanya.
“Aku
sama denganmu, tidak begitu ingin, lebih baik di sini”Mendengar jawaban itu,
Fahita hanya mengerlingkan matanya sebentar lalu tersenyum dan kembali menatap
banyu biru yang ada di hadapannya. Ombaknya kecil namun berlarian dan saling
berkerjaran untuk sampai di tepian.
“Fahita, aku ingin berkata sesuatu, maukah kau
mendengarkannya?” tanya Zein agak ragu. Lalu Fahita megangguk tanda ia
mengiyakan.
“Andaikan aku mempunyai rasa terhadapmu, apa yang akan
kau lakukan terhadapku?” Fahita bingung dan masih terdiam, lalu Zein
melanjutkan ucapannya.
“Telah lebih dari beberapa bulan aku melukis nama dan
wajahmu dalam hatiku, aku hanya ingin tidak munafik terhadap diriku sendiri,
kalau aku memang telah lama tertarik denganmu dan kini rasa ketertarikan itu
berujung menjadi cinta yang selalu aku pendam dalam hati, aku selalu mencoba
menyimpannya dalam hati namun lama-lama hatiku sesak akan rasa cinta untukmu,
sehingga aku ungkapkan padamu, dan aku hanya berharap kamu mau menampungnya
tapi aku juga tidak memaksakannya”
Panjang lebar Zein menjelasan dengan penuh keberanian
yang diawali dengan keraguan. Ia hanya bisa pasrah dengan keputusan Fahita, ia
siap dengan segala konsekuensinya. Ia lebih baik menerima penolakan dari Fahita
dari pada harus memndamnya terlalu lama.
Terlalu menyakitkan.
“Fahita hanya ingin mengingatkan satu hal, ungkapan rasa
terhadap seorang wanita bukanlah
main-main. Itu menyangkut perasaan” Ucap Fahita,
“Aku tidak main-main, aku mungkin hanya punya selembar
kehidupan lagi, aku tidak ingin semuanya terlambat” Fahita merasa bingung
dengan jawaban Zein, namun Zein seolah menutupi maksudnya.
“Berikan aku waktu, mungkin untuk sekarang aku masih
menikmati kesendirian”
“Maksudnya?” Zein tidak paham.
“Jika kamu memang mempunyai rasa di hati untukku, jangan
pernah paksa aku menerima cintamu saat ini, tapi tunggulah aku sampai
benar-benar siap memluk jiwa cintamu, tapi aku juga tidak memaksamu menungguku,
jika kamu tidak kuat dalam perjalanan menungguku dan kamu menemukan yang lebih
baik dariku kejarlah ia, dan jangan fikirkan aku, karena akupun sebenarnya
punya rasa cinta yag sama untukmu, namun aku akan mengikhlaskan semuanya dengan
apa yang akan terjadi nanti.
“Baiklah, aku akan siap menunggumu”
***
Bulan berganti bulan, Fahita masih menikmati
kesendiriannya walau hatinya tak sendiri. Ada Zein yang selalu menemaninya.
Walau mereka tidak resmi menjalin cinta dalam satu ikatan, tapi hati merekalah
yang sudah saling berjanji untuk saling menjaga dan mengikat. Fahita selalu
menjaga dan mempersiapkan hatinya untuk Zein di masa yang akan datang,
begitupula dengan Zein, ia masih merasa sabar untuk menunggu. Namun, diantara mereka
teryata tidak ada yang tahu, kalau pagi itu menjadi penantian akhir dalam
hidupnya, lalu Zein melanjutkan penantiannya di surga.
“Anak-anak, hari ini kita kosong, kita harus ke rumah
sakit salah satu teman kalian ada yang
dirawat” anak-anak riuh penasaran. Fahita merasa sangat kaget, karena semalam
sebelumnya Zein mengeluh sakit. Ia merasa ada yang aneh dengan salah satu organ
dalam tubuhnya.
“Zein, sedang koma dan dirawat di rumah sakit BP 4. Ia
sakit liver setadium 4” dalam keriuhan dan keluh tangis kawannya, Fahita
merasakan kedinginan dan tubuhnya tiba-tiba melemah akhirnya matanya gelap dan
tak mampu lagi melihat cahaya yang ada di hadapanya. Tubuhnya tergeletak.
***
Rumah bercat abu-abu itu kini ramai dengan orang-orang
berjilbab dan pakaian serba hitam, bendera putih telah menancap sejak semalam.
Ibu dan kelaurganya masih terhanyut dalam tangis.
“Apa ada yang bernama Fahita?” tiba-tiba ayah dari sosok
tubuh yag telah terbaring tanpa nafas mendekati gerombolan siswa-siswi Madrasah
Aliyah Salafiyah yang sedari tadi telah berkumpul melepas kepergian salah satu
kawannya.
“Saya, pak,” jawab Fahita lemas.
“Kemarin sebelum koma Zein pernah bercerita tentangmu,
sepertinya ia sangat mengagumi mu dan ia sempat menitipkan ini” ayah Zein
memberikan amplop berwarna ungu pada Fahita. Dengan tetesan air mata Fahita
membukannya.
Dear Fahita,
Jangan pernah menangis
dengan yang kau hadapi hari ini, karena aku cukup tenag membawa senyum dan
cintamu. Hariku begitu berarti setelah di tepi banyu biru dahulu. Aku semakin
merasa aku adalah laki-laki yang paling paripurna, namun penantianku di depan
mata indahmu harus sampai disini dulu. Tapi aku akan selalu menantimu untuk
menjadi permaisuriku di taman Firdaus nanti. Liver yang bersahabat denganku
telah lebih dari satu tahun tahun, aku harus melepasnya karena jika liver itu
merengek aku sangat merasa kesakitan. Terimakasih untuk segala senyumu,
lepaskan aku dengan cintamu,kkarena itu takan membebanimu.
Zein yang akan selalu menantimu
walau garis kehidupan telah memisahkan.
***
Tiba-tiba hujan membasahi tubuh Fahita, hingga
lengan dan semua yang ia pakai basah oleh tetesan yang kini menjadi kumpulan
air. Namu ia tak peduli, semua yang ada kini hanyalah rasa rindu, hingga ia
terus merapalkan doa-doa yang dihaturkan pada kekasihnya itu, yang kini sudah
berada dalam tempat yang jauh nan indah. Setiap tasbih yang ia usap dengan
jemarinya, hingga beradu dengan hitungan dzikir yang mentramkan. Hadir dalam
hati Fahita, cinta dalam hati yang tumbuh degan ketulusan dan kemurnian yang
sebenarnya sulit untuk ditemukan oleh orang-orang. Rasa itu menjelma bersama
gesekan dedaunan. Suara itu menyatu bersama hujan dan angin yang kini membuka
kembali halaman-halaman kenangannya. Yang selalu menjejalkan kerinduan atas
cintanya pada sosok Zein.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar