Semangat.....

Success Will Never come to you but you must search it.....

Selasa, 21 Februari 2012

cerpen


Dalam Halaman Kenangan
           
            Tuhan, Engkau memang teragung. Berbicara lewat misteri yang pasti terlampaui. Lewat malaiakat sang pelukis kejadian selama jangka waktu.
***

            Mungkin kesunyian adalah daun yang semena-mena berserakan. Hingga makam di ziarahi dengan hening yang bersatu padu dengan setiap halaman kenangan. Serta angin yang menerpa pohon bambu di sekitar, adalah suara resah yang tertorehkan. Taman-taman kerinduan benar-benar terbangun, hingga tak mampu lagi tersembunyi nada-nada gelisah. Walau kerinduanpun tinggal sepenggal kenangan, yang dijaga kolom-kolom ingatan. Segalanya bisa saja terbongkar, dan kembali memutar rekaman peristiwa. Meski tak akan sejelas masa silam. Meski meninggalkan rasa sakit yang ,maha dahsyat.
            Fahita, perempuan yang jelita. Dan kini lebih banyak bercerita dengan diamnya. Setelah beberapa hari bersama dengan helai dedaunan, berbatang-batang ranting yang selalu ia pandang juga berlembar-lembar daun talas yang setia menjadi kawan senyumnya. Hingga semua seperti tak jelas jua. Apa sudah cukup meneduhkan hatinya, atau telah mampu menemaninya dari kesunyian. Ah, musim sunyi mengapa datang bersama kerinduanya pada mentari hatinya. Mengapa tak datang ketika ia telah mampu menutup semua lembaran-lembaran bersama raganya, mengapa jua tak datang ketika ia telah mampu menutup halaman-halaman kenangan bersamanya. Bersama raganya yang kini hanya tinggal di balik epitaf. Atau tak kunjung tiba ketika ia punya beberapa niat menutupnya walau selalu gagal dan gagal hingga ia harus terkapar dalam halaman-halaman masa silam.
Karena ketika Fahita kangen dengan Mentari hatinya, ia bisa tak menghiraukan apapun urusan dunia apalagi yang menyangkut atas nama laki-laki.  Ada cinta yang lebih dahsyat dari apapun yang harus dinyatakannya, yaitu lewat menziarahi makamnya.
Buku bacaan yasin yang sedari tadi ia singkap tampak semakin menguning  halaman-halamannya, itu adalah kenangan dari kekasihnya ketika mereka sama-sama belajar di sekolah yang sama. Sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah, sekolah berbasis agama atau setaraf dengan SMA. Tasbih yang biasa ia genggam ia biarkan tergeletak di tanah. Di hadapan makam kekasihnya, Fahita lelah. Karena fikirannya tak kunjung terhenti mengingatkannya pada masa  dua tahun silam. Tapi ia sudah tak peduli dan tak ambil pusing dengan lelah yang semakin menjamahnya. Diteruskannya acara ziarah di makam kekasihnya. Dengan memeluk epitaf yang hanya bertuliskan segaris nama penuh cinta: Zein Diya Ulhaq.
Zein Diya Ulhaq laki-laki yang kini membuatnya terkulai di hadapan epitaf tak bernada hanya bernama sepenggal.  Memang lelaki yang menurut kasat mata sempurna. Kecacatan fisik hampir tidak ia miliki. Putih, hidung mancung dan rambut yang lurus serta hitam bercahaya menjadi pelengkapnya. Pendiam dan berotak cerdas menjadikannya ekstra ordinary. Mereka  bertemu pada saat bersama-sama mendaftarkan diri sebagai siswa di Madrasah Aliyah  yang  ternama di Kebumen. Tak sengaja hampir memang tak sengaja mereka berkenalan dan akhirnya menjadi kawan di sekolah mereka yang baru.
            Menjadi siswa tingkat SMA memang menyimpan kesenangan tersendiri bagi Fahita. ia merasa sudah semakin dewasa. Awalnya, hari-hari yang ia lalui berjalan dengan begitu biasa, bahkan tak ada tanda-tanda untuk mengenal rasa cinta. Namun, setelah beberapa bulan, melewati dua semester ia mengenal dengan bahasa hati.
            Hingga semua kini terasa tinggal sisa yang teragungkan dalam hati. Bahasa cinta yang ia kenal lewat tatapan mata, bahasa cinta yang ia kenal lewat nurani membuatnya semakin dekat dengan laki-laki yang membuatnya semakin bergairah meniti hari. Perjalanan cinta yang membuatnya berbinar ketika berceloteh dengan mentari timur, perjalanan cinta yang membuatnya begitu semangat ketika menyambut dan bicara lewat nada-nada bintang.
Suatu ketika dulu, saat liburan sekolah tiba, saat kenaikan kelas dua, Fahita bersama teman satu kelasnya mengadakan tour ke Pantai Bocor yang ada di Kebumen bagian selatan. Menggunakan satu buah bis mereka bersuka ria di hiasi dengan canda tawa hendak menantap pantai yang indah. Perjalanan hanya menghabiskan waktu hampir empat puluh lima menit, dan akhirnya mereka sampai di parkiran pesisir pantai Bocor.
            “Anak-anak kita hanya punya waktu sekitar dua jam disini, gunkanlah dengan baik dan renungkan keindahan alam yang tercipta ini” ucap Bu Tintin guru bahasa Indonesia kelas Fahita, yang sekaligus Bu Tintin adalah wali kelasnya.
            “Bu, apa kita boleh slybond?” Tanya salah satu siswa yang bernama Anton.
            “Boleh tapi hati-hati yah”

            Semua siswa dengan riuhnya menyatu dengan banyu biru. Tak terkecuali Zein, yang sedari tadi hanya duduk di antara karang-karang dan tatapan matanya justru berceloteh dengan sang bayu yang mengibarkan rambut hitamnya. Namun, hatinya tak bisa menyatu dengan alam yang mengajaknya bercerita, jiwanya tak mampu menyatu dengan sang bayu yang mengajaknya bermain-main dengan aroma segarnya.
            Hatinya justru melukis wajah indah yang kini ada di hadapanya, berjarak tiga meter. Wajah yang begitu indah hingga menggetarkan jiwanya. Sudah hampir lima bulan ia hanya menyimpan lukisan wajah itu dalam hati terdalamnya. Karena ia takut semua tak sesuai harapannya. 
            Fahita, andaikan halaman hidupku tersisa hanya tinggal satu lembar, ingin kuisi semua baris-barisnya dengan lukisan wajahmu dan sebait namamu. Dan juga ingin aku tuliskan kalau aku juga punya sebaris tentang cinta. Tapi justru lisanku beku dan hatiku merasa samar ingin menjerat hatimu. Selindung benak, lebih kencang berteriak, mewakili gerak lidahnya yang kelu sejak tadi.
            Zein sebenarnya merasa tersiksa karena memendam semua yang seharusnya tak ia pendam. Kehadiran demi kehadiran cinta di hatinya seolah garis-garis yang memaksanya untuk segera bercerita dengan hati Fahita. Ia masih tak mampu.
            “Aku tak selamanya mampu seperti ini, aku harus segera mengungkapkan semua ini. Aku tak kuat jika harus terus-terusan menggantung cinta ini di langit-langit hatiku. Walau harapanku tipis setipis kapas yang berterbangan diterpa sang bayu, aku tidak akan peduli, satu hal yang ingin aku lakukan. BICARA” hati Zein kini bertekad.
            Seolah-olah hatinya pun ikut bicara, bahwa memiliki cinta itu tak salah, dan pada akhirnya iapun takan pernah bisa lari dari cinta. Ia semakin merasa setiap kali ia menjauh dan lari sekencang-kencangnya dari cinta, maka cinta akan lebih cepat memburunya dan kembali merasuk ke dalam hatinya. Jika tiba-tiba cintanya merasa akan kandas karena luka tak mampu mengetuk pintu hati Fahita, tiba-tiba dari hati yang terdalamnya pun menyeruak berkata tentang cinta dengan nada yang halus dan lembut. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi untuk berbuat apa-apa. Ia kini tak berdaya dengan apa yang disebut cinta.
            “Fahita, mengapa kamu tak ikut bercanda dengan banyu biru itu?” Tanya Zein yang sengaja mendekatinya.
            “Eh, Zein ia neh, Fahita tidak begitu berminta masih ingin merasakan sapuan lembut sang bayu di pesisir pantai ini.” jawabnya,
            “Mengapa kamu tidak juga bergabung dengan mereka?” lanjut Fahita bertanya.
            “Aku sama denganmu, tidak begitu ingin, lebih baik di sini”Mendengar jawaban itu, Fahita hanya mengerlingkan matanya sebentar lalu tersenyum dan kembali menatap banyu biru yang ada di hadapannya. Ombaknya kecil namun berlarian dan saling berkerjaran untuk sampai di tepian.  
            “Fahita, aku ingin berkata sesuatu, maukah kau mendengarkannya?” tanya Zein agak ragu. Lalu Fahita megangguk tanda ia mengiyakan.
            “Andaikan aku mempunyai rasa terhadapmu, apa yang akan kau lakukan terhadapku?” Fahita bingung dan masih terdiam, lalu Zein melanjutkan ucapannya.
            “Telah lebih dari beberapa bulan aku melukis nama dan wajahmu dalam hatiku, aku hanya ingin tidak munafik terhadap diriku sendiri, kalau aku memang telah lama tertarik denganmu dan kini rasa ketertarikan itu berujung menjadi cinta yang selalu aku pendam dalam hati, aku selalu mencoba menyimpannya dalam hati namun lama-lama hatiku sesak akan rasa cinta untukmu, sehingga aku ungkapkan padamu, dan aku hanya berharap kamu mau menampungnya tapi aku juga tidak memaksakannya”
            Panjang lebar Zein menjelasan dengan penuh keberanian yang diawali dengan keraguan. Ia hanya bisa pasrah dengan keputusan Fahita, ia siap dengan segala konsekuensinya. Ia lebih baik menerima penolakan dari Fahita dari pada  harus memndamnya terlalu lama. Terlalu menyakitkan.
            “Fahita hanya ingin mengingatkan satu hal, ungkapan rasa terhadap seorang  wanita bukanlah main-main. Itu menyangkut perasaan” Ucap Fahita,
            “Aku tidak main-main, aku mungkin hanya punya selembar kehidupan lagi, aku tidak ingin semuanya terlambat” Fahita merasa bingung dengan jawaban Zein, namun Zein seolah menutupi maksudnya.
            “Berikan aku waktu, mungkin untuk sekarang aku masih menikmati kesendirian”
            “Maksudnya?” Zein tidak paham.
            “Jika kamu memang mempunyai rasa di hati untukku, jangan pernah paksa aku menerima cintamu saat ini, tapi tunggulah aku sampai benar-benar siap memluk jiwa cintamu, tapi aku juga tidak memaksamu menungguku, jika kamu tidak kuat dalam perjalanan menungguku dan kamu menemukan yang lebih baik dariku kejarlah ia, dan jangan fikirkan aku, karena akupun sebenarnya punya rasa cinta yag sama untukmu, namun aku akan mengikhlaskan semuanya dengan apa yang akan terjadi nanti.
            “Baiklah, aku akan siap menunggumu”
***

            Bulan berganti bulan, Fahita masih menikmati kesendiriannya walau hatinya tak sendiri. Ada Zein yang selalu menemaninya. Walau mereka tidak resmi menjalin cinta dalam satu ikatan, tapi hati merekalah yang sudah saling berjanji untuk saling menjaga dan mengikat. Fahita selalu menjaga dan mempersiapkan hatinya untuk Zein di masa yang akan datang, begitupula dengan Zein, ia masih merasa sabar untuk menunggu. Namun, diantara mereka teryata tidak ada yang tahu, kalau pagi itu menjadi penantian akhir dalam hidupnya, lalu Zein melanjutkan penantiannya di surga.
            “Anak-anak, hari ini kita kosong, kita harus ke rumah sakit  salah satu teman kalian ada yang dirawat” anak-anak riuh penasaran. Fahita merasa sangat kaget, karena semalam sebelumnya Zein mengeluh sakit. Ia merasa ada yang aneh dengan salah satu organ dalam tubuhnya.
            “Zein, sedang koma dan dirawat di rumah sakit BP 4. Ia sakit liver setadium 4” dalam keriuhan dan keluh tangis kawannya, Fahita merasakan kedinginan dan tubuhnya tiba-tiba melemah akhirnya matanya gelap dan tak mampu lagi melihat cahaya yang ada di hadapanya. Tubuhnya tergeletak.
***

            Rumah bercat abu-abu itu kini ramai dengan orang-orang berjilbab dan pakaian serba hitam, bendera putih telah menancap sejak semalam. Ibu dan kelaurganya masih terhanyut dalam tangis.
            “Apa ada yang bernama Fahita?” tiba-tiba ayah dari sosok tubuh yag telah terbaring tanpa nafas mendekati gerombolan siswa-siswi Madrasah Aliyah Salafiyah yang sedari tadi telah berkumpul melepas kepergian salah satu kawannya.
            “Saya, pak,” jawab Fahita lemas.
            “Kemarin sebelum koma Zein pernah bercerita tentangmu, sepertinya ia sangat mengagumi mu dan ia sempat menitipkan ini” ayah Zein memberikan amplop berwarna ungu pada Fahita. Dengan tetesan air mata Fahita membukannya.
            Dear Fahita,
            Jangan pernah menangis dengan yang kau hadapi hari ini, karena aku cukup tenag membawa senyum dan cintamu. Hariku begitu berarti setelah di tepi banyu biru dahulu. Aku semakin merasa aku adalah laki-laki yang paling paripurna, namun penantianku di depan mata indahmu harus sampai disini dulu. Tapi aku akan selalu menantimu untuk menjadi permaisuriku di taman Firdaus nanti. Liver yang bersahabat denganku telah lebih dari satu tahun tahun, aku harus melepasnya karena jika liver itu merengek aku sangat merasa kesakitan. Terimakasih untuk segala senyumu, lepaskan aku dengan cintamu,kkarena itu takan membebanimu.

Zein yang akan selalu menantimu
walau garis kehidupan telah memisahkan.
***
            Tiba-tiba hujan membasahi tubuh Fahita, hingga lengan dan semua yang ia pakai basah oleh tetesan yang kini menjadi kumpulan air. Namu ia tak peduli, semua yang ada kini hanyalah rasa rindu, hingga ia terus merapalkan doa-doa yang dihaturkan pada kekasihnya itu, yang kini sudah berada dalam tempat yang jauh nan indah. Setiap tasbih yang ia usap dengan jemarinya, hingga beradu dengan hitungan dzikir yang mentramkan. Hadir dalam hati Fahita, cinta dalam hati yang tumbuh degan ketulusan dan kemurnian yang sebenarnya sulit untuk ditemukan oleh orang-orang. Rasa itu menjelma bersama gesekan dedaunan. Suara itu menyatu bersama hujan dan angin yang kini membuka kembali halaman-halaman kenangannya. Yang selalu menjejalkan kerinduan atas cintanya pada sosok Zein.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar