Wanita
beraroma jeruk
Oleh: Cinung
Azizy
STAIN Purwokerto
Masuk 4 besar
dalam lomba cerpen se Banyumas
Mengingat wanita itu,
serupa menonton cuplikan-cuplikan adegan yang diam-diam menyatu dalam sebuah
film. Wajahnya seperti embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum
membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang wanita yang
merancang kehidupanya sendiri. Semenjak
aku mengenalnya diawal semester satu, aku menjadi mengerti bahwa ia terbiasa
menentukan apa yang akan ia lakukan, kapan harus berbicara, kapan harus
menikah, dengan laki-laki seperti apah, akan punya anak berapa dan seperti apa
akan membesarkan mereka. Itu semua sudah ia pikirkan. Wanita itu menggoreskan
sendiri taqdirnya.
Saat berumur 19 tahun,
menginjak semester 3, ia memutuskan taqdir pertamanya pada seorang laki-laki
bernama Reyhan. Sebenarnya taqdir yang berujung sebuah peristiwa yang telah
mengubah impiannya, jadi menyeramkan berbalut jalan kenikmatan yang luar biasa.
“Rey, apa kamu
benar-benar akan pergi?” tanyanya saat taqdirnya akan melangkah menyepi dari
hati dan tatap cintanya.
“Iyah Nilam, ini baksos
dan bentuk pengabdianku pada negara juga masyarakat” jawabnya tegas namun juga
ada gurat kesedihan yang tersimpan.
“Apakah harus ke
Jogja?” hemmm, ia menarik nafas panjang lalu meneruskan kata-kata letidak
relaanya. “Aku takut kamu tidak kembali” rajuknya pada taqdirnya dengan tatapan
harap, agar ia tetap tinggal.
“Nilam, kau harus
percaya, bahwa ini hanya sebentar dan aku akan kembali, warga masyarakat disana
membutuhkan jiwa-jiwa patriot dari para mahasiswa” jawab taqdirnya.
“Aku tahu” jawabnya,
seraya mengingat-ingat korban merapi yang berceceran, kelaparan dan terbuang
bersama puing-puing atap rumahnya. Ia hanya bisa menerima dan terangguk sedih.
Lalu taqdirnya memluknya dengan penuh cinta, membelai rambutnya yang mampu
membelah bulan, lalu mencim keningnya seraya berpamitan. Setelah itu,
berhari-hari tak kunjung tatap mata datang menjelma menjadi cinta.
***
“Nilam, mengapa kamu
sekarang menjadi hobi melamun?” tanyaku padanya.
“Ah
tidak, aku hanya sedang menanti sesuatu” jawabnya dengan melodi kerinduan.
“Aku
tahu, pastikau menanti angin menyapamu dan merasuk dalam retinamu seperti
biasanya kan? Tenang saja, sebentar lagi kawan-kawan baksos merapi akan pulang”
jawabku menanggapi kerinduan dalam tatapnya. Ia hanya tersenyum lalu kembali
pada buku birunya, yang setahuku itu adalah dream book. Yang mempresentatifkan semua angan-angannya.
Ah ia memang sosok wanita yang menentukan sendiri taqdirnya. Bahagia sekali
Reyhan. Aku lantas melenggang, tak ingin berlama-lama ikut mengunyah sepi dan
rindumu yang semakin berbahasa batu.
Semua
berjalan seolah biasa saja, namu penantianmu setelah itu sangat luar biasa,
hingga taqdirmu kembali kau genggam, ada seikat senyum di bibirmu. Mungkin
seminggu setelah itu.
“Reyhan,
mengapa kamu melebihi batas janjimu?” tanyamu manja.
“Iyah
Nilam, maafkan aku! jadwalku di sana sangat padat bahkan sebenarnya masih butuh
tambahan waktu karena keadaan memang sangat butuh uluran tangan. Kasihan
pemerintah” jawab Taqdirmu bijak, lalu kau tersenyum bangga.n terasa sangat
bahag
Setelah
itu, hari-hari yang kamu jalani terasa tak ada yang aneh. Bahagia. Sampai pada titik akhir kau merasa
rindu kembali menyayatmu dengan sadisnya.
“Nilam,
jangan diam karena kepergianku”
Ia
hanya diam, namun matanya berkata-kata. Bahwa ia tak rela, bahwa ia takut kamu
akan benar-benar tak kembali. Ia ingin mengatakan bahwa ia mempunyai firasat
tidak baik, tapi mulutnya seakan terkunci.
“Kamu
kan tahu, aku begitu menyukai alam, oleh karena itu aku ikut Faktapala”
“Iyah,
aku mengerti, tapi kamu harus berhati-hati ketika kamu mendaki gunung Sumbing
nanti yah, kamu juga harus ingat ada yang menunggumu” taqdirmu mengangguk
bahagia. Ia merasa kalau kamu begitu pengertian dan mencintainya. Taqdirmu pergi
dengan cintamu juga rasa was-wasmu.
Oh
Taqdirku, andai kamu mengerti, setiap kali kita bertemu aku manabung rindu.
***
“Nilam kamu sudah sadar?” tanyaku
padanya.
“Rian, aku kenapa?”
“Kamu
pingsan selama satu hari” ia terlonjak kaget, lalu tiba-tiba menangis histeris.
“Bagaimana
dengan Rey?” aku hanya menjawab dengan diam, kekasih yang ia anggap sebagai
taqdirnya telah pergi untuk selamanya ditelan buasnya tebing-tebing curam
gunung sumbing. Ia terlelap dalam
kesedihan. Sampai waktu yang tak ditentukan.
Semester
limapun telah terlewat, sampai ia kembali menitipkan taqdirnya pada Hendra,
yang ia bilang mirip sekali dengan Reyhan taqdirmu dulu. Aku hanya bisa kembali
menyaksikan bahwa taqdirmu tak mampu membuatmu tersenyum, sampai suatu kali
kamu menemukanya tengah mengoyak-oyak seluruh isi dalam tubuhmu, magma rasa
muakmu menyeruak.
“Bagus
sekali Hendra, kamu mencium wanita itu, yang jelas dia bukan apa-apamu”
taqdirmu hanya celingukan tak punya muka.
“Apa
kamu kurang puas dengan menciumiku, mencumbu payudaraku bahkan menerobos liang
pertahanan terakhirku” ia menangis tersungkur dengan terhinanya.
Dunianya
kembali termakan taqdir yang tak bisa dipesan untuk bahagia. Hingga ia memutuskan mendiamkan roda hidupnya, tak juga
berputar, tak juga bergeser sedikitpun.
Yah
memang benar sekali, lewat taqdirnys itu, aku mampu menyimpulkan kalau kita
bisa saja memesan bir, tapi kita tak bisa memesan taqdir. Serupan yang tengah
ia jalani.
***
Enam bulan aku tidak
pernah bertemu denganya, karena memang kuliahku cuti dan kata teman-teman ia
jarang sekali kelihatan di kampus. Aku menemukan suatu keanehan dalam dirinya.
Saat sore yang santai aku tak sengaja mendapatinya tengah menatap rerimbunan
daun di dekat bolevard kampus. Ia
semakin segar, wangi dan mempesona. Namun, suatu hal ganjal ia beraroma jeruk,
bahkan di matanya ada jeruk, di mulutnya ada jeruk dan seluruh tubuhnya wangi
jeruk.
Apa ia memutuskan untuk
menyegarkan tubuhnya dari taqdir yang menikam. Ah aku tak ambil pusing. Sampai
suatu saat setelah itu, aku menemukan
wanita yang juga sama sepertimu, beraroma jeruk, bahkan ia lebih parah dariny,
seluruh tubuhnya serupa kemuning dan menyegarkan seperti jeruk. Kata
teman-teman kosnya mereka sering bareng kesana kemari sehingga aromanyapun
serupa.
Memang
benar, pada suatu malam aku mendatangi kosnya d jalan kemuning yang penuh
kenangan, aku mendapati gadis beraroma jeruk tengah bersama, sangat akrab
terkadang bermanja selayaknya seorang kekasih. Akh aku tak acuh, lalu
kumenyapanya, dan ia terkaget.
“Riyan,
mengapa tidak bilang-bilang kalau mau datang?” tanyanya dengan kemarahan dalam
wajah.
“Aku
memang sengaja, ingin memberimu kejutan”
Ia
hanya tersenyum, lalu mengajaku masuk dan kita berbincang lama. Ketika aku
hendak pulang, kembali kenaehan mendapatiku, ia tak mau lagi kukecup keningnya
seperti dulu ketika taqdir semu mendatanginy dan begitu saja menampik uluran
tanganku. Aku semakin curiga. Tapi aku pulang seakan tak ada apa-apa.
***
“Maafkan
aku Nilam, tak segera pulang saat kamu menutup pintu kamarmu” batinku ketika
diam-diam mengintip lewat belakang kamarnya, yang masih memakai tembok triplek,
jadi bisa saja aku mendapatinya dengan tingkah tanpa tatap langsung.
“Nina,
maafkan aku jangan cemburu, dia hanya teman laki-laki masa laluku ketika aku
masih kuliah” ucap suara yang begitu melekat di hatiku sampai saat ini, walau
telah terhapus kenangan yang sengaja kau buang demi Reyhan, Hendra dan
pacar-pacatmu yang lain, yang kau anggap taqdir lalu menyakiti dan meninggalkan
goresan taqdir yang suram.
Aku
masih memaku, dengan getar luka yang mendalam seiring suara desah cumbumu
bersamanya. Wangi jeruk itu, aura jeruk itu telah menjawab semua penasaranku.
“Kamu mencintai Nina,
sahabat wanitamu yang kata semua teman kosmu sering bersamamu, menemani tidurmu
bahkan hari-harimu” oh inikah taqdir itu, yang kamu anggap keindahan yang tak
bisa dipesan. Aku hancur, lalu melangkah dengan luka, namun cinta yang tertutup
oleh kisahmu dan taqdirmu masih akan terus ada, hingga kamu sadar, wangi jeruk
yang ada ditubuhmu kelak akan membusukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar