PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
SEBAGAI INTEGRASI DUALISME MASYARAKAT INDONESIA
Ringkasan
Tampaknya Indonesia sedang dilanda krisis solidaritas sosial yang
sangat kritis, sebagai bukti nyata pluralitas yang terbangun di tanah air yang bernaung dibawah semboyan Bhineka
Tunggal Ika harus melalui momentum seperti gempa, tsunami, gunung meletus,
hingga lumpur lapindo. Bukan kesadaran sosial terhadap satu dengan yang
lainnya.
Membangun rasa bersatu diatas kesadaran kebhinekaan yang ada kini telah benar-benar menjadi
proyek besar bangsa ini. Rasa dan kesadaran untuk bersatu yang dulu pernah
tercipta kini telah benar-benar hampir lenyap, bahkan masyarakat bangsa ini
telah menggeser dan melupakan modal
dimensi kehidupan yang dulu pernah ditata rapih oleh para founding
father sebagai tatanan untuk menciptakan karakter bangsa Indonesia;:
pancasila.
Sebenarnya, kesadaran bangsa, pluralitas bangsa dan
multikulturalisme yang menjadi kenyataan
pada bangsa Indonesia tidak cukup untuk membangun bangsa ini , dibutuhkan kesadaran
untuk bersatu menghasilkan ke-ikaan. Dibutuhkan keterbukaan untuk menghasilkan
penerimaan. Perlunya penghapusan diskriminasi budaya dan perbedaan;
ketertutupan.
Pendiri bangsa indonesia telah mengikrarkan
“kebebasan positif”[1]
sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup bersama. Namun setelah diikrarkannya
enam puluh enam tahun silam, episteme tersebut belum menjadi milik semua
elemen bangsa ini. sekalipun demokrasi yang esensi sesungguhnya adalah
kebebasan positif dan telah terpatri sebagai pijakan dasar pelaksanaan
pemerintahan orde reformasi 1998, implementasi the founding fathers tersebut
defacto masih jauh dari relaitas hidup bersama, bahkan cenderung menjadi
angan-angan belaka.
Banyak peraturan daerah yang mengekang
hak-hak dasar individu untuk mewujudkan dimensi eksistensial kemanusiaan setiap
anggota masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang bersumber dari perbedaan
keyakinan dan pendapat, serta pilihan politik dalam berbangsa dan bernegara,
merupakan bukti nyata betapa nihilnya kebebasan positif itu. Hal demikian
sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Memilih penyelesaian
masalah dengan kekerasan dan anarkhisme merupakan musuh utama demokrasi.
Namun, sebuah keterbalikan nyata justru
terjadi, anarkhisme kini menjadi symbol pengentasan terhadap suatu masalah,
politik cenderung tidak sehat, kualitas sosial juga semakin mengalami degradasi
mutu. Pertanyaan yang relevan dilontarkan adalah bagaimanakah sebenarnya
kondisi masyarakat kita. Mengapa masyarakat kita cenderung lebih gamang melihat
suatu perbedaan? Hanya segelintir saja yang mampu menerima keberagaman. Apakah
ini pertanda bahwa Indonesia kita masih menganut dualisme masyarakat yaitu:
Masyarakat Terbuka dan Masyarakat Tertutup?
Masyarakat Terbuka dan Masyarakat
Tertutup: Sebuah
Kritik Sosial
Banyak upaya untuk mewujudkan kebaikan
bersama di negeri ini mandek. Karena masyarakat tidak cukup kritis terhadap
dogmatisme yang hendak menyingkirkan semua argumen rasional tentang bagiaman
merawat bangsa. “ Masyaratakat terbuka merupakan sebuah gerak pencarian
cita-cita berlandaskan rasionalisme kritis. Bagaiaman masyarakat membaca hal
ideal dalam konteks keindonesiaan yang penuh dengan irasionalitas serta
kebebasan dan berbagai adat, budaya yang akhirnya melebur mejadi satu dalam
payung Keindonesiaan tanpa melepas ciri dan karakter masing-masing.
Pluralitas seperti ini akan sulit sekali
dibangun kecuali oleh masyarakat terbuka, yang mana mampu menerima perbedaan,
kritik, serta ancaman tidak dengan kekerasan. Dari hal tersebut, bangsa
Indonesia sangat percaya bahwa masyarakat terbuka adalah cita-cita yang layak
diperjuangkan, serta sangat sah untuk membunuh musuh-musuh masyarakat terbuka
tersebut. Seperti salah satunya yaitu penyakit masyarakat tertutup.
Dimana masyarakat tertutup merupakan musuh
besar dari masyarakat terbuka, dimana masyarakat tersebut akan menjadi penyakit
menular dan akhirnya menjadi penyebab kematian dini bangsa ini. Masyarakat
tertutup cenderung mempertahankan eksistensinya
melalui ketaatan mutlak dimana hanya meihat satu komunitas atau kelompok
tertentu saja. Di dalamnya terdapat jejaring kewajiban yang saling mengikat
untuk menyatukan anggotanya. Moralitas dasaranya adalah moralitas perintah yang
tidak mengizinkan orang mempertanyakan kode-kode sosial yang berlaku.
Masyarakat tertutup bisa di ibaratkan seperti kehidupan semut saja, yang mana mereka
tidak peduli dengan mahluk di luar.
Namun sayangnya, Masyarakat bangsa kita
masih menganut paham masyarakat tertutup. Jika hal tersebut terus berkelanjutan,
secara obyektif, akan sulit sekali menumbuhkan rasa saling memiliki, kesatuan
berbangsa, serta peduli. Terkecuali jika masyarakat tersebut mengembalikan
dirinya dalam tingkatan instingtif
demokrasi yang membebaskan sebagaimana yang terjadi pada komponen sistem
alam yang masih menyala.
Selain itu, Masyarakat tertutup secara
detail mengatur kewajiban warganya
sampai ke hal-hal sepele, sehingga pengandaian bahwa orang taat menjalankan
kewajiban moral karena pertimbangan rasional tidaklah masuk akal. Juga
seandainya orang/ individual tersebut menimbang-nimbang kaidah moral yang akan
dipatuhi nalar sekedar melayani dorongan purba itu. Ego sosial yang membuat
orang patuh tersebut tidak selalu berhubungan dengan suara hati atau kesadaran
moral otonom. Hal tersebut sangat
bertolak belakang dengan cita-cita Indonesia yang terkandung dalam “Demokrasi
Sosial” dan diaplikasikan dalam Masyarakat Terbuka; dimana masyaraktnya
menganut nilai-nilai humanis-universal seperti kebebasan, pengakuan atas
perbedaan, jaminan atas hak,-hak mendasar, menghargai rasionalitas dan
kepedulian pada pihak lain; demi mencapai titik tertinggi persatuan dibawah
naungan Bhineka Tunggal Ika.
Menciptakan Cuaca
Cerah Demokrasi Sosial Indonesia
Dari narasi kritis diatas, dapat ditarik benag
merah antara demokrasi dan masyarakat terbuka. Sebaliknya, masyarakat terbuka
merupakan syarat mutlak bagi demokrasi. Demokrasi tidak akan mungkin tumbuh
berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikungkung oleh kondisi eksternal,
terbelenggu keyakinan ekslusif, dan terdeterminasi pandangan tradisional dan
kekuasaan absolute.
Mengingat keberadaan suatu masyarakat tidak
lepas dari individu, Kondisi-kondisi yang diperlukan dalam membangun masyarakat
terbuka adalah tidak terlepas pula dari membangun kualitas individu itu
sendiri. Kualitas individual yang diperlukan untuk itu adalah karakter pribadi
yang demokratis.
Karakter pribadi demokratis mencakup empat
hal.[2]
(1)Pribadi yang mengakui adanya
persamaan hak setiap orang dan mengakui bahwa setiap individu memiliki
kesempatan yang sama dalam merealisasikan dalam setiap gagasan dan keyakinan
dalam ruang publik[3].
(2) Pribadi yang tulus mengakui perbedaan dalam masyarakat. [4]
Dalam demokrasi, pengakuan adanya keperbedaan amat penting; perbedaan merupakan
jiwa yang membuat demokrasi lebih bermakna. Ia merupakan keharusan dalam
membangun masyarakat terbuka jua, karena sikap dasar untuk mengakui adnya
perbedaan dalam realitas sosial adalah ketulusan. (3)pribadi yang berpikir
dewasa. [5]
Pola pikir dewasa merupakan syarat mendasar dalam membangun masyarakat terbuka.
(4) Pribadi yang rasional. Pribadi rasional juga meripakan syarat mendasar bagi
pembentukan karakter demokratis, karenapribadi tersebut adalah senjata untuk
melawan sisi negatif serta merupakan bagian mendasar dari eksistensi manusia. Untuk
mencapai pembangunan dalam mewujudkan
karakter tersebut, masyarakat memerlukan media yaitu diantaranya Pendidikan
yang berbasis multikultural sebagai pembuka cara hidup dan cara pandang tertutup.
Urgensi Pendidikan Multikultural
Setidaknya ada tiga mendasar perlunya memotret serta menciptakan
kesadaran akan demokrasi ke-Indonesiaan kita, diantaranya, (1) Bangsa Indonesia masih sangat jauh dari episteme
masyarakat terbuka. Dimana kualitas hidup berbangsa dan bernegara masih
mengindikasikan masyarakat tertutup. Pengakuan atas perbedaan dalam
berkeyakinan, kebebasan berekspresi dalam ruang publik, serta pengakuan atas
hak-hak mendasar setiap pribadi dan kelompok belum menyentuh kehidupan bersama.
Masih banyak masyarakat yang menjiwai pola pikir feodal, percaya pada
ritus-ritus tradisional yang irasional, dan gamang dengan perbedaan. Mereka pun
masih tampak menikmati dan merasa nyaman hidup dalam sistem kekuasaan otoriter
dan totaliter.
(2) Animo bangsa Indonesia untuk maju tampak
begitu besar.[6]
Dan ke (3) Empiris Bangsa ini adalah pluralitas. Tidak ada bngsa Indonesia
tanpa keanekaragaman. Kemerdekaan 1945 sesungguhnya merupakan upaya untuk
mematrikan eksistensi pluralitas dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika” pendek
kata, keanekaragaman merupakan kenyataan tak terbantahkan. Sayangnya
kemajemukan itu belum merasuk dibenak kesadaran masyarakat. Ia masih berada
dalam tataran historis-empiris.
Dari potret diatas, persoalan mendasar yang harus
dihadapi bersama adalah bagaimana melabuhkan episteme masyarakat
Indonesia dari masyarakat tertutup menuju masyarakat terbuka. Atau dengan kata
lain apa yang harus dilakukan dengan segera agara potensi pluralitas itu bisa
menjadi aktus, masuk dalam kesadaran masyarakat? Atau mampu menerima
kemajemukan sebagai asset kekayaan bangsa dan bukan sebagai ancaman.
Artinya, kita benar-benar membutuhkan karakter pribadi demokratis demi
terwujudnya cita-cita bangsa ini, yaitu pribadi yang berani bersuara dan
bertindak mengakui perbedaan sebagai hal mendasar, pribadi yang memberi ruang
kebebsan eksistensi lebih luas kepada setiap individu, pribadi yang gamang
terhadap terminologi mayoritas-mayoritas. Pribadi seperti itu sangat mendesak
untuk dibentuk.
Generasi muda adalah subjek yang patut
diperhatikan dalam pembentukan
karakterpribadi demokratis seperti itu, serta patut sebagai penyangga tiang
masyarakat terbuka. Artinya, subjek yang
perlu dididik dilatih berpikir terbuka berdasarkan nilai-nilai demokratis
adalah generasi muda. Karena itu pendidikan demokratis generasi muda wajib
diperhatikan.
Model pendidikan multikultural adalah sangat
tepat. Esensi pendidikan tersebut adalah pengakuan dan penghargaan terhadap
perbedaan. Dengankata lain, model pendidikan ini mengajarkan kepada peserta
didik bahwa perbedaan adalah bagian tak terpisahkan eksistensi manusia.
Perbedaan merupakan kekayaan bangsa, ia berasal dari keunikan setiap individu
yang memiliki keberagaman latar belakang. Afirmasi terhadap beragam latar
belakang ini penting karena member makna bagi kehidupan bersama.
Tujuan utama pendidikan multicultural adalah
menanamkan kesadaran dan mengakui
pluralitas sebagai realitas eksistensial masyarakat. Dua hal tersebut akan mampumembuat peserta
didik mampu melihat perbedaan sebagai perekat dalam realitas sosial. Pendidikan multicultural memang menekankan
pada kesederajatan setiap anggota masyarakat. Namun, pengakuan ini tidak
menafikan keneka ragaman yang ada didalam kesederajatan. Pengakuan itu justru
mmebiarkannya untuk terus hidup. Pendidikan multicultural juga juga membentuk
karakter anggota masyarakat yang inklusif. Sehingga pendidikan multicultural
akan selalu menumbuhkembangkan sikap
toleransi dan solidaritas sosial. Karena itu, pengakuan terhadap heteroginitas
merupakan subtansi pendidikan multikultural.
Subtansi pendidikan multikultural tersebut
sangat penting bagi bangsa yang sedang bersikeras membangun masyarakat terbuka
berbasis nilai-nilai demokratis.
sehingga mampu memberikan pemahaman pada mereka akan arti pentingnya
perbedaan supaya mereka dapat menerima perbedaan secara alamiah (nature)
serta dapat meminggirkan kecemburua sosial serta diskriminasi terhadap suatu
golongan. pendidikan multikultural akan membuka semua indera masyarakat bahwa
perbedaan merupakan bagiyan dari dirinya.
Dengan pendidikan multikultural akan terjadi
konsistensi dalam kalangan generasi
bangsa untuk menerima senantiasa mengakui hak individual serta tidak sungkan
member ruang yang lebih luas untuk sama-sama mengungkapkan kemanusiaan yang
multidimensial. Dengan pendidikan multikultural, geberasi muda akan mampu
melihat mengenal dan mengakui hak anggota masyarakat; menerima dengan tulus
perbedaan sebagai relaias bangsa. Derta memiliki kematangan dalam berpikir dan
bernalar secara sehat dalam relasi sosial. Sekolah tetap menjadi wadah yang
paling utama dalam mewujudkan proyek besar tersebut. Singkatnya, subtansi
pendidikan multikultural harus diperhatikan secara serius serta wajib
diposisikan sebagai proyek bersama dan ditangani secara serius pula, demi
terwujudnya masyarakat terbuka yang memiki karakter demokratis.
***
Daftar
Bacaan
Ep Saefulloh Fatah. 2000. Membangun
Profokasi awal Abad; membangun Panca Daya Merebut Kembali Kebudayaan.
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
Harian Kompas Edisi Juli 2010.
Karl. R. Poper.1945. The Open Society and
its Enemis. (London: Routledge & Kegan Paul, ltd,)
Suara Pembaruan, Edisi 12 September 2010.
[1] Kebebasan positif adalah kebebasan yang terkait dengan kemampuan
seseorang dengan kemampuan seseorang dalam menentukan diri kerah positif.
Kebebasan ini biasa disebut kebebasan eksistensial karena melekat dalam diri
pribadi. (lihat Kasdin Sihotang “Kebebasan yang Positif” dalam Suara
pembarua, 23 Agustus 2003)
[2]Butir-butir karakter pribadi demokratis” Menuju Masyarakat
Indonesia” Pengembangan artikel Kasdin
Sihotangdalam Suara Pembaruan, 12 September 2010.
[3]Pribadi seperti itu tidak melihat label, tetapi lebih mengutamakan
kemanusiaan. Label sosial bukan nominal atau ekonomial melainkan fenomenal.
Bukan menjadi ancaman, melainkan perekat dalam relasi sosial. Bagi masyarakat
seperti ini tidak ada demarkasi antara mayoritas dan minoritas.
[4]Bahkan, menurut Jonatan Shacks, perbedaan merupakan bagian dari
hidup manusia. Tak ada manusia dilahirkan identik. Masing-masing adalah pribadi
yang unik. Keunikan itulah yang membedakan manusia satu dengan lainnya. ( Lihat Jhonatan Shacks dalam The Dignity Of Diference: How to
Afoid the clash Of Civilization. London: Continnum 2003)
[5]Berpikir dewasa yang dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh filusuf Yunani Kuno dan
Pemikir Modern, salah Satunya Karl. R. Poper yaitu kemampuan untuk melihat
kekurangan dan keberanian untuk mengakui kelebihan orang. Ini merupakan arti
sesungguhnya dari berpikir kritis.
[6]Tumbangnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi merupakan bukti nyata
bangsa ini memiliki kehendak kuat untuk maju. Melalui reformasi, semua elemen
bangsa ingin membangun sistem pemerintahan lebih bersih, berwibawadan
professional berbasis pada nilai-nilai demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar