Pisau Dapur
Oleh:
Cinung
Azizy
STAIN
Purwokerto
Satu
hal yang kuminta ketika engkau dewasa nanti, hormatilah darah perempuan, walau
bagaimanapun engkau tetap lahir dari himpitan darah dan rahim perempuan
***
KENANGAN di rumah ini telah dibuang seperti sampah
dan kotoran-kotoran menjijihkan. Pikirku sedih.
Lebih dari sebulan aku mengamati
gerak-geriknya. Lama aku memperhatikan bagaimana ia berangkat hingga pulang
kerja, bahkan ketika ia mengajaku berbincang di atas ranjang. Lama aku
memikirkan, apakah kecurigaanku selama ini berujung pada kebenaran, tapi
semuanya seolah tak terjadi apa-apa. Semuanya biasa saja.
Ia masih makan masakanku dengan senyum pujiannya, bahwa
masakanku itu adalah masakan ternikmat yang pernah ia makan. Ia juga masih
menggendong dan mengajak Zyafa anak kami
yang ke dua bermain, bahkan iapun masih mencium keningku ketika berangkat
kekantor. Hanya satu hal yang membuatku resah, ketika ia pulang, kelelahan dan
kelusuhan begitu tampak pada tubuhnya. Hingga ketika ia meminta kebutuhan biologisnya
aku tidak pernah merasa sempurna.
Seperti malam ini, ketika aku menunggu kepulangannya,
duduk dan terdiam mengembara dengan pesan-pesan yang sepintas kilas aku baca
dengan penuh emosi, tapi apa boleh buat aku tak bisa apa-apa. Melenguh panjang dengan pengembaraan
penasaranku sendiri yang mampu kuperbuat. Tiba-tiba lelah begitu saja
menghampiriku, hampir dua jam ia telah terlambat dari jadwal kepulangannya.
Perasaanku tak menentu, punggungku lepas dan merapat kesandaran kursi. Lelah
menjalar keseluruh tubuh
“Akgggh” tiba-tiba aku teringat pesan singkat itu. Apakah
benar suamiku telah berselingkuh dengan rekan kantornya yang bernama Suni, yang
dulu juga pernah ia kenalkan padaku. Berparas ayu, buah dada menggoda, kulit
lebih langsat. Aku juga turut mengakui kalau ia serupa wanita idaman para pria.
Teramsuk suamiku. Aku yakin.
Dibandingkan denganku,
buah dada yang telah menggelambir, yang setiap malam sebagai surgamu dan surga
anak-anak ketika mereka belum mampu mengunyah apapun. Terlebih badanku memang
sudah tak kencang lagi, seperti badannya. Sekilas memang wajar saja. Tapi tetap
saja aku tidak terima, terlebih ketika aku memandang Zian, anak pertamaku
dengannya yang kini telah berumur 15 tahun, bukan umur yang masih belia dan
begitu akan paham dengan tingkah lakuku dan suamiku. Aku terbakar cemburu.
Setelah kepalaku begitu terasa penuh dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa batinku, tiba-tiba saja terdengar suara
gesekan sepatu, dan aku yakin itu langkahnya, yang telah aku tunggu selama dua
jam lebih, aku begitu saja berlari dan membuka pintu.
“Kalau ingin bertanya besok saja, aku begitu lelah dengan
lemburan kantor” sapamu begitu aku akan membuka mulut, padahal aku tidak akan
memberondongnya dengan pertanyaan, tapi pelukan dan ucapan cinta yang akan aku
suguhkan. Ia menampiknya begitu saja.
Kecurigaanku semakin beralasan.
***
Hari minggu, ketika seperti biasa, bertahun-tahun kita
lewati bersama kumpul dan saling bercerita dalam dekapan cinta keluarga. Sambil
memeluk Zafa dan mendengarkan mimpi-mimpi Zian setelah lulus dari SMA.
Tiba-tiba saja ia terlihat gugup dan panik. Entah pesan dari siapa setelah
hpnya bergetar tanda sms masuk. Beberapa
menit kemudian ia masuk kekamar dan hendak berganti pakaian, tanpa menunggu
waktu aku langsung mengambil hpnya yang tergeletak begitu saja di meja depan
aku duduk, aku tahu ia lupa dan gugup. Kotak masuk menjadi sasaranku.
“Mas, bisakah ke apartemenku? Aku tiba-tiba saja sakit
perut” sepotong pesan yang tak mampu aku
baca dengan utuh, karena ia terburu datang. Aku pura-pura tenang.
“Maaf sayang, Ayah ada urusan di kantor, jadi tidak bisa
menemani kalian” pamitmu pada anak-anak sembari mencium keningku, tanpa sepatah
katapun. Ia melangkah terburu-buru membawa hatiku yang hancur.
Senja telah turun, malam sebentar lagi akan menutup
siang. Warna kelabu telah terlihat dari kaca jendela ruang tamu. Aku melenguh
panjang, dadaku begitu terasa sesak. Ia belum juga pulang. Sejak pagi ia begitu
menikmati harinya di luar sana. Hingga tak sempat membaca pesanku, bahkan teleponku
pun ia acuhkan begitu saja. Suni, demi perempuan itu, ia begitu saja rela
meninggalkan aku dan pelukan anak-anak.
Aku hendak melangkah dan membuka pintu, niat dan tekad
telah bulat, menghampiri tempat wanitanya dan menghajarnya habis-habisan. Tapi
tiba-tiba saja niat itu terhenti ketika aku mendapati langkahmu telah mendekatiku. Terlihat begitu sumringah dan
segar wajahnya, tak seperti biasanya ketika ia pulang larut. Kecurigaanku
semakin mendalam, wajahnya menyiratkan aura percintaan yang telah ia dapatkan
secara sempurna, padahal ia tak menyentuhku selama lima hari. Ahhgg, aku
semakin tak kuat menahan rasa ini, menggelayut dan memaksaku untuk berbuat
sesuatu. Engkau melangkah begitu saja, melewatiku dengan sebongkah senyuman dan
ciuman di pipi kananku. Seolah tak terjadi apa-apa.
***
Sisa-sisa malam beringsut
pergi, fajar telah datang menggesernya. Dua hari berlalu, suamiku disibukan
dengan urusan kantornya, hingga iapun lupa akan jalan pulang. Terlebih setelah
aku datang menghampirinya di ruang kerja
dan marah-marah, tapi katanya tetap saja tanpa alasan, kecemburuan yang
berlebihan. Tetap saja ia tak mau mengakuinya. Aku tak kehabisan akal, aku
mencari wanitanya, yang bernama Suni. Aku labrak dan maki ia habis-habisan. Aku
lupa dengan rasa malu, karena saat itu memang di bagian personalia kantor,, dan
ramai-ramai orang memperlakukanku dengan Suni serupa pertunjukan. Aku tetap
saja tak peduli, sampai ia datang dan menyeret lenganku dengan cukup kasar.
“Mamah apa-apaan seperti ini? Bikin malu saja, ini di
kantor” bentakmu dengan nada yang tak pernah kukenal, benar-benar marah.
“Ayah yang apa-apan, selama dua hari tidak pulang, pasti ngandang
dengan pelacur bernama Suni itu
kan?” ucapku tanpa rasa hormat. Aku begitu panas dan geram, lalu kutinggalkan
ia dan pelacur itu, serta para penonton yang menyamakan aku sebagai lakon utama
dalam pertunjukan.
***
Sejak saat itu, aku begitu
membenci suamiku dan manusia yang berjenis kelamin sama dengannya. Aku telah ia
buang begitu saja, aku telah ia kecewakan begitu mendalam, tak berarti apa-apa
hidupku lagi, serasa tak ingin aku meneruskan penghinaan ini, karena bagi
seorangku, tiada pelecehan selain menduakan aku dengan cara yang tidak halal.
Berhari-hari aku mendiamkan suamiku, acuh tanpa sapa,
begitu pula dengan anak-anakku. Aku larang mereka mendekati suamiku, aku takut
mereka akan tertular penyakitnya. Karena ia adalah seorang pesakitan seksual.
Di minggu pagi, aku melihatnya tengah duduk bersantai
dengan Zyan dan Zyafa, tertawa lepas tanpa menghiaraukan perasaanku. Niat
burukku tiba-tiba muncul, membara dengan lukanya. Aku mengambil pisau yang
biasa aku gunakan untuk memsak, yang telah aku pertajam. Lalu aku mendekati
mereka, dan ,,,,,,,,
”Clep-Clep,,, ahkkkhhh”
“Mamah, apa yang mamah lakukan?” suamiku berteriak
histeris. Aku hanya menjawabnya dengan
singkat.
“Aku tak ingin mereka sepertimu ketika dewasa nanti,
menyakiti jiwa perempuan”
“Mamah, dengarkan dulu”
Aku tak mampu mendengar ucapannya lagi, satu tusukan kemudian
telah mendarat di perutku. Tetes demi
tetes darah mengalir hingga membasahi wajahku. Hanya satu yang mampu aku
rasakan, ciumanmu dikeningku dengan penuh rasa sayang. Dan menitipkan pesan
bahwa semua kecurigaanku tidak benar dan semata hanya kesengajaan yang kau suguhkan
untuk menguji cintaku, karena kau juga terbakar cemburu, oleh kabar yang kau
dengar. Aku dan kamu berpisah dengan penyesalan, dengan kecemburuan yang fatal.
Tapi penuh dengan cinta.

BIODATA PENULIS
· Cinung Azizy yang bernama Lengkap Siti Nur Azizah, lahir di Cilacap, 19 September 1991, adalah Mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Karyanya terantologikan dalam Antologi Cerpen
Lelaki yang Dibeli (STAIN Press, 2011), Antologi Puisi Pilar Penyair (Obsesi
Press, 2011) Beberapa karyanya (cerpen remaja dan cerita anak) pernah
dimuat di beberapa media seperti Tabloid Poin, Majalah An-Nur, Majalah Mayara,
Soloposs, Radar Banyumas.
Menjadi Juara
1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional dalam bidang Ekonomi 2011 yang
diadakan di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Juara 2 Lomba Esai Tingkat
Nasional dengan Tema, Konservasi Lingkungan Berbasis Qur,ani yang diadakan di Universitas Jenderal
Soedirman 2011, Juara 3 Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam Tingkat Nasional di
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Juara Harapan I LKT Ekonomi Syariah
Tingkat Nasional Secment 3rd 2010 di Universitas Negeri Semarang, serta Juara
Harapan II Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Jawa tentang Kearifan Lokal 2010 di Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Kini aktif menjadi penghuni RUMAH AJAIB, komunitas penulis dan peneliti
sastra dan dunia anak di Purwokerto. Serta tergabung dalam sekolah kepenulisan
di STAIN Purwokerto dan KSEI (Komunitas Study
Ekonomi Islam) di STAIN Purwokerto.
Alamat : Pon_Pes Al-Hidayah,
Jl. Letjend Pol soemarto
Karang Suci Purwokerto 53126
Email : Cinunk_Azizy@yahoo.com
Hp :
089665560077
No. Rek : 6673 Unit Bantarsari Ciilacap
6673-01-007818-53-4
Atas
nama Siti Nur Azizah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar