Sebutir Biji Semangka
Namaku Ardian. Aku mempunyai satu kejadian yang
benar-benar tak bisa aku lupakan sampai sekarang. Saat itu, aku masih duduk di
bangku kelas 3, walau aku masih kecil, tapi aku bisa mengingat kejadian itu
dengan jelas sampai sekarang. Ini adalah memang kejadian yang berkaitan dengan
tetangga jauhku.
Aku biasa memanggilnya dengan panggilan engkong, karena ia memang sudah tua. Engkok bagi
bahasa kami berarti kakek. Namanya sendiri aslinya adalah Aminudin. Ngkong
adalah tukang kebun orang tuaku. Ia tak pernah kulupakan, sosok menyeramkan
yang berani menampar mukaku dengan kasar. Walau aku mengakui sejak engkong
menampar mukaku, aku berubah banyak.
Aku tidak lagi pemboros, nakal dan semaunya saja. Sebelum
kejadian itu, kata teman-teman aku adalah anak yang sombong, karena memang
orang tuaku kaya, mempunyai mobil tiga, rumah mewah, dan perkebunan yang luas.
Aku dulu memang selalu memilih-milih teman, jika ia tidak sepadan denganku, aku
tentu saja tidak mau.
Pernah suatu ketika aku melakukan hal yang membuatku malu
hingga saat ini, pada suatu sore yang mendung aku berpapasan dengan anak-anak
di samping rumahku, tentu saja mereka adalah anak dari keluarga yang miskin,
aku menghinanya saat itu.
Aku memanggil mereka semua dan aku kumpulkan di belakang
halaman rumahku. Kusebarkan uang rupiahan yah, kira-kira jumlahnya ada sekitar
dua puluh ribu. Saat itu, aku merasa sangat gembira, melihat mereka berebutan.
Ketika itulah engkong melihatku dan medekatiku, lalu menampar mukaku. Aku
terbelalak kaget. Bisa saja aku langsung menangis berteriak dan mengadu pada
ayah dan ibu, namun anehnya aku seperti tersihir dan ketakutan, dan justru
sangat nurut dengan engkong ketika ia menuntunku dan membawaku kerumahnya. Saat
itu, memang engkong tampak seperti orang yang berjubah di mataku.
Ketika sampai di rumahnya, aku langsung disuruhnya duduk,
sekilas mataku melirik kanan-kiri terlihat rumahnya yang sangat bersih.yah
pantas saja namanya juga tukang kebun, kerjanya kan bersih-bersih. Pikiran
jailku muncul kembali.
Tak lama kemudian, hujan turun. Aku ingin sekali pulang
dan berlari menembus hujan itu.lalu mengadukan kejadian ini pada ayah. Tapi sekali lagi, engkong na,pak menyeramkan
dan berjubah lalu menahanku untuk segera berlari. Hujan turun agak deras, bahkan
kilatpun menyambar-nyambar. Aku telah lebih dari tiga puluh menit di rumah
engkong, tepat di pukul 15030, hujan telah kembali reda, aku menatap engkong
yang sejak tadi duduk tenag di depanku dan membolak-balik buku tebal. Aku ingin
mengucapkan sesuatu, tapi serasa mulutku terkunci. Akhirnya, engkong menangkap
gelagat anehku, yang ia tahu aku menahan sesuatu. Lalu ia berkata, dan sambil
melirik mataku tajam,
“Sebentar lagi, engkong akan mengantarkanmu, Ardian”
Aku hanya mengangguk lesu, lalu engkok meneruskan
ucapannya lagi,
“Tapi, sebelum kamu engkong antar pulang, engkong ingin
menunjukan sesuatu padamu,”
Lalu, ia mengambil sebuah kotak dan menunjukannya padaku.
Setelah dibuka, ternyata isinya adalah biji semangka.
“Ayo ikut dengan Engkong” ajaknya, aku hanya menurut
saja, ternyata ia membawaku ke kebunnya di belakang rumah, terhampar
macam-macam tanaman hidup, dan juga ada kawasan untuk buah semangka.
“Kau lihat buah semangka itu, dulunya adalah hanya
sebutir biji-bijian kering seperti ini,” ucap Engkong sambil menunjukan biji
semangkanya kembali.
“Namun, dari biji-bijian ini, aku menanamnya dengan kasih
sayang, aku merawatnya da selalu memperhatikannya, pokoknya merawat sebagaimana
mestinya. Sekarang, biji-bijian ini telah berubah menjadii buah yang sangat
segar” aku hanya diam, lalu engkong menggandeng tanganku dan mengantarkanku
pulang.
“Ambilah pelajaran dari biji semangka itu. Jika kau hanya
menaruhnya dalam kotak, ia akan kering, jika kau melemparnya sembarangan ia
akan tubuh kerdil dan menjadi buah yang tidak manis bahkan bisa saja tidak
tumbuh, namun jika kamu senantiasa merawat, ia akan tumbuh dan segara. Begitu
pula uang orang tuamu, jangan kau gunakan untuk hal yang tidak bermanfaat,
apalagi kamu sebar sembarangan. Lagi pula menghina orang miskin dengan cara seperti yang kamu lakukan tadi
adala perbuatan tercela”
Sungguh aku merasa malu.
Engkong walau aku kini sudah duduk di bangku kelas lima,
namun aku tetap tidak melupakanmu dan kejadian itu. Terimakasih engkong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar